Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suatu kota dikembangkan berdasarkan pada potensi yang


dimiliki oleh kota tersebut. Branch (1996), mengatakan bahwa
perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal
merupakan suatu kekuatan yang terbentuk akibat kedudukan kota
dalam konstelasi regional atau wilayah yang lebih luas,
sehingga memiliki kemampuan untuk menarik perkembangan dari
daerah sekitarnya sedangkan faktor internal `adalah kekuatan
suatu kota untuk berkembang dan ditentukan oleh keuntungan
letak geografis (fungsi kota). Nielsen (2005), juga
mengungkapkan bahwa terdapat tiga faktor yang berperan penting
dalam proses pertumbuhan kota, yakni ekologi, teknologi dan
organisasi sosial. Perkembangan kota tersebut merupakan proses
berkesinambungan yang erat kaitannya dengan perubahan sosial-
budaya masyarakat dan kenampakan fisik suatu kota. Keberadaan
kota tidak lepas dari sejarah awal perkembangan, kondisi saat
ini, serta wajah kota di masa yang akan datang. Pengembangan
wilayah perkotaan di masa yang akan datang lebih ditekankan
pada pengenalan potensi sumber daya alam dan potensi
pengembangan lokal wilayah yang mampu mendukung (menghasilkan)
pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat,
termasuk pengentasan kemiskinan, serta upaya mengatasi kendala
pembangunan yang ada di daerah dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan.
Perkembangan dalam hal ini juga menyangkut aspek-aspek
seperti politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi, dan
fisik. Khusus mengenai aspek yang berkaitan langsung dengan
penggunaan lahan kekotaan adalah aspek perkembangan fisik,
khususnya perubahan areal. Percepatan pertumbuhan kenampakan
fisik atau perubahan areal kekotaan tidak sama untuk setiap
bagian terluar kota maka, bentuk morfologi kota sangat

1
bervariasi adanya. Morfologi sendiri dalam artian luas adalah
ilmu terapan yang mempelajari tentang sejarah terbentuknya
pola dan struktur ruang suatu wilayah atau kota serta
perkembangan suatu wilayah atau kota mulai awal terbentuknya
kota tersebut hingga munculnya daerah-daerah hasil ekspansi
kota tersebut. Kota dalam perjalanan sejarahnya telah dan akan
membentuk suatu pola morfologi sebagai implementasi bentuk
perubahan sosial-budaya masyarakat yang membentuknya.
Perkembangan dan bentuk kota merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan di dalam melihat suatu kondisi
perkotaan dalam hal ini ditinjau dari perubahan morfologi
kota.
Salah satu pola morfologi yang akan dibahas pada tulisan
ini adalah morfologi kota Jayapura. Kota Jayapura merupakan
kota yang cukup tua dan memiliki perubahan morfologi yang
cukup besar sejak zaman pemerintahan Belanda, sempat dijadikan
basis pertahanan Amerika Serikat pada perang dunia ke-2, namun
bentuk dan kekhasan yang ditinggalkan pada saat zaman Belanda
telah tergerus oleh perubahan sosial – budaya dan diabaikannya
aspek kesejarahan pembentukan kota sehingga kesinambungan
sejarah kawasan kota seolah terputus sebagai akibat
pengendalian perkembangan yang kurang memperhatikan aspek
morfologi kawasan.
Kota Jayapura terbentuk pada tahun 1910 dengan nama
Hollandia. Berdasarkan besleit (surat keputusan) Gubernur
Hindia Belanda No. 4 tanggal 28 Agustus 1909 kepada Asisten
Residen di Manokwari, diperbantukan satu detasemen yang
terdiri dari 4 perwira dan 80 tentara. Detasemen ini
diperbantukan terutama untuk mengadakan persiapan bagi komisi
pengaturan perbatasan antara Belanda-Jerman yang akan
melakukan tugasnya pada tahun berikutnya. Kota Jayapura pada
fungsi awalnya masuk dalam pemerintahan Belanda yaitu sebagai
wilayah pertahanan militer dan wilayah pemerintahan, sebagian
wilayah lainnya digunakan sebagai permukiman, sarana sosial
dan kesehatan, serta pendidikan. Proses perkembangan morfologi
kota Jayapura melalui proses organis, dimana proses organis
merupakan proses yang tidak direncanakan dan berkembang dengan

2
sendirinya. Proses perubahan morfologi yang terjadi disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu adanya peningkatan jumlah penduduk
dari tahun 2015 ke 2016 yaitu sebesar 5.296 jiwa yang
menyebabkan jumlah kebutuhan akan lahan meningkat, juga adanya
peningkatan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi selama kurun
waktu 2012 sampai 2016 didominasi oleh sektor konstruksi dan
Real Estate dengan rata-rata pertumbuhan masing-masing sebesar
14,21 persen dan 13,76 persen. Dengan adanya perubahan-
perubahan kenampakan fisik yang terjadi di kota Jayapura
seiring berjalannya waktu, maka penelitian ingin memberikan
gambaran mengenai perubahan pola morfologi kota Jayapura.

1.2. Tujuan dan Sasaran

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentikasi


morfologi kota Jayapura saat ini serta perubahannya dalam
kurun waktu 10 tahun yaitu tahun 2018 sampai 2008 dan faktor-
faktor pembentuk morfologi.

Sasaran

Adapun sasaran dalam mendukung pencapaian tujuan


penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi bentuk morfologi Kota Jayapura brdasarkan


bentuk-bentuk ekspresi keruangan dari morfologi kota dan
unsur-unsur morfologi kota secara umum serta citra kota
2. Mengidentifikasi morfologi kota Jayapura khususnya kawasan
pusat kota, yaitu kecamatan Jayapura Utara dan kawasan Abepura
yang juga merupakan salah satu kecamatan dengan berbagai pusat
perdagangan barang dan jasa. Yang mana akan diambil dari tahun
2008 ke tahun 2018 dengan interval 2 tahun.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
morfologi Kota Jayapura/identifikasi aspek ekonomi dalam
perkembangan morfologi kota Jayapura.

