PENDAHULUAN
1
kesejahteraan rakyat. Sehubungan dengan itu upaya pembangunan perumahan dan
pemukiman terus ditingkatkan untuk menyediakan perumahan dengan jumlah yang
makin meningkat, dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat terutama
golongan yang berpenghasilan rendah dan dengan tetap memperhatikan
persyaratan, minimum bagi perumahan dan pemukiman yang layak, sehat, aman,
dan serasi.
2
1.2 Rumusan Masalah
Kelurahan Malalayang I
Kelurahan Malalayang II
Kelurahan Malalayang I Barat
Kelurahan Malalayang I Timur
Kelurahan Winangun I
Kelurahan Winangun II
Kelurahan Bahu
Kelurahan Kleak
Kelurahan Batukota
Batas administrasi Kecamatan malalayang yaitu:
3
1.5 Kerangka Pemikiran
Perkembangan
Perubahan Tata Guna
Permukiman
Lahan
Morfologi Kota
Kesimpulan
4
BAB 11
KAJIAN PUSTAKA
Morfologi terdiri dari suku kata yaitu morf yang berarti bentuk dan logos
yang berarti ilmu. Secara sederhana morfologi kota berarti ilmu yang
mempelajari produk bentuk-bentuk fisik kota secara logis. Morfologi
merupakan pendekatan dalam memahami bentuk logis sebuah kota sebagai
produk perubahan sosio-spatial. Disebabkan karena setiap karateristik sosial-
spasial di setiap tempat berbeda-beda maka istilah morfologi sangat erat
kaitannya dengan istilah tipologi. Secara sederhana, morfologi berarti ilmu
tentang bentuk. Dalam kontek perkotaan, Carmona et al (2003: 61) berpendapat
bahawa morfologi adalah studi mengenai Form dan Shape dari lingkungan
permukiman.
Form berarti bentuk yang dapat diamati dan merupakan konfigurasi dari
beberapa objek, sementara Shape adalah fitur geometrik atau bentuk eksternal
dan outline dari sebuah benda. Meskipun memiliki pengertian yang hampir
sama, kedua kata ini (form dan shape) memiliki pemahaman dasar yang bebeda,
dimana form menegaskan bentuk yang terdiri dari berbagai unsur dan masing-
masing unsur dapat diamati secara jelas karakteristiknya serta secara visual,
masing-masing unsur tersebut berada dalam satu kesatuan (konfigurasi).
Sebagai contoh: sebuah koridor jalan secara visual terbentuk dari deretan
bangunan dengan ketinggian tertentu dan tersusun dalam jarak tertentu dari
batas jalan. Shape menekankan bentuk eksternal dari Form, atau dengan kata
lain siluet yang dalam konteks Townscape sering disebut sebagai skyline.
Sekumpulan objek yang terletak di atas permukaan tanah akan membentuk pola
tertentu (shape), seperti linier, grid, konsentris, radial, klaster, dan lain
sebagainya.
5
Kompleksitas dalam pertumbuhan permukiman kemudian membentuk unit-unit
lingkungan yang lebih besar yaitu kota. Jadi lingkungan kota tidak akan dapat
dipisahkan dari lingkungan permukiman.
Morfologi bukan kajian yang statis, dimana hanya mempelajari bentuk fisik
seperti ketinggian bangunan dalam suatu bentang kota (townscape), melainkan
justru berusaha menggali proses yang melatarbelakangi perubahan dan
dinamika terbentuknya lingkungan perkotaan dengan lingkungan fisik sebagai
representasinya. Dengan demikian dengan mempelajari morfologi, seorang
perancang kota dapat tanggap akan keberadaan pola-pola lokal dari proses
terbentuk dan terbangunnya suatu lingkungan perkotaan (Carmona et al. 2003:
61).
6
e. Kota menurut Gallion and Eisner (1992: 64) adalah suatu laboratorium
tempat pencarian kebebasan dilaksankan dan percobaan-percobaan diuji
mengenai bentukan-bentukan fisik. Bentukan-bentukan fisik kota adalah
perwujudan kehidupan manusia, polanya dijalin dengan pikiran dan tangan
yang dibimbing oleh suatu tujuan. Bentukan fisik kota terjalin dalam aturan
yang juga mengemukakan lambang-lambang pola-pola ekonomi, sosial,
politis, dan spiritual serta peradaban masyarakatnya. Kota adalah tempat
mengaduk kekuatan-kekuatan budaya dan rancangan kota merupakan
ekspresinya.
7
linkage dikemukakan tiga pendekatan diantaranya linkage visual. Dalam
linkage visual dua atau lebih banyak fragmen (bagian atau pecahan sesuatu)
kota dihubungkan menjadi satu kesatuan secara visual.
Herbert, lingkup kajian morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk
fisikal dari lingkungan kekotaan yang dapat diamati dari kenampakannya,
meliputi unsur:
1. Sistem jalan-jalan yang ada,
2. Blok-blok bangunan baik daerah huniam ataupun bukan
(perdagangan / industri),
3. Bangunan-bangunan individual.
Smailes menekankan lingkup kajian morfologi meliputi:
1. Penggunaan lahan (land use),
2. Pola-pola jalan (street use)
3. Tipe-tipe bangunan.
Johnson (1981) memfokuskan pada kajian:
1. Rencana jalan (The plan of streets),
2. Tata bangunan (Buildings), dan
3. Kaitan fungsional jalan dan bangunan (Fungtions performed by
its streets, and buildings)
Le Corbusier, Charta Athen memfokuskan Kajian kota sebagai konfigurasi
massa, sedangkan Rob krier mengemukakan kota sebagai konfigurasi
ruang. Studi ini dikelompokan dalam teori Figure-ground yang
memfokuskan pada hubungan perbandingan tanah/lahan yang ditutupi
bangunan sebagai massa yang padat (figure) dengan void-void terbuka
(ground). Teori dan metode ini meliputi analisis:
1. Pola
2. Tektur
3. Solid-void sebagai elemen perkotaan
8
2.3 Komponen Morfologi Kota
9
lain sebagainya; suatu distrik terdiri dari bangunan-bangunan dan
ruang terbuka, dan lain sebagainya.
2. Struktur internal elemen, yaitu posisi atau hubungan antara elemen
desain, misalnya sebaran ruang terbuka hijau menurut sebaran
bangunan, dan lain sebaginya. Hubungan antara bentuk dan
kegunaan, yaitu komponen yang menjelaskan bagaimana dimensi
dan proporsi ruang serta komponen fisik lainnya dapat
mengakomodasi fungsi ruang.
3. Aspek formal atau perwujudan fisik, yaitu bagaimana desain
bangunan dan kawasan secara fisik mencerminkan makna dan
kegunaan, misalnya pemakaian tutupan lahan berupa rumput tanpa
pagar pada suatu ruang terbuka menandakan bahwa rumput dapat
dipergunakan sebagai alas duduk atau tempat beristirahat, berbeda
halnya apabila kawasan berumput ini diberi pagar vegetasi atau
komponen pembatas lainnya.
10
sistem aktivasi (activity system) yang sangat menentukan pola dan
arah pertumbuhan kawasan (Kaiser, 1995). Komponen ini memiliki
tingkat temporalitas yang sangat tinggi dalam hal dapat dengan
mudah berubah, terutama dikaitkan dengan nilai ekonomi yang
dimilikinya. Guna lahan sangat mempengaruhi perwujudan fisik
kawasan, terutama dalam menentukan pengembangan kawasan
terbangun dan tidak tebangun. Beberapa penelitian dan literatur
menjelaskan bagaimana tingkat pencampuran (mixture) guna lahan
sangat mempengaruhi vitalitas kawasan, nilai ekonomi dan
beberapa komponen kualitas lingkungan lainnya (Choi dan Sayyar,
2012; Barton et al, 2003:194).
2. Struktur bangunan, komponen ini merupakan representasi dari
tipologi dalam analisis morfologi dan dapat dibahas dalam dua
aspek, antara lain penataan massa dan arsitektur banguna. Penataan
massa terkait dengan bagaimana bangunan tersebar di dalam tapak
berikut kepadatan dan intensitasnya sementara arsitektur dibangun
lebih kepada perwujudan fisik ruang dan bangunan yang
merepresentasikan budaya, sejarah dan kreatifitas suatu komunitas.
3. Pola plot, komponen ini merupakan fungsi derivative dari guna
lahan, sebagai jalur penghubung, jaringan jalan sangat
mempengaruhi efisiensi dan efektifitas fungsi kawasan, jaringan
jalan sebagai representasi dari ruang publik dan dianggap sebagai
generator inti dari vitalitas kawasan sebagaimana dijelaskan dalam
teori space syntax (Hillier dan Hanson, 1984; Hillier, 2007)
C. Komponen Typo-Morphology.
Moudon menjelaskan bahwa pendekatan Typo-Morphology merupakan
refleksi dari dialektik antara tipologi bangunan dengan morfologi kota.
Tradisi dialektik ini menhendaki adanya analisis untuk menemukan
kebenaran mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam perwujudan
lingkungan bangunan secara horisontal (plan / morphology) dan vertikal
(perwujudan desain arsitektur).
11
Dengan demikian, pendekatan ini mempergunakan komponen-
komponen yang dipergunakan dalam pendekatan tipologi dan morfologi.
Dalam kajian kontemporer mengenai perkotaan, pendekatan ini dapat
dipergunakan untuk menguraikan komponen place dengan memasukan
komponen baru yaitu persepsi mengenai makna. Carmona et al (2003: 89)
menjelaskan konsep yang dipergunakan kevin Lynch dalam menguraikan
komponen place dengan mempergunakan tiga buah atribut, yaitu:
Identitas
Struktur
Makna.
Ketiga atribut ini secara jelas mendefinisikan susunan ruang perkotaan
dalam lima tipologi, yaitu:
District,
Edge,
Path
Landmark
Node
(Zhand, 1999).
12
mempergunakan peta, sebaran potensi fisik alamiah dan buatan dapat dengan
mudah diobservasi dan dianalisis. Guna lahan, kepadatan bangunan, ukuran dan
penguasaan lahan serta jaringan jalan dapat dipetakan dan dijelaskan secara logis
hubungannya satu sama lain. Sama halnya dengan pendekatan Conzenian,
pendekatan tipo-morfologi juga bekembang dengan adanya ilmu dan teknik
pemetaan. Dalam pendekatan ini, arsitektur kota dipandang sebagai satu kesatuan
dengn komponen teknis (firmness), komponen fungsional (commodity) dan estetika
(delight).
Konsep yang diperkenalkan oleh Vitruvius ini (Adams dan Tiesdell, 2013)
masih dipandang relevan untuk menanggapi kompleksitas permasalahan perkotaan
dimana secara geografis, aspek-aspek fisik perkotaan harus dapat diparalelkan
dengan aspek-aspek kognitif penghuninya. Dalam pendekatan tipo-morfologi,
pertumbuhan kota harus dapat dikendalikan sedemikian rupa agar pemahaman
(kognisi) penghuni akan identitas, struktur dan makna ruang dapat seimbang dengan
pertumbuhan motor pergerak ekonomi dan aktivitas perkotaan. Dewasa ini telah
berkembang beberapa teori kontemporer yang berusaha menjelaskan bagaimana
ruang secara geografis dapat bertumbuh dan mempengaruhi (atau dipengaruhi) oleh
perilaku penghuninya. Para environmentalis mempergunakan iklim mikro (micro
climate) sebagai salah satu parameter perubahan dan pertumbuhan kota yang
diyakini mempengaruhi kognisi dan aktivitas penghuninya, selain juga
mempengaruhi keberlanjutan (sustainability) lingkungan.
13
Pendekatan lain yang merupakan bagian dari perkembangan ilmu
morfologi adalah teori space syntax (Hillier dan Hanson, 1984; Hillier 2007;
Carmona et al, 2003: 171). Teori ini memberi penjelasan logis terhadap
konfigurasi ruang dalam kaitannya dengan perilaku pergerkan manusia.
Pendekatan ini menganggap konfigurasi ruang sebagai akar atau generator
pertumbuhan kawasan yang secara logis berkaitan dengan presepsi dan
perilaku penghuni serta berimplikasi pada beberapa aspek ekonomi ruang
kota seperti nilai guna lahan. Dalam kajian perkotaan kontemporer,
penelitian konfigurasi ruang dengan mempergunakan pendekatan space
syntax diarahkan untuk membangun konsep yang kuat dalam
menggabungkan kawasan lama (historic district) dengan kawaasan baru
(Karimi, 2000). Susunan ruang dianggap sebagai bentuk warisan budaya
yang mengalami perkembangan dalam jangka waktu yang lama. Dalam hal
ini, budaya tidak dianggap sebagai artefak yang mati (Hillier, 2007;30),
tetapi unsur organik yang harus dijaga integritasnya dengan lingkungan
yang baru agar tujuan fungsional, social, budaya, dan lingkungan dalam
pembentukan kawasan perkotaan dapat tercapai.
