Anda di halaman 1dari 18

SKETSA KEBUN / BENTANG ALAM

Oleh : Salma Atikah Izzatunnisa (19/441766/GE/09105)


PENDAHULUAN
Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan salah satu metode melakukan evaluasi yang
sekarang banyak digunakan. Metode ini dimaksudkan untuk memungkinkan masyarakat
lokal melakukan analisis mereka sendiri untuk merencanakan dan mengambil tindakan
(Chambers R., 1992). PRA melibatkan staf proyek atau bisa disebut fasilitator yang belajar
bersama dengan penduduk desa tentang desa itu sendiri. Tujuan PRA adalah membantu
memperkuat kapasitas warga desa untuk membuat perencanaan keputusan, dan mengambil
tindakan untuk memperbaiki situasi mereka sendiri. Participatory Rural Appraisal (PRA)
dianggap salah satu metode yang populer dan pendekatan yang efektif untuk mengumpulkan
informasi di daerah pedesaan. Pendekatan ini dikembangkan pada awal 1990-an dengan
pergeseran paradigma yang cukup besar dari pendekatan top-down ke bottom-up. Ini adalah
pergeseran dari kuesioner survei yang telah disusun menjadi pendekatan yang lebih banyak
berbagi dengan masyarakat lokal. PRA didasarkan pada pengalaman desa dimana
masyarakat secara efektif mengelola sumber daya alam mereka. PRA merupakan metodologi
pembelajaran kehidupan pedesaan dan lingkungannya dari masyarakat pedesaan itu sendiri.
Oleh karena itu PRA membutuhkan peneliti / petugas lapangan untuk bertindak sebagai
fasilitator untuk membantu masyarakat lokal melakukan sendiri hal-hal seperti menganalisis,
merencanakan dan mengambil tindakan yang sesuai untuk kemajuan desanya. Ini didasarkan
pada prinsip bahwa masyarakat lokal dipercaya memiliki sifat kreatif dan mampu serta dapat
melakukan investigasi, analisis, dan perencanaan sendiri. Singkatnya, dasar Konsep PRA
adalah belajar dari masyarakat pedesaan. Chambers (1992) juga mendefinisikan PRA sebagai
file pendekatan dan metode untuk belajar tentang kehidupan dan kondisi pedesaan dari,
dengan dan oleh masyarakat pedesaan. Lebih lanjut Chambers menyatakan bahwa PRA
mencakup analisis, perencanaan, dan tindakan. PRA erat melibatkan penduduk desa dan
pejabat lokal dalam prosesnya. (Sutardjo, 2014)

Prinsip-prinsip yang terdapat pada PRA adalah :


1. Partisipasi - PRA sangat mengandalkan partisipasi masyarakat sebagai metodenya dan
dirancang agar masyarakat lokal dapat terlibat, tidak hanya sebagai sumber informasi, tetapi
sebagai mitra tim PRA dalam mengumpulkan dan menganalisis informasi.

2. Fleksibilitas - Kombinasi teknik-teknik yang sesuai dalam suatu hal tertentu konteks
pembangunan akan ditentukan oleh variabel-variabel seperti ukuran dan campuran
keterampilan dari Tim PRA, waktu dan sumber daya yang tersedia, serta topik dan lokasi
pekerjaan.

3. Kerja Tim - Umumnya, PRA paling baik dilakukan oleh tim lokal (berbicara bahasa lokal)
dengan kehadiran beberapa orang luar, representasi perempuan yang signifikan, dan
campuran spesialis sektor dan ilmuwan sosial, sesuai dengan topiknya.

4. Pengabaian untuk Optimalisasi - Agar efisien dalam hal waktu dan uang, PRA bekerja
bermaksud untuk mengumpulkan informasi yang cukup untuk membuat rekomendasi yang
diperlukan dan keputusan.

5. Sistematis - Karena data yang dihasilkan PRA jarang kondusif untuk analisis statistik
(diberikan sifatnya yang sebagian besar kualitatif dan ukuran sampel yang relatif kecil), cara
alternatif telah dikembangkan untuk memastikan validitas dan reliabilitas temuan. Ini
termasuk pengambilan sampel berdasarkan perkiraan stratifikasi komunitas berdasarkan
lokasi geografis atau relatif kekayaan, dan pemeriksaan silang, yang menggunakan sejumlah
teknik untuk menyelidiki pandangan tentang sebuah topik tunggal (termasuk melalui
pertemuan komunitas terakhir untuk membahas temuan dan ketidakkonsistenan yang benar).
(Cavestro, 2003)