3
1.3. Ruang Lingkup Penelitian
1.3.1. Ruang Lingkup Materi Penelitian

Ruang lingkup materi dari penenlitian ini akan membahas


tentang bentuk morfologi kota Jayapura dan perubahanya yang
akan ditinjau dalam waktu 10 tahun terakhir dengan interval 2
tahun, yaitu tahun 2010, 2012, 2014, 2016,dan 2018, serta
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan morfologi.
Perubahan morfologi akan diambil melalui citra satelit dan
diolah menjadi peta perubahan bentuk kota atau morfologi
dengan adanya peta perkembangan morfologi 10 tahun terakhir
maka diharapakan dapat mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi dan
Berdasarkan tiga unsur morfologi kota yaitu unsur-unsur
penggunaan lahan, pola-pola jalan dan tipe-tipe bangunan.
Dari pengertian-pengertian tersebut, morfologi kota secara
sederhana dapat diartikan sebagai bentuk-bentuk fisik kota
dengan diketahui secara struktural, fungsional dan visual.
Morfologi kota satu dengan kota lain dapat berbeda-beda
sehingga morfologi kota ini menjadi pembentuk karakteristik
atau ciri khas suatu kota, untuk mengetahui hal tersebut
perlu dilakukan kajian tentang unsur-unsur morfologi kota dan
bentuk-bentuk ekspresi keruangan dari morfologi kota. Dengan
mengetahui

1.3.2. Ruang Ligkup Wilayah Penelitian


Kevin Lynch (dalam Zahnd, 1999) mengemukakan tentang
gambaran mental dari sebuah kota sesuai dengan rata-rata
pandangan masyarakatnya, yang dikenal dengan citra kota. Dalam
risetnya, menemukan betapa penting citra mental itu karena
citra yang jelas akan memberikan banyak hal yang sangat
penting bagi masyarakatnya, seperti kemampuan untuk
berorientasi dengan mudah dan cepat disertai perasaan nyaman
karena tidak merasa tersesat, identitas yang kuat terhadap
suatu tempat, dan keselarasan hubungan dengan tempat-tempat

4
yang lain. Terdapat lima elemen yang dapat dipakai untuk
mengungkapkan citra kota yaitu path, edge, district, node dan
landmark.
Setelah itu melakukan identifikasi dan analisis dari
kondisi kota Jayapura saat ini dan beberapa tahun yang lalu.
Maka dari hasil tersebut akan muncul pola morfologi kota
jayapura saat ini dan proses perubahannya.

1.4. Luaran Penelitian

Luaran dari penelitian ini adalah tulisan hasil penelitian


tentang pola morfologi kota Jayapura yang berisi identifikasi dan
analisis morfologi kota Jayapura serta faktor-faktor yang
mempengaruhi morfologi tersebut, berupa deskripif dan gambar peta
dan artiel jurnal “matra”.

5
BAB II
METODE PENELITIAN

2.1 Pendekatan dan Tahapan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan


akan dianalisis dengan analisis GIS . Penelitian dskriptif
bertujuan memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang
ada pada saat ini, tidak menguji atau menggunakan hipotesa
melainkan hanya mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai
dengan variabel-variabel yang diteliti, Chapin (dalam
Soekonjono,1998) mengemukakan ada 2 hal atau variabel yang
mempengaruhi tuntutan kebutuhan ruang yang selanjutnya
menyebabkan perubahan penggunaan lahan yaitu (1) Adanya
perkembangan penduduk dan perekonomian, (2) Pengaruh sistem
aktivitas, sistem pengembangan, dan sistem lingkungan. Sedangkan
penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Tailor seperti yang
dikutip Lexi J. Moleong yaitu sebagai produser penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan
dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Teknik analisis yang
digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu teknik identifikasi
komponen morfologi dan analisis bentuk morfologi. Identifikasi
komponen morfologi yaitu dengan penggambaran karakteristik
komponen morfologi, karakteristik terkait penggunaan lahan, pola
jaringan jalan, dan bangunan (kepadatan dan pola), identifikasi
kondisi eksisting berupa interpretasi peta. Penggambarannya
dituangkan dalam tabel dan deskripif untuk menggambarkan komponen
morfologi. Sedangkan analisis bentuk morfologi yaitu tahapan
analisis untuk mendapatkan hasil penelitian bentuk morfologi kota
Jayapura, analisis ini dilakukan dengan memadukan karakteristik
komponen morfologi. Hasil perpaduan tersebut dianalisis sehingga
dapat mengetahui bentuk morfologinya.

6
Dengan maksud menganalisa berdasarkan karakteristik kegiatan-
kegiatan dalam ruang yang mempengaruhi faktor fisik suatu kota
sebagai tempat pelaksanaan kegiatan dan bentuk-bentuk fisik
lingkungan yang diakibatkan oleh faktor non fisik dari
terbentuknya suatu morfologi kota. Analisa ini dilakukan untuk
mendapatkan suatu keluaran berupa pola morfologi kota Jayapura
ysng dilihat berdasarkan unsur-unsur morfologi kota. Untuk
menemukan keluaran tersebut, maka diperlukan beberapa analisa,
diantaranya analisa figure ground, linkage dan place. Dari ketiga
analisa tersebut maka dapat digunakan untuk menemukan pola
morfologi kota Jayapura, yang dilihat dari elemen pembentuk
morfologi kota dan unsur-unsur morfologi kota.

Tahap-Tahap Penelitian

Berikut merupakan gambaran tahap-tahap penelitian yang akan


dilakukan :
Tabel 2.1 Tahapan Penelitian

No. Rencana Kerja Keterangan


Menyusun rangkaian penelitian.
Rancangan penelitian mengatur
sistematika yang akan dilaksanakan
dalam penelitian.
Menentukan lokasi penelitian dan
mengidentifikasi kondisi eksisting
Tahap Sebelum ke lokasi, yang mana peneliti harus
1 mengetahui situasi dan kondisi di
lapangan
daerah tempat penelitian tersebut
dilakukan.
Mencari data sekunder.
Mengurus perizinan dan menyiapkan
keperluan data yang dibutuhkan dalam
penelitian.
Memahami latar belakang penelitian dan
persiapan diri. Dengan melakukan
pedekatan terhadap obyek pada wilayah
penelitian dan menyusun jadwal waktu
2. Tahap di Lapangan selama di lapangan.
Mengumpulkan data yang dibutuhkan
selama kurun waktu yang telah dibuat
dan melakukan kecocokan dengan data
sekunder.
3. Tahap Sesudah di Melakukan analisis data dengan
Lapangan pendekatan deskriptif kualitatif dan
GIS.
7
Menyimpulkan hasil dari analisis.
Sumber : Penulis 2019

2.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Lokasi Penelitian

Lokasi dari penelitian ini adalah kota Jayapura Provinsi Papua


dimana kota Jayapura juga merupakan ibukota Provinsi Papua dan
memiliki pusat permukiman terpadat di Provinsi Papua. Dengan luas
wilayah hanya 940 km2, kota ini harus menampung penduduk 288.786
jiwa dan bertambah 1,87 persen dari tahun sebelumnya. Jayapura
terletak di bagian utara Provinsi Papua pada 1°28’17,26”-
3°58’0,82” Lintang Selatan dan 137°34’10,6“–141°0’8,22” Bujur
Timur. Secara Geografis, Kota Jayapura terdiri dari 5 (lima)
distrik yaitu Distrik Jayapura Utara, Distrik Jayapura Selatan,
Distrik Abepura, Distrik Muara Tami dan Distrik Heram.

Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dalam kurun waktu 1 semester atau 6 bulan


yang dimulai sejak september 2018 sampai februari 2019

2.3 Kebutuhan Data

Data merupakan materi faktual yang terdapat di lapangan dan


belum diolah untuk dijadikan informasi. Data yang dibutuhkan oleh
peneliti dalam menunjang penelitian ini dapat dilihat pada tabel
berikut ini :

Tabel 2.2 Kebutuhan Data

Bentuk Data
No. Sasaran Variabel Indikator dan Jenis Sumber
Data

8
1.
1. Penggunaan
Mengidentifikasi
lahan
bentuk pola a. Mencari
2. Pola-pola
morfologi Kota data pada
jalan
Jayapura dinas-
3. Tipe-tipe
brdasarkan dinas
bangunan Observasi
bentuk-bentuk terkait
4. Bentuk Deskriptif lapangan
ekspresi b. Melakukan
keruangan Peta dan Dinas
keruangan dari observasi
kota terkait
morfologi kota c. Melakukan
Jayapura
dan unsur-unsur pencarian
5. Citra Kota
morfologi kota data di
Jayapura
secara umum internet
6. Jumlah
serta citra kota
Penduduk

2. Mengidentifikasi Observasi
morfologi kota lapangan
Jayapura dan Dinas
khususnya terkait
kawasan pusat
kota, yaitu
kecamatan 1. Citra
Jayapura Utara Satelit
a. Melakukan
dan kawasan Kota
pencarian
Abepura yang Jayapura
data di
juga merupakan 2. Citra
internet Gambar
salah satu Satelit
b. Melakukan
kecamatan dengan Kawasan
observasi
berbagai pusat Jayapura
perdagangan Utara dan
barang dan jasa. Kawasan
Yang mana akan Abepura
diambil dari
tahun 2008 ke
tahun 2018
dengan interval
2 tahun.
3. Mengidentifikasi 1. Penggunaan a. Mencari
faktor-faktor lahan data pada
yang 2. Topografi dinas-
mempengaruhi 3. Sosial dinas
Observasi
perkembangan Budaya terkait
Deskriptif lapangan
morfologi Kota b. Melakukan
Peta dan Dinas
Jayapura. observasi
terkait
c. Melakukan
pencarian
data di
internet
Sumber : Penulis 2019

2.4 Teknik Pengumpulan Data

9
Dalam mengumpulkan data pada penelitian ini peneliti
menggunakan data primer dan data sekunder.
Data Primer merupakan data yang diambil langsung
dilapangan melalui pengamatan, sebagai berikut:

1. Wawancara
Sudjana menyatakan bahwa wawancara adalah proses
pengumpulan data atau informasi melalui tatap muka antara
pihak penanya dengan pihak yang ditanya atau penjawab. Pada
penelitian ini peneliti akan melakukan wawancara terhadap
dinas-dinas terkait.

2. Observasi
Definisi observasi adalah pengamatan, pengawasan,
peninjauan, penyelidikan, riset. Sedangkan menurut Cartwright
& Cartwright seperti yang dikuti Haris Herdiansah
mendefinisikan observasi sebagai suatu proses melihat,
mengamati, mencermati serta merekam perilaku secara sistematis
untuk suatu tujuan tertentu. Dalam penelitian ini peneliti
akan mengamati perubahan penggunaan lahan, pola jaringan
jalan, serta tipe-tipe bangunan dan juga pengamatan terhadap
citra kota Jayapura saat ini yang disesuaikan dengan data
sekunder.

3. Dokumentasi
Dokumentasi cara mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan tanskip, buku-buku, surat kabar,
majalah, notulen rapat, agenda, dan sebagainya. Dokumen
tersebut dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seseorang. Hal ini dilakukan untuk memperkuat
data-data yang diperoleh dari hasil penelitian.

10
Sedangkan data s3kunder adalah data yang tidak
diambil langsung di lapangan tetapi dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1. Studi literatur atau mencari bahan pustaka yang
menunjang seperti literatur di perpustakaan, Internet,
Jurnal, dan untuk analisis yang lebih mendekati kondisi
eksisting.
2. Mencari data berupa peta administrasi dan peta lokasi
daerah penilitan yang dapat diambil melalui citra satelit.

2.5 Analisis Data

Identifikasi citra kota Jayapura

Kevin Lynch (dalam Zahnd, 1999) mengemukakan tentang gambaran


mental dari sebuah kota sesuai dengan rata-rata pandangan
masyarakatnya yang dikenal dengan citra kota. Dalam risetnya, ia
menemukan betapa penting citra mental itu karena citra yang jelas
akan memberikan banyak hal yang sangat penting bagi
masyarakatnya, seperti kemampuan untuk berorientasi dengan mudah
dan cepat disertai perasaan nyaman karena tidak merasa tersesat,
identitas yang kuat terhadap suatu tempat, dan keselarasan
hubungan dengan tempat-tempat yang lain.
Ada lima elemen kota yang mendasar yang mampu memberikan
kualitas visual bagi kota itu sendiri. Elemen-elemen inilah yang
dianggap mudah dilihat dan terasa di kawasan kota. Semakin kuat
kelima elemen ini maka semakin baik kota itu akan memberikan
kualitas dapat dilihat terhadap pengamat. Lima elemen kota yang
dipakai untuk mengungkapkan citra kota, yaitu path, edge,
district, nodes, dan landmark.
Path adalah rute-rute sirkulasi yang digunakan orang untuk
melakukan pergerakan secara umum, seperti jalan, lintasan kereta
api, gang-gang utama, dan sebagainya. Sebagai contoh jalan, jalan
yang dianggap sebagai path memiliki tiga karakteristik yang
meningkatkan keunggulannya, yaitu identitas, kontinuitas dan
kualitas terarah. Jalan akan berkontinuitas, jika ada konsentrasi
dan variasi kegiatan di sekitarnya, maka orang akan berorientasi

11
dengan mengikuti arus lalu lintas utama. Path pada kawasan Kota
Jayapura dapat dilihat dengan jelas yaitu pada jalur-jalur
sirkulasi utama yang menghubungkan setiap kawasan dalam kota
mulai dari Pasir Dua hingga Waena. Path yang mudah dikenali
merupakan path yang sering dilalui oleh masyarakat karena berada
di pusat kota, pusat perdagangan dan pusat pemerintahan. Path
utama di pusat Kota Jayapura adalah Jalan Ahmad Yani, Jalan
Percetakan dan Jalan Sam Ratulangi. Jalan Ahmad Yani dan Jalan
Percetakan mudah dikenali karena merupakan jalan di sepanjang
pusat perdagangan dan jasa. Sedangkan Jalan Sam Ratulangi adalah
jalan yang menuju ke luar kawasan pusat kota. Jalan ini juga
mudah dikenali dengan adanya tanaman pengarah di median jalan
sebagai pemisah jalur yang kuat. Di luar pusat kota jaringan path
yang ada menyesuaikan dengan kondisi topografi, yang mana
merupakan perbukitan. Path utama di kawasan abepura adalah jalan
raya yang menghubungkan kotaraja sampai ke waena.

