Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN

Analisis Morfologi Ruang Kawasan


Studi Kasus Kelurahan Uentanaga Bawah Kec. Ratolindo

Dosen Pengampuh Mata Kuliah :


Rezki Awalia, S.T., M.T
Deltri Dikwardi Eisenring, S.T., M.S.P

KELOMPOK 2 :

1. Andi Febriani Hi. Andi Baso.P F23119074


2. Nindi F23119073
3. Moh. Fiqri Haikal F23119045
4. Faris Fakhresi F23119038
5. Andi Nadia Putri F23119048
6. Moh. Alwi A.Ladwan F23119120
7. Moh. Faqih A. F23119087

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota

Jurusan Arsitektur

Fakultas Teknik

Universitas Tadulako

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota akan selalu tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan
sosialbudaya, ekonomi dan politik yang melatar belakanginya. Perkembangan kota
merupakan hasil karya dari konstruksi pemikiran manusia baik dalam tataran adaptasi
terhadap lingkungan maupun adjustment. Budaya merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan images dari citra kota dapat berubah. Masyarakat kota dengan latar belakang
tertentu dari pola hidup tradisional hingga modern mempengaruhi perubahan dalam bentukan
kota. Faktor kemantapan budaya masyarakat dalam mempertahankan penetrasi budaya luar
(pengaruh akulturasi dan asismilasi budaya) dan intensitas pengaruh perubahan merupakan
dua faktor yang sangat menentukan proses perkembangan kota. Di samping itu faktor-faktor
alamiah seperti keadaan geografis, struktur tanah dan sebagainya mempunyai peran yang
sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kota (Wikantiyoso,1995). Nielsen
(2005), mengungkapkan bahwa terdapat tiga faktor yang berperan penting dalam proses
pertumbuhan kota, yakni ekologi, teknologi dan organisasi sosial.

Perkembangan kota tersebut merupakan proses berkesinambungan yang erat kaitannya


dengan perubahan sosial-budaya masyarakat. Keberadaan kota tidak lepas dari sejarah awal
perkembangan, kondisi saat ini, serta wajah kota di masa yang akan datang. Perkembangan
kota sangat berkaitan dengan fungsi waktu, hal ini mengingatkan kita pada masa lampau
yaitu aspek kesejarahan memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk
morfologi kota (Mumford,1967). Bentuk kota bukan hanya sekedar produk, tetapi juga
merupakan proses akumulasi menifestasi fisik dari kehidupan non fisik, yang dipengaruhi
oleh sistem nilai dan norma-norma yang berlaku pada masa pembentukannya
(Danisworo,1989). Dapat juga dikatakan sebagai urban artifact, kota dalam perjalanan
sejarahnya telah dan akan membentuk suatu pola morfologi sebagai implementasi bentuk
perubahan sosial-budaya masyarakat yang membentuknya. Selanjutnya ketika berbicara
mengenai dua hal yang telah dijelaskan di atas, yaitu perkembangan dan bentuk kota. Maka
perkembangan dan bentuk kota merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan di
dalam melihat suatu kondisi perkotaan dalam hal ini ditinjau dari pola morfologi kota.

1.2 Permasalahan Wilayah Studi

Kelurahan Uentanaga Bawah dahulunya merupakan sebuah perkampungan yang lama


kelamaan menjadi Desa. Secara umum dataran Kota Ampana sangat strategis untuk dijadikan
daerah permukiman karena keaadaan alamnya yang sangat baik sehingga sangat cocok untuk
dijadikan daerah pertanian dan perkebunan, namun seiring berjalannya waktu, kota ampana
mulai berkembang, Kelurahan Uentanaga Bawah kini telah bertransformasi menjadi tempat
yang mewadahi / menampung kegiatan masyarakat kota ampana, hal ini dikarenakan lebih
dominannya tempat atau pusat kegiatan seperti perkantoran, pertokoan, dan lain – lain
daripada rumah warga sendiri. Sehingga dilakukan Analisis terhadap kelurahan ini, seperti
analisis morfologi ruang kawasan Desa Uentanaga Bawah untuk mengetahui apakah
Kelurahan Uentanaga Bawah memiliki ciri khas yang dapat digunakan sebagai daya tarik.
Analisis ini digunakan secara time series dengan membandingkan citra sekarang dengan citra
terdahulu untuk mengetahui apakah ada perubahan dari waktu ke waktu pada kondisi fisik di
Kelurahan Uentanga Bawah. Berdasarkan masalah tersebut makan diperlukan analisis
mengenai morfologi ruang kota secara mendalam.

1.3 Tujuan dan Sasaran

Laporan mengenai analisis bentuk dan perluasan kota, analisis morfologi secara
struktural, analisis morfologi secara fungsional, analisis morfologi secara visual, analisis
faktor yang mempengaruhi pembentukan kota secara fisik dan non – fisik, analisis
townscape, serta analisis figure ground, lingkage dan place pada kawasan Kelurahan
Uentanaga Bawah, Kecamatan Ratulindo, Kabupaten Tojo Una – Una dengan tujuan dan
sasaran sebagai berikut

1.3.1 Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan ini untuk mengetahui dan mengkaji morfologi
ruang kota pada kawasan Kelurahan Uentanaga Bawah. Kecamatan Ratulindo,
Kabupaten Tojo Una – Una terkait dengan analisis bentuk dan perluasan kota,
analisis morfologi secara struktural, analisis morfologi secara fungsional, analisis
morfologi secara visual, analisis faktor yang mempengaruhi pembentukan kota
secara fisik dan non-fisik, analisis townscape, serta analisis figure ground, lingkage
dan place yang pada saat ini yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
1.3.2 Sasaran
Sasaran dari laporan analisis morfologi kota ini meliputi :
a. Identifikasi dan analisis aspek – aspek morfologi kota dengan mengkaji bentuk
dan perluasan kota pada Kelurahan Uentanaga Bawah, Kecamatan Ratulindo,
Kota Ampana.
b. Identifikasi dan analisis aspek – aspek morfologi kota dengan mengkaji
morfologi secara struktural pada Kelurahan Uentanaga Bawah, Kecamatan
Ratulindo, Kota Ampana.
c. Identifikasi dan analisis aspek – aspek morfologi kota dengan mengkaji
morfologi secara fungsional pada Kelurahan Uentanaga Bawah, Kecamatan
Ratulindo, Kota Ampana.
d. Identifikasi dan analisis aspek – aspek morfologi kota dengan mengkaji
morfologi secara visual pada Kelurahan Uentanaga Bawah, Kecamatan
Ratulindo, Kota Ampana.
e. Identifikasi dan analisis aspek – aspek morfologi kota dengan mengkaji faktor
yang mempengaruhi pembentukan kota secara fisik dan non – fisik pada
Kelurahan Uentanaga Bawah, Kecamatan Ratulindo, Kota Ampana.
f. Identifikasi dan analisis aspek – aspek morfologi kota dengan mengkaji pada
Townscape Kelurahan Uentanaga Bawah, Kecamatan Ratulindo, Kota
Ampana.
g. Identifikasi dan analisis aspek – aspek morfologi kota dengan mengkaji Figure
Ground, Lingkage dan Place pada Kelurahan Uentanaga Bawah, Kecamatan
Ratulindo, Kota Ampana.
h. Identifikasi dan analisis aspek – aspek morfologi kota dengan mengkaji citra
pada Kelurahan Uentanaga Bawah, Kecamatan Ratulindo, Kota Ampana

1.4 Ruang Lingkup

Wilayah yang menjadi wilayah studi adalah Kelurahan Uentanaga Bawah, Kecamatan
Ratulindo, Kota Ampana
1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah Kelurahan Uentanaga Bawah, Kecamatan Ratulindo, Kota
Ampana memiliki batas – batas wilayah sebagai berikut
Sebelah Utara : Teluk Tomini
Sebelah Selatan : Kelurahan Uentanaga Atas
Sebelah Timur : Kelurahan Muara Toba
Sebelah Barat : Kelurahan Ampana
1.4.2 Ruang Lingkup Materi
Ruang Lingkup Materi mencakup aspek morfologi kota di wilayah studi, yaitu
mengenai bentuk dan perluasan / perembetan kota / kawasan, mengenai morfologi
secara struktural seperti bentuk bangunan, kapling atau kadaster, pola jaringan
jalan, mengenai morfologi secara fungsional, mengenai morfologi secara visual,
mengenai faktor yang mempengaruhi pembentukan kota baik secara fisik maupun
non – fisik, mengenai Townscape , mengenai figure gruound, lingkage, dan place,
dan mengenai Citra Kota Kelurahan Uentanaga Bawah yang akan dibandingkan
secara time series / dengan waktu – waktu sebelumnya untuk melihat perubahan
fisik pada kawasan kelurahan tersebut.

1.5 Sistematika Penulisan

Laporan ini tersusun atas lima bab yang dijelaskan dalam uraian berikut ini:

- BAB I PENDAHULUAN
Meliputi latar belakang, permasalahan wilayah studi, tujuan dan sasaran, ruang lingkup
pembahasan mengenai wilayah studi, dan sistematika penulisan dalam laporan ini.
- BAB II STUDI LITERATUR
Bab ini berisi studi literature relevan yang menjadi alat mengkaji bagi obyek penulisan.
(Teori komponen morfologi, teori morfologi,kajian bentk kota, perembetan kota,
struktur dan bentuk kota, Faktor yang mempengaruhi pembentukan kota, Roger Trancik
(figure ground,place,linkage), dan Gordon Cullen (Townscape))
- BAB III METODE ANALISIS
Bab ini berisikan penjelasan mengenai pendekatan, Metode Pengumpulan Data,
Kebutuhan Data, Konsep dan Analisis Data, Metode Analisis Data, Pengolahan Data
dan Analisis yang digunakan dalam penyusunan laporan ini.
- BAB IV ANALISIS LOKASI STUDI
Bab ini menjelaskan mengenai analisis terkait bentuk dan perluasan / perembetan kota /
kawasan, morfologi secara struktural seperti bentuk bangunan, kapling atau kadaster,
pola jaringan jalan, morfologi secara fungsional, morfologi secara visual, faktor yang
mempengaruhi pembentukan kota baik secara fisik maupun non – fisik, Townscape,
dan figure ground, lingkage, dan place yang ada di wilayah studi.
- BAB V PENUTUP
Berisikan kesimpulan berdasarkan hasil analisis di Desa Uentanaga Bawah.
BAB II

KAJIAN LITERATUR

2.1 Teori Komponen Morfologi

Komponen-komponen dalam morfologi kota ada 3 pendekatan yaitu komponen


muratorian, komponen conzenian, dan komponen typo-morphology. Ketiga komponen ini
menggunakan aspek analisis yang berbeda yaitu :

1. Komponen Muratorian
Pendekatan ini mempergunakan empat aspek analisis, antara lain:
- Elemen Desain, yaitu komponen-komponen yang mendukung kelengkapan desain,
misalnya bangunan terdiri dari atap, pintu, dan lain sebagainya.
- Struktur Internal Elemen, yaitu posisi atau hubungan antara elemen desain.
- Hubungan Antara Bentuk dan Kegunaan, yaitu komponen yang menjelaskan
bagaimana dimensi dan proporsi ruang serta komponen fisik lainnya dapat
mengakomodasi fungsi ruang.
- Aspek Formal Atau Perwujudan Fisik, yaitu bagaimana desain bangunan dan kawasan
secara fisik mencerminkan makna dan kegunaan.
2. Komponen Conzenian
Menurut, M.G.R. Conzen bahwa sangat perlu untuk memperhatikan empat komponen
morfologi, yaitu :
- Guna lahan (land uses), merupakan komponen pokok dalam pertumbuhan kawasan.
- Stuktur Bangunan. Komponen ini merupakan representasi dari typology dalam
analisis morfologi dan dapat dibahas dalam dua aspek, antara lain penataan massa dan
arsitektur bangunan.
- Pola Plot. Komponen ini dapat dibahas dari aspek ukuran (dimensi) dan sebarannya.
- Jaringan Jalan. Komponen ini merupakan fungsi derivatif dari guna lahan. Sebagai
jalur penghubung, jaringan jalan sangat mempengaruhi efisiensi dan efektifitas fungsi
kawasan.
3. Komponen Typo-Morphology
Moudon menjelaskan bahwa pendekatan tipo-morfologi merupakan refleksi dari
dialektik antara tipologi bangunan dengan morfologi kota. Dalam kajian kontemporer
mengenai perkotaan, pendekatan ini dapat dipergunakan untuk menguraikan Komponen
Place dengan memasukkan komponen baru yaitu persepsi mengenai makna.
Carmona et al (2003: 89) menjelaskan konsep yang dipergunakan Kevin Lynch
dalam menguraikan komponen place dengan mempergunakan tiga buah atribut, yaitu
identitas, struktur dan makna. Ketiga atribut ini secara jelas mendefenisikan susunan
ruang perkotaan dalam lima tipologi, yaitu district, edge, path, landmark dan node.