14
2.5 Kajian Bentuk-bentuk Kota
A. Bentuk-bentuk kompak
Terdiri atas:
Bentuk bujur sangkar (the square cities)
Bentuk empat persegi panjang (the rectangular cities),
Bentuk kipas (fan shaped cities),
Bentuk bulat (rounded cities),
Bentuk pipa (ribbon shaped cities),
Bentuk gurita atau bintang (octopus / star shaped cities),
15
TABEL 2.1 BENTUK – BENTUK KOMPAK
EKSPRESI KERUANGAN DARI MORFOLOGI KOTA
Gambar/Bentuk Uraian
Kota berbentuk bujur sangkar
menunjukkan adanya kesempatan
Bentuk bujur sangkar (the square cities)
perluasan kota ke segala arah yang relatif
seimbang dan kendala fisikal relatif tidak
begitu berarti. Hanya saja adanya jalur
transportasi pada sisi-sisi memungkinkan
terjadinya percepatan pertumbuhan areal
kota pada arah jalur tersebut.
Dengan melihat bentuk ini mengesankan
Bentuk empat persegi panjang (the
bahwa dimensi memanjang sedikit lebih
rectangular cities)
besar daripada dimensi melebar. Hal ini
dimungkinkan karena adanya hambatan-
hambatan pada salah satu sisinya.
Hambatan-hambatan tersebut berupa
lereng yang terjal, perairan, gurun pasir,
hutan.
16
Bentuk ini sebenarnya mirip dengan
bentuk empat persegi panjang namun
Karena dimensi memanjangnya jauh lebih
besar dari pada dimensi melebar, maka
Bentuk pipa (ribbon shaped cities)
dimensi ini menempati klasifikasi
tersendiri dan menggambarkan bentuk
pita. Jelas terlihat bahwa peranan jalur
memanjang sangat dominan dalam
mempengaruhi perkembangan areal
kekotaannya, serta terhambatnya
perluasan areal ke samping. Biasanya
bentuk semacam ini berada pada sepanjang
lembah pegunungan atau sepanjang jalur
transportasi darat utama.
Peran jalur transportasi pada bentuk ini
Bentuk gurita atau bintang (octopus /
sangat dominan sebagaimana bentuk pita,
star shaped cities)
namun pada bentuk gurita jalur
transportasi tidak hanya satu jalur saja
tetapi terdapat beberapa jalur ke luar kota.
Hal ini bias terjadi menerus apabila tidak
ada hambatan yang berarti pada jalur
tersebut.
Bentuk kota seperti ini merupakan bentuk
Bentuk bulat (rounded cities)
yang paling ideal daripada suatu kota,
karena kesempatan perkembangan areal
kearah luar dapat dikatakan seimbang.
Jarak dari pusat kota kea rah bagian
luarnya sama dan tidak ada kendala-
kendala fisik yang berarti pada pada sisi-
sisi luar kotanya.
Sumber: Yunus (1999)
17
B. Bentuk-bentuk tidak kompak
Terdiri atas:
Bentuk terpecah (fragmented cities),
Bentuk berantai (chained cities),
Bentuk terbelah (split cities),
Bentuk stellar (stellar cities).
Gambar/Bentuk Uraian
Fragment Cities (terpecah), bentuk
Bentuk terpecah (fragmented cities)
awalnya adalah bentuk kompak namun
dalam skala yang kecil, dan akhirnya
saling menyatu dan membentuk kota yang
besar. Bentuk ini berkembang, namun
perluasan areal kota tidak langsung
menyatu dengan kota induk (membentuk
enclaves) pada daerah-daerah pertanian di
disekitarnya. Pada negara berkembang,
enclaves merupakan permukiman -
permukiman yang berubah dari sifat
pedesaan menjadi perkotaan.
Chained Cities (berantai), bentuk ini
Bentuk gurita atau bintang (octopus /
terpecah namun hanya terjadi di sepanjang
star shaped cities)
rute tertentu. Jarak antara kota induk dan
kenampakan-kenampakan kota baru tidak
terlalu jauh, maka beberapa bagian
membentuk kesatuan fungsional yang
sama (khususnya dibidang ekonomi).
Bentuk ini juga bisa disebut Ribbon City
dengan skala yang besar.
18
Split Cities (terbelah), bentuk ini
Bentuk terbelah (split cities)
menggambarkan bentuk kota yang kompak
namun sektor terbelah oleh perairan yang
lebar. Pada perpotongan ini biasanya
dihubingkan oleh kapal/jembatan. Contoh
kota yang menerapkan bentuk ini adalah
kota Buda (barat) dan Pest (timur) di
sungai Danube, sehingga dikenal sebagai
kota Budapest.
Stellar Cities (satelit), bentuk kota ini
Bentuk stellar (stellar cities)
biasanya didukung oleh teknologi
transportasi yang maju dan juga
komunikasi yang maju. Karena
modernisasi maka terciptalah megapolitan
kota besar, yang dikelilingi oleh kota
satelit.
Aspek perkembangan dan pengembangan wilayah tidak dapat lepas dari adanya
ikatan-ikatan ruang perkembangan wilayah secara geografis. Menurut Yunus
(1981) proses perkembangan, ini dalam arti luas tercermin, Chapin (dalam
Soekonjono, 1998) mengemukakan ada 2 hal yang mempengaruhi tuntutan
kebutuhan ruang yang selanjutnya menyebabkan perubahan penggunaan lahan
yaitu:
Secara teoritis dikenal tiga cara perkembangan dasar di dalam kota, dengan tiga
istilah teknis, yaitu perkembangan horizontal, perkembangan vertikal, serta
perkembangan interstisial (Markus Zahnd, perancangan kota secara terpadu,
2006;25)
19
A. Perkembangan horizontal
Cara perkembangannya mengarah ke luar. Artnya, daerah bertambah,
sedangkan ketinggian dan kuantitas lahan terbangun (coverage) tetap sama.
Perkembangan dengan cara ini sering terjadi dipinggir kota, dimana lahan
masih lebih murah dan dekat jalan raya yang mengarah ke kota (dimana
banyak keramaian).
B. Perkembangan vertikal
Cara perkembangannya mengarah ke atas. Artinya, daerah pembangunan
dan kuantitas lahan tebangun tetap sama, sedangkan ketinggian bangunan-
bangunan bertambah. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pusat
kota (dimana harga lahan mahal) dan pusat-pusat perdagangan yang
memiliki potensi ekonomi.
C. Perkembangan interstisial
Cara perkembangannya bergerak ke dalam. Artinya, daerah dan ketinggian
bangunan- bangunan rata-rata tetap sama, sedangkan kuantitas lahan
terbangun (coverage) bertamabah. Perkembangan dengan cara ini sering
terjadi di pusat kota dan antara pusat kota dan pinggir kota yang
kawasannya sudah dibatasi dan hanya dapat di padatkan.
Wilayah Malalayang merupakan daerah pinggiran dari kota Manado yang memiliki
kecenderungan untuk terus berkembang sebagai wilayah permukiman yang
tentunya juga akan mengalami perubahan guna lahan dari waktu ke waktu.
Berdasarkan RTRW Kota Manado 2014-2034 pengembangan kawasan peruntukan
perumahan, kecamatan Malalayang termasuk perumahan dangan kepadatan sedang
(KDB 45%-59%) pengembangan perumahan diarahkan secara vertikal berupa
rumah susun, kondominium, dan apartemen. Untuk Pengembangan kawasan
perdagangan dan jasa berskala kawasan, kecamatan Malalayang mencakup pusat-
pusat pembelanjaan utama seperti kompleks pertokoan dan mall, pasar, bank, dan
pelayanan-pelayanan jasa lainnya yang berskala wilayah dan untuk kawasan
20
perkantoran swasta kecamatan Malalayang termasuk kawasan perkantoran swasta
dan penembangan kawasan industri. Dalam peraturan daerah Kota Manado No 1
tahun 2014 tentang RTRW Kota Manado tahun 2014-2034 dalam Pasal 38 tentang
Pola pemanfaatan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf
b, meliputi, kawasan peruntukan perumahan dan Kawasan peruntukan perdagangan
dan jasa yaitu:
Paragraf 1 Pasal 39 Tentang Kawasan Peruntukan Perumahan yaitu:
1. Pengembangan kawasan peruntukan perumahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 huruf a, meliputi:
a) perumahan dengan kepadatan sangat tinggi (KDB lebih besar dari
75%) meliputi perumahan di Kecamatan Wenang, Sario, Singkil,
dan Tuminting dengan luas kurang lebih 266 Ha;
b) perumahan dengan kepadatan tinggi (KDB 60%-75%) meliputi
perumahan di sebagian Kecamatan Wanea dan sebagian
Kecamatan Tikala dan Kecamatan Paal Dua, dengan luas kurang
lebih 577 Ha;
c) perumahan dengan kepadatan sedang (KDB 45%-59%) meliputi
perumahan di sebagian Kecamatan Wanea, sebagian Kecamatan
Tikala dan Kecamatan Paal Dua, dan Kecamatan Malalayang,
sebagian Kecamatan Mapanget dengan luas kurang lebih 600 Ha;
dan
d) perumahan dengan kepadatan rendah (KDB 30%-44%) meliputi
perumahan di sebagian Kecamatan Mapanget, Kecamatan
Bunaken dan Kecamatan Bunaken Kepulauan dengan luas kurang
lebih 667 Ha.
e) Pengembangan perumahan diarahkan secara vertikal berupa
rumah susun, kondominium dan apartemen, di Kecamatan Sario,
Kecamatan Wanea, Kecamatan Wenang, Kecamatan Singkil, dan
Kecamatan Tuminting dan Kecamatan Malalayang.
Paragraf 2 Pasal 40 Tentang Kawasan Perdagangan dan Jasa yaitu:
Kawasan perdagangan dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
huruf b meliputi:
21
a) Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa berskala regional dan
kota di kawasan pusat kota lama di sebagian Kecamatan Wenang
dan kawasan reklamasi di Kecamatan Sario dan sebagian Kecamatan
Wenang;
b) Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa berskala kawasan di
wilayah Kecamatan Wanea, Kecamatan Malalayang, Kecamatan
Sario, Kecamatan Tikala, Kecamatan Paal Dua, Kecamatan Singkil,
Kecamatan Tuminting, dan Kecamatan Mapanget;
c) Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa pada pusat-pusat
pelayanan lingkungan sebagaimana tertuang dalam rencana struktur
ruang, terdiri atas :
1) pengembangan kawasan perdagangan dan jasa di kawasan
PPK yang berlokasi di kawasan Pusat Kota yang ada di
Kecamatan Malalayang, Kecamatan Sario, Kecamatan
Wenang dan Kecamatan Tuminting mencakup pusat-pusat
perbelanjaan utama seperti kompleks pertokoan dan mall,
pasar, bank, dan pelayanan-pelayanan jasa lainnya yang
berskala wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) huruf a;
2) pengembangan kawasan perdagangan dan jasa di kawasan
SPPK mencakup pusat perbelanjaan, pasar tradisional dan
pertokoan/ruko terbatas, lokasi SPPK seperti yang
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b;
3) pengembangan kawasan perdagangan dan jasa di kawasan
PPL mencakup tempat perdagangan pasar berskala lokal
dan pertokoan termasuk pasar tradisional, warung yang
terbatas, lokasi PPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) huruf c;
4) pengembangan kawasan super blok di kawasan Bailang di
Kecamatan Bunaken, di Kawasan Mapanget Barat-Pandu,
Kawasan Kairagi di Kecamatan Mapanget dan Kawasan
Ranomuut Kecamatan Paal Dua; dan
22
5) pengembangan kawasan reklamasi pantai Kecamatan
Malalayang dan Kecamatan Tuminting.
Paragraf 3 Pasal 41 Tentang Kawasan Perkantoran yaitu:
1. Kawasan perkantoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf c
meliputi:
a) perkantoran Pemerintah; dan
b) perkantoran Swasta
2. Kawasan perkantoran pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi:
a) pengembangan kantor pemerintah dan pemerintah provinsi di
Kecamatan Wanea dan Kecamatan Mapanget, pemerintah kota di
Kecamatan Tikala, dan Kecamatan Mapanget; dan
b) rencana dan pengembangan kantor pemerintah, pemerintah
provinsi dan pemerintah kota di Kecamatan Mapanget.