Gambar 2.1 Jalan Sam Ratulangi, salah satu path utama di pusat
kota Jayapura

Sumber: (Alfini Baharudin (2011)Tinjauan Elemen-Elemen Citra Kota sebagai


Pembentuk Seri Visual di Kota Jayapura, Jurnal Tata Loka; Volume 13; Nomor
2)

Edge adalah elemen linier yang tidak digunakan atau dianggap


sebagai jalan oleh pengamat. Mereka adalah batas antara dua fase,
inkontinuitas linier: pantai, jalan kereta api, tepi pembangunan,
dinding "(Lynch, 1960: 47). Edge juga adalah batas atau pengakhiran
antara dua kawasan dan berfungsi sebagai pemutus linier, seperti
pantai, tembok, sungai, topografi dan sebagainya. Edge merupakan
elemen linier yang tidak dilihat sebagai path dan berada pada batas
antara dua kawasan tertentu serta berfungsi sebagai pemutus linier.
Edge pada kawasan kota Jayapura dapat dilihat pada setiap batas-

12
batas yang menghubungkan dua kawasan seperti pada batas-batas
distrik maupun batas dengan Kabupaten Jayapura dan Keerom.
Selain itu, edge juga dapat berupa batas yang tercipta dari adanya
kondisi topografi, yaitu dari perbedaan antara pegunungan atau
dataran tinggi dengan daerah dataran rendah. Hal ini banyak dijumpai
di Kota Jayapura karena kondisi to-pografinya yang sangat
bervariasi. Edge pada Kota Jayapura juga dapat dilihat pada batas
antara tepi laut dengan daratan.
Edge yang ada di Kota Jayapura juga berupa sungai/kali yaitu Kali
Anafre yang merupakan ba-tas antara Distrik Jayapura Selatan dan
Jayapura Utara, dan Kali Acai yang merupakan batas antara Distrik
Jayapura Selatan dan Abepura. Sedangkan edge yang merupakan
pengakhiran atau pembatas antara Kota Jayapura dengan Kabupaten
Keerom dan Kabupaten Jayapura dapat dilihat berupa tugu yang berada
di perbatasan kedua wilayah tersebut.

Gambar 2.2 Kali Acai, salah satu edge yang memisahkan


kecamatan Jayapura Selatan dan kecamatan Abepura

Sumber: (Alfini Baharudin (2011)Tinjauan Elemen-Elemen Citra Kota sebagai


Pembentuk Seri Visual di Kota Jayapura, Jurnal Tata Loka; Volume 13; Nomor
2)

District adalah sebuah kawasan yang memiliki ciri khas yang


mirip (bentuk, pola dan wujudnya) dan khas pula dalam batasnya,
dimana orang merasa harus mengakhiri atau mamasukinya. District
mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan
jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen. Pusat Kota Jayapura
meru-pakan kawasan perdagangan. Orang akan merasa memasuki kawasan
ini ketika melewati jembatan kali Anafre. Selain kawasan
perdagangan, pada pusat kota Jayapura terdapat pula kawasan per-
13
mukiman di Kloofkamp dan APO. Sedangkan di wilayah Abepura,
terdapat kawasan perdagangan dan pendidikan serta permukiman.

Node merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana


arah atau aktifitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah
atau aktifitas lain, misalnya persimpangan lalu lin-tas, taman,
square, dan sebagainya. Node memiliki identitas yang lebih baik
jika memiliki bentuk yang jelas (karena mudah diingat) serta
tampilannya berbeda dari lingkungannya (fungsi maupun bentuknya).
Node banyak ditemukan di Kota Jayapura, seperti terminal Entrop,
lingkaran polimak, dan lingkaran Abepura.

Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual


yang menonjol dari kota seperti tugu, menara, gedung tinggi dan
sebagainya. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena
membantu orang untuk mengorientasikan diri di dalam kota dan
membantuk orang mengenali suatu daerah. Landmark mempunyai
identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam
lingkugannya, dan ada sekuens dari beberapa landmark (merasa
nyaman dalam orientasi), serta ada perbedaan skala masing-masing
landmark. Landmark utama di kota Jayapura adalah patung Yos
Sudarso yang berada di Taman Imbi yang merupakan ruang terbuka
utama di Kota Jayapura. Landmark yang juga terlihat menonjol di
pusat Kota Jayapura adalah Gedung Bank Papua yang terletak
berseberangan dengan Taman Imbi, hal ini dikarenakan bentuk
massanya yang besar dan lebih menonjol dibandingkan bangunan-
bangunan di sekitarnya sehingga bangunan ini dapat terlihat dari
berbagai arah di pusat kota Jayapura. Sedangkan di wilayah
Abepura, terdapat landmark berupa tugu yang terletak di lingkaran
Abe yang juga berfungsi sebagai node.

Identifikasi Komponen Morfologi.

Komponen morfologi terdiri dari tiga elemen yaitu penggunaan


lahan, pola jaringan jalan, dan bangunan (pola dan kepadatan).
Identifikasi bertujuan untuk mengetahui karakteristik tiap
komponen pembentuk morfologi yang ada pada kota Jayapura.

14
Karakter tiap komponen ini menjadi masukan dalam analisis bentuk
morfologi kota Jayapura.

Penggunaan Lahan.

Kawasan permukiman kota Jayapura didominasi dengan penggunaan


lahan Ruang Terbuka Hijau Publik (RTH Publik) dengan persentase
71%, hal ini disebabkan karena kondisi topografi kota jayapura
yang relatif bervariasi, di mana terdapat sejumlah dataran rendah
dan pantai, juga terdapat perbukitan dan gunung-gunung, di mana
terdapat 40 persen di antaranya tidak layak huni karena merupakan
daerah perbukitan yang terjal dengan tingkat kemiringan 40
derajat, berawa-rawa dengan statistik konservasi (hutan
lindung.Pada kawasan ini juga didominasi oleh penggunaan lahan
permukiman sebesar 23 %, dan diikuti oleh fasilitas sosial dan
perkantoran sebesar 2.3% dan 1.9%.

Tabel 2.3 Penggunaan Lahan.