Seperti halnya komponen citra yang mampu memperlihatkan bagaimana secara


kognitif, pengguna ruang mampu men-struktur-kan kawasan perkotaan yang dengan jelas
merepresentasikan morfologi kawasan.
Peta mental yang dibentuk dari proses berpikir (kognisi) menangkap komponen-
komponen arsitektur kota (tipologi) seperti desain bangunan, taman, pola jalan, dan lain
sebagainya dan merangkainya sedemikian rupa untuk menjelaskan pola keterhubungan antara
komponen-komponen tersebut dalam bentuk morfologi kawasan.

2.2 Teori Morfologi

Morfologi kota merupakan kajian ilmu yang tidak bersifat statis, yaitu hanya membahas
tentang bentuk fisik seperti ketinggian bangunan, susunan jaringan jalan, serta komposisi dan
proporsi bangunan dalam suatu bentang kota (townscape), melainkan justru berusaha
menggali proses yang melatarbelakangi perubahan dan dinamika terbentuknya lingkungan
perkotaan dengan lingkungan fisik sebagai representasinya.

Teori morfologi sendiri telah berkembang dalam beberapa fase yang secara umum
dapat dijelaskan sebagai berikut (Moudon, 1997) :
1. Italian school. Kajian mengenai bentuk diawali dengan keprihatinan atas meluasnya
paham dan dampak arsitektur modern yang berkembang setelah masa perang dunia
kedua khususnya di Eropa (Cataldi, 2003). Arsitektur modern yang mendorong
tumbuhnya internasionalisme dalam desain bangunan dan lingkungan dinilai
mengancam kelestarian aspek lokalitas dari arsitektur. Muratori kemudian
mengembangkan metode untuk menggali kekayaan bentuk-bentuk dalam arsitektur
lokal untuk kemudian dipergunakan sebagai bentuk dasar dari komponen-komponen
lingkungan yang baru. Metode ini dikenal dengan nama typologi dan mahzab yang
mempergunakan metode ini dikenal dengan nama Muratorian. Pada masa ini analisis
mengenai bentuk lebih berorientasi pada bangunan sebagai representasi dari arsitektur.
2. French school. Metodologi mengenai kajian bentuk terus berkembang dimana
memasukkan unsur growth. Dalam fase ini, mulai berkembang kesadaran mengenai
pentingnya memperhatikan unsur pertumbuhan populasi dan masalah sosial di
dalamnya yang mempengauruhi pertumbuhan bentang kota (townscape).
3. English school. Kompleksitas kawasan perkotaan menuntut penjelasan yang lebih
komprehensif mengenai penyebab dan bagaimana strategi pengendaliannya. Pada fase
ini, metodologi kajian bentuk diperkaya dengan substansi geografi yang diperkenalkan
oleh M.R.G.Conzen yang kemudian lebih dikenal dengan mahzab Conzenian. Pada
mahzab ini, bentuk kota dipahami sebagai representasi proses yang didorong oleh
beberapa komponen geografis antara lain struktur bangunan, fungsi bangunan atau
lahan, ukuran kapling dan jaringan jalan. Pada era ini, istilah morphology mulai
dikenal.
Meskipun masing-masing mahzab di atas memiliki fokus amatan yang berbeda, tetapi
masing-masing menerapkan disiplin yang sama, yaitu adanya skala observasi dan komponen
observasi. Skala observasi merupakan penjenjangan tingkat kedetailan pengamatan (resolusi)
yang berimplikasi pada jenis komponen fisik dasar yang observasi. Secara umum, resolusi
pengamatan dalam analisis morfologi antara lain terdiri dari :
- PLOT, merupakan skala pengamatan morfologi dengan resolusi yang paling rendah
karena hanya fokus ke komponen-komponen fisik yang berada pada potongan lahan
yang sama. Objek-objek dalam sebuah plot tidak dibatasi oleh ruas jalan apapun, dengan
demikian kita dapat menemukan komponen bangunan dan guna lahan di dalamnya. Plot
yang terdiri dari beberapa beberapa kapling biasanya disebut blok.
- DISTRIK, merupakan sekumpulan plot beserta komponen fisik di dalamnya yang
dihubungkan oleh ruas-ruas jalan. Distrik sudah dapat memperlihatkan kompleksitas
kawasan karena didalamnya dapat diamati sebaran blok dengan karakteristik fisik
lingkungan dan demografi.
- KOTA, secara morfologis merupakan satu kesatuan wilayah dengan kompleksitas
struktur dan pola ruang sebagai pusat permukiman.
- WILAYAH, merupakan satu kesatuan wilayah yang tersusun dari pusat-pusat
permukiman secara berjenjang.

2.3 Kajian Bentuk Kota

Kota akan selalu tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan
sosialbudaya, ekonomi dan politik yang melatar belakanginya. Perkembangan kota
merupakan hasil karya dari konstruksi pemikiran manusia baik dalam tataran adaptasi
terhadap lingkungan maupun adjustment. Budaya merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan images dari citra kota dapat berubah. Masyarakat kota dengan latar belakang
tertentu dari pola hidup tradisional hingga modern mempengaruhi perubahan dalam bentukan
kota.

Struktur tanah dan sebagainya mempunyai peran yang sangat penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan kota (Wikantiyoso,1995). Nielsen (2005), mengungkapkan
bahwa terdapat tiga faktor yang berperan penting dalam proses pertumbuhan kota, yakni
ekologi, teknologi dan organisasi sosial. Perkembangan kota tersebut merupakan proses
berkesinambungan yang erat kaitannya dengan perubahan sosial-budaya masyarakat.
Keberadaan kota tidak lepas dari sejarah awal perkembangan, kondisi saat ini, serta wajah
kota di masa yang akan datang. Perkembangan kota sangat berkaitan dengan fungsi waktu,
hal ini mengingatkan kita pada masa lampau yaitu aspek kesejarahan memegang peranan
yang sangat penting dalam membentuk morfologi kota (Mumford,1967). Bentuk kota bukan
hanya sekedar produk, tetapi juga merupakan proses akumulasi menifestasi fisik dari
kehidupan non fisik, yang dipengaruhi oleh sistem nilai dan norma-norma yang berlaku pada
masa pembentukannya (Danisworo,1989). Dapat juga dikatakan sebagai urban artifact, kota
dalam perjalanan sejarahnya telah dan akan membentuk suatu pola morfologi sebagai
implementasi bentuk perubahan sosial-budaya masyarakat yang membentuknya. Selanjutnya
ketika berbicara mengenai dua hal yang telah dijelaskan di atas, yaitu perkembangan dan
bentuk kota. Maka perkembangan dan bentuk kota merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan di dalam melihat suatu kondisi perkotaan dalam hal ini ditinjau dari pola
morfologi kota.

Untuk mengungkapkan fenomena perkembangan kota tidak terlepas dari pembahasan


elemen pembentuk kota itu sendiri. Fenomena perkembangan kota akan mencakup
perkembangan elemen detail, elemen tata bentuk kota atau townscape serta perkembangan
aspek peraturan kota atau pranata kota. Ketiga aspek tersebut merupakan aspek fisik, yang
baik secara langsung maupun tidak langsung sangat dipengaruhi oleh aspek non-fisik kota
sebagai latar belakang perkembangan kota.

Kajian morfologi kota secara struktural, fungsional dan visual serta perancangan kota
dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kajian Morfologi Kota secara Struktural


Analisa struktural menyatakan adanya pemisahan tingkatan-tingkatan yang
dikaitkan dengan tastes, preferences dan life styles. Seperti yang diungkapkan oleh
Alonso yang menggunakan pembagian zona konsentris dari Burgess untuk
menjelaskan spatial distribution-residential mobility (dalam Yunus, 2000).
2. Kajian Morfologi Kota secara Fungsional
Pada tahun 1748 Giambattista Nolli (Zahnd, 1999), seorang arsitek Italia,
menemukan suatu cara analisa suatu tekstur perkotaan dari segi fungsi massa dan
ruang serta bagaimana hubungannya secara fungsional. Adapun cara yang harus
dilakukan yaitu dengan menunjukkan secara analitis semua massa dan ruang
perkotaan yang bersifat publik (dan semipublik) ke dalam suatu gambaran
figure/graund secara khusus. Cara analisa tersebut diberi nama Nolliplan yaitu semua
massa yang bersifat publik atau semipublik tidak lagi diekspresikan sebagai massa
(dengan warna hitam), melainkan digolongkan bersama tekstur ruang (warna putih).
3. Kajian Morfologi Kota secara Visual
Kajian morfologi kota secara visual dapat dilihat pada analisa linkage
(penghubung) yang membahas hubungan sebuah tempat dengan yang lain dari
berbagai aspek sebagai suatu generator (pengerak) perkotaan. Dalam analisa linkage
dikemukakan tiga pendekatan diantaranya linkage visual. Dalam linkage yang visual
dua atau lebih banyak fragmen (bagian atau pecahan sesuatu) kota dihubungkan
menjadi satu kesatuan secara visual. Lima elemen Identifikasi Pola Morfologi Kota
217 linkage visual yang menghasilkan hubungan secara visual, yakni garis, koridor,
sisi, sumbu, dan irama.

2.4 Perembetan Kota

Kebutuhan lahan permukiman terus meningkat seiring dengan perkembangan kota.


Tuntutan penggunaan lahan permukiman yang tidak dapat diakomodir oleh ruang kota
menimbulkan perembetan kawasan ke wilayah pinggiran (urban fringe). Perkembangan
wilayah pinggiran (urban fringe) mengakibatkan kenampakan bentuk morfologi tertentu.
Perembetan kota adalah akibat dari keterbatasan ruang dalam mewadahi pertumbuhan
penduduk dan aktivitasnya. Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah pinggiran
kota disebut urban sprawl. Adapun macam urban sprawl sebagai berikut: (Yunus, 2000) :
1) Perembetan memanjang (ribbon development), tipe ini menunjukkan ketidakmerataan
perembetan areal perkotaan di semua bagian sisi luar daripada daerah kota utama.
Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya
yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota
2) Perembetan konsentris (concentric development), tipe perembetan paling lambat,
berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakkan fisik kota
yang sudah ada sehingga akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang
kompak. Peran transportasi terhadap perembetannya tidak begitu besar
3) Perembetan meloncat (leap frog development) Perembetan yang terjadi pada tipe ini
dianggap paling merugikan oleh kebanyakan pakar lingkungan, tidak efisien dan tidak
menarik. Perkembangan lahan kekotaanya terjadi berpencaran secara sporadis dan
tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian, sehingga cepat menimbulkan dampak negatif
terhadap kegiatan pertanian pada wilayah yang luas sehingga penurunan produktifitas
pertanian akan lebih cepat terjadi.