3. Kawasan perkantoran swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat dikembangkan di Kecamatan Wenang, Kecamatan Tikala,
Kecamatan Paal Dua, Kecamatan Mapanget, Kecamatan Tuminting,
Kecamatan Singkil, Kecamatan Malalayang, Kecamatan Sario dan
Kecamatan Wanea.
23
Gambar 2.1 Peta RTRW Pola Ruang Kota Manado Tahun 2014-2034
24
Gambar 2.2 Peta Eksisting Pola Ruang Kecamatan Malalayang (RTRW Kota Manado Tahun 2014 - 20134)
25
TABEL 2.3 PENELITIAN SEJENIS
26
Penelitian ini menggunakan Secara keseluruhan pusat kota jika
Amandus Identifikasi Pola Vol. 35, No. 1 analisa deskriptif kualitatif dilihat dari morfologi secara struktur
2 Jong Tallo, Morfologi Kota Tahun 2007 dengan maksud menganalisa pemerintahannya maka kawasan alun-
Yulia Pratiwi, (Studi Kasus:
berdasarkan karakteristik alun Tugu merupakan pusat
dIndri Astutik Sebagian Kecamatan
Klojen, kegiatan-kegiatan dalam pemerintahan kota Malang yang
Di Kota Malang) ruang yang mempengaruhi ditunjang dengan adanya fasilitas
faktor fisik suatu kota sebagai pendidikan, militer dan tentunya fasilitas
tempat pelaksanaan kegiatan perkantoran. Jika dilihat dari segi
dan bentuk-bentuk fisik fungsionalnya maka masing-masing
lingkungan yang diakibatkan kawasan memiliki bentuk ciri dan
oleh faktor non fisik dari karakteristik
terbentuknya suatu morfologi
kota. Analisa ini dilakukan
untuk mendapatkan suatu
keluaran berupa usulan suatu
pola morfologi kota jika
dilihat secara fisik.
27
Penelitian dilakukan di Perkembangan morfologi Kampung
Morfologi Kampung Vol. 6 No. 2,
Arief kawasan Kampung Kalengan Kalengan Bugangan
Kalengan Kelurahan Tahun 2013
Fadhilah, dengan luas ±7,5 Ha, terletak (dapat dibagi dalam 5 fase) erat kaitannya
3 Bugangan Kota
Titien Woro di dalam wilayah Kelurahan dengan lingkungan rumah tinggal
Semarang
Murtini, Bugangan, Kecamatan Bugangan.
Bambang Semarang Timur, Kota Perkembangan unit-unit usaha
Supriyadi. Semarang. Cakupan Kampung Kalengan dari fase I –
penelitian membahas ruang V mengindikasikan
kampung dalam lingkup perkembangan ke arah timur,
meso. Setelah melakukan seiring dengan pra-pasca
mini-tour dan dengan pembangunan Jalan Barito.
memperhatikan sasaran Pada Fase I-II, unit usaha
penelitian, diperoleh rumusan Kampung Kalengan berada di
unit analisis sebagai pengarah dalam lingkungan rumah tinggal.
penelitian dan dasar Pada fase III, sebagian unit usaha
pembentuk garis besar Kampung Kalengan berada di
pertanyaan pertanyaan dalam dalam lingkungan rumah tinggal
wawancara. Dirumuskan dan sebagian di tepi Jalan Barito,
bahwa kajian tentang ruang dan sebagian lagi mencoba
kampung tidak hanya membuka usaha di LIK
28
membicarakan elemen fisik, Bungangan Baru. Fase IV-V,
namun juga aspek nonfisik hampir seluruh unit usaha
seperti sosial, budaya, dan Kampung Kalengan berada di
ekonomi, sesuai keadaan sepanjang Jalan Barito.
kontekstual. Berikut yang Integrasi keruangan antara
menjadi unit analisis lingkungan rumah tinggal
penelitian. Bugangan dan unit usaha
Elemen perkembangan ruang Kampung Kalengan awalnya
kampung adalah kesatuan, kemudian
skema sirkulasi menjadi dua sisi keruangan,
penggunaan lahan namun tetap tidak dapat
massa bangunan dipisahkan.
Kajian morfologi dilakukan
melalui pendekatan historis
dengan metode kualitatif, di
mana objek penelitian tidak
akan dilepaskan dari
konteksnya dan dilihat dalam
kerangka holistik (Muhadjir,
1996).
29
TABEL 2.4 PENELITIAN SEBELUMNYA DI KECAMATAN MALALAYANG
30
1. Kesimpulan Tentang Kondisi
Sonny Tilaar, KAJIAN VOL 9 NO.3 Permukiman Terencana di Kota Manado
2 Octavianus H.A. TIPOMORFOLOGI November 2012 Pertumbuhan permukiman terencana di
Rogi, KAWASAN kota Manado merupakan salah satu
Alvin J. Tinangon PERMUKIMAN aspek yang signifikan mempengaruhi
TERENCANA morfologi kota, khususnya pada area
DI KOTA MANADO periferial.
Secara periodik dapat diamati adanya
trend dari rasio okupansi lahan per unit
rumah yang semakin meningkat.
Artinya, tipologi permukiman terencana
mulai bergeser pada tipe-tipe yang
memiliki figure ground yang lebih
“longgar”, dalam pengertian dominasi
komponen void (ruang luar) semakin
menonjol.
2. Kesimpulan Tentang Tipomorfologi
Kawasan Permukiman Terencana Di
Kota Manado: Studi Kasus Kawasan
Permukiman ALANDREW
31
Aspek tipologi kawasan :
Kawasan permukiman terencana
cenderung merupakan bentuk
alih guna lahan pertanian dan
perkebunan pada wilayah
periferial kota.
Aksesibilitas kawasan
permukiman terencana
cenderung berupa jalur jalan
baru yang dirintis pengembang
dan terkoneksi dengan jalur-
jalur jalan eksisting di sekitar
lokasi kawasan. Akses
umumnya berupa akses tunggal,
dengan pola sirkulasi keluar
masuk kawasan yang berciri
kuldesak.
Aspek morfologi kawasan :
Morfologi kawasan terutama
teridentifikasi pada tiga aspek
32
utama, masing-masing adalah
fisik unit hunian, figure ground
kawasan dan kondisi lingkungan
terbangun sekitar kawasan.
Dari aspek figure ground,
perubahan yang terjadi adalah
peralihan dominasi void ke solid
secara gradual, yang
menyiratkan peningkatan rasio
penutupan lahan oleh bangunan,
yang bermuara pada semakin
tingginya tingkat kepadatan
bangunan pada kawasan
3. Walaupun tidak begitu signifikan,
kondisi lingkungan sekitar kawasan
terlihat mengalami perubahan berupa
bertumbuhnya sejumlah unit bangunan
yang dihadirkan secara swadaya oleh
masyarakat di sekitar kawasan
33
1. Berdasarkan hasil pengamatan pada
Grenda Frecya Finda ANALISIS kawasan sepanjang koridor jalan Wolter
3
Bujung PERUBAHAN FUNGSI Monginsidi Kota Manado,
KAWASAN kecenderungan perubahan fungsi
SEPANJANG KORIDOR kawasan antara tahun 2004 – 2014
JALAN WOLTER daerah orientasi sebagai fungsi
MONGINSIDI KOTA permukiman mengarah pada fungsi
MANADO perdagangan barang dan jasa atau
cenderung mengarah pada aktivitas
komersil. Hal ini ditandai dengan
perubahan jumlah lahan terbangan
berdampingan dengan perubahan fungsi
bangunan yang berdiri pada wilayah
penelitian yang mengikuti koridor dan
lebih cenderung mengarah pada pusat
kota. Perubahan fungsi bangunan sendiri
dikategorikan menjadi perubahan fungsi
hunian menjadi hunian sekaligus
komersil, perubahan bangunan tanah
kosong menjadi bangunan komersil dan
34
perubahan jenis usaha satu ke usaha
lainnya. Perubahan fungsi yang paling
dominan adalah perubahan hunian
menjadi hunian sekaligus bangunan
komersil
2. Melihat perubahan fungsi kawasan yang
terjadi pada kawasan sepanjang koridor
Jalan Wolter Moninsidi Kota Manado
maka ditemukan faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan tersebut, yaitu
faktor yang pertama dan paling
berpengaruh adalah faktor aksesibilitas.
Faktor lainnya yang juga mempengaruhi
perubahan fungsi kawasan sepanjang
koridor Jalan Wolter Monginsidi Kota
Manado adalah faktor ekonomi, faktor
daya dukung lahan, faktor
perkembangan kota dan faktor kebijakan
pemerintah.
35
TABEL 2.5 TABEL KOMPARASI ELEMEN MORFOLOGI KOTA
Smailes (1995) 2. Pola-pola jalan (street use) pendapat yang sama dengan Smailes (1955) dimana
36
1. Rencsns jalan (The plan of “plan, architectural style and land use”. Jhohnson
streets), (1981) mengemukakan 3 komponen yang bebeda
2. Tata bangunan (Buildings), ,yaitu ;(1) the plan of streets; (2) buildings and (3)
dan functions performed by its streets, and buildings. Di
Johnson (1981)
3. Kaitan fungsional jalan dan sini terlihat bahwa unsur penggunaan lahan secara
bangunan (Fungtions eksplisit tidak disebutkan, karena “land use”
performed by its streets, kekotaan sendiri pada hakekatnya merupakan
and buildings) pencerminan fungsi daripada bangunan-bangunan
dan jalan-jalan yang ada pada suatu areal, dari ketiga
unsur tersebut “plan” menunjukan unsur yang paling
jarang mengalami perubahan, kemudian unsur yang
kedua (architectural style) dan unsur yang paling
dinamis adalah “land use”. Untuk analisis
“townscape” lebihmenekankan pada analisis proses
dan bukan analisis pola.
37
TABEL 2.6 TABEL VARIABEL MORFOLOGI KOTA
VARIABEL ANALISIS
Komponen ini dianggap sebagai generator sistem aktivitas (activity system) yang sangat
menentukan pola dan arah pertumbuhan kawasan (Kaiser, 1995). Komponene ini memiliki
tingkat temporalitas yang sangat tinngi dalam hal dapat literature dengan mudah berubah,
terutama dikaitkan dengan nilai ekonomi yang dimilikinnya. Guna lahan sangat
Penggunaan Lahan mempengaruhi perwujudan fisik kawasan, terutama dalam menentukan pengembangan
kawasan terbangun dan tidak terbangun. Beberapa penelitian dan literature menjelaskan
bagaimana tingkat pencampuran (mixture) guna lahan sangat mempengaruhi vitalitas
kawasan, nilai ekonomi dan beberapa komponen kualits lingkungan lainnya (Choi dan
Sayyar, 2012; Barton et al, 2003:194).
Komponen ini merupakan representasi dari typology dalam analisis morfologi dan dapat
dibahasa dalam dua aspek, antara lain penataan massa dan arsitektur bangunan. Penataan
Sistem bangunan massa terkait dengan bagaimana bengunana tersebar di dalam tapak berikut kepadatan dan
intensitasnya, sementara arsitektur bangunan lebih perwujudan fisik ruang dan bangunan
yang merepresentasikan budaya, sejarah dan kreatifitas suatu komunitas.
Komponene ini dapat dibahas dari aspek ukuran (dimensi) dan sebarannya sebarannya.
Ukuran plot ini mempengaruhi intensitas pemanfaatan lahannya sementara sebaran plot
Pola Plot
akan mempengaruhi pembentukan jaringan penghubung, Secara umum, pola plot ini
38
sangat dipengaruhi oleh potensi alamiah terutama kontur dan kondi geologi, secara
hokum, plot dibatasi oleh batas kepemilikan yang sangat mempengaruhi pola penguasaan,
pemanfaatan dan pengelolaan ruang.
Komponene ini merupakan fungsi derivatif dari guna lahan, sebagai jalur penghubung,
jaringan jalan sangat mempengaruhi efisiensi dan efektifitas fungsi kawasan. Jaringan
Jaringan Jalan jalan sebagai representasi dari ruang publik dianggap sebagai generator inti dari vitalitas
kawasan sebagaimana dijelaskan dalam teori space syntax (Hillier dan Hanson, 1984;
Hillier, 2007).