PRA menawarkan banyak teknik yang bisa digunakan sesuai proyek yang akan dilakukan.
Bagian utama dari PRA adalah wawancara semi-terstruktur. Meskipun memang ada topik
yang sering kali lebih baik dibahas dalam wawancara dengan individu, topik lainnya yang
lebih umum dapat dilakukan dengan diskusi kelompok yaitu dengan Focus Group
Discussion (FGD) dan pertemuan komunitas. Selama wawancara dan diskusi ini, beberapa
teknik diagram sering dilakukan untuk merangsang perdebatan dan mencatat hasilnya.
Banyak dari visual ini tidak digambar kertas tetapi di atas tanah dengan tongkat, batu, biji-
bijian, dan bahan lokal lainnya, dan kemudian setelahnya ditransfer ke kertas sebagai catatan
permanen. Salah satu teknik yang ada pada Participatory Rural Appraisal adalah teknik sketsa
kebun. Menurut adebo, teknik sketsa kebun termasuk dalam peta sketsa komunitas atau
model. Tujuan dari peta sketsa komunitas atau model: adalah representasi visual dari apa
yang dianggap komunitas sebagai ruang komunitas mereka. Ini termasuk menunjukkan
bentuk (tampilan) komunitas, batas dan semua fitur utama seperti yang dipahami dan
diketahui oleh komunitas khusunya pedesaan. Peta tersebut menunjukkan di mana sumber
daya, kegiatan, masalah dan peluang berada terletak, serta dimensi dan ruang lingkup
masalah yang akan diselidiki. Ini sangat penting untuk memahami batasan dan karakteristik
komunitas terlibat. Data topografi (elevasi, kemiringan, drainase dll.) Data topografi dasar
saat menggambar peta komunitas, begitu pula informasi tentang tanah, vegetasi, ketersediaan
air, jalan, sekolah, fasilitas kesehatan, dll. Ada peta sketsa berbeda yang dikenal untuk tujuan
berbeda. Beberapa dari mereka termasuk:

A. Peta Sosial: Jenis peta topikal khusus yang mewakili rumah tangga menurut indikator
tertentu.

- Menunjukkan di mana orang tinggal dan berapa banyak orang yang tinggal di suatu daerah

- Perbedaan status dan kekayaan sosial dan tempat tinggal

- Bangunan tempat orang tinggal atau bekerja, penggunaan ruang dalam rumah

B. Peta fisik dan sumber daya: digambar oleh masyarakat untuk menunjukkan alam sumber
daya suatu daerah, lokasi dan pemanfaatan sumber daya alam.

- ladang dan penggunaan lahan

- fitur fisik lahan

- lokasi, kualitas dan penggunaan air

- jenis tanah, kegunaan, lokasi

C. Peta topik: peta topik tertentu dibuat untuk menarik perhatian ke jenis informasi tertentu
dari suatu daerah, contoh:
- lokasi sumber daya hutan

- jenis tanah

- tanaman berbeda ditanam

- rumah dan jumlah orang yang tinggal

- infrastruktur sosial & ekonomi dll.

D. Sketsa kebun: Membuat sketsa peternakan atau sketsa gabungan yang menonjolkan detail-
detail itu akan hilang dalam peta skala yang lebih kecil. Prosedur pengumpulan data spasial.
(Adebo, 2000)

Teknik Sketsa Kebun adalah salah satu teknik Participatory Rural Appraisal (PRA) untuk
memfasilitasi kegiatan penggalian informasi melalui penggambaran keadaan kebun pada
lokasi tertentu yang mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan.
Pembuatan sketsa kebun merupakan penggambaran lebih jelas berdasarkan informasi yang
didapat selama kegiatan transect, terutama berhubungan dengan jenis tanah,
pemanfaatan/pengelolaan lahan serta pola tanamnya. Pembuatan sketsa kebun dilakukan oleh
petani melalui diskusi, sedangkan “orang luar” hanya memfasilitasi diskusi. Tujuan dari
pembuatan sketsa kebun adalah untuk mendapat gambaran lebih terperinci mengenai
keadaan kebun dan pengelolaan lahan berdasarkan informasi yang bersifat fisik dan nonfisik,
yang teramati selama kegiatan diskusi di lokasi. Informasi fisik akan memberikan gambaran
tentang potensi sumberdaya yang sudah ada dan tersedia baik yang sudah digunakan maupun
yang belum. Teknik ini juga bertujuan untuk memperoleh informasi aspek-aspek pengelolaan
lahan di suatu wilayah. Aspek-aspek dari lokasi yang berbeda lalu dibandingkan, berdasarkan
topik informasi yang digali. Misalnya perbandingan antara pengelolaan lahan di pinggir jalan
dengan yang jauh dari jalan, pengelolaan lahan di tanah datar dengan miring dan lain-lain.
(Sutardjo, 2014)

ISI

Data yang dicari dan sumber informasi sketsa kebun adalah informasi fisik misalnya ; luas
lahan, pola tanam, praktek konservasi, tanaman utama dan dominan, gambar posisi terasering
dan letak masing-masing tanaman, dsb. Informasi non fisik, misalnya; Pendapatan yang
diperolah dari kebun/lahan dalam satu tahun, alokasi waktu dan tenaga pria dan wanita yang
terserap untuk pengelolaan, teknologi yang digunakan untuk pengelolaan, masalah dan
hambatan pengelolaan, dsb. Gagasan pengembangan dan upaya-upaya yang telah dan akan
dilakukan jenis tanaman bisa dilihat dari sketsa kebun, misalnya kebutuhan pengetahuan dan
keterampilan baru, bibit tanaman baru sebagai uji coba, upaya meningkatan kesuburan dan
pendapatan petani, pengurangan serapan tenaga kerja, dsb. Narasumber utama adalah
pemilik lahan/kebun, sebagai informasi tambahan dapat diperkaya oleh petani setempat yang
memiliki karakter lahan sama dan atau berdekatan. Pertanyaan-pertanyaan kunci pada sketsa
kebun adalah :

 Berapa luas lahan ini? Sudah berapa lama mengelola? Bagaimana statusnya (pemilik,
penggarap)?
 Bagaimana pola tanam dalam satu tahun? Apa tanaman utama tiap musim? Tanaman
apa yang memberikan penghasilan terbesar?
 Berapa alokasi waktu untuk pengolahan,penggarapan? Bagaimana curahan waktu
antara wanita dan pria dalam mengelola kebun/lahan ini? Siapa yang paling
menentukan dalam memutuskan penanaman tanaman utama?
 Untuk apa saja biaya yang harus dikeluarkan untuk pengelolaan lahan ini? Untuk apa
yang terbesar?
 Apa masalah yang dihadapi dalam pengelolaan? Langkah apa yang telah dilakukan?
Bagaimana hasilnya? Apa gagasan untuk perbaikan dan peningkaan dimasa yang
akan datang? dsb.