Luas Persentase
No Penggunaan Lahan 2
(Km ) (%)
1 RTH Publik 10,97 71
2 Permukiman 3,55 23
3 Perdagangan dan Jasa 0,1 0.6
4 Pertahanan & Keamanan 0,19 1.2
5 Perkantoran 0,29 1.9
6 Industri 0,018 0.1

7 Fasilitas Sosial (pendidikan, 0,44 2.3


kesehatan, peribadatan)
Jumlah 15,56 100
Sumber : RPJMD Kota Jayapura 2018-2022

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi dalam artian luas adalah Ilmu terapan yang


mempelajari tentang sejarah terbentuknya pola dan struktur ruang
suatu wilayah atau kota serta perkembangan suatu wilayah atau kota
mulai awal terbentuknya kota tersebut hingga munculnya daerah-daerah
hasil ekspansi kota tersebut. Smailes (1995) memperkenalkan 3 unsur
morfologi kota, yaitu unsur-unsur penggunaan lahan, pola-pola jalan
dan tipe-tipe bangunan sehingga muncul istilah “Townscape”.

Kajian bentuk-bentuk pola morfologi

Morfologi kota pada eksistensi keruangan dari bentuk-bentuk wujud


karakteristik kota yaitu analisa bentuk kota dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya (Yunus, 2000). Menurut Conzen dalam Birkhamshaw,
Alex J and Whitehand (2012), morfologi kota memiliki tiga komponen

16
yaitu Ground Plan (pola jalan, blok bangunan), bentuk bangunan (tipe
bangunan) dan utilitas lahan/bangunan. Analisa bentuk kota meliputi:

a) Bentuk-bentuk kompak Terdiri atas bentuk bujur sangkar (the


square cities), bentuk empat persegi panjang (the rectangular
cities), bentuk kipas (fan shaped cities), bentuk bulat
(rounded cities), bentuk pita (ribbon shaped cities), bentuk
gurita atau bintang (octopus/star shaped cities), bentuk tidak
berpola (unpatterned cities).
b) Bentuk-bentuk tidak kompak Terdiri atas bentuk terpecah
(fragmented cities), bentuk berantai (chained cities), bentuk
terbelah (split cities), bentuk stellar (stellar cities).

Faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk kota yaitu faktor bentang


alam atau geografis, transportasi, sosial, ekonomi dan regulasi.
Morfologi kota selain dilihat dari sisi bentuk kota dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya juga dapat dilihat berdasarkan tipe
morfologi kota (Urban Morphology Type). Tipe morfologi kota dapat
dirinci berdasarkan penggunaan lahan utama/Primary Land Use) (Philip
James dan Daniel Bound, 2009). Tipe morfologi kota ini sering
dikenal sebagai penggunaan lahan. Teori tipe morfologi kota ini
sering dikenal sebagai fungsi bangunan. Kajian morfologi kota secara
struktural, fungsional dan visual serta perancangan kota dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 3.1 Bentuk-bentuk Kota

(Sumber: Hadi Sabari Yunus, 2000)

Kajian Morfologi Kota secara Struktural

17
Gambar 3.2 Model Teori Struktural

(Sumber : Burgess dalam Yunus, 2000)

Analisa struktural menyatakan adanya pemisahan tingkatan-


tingkatan yang dikaitkan dengan tastes, preferences dan life styles.
Seperti yang diungkapkan oleh Alonso yang menggunakan pembagian zona
konsentris dari Burgess untuk menjelaskan spatial distribution-
residential mobility (dalam Yunus, 2000).

Kajian Morfologi Kota secara Fungsional

Pada tahun 1748 Giambattista Nolli (Zahnd, 1999), seorang


arsitek Italia, menemukan suatu cara analisa suatu tekstur perkotaan
dari segi fungsi massa dan ruang serta bagaimana hubungannya secara
fungsional. Adapun cara yang harus dilakukan yaitu dengan
menunjukkan secara analitis semua massa dan ruang perkotaan yang
bersifat publik (dan semipublik) ke dalam suatu gambaran
figure/ground secara khusus. Cara analisa tersebut diberi nama
Nolliplan yaitu semua massa yang bersifat publik atau semipublik
tidak lagi diekspresikan sebagai massa (dengan warna hitam),
melainkan digolongkan bersama tekstur ruang (warna putih).

Kajian Morfologi Kota secara Visual

Kajian morfologi kota secara visual dapat dilihat pada analisa


linkage (penghubung) yang membahas hubungan sebuah tempat dengan
18
yang lain dari berbagai aspek sebagai suatu generator (pengerak)
perkotaan. Dalam analisa linkage dikemukakan tiga pendekatan
diantaranya linkage visual. Dalam linkage yang visual dua atau lebih
banyak fragmen (bagian atau pecahan sesuatu) kota dihubungkan
menjadi satu kesatuan secara visual. Lima elemen linkage visual yang
menghasilkan hubungan secara visual, yakni garis, koridor, sisi,
sumbu, dan irama.

Analisa Perancangan kota

Di dalam perancangan kota dikenal tiga kelompok analisa


perancangan kota (figure/ground, lingkage, place) yaitu sebagai
berikut:

a. Analisa Figure/ Ground


Pada analisa ini meliputi pola sebuah tempat yang membahas
mengenai fungsi dan sistem pengaturan, dua pandangan pokok
terhadap pola kota yang meliputi organisasi lingkungan, figure
yang figuratif dan ground yang figuratif serta sistem poche,
tekstur figure/ ground.

b. Analisa Linkage
Ada tiga macam cara penghubung, yaitu linkage visual, linkage
struktural, serta linkage bentuk kolektif. Semua bentuk
tersebut merupakan dinamika perkotaan yang dianggap sebagai
generator kota.

c. Analisa Place
Pada analisa ini akan dibahas mengenai makna sebuah kawasan
sebagai sebuah tempat perkotaan. Analisa Place pada penelitian
ini adalah analisa konteks kota dan citra kota yang terdiri
dari path (jalur), edge (tepian), district (kawasan), node
(simpul), landmark (tengeran). (Lynch, 1969).
Kevin Lynch (dalam Zahnd, 1999) mengemukakan tentang
gambaran mental dari sebuah kota sesuai dengan rata-rata
pandangan masyarakatnya, yang dikenal dengan citra kota. Dalam
risetnya, iahbjirrr menemukan betapa penting citra men-tal itu
karena citra yang jelas akan memberikan banyak hal yang sangat
penting bagi masyarakatnya, seperti kemampuan untuk