39
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
40
Gambar 3.1 Peta Administrasi Kecamatan Malalayang tahun 2017
41
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan Analisis spasial. Analisis spasial ialah suatu
teknik atau proses yang melibatkan sejumlah fungsi hitungan dan evaluasi logika
matematis yang dilakukan terhadap data spasial dalam rangka untuk mendapatkan
ekstraksi, nilai tambah, atau informasi baru yang juga beraspek spasial. Oleh
karena luas lingkupnya, banyak bahasan yang dapat dicakup olehnya. Demikian
pula halnya dengan ArcGIS yang kaya akan fungsi-fungsi spasial. Analisis dalam
SIG memiliki beberapa metode pendekatan. Ada dua metode pendekatan yang
secara umum digunakan, yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitaf
(Sadahiro, 2006)
Metode penelitian kualitatif dapat diterapkan sebagai salah satu metode
analisis dalam Sistem Informasi geografis. Data yang dipergunakan merupakan
data spasial yang memiliki klasifikasi data yang sifatnya kualitatif. Contoh peta
yang memiliki tingkatan data kualitatif adalah peta penggunaan lahan.
42
2. Perangkat lunak (Software)
Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah
perangkat lunak yang berbasis SIG, yaitu software ArcView GIS dan
ArcGIS Version 10.1
3. Alat lapangan yang digunakan terdiri atas:
a) GPS (Global Positioning System), GPS dalam penelitian ini
digunakan untuk mengetahui titik koordinat dari objek
penelitian. Titik koordinat ini sangat penting dalam proses
pengolahan peta digital.
b) Kamera, digunakan untuk mengambil gambar objek penelitian
di lapangan yang sesuai dengan sasaran penelitian.
Metode Pengumpulan
No Jenis Data Sumber
Data
Data Primer
Penggunaan Lahan pengamatan
Fungsi bangunan langsung/observasi,
1 Pola jaringan jalan Lokasi Penelitian
survei lapangan dan
dokumentasi.
Data Sekunder
Data Penduduk Studi pustaka BPS Kota Manado
Peta RTRW Kota Manado Studi pustaka BAPEDA
2014 – 2034
Peta administrasi Studi pustaka BAPEDA
Peta Penggunaan Lahan Studi pustaka BAPEDA
2 Peta Topografi Studi pustaka BAPEDA
Peta kelerengan Studi pustaka BAPEDA
Pete Jenis Tanah Studi pustaka BAPEDA
Peta Curah Hujan Studi pustaka BAPEDA
Peta jaringan jalan
Studi pustaka BAPEDA
43
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting dalam suatu penelitian
karena suatu penelitian tidak akan berjalan tanpa adanya data. Pengumpulan data
adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperolah data yang
diperlukan (Nazir, 2005:174).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi merupakan cara pengumpulan data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya (Suharsimi Arikunto,
2002:206). Teknik dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk
mendapatkan data sekunder mengenai kondisi umum daerah penelitian,
keadaan dan penggunaan lahan yang ada, peta lokasi daerah penelitian, serta
data-data dokumentasi lainnya yang diperlukan dalam penelitian ini.
Observasi lapangan
Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat atau mengamati
perubahan fenomena perkembangan kawasan khususnya kawasan
permukiman Kecamatan Malalayang yang kemudian dapat dilakukan
penilaian atas perubahan tersebut. Peneliti berperan sebagai observer
dengan melihat objek dan kepekaan mengungkapkan serta membaca
permasalahan yang terjadi. Teknik pengamatan/observasi ini dipilih
ditentukan digunakan untuk menjelaskan dinamika pengaruh
perkembangan permukimana terhadap perubahan morfologi kota.
Teknik Survei
Data dibutuhkan untuk keperluan perencanaan, pelaksanaan/penentuan
kebijakan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan. Oleh sebab itulah penting
untuk dilakukan pengumpulan data guna menunjang kegiatan tersebut. Saat
ini telah dilakukan berbagai cara pengumpulan data dan salah satu yang
terkenal dan sering digunakan adalah metode survei. Survei adalah teknik
pengumpulan data dengan mengambil sebagian objek populasi, tetapi dapat
mencerminkan populasi dengan memperhatikan keseimbangan antara
jumlah variabel, akurasi, tenaga, waktu dan biaya. Teknik ini dilakukan
44
untuk melihat langsung kondisi variabel penelitian di lapangan, dalam hal
ini adalah Perkembangan Permukiman terhadap Morfologi Kota, kecamatan
Malalayang. Data yang diharapkan dari teknik pengumpulan data ini adalah
data penggunaan lahan terbangun dan tidak terbangun di kecamatan
Malalayang.
45
TABEL 3.2 Variabel Penelitian
No Parimeter Variabel Metode Analisis Analisis
46
Lahan Tidak Terbangun
Perkebunan
Perkuburan
Kolam
Tanah Kosong
47
BAB IV
HASIL DAN KESIMPULAN
52
2% 2%
2% 3%
Malalayang 2
5% 23% Malalayang 1
Malalayang 1 Barat
11% Malalayang 1 Timur
Winangun 1
Winangun 2
Bahu
22%
30% Kleak
Batu Kota
53
Gambar 4.2 Peta Administrasi Kecamatan Malalayang Tahun 2017
54
4.1.2 Kondisi Topografi dan Kemiringan Lereng Kecamatan Malalayang
Berdasarkan kondisi topografi, Kecamatan Malalayang berada pada kisaran lereng
yang sangat bervariasi terdiri atas kisaran lereng 8-15%, 15-25%, 25-45% dan > 45%.
kemiringan lereng di Kecamatan Malalayang didominasi oleh kemiringan lereng 0-8
% seluas 1413.15 Ha, kemudian kemiringan lereng yang tidak mendominasi berada
pada kemiringan lereng >40 % seluas 1.31Ha. Dengan demikian pada kawasan tertentu
di Kecamatan Malalayang, sebagian wilayahnya sulit untuk dilaksanakan kegiatan
pembangunan terutama pada lokasi yang berada pada kisaran lereng > 45% sehingga
peruntukannya ditetapkan sebagai kawasan lindung. Berdasarkan peta penggunaan
lahan permukiman Kecamatan Malalayang, didominasi oleh permukiman yang berada
pada kemiringan lereng 0-8 % seluas ±736.65 Ha kemudian penggunaan lahan
permukiman yang tidak mendominasi berada pada kemiringan lereng 25-40 % seluas
±32.57 Ha.
55
Tabel 4.3 Luas Kelerengan Kecamatan Malalayang
2% 0%
11%
0-8%
8-15%
15-25%
25-45%
87%
Gambar 4.3 Presentase luas Kelerengan Kecamatan Malalayang (Hasil Analisis Tahun 2017)
2017
56
Gambar 4.4 Peta Topografi Kecamatan Malalayang (hasil Analisis Tahun 2017)
57
Gambar 4.5 Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Malalayang (Hasil Analisis Tahun 2017)
2017
58
4.1.3 Jenis Tanah Kecamatan Malalayang
Jenis tanah yang terdapat di kecamatan Malalayang ada dua jenis yaitu jenis tanah
aluvial dan jenis tanah latosol, jenis tanah aluvial biasanya terdapat di bagian
dataran rendah yaitu sekitaran pesisir, sungai, dan sebgainya. Sehingga untuk
kepekaan terhadap ancaman longsor bersifat tidak peka, sedangkan jenis tanah
latosol terdapat pada dataran tinggi yaitu bagian perbukitan maupun pegunungan.
Dan untuk kepekaan terhadap ancaman longsor bersifat agak peka. Untuk jenis
tanah yang mendominasi di kecamatan Malalayang adalah jenis tanah latosol atau
latosol dengan luas area yaitu 1275.96 ha, dan jenis tanah alluvial dengan luas area
yaitu 357.42 ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel jenis tanah dan peta
jenis tanah kecamatan Malalayang dibawah ini.
59
Tabel 4.5 Luas Keseluruhan Jenis Tanah Kecamatan Malalayang
Sumber: Hasil Analisis GIS 2017 dan RTRW Kota Manado tahun 2014-2034
22%
78%
Aluvial Latosol
Gambar 4.6 Presentase luas Jenis tanah Kecamatan Malalayang (Hasil Analisis Tahun 2017)
2017
60
Gambar 4.7 Peta Jenis Tanah Kecamatan Malalayang (Hasil Analisis Tahun 2017)
61
4.1.4 Curah Hujan Kecamatan Malalayang
100%
Gambar 4.8 Presentase Curah Hujan Kecamatan Malalayang (Hasil Analisis Tahun 2017)
62
Gambar 4.9 Peta Curah Hujan Kecamatan Malalayang (Hasil Analisis Tahun 2017)
63
4.1.5 Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kecamatan Malalayang
RTH merupakan bagian penting dari struktur pembentuk kota yang memiliki fungsi
utama sebagai fungsi ekologis, terutama sebagai penghasil oksigen dan sebagai
kawasan resapan air. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
ditetapkan luas RTH minimal yang harus disediakan oleh suatu kota adalah sebesar
30% dari luas wilayah. Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai infrastruktur hijau
perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi)
guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh
RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan
keindahan wilayah perkotaan tersebut. Ruang terbuka hijau pada Kawasan
kecamatan malalayang merupakan salah satu dari kawasan lindung dalam pola
ruang Kota Manado Tahun 2014 – 2034, luas RTH Kecamatan Malalayang yaitu
17.35 ha. Dimana tiap keluarahan yang berada di Kecamatan Malalayang
mempunyai luasan RTH beragam, Kelurahan Batu Kota mempunyai luas RTH
yaitu 2,26 ha yang merupakan kelurahan dengan luas RTH dominan yang berada di
Kecamatan Malalayang sedangkan Keluarahan yang tidak mempunyai RTH yaitu
kelurahan Malalayang 1 Timur dan Kelurahan Winangun 2, untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel dan peta pola ruang RTRW Kota Manado tahun 2014-2034.
64
5% Malalayang 2
Malalayang 1
30% Malalayang 1 Barat
28%
Malalayang 1 Timur
Winangun 2
Winangun 1
Bahu
12% Kleak
22%
Batu Kota
3%
0%
Gambar 4.10 Presentase Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Malalayang (Hasil Analisis Tahun 2017)
2017
65
4.2 Aspek Penduduk
Permasalahan yang ada dalam suatu wilayah merupakan masalah yang saling
terkait dan saling berpengaruh pada wilayah sekitarnya, sehingga untuk mengetahui
perkembangan penggunaan lahan Kecamatan Malalayang maka perlu di ketahui
terlebih dahulu jumlah dan perkembangan penduduk di Kecamatan Malalayang
yang mengakibatkan desakan dan kebutuhan terhadap lahan semakin meningkat.
Perkembangan penduduk di Kecamatan Malalayang dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir cenderung mengalami peningkatan dan penurunan tiap tahunnya. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya migrasi masuk, kelahiran dan kematian di wilayah
tersebut. Jumlah penduduk Kecamatan Malalayang pada tahun 2012 sebanyak
57.031 Jiwa, Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dan grafik jumlah
penduduk tiap tahunnya dibawah ini.