Secara singkat berikut adalah langkah-langkah dalam pembuatan sketsa kebun, yang pertama
adalah persiapan yang terdiri dari :

1. Tentukan kemungkinan jenis dan karakter pemanfaatan kebun/lahan, dan pilihlah


masing-masing satu sampai dua kebun contoh yang akan dibuat sketsa kebunnya.
2. Hubungi petani pemilik dan mintalah kesediaan untuk terlibat dan menjadi
narasumber kegiatan ini.
3. Bagilah tim sesuai kebutuhan dan jumlah sketsa yang akan dibuat.
4. Usahakan ketika melakukan kegiatan ini setara dengan petani, hindari membawa alat
tulis yang berlebihan serta memberikan kesan formal.

Selanjutnya adalah pelaksanaan yang terdiri dari beberapa langkah yaitu :

1. Kelilingi seluruh kebun/lahan, mintalah informasi hal-hal yang mencolok dalam


kebun itu, alasan-alasan dibaliknya. Catatlah informasi itu dalam kertas yang telah
disiapkan.
2. Mintalah petani untuk menggambarkan lokasi kebunnya serta tanaman dominan yang
ada saat itu dengan simbol-simbol yang sesuai.
3. Pertajam gambar dan informasi yang telah dituangkan dengan mengajukan
pertanyaan kunci yang telah disiapkan. Misalnya apa hasil terbanyak dari kebun ini?
Apa pupuk yang diberikan? Bagaimana pengadaannya? Apa rencana untuk
pengembangan/peningkatan hasil? Dsb.
4. Setelah semua informasi diungkapkan, review hasil yang telah diperoleh untuk
kemungkinan ada koreksi dan ucapkan terima kasih pada partisipasinya. (Sutardjo,
2014)

Yang menggambar sketsa ini adalah anggota masyarakat perwakilan desa bersama dengan
tim PRA dan staf lapangan lokal yang telah mengikuti pelatihan. Berbagai pihak memiliki
ide yang berbeda tetapi saling melengkapi untuk proses tersebut. Bagaimana kah caranya?
Anggota komunitas adalah ahli terbaik di bidangnya. Walaupun anggota tim mampu
langsung menggambar langsung di peta agar menghemat waktu, disarankan untuk
membiarkan penduduk desa sajalah yang menggambar peta di tanah. Melek huruf tidak
diperlukan untuk menggambar peta suatu tempat, sehingga penduduk desa yang tidak
berpendidikan pun mampu melakukannya. Sedangkan tim PRA cukup menjelaskan
prosesnya dengan jelas. Peta sketsa bisa digambar menggunakan jari, tongkat dan bahan lokal
lainnya yang tersedia seperti kerikil, daun, dan bunga. Komunitas harus dibimbing melalui
pertanyaan-pertanyaan untuk menggambar peta wilayah komunitas aplikasi mereka seperti
kebun. Peta sketsa komunitas membantu dalam menentukan zona mikro, mengetahui tentang
perbedaan kekayaan, perbedaan penggunaan lahan. Bagaimana seharusnya seseorang
melanjutkan ke sketsa peta atau model? Langkah sebelumnya adalah :
 Tentukan jenis peta yang Anda inginkan
 Kumpulkan orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang daerah tersebut dan
dapat berkontribusi
 Pilih waktu dan tempat yang sesuai
 Bawalah bahan untuk menyalin peta yang digambar di tanah.

Langkah saat melakukan adalah :

 Cobalah untuk meminimalkan partisipasi dan hanya menjadi pengamat


 Doronglah orang-orang desa dengan mengajukan pertanyaan terbuka
 Sarankan penggunaan bahan yang berbeda, seperti bunga, ranting, batang, dll
 Dan bersabarlah!

Langkah setelah membuat sketsa :

 Membuat salinan peta atau model, termasuk nama pembuat peta


 Coba gambar jenis peta yang sama dengan kelompok orang yang berbeda. yaitu satu
kelompok perempuan, sekelompok laki-laki tua dan muda
 Buat sesederhana mungkin
 Arahkan dengan benar
 Periksa kembali peta, bandingkan dengan yang Anda lihat
 gambarlah di area studi bersama dengan penduduk setempat. (Adebo, 2000)

