Anda di halaman 1dari 68

ANALISIS PENGARUH PERKEMBANGAN MORFOLOGI KOTA

TERHADAP PEMBENTUKAN STRUKTUR KOTA


DI KECAMATAN BANGIL, KABUPATEN PASURUAN

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Morfologi Kota
Dosen Pengampu: Dr. Dewi Junita Koesoemawati, S.T., M.T.

Disusun oleh :

Nama : Nur Akhillah Roikhatul Jannah

NIM : 221910501011

Kelas : A

FAKULTAS TEKNIK

PRODI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

UNIVERSITAS JEMBER

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan berkat nikmat serta karunia-Nya serta memberikan kesehatan dan
kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan yang berjudul
“Analisis Pengaruh Perkembangan Morfologi Kota Terhadap Pembentukan
Struktur Kota di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan“ untuk memenuhi tugas
mata kuliah Morfologi Kota.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Dewi Junita
Koesoemawati, S.T., M.T. selaku dosen pengampu dalam mengerjakan laporan
ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan demi
kesempurnaan laporan, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pengetahuan
dan pemahaman kita semua.

Jember, 6 Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kota akan selalu tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan
kehidupan sosial-budaya, ekonomi dan politik yang melatar belakanginya.
Perkembangan kota merupakan hasil karya dari susunan pemikiran manusia
baik dalam tataran adaptasi terhadap lingkungan maupun pengaturannya.
Budaya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan images dari citra kota
dapat mengalami perubahan. Masyarakat kota dengan latar belakang yang
berbeda-beda dari pola hidup tradisional hingga modern mempengaruhi
perubahan dalam struktur tata ruang sebuah kota. Terdapat dua faktor yang
sangat menentukan proses perkembangan kota yaitu faktor kestabilan budaya
masyarakat dalam mempertahankan intervensi budaya luar (pengaruh
akulturasi dan asimilasi budaya) dan intensitas pengaruh perubahan. Selain
itu, faktor-faktor alamiah seperti keadaan geografis, struktur tanah, sumber
daya alam dan sebagainya juga mempunyai peran yang sangat penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan kota. Perkembangan sebuah kota sangat
berkaitan dengan fungsi waktu, hal tersebut merujuk pada masa lampau yaitu
aspek kesejarahan memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk
morfologi kota (Mumford,1967). Kota berdasarkan perjalanan sejarahnya
telah dan akan membentuk suatu pola morfologi sebagai implementasi bentuk
perubahan sosial-budaya masyarakat yang membentuknya. Sehingga
perkembangan dan bentuk kota merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan di dalam melihat kondisi perkotaan sehingga dapat ditinjau dari
pola morfologi kota.
Morfologi Kota di Kabupaten Pasuruan merupakan implementasi dari
pengaruh masa kerajaan Hindu-Islam hingga kolonial Belanda. Warisan
perencanaan pada zaman kolonial sangat terlihat pada bentukan fisik
bangunan dan tata lingkungan (Hadinoto,1996). Untuk mengungkapkan
fenomena perkembangan kota tidak terlepas dari pembahasan elemen
pembentuk kota itu sendiri. Fenomena perkembangan kota akan mencakup
perkembangan elemen detail, elemen tata bentuk kota atau townscape serta
perkembangan aspek peraturan kota atau pranata kota. Ketiga aspek tersebut
merupakan aspek fisik, yang baik secara langsung maupun tidak langsung
sangat dipengaruhi oleh aspek non-fisik kota sebagai latar belakang
perkembangan kota.
Secara historis pada sekitar abad XVIII hingga XIX Kabupaten Pasuruan
merupakan salah satu wilayah yang ikut berperan dalam panggung sejarah
kebudayaan Indonesia. Hal itu disebabkan karena banyak dijumpai
peninggalan-peninggalan arkeologis yang menunjukkan pengaruh asing, yaitu
Eropa di Kabupaten Pasuruan. Namun, bangunan-bangunan yang
berkarakteristik Eropa tersebut didominasi oleh bangunan Belanda.
Munculnya bangsa Belanda di Kabupaten Pasuruan secara langsung maupun
tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan
pertumbuhan daerah-daerah di Kabupaten Pasuruan. Hal tersebut bisa dilihat
dari struktur pola ruang dan munculnya bangunan-bangunan kolonial di
Kabupaten Pasuruan, khususnya daerah Kecamatan Bangil. Kecamatan Bangil
yang saat ini merupakan ibukota Kabupaten Pasuruan dulunya pernah menjadi
daerah pelabuhan. Pada saat itu, daerah tersebut banyak dikunjungi oleh
beberapa orang dari berbagai negara dan etnis. Namun, Kecamatan Bangil
pertama kali dibuka oleh Etnis Jawa sehingga morfologi kota Kecamatan
Bangil masih sangat dipengaruhi oleh pemerintahan tradisional Jawa. Hal
tersebut ditunjukkan dengan adanya peninggalan artefak berupa alun-alun
sebagai pusat kota yang merupakan salah satu identitas kota-kota tradisional di
Pulau Jawa. Identitas kota tersebut, sekarang masih dapat terlihat di
Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan. Perkembangan Kecamatan Bangil
seperti halnya perkembangan wilayah pada umumnya yang ditandai dengan
pertambahan penduduk setempat dan semakin banyaknya penggunaan lahan
yang ada. Berdasarkan kondisi tersebut, maka kebutuhan akan ruang dari
tahun ke tahun semakin meningkat. Peningkatan akan kebutuhan ruang
tersebut menyebabkan terjadinya perkembangan kota terutama perkembangan
fisik. Peningkatan aktivitas di Kecamatan Bangil mengakibatkan adanya
perubahan pada struktur ruang daerah Kecamatan Bangil.
Dengan mengacu pada studi terdahulu, pertumbuhan morfologi kota di
Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan yang dikaji secara historis sangat
menarik diteliti karena hasilnya akan memiliki nilai penting, khususnya
berkaitan dengan struktur kogta. Selain itu, gambaran Kecamatan Bangil
sebagai ibukota Kabupaten Pasuruan yang berkarakter akan morfologi kota
yang berpengaruh terhadap pembentukan struktur ruang di Kabupaten
Pasuruan. Kecamatan Bangil pada Abad 19 bisa dimunculkan dari waktu ke
waktu dalam bentuk visualisasi simbol-simbol kota yang diciptakan sesuai
dengan jiwa zamannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk morfologi kota terhadap struktur kota di
Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan?
2. Bagaimana citra kota Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan?
3. Bagaimana perkembangan morfologi kota terhadap pembentukan
struktur kota di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bentuk morfologi kota terhadap struktur kota di
Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan.
2. Untuk mengetahui citra kota Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan.
3. Untuk mengetahui pengaruh perkembangan morfologi kota terhadap
struktur kota di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan dalam kurun
waktu di masa yang akan mendatang.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak
yang membutuhkan, baik secara teoritis maupun praktis, di antaranya:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan bagi pembaca mengenai pengaruh perkembangan
morfologi kota terhadap pembentukan struktur kota di Kecamatan
Bangil, Kabupaten Pasuruan serta diharapkan sebagai sarana
pengembangan ilmu pengetahuan secara teoritis.
2. Manfaat praktis
a) Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana yang
bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan
tentang perkembangan Kecamatan Bangil. Selain itu,
memberikan pengalaman bagi peneliti dalam melakukan
penelitian dan teknik penulisan yang benar dan membuat
peneliti berpikir kritis dan terarah terhadap perkembangan
kota.
b) Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam pengembangan teori mengenai
perkembangan morfologi kota khususnya di Kecamatan
Bangil.
1.5 Sistematika Penulisan
Gambaran tantang Sistematika Penulisan yang digunakan dalam
penyusunan laporan ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang berbagai ringkasan landasan teori yang
berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tentang metode penelitian yang digunakan
dan dijabarkan pada jenis penelitian, sumber data, lokasi
penelitian, dan teknik pengumpulan data.
BAB IV : PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan mengenai analisis yang dapat menjawab
rumusan persoalan yang telah dijelaskan pada bab pendahuluan
sebelumnya. Dalam bab ini akan diuraikan tentang bentuk
morfologi kota Kecamatan Bangil, citra kota Kecamatan Bangil,
dan perkembangan morfologi kota terhadap struktur kota di
Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan.
BAB V : PENUTUP
Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dari keseluruhan
penelitian yang telah dilakukan beserta saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Kota
Kata morfologi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan
gabungan dari dua suku kata yaitu “morphos” yang berarti bentuk dan
“logos” yang berarti ilmu. Morfologi merupakan ilmu yang mempelajari
tentang bentuk atau the science of form, yang juga berarti mempelajari
bentuk (shape), forma (form), struktur eksternal (external structure) atau
pengaturan (errangement) (oxford, 1970). Morfologi juga dapat diartikan
sebagai formasi dari sebuah objek bentuk sebuah kota dalam skala yang
lebih luas. Kota merupakan suatu kawasan permukiman yang di dalamnya
terdapat berbagai kegiatan sosial dan ekonomi, serta terdapat fasilitas-
fasilitas pendukung untuk menunjang kegiatan masyarakat yang ada di
dalam wilayah tersebut. Teori morfologi kota menjelaskan pentingnya
melakukan kajian morfologi kota berdasarkan pendapat para ahli sebagai
berikut:
a. Menurut Smailes (1955)
Smailes mengemukakan terdapat tiga unsur morfologi kota yaitu
unsur-unsur penggunaan lahan, pola-pola jalan, dan tipe-tipe
bangunan.
b. Menurut Moudon (1997)
Moudon mengungkapkan dalam morfologi kota terdapat unsur-
unsur fisik yaitu bangunan dan ruang terbuka di dalamnya, jaringan
dan pola, dan jaringan jalan. Unsur-unsur morfologi kota tersebut
menjadi pedoman dalam mempelajari sejarah serta perubahan di
dalam sebuah kota dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
tersebut.
c. Menurut Whitehand (1977) dan Conzen (1958)
Menurut Whitehand dan Conzen, kajian mengenai sejarah suatu
kota merupakan dasar yang sangat penting dalam melakukan kajian
morfologi suatu kota yang di dalamnya memiliki karakteristik fisik
perkotaan berupa perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu yang
menjadi penilaian di masa yang akan datang yang diterapkan dalam
desain perkotaan.
d. Menurut Kropf (2002)
Kropf berpendapat bahwa salah satu karakteristik dari bentuk
perkotaan adalah struktur perkotaan terbagi menjadi tingkat yang
berbeda seperti jalan/blok, plotplot, bangunan yang akan terus
mengalami perubahan di masa yang akan datang. Sehingga morfologi
perkotaan merupakan dasar yang setara dengan sejarah perkotaan
(urban morphology is essentially equivalent to urban history).
e. Menurut Professor Larkham (2002)
Larkham mengemukakan bahwa morfologi kota merupakan
pemahaman terhadap kompleksitas fisik berbagai skala, pemahaman
bangunan individual, plot, jalan-blok, dan pola jalan (physical
complexities of various scales, from individual buildings, plots, street-
blocks, and the street patterns) yang membentuk struktur kota,
sehingga dapat membantu untuk memahami cara pertumbuhan dan
perkembangan kota yang merupakan bagian dari studi tentang
morfologi kota.
f. Menurut Sima dan Dian Zhang (2009)
Menurut Sima Zhang, sistem analisis morfologi menganggap
sistem jalan, pola plot, dan pola bangunan sebagai bagian integral dari
kota. Bentuk dan perubahan (evolusi perkotaan) yang dikaji dalam
morfologi kota merupakan fokus pada penjelasan elemen-elemen
perkotaan yang merupakan bagian dari struktur perkotaan.
Jadi berdasarkan teori-teori morfologi kota menurut para ahli,
dapat disimpulkan bahwa morfologi kota merupakan ilmu yang
mempelajari bentuk-bentuk fisik kota secara logis. Dalam pengertian yang
lebih luas, morfologi kota adalah ilmu terapan yang mempelajari tentang
sejarah terbentuknya pola dalam sebuah ruang suatu kota dan faktor-faktor
perkembangan suatu kota mulai dari awal terbentuknya kota tersebut
hingga munculnya daerah-daerah hasil ekspansi kota. Bentuk morfologi
kota pada konteks perkembangan kota tercermin pada pola tata ruang,
arsitektur bangunan, dan elemen-elemen fisik kota lainnya. Analisis
morfologi kota didasarkan pada areal yang secara fisik menunjukkan
penampakan perkotaan (townscape). Perkembangan Morfologi kota yang
mencakup aktivitas dalam aspek sosial, ekonomi, budaya masyarakat kota
dapat terjadi sehingga dapat berdampak pada perubahan yang terjadi pada
suatu karakter dan bentuk morfologi kawasan pusat kota. Kota akan secara
menerus mengalami perkembangan dari suatu waktu ke waktu.
Perkembangan tersebut menyangkut aspek-aspek politik, sosial, budaya,
teknologi, ekonomi, dan fisik. Dalam morfologi kota penting untuk
melakukan suatu kajian ekspresi bentuk keruangan dari sebuah kota yang
tidak hanya mencakup aspek fisik namun juga dalam aspek-aspek non-
fisik lainnya berupa (sejarah, kebudayaan, sosial, dan ekonomi) penduduk
yang dapat mempengaruhi perubahan bentuk fisik ruang kota. Dengan
adanya pengertian maupun pemahaman tentang morfologi kota, maka akan
didapatkan gambaran fisik arsitektural yang berkaitan dengan sejarah
terbentuknya sebuah kota dan perkembangan suatu kota mulai dari awal
terbentuk hingga saat ini dan juga akan diperoleh pemahaman tentang
kondisi masyarakatnya.
2.2 Bentuk Kota
Secara teori bentuk kota menurut (Hadi Sabari Yunus, 2000)dapat
diartikan sebagai bentuk, pola, lagam atau tatanan massa bangunan dalam
suatu kawasan. Bentuk kota dapat digunakan untuk mengidentifikasi
bentuk kawasan menyerupai kompak atau tidak kompak yang berpengaruh
dalam perkembangannya. Analisis bentuk kota meliputi:
a. Bentuk-Bentuk Kompak
1) Bentuk Bujur Sangkar
Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus 2000
Bentuk kota ini menunjukkan sesuatu yang
murni dan rasionil dengan bentuk yang statis, netral,
dan tidak mempunyai arah tertentu. Bentuk ini
bercirikan dengan pertumbuhan di sisi-sisi jalur
transportasi dan menunjukkan adanya kesempatan
perluasan kota ke segala arah yang relatif seimbang
dan kendala fisikal relatif tidak begitu berarti.
Hanya saja, ada jalur transportasi pada sisi-sisi
memungkinkan terjadinya percepatan pertumbuhan
areal kota pada arah jalur yang bersangkutan.
2) Bentuk Kipas

Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus 2000


Bentuk kipas merupakan bentuk kota dengan
sebagian lingkaran. Dalam hal ini ke arah luar
lingkaran kota yang bersangkutan mempunyai
kesempatan berkembang yang relatif seimbang.
Sehingga pada sebab tertentu di bagian-bagian
lainnya terdapat beberapa hambatan perkembangan
areal kekotaannya.
3) Bentuk Empat Persegi Panjang

Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus 2000


Bentuk kota ini dapat dilihat bahwa dimensi
memajang sedikit lebih besar daripada dimensi
melebar. Hal ini dimungkinkan timbul karena
adanya hambatan-hambatan fisikal terhadap
perkembangan areal kota pada salah satu sisi-
sisinya.
4) Bentuk Pita

Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus 2000


Bentuk kota ini memiliki dimensi
memanjangnya jauh lebih besar dari pada dimensi
melebar maka bentuk ini menempati klasifikasi
tersendiri dan menggambarkan bentuk pita. Dalam
hal ini jelas terlihat adanya peranan jalur
memanjang (jalur transportasi) yang sangat
dominan dalam mempengaruhi perkembangan areal
kekotaannya, serta terhambatnya perluasan areal ke
samping. Sepanjang lembah pegunungan dan
sepanjang jalur transportasi darat utama adalah
bagian-bagian yang memungkinkan terciptanya
seperti ini. Menurut Northam "Space" untuk
perkembangan areal kekotaannya hanya mungkin
memanjang saja Merupakan bentuk kota dengan
peran jalur transportasi yang dominan, terbentuk
pola kota yang memanjang saja.
5) Bentuk Bulat
Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus 2000
Bentuk kota seperti ini adalah bentuk kota
paling ideal dari pada bentuk kota lainnya. Hal ini
disebabkan karena kesempatan perkembangan areal
ke arah luar dapat dikatakan "seimbang". Jarak dari
pusat kota ke arah bagian luarnya sama. Tidak ada
kendala-kendala fisik yang berarti pada sisi-sisi luar
kotanya. Untuk kota-kota yang perkembangannya
berjalan secara "natural" (tanpa banyak dipengaruhi
oleh peraturan-peraturan) deskripsi di atas memang
sangat mungkin besar, namun ada pula yang bentuk
bulat sempurna tersebut tercipta karena adanya
perencanaan yang disertai peraturan-peraturan tata
ruang. Walau kesempatan berkembang ke arah luar
tidak sama, namun dengan peraturan-peraturan
dapat diciptakan bentuk seperti ini.
6) Bentuk Gurita/Bintang

Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus 2000


Pada bentuk kota ini peranan jalur
transportasi sangat dominan sebagaimana dalam
“ribbon-shaped city”. Hanya saja, pada bentuk
gurita jalur transportasi tidak hanya satu arah saja,
tetapi beberapa arah ke luar kota. Hal ini hanya
dimungkinkan apabila daerah “hinterland” dan
pinggirannya tidak memberikan halangan-halangan
fisik yang berarti terhadap perkembangan areal
kekotaannya.
7) Bentuk Tidak Berpola

Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus 2000


Bentuk kota tidak berpola adalah kota yang
terbentuk pada suatu daerah dengan kondisi
geografis yang khusus. Daerah dimana kota ini
berada telah menciptakan latar belakang khusus
dengan kendala-kendala pertumbuhan sendiri.
Sebuah kota pulau misalnya, mungkin membentuk
kota yang sesuai dengan bentuk pulau yang ada.
Sebuah cekungan struktural dengan beberapa sisi
terjal sebagai kendala perkembangan areal
kekotaannya, sangat mungkin ditempati oleh suatu
kota dengan bentuk yang khusus pula.
a. Bentuk-Bentuk Tidak Kompak
1) Bentuk Berantai

Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus 2000


Bentuk kota ini merupakan bentuk kota yang
terpecah, namun karena terjadi hanya sepanjang rute
tertentu, kota ini seolah-olah merupakan mata rantai
yang dihubungkan oleh rute transportasi. Oleh
karena jarak antara kota induk dengan penampakan
kota yang baru tidak jauh, beberapa bagian tersebut
membentuk kesatuan fungsional yang sama,
khususnya dibidang ekonomi.
2) Bentuk Terpecah

Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus 2000


Kota jenis ini pada awal pertumbuhannya
mempunyai bentuk yang kompak dalam skala
wilayah yang kecil Dalam perkembangan
selanjutnya perluasan areal kekotaan baru yang
tercipta ternyata tidak langsung menyatu dengan
kota induknya, tetapi cenderung membentuk
"exclaves" pada daerah- daerah pertanian
sekitarnya. Penampakan kekotaan yang baru ini
dikelilingi oleh areal pertanian dan dihubungkan
dengan kota induk serta "exclaves" yang lain dengan
jalur transportasi yang memadai.
3) Bentuk Terbelah
Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus 2000
Jenis kota ini merupakan kota kompak akan
tetapi karena terdapat perairan yang cukup lebar
yang membelah kotanya, maka seolah-olah kota
tersebut terdiri dari dua bagian yang terpisahkan.
Dua bagian tersebut dihubungkan oleh jembatan
“ferry”. Biasanya masing-masing mempunyai nama
yang berbeda dengan bagian yang lain.
4) Satelit

Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus 2000


Pengembangan kota-kota satelit ini dapat
berfungsi sebagai penyerap mengalirnya arus
urbanit yang sangat besar ke kota utama dengan
jalan meningkatkan fungsi-fungsi yang ada di kota-
kota satelit sehingga memperluas “working
opportunities”.
2.3 Elemen-Elemen Morfologi Kota
Elemen-elemen morfologi kota menurut para ahli tersusun atas
beberapa aspek. Menurut Smailes (1995), kajian morfologi dapat
dihimpun dalam 3 unsur utama yakni land use (tata guna lahan), street
(pola jalan) dan architectural style of buildings & their design (bangunan).
Karakteristik ketiga unsur yang dikemukakan oleh Smailes dan Whitehead
dapat saling terkait satu sama lain dalam proses pembentukan unsur dasar
morfologi kota. Bentuk bangunan pada elemen ini didasarkan pada
karakter fisik bangunan. Rencana lantai atau denah terkait dengan lokasi
spasial dan interaksi jaringan jalan serta orientasi bangunan dalam jaringan
jalan. Sedangkan tata guna tanah diklasifikasikan sebagai hasil atau
kegiatan masyarakat dalam suatu bidang tanah untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Ketiga unsur dasar ini dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial,
ekonomi dan budaya yang mendorong pengembangan perkotaan.
Keseluruhan elemen morfologi membentuk kota terbagi menjadi 5
yakni bentuk bangunan, pola jalan, tata guna lahan, ruang terbuka dan
garis langit Heryanto (2011). Berbeda dengan pernyataan para ahli
Heryanto menemukan bahwa garis langit juga berpengaruh dalam kajian
bentuk kota. Selanjutnya Heryanto mengatakan bahwa kelima unsur
determinan utama yang membentuk karakter bentuk fisik kota boleh
kondisi kekuatan budaya, politik, sosial dan ekonomi masyarakat dan
ditunjang oleh keadaan sekelilingnya. Sehingga elemen tersebut memiliki
hubungan yang erat terhadap konfigurasi ruang serta pengaruh sosialnya.
Morfologi kota sangat perlu diperhatikan melalui empat komponen yakni
fungsi lahan yang dijadikan sebagai pusat aktivitas pertumbuhan dan
perkembangan lahan, jaringan jalan sebagai fungsi pengantar dari fungsi
lahan, komposisi persil dilihat dari pengaruh ukuran persil dan intensitas
penggunaan lahan, dan fungsi bangunan yang merupakan representatif
tipologi dalam analisis morfologi. Namun secara keseluruhan 3 aspek
utama tidak pernah lepas dari elemen pembentuk morfologi kota yakni tata
guna lahan, pola jalan, dan bentukan massa bangunan. Kemudian seiring
berkembangnya aspek kajian morfologi para ahli berhasil
mengembangkan beberapa elemen bentuk lainya yang berkaitan erat
terhadap bentukan kota yakni rencana lantai, ruang terbuka, sirkulasi, garis
langit, activity support dan lainnya. Karakteristik jaringan jalan merupakan
zona pembatas, bentuk bangunan merupakan histori dan ciri khas suatu
kawasan, sedangkan tata letak bangunan dan fasilitas umum merupakan
ciri khas dari tata guna lahan. Selanjutnya Whitehand (2005) menjelaskan
bahwa ketiga unsur tersebut dipengaruhi oleh kondisi geografis topografi
dan budaya setempat yang berkembang dari waktu ke waktu sejalan
dengan perkembangan kota. Adapun penjabaran terkait elemen-elemen
morfologi kota tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tata Guna Lahan (Land Use)
Elemen ini bersifat temporer dan dinamis, dapat dijadikan
dasar untuk membangun kembali dan merencanakan fungsi baru
dari suatu bangunan yang akan dibuat, yaitu dengan cara
menggabungkan atau mengurangi banyak bangunan serta
mengubah pola jalan (Carmona et.al, 2003). Penggunaan lahan
sendiri merupakan proses yang berkelanjutan dalam memanfaatkan
lahan yang ada untuk fungsi-fungsi tertentu secara optimal, efektif,
serta efisien. Penggunaan lahan menunjukkan hubungan antara
sirkulasi dengan kepadatan aktivitas atau fungsi di dalam suatu
ruang, di mana setiap ruang memiliki karakteristik penggunaan
lahan yang berbeda-beda sesuai dengan daya tampungnya masing-
masing. Menurut Chapin (1972), dalam Yunus (2000)
pembentukan tata guna lahan, terdapat faktor ekonomi yang
cenderung dominan.
Tata guna lahan pada suatu daerah dapat dilihat
perkembangannya dari tiga aspek, yaitu jenis kegiatan, intensitas
penggunaan dan aksebilitas antar guna-lahan (Warpani, 1990).
Untuk lebih lengkapnya, hal tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a) Jenis Kegiatan Jenis kegiatan dapat dilihat dari dua aspek,
yaitu aspek umum yang menyangkut pada penggunaannya
(komersial, industri, permukiman) dan aspek khusus
mengenai cirinya yang lebih spesifik (daya dukung
lingkungan, luas dan fungsi).
b) Intensitas Guna Lahan Ukuran intensitas guna lahan dapat
ditunjukkan oleh kepadatan bangunan yang diperoleh
dengan perbandingan luas lantai per unit luas tanah.
Penggunaannya dapat dipadukan dengan data jenis kegiatan
menjelaskan tentang besarnya perjalanan dari setiap lahan.
c) Hubungan Antar Guna Lahan Hubungan antar lahan sangat
erat kaitannya dengan jaringan jalan. Jaringan jalan tersebut
yang dapat menghidupkan suatu lahan dengan fungsi
tertentu.
2) Pola Jalan (Street Pattern)
Pola jaringan jalan terbentuk melalui suatu proses yang
panjang dan merupakan bagian atau kelanjutan dari pola yang ada
sebelumnya. Pola jalan dapat berbentuk regular atau irregular
(natural) yang sangat dipengaruhi oleh topografi kawasan
(Carmona et.al, 2003). Pola jaringan jalan adalah komponen yang
paling nyata manifestasinya dalam pembentukan kota, ada tiga
sistem pola jalan yang dikenal sebagai berikut:
a. Pola Jalan Radial Konsentris

Pola jalan radial konsentris memiliki beberapa sifat


yang spesifik yaitu mempunyai pola jalan konsentris dan
radial. Sistem pola jalan ini merupakan bagian pusat daerah
kegiatan utama dapat berupa pasar, kompleks,
perbentengan, alun-alun, kompleks ibadah. Secara umum
membentuk jaringan sarang laba-laba dan jalan besar
menjari dari titi pusat.
b. Pola Jalan Bersudut Siku atau Grid
Pola jalan bersudut siku atau grid memiliki
karakteristik yaitu bagian-bagian kotanya dibagi menjadi
blok-blok empat persegi panjang dengan jalan-jalan yang
paralel longitudinal dan transversal yang membentang dari
pintu gebang utama kota sampai pada pusat kota. Sistem
jalan ini merupakan pola yang cocok untuk pembagian
lahan dengan pengembangan kota yang akan tampak teratur
dengan mengikuti pola yang telah dibentuk
c. Pola Jalan Tidak Teratur