66
1. Jumlah Penduduk Tahun 2012
Jumlah penduduk di kecamatan malalayang tahun 2012 terbagi atas 2 jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan, dimana jumlah penduduk yang mendominasi adalah
jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 25.951 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk laki-laki sebesar 25.289 jiwa. jumlah penduduk
perempuan terbanyak berada di kelurahan malalayang 1 yaitu 4.380 jiwa sedangkan
jumlah penduduk perempuan terendah berada di kelurahan winangun 2 yaitu 1.392
jiwa dan untuk jumlah penduduk laki-laki terbanyak berada di kelurahan
malalayang 1 yaitu 4.410 jiwa dan jumlah penduduk laki-laki terendah berada di
kelurahan winangun 2 yaitu 1.608 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel dan grafik presentase jumlah penduduk kecamatan malalayang tahun 2012 di
bawah ini:
Tahun 2012
No Kelurahan
Laki – laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa)
1 Malalayang 2 3.304 3.417
2 Malalayang 1 4.410 4.380
3 Malalayang 1 Barat 2.464 2.520
4 Malalayang 1 Timur 2.494 2.520
5 Winangun 1 3.449 3.503
6 Winangun 2 1.608 1.392
7 Bahu 3.351 3.982
8 Kleak 2.550 2.608
9 Batu Kota 1.659 1.629
Jumlah 25.289 25.951
Sumber: Badan Pusat statistik, Kecamatan Malalayang dalam angka tahun 2012
Tahun 2012
Gambar 4.11 Grafik Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Malalayang Tahun 2012
67
2. Jumlah Penduduk Tahun 2013
Jumlah penduduk di kecamatan malalayang tahun 2013 terbagi atas 2 jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan, dimana jumlah penduduk yang mendominasi adalah
jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 29.054 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk laki-laki sebesar 27.792 jiwa. jumlah penduduk
perempuan terbanyak berada di kelurahan malalayang 2 yaitu 5.506 jiwa sedangkan
jumlah penduduk perempuan terendah berada di kelurahan winangun 2 yaitu 1.321
jiwa dan untuk jumlah penduduk laki-laki terbanyak berada di kelurahan
malalayang 2 yaitu 4.854 jiwa dan jumlah penduduk laki-laki terendah berada di
kelurahan winangun 2 yaitu 1.536 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel dan grafik presentase jumlah penduduk kecamatan malalayang tahun 2013 di
bawah ini:
Tahun 2013
No Kelurahan
Laki – laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa)
1 Malalayang 2 4.854 5.506
2 Malalayang 1 4.352 4.345
3 Malalayang 1 Barat 2.775 2.851
4 Malalayang 1 Timur 2.932 2.981
5 Winangun 1 3.867 3.785
6 Winangun 2 1.536 1.321
7 Bahu 3.207 3.811
8 Kleak 2.568 2.652
9 Batu Kota 1.701 1.802
Jumlah 27.792 29.054
Sumber: Badan Pusat statistik, Kecamatan Malalayang dalam angka tahun 2013
Tahun 2013
Gambar 4.12 Grafik Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Malalayang Tahun 2013
68
3. Jumlah Penduduk Tahun 2014
Jumlah penduduk di kecamatan malalayang tahun 2014 terbagi atas 2 jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan, dimana jumlah penduduk yang mendominasi adalah
jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 28.422 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk laki-laki sebesar 27.967 jiwa. jumlah penduduk
perempuan terbanyak berada di kelurahan malalayang 2 yaitu 5.300 jiwa sedangkan
jumlah penduduk perempuan terendah berada di kelurahan winangun 2 yaitu 1.537
jiwa dan untuk jumlah penduduk laki-laki terbanyak berada di kelurahan
malalayang 2 yaitu 5.029 jiwa dan jumlah penduduk laki-laki terendah berada di
kelurahan winangun 2 yaitu 1.537 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel dan grafik presentase jumlah penduduk kecamatan malalayang tahun 2014 di
bawah ini:
Tahun 2014
No Kelurahan
Laki – laki (Jwa) Perempuan (Jiwa)
1 Malalayang 2 5.029 5.300
2 Malalayang 1 4.378 4.274
3 Malalayang 1 Barat 2.783 2.859
4 Malalayang 1 Timur 2.732 2.808
5 Winangun 1 3.862 3.791
6 Winangun 2 1.537 1.321
7 Bahu 3.398 3.853
8 Kleak 2.493 2.461
9 Batu Kota 1.755 1.755
Jumlah 27.967 28.422
Sumber : Badan Pusat statistik, Kecamatan Malalayang dalam angka tahun 2014
Tahun 2014
Gambar 4.13 Grafik Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Malalayang Tahun 2014
69
4. Jumlah Penduduk Tahun 2015
Jumlah penduduk di kecamatan malalayang tahun 2015 terbagi atas 2 jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan, dimana jumlah penduduk yang mendominasi adalah
jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 29.054 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk laki-laki sebesar 27.792 jiwa. jumlah penduduk
perempuan terbanyak berada di kelurahan malalayang 2 yaitu 5.300 jiwa sedangkan
jumlah penduduk perempuan terendah berada di kelurahan winangun 2 yaitu 1.321
jiwa dan untuk jumlah penduduk laki-laki terbanyak berada di kelurahan
malalayang 2 yaitu 5.029 jiwa dan jumlah penduduk laki-laki terendah berada di
kelurahan winangun 2 yaitu 1.537 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel dan grafik presentase jumlah penduduk kecamatan malalayang tahun 2015 di
bawah ini:
Tahun 2015
No Kelurahan
Laki – laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa)
1 Malalayang 2 5.029 5.300
2 Malalayang 1 4.342 4.248
3 Malalayang 1 Barat 2.783 2.859
4 Malalayang 1 Timur 2.732 2.808
5 Winangun 1 3.862 3.791
6 Winangun 2 1.537 1.321
7 Bahu 3.406 3.857
8 Kleak 2.493 2.461
9 Batu Kota 1.755 1.755
Jumlah 27.792 29.054
Sumber : Badan Pusat statistik, Kecamatan Malalayang dalam angka tahun 2015
Tahun 2015
Gambar 4.14 Grafik Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Malalayang Tahun 2015
70
5. Jumlah Penduduk Tahun 2016
Jumlah penduduk di kecamatan malalayang tahun 2016 terbagi atas 2 jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan, dimana jumlah penduduk yang mendominasi adalah
jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 28.882 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk laki-laki sebesar 28.149 jiwa. jumlah penduduk
perempuan terbanyak berada di kelurahan malalayang 2 yaitu 5.506 jiwa sedangkan
jumlah penduduk perempuan terendah berada di kelurahan winangun 2 yaitu 1.321
jiwa dan untuk jumlah penduduk laki-laki terbanyak berada di kelurahan
malalayang 2 yaitu 4.854 jiwa dan jumlah penduduk laki-laki terendah berada di
kelurahan winangun 2 yaitu 1.536 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel dan grafik presentase jumlah penduduk kecamatan malalayang tahun 2016 di
bawah ini:
Tahun 2016
No Kelurahan
Laki - laki Perempuan
1 Malalayang 2 4.854 5.506
2 Malalayang 1 4.467 4.322
3 Malalayang 1 Barat 2.801 2.864
4 Malalayang 1 Timur 2.939 2.965
5 Winangun 1 3.867 3.786
6 Winangun 2 1.536 1.321
7 Bahu 3.325 3.796
8 Kleak 2.616 2.562
9 Batu Kota 1.744 1.760
Jumlah 28.149 28.882
Sumber : Badan Pusat statistik, Kecamatan Malalayang dalam angka tahun 2016
Tahun 2016
Gambar 4.15 Grafik Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Malalayang Tahun 2016
71
Tabel 4.14 Jumlah dan Perkembangan Penduduk
di Kecamatan Malalayang Tahun 2012-2016
58000
56000
54000
52000
50000
48000
2012 2013 2014 2015 2016
72
4.2.2 Kepadatan Penduduk Kecamatan Malalayang tahun 2016
Kepadatan Penduduk di Kecamatan Malalayang pada tahun 2016 adalah sebanyak
363 jiwa per Ha dengan jumlah penduduk sebanyak 57.031 jiwa dan luas wilayah
3029.75 Ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6 dan Peta Kepadatan
Penduduk Kecamatan Malalayang Tahun 2016
73
Gambar 4.17 Peta Kepadatan Penduduk Kecamatan Malalayang Tahun 2017 (Hasil Analisis Tahun 2017)
74
4.2 Identifikasi Perubahan Morfologi Kota
Penggunaan lahan pada kawasan dibedakan dalam penggunaan lahan terbangun dan
penggunaan lahan tidak terbangun. Total luas penggunaan lahan terbangun di
kecamatan Malalayang tahun 2016 seluas 777.09 ha atau setara dengan 47.53%
total luas kawasan. Penggunaan lahan tidak terbangun seluas 857.86 ha atau setara
dengan 52.47% total luas kawasan.
75
Tabel 4.17 Pemanfaatan Lahan Di Kecamatan Malalayang Tahun 2016
No Lahan Terbangun Luas (Ha) Presentase (%) Lahan Tidak Terbangun Luas (Ha) Presentase (%)
76
LahanTerbangun
48% Lahan Tidak
Terbangun
52%
Gambar 4.19 Penggunaan Lahan Perdagangan dan jasa si sepanjang Jl. R.W. Monginsidi
77
1. Penggunaan Lahan Tahun 2014
Penggunaan Lahan di Kecamatan Malalayang Tahun 2004 terdiri dari: Perkebunan,
perdagangan dan jasa, jasa pelayanan umum, transportasi, jasa kesehatan, jasa
Pendidikan, Lembaga dan kantor, pasar, jasa peribadatan, perkuburan, instalasi
listrik dan Telkom, kolam, permukiman, dan tanah kosong. Luas pola pemanfaatn
lahan dikecamatan Malalayang tahun 2004 yaitu sebesar 1631.56 Ha, dimana
penggunaan lahan didominasi oleh lahan perkebunan 888.68 Ha, lahan permukiman
606.89 Ha, dan penggunaan lahan yang tidak mendominasi yaitu instalasi listrik
dan telkom dengan luas lahan 0.07 Ha. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada
tabel dan grafik pola penggunaan lahan di Kecamatan malalayang Tahun 2004
dibawah ini:
78
Perkebunan
3% Perdagangan Umum/Pertokoan
Jasa Pelayanan Umum
Transportasi
Jasa Kesehatan
37% Jasa Pendidikan
Lembaga/Kantor
55% Pasar
Jasa Peribadatan
Perkuburan
0% Instalasi Listrik/Telkom
0%
Kolam
0%
0% 0% 1% Permukiman
0% 3% 0% 0% 1%
79
Gambar 4.21 Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Malalayang Tahun 2004 (Hasil Analisis Tahun 2017)
80
Gambar 4.22 Peta Citra Kecamatan Malalayang Tahun 2004 (Hasil Analisis Tahun 2017)
81
2. Penggunaan Lahan Tahun 2009
Penggunaan Lahan di Kecamatan Malalayang Tahun 2009 terdiri dari: Perkebunan,
perdagangan dan jasa, jasa pelayanan umum, transportasi, jasa kesehatan, jasa
Pendidikan, Lembaga dan kantor, pasar, jasa peribadatan, perkuburan, instalasi
listrik dan Telkom, kolam, permukiman, dan tanah kosong. Luas pola pemanfaatan
lahan dikecamatan Malalayang tahun 2009 yaitu sebesar 1634.94 Ha, dimana
pengguanaan lahan didominasi oleh lahan perkebunan 848.65 Ha, lahan
permukiman 670.15 Ha, dan penggunaan lahan yang tidak mendominasi yaitu
instalasi listrik dan telkom dengan luas lahan 0.07 Ha. Untuk lebih jelasnya dapat
di lihat pada tabel dan grafik pola penggunaan lahan di Kecamatan malalayang
Tahun 2009 dibawah ini:
82
1% Perkebunan
Perdagangan Umum/Pertokoan
Jasa Pelayanan Umum
Transportasi
Jasa Kesehatan
41% Jasa Pendidikan
Lembaga/Kantor
52%
Pasar
Jasa Peribadatan
Perkuburan
Instalasi Listrik/Telkom
0%
0% Kolam
0% 0% 2% Permukiman
0% 0% 3% 0% 0% 1%
83
Gambar 4.24 Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Malalayang Tahun 2009 (Hasil Analisis Tahun 2017)
84
Gambar 4.25 Peta Citra Kecamatan Malalayang Tahun 2009 (Hasil Analisis Tahun 2017)
85
3. Penggunaan Lahan Tahun 2016
Penggunaan Lahan di Kecamatan Malalayang Tahun 2016 terdiri dari: perkebunan,
perdagangan dan jasa, jasa pelayanan umum, transportasi, jasa kesehatan, jasa
pendidikan, lembaga dan kantor, pasar, jasa peribadatan, perkuburan, instalasi
listrik dan telkom, kolam, permukiman, dan tanah kosong. Luas pola pemanfaatan
lahan dikecamatan Malalayang tahun 2016 yaitu sebesar 1634.97 Ha, dimana
pengguanaan lahan didominasi oleh lahan perkebunan 838.84 Ha, lahan
permukiman 679.77 Ha, dan penggunaan lahan yang tidak mendominasi yaitu
instalasi listrik dan telkom dengan luas lahan 0.07 Ha. Untuk lebih jelasnya dapat
di lihat pada tabel dan grafik pola penggunaan lahan di Kecamatan Malalayang
Tahun 2016 dibawah ini:
86
1% Perkebunan
Perdagangan Umum/Pertokoan
Jasa Pelayanan Umum
Transportasi
Jasa Kesehatan
40%
Jasa Pendidikan
Lembaga/Kantor
53% Pasar
Jasa Peribadatan
Perkuburan
Instalasi Listrik/Telkom
0%
0% Kolam
0% 3%
0% Permukiman
0% 0% 0% 2% 0% 1%
87
Gambar 4.27 Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Malalayang Tahun 2016 (Hasil Analisis Tahun 2017)
88
Gambar 4.28 Peta Citra Kecamatan Malalayang Tahun 2016 (Hasil Analisis Tahun 2017)
89
4.2.5 Analisis Perubahan Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Malalayang
Penggunaan lahan di Kecamatan Malalayang mengalami perubahan setiap tahun,
hal ini dipengaruhi oleh kegiatan dan pertumbuhan penduduk yang mendiami
kawasan. Sebagian besar lahan di Kecamatan Malalayang merupakan lahan
produktif diantaranya adalah lahan perkebunan sedangkan selebihnya merupakan
lahan permukiman serta bangunan lainnya. Penggunaan lahan di Kecamatan
Malalayang tiap tahunnya mengalami peningkatan sehingga kebutuhan akan ruang
dari tahun ke tahun semakin meningkat. Peningkatan akan kebutuhan ruang tersebut
menyebabkan terjadinya perkembangan kota. Penggunaan lahan di Kecamatan
Malalayang pada tahun 2004 seluas 1623.25 ha dan 2009 seluas 1634.76 ha
sedangkan pada tahun 2016 seluas 1634.88 ha. Penggunaan lahan permukiman di
Kecamatan Malalayang pada tahun 2004 sebanyak 38.19 % pada tahun 2009
sebanyak 40.99 % sedangkan pada tahun 2016 sebanyak 41.67 %. Perubahan
penggunaan lahan terbesar terjadi pada penggunaan lahan perkebunan dimana lahan
perkebunan pada tahun 2004 seluas 888.68 ha dan pada tahun 2016 seluas 838.84
ha atau berkurang 58.71 ha. Sedangkan untuk tanah kosong pada tahun 2004 seluas
42.59 ha dan pada tahun 2016 seluas 14.69 ha atau berkurang 27.65 ha. Hal ini
disebabkan oleh perkembangan permukiman yang tiap tahunnya mengalami
peningkatan. Peningkatan perubahan lahan terjad pada lahan permukiman dimana
pada tahun 2004 seluas 606.89 ha dan pada tahun 2016 seluas 679.77 ha atau
meningkat 58.71 ha, sedangkan untuk lahan prdagangan umum dan pertokoan pada
tahun 2004 seluas 15.55 ha dan pada tahun 2016 seluas 20.70 atau meningkat 5.15
ha dan untuk penggunann lahan jasa kesehatan pada tahun 2004 seluas 21.88 ha dan
pada tahun 2016 seluas 24.34 ha atau meningkat 2.46 ha, dan untuk kolan pada
tahun 2004 seluas 1.38 ha dan pada tahun 2016 seluas 2.04 atau meningkat 0.66 ha,
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel analisis perubahan lahan dan tabel
perbandingan luas penggunaan lahan dibawah ini.