Secara garis besar terdapat 3 (tiga) jenis proses urban sprawl yaitu:
1) Tipe pertama ini oleh Harvey Clark (1971) disebut sebagai “low density, continous
development”. Jadi ini merupakan jenis perembetan areal kekotaan yang paling lambat.
Perembetan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar
kenampakan fisik kota. Karena sifat perambatannya yang merata disemua bagian luar
kenampakan kota yang sudah ada, maka tahap berikutnya akan membentuk suatu
kenampakan morfologi kota yang relatif kompak.
2) Tipe ini menunjukkan ketidak merataan perembetan areal kekotaan disemua bagian
sisi-sisi luar dari pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang
jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota.
Daerah ini sepanjang rute transportasi utama merupakan tekanan paling berat dari
perkembangan. Membumbungnya harga lahan pada 24 kawasan ini telah memojokkan
pemilik lahan pertanian pada posisi yang sangat sulit. Makin banyaknya perubahan
lahan pertanian kelahan non pertanian, makin banyaknya penduduk, makin banyaknya
kegiatan nonagraris. Tingginya harga lahan dan makin banyak orang yang mau
membeli telah memperkuat dorongan pemilik lahan untuk meninggalkan kegiatannya
dan menjualnya. Bagi masyarakat hasil penjualan tanahnya diinvestasikan lagi pada
lahan yang jauh dari kota sehingga memperoleh lahan pertanian yang lebih luas.
3) Tipe perkembangan ini oleh kebanyakan pakar lingkungan dianggap paling merugikan,
tidak efisien dalam arti ekonomi, tidak mempunyai nilai estetika dan tidak menarik.
Perkembangan lahan kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di
tengah-tengah lahan pertanian. Keadaan ini sangat menyulitkan pemerintah kota untuk
membangun prasarana-prasarana fasilitas kebutuhan hidup sehari-hari.

Perkembangan kota yang dinamis mengakibatkan tuntutan akan ruang meningkat,


terutama kebutuhan akan lahan permukiman (Soetomo, 2009). Kota yang semakin padat
tidak dapat mengakomodir kebutuhan tersebut sehingga berkembang ke wilayah sekitar kota
yang dikenal dengan urban fringe (Kusumantoro, 2007).

2.5 Struktur dan Bentuk Kota

Struktur Kota merupakan gambaran dari distribusi tata guna lahan dan sistem jaringan.
Penjabaran struktur kota membentuk pola kota yang menginformasikan antara lain
kesesuaian lahan, kependudukan, guna lahan, sistem transportasi, dan sebagainya, dimana
kesemuanya saling berkaitan satu sama lain. Pola kota yang merupakan ilustrasi dari struktur
ruang kota secara tak langsung dapat menunjukkan arah perkembangan kota yang pada
dasarnya sangat dipengaruhi oleh tata guna lahan. Jenis/Macam Struktur Kota antara lain :
1. Teori Konsentris (Concentric Theory)
Teori tentang struktur ruang kota yang pertama adalah teori konsentris yakni teori
yang dikemukakan oleh Ernest W. Burgess, seorang sosiolog asal Amerika Serikat yang
meneliti kota Chicago pada tahun 1920. Ia berpendapat bahwa kota Chicago telah
mengalami perkembangan dan pemekaran wilayah seiring berjalannya waktu dan
bertambahnya jumlah penduduk. Perkembangan itu semakin meluas menjauhi titik pusat
hingga mencapai daerah pinggiran. Zona yang terbentuk akibat pemekaran wilayah ini
mirip sebuah gelang yang melingkar.
2. Teori Sektoral (Sector Theory)
Teori tentang struktur ruang kota yang kedua adalah teori sektoral yakni teori yang
dikemukakan oleh Hommer Hoyt dari hasil penelitiannya yang dilakukannya pada tahun
1930-an di kota Chicago. Hommer Hoyt berpendapat bahwa unit-unit kegiatan di
perkotaan tidak menganut teori konsentris melainkan membentuk unit-unit yang lebih
bebas. Ia menambahkan bahwa daerah dengan harga tanah yang mahal pada umumnya
terletak di luar kota sedangkan harga tanah yang lebih murah biasanya merupakan jalur-
jalur yang bentuknya memanjang dari pusat kota (pusat kegiatan) menuju daerah
perbatasan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar di bawah ini.
3. Teori Inti Ganda (Multiple Nucleus Theory)
Teori tentang struktur ruang kota yang ketiga adalah teori inti ganda yakni teori yang
dikemukakan oleh dua orang ahli geografi yang bernama Harris dan Ullman pada tahun
1945. Mereka berdua berpendapat bahwa teori konsentris dan sektoral memang terdapat
di perkotaan namun apabila dilihat lebih dalam lagi, maka akan didapati kenyataan yang
lebih kompleks.
4. Teori Konsektoral (Tipe Eropa)
Teori tentang struktur ruang kota yang keempat adalah teori konsektoral (tipe Eropa)
yakni teori yang dikemukakan oleh Peter Mann di Inggris pada tahun 1965. Peter Mann
mencoba untuk menggabungkan teori konsentris dan sektoral, akan tetapi disini teori
konsentris lebih ditonjolkan.

Bentuk Kota merupakan gambaran/ pola dari kawasan terbangun yang menunjukkan
kegiatan- kegiatan melalui penggunaan lahan yang nantinya menunjukkan pola pembinaan
suatu rencana.

1) Bentuk Linier adalah Kota dimana berbentuk garis dan biasanya terbentuk dari akibat
hasil dari topografi alami yang membatasi perkembangan kota/hasil pola transportasi.
Contoh : Kota Madrid di Spanyol
2) Bentuk Grid adalah Kota yang memiliki dua koridor utama untuk menuju pusat kota.
Contoh : Kota Surakarta
3) Branch/Cabang, Bentuk ini merupakan perkembangan dari bentuk linier. Dimana
terdapat banyak cabang dari jalur utama menuju pusat kota dan juga merupakan jalur
utama dari pusat tersebut
4) Ring, Terdiri dari beberapa pusat kota yang melingkari pusatnya sehingga terbentuknya
ruang terbuka hijau di pusat tersebut dan membuat pusat kota disekitarnya juga
berkembang maju.
5) The Square Cities (Bentuk Bujur Sangkar), Kota berbentuk bujur sangkar menunjukkan
adanya kesempatan perluasan kota ke segala arah yang “relatif” seimbang dan kendala
fisikal “relatif” tidak begitu berarti. Hanya saja, ada jalur transportasi pada sisi-sisi
memungkinkan terjadinya percepatan pertumbuhan areal kota pada arah jalur yang
bersangkutan (Nelson, 1908).
6) Octopus/Star Shaped Cities (Bentuk Gurita/Bintang), Dasar dari bentuk spider web
dengan linear radial biasanya mendefinisikan beberapa tipe dari ruangan terbuka. Contoh
Washington D.C. Peranan jalur transportasi pada bentuk ini juga sangat dominan
sebagaimana dalam “ribbon-shaped city”. Hanya saja, pada bentuk gurita jalur
transportasi tidak hanya satu arah saja, tetapi beberapa arah ke luar kota. Hal ini hanya
dimungkinkan apabila daerah “hinter land” dan pinggirannya tidak memberikan
halangan-halangan fisik yang berarti terhadap perkembangan areal kekotaannya.
7) He Rectangular Cities (Bentuk Empat Persegi Panjang), Melihat bentuknya orang dapat
melihat bahwa dimensi memajang sedikit lebih besar daripada dimensi melebar. Hal ini
dimungkinkan timbul karena adanya hambatan-hambatan fisikal terhadap perkembangan
areal kota pada salah satu sisi-sisinya, (Nelson, 1958).
8) Satelite and Neighbourhood Plans (Bentuk Satelit dan Pusat-Pusat Baru), Pengembangan
kota-kota satelit ini dapat berfungsi sebagai penyerap mengalirnya arus urbanit yang
sangat besar ke kota utama dengan jalan meningkatkan fungsi-fungsi yang ada di kota-
kota satelit sehingga memperluas “working opportunities” nya. Contohnya Kota
Stockholm, London, Copenhagen, Jabotabek, Gerbang Kertasusila, Bandungraya. Dalam
hal ini terlihat bahwa “concentric development” mendominasi perkembangan areal
kekotaannya pada “main urban center” maupun pada kota-kota satelitnya.

Adapun Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Bentuk Dan Struktur Kota yaitu, Pola
Jaringan Jalan, Daya Dukung Lahan, Sebaran Sumbar Daya Alam, Hubungan Fungsional
Antar Kegiatan dan Kebijaksanaan Pemerintah.

2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Kota

Faktor yang mempengaruhi pembentukan terdiri dari dua aspek, yaitu :


1. Aspek fisik
Menurut kostov wujud kota adalah Untuk membaca wujud kota, perlu memahami
dengan baik “kondisi” yang mendorong pembentukannya. Selain wujud fisik, perlu
dilihat bagaimana proses terbentuknya, dengan merujuk pada perubahan fisiknya
sepanjang waktu.
a. Kota yang direncanakan, Kota yang di rencanakan sejak awal menurut Pierre
Lavedan bahwa Ville cree atau created city (Kota yang di rencanakan) adalah kota
yang didefinisikan menurut cara pandang penguasa (sejak periode klasik hingga
abad 19). Pada umumnya polanya menggunakan diagram geometrik, mengambil
bentuk paling murni (lingkaran, poligon, grid, radial, atau kombinasi di antaranya).
b. Kota yang tidak direncanakan, Kota yang tidak di rencanakan sejak awal menurut
Pierre Lavedan bahwa Ville spontande adalah kota yang tumbuh spontan, kota yang
bangkit, kota yang tumbuh dan berubah. Kota yang tumbuh tanpa memanfaatkan
perancang, tanpa masterplan. Kotanya ditentukan oleh pola tata letak tanah dan
kehidupan sehari-hari warganya. Berpola irregular, non geometric, organis, dengan
pola jaringan jalan berbelok-belok membentuk kurva dan ruang terbuka yang acak.