Metode Participatory Rural Appraisal dianggap baik apabila dilakukan oleh tim yang terdiri
dari orang-orang interdisipliner yang terlatih secara khusus. Pendekatan tim diperlukan
dalam metode ini karena banyak informasi yang beragam dihasilkan dengan cepat di mana
satu orang bisa tidak dapat memilah dan memahaminya secara efektif. Seseorang mungkin
tidak sempurna dalam semua daerah. Oleh karena itu, pendekatan tim interdisipliner
direkomendasikan untuk metode ini. Pengalaman menunjukkan bahwa tim interdisipliner
kecil yang terdiri dari tiga orang adalah yang terbaik untuk melakukan metode PRA. Lebih
lanjut, tim dianggap yang terbaik jika terdiri dari seorang sosiolog / antropolog, dan seorang
ahli pertanian yang melakukan studi tentang alam pengelolaan sumber daya karena
penggunaan sumber daya hutan dan pertanian merupakan hal yang fundamental kehidupan
pedesaan. Demikian pula pemahaman dasar masyarakat dalam kaitannya dengan penggunaan
/ praktik sumber daya diperlukan. Oleh karena itu, sangat menguntungkan untuk
memasukkan peneliti / praktisi wawasan luas dengan pengetahuan atau pengalaman dalam
berbagai disiplin ilmu. Grandstaff et al (1995) membuktikan beberapa contoh dari berbagai
jenis keanggotaan dalam tim untuk melakukan studi berikut:

(1) Tim PRA yang mempelajari aliran bahan bakar kayu terdiri dari seorang ahli kehutanan
umum, seorang ahli hidrologi hutan dan seorang ahli statistik, didukung oleh dua antropolog
sebagai penasehat.

(2) Sebuah tim yang mempelajari kerja koperasi di pedesaan terdiri dari agronomi, sosial
ilmuwan dan perencana / ekonom pembangunan.

(3) Tim yang mempelajari pembuatan arang terdiri dari antropolog ekologi, ekonom
pertanian, dan ilmuwan hewan. Seperti yang kami yakini, ada bias profesional di bidangnya
dan masing-masing profesional akan mencarinya informasi dari sudut pandangnya. Sebuah
tim kecil memfasilitasi kerjasama dan pengorganisasian yang baik diperlukan dalam tim
untuk berbagi peran. Tentang membagi siapa melakukan apa yang harus didiskusikan di
antara anggota dan juga harus disetujui oleh semua saat menetapkan peran. Peran-peran ini
kemudian dapat dirotasi tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan dari tim. Peran lainnya
termasuk mengambil giliran dalam bertanya, membuat catatan, mendengarkan, dll. dapat
dibagikan di antara anggota.

Setidak-tidaknya tiga orang anggota tim terdiri dari fasilitator, note-taker, dan seorang
pemimpin. Fasilitator PRA adalah laki-laki atau perempuan yang memfasilitasi FGD,
pembuatan peta atau alat PRA lainnya. Kegiatan yang dilakukan oleh fasilitator adalah
memperkenalkan alat PRA ke grup, memfasilitasi acara, memoderasi proses, bertindak
sebagai katalisator antar individu dalam kelompok, menemukan cara untuk mengintegrasikan
orang yang dominan dan pendiam dan memastikan bahwa semua kelompok anggota dapat
mengungkapkan pendapat mereka, memastikan bahwa kelompok tetap pada topik tetapi juga
fleksibel dalam menangani tambahan informasi penting, mengulangi dengan kata-kata
sendiri apa yang orang katakan untuk memastikan bahwa pemahaman diskusi sudah baik,
menjaga manajemen waktu, mendukung pencatat dalam mengumpulkan semua informasi
yang relevan dan membantunya dalam mengisi lembar dokumentasi setelah kerja kelompok
selesai, dan bertanggung jawab kepada ketua tim. Fasilitator setidak-tidaknya harus memiliki
sikap fleksibilitas, kesabaran dan rasa humor, menghindari penggunaan istilah dan kata yang
rumit, dapat berbicara bahasa lokal, mendorong orang dan memotivasi mereka, sebisa
mungkin “Menyerahkan tongkat estafet” kepada kelompok masyarakat atau bisa dibilang
memberikan ilmu yang mampu diterapkan, menjaga profil tetap rendah selama kegiatan,
mendengarkan dengan cermat setiap anggota kelompok dan tidak bersifat menggurui,
melibatkan orang-orang yang pendiam dan terpinggirkan agar tetap bisa aktif.