90
Tabel 2.21 Analisis Perubahan penggunaan Lahan Tahun 2004 - 2016
Penggunaan Lahan
No Luas (Ha)
Perubahan (+/-)
1 Permukiman 58.71
2 Perdagangan Umum/Pertokoan 5.15
3 Jasa Kesehatan 2.46
4 Perkebunan - 35.90
5 Kolam 0.66
6 Tanah Kosong - 27.65
Tidak Berubah
7 Lembaga/Kantor -
8 Instalasi Listrik/Telkom -
9 Jasa Pelayanan Umum -
10 Jasa Pendidikan -
11 Transportasi -
12 Pasar -
13 Perkuburan -
Sumber: Hasil Analisis 2017
91
Tabel 4.22 Perbandingan Luas Pengguanaan Lahan
Luas Luas
Selisih (+/-) Selisih (+/-)
No Penggunaan Lahan
Tahun 2004 (Ha) Tahun 2009 (Ha) (Ha) Tahun 2009 (Ha) Tahun 2016 (Ha) (Ha)
92
Gambar 4.29 Peta Perubahan Penggunaan Lahan Malalayang Tahun 2004 - 2016 (Hasil Analisis Tahun 2017)
93
4.2.6 Pemanfaatan Lahan Permukiman Di Daerah Rawan Longsor
Tanah longsor merupakan suatu aktivitas dari proses gangguan keseimbangan yang
menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke
tempat yang lebih rendah. Kondisi topografi yang berbukit dan bergunung,
tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan serta pemanfaatan
lahan dan ruang yang kurang baik menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Untuk
menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah
longsor, diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir
akibat yang akan ditimbulkan. Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena
tanah longsor di suatu kawasan diperlukan adanya suatu identifikasi dan pemetaan
daerah rawan tanah longsor yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan
yang ada berdasarkan faktor penyebab terjadinya tanah longsor. Tingkat kerawanan
Tanah longsor di kecamatan Malalayang terjadi karena Lereng atau tebing dan
penggunaan lahan, Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya
pendorong. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah
1800 dengan bidang longsor mendatar. Dalam penggunaan lahan, penataan lahan
yang tidak tepat pada daerah lereng dapat menyebakan terjadinya tanah longsor.
Berdasarkan hasil identifikasi, kondisi pemanfaatn lahan pada daerah rawan
bencana longsor dengan tingkat kerawanan tinggi di kecamatan malalayang
mempunyai luas area 153.91 ha, dan untuk daerah rawan bencana longsor tingkat
cukup rawan di kecamatan malalayang mempunyai luas area 241.81 ha, dan utuk
daerah tidak rawan longsor mempunyai luas area 1284.57 ha. Klasifikasi tingkat
rawan longsor terbagi atas 3 tingkatan yaitu, wilayah tidak rawan, wilayah cukup
rawan, dan wilayah rawan. Tingkat rawan longsor tinggi berada di kelurahan
malalayang 1 timur dengan luas area rawan longsor 25.33 ha, untuk tingkat wilayah
cukup rawan berada di kelurahan winangun 1 dengan luas area 60,64 ha dan untuk
wilayah tidak rawan berada di kelurahan malalayang 1 dengan luas area 272.46 ha.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel klasifikasi rawan longsor dan peta
pemanfaatan lahan di daerah rawan longsor dibawah ini.
94
Tabel 4.23 Parameter Kerawanan Longsor
No Parameter Kriteria
Datar, Kemiringan 0-8%
Landai, Berombak sampai bergelombang, Kemiringan 8-15%
1 Kelerengan Agak curam, Berbukit, Kemiringan 15-25%
Curam s/d Sangat curam, Kemiringan 25-40%
Sangat curam s/d Terjal, Kemiringan >40%
Alluvial
Mediteran, Brown forest, Non calcic brown
2 Jenis Tanah
Andosol
Litosol
Curah Hujan <1000 mm/thn
Curah Hujan <1500-2000 mm/thn
3 Curah Hujan
Curah Hujan <2000-2500 mm/thn
Curah Hujan >25000 mm/thn
Sumber: Nugroho Dkk (2009)
95
Gambar 4.30 Peta Pemanfaatan Lahan Pada Daerah Rawan Longsor Kecamatan Malalayang (Hasil Analisis Tahun 2017)
96
4.2.7 Identifikasi Komponen Morfologi Kota Kecamatan Malalayang
4.2.7.1 Pola Plot Bangunan
1. Pola Plot Bangunan di Kelurahan Malalayang 2
1% 2% 0% 2% Jasa Pendidikan
Mix Use
20%
Perdagangan dan
Jasa
75% Perkebunan
Permukiman
97
Terminal Mix Use
Gambar 4.32 Peta Pola Plot Bangunan Kelurahan Malalayang 2 Tahun 2017
98
2. Pola Plot Bangunan di Kelurahan Malalayang 1
0% 0% 0% 0% 2%
Jasa Kesehatan
Jasa Pendidikan
27%
Lapangan
Mix Use
Perdagangan dan Jasa
71% Perkebunan
Permukiman
Gambar 4.34 Peta Pola Plot Bangunan Kelurahan Malalayang 1 Tahun 2017
100
3. Pola Plot Bangunan di Kelurahan Malalayang 1 Barat
3% 0% 1% 0%
Mix Use
1%
8% Jasa Kesehatan
Jasa Pendidikan
28%
Kantor
Perdagangan dan Jasa
Permukiman
59%
Perkebunan
Perumahan Terencana
Gambar 4.35 Presentase Luasan Pola Plot Bangunan Kelurahan Malalayang 1 Barat
101
Jasa Kesehatan Perdagangan dan Jasa
Gambar 4.36 Peta Pola Plot Bangunan Kelurahan Malalayang 1 Barat Tahun 2017
102
4. Pola Plot Bangunan di Kelurahan Malalayang 1 Timur
0% 0% 0% 0% 0%
1%
Jasa Pendidikan
21% Kantor
29% Mix Use
Pemerintahan
Perdagangan dan Jasa
49% Perkebunan
Permukiman
Gambar 4.37 Presentase Luasan Pola Plot Bangunan Kelurahan Malalayang 1 Timur
103
Perdagangan dan jasa Permukimann
Gambar 4.38 Peta Pola Plot Bangunan Kelurahan Malalayang 1 Timur Tahun 2017
104
5. Pola Plot Bangunan di Kelurahan Malalayang Winangun 1
2% 0%
1%
105
Permukiman Perumahan Terencana
Gambar 4.40 Peta Pola Plot Bangunan Kelurahan Winangun 1 Tahun 2017
106
6. Pola Plot Bangunan di Kelurahan Malalayang Winangun 2
2%
2%
6% 5%
Militer
Jasa Pendidikan
Perdagangan dan Jasa
Permukiman
Perkebunan
85%
107
Permukiman Kawasan Militer
Gambar 4.42 Peta Pola Plot Bangunan Kelurahan Winangun 2 Tahun 2017
108
7. Pola Plot bangunan di Kelurahan Bahu
Pola plot pada kawasan permukiman Kelurahan Bahu didominasi dengan pola plot
permukiman dengan luasan 45.82 Ha dan persentase 52.80%. Dimensi pola plot
permukiman mempunyai dimensi atau ukuran yang merata atau berkumpul, dimana
sebaranya mengikuti jaringan jalan lokal. Sedangkan untuk pola plot jasa
Pendidikan dengan luasan 22.4 Ha dan presentase 25.81% mempunyai dimensi
yang merata dan sebaranya berada pada jaringan jalan lokal dan kolektor primer.
Pola plot yang tidak mendominasi yaitu pola plot fasilitas publik dengan luasan
0.14 Ha dengan presentase 0.16% dan mempunyai dimensi atau ukuran yang kecil
dimana sebaranya berada pada jaringan jalan arteri primer. Sedangkan pola plot
yang mendominasi di sepanjang jaringan jalan arteri primer yaitu pola plot mix use
dan pola plot perdagangan dan jasa dengan masing-masing mempunyai luasan
4.712 Ha dan 7.52 Ha presentase 5.43% dan 8.67%. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel, presentase dan peta pola plot kelurahan bahu dibawah ini:
Jasa Pendidikan
Gambar 4.44 Peta Pola Plot Bangunan Kelurahan Bahu Tahun 2017
110
8. Pola plot Bangunan di Kelurahan Kleak
Pola plot pada kawasan permukiman Kelurahan Kleak didominasi dengan pola plot
permukiman dengan luasan 34.78 Ha dan persentase 60.67%. Dimensi pola plot
permukiman mempunyai dimensi atau ukuran yang merata atau berkumpul, dimana
sebaranya mengikuti jaringan jalan lokal. Sedangkan untuk pola plot jasa
Pendidikan dengan luasan 18.30 Ha dan presentase 31.92% mempunyai dimensi
yang merata dan sebaranya berada pada jaringan jalan lokal dan kolektor primer.
Pola plot yang tidak mendominasi yaitu pola plot pemerintahan dengan luasan 0.05
Ha dengan presentase 0.09% dan mempunyai dimensi atau ukuran yang kecil
dimana sebaranya berada pada jaringan jalan lokal. Sedangkan pola plot yang
mendominasi di sepanjang jaringan jalan arteri primer yaitu pola plot jasa kesehatan
dengan luasan 2.96 Ha dan presentase 5.16%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel, presentase dan peta pola plot kelurahan kleak dibawah ini:
1% 1% 0% 0% 0%
Mix Use
5%
Hotel
Jasa Kesehatan
32%
Jasa Pendidikan
Permukiman
61%
Tempat Peribadatan
Pemerintahan
Pola plot pada kawasan permukiman Kelurahan batu kota didominasi dengan pola
plot permukiman dengan luasan 36.03 Ha dan persentase 69.42%. Dimensi pola
plot permukiman mempunyai dimensi atau ukuran yang merata atau berkumpul,
dimana sebaranya mengikuti jaringan jalan lokal. Pola plot yang tidak mendominasi
yaitu pola plot perkebunan dengan luasan 15.87 Ha dengan presentase 30.58% dan
mempunyai dimensi atau ukuran yang sedang dimana sebaranya diantara pola plot
permukiman. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel, presentase dan peta pola
plot kelurahan kleak dibawah ini:
31%
Permukiman
perkebunan
69%
Gambar 4.47 Presentase Luasan Pola Plot Bangunan Kelurahan Batu kota
113
Permukiman
Gambar 4.48 Peta Pola Plot Bangunan Kelurahan Batu Kota Tahun 2017
114
4.2.7.2 Pola Jaringan Jalan
1. Pola Jarinagan Jalan Kelurahan Malalayang 2
115
Jl. Wolter Monginsidi Jl. Manibang
117
Jl. Minanga Jl. Parigi 7
119
Jl. RSU Kandow Jl. Sea
Gambar 4.51 Peta Pola Jalan Kelurahan Malalayang 1 Barat Tahun 2017
120
4. Pola Jarinagan Jalan Kelurahan Malalayang 1 Timur
121
Jl. Tanjung Merah Jl. Puri ndah
Gambar 4.52 Peta Pola Jalan Kelurahan Malalayang 1 Timur Tahun 2017
122
5. Pola Jarinagan Jalan Kelurahan Winangun 1
123
Jl. Ring Road Manado Jl. Sam Ratulang 2
125
Jl. Santo Joseph Jl. Sam Ratulangi 2
127
Jl. Wolter Monginsidi Jl. Bengawan Solo
129
Jl. Kampus Timur Jl. Santo Joseph
130
9. Pola Jarinagan Jalan Kelurahan Batu Kota
131
Jl. Maluku
Gambar 4.57 Peta Pola Jalan Kelurahan Batu Kota Tahun 2017
132
4.2.7.3 Sistem Bangunan (Fungsi dan Pola)
1. Sistem Bangunan (Fungsi dan Pola) Kelurahan Malalayang 2
Sistem bangunan dilihat dari masing-masing bentuk bangunan yang berada di
kelurahan malalayang 2 memiliki bentuk dasar yaitu persegi atau persegi panjang.