Pola jalan ini terlihat tidak adanya keteraturan


sistem jalan baik dari segi lebar maupun arahnya.
Ketidakteraturan ini terlihat pada pola jaringan jalannya
yang melingkar dengan lebar yang bervariasi. Hal ini
menunjukkan tidak adanya peraturan perencanaan pada
pembangunan kota tersebut.
Selain itu, terdapat pula klasifikasi jaringan jalan yang
diterapkan oleh pemerintah terhadap ruas jalan yang ada di
Indonesia, mulai dari jalan protokol sampai dengan jalan
lingkungan. Berikut adalah klasifikasi jalan berdasar sifat dan
pergerakan lalu lintas serta fungsinya (Perda Kota Semarang
Nomor 6 Tahun 2004):
a) Jalan arteri primer, menghubungkan secara berdaya guna
antar pusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan
nasional dengan pusat kegiatan wilayah, dengan dimensi
minimal 15 meter;
b) Jalan kolektor primer menghubungkan secara berdaya guna
antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal,
antar pusat kegiatan wilayah, atau antara pusat kegiatan
wilayah dengan pusat kegiatan lokal, dengan dimensi
minimal primer 10 meter;
c) jalan lokal primer menghubungkan secara berdaya guna
pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan,
pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan,
antar pusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan
pusat kegiatan lingkungan, serta antar pusat kegiatan
lingkungan, dengan dimensi minimal 7 meter;
d) Jalan lingkungan primer menghubungkan antar pusat
kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam
lingkungan kawasan perdesaan, dengan dimensi minimal 5
meter;
e) Jalan arteri sekunder, menghubungkan kawasan primer
dengan kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu
dengan kawasan sekunder kesatu, atau kawasan sekunder
kesatu dengan kawasan sekunder kedua, dengan dimensi
minimal 15 meter;
f) Jalan kolektor sekunder, menghubungkan kawasan
sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau
kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga,
dengan dimensi minimal 5 meter;
g) Jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder
kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan
perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya
sampai ke perumahan, dengan dimensi minimal 3 meter;
dan
h) Jalan lingkungan sekunder menghubungkan antar persil
dalam kawasan perkotaan dengan dimensi minimal 2 meter.
3) Bangunan (Building)
Massa bangunan memiliki peran yang kuat dalam
membentuk struktur kawasan dan jaringan jalan. Bangunan dapat
berkembang menjadi lebih besar atau lebih kecil, dalam bentuk
penambahan atau pengurangan luasan. Setelah itu akan terjadi
proses intervensi luasan kaveling dan bangunan berupa
penambahan, pengurangan, atau pembentukan bangunan dan
kaveling baru (Carmona et.al, 2003). Fungsi tipe bangunan dalam
sebuah kota dikelompokkan menjadi empat, yaitu bangunan
sebagai pembangkit, bangunan sebagai ciri penentu ruang,
bangunan sebagai titik perhatian dan landmark, dan bangunan
sebagai tepian. Untuk gaya arsitektural sendiri dapat dilihat melalui
fasad bangunan yang memiliki tekstur, ukuran, warna, dan material
dengan cirinya masing-masing. Terdapat 3 tipe pola bangunan
yaitu pola menyebar, linear, dan terpusat. Pola permukiman
menyebar biasanya terdapat di daerah dataran tinggi yang memiliki
relief kasar dan terkadang daerahnya terpencil. Pola permukiman
linear memiliki karakteristik permukiman berupa deretan
memanjang karena mengikuti jaringan jalan yang terdapat di
kawasan tersebut. Sedangkan pola permukiman terpusat yaitu
bangunan yang cenderung berdekatan dengan suatu titik lokasi
tertentu.
2.4 Citra Kota
Lingkungan secara sudut pandang perspektif dapat dilihat sebagai
konstruksi mental, karena setiap individu memiliki penilaian yang berbeda
mengenai sebuah citra lingkungan. Citra (image) merupakan hasil dari
proses pengalaman dan tata nilai personal dalam memfilter stimuli
lingkungan. Citra kota adalah gambaran spesifik suatu wilayah yang
terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang
mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara
mengakar oleh aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu
sendiri (Lynch, 1960).
Menurut Kevin Lynch dalam The Image of the city (1962),
pengidentifikasi berbagai elemen struktur pembentuk kota terdapat lima
kategori elemen yang dipergunakan untuk menstrukturkan gambar kognisi
dari sejumlah tempat. Elemen-elemen dasar tersebut adalah:
a) Path, yaitu suatu jalur yang digunakan oleh pengamat sebagai
penghubung satu tempat dengan tempat lain.
b) Landmark, yaitu simbol atau tanda yang menarik secara visual dengan
sifat penempatan yang menarik perhatian. Secara umum, landmark
divisualisasikan sebagai bangunan atau benda-benda alam yang
berbeda dari sekelilingnya dan terlihat mempunyai bentuk yang unik
serta terdapat perbedaan skala dalam lingkungannya.
c) Nodes, yaitu simpul atau titik temu antar lingkaran daerah strategis di
mana arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah
atau aktivitas lain, misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun,
lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan dalam skala
makro besar, pasar, taman, square, tempat suatu bentuk perputaran
pergerakan, dan sebagainya.
d) District, yaitu wilayah-wilayah homogeny yang berbeda dengan
wilayah-wilayah lain atau suatu bagian kota mempunyai karakter atau
aktivitas khusus yang dapat dikenali oleh pengamatnya.
e) Edges, yaitu batas-batas wilayah yang membedakan antara wilayah
satu dengan wilayah lainnya. Edges memiliki identitas yang kuat
karena tampak visualnya yang jelas misalnya suatu desain, jalan,
sungai, gunung.
2.5 Pertumbuhan Kota
Pada awalnya cara panjang mengenai kota adalah berbentuk netral.
Namun, seiring dengan terjadinya pengaruh dari kebudayaan atau kondisi
politik yang terjadi pada suatu wilayah maka perlahan kota mengalami
perubahan. Berdasarkan bentuk geometrinya, pertumbuhan kota dapat
dikalsifikasikan menjadi dua yaitu:
1. Planned (Terencana)
Pertumbuhan kota secara terencana merupakan
pertumbuhan kota yang sudah direncanakan sejak awal berdirinya
kota tersebut dan menghasilkan pola-pola yang geometris di dalam
kota. Pertumbuhan kota ini menghasilkan bentukan tatanan kota
yang teratur, mulai dari penataan fisik spasial dalam kota tang
terintegrasi dengan kuat antara ruang dan bangunan di sekitarnya.
2. Unplanned (Tidak Terencana)
Pertumbuhan kota secara tidak terencana merupakan
pertumbuhan kota yang tidak direncanakan dan cenderung
menghasilkan pola tatanan kota yang tidak teratur. Pertumbuhan
kota ini mengacu pada pertumbuhan objek-objek dalam kota yang
sudah direncanakan dengan penataan fisik spasial kota yang tidak
direncanakan. Penataan ini cenderung menghasilkan bentukan-
bentukan ruang yang organik nan non-geometris.
2.6 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Morfologi Kota
Dalam Branch, Melville C. (1995), menjelaskan bahwa perkembangan
kota sangat dipengaruhi oleh keadaan atau kondisi fisik sebuah kota yang
menjadi unsur terpenting dalam perencanaan kota secara komprehensif.
Unsur non fisik yang menonjol juga dapat mempengaruhi perkembangan
kota. Faktor fisik sebuah kota yang mempengaruhi perkembangan kota
adalah: Faktor-faktor tentunya cukup banyak yang dapat mempengaruhi
perkembangan sebuah kota yaitu :
1. Faktor dari kondisi geografis yang dapat mempengaruhi fungsi dan
bentuk fisik kota. Kota yang berfungsi sebagai simpul distribusi.
2. Faktor dari sebuah fungsi kota juga merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan kota-kota yang memiliki banyak
fungsi, biasanya secara ekonomi akan lebih kuat dan akan
berkembang lebih pesat daripada kota berfungsi tunggal. Short
(1984) mengemukakan terdapat lima fungsi kota yang dapat
mencerminkan karakteristik struktur ruang suatu kota, yaitu kota
sebagai tempat kerja, kota sebagai tempat tinggal, pergerakan dan
transportasi, kota sebagai tempat investasi, dan kota sebagai arena
politik.
3. Faktor Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karakteristik
fisik dan sifat masyarakat kota. Kota yang sejarahnya direncanakan
sebagai ibu kota kerajaan akan berbeda dengan perkembangan kota
yang sejak awalnya tumbuh secara organisasi. Kepercayaan dan
kultur masyarakat juga mempengaruhi daya perkembangan kota.
Terdapat tempat-tempat tertentu yang karena kepercayaan dihindari
untuk perkembangan tertentu.
4. Faktor Uusur-unsur umum, berupa elemen jaringan jalan, dan
keberadaan bangunan berkaitan dengan kebutuhan masyarakat
luas, ketersediaan unsur-unsur umum akan menarik kota ke arah
tertentu.
5. Faktor dalam aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya merupakan
aspek yang berpengaruh terhadap perkembangan kota.
2.7 Struktur Kota
Setiap kota pada dasarnya memiliki struktur kota yang berbeda
satu sama lain. Namun, terdapat kemiripan pola keruangan yang
ditemukan untuk menggeneralisasi struktur kota dan menjelaskan
distribusi berbagai kelompok sosial dalam wilayah perkotaan. Ada 3
model struktur kota yang digunakan secara luar untuk menjelaskan pola
keruangan pada kota yaitu:
1. Teori Konsentris