Peran yang kedua adalah note taker atau pencatat berperan sebagai penggambar peta,
mengembangkan kalender musiman atau menerapkan alat PRA lainnya, dan menuliskan
semua informasi penting dan pengamatan yang relevan. Kegiatan yang dilakukan seorang
pencatat adalah membawa bahan dan alat yang diperlukan, mengamati latar belakang suatu
kegiatan, menuliskan semua informasi penting yang akan sangat terbantu dengan
menyediakan daftar poin-poin topik yang relevan, mencatat siapa saja yang berbicara apakah
ada partisipasi yang sama dari semua atau apakah beberapa orang mendominasi proses?
Apakah wanita berbicara? Lalu membantu fasilitator secara tidak langsung dengan memberi
tanda, mendukung fasilitator secara langsung dengan mengajukan pertanyaan, jika situasinya
membutuhkannya. Memastikan agar peserta menyalin semua subjek yang divisualisasikan
(peta, diagram, dll.) pada sebuah selembar kertas segera setelah kegiatan, mengamati dan
memfasilitasi penyalinan, memastikan bahwa salinan menyerupai aslinya (memiliki legenda,
tanggal, tempat, dan nama), duduk bersama fasilitator dan berdiskusi tentang catatan sambil
mengisi dokumentasi lembar setelah akhir kegiatan. Seorang note-taker setidak-tidaknya
harus memiliki sikap pengamat yang baik, walaupun peran notulen selama acara lebih
bersifat pasif, namun demikian dia memiliki tanggung jawab utama untuk mengubah catatan
menjadi hasil yang berguna dan untuk visualisasi mereka ke seluruh tim, akrab dengan
bahasa yang digunakan, dan tentu saja mampu memvisualisasikan dan mempresentasikan
hasil kepada tim PRA secara singkat dan tepat.
Setiap tim PRA memiliki satu orang yang berperan sebagai ketua tim di lapangan. Yang
memiliki peran sebagai penanggung jawab atas tim PRA dan atas semua urusan organisasi
dan logistik terkait PRA, memoderasi diskusi PRA dan rapat evaluasi setelahnya,
memperkenalkan tim PRA ke komunitas (atau mengelolanya), membantu sub-tim jika
mereka memiliki masalah, mengoordinasikan acara lokakarya desa dan memfasilitasi
presentasi kelompok, memfasilitasi proses peringkasan dan dokumentasi dari tim yang lebih
kecil yang telah menggunakan alat PRA, tetap berhubungan dekat dengan penghubung dan
pemimpin opini selama keseluruhan diskusi (misalnya untuk mengetahui siapa yang
berpartisipasi dalam berbagai acara). Seorang ketua tim setidak-tidaknya harus terorganisir
dengan baik, memiliki sifat baik hati dan sabar sepanjang waktu, tetap tenang jika terjadi
kesalahan, memiliki selera humor untuk menjaga kondisi tim, tetap rendah hati, mampu
mendengarkan, mengamati, dan berkonsultasi. (Cavestro, 2003)

PENUTUP

Manfaat yang bisa diperoleh dari menggunakan teknik sketsa kebun ini adalah untuk
merangsang petani menganalisa dan problema serta peluang pengembangan dari lahannya.
Teknik ini dapat membantu menggerakkan proses penyadaran dan menumbuhkan motivasi
sekaligus sebagai alat bantu dalam penyusunan rencana pengelolaan kebun pada tingkat
kebun itu sendiri atau desa. Sebagai sumber informasi untuk kepentingan kegiatan lain
misalnya perencanaan penambahan keterampilan petani,pemenuhan gizi, kesehatan swadaya
(tanaman obat) dan lain-lain (Sutardjo). Selain itu, informasi dari sketsa kebun dapat
digunakan untuk menyusun perencanaan kebun (perorangan/keluarga dan kelompok),
melakukan penilaian (monitoring) perkembangan kebun yang bisa dilakukan bulanan,
biasanya dilakukan juga dengan cara kunjungan silang (petani melakukan observasi dan
penilaian kebun petani lain), melakukan evaluasi kegiatan pengembangan kebun (bisa selama
1x masa tanam, bisa juga dalam jangka 3 tahun atau 5 tahun untuk mengevaluasi perubahan
produktivitas dan hasil-hasil KTA); gambar kebun dari tahun ke tahun, bisa dibandingkan,
karena itu dokumentasi menjadi perlu. Diskusi topikal: analisa masalah dan jalan keluarnya
dalam pengelolaan usaha kebun, hubungan sebab-akibat masalah pengelolaan kebun dengan
tenaga kerja, modal, bibit/benih, KTA, teknologi pengendalian hama, dan pemasaran; diskusi
ini misalnya dilakukan untuk pertemuan bulanan ketika terjadi hambatan dalam pengelolaan
kebun. Pelatihan konsep perencanaan kebun; digunakan sebagai salahsatu metode diskusi
yang bisa dikombinasikan dengan berbagai metode pelatihan lain (misalnya: praktek, diskusi
kelompok, dsb.); Dan lain sebagainya. (Dian, 2012)