Pada awal pertumbuhannya, hanya ada satu faktor yang mempengaruhi pola dan
bentuk kota yaitu aspek fisik. Faktor dari aspek fisik sangat berpengaruh pada awal
pembentukan kota.
a. Fisiografi
Jenis kota berdasarkan faktor fisiografi adalah jenis kota yang dapat dilihat dari
letak secara fisik kotanya. Faktor fisiografi merupakan faktor yang paling mudah
dilihat dan mempengaruhi pertumbuhan kota. Dapat dibedakan berdasarkan
lansekap alamiah, misalnya laut, sungai, dan gunung. Jenis kota berdasarkan faktor
fisiografi yaitu :
1) Kota sungai
Sungai adalah sarana transportasi yang menjadi jalur utama hubungan ke
luar. Kota sungai terbentuk oleh permukiman yang terletak di tepi sungai atau
pada pertemuan dua/beberapa sungai.
Pada awalnya bagian kota yang dipisahkan oleh sungai dihubungkan oleh
transportasi dengan menggunakan perahu. Dalam hal ini sungai dimanfaatkan
sebagai jalur sirkulasi sebagaimana pada pertumbuhan awal kota. Selanjutnya
dibangun jaringan jalan di sepanjang kiri dan kanan sungai, serta dilengkapi
dengan jembatan yang menghubungkan bagian kota yang dipisahkan oleh
sungai.
Pada tahap pertumbuhan berikutnya, ketika kota sudah mencapai tahap
maturity, maka sungai tidak hanya digunakan untuk transportasi, tetapi
dikembangkan untuk kegiatan rekreasi dan wisata.
2) Kota pelabuhan alam
Kota pelabuhan alam dibentuk oleh cekungan yang mengarah ke laut. Pada
pantai berbukit, cekungan kontur membentuk teras bertingkat semacam tribun
teater yang menghadap ke laut. Kota pelabuhan yang dibentuk oleh alam
mempunyai beberapa potensi yaitu keindahan alam sebagai sarana wisata dan
pertahanan dan keamanan sebagai barier/pembatas. Pola jaringan jalan pada
jenis kota pelabuhan alam pada umumnya mengikuti karakter kontur, yaitu
membentuk jari-jari mengikuti lengkung cekungan.
3) Kota pertahanan alam
Kota pertahanan alam dibentuk oleh lingkungan dan tapak. Kota ini dibangun
dengan memanfaatkan sifat kontur. Bagian strategis pada puncak kontur
dimanfaatkan sebagai jalur keluar masuk kota yang dari posisinya mudah untuk
dilakukan pengontrolan.
4) Kota punggung bukit
Bentuk kota ini mengadopsi konfigurasi bentuk dan ketinggian lereng. Jika
tapaknya berada di punggung bukit, maka kota akan berbentuk linier dimana
bangunan-bangunan kastil atau gereja akan disesuaikan bentuk arsitekturnya,
atau ditempatkan sedemikian rupa di sepanjang sisi punggung bukit. Jaringan
jalan utama ditempatkan sejajar dengan jalur utama mengikuti bentuk lereng.
Kota ini menunjukkan kesesuaian antara buatan manusia dan alam.
5) Kota puncak bukit
Kota puncak bukit dibangun dengan memanfaatkan keuntungan bentuk
lansekap bukit, terutama bagian puncak dan daerah sekelilingnya. Kota puncak
bukit memiliki bentuk yang melingkar seperti kubah. Bangunan-bangunan
utamanya ditempatkan di bagian puncak, dan jaringan jalan membentuk
lingkaran konsentris mulai dari puncak sampai ke bawah. Kota ini Berbeda
dengan kota-kota di daerah dataran yang dapat tumbuh dan berkembang dengan
berbagai bentuk dan pola.
6) Kota lereng bukit
Lokasi kota lereng bukit berada di sepanjang lereng membentuk teras-teras
bertingkat. Orientasi kotanya menghadap ke arah lembah yang pada umumnya
mempunyai pemandangan alam yang indah.
b. Topografi
Jenis Kota berdasarkan faktor kondisi topografi yaitu Kota Perbukitan dan Kota
pada DAS.
1) Kota perbukitan
Pola dan bentuk kota perbukitan akan berkembang atau dikembangkan
mengikuti kondisi lereng perbukitan, dengan jaringan jalan yag melingkar
mengikuti kontur. Bangunan-bangunannya ditempatkan pada lokasi yang layak
bangun menurut pertimbangan masyarakat setempat. Lokasinya biasanya
terletak pada puncak bukit, lereng bukit, punggung bukit, atau kaki bukit.
2) Kota DAS
Kota DAS pada awalnya berupa kota yang tumbuh di tepian sungai atau
pertemuan beberapa sungai yang kemudian berkembang semakin besar. kota
DAS juga dikenal sebagai kota yang tumbuh di muara sungai, yang kemudian
berkembang menjadi kota pelabuhan, baik pelabuhan alam maupun buatan.
c. Bentang alam
Pengembangan sebuah kota yang berdasarkan kondisi fisik membutuhkan
pertimbangan terhadap faktor sumberdaya alam yang akan mempengaruhi
pertumbuhan kota, dan mempengaruhi bentuk kota. Pada intinya, bentuk kota
mempunyai batasan yang ditimbulkan dari alam:
1) Geologi
Kondisi geologi suatu wilayah menggambarkan jenis tanah, daya dukung
tanah dan kedalaman tanah keras. Kondisi tersebut dibutuhkan untuk
menentukan layak tidaknya kawasan tersebut digunakan sebagai permukiman
ataupun sebagai kawasan perkotaan.
2) Topografi
Kondisi topografi suatu wilayah menunjukkan berbagai jenis lokasi serta
perbedaan ketinggian bentuk-bentuk tampilan baik alami maupun buatan
manusia, relief dan tumbuh-tumbuhan. Faktor utama yang perlu diketahui
adalah kemiringan lahan atau slope yang menentukan apakah kawasan tersebut
mempunyai kemiringan tajam (curam), landai, atau datar.
3) Hidrografi
Kondisi hidrografi yang sangat berpengaruh dalam membatasi bentuk kota
adalah badan air, seperti sungai, anak sungai, saluran-saluran alam dan buatan,
sumber air, danau dan waduk. Sungai, saluran alam dan mata air dalam banyak
hal menjadi faktor penentu kegiatan apa yang dapat ditetapkan pada kawasan
tersebut. Pada intinya, kawasan yang mempunyai potensi hidrografi akan
mempunyai ciri yang khusus dalam pengembangan wilayahnya.
4) Vegetasi
Vegetasi yang dapat menentukan pola pengembangan kawasan biasanya
adalah tumbuhan yang mempunyai sifat khusus, spesifik atau langka. Pohon-
pohon besar yang sudah ada perlu dipertahankan karena untuk menumbuhkan
pohon sampai menjadi besar membutuhkan waktu bertahuntahun. Disamping
itu, pepohonan dan tanaman mempunyai berbagai fungsi seperti penahan angin,
pembatas, peneduh, penyaring debu, penghalang pandang (screen), dan
pembentuk latar belakang. Jenis pohon yang perlu dipertimbangkan adalah
tanaman yang mempunyai diameter batang lebih besar dari 10cm, dan
merupakan khas daerah setempat yang mudah tumbuh di daerah tersebut.
2. Aspek non-fisik
Aspek non-fisik terdiri dari beberapa aspek, yaitu :
a. Aspek sosio-kultur
Faktor lain yang mempengaruhi perubahan morfologi kota adalah tatanan sosial
masyarakat yang dicerminkan dalam wujud lingkungan permukiman berdasarkan
kedekatan kekerabatan, afiliasi kesukuan dan etnis. Norma yang dianut masyarakat
mempengaruhi cara hidup dan kegiatan sehari-hari yang diwujudkan dalam tatanan
lingkungan sampai tatanan ruang kotanya.
Akar budaya permukiman perkotaan di Indonesia diwarnai oleh tradisi
perdesaan yang sangat dipengaruhi oleh struktur agraris dengan kehidupan sosial
yang bertumpu pada kehidupan gotong royong. Permukiman desa merupakan
struktur dasar hunian terorganisir yang paling tua, dimana gotong royong untuk
mendirikan rumah menjadi gejala umum hampir di seluruh masyarakat Nusantara.
b. Aspek ekonomi
- Awal peradaban manusia
Pada awal peradaban manusia aspek ekonomi yang mempengaruhi kota
ditentukan oleh jenis mata pencaharian penduduknya. Sesudah manusia
melewati periode “memanfaatkan langsung apa yang diberikan oleh alam”
menjadim kemampuan “mengolah alam”. Manusiapun memperoleh surplus dari
kegiatannya tersebut. Surplus bahan makanan melalui kemamuan bercocok
tanam dan beternak menciptakan kelompok strata baru dalam masyarakat
seperti pemimpin, prajurit, pedagang, dan petani. Munculnya kelompok
pedagang mendorong tempat-tempat untuk melakukan transaksi perdagangan,
yaitu pasar. Pada awalnya perdagangan dilakukan melalui barter sampai
akhirnya manusia mengenal alat tukar yang disebut mata uang.
Sesudah manusia mengenal peradaban, muncul dua pola habitat yang
dipengaruhi mata pencaharian warga, yaitu pola rectalinier dan sirkular.
Masyarakat yang hidup dari mata pencaharian bercocok tanam, membentuk
habitat berpola rectalinier mengikuti bentuk petak sawah. Terdapat pada
masyarakat agraris dan Kota Korshabad. Masyarakat yang hidup dari beternak,
membentuk habitat berpola sirkular.
- Diserfikasi ketrampilan penduduk-kelompok pengrajin
Tahap selanjutnya masyarakat mulai mengenal strata yang lebih khusus
dalam kelompok masyarakat, yaitu kelompok pengrajin, ahli bangunan, ahli
kriya, seniman. Masyarakat mulai mengenal transaksi menggunakan mata uang.
Berdasarkan perkembangan pada masa ini ada 4 hal yang menjadi syarat adanya
kota, yaitu Pemisahan wilayah terbangun (perkotaan) dengan perdesaan yang
dibatasi tembok, Pengembangan sistem irigasi, Perkembangan struktur
kekuasaan, dan Pekembangan spesialisasi kerajinan sebagai kegiatan basis
perdagangan.
- Perdagangan pada periode klasik sampai pra modern
Kegiatan perdagangan pada periode klasik sampai pra modern dilakukan di
pasar atau bazar. Lokasinya terletak di pusat kota atau bagian strategis kota baik
yang berada di pedalaman maupun pantai. muncul kota perdagangan di sekitar
pelabuhan atau bandar, untuk mengadakan transaksi antara kota pedalaman
(menjual hasil bumi) dan dunia luar (menjual kain, cermin, senjata, barang
kerajinan).
Pasar di pusat kota sudah ada ribuan tahun sebelum masehi (Jericho-7000
SM; Sumeria-3500 SM; Mohenjo-daro-2400 SM), bahkan pada zaman kajayaan
Romawi pasar telah dirancang khusus tidak hanya untuk berdagang tetapi juga
untuk tempat berkumpul warga kota (stoa, forum). Pelabuhan sebagai pusat
kegiatan perdagangan telah ada sejak Mesir Kuno (Alexandria), Carthago dan
sepanjang Laut Mediterania, sampai zaman renaissance (Venesia).
- Perdagangan pada periode modern
Perdagangan modern diawali di New York oleh sekelompok pedagang yang
mengadakan pertemuan di bawah pohon di Wall Street 68 pada tahun 1789,
yang kemudian membentuk lembaga yang dinamakan New York Stock
Exchange. selanjutnya Wall Street dikenal sebagai New York Financial District.
Perdagangan mulai bergeser dari penggunaan alat tukar bernama mata uang
menjadi perdagangan menggunakan surat berharga melalui lantai bursa.
Pada tahun 1825, ketika kanal dibuka sekitar 1500 pedagang membuka usaha
di New York dan membuka 12 bank baru. Perkembangan selanjutnya lebih
banyak membuka kantor perdagangan baru, seperti bank, asuransi, kantor
pelayaran, dan bursa efek.
2.7 Teori Roger Trancik