Contemporary Human Geography


Teori tentang struktur ruang kota yang pertama adalah teori
konsentris yakni teori yang dikemukakan oleh Ernest W. Burgess,
seorang sosiolog asal Amerika Serikat yang meneliti kota Chicago
pada tahun 1920. Ernest W. Burgess berpendapat bahwa kota
Chicago telah mengalami perkembangan dan pemekaran wilayah
seiring berjalannya waktu dan bertambahnya jumlah penduduk.
Perkembangan itu semakin meluas menjauhi titik pusat hingga
mencapai daerah pinggiran. Zona yang terbentuk akibat pemekaran
wilayah ini mirip sebuah gelang yang melingkar. Terdapat lima
identifikasi zona yaitu:
a) CBD, pusat kegiatan perdagangan dan hiburan kota. Zona
ini diisi perkantoran, toko-toko besar, dan hub bagi
transportasi massal.
b) Zona transisi, berisi industri dan perumahan berkualitas
rendah. Imigran ke kota pertama kali tinggal di zona ini
dalam unit hunian kecil, sering kali dibuat dengan membagi
rumah-rumah yang lebih besar menjadi apartemen-
apartemen kecil.
c) Zona rumah kelas pekerja, yang berisi rumah-rumah tua
sederhana yang ditempati oleh keluarga kelas pekerja.
d) Zona tinggal kelas menengah, yang berisi rumah-rumah
baru dan lebih luas untuk keluarga kelas menengah.
e) Zona komuter, di luar area kota yang terus dibangun.
Orang-orang tinggal di komunitas kecil dan pergi bekerja
ke CBD.
2. Teori Sektoral
Contemporary Human Geography
Teori tentang struktur ruang kota yang kedua adalah teori
sektoral yakni teori yang dikemukakan oleh Hommer Hoyt pada
tahun 1939 yang dilakukan di kota Chicago. Hommer Hoyt
berpendapat bahwa unit-unit kegiatan di perkotaan tidak menganut
teori konsentris melainkan membentuk unit-unit yang lebih bebas.
Daerah-daerah tertentu di kota lebih menarik untuk berbagai
kegiatan, awalnya karena faktor lingkungan atau bahkan kebetulan.
Ketika sebuah kota tumbuh, kegiatan berkembang ke luar dalam
sebuah sektor dari pusat. Setelah sebuah distrik dengan perumahan
kelas atas didirikan, perumahan baru yang paling mahal dibangun
di tepi luar distrik itu, lebih jauh dari pusat. Oleh karena itu
perumahan terbaik ditemukan di koridor yang membentang dari
pusat kota ke tepi luar kota. Kegiatan industri dan ritel berkembang
di sektor lain, biasanya di sepanjang jalur transportasi. Dalam
beberapa hal, model sektor ini merupakan penyempurnaan dari
model zona konsentris daripada penyajian kembali yang radikal.
3. Teori Inti Ganda

Contemporary Human Geography


Teori tentang struktur ruang kota yang ketiga adalah teori
inti ganda yakni teori yang dikemukakan oleh dua orang ahli
geografi yang bernama Harris dan Ullman pada tahun 1945.
Menurut model ini, sebuah kota adalah struktur kompleks yang
mencakup lebih dari satu pusat di mana kegiatan berlangsung.
Teori multiple nuclei menyatakan bahwa beberapa aktivitas tertarik
pada simpul tertentu, sedangkan yang lain mencoba
menghindarinya. Misalnya, universitas dapat menarik penduduk
yang berpendidikan baik, restoran pizza, dan toko buku, sedangkan
bandara dapat menarik hotel dan gudang. Di sisi lain, kegiatan
penggunaan lahan yang tidak kompatibel akan menghindari
pengelompokan di lokasi yang sama. Industri berat dan perumahan
kelas tinggi, misalnya, jarang ada di lingkungan yang sama.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Bangil, Kabupaten
Pasuruan Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan Bangil yang saat ini
merupakan ibukota Kabupaten Pasuruan secara geografis terbentang pada
koordinat 7°30’ hingga 8°30’ Lintang Selatan dan antara 112°30' hingga
113°30’ Bujur Timur. Kecamatan Bangil berbatasan dengan Kabupaten
Sidoarjo di sebelah Utara, sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan
Kecamatan Rembang. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan
Kraton, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Beji.
3.2. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif yaitu menganalisa dengan berdasarkan karakteristik
aktivitas yang terjadi di dalam ruang penelitian yang mempengaruhi faktor
fisik suatu kota sebagai tempat yang sangat potensial dari berbagai segi.
Selain itu, juga di analisa berdasarkan bentuk-bentuk fisik lingkungan
yang diakibatkan oleh faktor non fisik dari terbentuknya suatu morfologi
kota. Analisa ini dilakukan untuk mendapatkan hasil berupa teori suatu
pola morfologi kota jika dilihat secara fisik. Sehingga untuk menentukan
hasil tersebut, maka diperlukan beberapa analisa di antaranya yaitu analisa
pola jalan, tipe bangunan, dan tata guna lahan. Berdasarkan ketiga analisa
tersebut maka dapat dipergunakan untuk menemukan dan mengenali pola
morfologi kota kawasan Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, yang
dilihat dari elemen pembentuk morfologi kota itu sendiri.
3.3. Sumber Data
Terdapat dua jenis sumber data dalam penelitian ini, yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan teknik
observasi atau pengamatan langsung di lapangan. Sedangkan data
sekunder diperoleh melalui pengumpulan data library research. Kemudian
data yang sudah dikumpulkan dari berbagai sumber data yang valid dapat
ditarik kesimpulan mengenai morfologi kota kawasan Kecamatan Bangil,
Kabupaten Pasuruan. Sehingga teori dan sumber valid yang telah didapat
kemudian akan dianalisis dan disimpulkan untuk mengetahui
perkembangan morfologi kota kawasan Kecamatan Bangil, Kabupaten
Pasuruan dari masa ke masa.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam kajian ini
meliputi:
a. Observasi
Pengumpulan data observasi, yaitu dengan melakukan
pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala
yang tampak pada objek penelitian.
b. Dokumen
Data-data dalam penelitian ini diambil dari sumber buku-
buku, e-book, jurnal ilmiah, hasil penelitian, artikel dan opini
media cetak lokal yang terkait dengan masalah penelitian.
Dokumen tersebut diambil melalui website dan sumber dokumen
tertulis lain, yang bisa dijadikan sebagai sumber informasi dan
data untuk bisa dianalisis dalam penelitian ini.
3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data adalah suatu proses untuk mendapatkan data dari
setiap variabel penelitian yang siap dianalisis. Karena penelitian ini
menggunakan metode kualitatif, maka metode pengolahan data dilakukan
dengan menguraikan data dalam bentuk kalimat yang terstruktur, runtun,
logis, dan efektif sehingga memudahkan pemahaman dan interpretasi data.
Analisis data kualitatif dilakukan apabila data empiris yang diperoleh
adalah data kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan bukan
rangkaian angka serta tidak dapat disusun dalam kategori-kategori/struktur
klasifikasi. Berikut ini adalah teknik analisis data yang digunakan oleh
peneliti. Ada beberapa teknik pengolahan dan analisis data dalam
penelitian ini, sehingga dapat disimpulkan dalam sebuah kerangka pikir
sebagai berikut:
1. Pengeditan Data
Pengeditan merupakan pemeriksaan atau koreksi terhadap
data yang telah dikumpulkan. Pengeditan ini dilakukan karena
adanya kemungkinan data yang telah diperoleh tidak memenuhi
syarat atau tidak sesuai dengan kebutuhan. Pengeditan data
dilakukan untuk melengkapi kekurangan atau menghilangkan
kesalahan yang terdapat pada data mentah. Kekurangan dapat
dilengkapi dengan mengulangi pengumpulan data atau dengan cara
penyisipan (interpolasi) data. Kesalahan data dapat dihilangkan
dengan membuang data yang tidak memenuhi syarat untuk
dianalisis. Contoh kegiatan dalam pengeditan data adalah
pemeriksaan gambar yang dilakukan pada survei primer.
2. Klasifikasi
Klasifikasi merupakan proses pengelompokan semua data
yang berasal dari hasil teknik pengumpulan data. Selurah data yang
didapat tersebut dibaca dan telaah secara mendalam, kemudian
digolongkan sesuai kebutuhan. Hal ini dilakukan agar data yang
telah diperoleh menjadi mudah dibaca dan dipahami, serta
memberikan informasi yang objektif yang diperlukan oleh peneliti.
3. Penyajian data
Penyajian Data
Teknik penyajian dan analisis data kualitatif dilakukan
menggunakan teknik menguraikan kata. Penyajian data ini
berfokus pada penunjukkan makna, deskripsi mendalam,
penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya.
4. Reduksi Data
Reduksi data menjadi suatu hal yang terpisah dari analisis.
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi
data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
Kegiatan reduksi data berlangsung terus-menerus, terutama selama
proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung atau selama
pengumpulan data. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi
tahapan reduksi, yaitu membuat ringkasan, mengkode, menelusuri
tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, dan menulis memo.
5. Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan tahap akhir pengelolaan data
yang bertujuan untuk mencari makna data yang dikumpulkan
dengan mencari hubungan, persamaan, atau perbedaan untuk
ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang ada.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum


4.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Pasuruan
Secara astronomis, Kabupaten Pasuruan berada pada koordinat
112°33'55’’ hingga 113°05’37’' Bujur Timur dan antara 7°32'34’’ hingga
7°57'20’’ Lintang Selatan. Secara administratif, wilayah Kabupaten
Pasuruan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan Selat Madura di
sebelah Utara, sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten
Malang. Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Kabupaten
Probolinggo dan di sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten
Mojokerto.
Secara umum, wilayah Kabupaten Pasuruan memiliki 24
Kecamatan, yang terbagi habis menjadi 365 desa /kelurahan dengan luas
wilayah sebesar 1.474,02 Km2. Kecamatan terluas adalah Kecamatan
Lumbang yang mencapai 125,55 km2. Atau 8,52% dari luas Kabupaten
Pasuruan, sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Pohjentrek
yang hanya seluas 11,88 km2 atau 0,81% dari luas Kabupaten Pasuruan.
Kondisi geologi Kabupaten Pasuruan sangat beragam, yaitu terdapat 3
jenis batuan meliputi batuan permukaan, batuan sedimen, dan batuan
gunung api (gunung api kuarter muda (young quarternary) dan kuarter
tua (old quarternary). Secara geologis, Kabupaten Pasuruan terbagi
menjadi tiga wilayah geologi, yaitu daerah perbukitan, daerah dataran
rendah dan daerah pantai. 
4.1.2. Gambaran Umum Kecamatan Bangil
Kecamatan Bangil merupakan salah satu kecamatan yang berada
di wilayah Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
Kecamatan Bangil yang saat ini merupakan ibukota Kabupaten Pasuruan
yang secara geografis terbentang pada koordinat 7°30’ hingga 8°30’
Lintang Selatan dan antara 112°30' hingga 113°30’ Bujur Timur.
Kecamatan Bangil berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo di sebelah
Utara, sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan
Rembang. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kraton,
sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Beji. Wilayah
Kecamatan Bangil merupakan dataran rendah dengan ketinggian mulai 0
m dpl hingga 25 m dpl (di atas permukaan laut). Dengan kondisi tanah
yang agak miring ke Timur dan Utara antar 0-2 m. Secara umum,
wilayah Kecamatan Bangil di Kabupaten Pasuruan memiliki 4 Desa dan
9 Kelurahan yang terbagi menjadi 13 Dusun, 71 Rukun Warga (RW) dan
sebanyak 269 Rukun Tetangga (RT) dengan luas wilayah sebesar 42,45
km2. Berikut kelurahan/desa yang berada di wilayah Kecamatan Bangil:

Manaruwi Kalirejo Tambakan Kolursari Kidul Dalem


Pogar Kauman Bondo Mungal Kersikan Gempeng
Dermo Latek Masangan Raci Kalianyar

Kecamatan terluas adalah Kecamatan Raci yang mencapai 10,51


km2., sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Kersikan yang
hanya seluas 1,16 km2 .
4.2 Sejarah Terbentuknya Kecamatan Bangil
Sejarah Kabupaten
Pasuruan berawal dari
Peradaban Kerajaan Islam
yang berkembang di wilayah
Kabupaten Pasuruan. Dalam
Babad Pasuruan disebutkan
Menurut Catatan Tiongkok
terdapat kabar berita dari
Raja Ta Cheh atau Ta Shih
(Muawiyah bin Abu Sofyan) mengirimkan utusan menyelidiki Kerajaan
Kalingga (674/675M) yang mendarat di Pelabuhan yang bernama Bang-
il. Hal ini dijelaskan dalam Kitab “Ajaib al Hind” yang ditulis Buzurq
Syahriyar Al Ranhurmuzi meriwayatkan tentang kunjungan pedagang
muslim yang pergi ke Jawa. Selain itu adapun situs muslim makam
Mbah Bangil di Desa Kalirejo, Bangil.yang menggunakan batu candi
dari abad ke-7 M akan tetapi menggunakan Arab yang tidak terbaca
karena usianya yang terlalu tua. Menurut tradisi lisan setempat, Mbah
Bangil adalah orang yang mbabat alas sebagai cikal bakal adanya Bangil.
Adapula tradisi lisan dari masyarakat setempat yang mengatakan bahwa
nama Bangil berasal dari kata “mbah e Ngelmu” (sebagai tempat mencari
ilmu) karena begitu banyaknya pesantren yang didirikan di Bangil.
Bahkan dalam beberapa tulisan lokal disebutkan bahwa sejak adanya
agama Islam, maka sejak itu pula mulai ada Bangil, karena di Bangil
tidak ada sama sekali peninggalan Hindu Budha.
Kota Bangil juga menjadi tempat terjadinya pertempuran antara
Untung Surapati melawan VOC Belanda pada 1706. Dalam pertempuran
tersebut, Untung membangun kekuatan pada dinding benteng sekitar
Bangil dengan artileri, tetapi pada akhirnya Belanda berhasil
mengalahkan mereka. Untung Surapati harus kehilangan sebanyak 400
hingga 500 tentara dari Madura. Selain itu, Kota Bangil juga sempat
disinggahi oleh para pedagang Arab pada 1860 bersama dengan
pedagang Cina melalui pelabuhan di Porong Creek yang terletak di
antara Bangil dan Rembang. Meskipun area Kota Bangil terbilang kecil,
tetapi kekuatan perekonomiannya dikenal sangat baik sehingga membuat
para pedagang Arab dan pedagang Cina berkunjung ke sana. Pada 1873,
didirikan sebuah permukiman bernama Hadrhami di Bangil, yang
dipimpin oleh beberapa Kapten Arab, seperti Saleh bin Muhammad bin
Said Sabaja dan Muhammad bin Saleh Sabaja. Terlepas dari peranannya
di bidang ekonomi, Kota Bangil juga melahirkan seorang pahlawan
wanita bernama Syarifah Khadijah atau dikenal sebagai Mbah Ratu Ayu.
Beliau adalah cucu dari Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh Wali
Songo. Dikisahkan bahwa ada seorang misionaris Muslim bernama
Abdurrahman bin Umar Basyaiban yang menikahi Khadijah. Pernikahan
mereka dikaruniai dua orang anak, bernama Arif Basyaiban dan
Sulaiman. Sulaiman inilah yang disebut-sebut sebagai pendiri Pesantren
Sidogiri, pondok pesantren tertua di Jawa Timur.
4.3 Morfologi Kota Kecamatan Bangil
4.1.1 Tata Guna Lahan
Penatagunaan lahan pada suatu kawasan dilakukan untuk
menyesuaikan kegunaan dan kesesuaian lahan yang akan atau
digunakan sebagai pembangunan perkotaan sesuai dengan potensi
yang dimiliki suatu daerah. Lahan yang digunakan untuk
menampung berbagai kegiatan harus dilakukan secara
berkelanjutan dengan melihat kegunaannya dimasa depan. Dengan
begitu lahan perkotaan yang digunakan memiliki hubungan yang
sesuai dengan pemakainya serta sesuai dengan standar idealnya
suatu perencanaan. Penatagunaan lahan yang terjadi di Kecamatan
Bangil mengalami perkembangan dari masa ke masa.
Perkembangan tersebut terlihat dari banyak lahan yang beralih
fungsi yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu.
Masuknya agama Islam di Pasuruan, yang diperkirakan sekitar
tahun 1546 yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.
Pengaruh kerajaan Islam tersebut masih terbatas di wilayah bagian
barat, salah satunya wilayah Kecamatan Bangil. Sehingga tata kota
Kecamatan Bangil saat itu menganut pada penaatan di kerajaan-
kerajaan bercorak Islam yang pada umumnya berpusat pada pusat
pemerintahan yaitu kraton. Kraton yang dilengkapi dengan unsur-
unsur pembentuk kota yang terdiri atas alun-alun, masjid agung,
pasar, dan beberapa bangunan pendukung. Alun-alun sebagai
tempat bertemunya antara rakyat dengan penguasa, sedangkan
masjid sebagai tempat bertemunya antara hamba (rakyat dan
penguasa) dengan sang pencipta, kemudian pasar sebagai tempat
bertemunya seluruh fungsionaris pembentuk kota yaitu dalam hal
perdagangan.
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, Kecamatan Bangil
difokuskan untuk menjadi daerah pelopor kegiatan hasil pertanian
dan perkebunan. Sehingga tata kota dibuat sesuai dengan keperluan
sebagai kontrol administrasi dan kelancaran produksi serta
distribusi atas hasil bumi dari daerah pedesaan. Hal ini dapat
terlihat dengan dibangunkannya berbagai infrastruktur penunjang
seperti jalan utama, kereta api, dan kantor pemerintah