Salah satu contoh penerapan sketsa kebun bisa kita lihat dari sebuah penelitian dengan judul
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Bukit Daun di Bengkulu yang
dilakukan oleh Gunggung Senoaji dari Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas
Bengkulu. Penelitian yang dilakukannya bertujuan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi
masyarakat sekitar hutan lindung di Bengkulu. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode survey dengan beberapa teknik Participatory Rural Appraisal (PRA) yang di
dalamnya termasuk sketsa kebun. Penelitian di lakukan di Desa Air Lanang, Bengkulu. Data
yang dikumpulkan dengan pengamatan dan wawancara mendalam kemudian dianalisis
dengan analisis dekriptif kualitatif dan kuantitatif. Latar belakang dilakukannya penelitian
ini bahwa sejalan dengan waktu, hutan yang semula dianggap tidak akan habis, berangsur-
angsur mulai berkurang. Banyak lahan hutan digunakan untuk kepentingan lain, seperti
pertanian, perkebunan, pemukiman, industri dan penggunaan lainnya. Di Provinsi Bengkulu
luas kawasan hutan yang telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan,
pemukiman, tanah kosong, dan kebun campuran mencapai 286.777 hektar atau sekitar
31,14% dari luas total hutan yang ada (Pemerintah Propinsi Bengkulu, 2008). Hal ini
diakibatkan oleh seiring dengan bertambahnya penduduk maka semakin banyak lahan yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti pendapatan, bahan pangan, dll.
Beberapa teknik PRA (Participatory Rural Appraisal) yang digunakan dalam penelitian ini
adalah : pemetaan kawasan, penelusuran lokasi, sketsa kebun, analisis mata pencaharian, dan
wawancara semi terstruktur. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data
skunder. Pengumpulan data primer dilakukan secara partisipatif melalui wawancara langsung
dengan masyarakat. Data skunder diperoleh dari laporan-laporan penelitian sebelumnya, data
monografi desa, dan literatur lain yang mendukung. Pemilihan responden masyarakat
dilakukan dengan accidental sampling, yaitu pemilihan responden sebagai sampel dilakukan
dengan cara memilih secara langsung masyarakat yang ditemui di lokasi penelitian.
Banyaknya masyarakat yang akan dijadikan responden adalah 10 % dari kepala keluarga
yang ada di desa ini. Menurut Arikunto (2003) besarnya sampel penelitian sosial tergantung
dari jumlah populasi yang ada, jika populasi kurang dari seratus maka sebaiknya diambil
seluruhnya dan jika populasinya lebih dari seratus, sampel yang diambil antara 10% - 20%.
Jumlah kepala keluarga di desa ini adalah 285 KK, karena itu jumlah respondennya adalah
30 KK (pembulatan ke atas dari 28,5). Teknik sketsa kebun merupakan teknik PRA untuk
menggali informasi melalui penggambaran keadaan kebun pada lokasi-lokasi tertentu dan
mencakup berbagai aspek kegiatan pengelolaan lahan, jenis tanam serta pola tanamnya.
Informasi yang diperoleh adalah pola tanam, luas lahan, jenis tanaman, praktek konservasi,
pendapatan dari kebun, teknologi pengelolaan lahan, dan harapan masyarakat dalam
mengelola lahan. Desa Air Lanang merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung
dengan Hutan Lindung Bukit Daun, yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Curup,
Kabupaten Rejang Lebong, Propinsi Bengkulu. Batas-batas wilayah desa ini, di sebelah
Utara berbatasan dengan Desa Tanjung Dalam, sebelah selatan berbatasan dengan Bukit
Marbau, sebelah Barat berbatasan dengan Hutan Lindung Bukit Daun dan sebelah Timur
berbatasan dengan Desa Tanjung Alam (Senoaji, 2007). Hutan Lindung Bukit Daun
merupakan salah satu hutan lindung di Propinsi Bengkulu yang mempunyai peranan penting
dalam pengaturan tata air tanah dan perlindungan lingkungan yakni merupakan sumber mata
air dan daerah tangkapan air beberapa sungai besar seperti Sungai Musi, Sungai Ketahun,
dan Sungai Seblat (Bapedalda Propinsi Bengkulu, 2006). Luas lahan pertanian dan atau
perkebunan di Desa Air Lanang ini 281 hektar dengan 285 kepala keluarga sehingga rata-
rata kepemilikan lahan pertanian adalah sekitar 0,9 hektar per kepala keluarga. Menurut
Senoaji dan Ridwan (2006), batasan hidup layak di desa sekitar hutan lindung Bukit Daun
dengan komoditas kopi adalah 0,3 hektar/jiwa atau 1,5 hektar per kepala keluarga. Dengan
demikian, masyarakat di desa ini kekurangan lahan pertanian; sehingga untuk memperluas
lahan pertaniannya mereka membuka hutan lindung yang ada di sekeliling pemukimannya.
Berdasarkan letak lokasinya, kebun masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yakni kebun
yang terletak di dalam kawasan hutan lindung dan di luar kawasan hutan lindung. Perlakuan
untuk kebunnya, baik yang di dalam atau di luar hutan, relatif sama. Pada setiap kebunnya
dibangun pondok atau gubuk untuk beristirahat dan lapangan terbuka sekitar 50 – 100 m2
untuk menjemur hasil kopinya. Bagi petani di desa ini, kebun dan pondoknya merupakan
rumah kedua bagi mereka. Aktivitas harian mereka berada di kebun, terlebih-lebih pada saat
musim panen, mereka tidak pulang ke desanya. Kegiatan sehari-harinya memanen kopi dan
menjemur sampai kopinya siap dijual. Kebun yang terdapat di luar kawasan hutan umumnya
hanya ditanami tanaman pokok kopi dan tanaman pengisi lainnya seperti jahe, lada, dan
tanaman sayuran. Pada lahan ini tidak ditemukan jenis tanaman pohon karena jenis tanaman
pohon akan menaungi tanaman kopinya sehingga dapat menghambat pertumbuhan kopi.
Untuk kebun yang berada di dalam kawasan hutan, sesuai arahan dari program hutan
kemasyarakatan, selain ditanami tanaman kopi, juga ditanami tanaman pohon sebagai
penguat tanah. Di dua lokasi kebun ini, tanaman kopi merupakan tanaman pokok masyarakat
sebagai sumber pendapatan utamanya; jenis tanaman lainnya seperti jahe, lada, dan tanaman
sayuran hanya sebagai sumber penghasilan tambahan untuk Jarak tanam kopi di kebun luar
kawasan hutan adalah 3 x 1 meter, sehingga dalam 1 hektar terdapat 3.000 tanaman kopi.
Untuk kebun yang berada di dalam kawasan hutan lindung, pola tanamnya menerapkan
sistem agroforestri, yakni mengkombinasikan tanaman kopi dengan tanaman kehutanan,
seperti pinang, durian, kemiri, petai, dan kayu bawang, dengan jarak tanam pohonnya 6 x 6
m. Sehingga dalam 1 hektarnya terdapat 270 tanaman pohon dan 2.730 tanaman kopi. Sama
halnya dengan kebun di luar kawasan hutan, di kebun inipun ditanami tanaman pengisi
lainnya seperti cabe, jahe, dan sayuran.