Fungsi bangunan di kelurahan malalayang 2 terbagi atas 5 fungsi bangunan, dimana
fungsi bangunan yang mendominasi adalah rumah tinggal dengan jumlah ±2.603
bangunan dengan presentase 94.35 % dan fungsi yang tidak mendominasi adalah
fungsi bangunan mix use dengan jumlah ±1 bangunan dengan presentase 0.04 %.
Kawasan permukiman di kelurahan malalayang 2 jika ditinjau dari bentuk
bangunan maka dapat dikatakan seimbang dan teratur dengan bentuk utama persegi
atau persegi panjang. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pola bangunan
pada kawasan permukiman kelurahan malalayang 2 merupakan pola heterogen. Hal
tersebut dikarenakan pada kawasan permukiman kelurauahn malalayang 2
memiliki dua pola yang beraturan yaitu persegi dan persegi panjang dan kepadatan
yang beragam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel, grafik dan peta fungsi
bangunan di kelurahan malalayang 2 dibawah ini:
133
0% 3% 1%
2%
Rumah Tinggal
Jasa Pendidikan
Mix Use
Perdagangan dan Jasa
Terminal
94%
134
Rumah Tinggal Mix Use
136
0% 1% 0%
0%
3%
Rumah Tinggal
Jasa Kesehatan
Jasa Pendidikan
Mix use
Perdagangan dan Jasa
Rumah Ibadah
96%
137
Mix Use Rumah Tinggal
139
0% 0%
1%0%
1% 9% Rumah Tinggal
5% Jasa Kesehatan
Jasa Pendidikan
Kantor
Perdagangan dan Jasa
Perumahan Terencana
Rumah Ibadah
84%
Mix Use
Gambar 4.62 Presentase Fungsi Bangunan Kelurahan Malalayang 1 Barat Tahun 2017
140
Rumah Tinggal Mix Use
Gambar 4.63 Peta Fungsi Bangunan Kelurahan Malalayang 1 Barat Tahun 2017
141
4. Sistem Bangunan (Fungsi dan Pola) Kelurahan Malalayang 1 Timur
Sistem bangunan dilihat dari masing-masing bentuk bangunan yang berada di
kelurahan malalayang 1 Timur memiliki bentuk dasar yaitu persegi atau persegi
panjang. Fungsi bangunan di kelurahan malalayang 1 Timur terbagi atas 8 fungsi
bangunan, dimana fungsi bangunan yang mendominasi adalah rumah tinggal
dengan jumlah ±1.274 bangunan dengan presentase 76.06 % dan fungsi bangunan
yang tidak mendominasi adalah fungsi bangunan kantor dengan jumlah ±1
bangunan dengan presentase 0.06 % dan fungsi bangunan pemerintahan dengan
jumlah ±1 bangunan dengan presentase 0.06 %. Kawasan permukiman di kelurahan
malalayang 1 timur jika ditinjau dari bentuk bangunan maka dapat dikatakan
seimbang dan teratur dengan bentuk utama persegi atau persegi panjang. Dari hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa pola bangunan pada kawasan permukiman
kelurahan malalayang 1 timur merupakan pola heterogen. Hal tersebut dikarenakan
pada kawasan permukiman kelurahan malalayang 1 timur memiliki dua pola yang
beraturan yaitu persegi dan persegi panjang dan kepadatan yang beragam. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel, grafik dan peta fungsi bangunan di kelurahan
malalayang 1 timur dibawah ini:
142
0%
Rumah Tnggal
21%
Jasa Pendidikan
2%
0% Kantor
0% Mix Use
0% Pemerintahan
1% Perdagangan dan Jasa
76% Perumahan Terencana
Rumah Ibadah
Gambar 4.64 Presentase Fungsi Bangunan Kelurahan Malalayang 1 Timur Tahun 2017
143
Mix Use Rumah Tinggal
Gambar 4.65 Peta Fungsi Bangunan Kelurahan Malalayang 1 Timur Tahun 2017
144
5. Sistem Bangunan (Fungsi dan Pola) Kelurahan Winangun 1
Sistem bangunan dilihat dari masing-masing bentuk bangunan yang berada di
kelurahan winangun 1 memiliki bentuk dasar yaitu persegi atau persegi panjang.
Fungsi bangunan di kelurahan winangun 1 terbagi atas 8 fungsi bangunan, dimana
fungsi bangunan yang mendominasi adalah rumah tinggal dengan jumlah ±1.658
bangunan dengan presentase 89.28% dan fungsi bangunan yang tidak mendominasi
adalah fungsi bangunan hotel dengan jumlah ±1 bangunan dengan presentase
0.05% dan fungsi bangunan kantor dengan jumlah ±1 bangunan dengan presentase
0.05%. Kawasan permukiman di kelurahan winangun 1 jika ditinjau dari bentuk
bangunan maka dapat dikatakan seimbang dan teratur dengan bentuk utama persegi
atau persegi panjang. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pola bangunan
pada kawasan permukiman kelurahan winangun 1 merupakan pola heterogen. Hal
tersebut dikarenakan pada kawasan permukiman kelurahan winangun 1 memiliki
dua pola yang beraturan yaitu persegi dan persegi panjang dan kepadatan yang
beragam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel, grafik dan peta fungsi
bangunan di kelurahan winangun 1 dibawah ini:
145
0% 1% 0%
0% 2%
8% Rumah Tinggal
0%
Hotel
Jasa Pendidikan
Mix Use
Kantor
Perdagangan dan Jasa
Perumahan Terencana
89%
Rumah Ibadah
146
Mix Use Perumahan Terencana
148
1% 1%
2%
Rumah Tnggal
Militer
Jasa Pendidikan
Perdagangan dan Jasa
96%
149
s
Rumah Tinggal Militer
150
7. Sistem Bangunan (Fungsi dan Pola) Kelurahan Bahu
Sistem bangunan dilihat dari masing-masing bentuk bangunan yang berada di
kelurahan bahu memiliki bentuk dasar yaitu persegi atau persegi panjang. Fungsi
bangunan di kelurahan bahu terbagi atas 12 fungsi bangunan, dimana fungsi
bangunan yang mendominasi adalah rumah tinggal dengan jumlah ±1.277
bangunan dengan presentase 77.72% dan fungsi bangunan yang tidak mendominasi
adalah fungsi bangunan fasilitas publik dengan jumlah ±1 bangunan dengan
presentase 0.06% dan fungsi bangunan pemerintahan dengan jumlah ±1 bangunan
dengan presentase 0.06%. Kawasan permukiman di kelurahan bahu jika ditinjau
dari bentuk bangunan maka dapat dikatakan seimbang dan teratur dengan bentuk
utama persegi atau persegi panjang. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pola
bangunan pada kawasan permukiman kelurahan bahu merupakan pola heterogen.
Hal tersebut dikarenakan pada kawasan permukiman kelurahan bahu memiliki dua
pola yang beraturan yaitu persegi dan persegi panjang dan kepadatan yang beragam.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel, grafik dan peta fungsi bangunan di
kelurahan bahu dibawah ini:
151
2% 1%
0% Permukiman
6% Bank
1% 6%
0% Fasilitas Publik
0% 6% Hotel
0%
Jasa Kesehatan
0%
Jasa Pendidikan
Kantor
78% Mix Use
Pasar
Pemerintahan
152
Bank Mix Use
153
8. Sistem Bangunan (Fungsi dan Pola) Kelurahan Kleak
Sistem bangunan dilihat dari masing-masing bentuk bangunan yang berada di
kelurahan kleak memiliki bentuk dasar yaitu persegi atau persegi panjang. Fungsi
bangunan di kelurahan kleak terbagi atas 8 fungsi bangunan, dimana fungsi
bangunan yang mendominasi adalah rumah tinggal dengan jumlah ±836 bangunan
dengan presentase 85.48% dan fungsi bangunan yang tidak mendominasi adalah
fungsi bangunan hotel dengan jumlah ±1 bangunan dengan presentase 0.10% dan
fungsi bangunan pemerintahan dengan jumlah ±1 bangunan dengan presentase
0.10%. Kawasan permukiman di kelurahan kleak jika ditinjau dari bentuk bangunan
maka dapat dikatakan seimbang dan teratur dengan bentuk utama persegi atau
persegi panjang. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pola bangunan pada
kawasan permukiman kelurahan kleak merupakan pola heterogen. Hal tersebut
dikarenakan pada kawasan permukiman kelurahan kleak memiliki dua pola yang
beraturan yaitu persegi dan persegi panjang dan kepadatan yang beragam. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel, grafik dan peta fungsi bangunan di kelurahan
kleak dibawah ini:
154
0% 1% 1% 0%
1%
9% Rumah Tinggal
3%
Jasa Kesehatan
Mix use
Pemerintahan
Jasa Pendidikan
Perdagangan dan Jasa
Rumah Ibadah
85%
Hotel
155
Jasa Pendidikan Rumah Tinggal
156
8. Sistem Bangunan (Fungsi dan Pola) Kelurahan Batu Kota
Sistem bangunan dilihat dari masing-masing bentuk bangunan yang berada di
kelurahan batu kota memiliki bentuk dasar yaitu persegi atau persegi panjang.
Fungsi bangunan di kelurahan batu kota terbagi atas 3 fungsi bangunan, dimana
fungsi bangunan yang mendominasi adalah rumah tinggal dengan jumlah ±731
bangunan dengan presentase 99.46% dan fungsi bangunan yang tidak mendominasi
adalah fungsi bangunan aula dengan jumlah ±1 bangunan dengan presentase 0.14%.