Mengidentifikasi teori Roger Trancik perancangan ruang perkotaan (urban spatial


design theory) berdasarkan penelitian-penelitian tentang ruang. Urban spatial design theory
terdiri dari :
1. Figure-ground theory
Menurut Roger Trancik (1986) yaitu Teori Figure Ground. Merupakan Kota secara
fisik merupakan hasil bentukan antara bangunan dengan ruang terbuka yang
mendukung identifikasi tekstur dan pola bentukan ruang kota. Teori-teori figure/ground
dipahami dari tata kota sebagai hubungan tekstural antara bentuk yang dibangun
(building massa) dan ruang terbuka (open space). Analisis figure/ground adalah alat
yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata
ruang perkotaan (urban fabric), serta mengidentifikasikan masalah ketidakteraturan
massa/ruang perkotaan. Teori Figure Ground adalah teori yang mengambarkan total
suatu kawasan. Sedangkan fungsi teori ini adalah untuk menunjukan tekstur kota
melalui bentuk massa bangunan (building massa) sebagai solid dan ruang terbuka (open
space) sebagai void. Hubungan massa dan ruang dibentuk oleh bentuk dan lokasi
bangunan, perancangan unsur-unsur tapak (tanaman dinding), dan terusan pergerakan
menghasilkan 6 pola yaitu. grid, angular, curvilinear, radial /concentric, axial, dan
organic (Trancik,1986:101)
2. Linkage theory
Teori Linkage Kota dengan segala kegiatannya membutuhkan sesuatu untuk
membuat dinamika kegiatannya berjalan dan warga di penghubungdalamnya tidak
tersesat organisasi garis yang Linkage (penghubung) menghubungkan bagian di dalam
kota.
Fumihiko Maki menulis buku tentang linkage. Menurutnya, linkage adalah perekat
kota yang menyatukan kegiatan dan menghasilkan bentuk fisik kota yang memiliki
Fungsi sebagai pengontrol ide dalam menyusun bangunan dan ruang saat merancang.
Tipe Spatial Linkage berupa Compositional Form (bentuk komposisi yang terdiri dari
komposisi) bangunan-bangunan tunggal dengan terkait pola tidak teratur (abstrak) tipe
Fungsionalis (1920-an) yang menganut bentuk murni (asli), mengalir, tidak terikat.
3. Place theory
Pentingnya teori ini adalah untuk memahami kebudayaan dan karakter manusia
terhadap ruang fisik kota. Ruang berubah menjadi tempat ketika ia memberikan makna
dan fungsi menurut kebudayaan dan potensi wilayah. Keberadaan place pada sebuah
kota dapat ditinjau dari 5 elemen the image of the city – Kevin Lynch sebagai berikut :
c. Jalur (Paths), berupa saluran, terusan yang dapat dilalui. Contoh: jalan, jalur
pejalan kaki, sungai, jalur rel kereta. Jalan yang jelas dan memiliki titik awal dan
tujuan akhir (tidak buntu) dianggap mempunyai identitas dan membantu warga
dengan mudah melaluinya.
d. Tepi, Elemen berbentuk garis/linear namun tidak digunakan seperti halnya path.
Edges merupakan batas antara dua bagian; linear yang ‘mematahkan’ sebuah
penerusan jalur Contoh: pantai, tepi sungai, dinding, pagar, perpotongan jalur
kereta.
e. Distrik, satu bagian sedang atau besar dari sebuah kota yang memiliki karakter
sama, seperti pada tipe bangunan, fungsi bangunan, gaya bangunan, pengguna
bangunan, kegiatan, warna, skyline Contoh: bisnis distrik di Senayan, Jakarta,
distrik perdagangan.
f. Node, yaitu titik utama, lokasi strategis dalam sebuah kota yang mudah dimasuki
oleh warga. Contoh: alun-alun, pusat distrik,persimpangan jalan, tempat berpindah
transportasi (terminal, stasiun), bangunan unik (perpustakaan, rumah ibadah,
pasar/pusat perbelanjaan).
g. Penanda, titik orientasi berupa benda yang memiliki sesuatu yang unik dari yang
lain; lebih tinggi, lebih besar. Contoh: Monumen nasional, patung Pak Tani,
Bundaran HI, jembatan.
Teori Place berkaitan dengan space terletak pada pemahaman atau pengertian
terhadap budaya dan karakteristik manusia terhadap ruang fisik. Space adalah void
yang hidup mempunyai suatu keterkaitan secara fisik. Space ini akan menjadi place
apabila diberikan makna kontekstual dari muatan budaya atau potensi muatan lokalnya.

2.8 Teori Townscape

Teori Town Scape Menurut (Gordon Cullen). Gordon Cullen dalam teori Townscape
(1961) mengemukakan tiga faktor penting dalam Place yaitu orientasi, posisi dan isi.
Orientasi Seri visual merupakan ciri khas sebuah kota, dimana kawasan-kawasan dalam kota
tersebut dapat dilihat atau dipahami. Hal yang menjadi titik fokus atau yang diperlukan dalam
seri visual ini adalah suatu proses pengamatan didalam gerakan. Dimana Cullen
menggunakan istilah "optik" untuk proses ini, yang kemudian dikelompokkan dalam dua
bagian yaitu :
a. Pemandangan yang ada (existing view) yang terfokus pada satu daerah saja.
b. Pemandangan yang timbul (emerging view) merupakan fokus pada kaitan antara satu
daerah dengan yang lainnya.

Posisi menurut Cullen, bahwa orang selalu membutuhkan suatu perasaan terhadap
posisinya dalam lingkungan dimana dia berada, baik secara sadar maupun tidak sadar. Isi
Perasaan mengenai suatu tempat juga dipengaruhi oleh apa yang ada . Kepekaan orang dalam
membedakan dan menghubungkan bahan-bahan melalui rupa, warna, pola, sifat, skala
terhadap lingkungan. Dalam Teori Town Scape (Gordon Cullen) ini memuat bagaimana
menata ruang kota yang terintegrasi, yang artinya bahwa suatu kota harus bisa mencerminkan
adanya hubungan suatu kota dengan kegiatan kota. Yang diharapkan mampu mencerminkan
suatu karakter arsitektur bangunan yang berorientasi terhadap kota atau ruang kota, dengan
kata lain suatu produk arsitektur (bangunan atau artifact) harus merupakan bagian integral
dalam system ruang atau bentuk (morphologi) kota. Arsitektur yang merupakan suatu ruang
(Private Space) harus harmonis dengan ruang umum, dan bangunan-bangunan arsitektur
harus membentuk ruang yang baik diantara bangunan tersebut. Dan berarti antara bangunan
dengan bangunan harus terjadi keharmonisan dan membentuk ruang yang baik (Estetis,
Psikologis, fungsional, aspek Klimatologis).
Melalui buku The Concise Townscape, Gordon Cullen mengemukakan nilai-nilai yang
harus ditambahkan dalam urban design sehingga masyarakat di kota tersebut secara
emosional dapat menikmati lingkungan perkotaan yang baik melalui rasa psikologis maupun
fisik. Empat hal yang ditekankan Cullen pada bukunya adalah: serial vision, place, content,
dan the functional tradition. Masing-masing dari empat inti townscape tersebut memiliki
rincian aspek townscape lebih detail lagi yang dapat dilihat pada bukunya, The Concise
Townscape.

- Penjelasan dari serial vision adalah gambaran-gambaran visual yang ditangkap oleh
pengamat yang terjadi saat berjalan dari satu tempat ke tempat lain pada suatu kawasan.
Rekaman pandangan oleh pengamat itu menjadi potongan-potongan gambar yang
bertahap dan membentuk satu kesatuan rekaman gambar kawasan bagi pengamat.
Biasanya, akan ada kemiripan, suatu benang merah, atau satu penanda dari potongan-
potongan pandangan tersebut yang memberi kepastian pada pengamat bahwa dia masih
berada di satu kawasan yang sama.
- Penjelasan dari Place adalah perasaan yang dimiliki pengamat secara emosional pada
saat berada di suatu tempat tertentu. Place dipengaruhi oleh batas-batas yang ada pada
suatu tempat tersebut.
- Penjelasan dari content adalah isi dari suatu kawasan yang mempengaruhi perasaan
seseorang terhadap keadaan lingkungan kota tersebut. Content tergantung oleh dua faktor
yaitu pada tingkat kesesuaian (conformity) dan tingkat kreativitas (creativity).
- Penjelasan dari the functional tradition adalah kualitas di dalam elemen-elemen yang
membentuk lingkungan perkotaan yang juga memiliki segi ekonomis, efisien dan efektif.

Berdasarkan uraiannya dalam buku The Concise Townscape, Cullen menyimpulkan


tiga hal di akhir bukunya, yaitu:

Suatu lingkungan perkotaan tersusun melalui dua cara. Yang pertama, kota disusun
sebagai objek dari luar perencana sebagai subjek. Yang kedua, kota yang sudah disusun
kemudian diisi oleh aktivitas-aktivitas penghidup. Keduanya merupakan suatu
kesinambungan yang saling melengkapi. Peran townscape disini adalah sebagai pembentuk
kota yang menjadi struktur dan mendukung aktivitas manusia tersebut.
Penataan perkotaan harus bisa memberikan rasa nyaman pada masyarakat yang
menempatinya. Lingkungan perkotaan banyak mempengaruhi perkembangan masyarakatnya
secara psikologis maupun fisik. Oleh karena itu, art of environment perlu ditekankan dalam
urban design.

Dalam penataan suatu perkotaan harus memperhatikan logika dalam lingkungan Atlas.
Hal ini berkaitan dengan dimensi fisik geometri dan dimensi waktu. Pada intinya, townscape
menjadi rangkaian elemen perkotaan yang penting di dalam urban design. Dengan
townscape, masyarakat bisa mengenali suatu kawasan baik secara fisik maupun secara
emosional. Townscape sebaiknya tertata secara baik karena pengaruhnya yang cukup
berdampak pada perkembangan masyarakat yang menempati suatu kawasan tersebut. Selain
itu, dengan townscape, maka tercipta the art of environment yang penting bagi suatu kota.
BAB III

METODE ANALISIS

3.1 Pendekatan

Pendekatan yang dapat dilakukan dalam penyusunan laporan tugas mata kuliah
morfologi kota di kelurahan Uentanaga Bawah ini adalah dengan menggunakan metode
penelitian kualitatif dan kuantitatif.
3.1.1 Metode Penelitian Kualitatif
Metode kualitatif merupakan bagian dari proses pengetahuan yang dapat
dianggap sebagai produk sosial dan juga proses sosial. Pengetahuan sebagai
sebuah proses setidaknya memiliki tiga prinsip dasar yakni empirisisme yang
berpangku pada fakta dan data, objektivitas, dan kontrol (Singleton, et.al 1988).
Penelitian kualitatif berusaha untuk mengangkat secara ideografis berbagai
fenomena dan realitas sosial. Pembangunan dan pengembangan dapat dibentuk
dari empiris melalui berbagai fenomena atau kasus yang diteliti.Dengan demikian
teori yang dihasilkan mendapatkan pijakan yang kuat pada realitas, bersifat
kontekstual dan historis. Metode penelitian kualitatif membuka ruang yang cukup
bagi dialog ilmu dalam konteks yang berbeda, terutama apabila difahami secara
mendalam dan tepat. Menurut Lincoln dan Guba mengajukan empat hal penting
yang merefleksikan paradigma kualitatif. Hal-hal tersebut antara lain sebagai
berikut :
1. Crediabilityyang bertujuan untuk mendemonstrasikan bahwa penyelidikan
yang dilakukan telah selaras dengan kaidah-kaidah ilmiah. Hal ini untuk
memastikan identifikasi dan deskripsi masalah penelitian secara akurat.
Penyelidikan dan penelitian harus mengikuti aturan main “credible to the
constructors and the original multiple realities” (Marshall et.al., 1989: 144-
147).
2. Transferability yang menyangkut kemampuan untuk demostrasi aplikasi
temuan penelitian dalam konteks yang berbeda. Triangulasi dapat dijadikan
rujukan untuk dapat mencapai transferability dari suatu penelitian kualitatif.
3. Dependability dimana peneliti berusaha untuk mencermati perubahan kondisi
ada fenomena sosial yang dikajinya sebagaimana ia menyesuaikan desain
studi untuk menyaring pemahaman pada setting sosial.
4. Confirmability, yang bisa disepadankan dengan objektivitas. Dalam hal ini,
peneliti kualitatif dituntut untuk menghasilkan temuan yang dapat
dikonfirmasikan oleh pihak lain (Marshall et.al., 1989: 144-147).
3.1.2 Metode Penelitian Kuantitatif
Metode Kuantitatif adalah metode yang lebih menekankan pada aspek
pengukuran secara obyektif terhadap fenomena sosial.Untuk dapat melakukan
pengukuran, setiap fenomena social di jabarkan kedalam beberapa komponen
masalah, variable dan indicator. Setiap variable yang di tentukan di ukur dengan
memberikan symbol – symbol angka yang berbeda – beda sesuai dengan kategori
informasi yang berkaitan dengan variable tersebut. Dengan menggunakan simbol-
simbol angka tersebut, teknik perhitungan secara kuantitatif matematik dapat
dilakukan sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang belaku umum di
dalam suatu parameter.Tujuan utama dati metodologi ini ialah menjelaskan suatu
masalah tetapi menghasilkan generalisasi. Generalisasi ialah suatu kenyataan
kebenaran yang terjadi dalam suatu realitas tentang suatu masalah yang di
perkirakan akan berlaku pada suatu populasi tertentu. Generalisasi dapat
dihasilkan melalui suatu metode perkiraan atau metode estimasi yang umum
berlaku didalam statistika induktif. Metode estimasi itu sendiri dilakukan
berdasarkan pengukuran terhadap keadaan nyata yang lebih terbatas lingkupnya
yang juga sering disebut “sample” dalam penelitian kuantitatif. Jadi, yang diukur
dalam penelitian sebenarnya ialah bagian kecil dari populasi atau sering disebut
“data”.Data ialah contoh nyata dari kenyataan yang dapat diprediksikan ke tingkat
realitas dengan menggunakan metodologi kuantitatif tertentu. Penelitian
kuantitatif mengadakan eksplorasi lebih lanjut serta menemukan fakta dan
menguji teori-teori yang timbul.Metode kuantitatif digunakan apabila :
a. Masalah dalam penelitian sudah jelas (dalam proposal penelitian masalah ini
harus ditunjukkan dengan data).
b. Bila peneliti ingin mengetahui informasi yang luas dari suatu populasi.
c. Bila ingin diketahui pengaruh perlakuan/treatment tertentu terhadap yang lain.
d. Bila peneliti bermaksud menguji hipotesis penelitian.
e. Bila peneliti inigin mendapatkan data yang akurat, berdasarkan fenomena
yang empiris dan dapat diukur.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Ada dua sumber data dan metode pengumpulan data, yaitu :