Berikut adalah sketsa kebun yang berada di luar dan di dalam kawasan hutan :
Hasil komoditas utama petani di Desa Air Lanang adalah kopi. Hasil pertanian lainnya
umumnya digunakan sendiri untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu
pendapatan petani di Desa Air Lanang sangat ditentukan oleh produksi kopi dan harga jual
kopi (Edwar, 2003). Produksi rata-rata kopi per tahun adalah 500 kg per hektar. Senoaji
(2009) menjelaskan bahwa rata-rata besarnya pendapatan pendapatan masyarakat dari kebun
di dalam kawasan hutan sebesar Rp. 9.875.000,00 per tahun per kepala keluarga, dan dari
luar kawasan hutan Rp. 8.812.500,00 . Rata-rata jumlah jiwa per kepala keluarga di desa
penelitian adalah 5,3 ; sehingga pendapatan per kapita masyarakatnya sekitar Rp.
1.863.200,00 dari lahan hutan dan Rp. 1.662.735,00 dari lahan di luar hutan. Nilai pendapatan
ini didasarkan kepada harga kopi sebesar Rp. 15.000/kg. Pada harga kopi sebesar ini,
kehidupan masyarakatnya dapat dikatagorikan cukup sejahtera. Dalam kebun yang berada di
kawasan hutan lindung terdapat jenis pohon lain yang ditanam seperti kemiri, durian, dan
petai. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pemerintah tentang hutan kemasyarakatan.
Pemerintah, melalui Departemen Kehutanan, telah mengupayakan pengelolaan hutan di desa
ini dengan konsep hutan kemasyarakatan, yakni konsep pengelolaan hutan lindung yang
memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar desa untuk memanfaatkan lahan
hutannya dengan memperhitungkan aspek pemilihan jenis tanaman dan jarak tanam. Jenis
tanaman yang ditanam adalah tanaman kopi dan tanaman pertanian masyarakat dengan
tanaman kehutanan multi purpose tree species (MPTS) atau tanaman kayu-kayuan seperti :
kayu bawang, surian, durian, pete, pinang, dan kemiri, dengan menggunakan jarak tanam
pohon tertentu seperti 6 x 6 meter. Program hutan kemasyarakatan di desa ini mulai
digulirkan sejak tahun 1999 mulai dari pembentukan kelembagaan, pelatihan, penyiapan
bibit, penanaman, pendampingan, dan monitoring evaluasi. Hasil wawancara dengan
masyarakat dan pengamatan langsung di lapangan, secara fisik persentase penanaman
tananaman MPTS yang dilakukan cukup berhasil, hanya saja tanaman kemiri atau pinang
yang ditanam di lahannya sudah mulai ditebangi oleh masyarakat. Alasan mereka pohon-
pohon tersebut mengganggu pertumbuhan kopi. Tujuan akhir dari program hutan
kemasyarakatan sebenarnya adalah menggantikan tanaman kopi dengan tanaman kehutanan.
Harapannya, jika tanaman kehutanannya sudah menghasilkan dan tanaman kopinya sudah
ternaungi, petani akan mengurangi aktifitasnya terhadap kopi dan beralih kepada budidaya
tanaman kehutanan. Sehingga nantinya lahan kebun hutannya dipenuhi oleh tanaman-
tanaman kayu keras yang lebih banyak memberikan fungsi perlindungan lingkungan
dibanding kopi. Namun setelah sekitar sembilan tahun penanaman dan pertumbuhan tanaman
pohon telah baik, petani tetap mengutamakan tanaman kopinya dan bahkan mulai menebangi
tanaman hutannya. Ternyata budaya berkebun kopi memegang peranan penting dalam aspek
pengelolaan hutan seperti ini. Perilaku masyarakat dalam pemanfaatan hutan berupa aktivitas
masyarakat dalam membuka lahan, mengambil kayu bakar, dan menebang pohon di dalam
kawasan hutan lindung (Senoaji, 2005). Perilaku yang pertama adalah membuka lahan.
Sistem pembukaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat adalah dengan cara menebang
pohon dan menebas semak belukar dan membakarnya. Setelah lahan bersih baru dilakukan
penanaman. Jenis tanaman yang ditanam umumnya adalah kopi dan tanaman MPTS seperti
durian, kemiri, petai, dan lainnya. Perilaku masyarakat yang kedua adalah menebang pohon
sebagai sumber kayu pertukangan, baik untuk dijual atau pemenuhan kebutuhan sendiri.
Perilaku masyarakat yang ketiga adalah pengambilan kayu bakar. Pengambilan kayu bakar
disini adalah kegiatan mengambil kayu di hutan lindung dengan menebang pohon-pohon
yang masih kecil. Perilaku masyarakat tersebut sebenarnya bertentangan dengan peraturan
yang berlaku tentang pemanfaatan hutan lindung. Hanya saja semua perilaku dan kegiatan
yang dilakukan masyarakat semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena
semakin terbatasnya lahan pertanian yang mereka miliki. Pemerintah saat ini sedang
merancang suatu strategi pengelolaan hutan yang bisa mengakomodir fungsi lingkungan dari
hutan lindung dan sekaligus fungsi ekonomis bagi masyarakat sekitarnya. Program hutan
kemasyarakatan hakekatnya adalah melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan yang
mengarah kepada keseimbangan fungsi hutan sebagai perlindungan lingkungan dan sumber
ekonomi bagi masyarakat. Di Desa Air Lanang, program kehutanan masyarakat ini belum
dapat dikatakan berhasil. Harapan berubahnya tegakan kebun kopi di hutan lindung menjadi
tegakan tanaman MPTS belum tercapai. Masyarakat masih tetap menanami kopi di kebun
hutannya bahkan mulai menebangi tanaman MPTS-nya yang ditanam sembilan tahun yang
lalu. Dari penelitian ini bisa kita lihat dan pelajari bersama bahwa sketsa kebun bisa
digunakan untuk mendapatkan data-data yang berguna dalam melihat perilaku masyarakat
dalam mengelola kebun yang mereka miliki. Kita mampu mengetahui nilai ketercapaian
program pemerintah tentang hutan kemasyarakatan yang direncanakan ternyata tidak
berjalan dengan baik karena tanaman MPTS yang semula ditanam 9 tahun sebelum penelitian
sudah tidak dipedulikan lagi oleh masyarakat dikarenakan masyarakat lebih mementingkan
budaya menanam kopi yang sejak lama melekat pada desa ini. Dari sketsa kebun kita juga
mampu melihat bagaimana kemauan para petani kopi di desa Air Lanang menerapkan
peraturan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah seperti tetap menanam kopi dengan jarak
tanam 6 x 6 meter jika kebunnya berada dalam kawasan hutan lindung. Sketsa kebun
memperlihatkan bahwa masyarakat mematuhi peraturan ini. Setelah melakukan evaluasi,
sketsa kebun ini juga membantu kita untuk merancang rencana kedepannya. Kita menjadi
lebih paham sifat masyarakat setempat, masalah yang terjadi, lahan yang tersedia, dan
kesempatan yang ada sehingga kebijakan berikutnya akan menjadi lebih baik dan keberadaan
hutan di wilayah tersebut tetap dapat dilestarikan. Dari kasus yang ada pada penelitian ini
maka rencana selanjutnya harus memerhatikan aspek kebudayaan suatu wilayah agar
kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah mampu memberikan hasil yang maksimal. Dari
penelitian ini juga dapat saya simpulkan bahwa sketsa kebun dapat menjadi teknik dalam
menyelesaikan banyak masalah di tengah-tengah masyarakat namun tentu saja tidak
sendirian melainkan juga dibarengi dengan teknik-teknik lainnya yang juga termasuk
Participatory Rural Appraisal.
DAFTAR PUSTAKA