19
berorientasi den gan mudah dan cepat disertai perasaan
nyaman karena tidak merasa tersesat, identitas yang kuat
terhadap suatu tempat, dan keselarasan hubungan dengan tempat-
tempat yang lain. Terdapat lima elemen yang dapat dipakai
untuk mengungkapkan citra kota yaitu path, edge, district,
node dan land-mark.
Path (jalur) adalah rute-rute sirkulasi yang digunakan
orang untuk melakukan pergerakan secara umum, seperti jalan,
lintasan kereta api, gang-gang utama, dan sebagainya. Path
adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Jika
elemen ini tidak jelas maka kebanyakan orang meragukan citra
kota secara keseluruhan.
Edge (tepian) adalah batas atau pengakhiran antara dua
kawasan dan berfungsi sebagai pemutus linier, seperti pantai,
tembok, sungai, topografi dan sebagainya. Edge memiliki
identitas yang le-bih baik jika kontinuitas tampak jelas
batasannya. Demikian pula fungsi batasannya harus jelas mem-
bagi atau menyatukan.
District adalah sebuah kawasan yang memiliki ciri khas
yang mirip (bentuk, pola dan wujudnya) dan khas pula dalam
batasnya, dimana orang merasa harus mengakhiri atau mamasu-
kinya. Distrik mempunyai identitas yang lebih baik jika
batasnya dibentuk dengan jelas tampi-lannya dan dapat dilihat
homogen.
Node merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis
dimana arah atau aktifitasnya saling bertemu dan dapat diubah
ke arah atau aktifitas lain, misalnya persimpangan lalu lin-
tas, taman, square, dan sebagainya. Node memiliki identitas
yang lebih baik jika memiliki bentuk yang jelas (karena mudah
diingat) serta tampilannya berbeda dari lingkungannya (fungsi
maupun bentuknya).
Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk
visual yang menonjol dari kota seperti tugu, menara, gedung
tinggi dan sebagainya. Landmark adalah elemen penting dari
bentuk kota karena membantu orang un-tuk mengorientasikan diri
di dalam kota dan membantuk orang mengenali suatu daerah.
Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya

20
jelas dan unik dalam lingkungannya, dan ada sekuens dari
beberapa landmark (merasa nyaman dalam orientasi), serta ada
perbedaan skala masing-masing landmark.

BAB IV
GAMBARAN UMUM WILAYAH KOTA JAYAPURA

4.1 Kondisi Fisik Dasar

4.1.1 Keadaan Geografis dan Batas Administrasi

Kota Jayapura merupakan ibukota provinsi Papua dan juga


merupakan salah satu wilayah dengan pusat permukiman terpadat
(justifikasi). Secara geografis wilayah kota Jayapura berbatasan
langsung dengan negara Papua New Guinea (PNG). Kota Jayapura
terletak di bagian utara Provinsi Papua pada 1°28’17,26”-

21
3°58’0,82” Lintang Selatan dan 137°34’10,6“–141°0’8,22” Bujur
Timur. Batas administrasi kota Jayapura sebagai berikut :

1. Sebelah utara : Lautan Pasifik


2. Sebelah selatan : Kabupaten Keerom
3. Sebelah timur : Negara Papua New Guinea
4. Sebelah barat : Kabupaten Jayapura

Kota Jayapura terdiri dari 5 (lima) distrik yaitu distrik


Jayapura Utara, distrik Jayapura Selatan, distrik Abepura, distrik
Muara Tami dan distrik Heram. Yang terbagi menjadi 25 Kelurahan
dan 14 Kampung. Dengan luas wilayah 940 km 2 atau 0,30 persen dari
luas wilayah provinsi Papua dan merupakan daerah terkecil di
provinsi Papua. Jumlah penduduk kota Jayapura tahun 2017 tercatat
sebanyak 293,690 jiwa atau bertambah 1,7 persen dari tahun
sebelumnya. Distrik Muara Tami merupakan Distrik terluas, yaitu
mencapai 626,7 km2. Sementara itu Distrik Jayapura Selatan
merupakan Distrik dengan luas wilayah terkecil, yaittu 43,4 km 2
atau 4,62 persen dari total luas Kota Jayapura. Secara topografi
dataran dengan tingkat 0-15% terluas terdapat di Distrik Muara
Tami, dan yang terkecil terdapat di Distrik Jayapura Utara; dan
jenis topografi bergelombang sampai Berbukit (15%-40%), penyebaran
hampir di seluruh wilayah dengan luas yang bervariasi

Jumlah penduduk Kota Jayapura tahun 2017, tercatat sebanyak 293.690 orang atau
bertambah 1,7 persen dari tahun sebelumnya

4.1.2 Kondisi Topografi

Kota Jayapura memiliki topografi yang relatif bervariasi, di


mana terdapat sejumlah dataran rendah dan pantai, juga terdapat
perbukitan dan gunung-gunung, di mana terdapat 40 persen di
antaranya tidak layak huni karena merupakan daerah perbukitan
yang terjal dengan tingkat kemiringan 40 derajat, berawa-rawa
dengan statistik konservasi (hutan lindung). Selain itu, kondisi
lahan di Kota Jayapura, dibedakan menjadi 3 bagian yaitu daerah

22
limitasi, daerah kendala dan daerah Potensi, daerah Limitasi
adalah daerah yang sama sekali tidak dapat dikembangkan atau
diolah karena keterbatasan fisik alami, daerah ini memiliki
kriteria: kemiringan lereng > 40 persen, keasaman tanah pH < 5
atau pH > 7, ketinggian tempat >1500 m dpl, curah hujan > 5000
mm/ tahun, daerah ini tergenang terus. Daerah Kendala adalah
daerah yang sulit dikembangkan karena batasan fisik alami namun
mengembangkannya diperlukan biaya besar dan teknologi yang maju,
dengan kriteria: Kemiringan lereng 15 – 40 persen, keasaman tanah
pH 5,1 - 7, daerah ini tergenang secara periodik. Sementara itu,
daerah potensi adalah daerah yang dapat dikembangkan tanpa ada
hambatan kondisi fisik alami, dengan kriteria: Kemiringan lereng
< 15 persen, keasaman tanah pH netral, curah hujan 2.000-2.500
mm/ tahun, daerah ini tidak tergenang.
Adapun terdapat beberapa titik dengan kelerangan mencapai 40
persen yang sebagian besar berada di Distrik Jayapura Uatara dan
Distrik Muara Tami, daerah dengan posisi paling tinggi di Kota
Jayapura terlihat berada di wilayah Distrik Jayapura Utara yaitu
berkisar antara 1300-1600 di atas permukaan laut.

4.1.3 Kondisi Hidrologi

Untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan air tanah di wilayah


Kota Jayapura, maka perlu pengelolaan dan pemanfaatan alam secara
optimal dan tidak menimbulkan dampak terhadap air tanah itu
sendiri. Sumber air tanah di Kota Jayapura ada yang termasuk tipe
“uncounfined aquifer” atau sumber air tanah dengan permukaan air
tanah bebas. Air tanah pada sumber dangkal ini berasal dari aii
“meteoric”(air hujan) yang mengisi formasi aquifer bagian pangkal
dan fan. Di samping itu juga terhadap sumber air dalam dengan
tipe “confined aquifer”. Dalam penggunaan air bersih di Kota
Jayapura digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (masak,
minum, mandi, cuci, dll), untuk kebutuhan industri dan kebutuhan
lain. Untuk keperluan tersebut, masyarakat pada umumnya
menggunakan air sumur, mata air, dan sumber dari PDAM. Sedangkan
untuk keperluan pengairan sawah digunakan sumber air yang berasal
dari Ingar ataupun limpahan air yang berasal dari mata air.
Sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber air perlu dibatasi guna
23
menjaga kelestariannya. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan
menjaga serta membatasi pembangunan pada kawasan-kawasan lindung.