Kawasan permukiman di kelurahan batu kota jika ditinjau dari bentuk bangunan
maka dapat dikatakan seimbang dan teratur dengan bentuk utama persegi atau
persegi panjang. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pola bangunan pada
kawasan permukiman kelurahan batu kota merupakan pola heterogen. Hal tersebut
dikarenakan pada kawasan permukiman kelurahan batu kota memiliki dua pola
yang beraturan yaitu persegi dan persegi panjang dan kepadatan yang beragam.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel, grafik dan peta fungsi bangunan di
kelurahan batu kota dibawah ini:
157
0% 0%
Aula
Permukiman
Rumah Ibadah
100%
Gambar 4.74 Presentase Fungsi Bangunan Kelurahan Batu Kota Tahun 2017
158
Rumah Ibadah Rumah Tinggal
Gambar 4.75 Peta Fungsi Bangunan Kelurahan Batu Kota Tahun 2017
159
4.2.8 Kepadatan Bangunan Kecamatan Malalayang
160
keseluruhan lahan terbangun di kecamatan malalayang dan jumlah bangunan ±978
dengan presentase 6.23% dari jumlah keseluruhan bangunan di kecamatan
malalayang, dan kelurahan batu kota mempunyai luas lahan terbangun yaitu 35.96
ha dengan presentase 4.63% dan jumlah bangunan ±735 dengan presentase 4.68%
dari jumlah keseluruhan bangunan di kecamatan malalayang. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel kepadatan bangunan dan peta kepadatan bangun kecamatan
malalayang dibawah ini:
Kepadatan Bangunan
No Nilai
(Bangunan/Ha)
161
Gambar 4.76 Peta Kepadatan Bangunan Kecamatan Malalayang Tahun 2017 (Hasil Analisis Tahun 2017)
162
4.2.9. Analisis Morfologi Kota.
163
Tabel 4.54 Perubahan Luasan Pola Plot Bangunan Kecamatan Malalayang Tahun 2004-2016
164
Lokasi Perumahan Puri Indah Lokasi Perumahan Ctran Land Lokasi Perumahan Puri Indah Lokasi Perumahan Ctran Land
Permai Tahun 2004 Tahun 2004 Permai Tahun 2016 Tahun 2016
Kondisi Eksisting Pola Plot Bangunan Kecamatan Malalayang Tahun 2004 Kondisi Eksisting Pola Plot Bangunan Kecamatan Malalayang Tahun 2016
Gambar 4.77 Peta Eksisting Pola Plot Bangunan Kecamatan Malalayang Tahun 2004 dan 2016 (Hasil Analisis Tahun 2017)
165
2. Pola Jaringan Jalan Kecamatan Malalayang
Jaringan jalan ditinjau dari bentuk dasar jalan utama dan dimensi lebar pada
kawasan permukiman Kecamatan Malalayang memiliki pola jalan spinal. Pola
spinal diidentifikasi dari jalan arteri primer pada kawasan permukiman sebagai
jalan utama. Hal tersebut dikarenakan jalan yang berada di pusat kawasan yang
kemudian memiliki cabang dengan fungsi jalan yang lebih rendah yaitu jalan
kolektor sekunder dan jalan lokal. Ditinjau dari fungsi pelayanannya, jaringan jalan
Kecamatan Malalayang terdiri dari sistem primer merupakan penghubung antara
fungsi primer di Kecamtan Malalayang sedangkan Jenis jaringan jalan yang ada
pada lokasi penelitian dibagi atas jalan arteri primer, jalan Kolektor primer dan jalan
lokal/ jalan lingkungan, dimana Fungsi jaringan jalan arteri primer sebagai jalan
penghubung pusat – pusat kawasan seperti perdagangan dan jasa. Pola jaringan
jalan kecamatan malalayang terbentuk karna adanya pertambahan jaringan jalan
baru khususnya jaringan jalan lokal dan jaringan jalan arteri primer sebagai
perkembangan suatu kota, pertambahan jaringan jalan disebabkan oleh munculnya
pemukiman-pemukiman baru di kecamatan malalayang, dimana pertambahan
jaringan jalan baru pada tahun 2016 berada di kelurahan malalayang 1 timur yaitu
jalan puri indah permai dengan lebar jalan 6 m dan mempunyai fungsi jaringan jalan
lokal dan kelurahan winangun 1 yaitu jalan ring road manado dengan lebar jalan 12
m dan mempunyai fungsi sebagai jaringan jalan artei primer. Untul lebih jelasnya
dapat dilihat pada peta eksisting pola jaringan jalan kecamatan malalayang dari
tahun 2004 dan 2016 dibawah ini.
166
Jaringan Jalan Puri Indah Permai Jaringan Jalan Ring Road Jaringan Jalan Puri Indah Permai Jaringan Jalan Ring Road
Tahun 2004 Manado Tahun 2004 Tahun 2016 Manado Tahun 2016
Kondisi Eksisting Pola Jalan Kecamatan Malalayang Tahun 2004 Kondisi Eksisting Pola Jalan Kecamatan Malalayang Tahun 2016
Gambar 4.78 Peta Eksisting Pola Jaringan Jalan Malalayang Tahun 2004 dan 2016 (Hasil Analisis Tahun 2017)
167
3. Sisten Bangunan Kecamatan Malalayang
Sistem bangunan dilihat dari masing-masing bentuk bangunan yang berada di 9
kelurahan di kecamatan malalayang memiliki bentuk dasar yaitu persegi atau
persegi Panjang sedangkan pola bangunan menuntut keseimbangan dan
keteraturan. Kawasan permukiman di 9 kelurahan yang berada kecamatan
malalayang jika ditinjau dari bentuk bangunan maka dapat dikatakan seimbang dan
teratur dengan bentuk utama persegi atau persegi panjang. Dari hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa pola bangunan pada kawasan permukiman kecamatan
malalayang merupakan pola heterogen. Hal tersebut dikarenakan pada kawasan ini
memiliki dua pola yang beraturan yaitu persegi dan persegi panjang dan kepadatan
yang beragam. Pola bangunan di kecamatan terbentuk karena bertambahnya jumlah
bangunan baru, Jumlah bangunan di kecamatan malalayang dilihat dari tahun 2004
dan 2016 mengalami peningkatan dimana kelurahan yanga mengalami peningkatan
jumlah bangunan tertinggi adalah kelurahan malalayang 1 timur dengan jumlah
bangunan pada tahun 2004 yaitu ±1.091 bangunan dengan presentase 7.64% dan
pada tahun 2016 jumlah bangunan naik ±1675 bangunan dengan presentase 10.67%
dari jumlah bangunan keseluruhan dikecamatan malalayang tahun 2004, untuk
kelurahan yanga mengalami peningkatan jumlah bangunan terendah yaitu
kelurahan batu kota dengan jumlah bangunan pada tahun 2004 yaitu ±725 dengan
presentase 5.08% dan pada tahun 2016 jumlah bangunan naik ±735 bangunan
dengan presentase 4.68% dari jumlah bangunan keseluruhan dikecamatan
malalayang tahun 2016. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
168
Tabel 4.55 Perbandingan Jumlah Bangunan di Kecamatan Malalayang Tahun
2004 dan Tahun 2016
169
Pola Bangunan Perumahan Puri Pola Bangunan Perumahan Citra Pola Bangunan Perumahan Puri Pola Bangunan Perumahan Citra
Indah Permai Tahun 2004 Land Tahun 2004 Indah Permai Tahun 2016 Land Tahun 2016
Kondisi Eksisting Pola Bangunan Kecamatan Malalayang Tahun 2004 Kondisi Eksisting Pola Bangunan Kecamatan Malalayang Tahun 2016
Gambar 4.80 Peta Eksisting Pola Jaringan Jalan Malalayang Tahun 2004 dan 2016 (Hasil Analisis Tahun 2017)
170
4.2.9.2 Analisis Bentuk Morfologi Kota Kecamatan Malalayang
Bentuk morfologi ditinjau dari 3 komponen yaitu Pola Plot Bangunan, pola jaringan
jalan, dan sistem bangunan. Karakteristik ketiga komponen tersebut yang menjadi
masukan dalam analisis bentuk morfologi. Karakteristik komponen memiliki peran
atau kontribusi masing-masing dalam bentuk morfologi. Perpaduan hasil
karakteristik komponen morfologi yang telah diidentifikasi pada tahapan
sebelumnya. Hasil perpaduan tersebut menunjukan bentuk morfologi kipas
Kecamatan Malalayang. Perpaduan komponen untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel analisis bentuk morfologi kecamatan malalayang dibawah ini.
Bentuk morfologi kipas didasari oleh pusat kawasan berada pada jalan utama yaitu
jalan Arteri Primer. Pusat kawasan yang dimaksud dengan karakteristik
penggunaan lahan perdagangan jasa. Bentuk semacam ini sebenarnya merupakan
bentuk sebagian lingkaran. Dalam hal ini kearah luar lingkaran kota mempunyai
kesempatan berkembang yang relatif seimbang namun dibeberapa bagian atau
sisinya akan mengalami hambatan berupa hambatan alami sepeti perairan,
pegunungan dan hambatan artificial berupa saluran buatan, zoning, ring roads.
171
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penggunaan lahan permukiman dan perkembangan penduduk yang semakin
dewasa ini merupakan fenomena yang menarik perhatian pemerintah, dalam
penyediaan dan penataan ruang untuk penggunaan lahan bagi kehidupan manusia.
Perkembangan luas permukiman yang terjadi di Kecamatan Malalayang selama
kurun waktu 15 tahun terakhir sejak tahun 2013, tahun 2011, dan tahun 2016
mengalami perkembangan, dimana banyak perubahan lahan tidak terbangun
berubah menjadi lahan terbangun.
172
tiap tahunnya mengalami peningkatan. Peningkatan perubahan
lahan terjad pada lahan permukiman dimana pada tahun 2004 seluas
606.89 ha dan pada tahun 2016 seluas 679.77 ha atau meningkat
58.71 ha,
2. Perubahan Morfologi Kota Kecamatan Malalayang
pola plot pemukiman kecamatan malalayang pada tahun 2004 yaitu
709.54 ha dan pada tahun 2016 yaitu 776.58 ha. Perubahan pola plot
bangunan tertinggi terjadi pada pola plot bangunan kelurahan
winangun 1, mempunyai luas lahan 155.00 ha dengan luas pola plot
bangunan pada tahun 2004 108.25 ha denga presentase 15% dari
luas keseluruhan pola plot bangunan kecamatan malalayang tahun
2004, luas plot bangunan kelurahan winangun 1 pada tahun 2016
yaitu 128.30 ha dengan presentase 17 % dari luas keseluruhan pola
plot bangunan kecamatan malalayang tahun 2016
perubahan pola plot bangunan terendah terjadi pada kelurahan batu
kota yang mempunyai luas lahan 72.00 ha dengan luas pola plot
bangunan pada tahun 2004 36.00 ha dengan presentase 5% dari luas
keseluruhan pola plot bangunan kecamatan malalayang tahun 2004,
dan luas plot bangunan kelurahan Batu kota pada tahun 2016 yaitu
36.03 ha dengan presentase 17 % dari luas keseluruhan pola plot
bangunan kecamatan malalayang tahun 2016
pertambahan jaringan jalan baru pada tahun 2016 berada di
kelurahan malalayang 1 timur yaitu jalan puri indah permai dengan
lebar jalan 6 m dan mempunyai fungsi jaringan jalan lokal dan
kelurahan winangun 1 yaitu jalan ring road manado dengan lebar
jalan 12 m dan mempunyai fungsi sebagai jaringan jalan artei
primer.
peningkatan jumlah bangunan tertinggi adalah kelurahan
malalayang 1 timur dengan jumlah bangunan pada tahun 2004 yaitu
±1.091 bangunan dengan presentase 7.64% dan pada tahun 2016
jumlah bangunan naik ±1675 bangunan dengan presentase 10.67%
173
dari jumlah bangunan keseluruhan dikecamatan malalayang tahun
2004,
peningkatan jumlah bangunan terendah yaitu kelurahan batu kota
dengan jumlah bangunan pada tahun 2004 yaitu ±725 dengan
presentase 5.08% dan pada tahun 2016 jumlah bangunan naik ±735
bangunan dengan presentase 4.68% dari jumlah bangunan
keseluruhan dikecamatan malalayang tahun 2016.
5.2 Saran/Rekomendasi
1. Dari hasil Analisa perkembangan permukiman terhadap perubahan
morfologi kota kecamatan malalayang menunjukan bahwa perkembangan
pernukiman di kecamatan malalayang mengalami perubahan dari tahun ke
tahun khususnya perubahan lahan terbangun menjadi tidak terbangun yaitu
lahan perkebunan menjadi lahan permukiman dan salah satu faktor
perkembangan permukiman yaitu bertambahnya jumlah penduduk dari
tahun ke tahun, sehingga dibutuhkan peran yang besar dari pemerintah
dalam hal melihat perkembangan bentuk suatu kota, sehingga
perkembangan atau bentuk suatu kota kedepan tidak semeraut.
2. Sebagai kajian, penelitian tentann morfologi kota atau prubahan bentuk kota
dapat menjadi referensi dalam penelitian seterusnya.
174
DAFTAR PUSTAKA
Kuswartojo, tjuk dan suparti A. Salim. 1997. Perumahan dan Pemukiman Yang
Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi
Dapertemen dan Kebudayaan.
Zahnd, Markus (2006), Perancangan Kota Secara Terpadu, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Yunus, Hadi Sabari. 1994, Teori dan Model Struktur Keruangan Kota.
Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
175
Yunus, Hadi Sabari. 2000, Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar
JURNAL
Amandus Jong Tallo, Yulia Pratiwi, dIndri Astutik, 2007, Identifikasi Pola
Morfologi kota (Studi Kasus: Sebagian Kecamatan Klojen, Di Kota Malang)
Vol. 35, No. 1
Sonny Tilaar Staf Pengajar Jurusan Arsitektur, Universitas Sam Ratulangi Manado,
Agustus 2013, KAJIAN NILAI LAHAN PERMUKIMAN DI WILAYAH
KECAMATAN MALALAYANG KOTA MANADO, Vol.5, No.2: 96-102
Sonny Tilaar, Octavianus H.A. Rogi, Alvin J. Tinangon, November 2012, KAJIAN
TIPOMORFOLOGI KAWASAN PERMUKIMAN TERENCANA DI
KOTA MANADO, VOL 9 NO.3
176
177