3.2.1 Data primer
Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli
(tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa opini subjek (orang)
secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik),
kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian.
3.2.2 Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak
lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang
telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak
dipublikasikan.

3.3 Kebutuhan Data

Data merupakan materi faktual yang terdapat di lapangan dan belum diolah untuk
dijadikan informasi. Informasi didapat dari data yang telah diolah melalui suatu proses atau
analisis. Data sangat berpengaruh dalam proses perencanaan karena ketika planner salah
menafsirkan data maka informasi yang didapat akan salah. Untuk itu data yang dibutuhkan
harus benar-benar valid dan dapat di pertanggung-jawabkan. Dalam penelitian kami, data
yang dibutuhkan yaitu peta administrasi, Peta Citra, dan Peta jaringan jalan Desa Uentanaga
Bawah.

3.4 Konsep dan Analisis Data

Konsep dan analisis data merupakan suatu susunan rencana dan tahapan dalam
menyusun laporan ini. Ada 3 tahapan yang dilakukan, yaitu: input, proses, dan output.
- Input
Input merupakan tahap awal yang dilakukan yang berisi penentuan wilayah studi,
mencari informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan wliayah studi, dan kemudian
mengidentifikasi kondisi wilayah studi.
- Proses
Setelah proses input telah selesai, tahapan selanjutnya yaitu proses. Tahap ini
merupakan pengolahan input yang telah didapat yakni dengan menganalisisnya untuk
menghasilkan keluaran yang diinginkan.
- Output
Output merupakan tahap akhir dari konsep dan analisis data kelompok 2. Keluaran
dari output ini berupa laporan dari hasil peneltian dan analisis mengenai Morfologi
Ruang Kawasan Kelurahan Uentanaga Bawah Kecamatan Ratolindo.

3.5 Metode Analisis

Dalam menganalisis data, kami menggunakan beberapa metode analisis, antara lain:
a. Metode Deskriptif
Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek dalam penelitian dapat
berupa orang, lembaga, masyarakat dan yang lainnya yang pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa adanya.
Menurut Nazir (1988: 63) dalam Buku Contoh Metode Penelitian, metode
deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu
objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada
masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi,
gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-
sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.
Dalam penelitian kami metode deskriptif yaitu mendeskripsikan hasil dari
pengumpulan data baik studi pustaka maupun survei dari analisis wilayah studi.
b. Metode Kualitatif
Metode Penelitian Kualitatif Adalah metode yang lebih menekankan pada aspek
pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah daripada melihat permasalahan
untuk penelitian generalisasi. Metode penelitian ini lebih suka menggunakan teknik
analisis mendalam ( in-depth analysis ), yaitu mengkaji masalah secara kasus perkasus
karena metodologi kulitatif yakin bahwa sifat suatu masalah satu akan berbeda dengan
sifat dari masalah lainnya. Metode kualitatif digunakan untuk kepentingan yang
berbeda bila dibandingkan dengan metode kuantitatif.
Dalam penelitian ini metode kualitatif Yaitu pelaporan yang menghasilkan data
deskriptif, berupa data-data tertulis dan tanpa adanya perhitungan.

3.6 Pengolahan Data dan Analisis

Pengolahan data adalah sebuah proses yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah
metode ilmiah, karena dengan proses tersebut, data bisa dilabeli sebuah arti atau makna yang
nantinya berguna untuk memecahkan masalah penelitian. Pengolahan data dalam pengertian
sederhana yaitu sebagai proses mencari arti atau makna dari sifat penelitian, rancangan, dan
data-data lapangan sesuai dengan tujuan. sebagai contoh dalam sebuah rancangan penelitian
kuantitatif, maka angka-angka yang dikumpulkan melalui alat pengumpul data tersebut harus
diolah secara kuantitatif, baik melalui pengolahan statistik inferensial maupun statistik
deskriptif.

Analisa data adalah suatu kegiatan yang mengelompokkan, memanipulasi, membuat


suatu urutan, dan mengkompres data sehingga mudah dipahami. langkah awal dalam
melakukan analisa adalah melakukan pembagian data atas kelompok.

Dalam proses pengolahan data (pengolahan data statistik), ada beberapa langkah ilmiah
yang perlu dilakukan untuk memudahkan proses pengolahan data. Langkah-langkah yang
perlu dilakukan yaitu:
1. Editing
Sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit lebih dahulu. Editing disini dapat
dikatakan sebagai memanipulasi data sehingga menjadi lebih baik sesuai harapan
peneliti. Memanipulasi disini bisa seperti merubah tata letak, cara penulisan, susunan
paragraf, maupun merubah kata-kata yang kurang baik menjadi baik.
2. Kodefikasi data
Data yang dikumpulkan dapat berupa angka, kalimat pendek atau panjang, ataupun
hanya “ya” atau “tidak”. Untuk memudahkan pengolahan, maka jawaban-jawaban
tersebut perlu diberi kode. Pemberian kode kepada jawaban sangat penting artinya, jika
pengolahan data dilakukan dengan komputer. Mengkode jawaban adalah menaruh
angka pada tiap jawaban.
3. Tabulasi data
Membuat tabulasi termasuk dalam kerja memproses data. Membuat tabulasi tidak
lain dari memasukkan data ke dalam tabel-tabel, dan mengatur angka-angka sehingga
dapat dihitung jumlah kasus dalam berbagai kategori. Tabel terdiri dari kolom dan baris
(jajar). Tabel yang sederhana mempunyai 4 bagian penting. Ke empat bagian penting
itu antara lain :
1. Nomor dan judul tabel
2. Stub
3. Box head
4. Body (badan).
Selain melakukan tahap-tahap tersebut, data tersebut tentu saja perlu diolah agar dapat
menjawab tujuan dari penelitian ini.Selain itu, pengolahan data diperlukan untuk mengetahui
kesimpulan dari penelitian ini. Pengolahan data ini berupa analisis-analisis morfologi kota.
Ada beberapa metode pengolahan data yang digunakan dalam studi kali ini, yaitu:
a. Metode Deskriptif
Metode deskriptif yaitu mendeskripsikan hasil dari pengumpulan data baik studi
pustaka maupun survei kedalam bentuk gambaran umum dari Desa Uentanaga Bawah.
b. Metode Kualitatif
Metode kualitatif yaitu pelaporan yang menghasilkan data deskriptif, berupa data-
data tertulis dan tanpa adanya perhitungan.
BAB IV

ANALISIS LOKASI STUDI

4.1 Analisis Bentuk dan Perluasan/Prembetan Kota/Kawasan


Analisis ini dilakukan dengan membandingkan peta citra dari Kelurahan Uentanaga
Bawah dalam kurun waktu 2006-2016-2020.
Tahun 2006 Tahun 2016

Tahun 2020

4.1.1 Analisis Bentuk Kota


Bentuk morfologi ditinjau dari 3 komponen yaitu penggunaan lahan, pola
jaringan jalan, dan pola bangunan. Karakteristik ketiga komponen tersebut yang
menjadi masukan dalam analisis bentuk morfologi.
1. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan pada kawasan dibedakan dalam penggunaan lahan terbangun
dan penggunaan lahan tidak terbangun. Penggunaan lahan di kelurahan
Uentanaga Bawah, di dominasi oleh penggunaan lahan sebagai kawasan
permukiman. Berdasarkan pengamatan dari sumber peta, penggunaan lahan
berkisar 80%. Kemudian, presentasi sisanya adalah RTH dan Lahan
Kosong/semak belukar. Dapat di amati dari sumber peta di atas bahwa
penggunaan lahan terbangun meliputi permukiman penduduk, sarana
pendidikan, dan sarana pariwisata. Sedangkan penggunaan lahan tidak
terbangun yaitu, RTH dan Lahan Kosong/semak belukar serta pasir yang ada di
pinggiran pantai.
2. Pola Jaringan Jalan

Pola jaringan jalan merupakan kenampakan struktur jalan yang membentuk


suatu tatanan tertentu. Pola jaringan jalan dibentuk dari kenampakan fisik atau
struktur jaringan jalan utama dan dimensi jalan (lebar jalan). Dimensi lebar
jaringan jalan di Kelurahan Uentanaga Bawah beragam, yaitu adanya jalan
kolektor primer, kolektor sekunder, dan jalan lokal/lingkungan. Jaringan jalan
ditinjau dari bentuk dasar jalan utama dan dimensi lebar di Kelurahan
Uentanaga Bawah memiliki pola jalan Linear dan Grid. Pola Linear dan Grid
diidentifikasi dari jalan kolektor primer dan sekunder pada kawasan
permukiman sebagai jalan utama. Hal tersebut dikarenakan jalan yang berada di
pusat kawasan yang kemudian memiliki cabang dengan fungsi jalan yang lebih
rendah yaitu jalan lokal primer.
3. Pola Bangunan
Kepadatan bangunan merupakan persentase kawasan terbangun dengan total
luas lahan keseluruhan kawasan terbangun. Pola kepadatan di Kelurahan
Uentanaga Bawah adalah tidak teratur. Hal tersebut ditunjukan tidak adanya
keseragaman kepadatan pada kawasan ini. Namun pada sebagian kawasan dekat
dengan jaringan jalan utama kepadatannya tinggi sekitar 70-80%, menurun pada
kepadatan di belakangnya sekitar 60-70%, dan sebanding dengan jarak jalan
utama. Pola bangunan menuntut keseimbangan dan keteraturan. Kelurahan ini
jika ditinjau dari bentuk bangunan maka dapat dikatakan belum sepenuhnya
seimbang dan teratur namun memiliki bentuk utama persegi atau persegi
panjang. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pola bangunan pada
kelurahan Uentanaga Bawah merupakan pola heterogen.