4.1.4 Kondisi Klimatologi

Iklim di Kota Jayapura adalah tropis basah, cenderung panas,


basah, dan/ atau lembab. Pola ini dipengaruhi oleh topografi yang
tidak rata. Papua terletak di sebelah Selatan khatulistiwa,
sehingga panjangnya siang hari selalu tepat (12 jam sehari),
dengan perbedaan tahunan hanya sekitar 30 menit, antara siang
hari terpanjang dan siang hari terpendek Iklim di Kota Jayapura
adalah tropis basah, cenderung panas, basah, dan/ atau lembab.
Pola ini dipengaruhi oleh topografi yang tidak rata. Papua
terletak di sebelah Selatan khatulistiwa, sehingga panjangnya
siang hari selalu tepat (12 jam sehari), dengan perbedaan tahunan
hanya sekitar 30 menit, antara siang hari terpanjang dan siang
hari terpendek

4.1.5 Kondisi Penggunaan Lahan

Kawasan lindung berfungsi utama melindungi kelestarian


sumberdaya alam, sumberdaya buatan, serta nilai budaya dan
sejarah bangsa. Di kawasan ini tidak diperkenanakan adanya
aktifitas atau kegiatan budidaya yang dapat mengurangi atau
merusak fungsi lindungnya, kecuali digunakan untuk meningkatkan
fungsi lindungnya. Kawasan lindung di Kota Jayapura, baik dalam
konteks internal wilayah maupun regional, harus membentuk suatu
kesatuan yang secara sinergis memberikan perlindungan dari daerah
hulu hingga hilir, tanpa di batasi oleh batasan-batasan
administratif. Kriteria yang dipergunakan untuk menentukan
kawasan lindung ini didasarkan pada KEPPRES No. 32 Tahun 1980.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka kawasan lindung yang
terdapat di Kota Jayapura adalah hutan lindung, kawasan
perlindungan setempat, suaka alam dan cagar budaya, serta kawasan
rawan bencana. Untuk pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna sumberdaya serta untuk
menghindari konflik pemanfaatan ruang dan kelestarian lingkungan
hidup. Sedangkan sasaran yang diinginkan dari pengelolaan kawasan
budidaya adalah : 1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang dan
24
sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan. 2. Terhindarinya konflik
pemanfaatan sumberdaya dengan pengertian pemanfaatan ruang yang
berdasarkan pada prioritas pemanfaatan bagi kehidupan yang
memberikan keuntungan terbesar pada masyarakat. penggunaan lahan
Kota Jayapura terdiri dari berbagai kawasan, namun yang
mendominasi pengunaan lahan tersebut adalah Kawasan Hutan,
kemudian Kawasan Cagar Alam, dan Kawasan Hutan Lindung. secara
keseluruhan kondisi di atas menggambarkan masih terdapat beberapa
kawasan yang masih dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota
Jayapura.

4.2 Wilayah Rawan Bencana

Berdasarkan kondisi dan perkembangan saat ini Kota Jayapura


berfungsi dan berperan sebagai pusat pengumpul, pusat pelayanan
dan pusat pendistribusian segala kebutuhan penduduk baik wilayah
kota sendiri (hinterland), maupun daerah – daerah pedalaman,
apabila dikaitkan dengan semua fungsi tersebut tentu tidak
semuanya memberikan dampak posistif tetapi dampak negatif dengan
semuanya itu terpusat dikota otomatis beban kota semakin tinggi
hal ini mengakibatkan timbulnya beberapa masalah sosial, maupun
masalah bencana antara lain bencana banjir yang setiap tahunnya
terjadi hal ini akibat kurangnya tempat resapan air. Sementara
kawasan rawan longsor terdapat diwilayah yang kondisi permukaan
tanahnya mudah longsor karena terdapat zona bergerak akibat
patahan atau pergeseran, sama halnya dengan bencana abrasi
terdapat diwilayah pesisir pantai yang luasannya berkurang karena
gerusan gelombang air laut saat ini terdapat 27,58 km panjang
pantai yang rawan abrasi. Sedangkan rawan bencana kebakaran
akibat jumlah penduduk tidak sebanding dengan area pemukiman yang
terkesan sembrawut dan padat dan ditambah sarana jalan tidak
tersedianya untuk sampai ketempat kejadian. terdapat beberapa
titik daerah rawan bencana baik daerah rawan abrasi pantai, rawan
bencana genangan dan rawan bencana longsor. Adapun daerah rawan
bencana abrasi pantai berada di Kampung Tobati, Kampung Enggros
dan Kampung Skow Yambe. Kemudian daerah dengan rawan bencana

25
genangan air berada daerah Kelurahan Koya Barat, Kelurahan
Waimhorok, dan Kelurahan Waena

4.3 Kondisi Demografi

Penduduk merupakan modal pembangunan bagi suatu daerah, karena


menjadi sumber penawaran tenaga kerja, khususnya penduduk yang
berusia 15 tahun ke atas kerja atau penduduk usia kerja. Semakin
banyak penduduk, ini berarti semakin banyak jumlah tenaga kerja
yang dapat menggerakan pembangunan wilayah. Namun demikian,
pertambahan penduduk yang berlebihan bisa juga menjadi
permasalahan dalam pembangunan. Ketika pertambahan penduduk tidak
terkendali, akan timbul berbagai masalah diantaranya : (1)
tekanan penduduk dan lingkungan, akibat yang ditimbulkan dari
permasalahan ini yaitu berkurangnya lahan pertanian dan rusaknya
lingkungan akibat pemukiman yang sangat padat dan perilaku
manusia yang tidak peduli lingkungan, (2) kemiskinan, akibat yang
ditimbulkan dari permasalahan ini penduduk tidak bisa memenuhi
kebutuhan ekonominya, (3) pengangguran, yang terjadi karena
terjadi karena lapangan kerja tidak sebanyak pencari kerja akibat
semakin meningkatnya jumlah penduduk, (4) rawan pangan, akibat
yang ditimbulkan dari permasalahan ini yaitu kebutuhan pangan
sangat meningkat dengan adanya penduduk, sedangkan luas pertanian
akan berkurang sehingga produksi tidak mampu mencukupi kebutuhan
pangan seluruh penduduk. Terkait dengan kompleksitas masalah
penduduk di atas, maka pengendalian penduduk juga menjadi salah
satu kebijakan strategis dalam pembangunan daerah, termasuk di
wilayah Kota Jayapura. Sepanjang tahun 2012-2016 kondisi penduduk
Kota Jayapura dapat dilihat beberapa indikator yang coba
diuraikan sebagai berikut ini:
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk

Tahun
No. Distrik
2013 2014 2015 2016 2017
1. Muara Tami 11.869 12.018 12.379 12.626 12.854
2. Abepura 77.570 78.441 80.618 82.090 83.457
3. Heram 42.828 43.300 44.481 45.278 46.019
4. Jayapura Selatan 71.178 72.026 74.112 75.534 76.848

26
5. Jayapura Utara 69.099 69.909 71.900 73.258 74.512

Jumlah 272.544 275.694 283.490 288.786 293.690


Sumber : BPS Kota Jayapura

Rata-rata distribusi penduduk sampai dengan tahun 2016 di


beberapa Distrik antara lain Distrik Muara Tami adalah sebesar 12
ribu lebih penduduk, Distrik Abepura 83 ribu lebih penduduk, Distrik
Heram 45 ribu lebih penduduk, Distrik Jayapura Selatan 75 ribu lebih
penduduk, dan Distrik Jayapura Utara adalah sebanyak 73 ribu lebih
penduduk.

Jenis piramida di kota Jayapura adalah piramida penduduk


dengan bentuk konstruktif yang menggambarkan bahwa penurunan
angka kelahiran lebih pesat dari pada angka kematian. Bila hal
ini terjadi terus-menerus, akan menyebabkan berkurangnya jumlah
penduduk daerah yang bersangkutan. Selengkapnya ciri ciri
komposisi penduduk konstruktif antara lain: a) Jumlah penduduk
usia muda (0–19 tahun) dan usia tua (di atas usia 64 tahun)
sangat kecil; b) Jumlah penduduk yang tinggi terkonsentrasi pada
ke lompok usia dewasa; c) Angka kelahiran sangat rendah, demikian
juga angka kematian; d) Pertumbuhan penduduk sangat rendah
mendekati nol, bahkan pertumbuhan penduduk sebagian mencapai
tingkat negatif; dan e) Jumlah penduduk cenderung berkurang dari
tahun ke tahun. Selanjutnya, berikut ini adalah perkembangan sex
ratio di Kota Jayapura selama tahun 2012-2016 yang termuat dalam
pada gambar berikut ini.

Gambar 4.1 Sex Ratio

27
Sex Ratio
116
115
114 114
113
112 112
110 110
108
106
2012 2013 2014 2015 2016

Sumber : BPS Kota Jayapura

Berdasarkan gambar di atas angka rasio sex Kota Jayapura


sampai pada tahun 2016 adalah sebesar 114 persen, yang artinya
populasi penduduk perempuan lebih banyak di bandingkan dengan
populasi penduduk laki-laki. selain potret mengenai rasio seks
pada pembahasan sebelumnya, berikut ini potret penduduk juga
penting dilihat dari sisi kepadatan penduduk di Kota Jayapura
dengan distribusi penduduk di masin-masing distrik sangat
bervariasi

Tabel 4.2 Kepadatan Penduduk

No. Distrik Luas Penduduk Kepadatan


Wilayah (Jiwa) (Jiwa/km2)
(km2)
1. Muara Tami 626,7 12.626 20
2. Abepura 155,7 82.090 572
3. Heram 63,2 45.278 716
4. Jayapura Selatan 43,4 75.534 1.740
5. Jayapura Utara 51 73.258 1.436
Total 940 288.786 307
Sumber : BPS Kota Jayapura

Berdasarkan sajian data di atas, sampai dengan tahun 2016,


Kota Jayapura memiliki wilayah seluas 940 km2 dengan penduduk
yang berjumlah 288,786 jiwa dan kepadatan penduduk sebesar 307
jiwa/km2. Ditinjau dari luas wilayah, Distrik Muara Tami
merupakan Distrik dengan wilayah terluas yakni 626,7 km2.
Sedangkan jika ditinjau dari jumlah peduduk, Distrik Abepura
merupakan Distrik dengan jumlah penduduk terbanyak yakni 82,090
jiwa. Selanjutnya jika ditinjau dari kepadatan penduduk, maka
28
Distrik Jayapura Selatan merupakan Distrik dengan kepadatan
penduduk tertinggi yakni 1,740 jiwa/km2. Sepanjang tahun 2012-
2016 distribusi penduduk di Kota Jayapura paling tinggi tersebar
di Distrik Jayapura Selatan, sedangkan pendistribusian penduduk
peling rendah berada di Distrik Muara Tami sepanjang tahun 2012-
2016. Pertumbuhan penduduk Kota Jayapura memiliki trend
fluktuatif walaupun jumlah penduduk cenderung meningkat setiap
tahunnya. Pertumbuhan penduduk tertinggi dalam lima tahun
terakhir adalah terjadi pada tahun 2015 hingga mencapai 2,83
persen dengan populasi penduduk sebanyak 283 ribu penduduk.
Sedangkan pertumbuhan penduduk terendah berada pada tahun 2014
yang turun hingga mencapai 1,16 persen.

29
BAB V
JADWAL PELAKSANAAN TUGAS AKHIR

Pada bab ini menguraikan tentang jadwal pelaksanaan tugas akhir melalui tabel berikut ini :
Tabel 5.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Hari Bulan

April Mei

Minggu

Senin

Selasa

Rabu

Kamis

Jumat

Sabtu

Sumber : Penulis 2019

30
Keterangan Warna :

: Perjalanan menuju wilayah penelitian (Yogyakarta – Jayapura)

: Perkenalan denga instansi terkait maksud dan tujuan penelitian dilakukan.

: Observasi, Wawancara dan Dokumentasi dilakukan.

: Kompilasi dan Penyusunan Data serta Analisis.

: Pembuatan peta dan Analisi berdasarkan Citra Satelit.

: Penyusunan Hasil Penelitian

: Jadwal Kembali ke Yogyaka

31
BAB VI
PENUTUP
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa pertambahan


jumlah penduduk menyebabkan meningkatkannya jumlah penggunaan lahan,
hal ini menyebabkan adanya alih fungsi lahan yang sebelumnya lahan
hijau menjadi permukiman dan bisnis komersial. Selain dari adanya
alih fungsi lahan, adanya juga penambahan jaringan jalan guna
memperlancar aksebilitas dari pada pembukaan lahan baru. Dengan
adanya perkembangan juga menyebabkan adanya perubahan bentuk
arsitektur bangunan yang mengarah kepada komersial dan permukiman.

32

Anda mungkin juga menyukai