Sutardjo. 2014. Kumpulan Terapan Teknik Pra Dalam Perencanaan Program Pemberdayaan
Masyarakat. LESPAM. Modul Cofish Project.

Dian. 2012. Metode-Metode/Teknik-Teknik Participatory Rural Appraisal (PRA).

Cavestro, Luigi. 2003. P.R.A. - Participatory Rural Appraisal Concepts Methodologies and
Techniques.

Adebo, Simon. 2000. Training Manual on Participatory Rural Appraisal. Addis Ababa.

Pemerintah Propinsi Bengkulu, 2008. Laporan Status Lingkungan Hidup Propinsi Bengkulu Tahun
2008. Bengkulu.

Arikunto. 2003. Manajemen Penelitian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Senoaji, G. 2007. Bagaimana Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Bukit Daun Memanajemen
Kawasan Hutannya di Bengkulu. Media Ekonomi, Jurnal Ekonomi, Manajemen dan
Akutansi , Vol VI. No. 1 Mei 2007, p 18 – 23.

Senoaji, G. 2009. Kontribusi Hutan Lindung terhadap Pendapatan Masyarakat Desa di sekitarnya.
Studi Kasus di Desa Air Lanang, Bengkulu. Jurnal Manuasia dan Lingkungan, Volume
16 No. 1 Bulan Maret 2009. Yogyakarta.

Senoaji, G., dan Ridwan. 2006. Studi Identifikasi Tekanan Penduduk ke Dalam Hutan di Daerah
Interaksi Hutan Lindung Bukit Daun Kabupaten Kepahia

Edwar, M. 2003. Tinjauan dan Kontribusi Agroforest Berbasis Tanaman Kopi terhadap Pendapatan
Masyarakat Desa Hutan (Studi Kasus di Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu).
Thesis Program Pacsasarjana Universitas Gadjah mada. Yogyakarta. (tidak dipublikasi).

Senoaji, G. 2005. Perilaku Masyarakat Desa Sekitar Hutan ditinjau dari Aspek Sosial, Ekonomi,
dan Budaya di Kawasan Hutan Lindung Bukit Daun, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu.
Laporan Penelitian Dasar Dirjen DIKTI. Jakarta.

Chambers. R. 1992. Rural Appraisal: Rapid, Relaxed, and Participatory. Sussex, UK: Institute of
Development Studies.
Senoaji, G. 2011. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Bukit Daun di
Bengkulu. Sosiohumaniora, Volume 13, No. 1, Maret 2011 : 1 – 17.

Anda mungkin juga menyukai