Karakteristik komponen morfologi memiliki peran atau kontribusi masing-


masing dalam bentuk morfologi. Perpaduan hasil karakteristik komponen morfologi
yang telah diidentifikasi dapat menunjukkan bentuk morfologi kota. Berdasarkan
hasil analisis 3 komponen morfologi di kelurahan Uentanaga Bawah, kelurahan ini
memiliki bentuk kota linear menerus.
4.1.2 Analisis Perembetan Kota
Analisis ini menggunakan rentan waktu yaitu 2006, 2016, dan 2020. Kemajuan
pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk
akan selalu diiringi dengan meningkatnya standar kualitas dan kuantitas
kebutuhan hidup dan peningkatan kebutuhan ketersediaan fasilitas yang
menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dan juga akan
mempengaruhi perubahan pada bentuk morfologinya sehingga menimbulkan
terjadinya Perembetan Kota (Urban Sprawl).
Tahun 2006 Tahun 2016

Tahun 2020

Berdasarkan 3 peta di atas (tahun 2006, 2016, 2020), dapat kita lihat bahwa
terdapat perubahan penggunaan lahan yang awalnya adalah kawasan RTH berubah
menjadi kawasan perkantoran dan permukiman serta pembangunan jaringan jalan.
Berdasarkan perubahan penggunaan lahan ini, dapat diidentifikasi bahwa pola
perkembangan kota yang terjadi di kelurahan Uentanaga Bawah yaitu perembetan
yang memanjang (Linear Development). Dimana perkembangan lahannya
menunjukan ketidakmerataan perembetan areal kota di semua sisi-sisi luar daripada
daerah utama kota dan perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur
transportasi yang ada. Faktor yang mempengaruhi bentuk dan perembetan kota di
wilayah kelurahan uentanaga bawah adalah faktor geografis, transportasi, sosial,
ekonomi dan regulasi.

Urban sprawl salah satunya memiliki pengaruh dalam perubahan bentuk kota.
Bentuk Kota di Kelurahan Uentanaga Bawah sebelum terjadi urban sprawl sebelum
tahun 2020 termasuk bentuk linear menerus. Berdasarkan hasil analisis yang telah
dilakukan bahwa karena adanya perembetan aktivitas yang memanjang (Linear
Development) sebagai bukti urban sprawl di kelurahan Uentanaga Bawah membawa
konsekuensi terhadap perubahan bentuk Kota yaitu terjadi perkembangan
pembangunan. Namun demikian bentuk kota di kelurahan Uentanaga Bawah masih
tergolong dalam kategori liniear menerus.

4.2 Analisis Morfologi Secara Struktural (Bangunan, Kapling atau Kadaster, Pola
Jaringan Jalan)
Pola Morfologi Dilihat Secara Struktural Kesimpulan dari analisis morfologi secara
struktural yang dilihat dari empat elemen morfologi kota yaitu:

4.2.1 Bangunan
Bangunan-bangunan yaitu fungsi atau peruntukan bangunan Kec. Ratolindo
Kelurahan Uentanaga Bawah meliputi fungsi atau peruntukan perdagangan dan jasa,
perkantoran, fasilitas umum, perumahan dan industri; Jalan Besar petokoaan.
4.2.2 Kapling atau Kadaster
Kapling atau kadaster yang dapat disimpulkan bahwa kapling pada Kec.
Ratolindo Kelurahan Uentanaga Bawah, khususnya yang berada pada pusat kota
berupa kapling menyebar yang terletak sebagai deretan atau sebagai koridor-koridor
pada jalan-jalan besar dipusat kota.
4.2.3 Pola Jaringan Jalan
Jaringan Jalan Kec. Ratolindo Kelurahan Uentanaga Bawah meliputi jalan
kolektor (primer dan sekunder) dan jalan lokal/jalan lingkungan. Pola
transportasinya meliputi pola linier. Ditinjau dari fungsi pelayanannya, jaringan
jalan Kec. Ratolindo Kelurahan Uentanaga Bawah di bedakan atas dua sistem
utama yaitu sistem primer dan sekunder. Pola jaringan jalannya adalah pola linier
serta pola grid pada beberapa perumahan. Secara keseluruhan transportasi memusat
pada kawasan pertokoan.
4.3 Analisis Morfologi Secara Fungsional
Pembahasan mengenai morfologi kota secara fungsional lebih memperhatikan
hubungan sebuah tempat sebagai suatu generator kota (penggerak kota). Pada lokasi
penelitian terdapat suatu hubungan yang terjadi, yaitu hubungan yang dibentuk oleh deretan
bangunan perumahan, perdagangan dan jasa, dan perkantoran. Hal ini dapat dilihat pada
lokasi pusat kelurahan Uentanaga Bawah yaitu pertokoan. Hal tersebut terjadi pada kawasan
perdagangan yang memiliki hubungan fungsional secara fisik dan non fisik. Pada kelurahan
uentanaga bawah masyarakatnya lebih banyak yang berdagang seperti membuka rumah
makan, toko bangunan, toko pakaian, dan lain-lain sehingga kawasan ini lebih terkenal dan di
fungsikan sebagai pusat perbelanjaan/perdagangan dan jasa. Selain itu, pada sisi yang lain
kelurahan uentanaga bawah juga terdapat fasilitas pendidikan, fasilitas layanan dan jasa, dan
fasilitas umum.

4.4 Analisis Morfologi Secara Visual


Karaktristik secara visual dapat dilihat secara langsung pada sebuah tempat yang salah
satunya dibentuk sebagai sebuah ruang, jika memiliki ciri khas dan suasana yang
menggambarkan adanya suatu kawasan. Jika dilihat secara visual karakteristik yang ada
seringkali didominasi adanya bentukan fisik yang menggambarkan adanya ciri dari kelurahan
Uentanaga Bawah itu sendiri.

Dari hasil analisa morfologi secara visual yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa pada kelurahan Uentanaga Bawah, Pelabuhan Ampana, GPDI (Gereja Pantekosta Di
Indonesia) dan Gereja Calvary yang merupakan gereja terbesar yang berada di Kota Ampana
dan terletak pada kelurahan Uentanaga Bawah. Ketiganya menjadi kawasan yang
memberikan ciri khas dan identitas bagi kelurahan Uentanaga Bawah.

Peta Morfologi Secara Visual


4.5 Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Kota Secara Fisik dan Non-
Fisik
Faktor yang mempengaruhi pembentukan suatu kota terdapat dua aspek yaitu aspek
fisik dan aspek nonfisik. Aspek fisik meliputi fisiografi, topografi, dan bentang alam.
Sedangkan aspek nonfisik meliputi aspek sosio-kultur dan aspek ekonomi. Kelurahan
Uentanaga Bawah memiliki bentuk kota Linear menerus.

Analisis faktor yang mempengaruhi pembentukan kota kelurahan Uentanaga Bawah


dapat dilihat dari aspek-aspek yang mempengaruhinya, yaitu :
4.5.1 Aspek Fisik
Analisis aspek fisik yang mempengaruhi pembentukan kota merupakan aspek yang
mudah dilihat dan sangat berpengaruh pada awal pembentukan kota. Analisis
faktor yang mempengaruhi pola dan bentuk kota Kelurahan Uentanaga Bawah
berdasarkan aspek fisik yaitu :
4. Fisiografi
Berdasarkan fisiografinya, Kelurahan Uentanaga Bawah merupakan jenis
kota pelabuhan alam karena letaknya yang berada di pesisir pantai dan
dibentuk oleh cekungan yang mengarah ke laut. Pola jaringan jalan pada
Kelurahan Uentanaga Bawah juga mengikuti pola cekungan dan membentuk
jari-jari dimana jalan utama menghubungkan bagian atas dan bawah kelurahan
secara radial.
5. Topografi
Berdasarkan analisis topografi, Kelurahan Uentanaga Bawah merupakan
Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam lingkup wilayah Kelurahan Uentanaga
Bawah memang tidak terdapat aliran sungai namun di bagian perbatasan
wilayahnya terdapat sungai yang mengalir ke laut. Karena itu dapat dilihat
bahwa kelurahan ini juga termasuk Jenis kota DAS yang dimana wilayahnya
berada di daerah pinggiran sungai. Topografi Kelurahan Uentanaga Bawah
juga berada di daerah pesisir pantai dan pinggiran sungai sehingga dapat
menjadikan Kelurahan ini sebagai kota pelabuhan.
6. Bentang Alam
Bentang alam Kelurahan Uentanaga Bawah yaitu terletak pada daerah
pesisir pantai dan muara sungai Ampana. Kawasan kelurahan Uentanaga
Bawah memiliki kemiringan (slope) tanah bersifat datar, karena letak
kelurahannya yang tidak berada di area dataran tinggi yang pada umumnya
memiliki kemiringan tanah yang curam. Sumber air di kelurahan ini yaitu air
tanah dan pemanfaatan sungai.
Peta Citra Kelurahan Uentanaga Bawah
4.5.2 Aspek Nonfisik
Aspek nonfisik juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola dan
bentuk pertumbuhan kota. Aspek nonfisik yang mempengaruhi pembentukan kota
yaitu :
1. Aspek Sosio-kultur
Faktor lain yang mempengaruhi perubahan morfologi kota adalah tatanan
sosial masyarakat yang dicerminkan dalam wujud lingkungan permukiman
berdasarkan kedekatan kekerabatan, afiliasi kesukuan dan etnis. Norma yang
dianut masyarakat mempengaruhi cara hidup dan kegiatan sehari-hari yang
diwujudkan dalam tatanan lingkungan sampai tatanan ruang kotanya. Di
Kelurahan Uentanaga Bawah memiliki suku yang beragam yaitu suku Bare’e,
bugis, kaili, jawa, hingga gorontalo. Keberagaman suku serta agama yang ada
di Kelurahan Uentanaga Bawah mempengaruhi bentuk dan pembangunan
wilayah. Budaya bermukim setiap suku dan etnis yang berbeda-beda
mempengaruhi pola permukian serta bentuk bangunan yang ada di Kelurahan
Uentanaga Bawah, seperti adanya gapura.
Konsep lokal dalam pengembangan kota menunjukkan bahwa budaya
setempa tmemiliki pengaruh besar terhadap struktur sosial masyarakat yang
mempengaruhi morfologi kotanya. Perkembangan sosio-kultur masyarakat
terutama pada era modern sangat mempengaruhi perkembangan morfologi
kotanya.
2. Aspek Ekonomi
Pada awal peradaban manusia aspek ekonomi yang mempengaruhi kota
ditentukan oleh jenis mata pencaharian penduduknya. Di kelurahan Uentanaga
Bawah awalnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan pedagang. Semakin
berjalannya waktu, Para pedagang yang yang dulunya hanya membuka kios
atau toko kelontong kini berubah menjadi toko-toko besar dan semakin lama
menjadi kawasan pertokoan hingga perkantoran sehingga Di Kelurahan ini
menjadi pusat kegiatan masyarakat. Jenis mata pencaharian masyarakat yang
berkembang ataupun berubah berpengaruh pada pembentukan kotanya.
4.6 Analisis Townscape
Townscape adalah seni yang terdapat secara visual dalam penataan bangunan-
bangunan, jalan, serta ruang yang menghiasi lingkungan perkotaan. Definisi lain
dari townscape adalah salah satu cara yang dapat digunakan dari segi fisik visual untuk
mengenali bentuk fisik suatu kota. Selain itu, townscape juga dapat diidentifikasi melalui
bentuk penataan atau desain dari bangunan-bangunan dan jalan yang ditangkap berdasar
berbagai tingkatan emosional masing-masing pengamat. Bentuk fisik ruang kota dipengaruhi
dan ditentukan oleh bentuk dan massa bangunan.

Analisis Townscape di Kelurahan Uentanaga Bawah meiputi enam kategori townscape


yaitu Junction, Line, Width, Overhead, Containment, dan Features. Berikut analisis
townscape di Kelurahan Uentanaga Bawah.

Tabel Analisis Townscape Kelurahan Uentanaga Bawah


Gambar Tampak
No Townscape Gambar Depan Keterangan Analisis
Atas
Persimpangan
berbentuk T dimana
terdapat satu titik
objek yang terletak
tepat di depan
persimpangan. Di
kelurahan Uentanaga
Bawah T-Junction
berlokasi di Jalan
T-Junction Jl. Nusantara Nusantara
1.
(Junction) Jl. Kartini (Horizontal) dan
Jalan Kartini
(Vertikal).
Berdasarkan
pengamatan, di
kelurahan Uentanaga
Bawah terdapat
banyak persimpangan
T-Junction seperti
gambar disamping.
Y-Junction
ditemukan di
persimpangan jalan
yang seolah-olah
membentuk huruf Y.
Jadi terdapat
bangunan di suatu
jalan yang bercabang
tiga (pertigaan),
Jl. Moh Hatta tetapi bentuk
Y-Junction
2. Jl. Sungai bangunan yang
(Junction)
Bongka merupakan titik temu
mengikuti bentuk
jalan yang
membentuk suatu
huruf Y. Lokasi Y-
Junction di
Kelurahan Uentanaga
Bawah yaitu jalan
Moh. Hatta dan jalan
sungai bongka.
Multiple View adalah
Suatu persimpangan
yang memiliki dua
suasana lingkungan
yang berbeda, serta
letaknya bersisian
pada sudut
pandang yang
berbeda. Banyaknya
jalan yang
bersimpangan
Multiple View Jl. Pulau sehingga pada
3.
(Junction) Taupan beberapa tempat
dijumpai satu lokasi
yang dapat melihat
langsung kedua jalan
yang memiliki
pemandangan yang
berbeda. Di
Kelurahan Uentanaga
Bawah berlokasi di
Jalan Pulau Taupan
(Depan Dinas
Perhubungan).
Curve merupakan
desain bangunan
yang membentuk
lengkungan dengan
bangunan yang
mengikuti bentuk
jalan yang
membentuk
lengkungan tersebut.
Curve Curve di Kelurahan
4. Jl. Muslaeni
(Line) Uentanaga Bawah
terbentuk karena
struktur ruang kota
yang mengikuti
keadaan lahan
sehingga ada
beberapa jalan yang
melengkung seperti
pada gambar
disamping.
Angles merupakan
bentuk bangunan
yang tertutup dengan
pembelokan jalan
Angels Lorong Kubur yang memiliki sudut
5.
(Line) Cina tertentu. Sehingga
kesan yang muncul
dari jalan yang
dilewati adalah ruang
sangat terasa sekali.

Deviation terbentuk
karena terdapat
sebuah simpangan
Deviation Lorong Kubur
6. kecil yang
(Line) Cina
memisahkannya
kedalam tempat yang
berbeda.
Funeling merupakan
kondisi penyempitan
jalan. Penyemputan
jalan di Kelurahan
Funeling
7. Jl. Salimu Uentanaga Bawah
(Width)
terjadi karena
perumahan yang
semakin berdekatan
dengan bahu jalan.

Widening di
kelurahan Uentanaga
Bawah ini terbentuk
dari jalan yang
menuju jalan utama
sehingga badan jalan
Widening yang awalnya
8. Jl. Salimu
(Width) sempit/kecil menjadi
melebar. Lokasi
Widening di
kelurahan Uentanaga
Bawah terletak di
Jalan Salimu menuju
Jalan Moh. Hatta.

Chasm berbentuk
khas dengan bentuk
bangunan jalan
Chasm Lorong Kubur sempit. Lokasi
9.
(Overhead) Cina Chasm di kelurahan
Uentanaga Bawah
dapat di temukan di
Lorong Kubur Cina.

Overhang
Merupakan bagian
atap dari bangunan
yang sengaja dibuat
untuk memberikan
kreasi tersendiri bagi
bangunan tersebut,
Overhang
10. Jl. Pulau Siatu tetapi bagian
(Overhead)
bangunan tersebut
secara tidak
langsung berfungsi
sebagai pelindung
bagi pejalan kaki
yang berjalan di
dekat bangunan.

Pada kelurahan ini


ditemukan the arch
yang berupa gapura
sebuah Jalan.Gapura
The Arc Jl. Sungai
11. merupakan bentuk
(Overhead) Bongka
bangunan yang
biasanya diguankan
sebagai penanda
suatu kawasan.
Enclosure adalah
sebuah ruang
terbuka.Biasanya
enclosure ini
diwujudkan pada
lahan kosong dengan
banyak pepohonan.
Enclosure Lorong Kubur
12. Enclosure yang ada
(Containment) Cina
di kelurahan
Uentanaga Bawah
yaitu Dimana jarak
antar bangunan lebih
panjang
dibandingkan tinggi
bangunan.
Jalan kecil yang
dijumpai di Gang
Kubur Cina ini
nampak seperti gang
buntu, namun
Hinting Gang Kubur sebenarnya adalah
13.
(Features) Cina jalan tembus namun
karena keberadaan
bangunan yang padat
sehingga jalan
tersebut seolah-olah
buntu.
Landmark
merupakan
simbol/tanda atau
ciri-ciri yang secara
visual menarik
Landmark Jl. Yos perhatian pada suatu
14.
(Features) Sudarso kota. Landmar di
kelurahan Uentanaga
Bawah adalah
Pelabuhan Ampana
yang terletak di Jalan
Yos Sudarso.

4.7 Figure Ground, Lingkage dan Place


Analisa Perancangan Kelurahan Uentanaga Bawah, adapun Kesimpulan dari
Perancangan berdasarkan tiga analisis yaitu:

1. Analisa Figure/ Ground Path (jalur)


Jalur adalah elemen pembentuk citra kota yang berupa ruang linier. path (jalur)
berupa jalan setapak, jalan kendaraan pada kelurahan Uentanaga Bawah, Pelabuhan
Ampana, GPDI (Gereja Pantekosta Di Indonesia) dan Gereja Calvary yang merupakan
gereja terbesar yang berada di Kota Ampana dan terletak pada kelurahan Uentanaga
Bawah. Ketiganya menjadi kawasan yang memberikan ciri khas dan identitas bagi
kelurahan Uentanaga Bawah Kesimpulan analisa figure/ ground pada lokasi penelitian
yaitu Kawasan GPDI (Gereja Pantekosta Di Indonesia) dan kawasan Gereja Calvary
adalah kawasan yang paling banyak memiliki tekstur keteraturan massa bangunan.
Peta Figure Ground Tahun 2006 Peta Figure Ground 2016

Peta Figure Ground 2020

2. Analisa Linkage
Kesimpulan analisa linkage yaitu Kec. Ratolindo kelurahan Uentanaga Bawah
terbentuk tiga linkage yaitu linkage visual, struktural dan kolektif. Kesimpulan analisa
linkage secara umum pada lokasi penelitian yaitu terjadi hubungan antar kawasan ruang
kota secara hirarki untuk membentuk struktur kota. Terjadi hubungan antar elemen kota
yang berwujud jalan, ruang pejalan kaki, ruang terbuka linier atau elemen penghubung
fisik lainnya.
3. Analisa Place (Konteks Kota dan Citra Kota)
Kesimpulan analisa Place pada kelurahan Uentanaga Bawah dilihat berdasarkan dua
kriteria. Kriteria pertama berdasarkan analisa konteks kota yaitu di lokasi penelitian
terdapat place dinamis di kawasan Pelabuhan Ampana dan terdapat place statis di
Kawasan GPDI (Gereja Pantekosta Di Indonesia) dan kawasan Gereja Calvary. Kriteria
kedua yaitu analisa citra kota lima elemen citra kota (path, edge, district, node,
landmark). Adapun khas lainnya dari lokasi penelitian ini yaitu memiliki toko bangunan,
toko pakaian, dan lain-lain sehingga kawasan ini lebih terkenal dan di fungsikan sebagai
pusat perbelanjaan/perdagangan dan jasa menjadikan kec. Ratolindo kelurahan
Uentanaga Bawah memiliki identitasnya dan karakteristik yang dan kekhasan tersendiri.
BAB V

KESIMPULAN

Kelurahan Uentanaga Bawah dahulunya merupakan sebuah perkampungan yang lama


kelamaan menjadi Desa. Kelurahan Uentanaga Bawah kini telah bertransformasi menjadi
tempat yang mewadahi / menampung kegiatan masyarakat kota ampana, hal ini dikarenakan
lebih dominannya tempat atau pusat kegiatan seperti perkantoran, pertokoan, dan lain – lain
daripada rumah warga sendiri. Kelurahan ini termasuk unplanned city yang memiliki pola
liniear menerus. Jika dilihat dari fisiografi dan topografinya, kelurahan ini merupakan jenis
kota pelabuhan alam dan DAS yang memiliki kemiringan tanah bersifat datar.

Kelurahan Uentanaga Bawah memiliki elemen townscape yang beragam yang dapat
dijumpai di Kelurahan ini, salah satunya yaitu landmark dari kelurahan ini berupa sebuah
pelabuhan terbesar di Kota Ampana yang terletak di kelurahan Uentanaga Bawah. Dari hasil
Analisis Figure/Ground, Linkage, dan Place bahwa kelurahan Uentanaga Bawah memiliki
citra kota berbentuk ruang linear yang saling berhubungan antar ruang kota secara hirarki
untuk membentuk struktur kota yang memiliki karakteristik dan kekhasan tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Mentari.A.P, Murtanti.J.R, & Rufia.A.P. 2016. Bentuk Kenampakan Fisik (Morfologi)


Kawasan Permukiman Di Wilayah Pinggiran Selatan Kota Surakarta. Jurnal Pengembangan
Kota Vol 4 No 2. Universitas Diponegoro.

Amandus.J.T, Yulia.P, & Indri.A. 2014. Identifikasi Pola Morfologi Kota (Studi Kasus :
Sebagian Kecamatan Klojen, Di Kota Malang). Jurnal PWK Vol 25 No 3 hlm 213-227.
Universitas Gajah Mada.

Muhammad Khadafi Litiloly. 2019. Studi Morfologi Kawasan Kotagede Di Kota Yogyakarta
“Perkembangan Pola Kawasan Kotagede dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya”.
Jurnal Arsitektur Vol 12 No 3. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Yunus, Hadi Sabari. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
JOBDESK ANGGOTA KELOMPOK

1. Andi Febriani Hi. Andi Baso. P (F23119074)


- Penyusunan Laporan
- BAB I (Sistematika Penulisan)
- BAB III (Pendekatan & Metode Pengumpulan Data)
- BAB IV (Analisis faktor yang mempengaruhi pembentukan kota secara fisik dan non-
fisik & Analisis Townscape)
- BAB V Kesimpulan

2. Nindi (F23119073)
- BAB II Tinjauan Pustaka
- BAB III (Metode Analisis)
- BAB IV (Analisis morfologi secara struktural (bangunan, kapling atau kadaster, pola
jaringan jalan) & Analisis Figure/Ground, Linkage dan Place)

3. Moh. Fiqri Haikal (F23119045)


- Pembuatan Peta (Peta Jaringan Jalan, Peta Guna Lahan, dan Peta lainnya yang ada di
laporan)
- Survei Lapangan
- BAB I (Permasalahan Wilayah Studi, Tujuan dan Sasaran, & Ruang Lingkup)

4. Faris Fakhresi (F23119038)


- BAB III (Kebutuhan Data)
- BAB IV (Analisis bentuk dan perluasan/prembetan kota/kawasan)

5. Andi Nadia Putri (F23119048)


- BAB III (Pengolahan Data dan Analisis)
- BAB IV (Analisis morfologi secara fungsional & Analisis morfologi secara visual)

6. Moh. Alwi A.Ladwan (F23119120)


- Survei Lapangan
- BAB I (Latar Belakang)

7. Moh. Faqih A. (F23119087)


- Survei Lapangan
- BAB III (Konsep dan Analisis Data)

Anda mungkin juga menyukai