Berdasarkan gambar di atas, menunjukkan bahwa struktur


kota Kecamatan Bangil merupakan gabungan antara tata kota
tradisional dan tata kota masa Kolonial. Hal tersebut ditunjukkan
oleh adanya bangunan kantor pos dan penjara yang berdekatan
dengan alun-alun Bangil. Selain itu, terdapat jalan pos sebagai jalan
utama yang digunakan untuk kemudahan aksesibilitas kegiatan
masyarakat pada masa itu. Adanya masjid, pasar, dan juga keraton
mencerminkan tata kota tradisional, sedangkan adanya bangunan
penjara, kantor pos, dan jalan pos mencerminkan tata kota masa
Kolonial. Selain itu, dengan jarak yang lumayan berdekatan dengan
pusat kota, pemerintah Hindia-Belanda juga membangun stasiun.
Sejak masa kerajaan hingga masa Kolonial Belanda,
Kecamatan Bangil digunakan sebagai kawasan persinggahan para
pedagang asing. Kebanyakan pedagang yang bersinggah berasal
dari arab. Sehingga pada saat itu pemerintah belanda membagi
ruang-ruang atau bangunan di sekitar pusat kota untuk difungsikan
sebagai permukiman yang dibangun dengan pola grid untuk lebih
memaksimalkan faktor keamanan dan mobilisasi sektor
perdagangan lebih mudah. Hal tersebut tercermin dari adanya blok-
blok permukiman antara warga pribumi, pedagang arab, dan
pejabat Belanda. Berdasarkan hasil analisis, permukiman pedagang
arab dengan pusat kota yaitu berada di Kuoeman dan permukiman
orang Belanda tersebar di Gempeng dan Kersigan. Sedangkan
permukiman warga pribumi cenderung menyebar serta mengisi
ruang-ruang kosong yang ada di pusat kota.
Penatagunaan tata kota Kecamatan Bangil terus
berkembang hingga saat ini. Penatagunaan untuk pembangunan
yang berkelanjutan sangat diperlukan agar tidak menimbulkan
permasalahan kota. Penatagunaan kota tidak lepas dari penggunaan
lahan yang ada di kota tersebut. Penggunaan lahan adalah suatu
aktivitas manusia pada lahan yang langsung berhubungan dengan
lokasi dan kondisi lahan yang dalam pemanfaatan lahan bagi
maksud pembangunan secara optimal dan efisien.
Klasifikasi penggunaan lahan terbagi menjadi 2 yaitu lahan
terbangun dan lahan tidak terbangun. Pada tahun 2023, penggunaan
lahan terbangun di Kecamatan Bangil difungsikan sebagai
perkantoran, rekreasi, fasilitas olahraga, fasilitas kesehatan,
perdagangan dan jasa, sarana ibadah, fasilitas pendidikan, fasilitas
transportasi, industri, dan permukiman, sedangkan lahan tidak
terbangun terdiri dari makam, lahan kosong, pertanian, perkebunan.
Berdasarkan hasil survei penggunaan lahan di Kecamatan Bangil
masih didominasi oleh lahan pertanian, permukiman, dan
perdagangan dan jasa. Pola penggunaan lahan yang digunakan
untuk permukiman menyebar di pusat kota sedangkan perdagangan
dan jasa mengikuti pola jaringan jalan yang ada. Dari tata guna
lahan yang terbentuk di pusat kota dapat dilihat berbagai fungsi
sarana pelayanan umum yang tersebar di dalamnya. Sehingga Pusat
Kota Kecamatan Bangil sudah memenuhi fungsinya sebagai pusat
kota.
4.1.2 Pola Jalan
Dalam sebuah kawasan, jaringan transportasi mempunyai
peranan penting dalam mendukung kehidupan masyarakat modern.
Transportasi mempunyai pengaruh yang penting dalam penunjang
kehidupan masyarakat Kecamatan Bangil, maka kebutuhan
infrastruktur merupakan hal yang mutlak untuk dipenuhi dalam
mendukung upaya proses pelaksanaan pembangunan. Jalan sebagai
salah satu prasarana perhubungan darat, mempunyai fungsi dasar
yaitu memberikan pelayanan yang maksimal pada arus lalu lintas.
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan teknologi dari waktu ke
waktu semakin pesat, dan diimbangi oleh peningkatan laju
pertumbuhan penduduk sehingga mengakibatkan peningkatan
kebutuhan transportasi.

Pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda, Kecamatan


Bangil merupakan wilayah yang strategis untuk dijadikan lokasi
pertanian dan perkebunan karena mempunyai tanah yang subur dan
letaknya yang strategis. Sehingga untuk memudahkan
pengangkutan barang dagangan, pada saat itu pemerintahan
Hindia-Belanda gencar melakukan pembangunan jaringan
transportasi mulai dari pembangunan jalan darat hingga kereta api.
Hal tersebut ditandai dengan dibangunnya Jalan Raya Pos sebagai
jalur untuk mengangkut hasil perkebunan berupa tanaman tebu.
Jalan raya yang dibangun oleh Deandels memiliki arti penting bagi
perkembangan Kecamatan Bangil, karena sejak saat itu wilayah
Kecamatan Bangil menjadi kawasan yang padat penduduk. Jalan
Raya Pos (De Groote Postweg) merupakan suatu bentuk
pengembangan infrastruktur peninggalan kolonial yang menjadi
salah satu pemicu pertumbuhan kawasan perkotaan di sepanjang
jalur yang dilaluinya. Jaringan jalan ini melintas dari Anyer hingga
Panarukan dan diantaranya melewati beberapa kota besar pada 5
provinsi di Pulau Jawa. Jalur jalan ini di masa sekarang terkenal
sebagai jalur transportasi darat utama khususnya di pesisir Pantai
Utara (Pantura) Jawa, menghubungkan wilayah barat dan timur
sepanjang sekitar 1.000 Km. Pada wilayah di sisi utara Pulau Jawa
bagian timur, jalur jalan tersebut antara lain melewati wilayah
Tuban, Gresik, Surabaya, Porong, Bangil, Pasuruan, Paiton,
Besuki, dan Panarukan. Kota-kota tersebut berkembang saat ini
dengan struktur kota yang dipengaruhi oleh keberadaan De
Groote Postweg yang mengubah tatanan kota pada masa lalu
sehingga berkembang layaknya sekarang. Perubahan tersebut
juga terjadi di Kecamatan Bangil, hal tersebut ditandai dengan
perubahan struktur ruang kota itu antara lain terjadi dalam bentuk
pemindahan pusat kota maupun perubahan pola jaringan jalan
sehingga membuat pemanfaatan ruang di Kecamatan Bangil
cenderung berorientasi ke jalan raya pos sebagai media
transportasi logistik dan pasukan di era Daendels.
Perkembangan tersebut seperti yang dapat dilihat hingga kini
merupakan salah satu dampak dari perubahan struktur ruang pasca
kota-kota tersebut terhubung oleh jalur De Groote Postweg. Selain
itu, pada masa Kolonial, Kecamatan Bangil merupakan salah satu
pusat lalu lintas yang menghubungkan Surabaya di Utara, Pasuruan
di Timur, dan Malang di Selatan. Jalan besar yang dibangun yaitu
jalan Surabaya-Malang dan dari Kecamatan Gempol ke Timur
hingga Lumajang adalah jalan produksi ke Pelabuhan Pasuruan dan
Surabaya.
Menurut Sejarah Perkeretaapian Indonesia (1997:62), jalur
kereta api Surabaya-Pasuruan dibuka pada tanggal 16 Mei 1878.
Pada saat itu pemerintah Belanda melihat stasiun Bangil sebagai
lokasi yang strategis dalam mobilitas, sehingga mulai dibuka jalur
Bangil-Sengon dan Bangil-Malang. Pada masa pemerintahan
Hindia-Belanda, pola jaringan jalan di kawasan Kecamatan Bangil
yaitu pola jalan radial konsentris. Pola ini ditandai dengan banyak
aktivitas yang terkonsentrasi pada pusat kota, yaitu pada alun-alun
Bangil sebagai zona tarikan, baik pergerakan internal maupun
pergerakan antar zona, pusat kota terlihat sangat dominan dalam
jumlah perjalanan penduduk Kecamatan Bangil. Pada saat itu,
pemerintah Hindia-Belanda membangun berbagai macam fasilitas
yang berdekatan dengan alun-alun, misalnya membangun masjid,
pasar, hingga stasiun kereta api yang jaraknya lumayan dekat
dengan pusat kota. Hal tersebut bertujuan agar aksesbilitas
aktivitas menjadi lebih mudah.
Dewasa ini, perkembangan jaringan jalan merupakan
komponen yang sangat menentukan dalam pembentukan kota.
Kecamatan Bangil merupakan wilayah yang dilalui oleh jalur tapal
kuda yaitu jalur penghubung utama yang menghubungkan Pulau
Jawa dengan Pulau Bali. Sehingga keberadaan jaringan jalan
sangat diperlukan untuk kemudahan mobilitas. Berikut klasifikasi
jalan di Kawasan Kecamatan Bangil berdasar sifat dan pergerakan
lalu lintas:

No. Klasifikasi Jalan Titik Lokasi


1. Jalan Arteri Primer  Jalan Pattimura;
 Jalan A. Yani;
 Jalan Untung Suropati;
 Jalan Jaksa Agung Suprapto;
 Jalan Dr. Sutomo;
 Jalan Kartini;
 Jalan Gajah Mada; dan
 Jalan Diponegoro.
2 Jalan Kolektor  Jalan yang menghubungkan
Sekunder Cangkringmalang – Kedungringin
– Kedungboto - Glanggang; dan
 Jalan yang menghubungkan
Kolursari - Kiduldalem - Kersikan
- Bendomungal - Kalirejo –
Kalianyar.
3. Jalan Lokal Primer  Jalan Bangil – Pandaan;
 Jalan Rambutan;
 Jalan Blawi - Rembang;
 Jalan Rembang – Oro-oro Ombo
Kulon;
 Jalan Bangil Wonokerto;
 Jalan Bandeng;
 Jalan Cumi-cumi;
 Jalan Udang;
 Jalan Layur;
 Jalan Tongkol;
 Jalan Rembang Industri Raya; dan
 Jalan Kraton Industri Raya.
4. Jalan Lokal  Jalan Gunungsari – Kenep;
Sekunder  Jalan Sidowayah – Kolursari;
 Jalan Gajahbendo – Pogar;
 Jalan Kolursari – Kiduldalem;
 Jalan Kolursari – Dermo;
 Jalan Dermo – Pekoren;
 Jalan Pekoren – Mojoparon;
 Jalan Pejangkungan – Pekoren;
 Jalan Mojoparon – Pandean;
 Jalan Masangan – Manaruwi;
 Jalan Masangan – Latek;
 Jalan Latek – Gempeng;
 Jalan Gempeng Manaruwi;
 Jalan Latek – Manaruwi;
 Jalan Dermo – Gempeng;
 Jalan Kersikan – Bendomungal;
 Jalan Bendomungal – Kauman;
 Jalan Kauman – Pogar;
 Jalan Kauman – Glanggang; dan
 Jalan Glanggang – Kalirejo.
Berdasarkan klasifikasi tersebut, ketersediaan jaringan jalan
di Kecamatan Bangil terbagi menjadi lima yaitu jalan arteri primer,
jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer, jalan lokal sekunder.
Selain itu, terdapat jaringan jalan lingkungan meliputi jalan
lingkungan yang menghubungkan antar desa maupun jalan
lingkungan di dalam kawasan Kecamatan Bangil. Pada jalan A.
Yani yang terletak di alun-alun Bangil merupakan jalan arteri
primer yang pada koridor jalan tersebut terdapat deretan bangunan
dengan berbagai macam fungsi yaitu sebagai fungsi permukiman,
fungsi perdagangan dan jasa, dan fungsi peribadatan. Ditinjau dari
persebaran tersebut, maka pola jaringan jalan di kawasan
Kecamatan Bangil adalah pola jalan radial konsentris. Hal tersebut
dilihat dari wilayah Kecamatan Bangil yang cukup padat dengan
memusatkan segala aktivitas ekonomi, perdagangan dan
pendidikannya di pusat kota yaitu alun-alun Bangil. Pada koridor
tersebut adanya persebaran fasilitas kota sebagian besar
terkonsentrasi di kawasan pusat kota. Pola perjalanan penduduk
Kecamatan Bangil dalam melakukan aktivitas sehari-hari
merupakan pola radial, yaitu perjalanan penduduk dari pinggiran
menuju pusat kota. Kondisi ini diikuti oleh jenis dan intensitas
guna lahan yang ada.
Infrastruktur jalan merupakan salah satu faktor pendukung
keberhasilan suatu pembangunan karena jalan berperan untuk
pemindahan barang dan manusia sehingga diperlukan jaringan
jalan yang memadai dan lebih mengedepankan kecepatan. Salah
satu pembangunan infrastruktur yang memerlukan lahan atau tanah
sangat luas adalah pembangunan jalan tol. Sebab jalan tol didesain
khusus sebagai jalan alternatif jalur darat yang bebas dari
hambatan. Sebagai ibukota Kabupaten Pasuruan, Kecamatan
Bangil merupakan kawasan yang sering dilalui oleh berbagai jenis
transportasi baik transportasi umum dan transportasi pribadi.
Sehingga untuk memudahkan arus lalu lintas maka pemerintah
membangun jalan tol. Ruas Tol Bangil-Rembang sepanjang 8 Km
ini akan berperan strategis untuk pengembangan wilayah karena
berada di koridor antara Surabaya dengan Probolinggo.
Transportasi berperan penting dalam menunjang
pembangunan nasional dan merupakan sarana penting dalam
memperlancar roda perekonomian serta mempengaruhi hampir
semua aspek kehidupan. Salah satu moda transportasi massal yang
ada adalah kereta api. Stasiun Bangil (BG) adalah stasiun kereta
api kelas I yang terletak di Pogar, Bangil, Pasuruan, pada
ketinggian +9 meter. Pengembangan sistem jaringan kereta api
komuter di kawasan Kecamatan Bangil yang menghubungkan
Surabaya–Sidoarjo–Bangil–Kota Pasuruan. Selain itu,
pengembangan jaringan kereta api skala regional dengan
pengembangan jalur tengah, jalur timur dan jalur lingkar berupa
jalur kereta api ganda yang menghubungkan Surabaya (Semut)–
Surabaya (Gubeng)–Wonokromo–Sidoarjo–Bangil–Pasuruan–
Probolinggo-Jember-Banyuwangi. Serta pengembangan jalur
khusus kereta api untuk angkutan industri yang menghubungkan
kawasan industri PIER – Stasiun Bangil.
4.1.3 Tipe Bangunan
Tipe bangunan di kawasan Kecamatan Bangil, Kabupaten
Pasuruan berkonsep unsur bangunan tradisional bernuansa Jawa
Nusantara yaitu didominasi oleh bentuk Joglo yang dibuat dengan
konstruksi dan konteks modern yang pada ornamentasinya mulai
dari ukiran Madura hingga campuran kolonial. Arsitektur Jawa
mendominasi dalam proses pengenalan budaya Jawa di Kecamatan
Bangil. Selain berkonsep bangunan tradisional Jawa Nusantara,
banyak bangunan di Kecamatan Bangil yang bercorak bangunan
Eropa, khususnya bentuk bangunan Kolonial Belanda. Tipe
bangunan tersebut dapat dijumpai di beberapa titik lokasi daerah di
wilayah Kecamatan Bangil. Salah satu jalan yang terdapat di
Kecamatan Bangil adalah Jl. Bader yang memiliki letak dan peran
yang strategis karena terdapat sejumlah bangunan Kolonial
Belanda yang terekspos di tepi jalan tersebut. Beberapa bangunan
kuno di sepanjang Jl. Bader telah direnovasi dan dilestarikan
dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya. Namun masih
terdapat pula sejumlah bangunan yang berada dalam kondisi buruk.
Pola bangunan yang terdapat di Kecamatan Bangil,
Kabupaten Pasuruan diklasifikasikan terdapat 2 tipe bangunan
yaitu pola linear dan terpusat. Pola bangunan linier dapat dijumpai
pada Kelurahan Gajahbendo, Kelurahan Kalirejo, Kelurahan
Manaruhi, Kelurahan Kalianyar, Kelurahan Tambakan, Kelurahan
Latek, Kelurahan Masangan, Kelurahan Raci, Kelurahan Kolursari,
Kelurahan Pagak, Kelurahan Kidul Dalem, dan Kelurahan
Kersikan. Pola bangunan terpusat banyak terdapat di Kelurahan
Kauman, Kelurahan Glanggang, Kelurahan Pogar. Pola bangunan
di Kecamatan Bangil yang masih didominasi oleh pola linier dan
terpusat karena aksesibilitas masyarakat masih mengikuti pola
jalan untuk memudahkan dalam melakukan aktivitasnya dengan
memilih mendirikan bangunan di sepanjang jalan utama.
Kepadatan bangunan yang ada di Kecamatan Bangil berada
di kawasan Kelurahan Kauman sebagai pusat kota atau CBD.
Kepadatan juga terpusat pada sepanjang jalan di sekitar kawasan
pusat kota dengan mayoritas penggunaan lahannya digunakan
sebagai perkantoran dan perdagangan yang tentunya memiliki nilai
perekonomian yang tinggi. Selain itu, fungsi atau peruntukan
bangunan di Kecamatan Bangil terdiri dari perdagangan dan jasa,
fasilitas umum, fasilitas sosial, permukiman, dan pendidikan. Pola
bangunan yang terdapat pada kawasan di sekitar pusat kota bersifat
heterogen. Pola ini ditunjukkan dari bentuk bangunan yang
didirikan di sekitar kawasan pusat kota dengan bentuk bangunan
yang berbeda antara bangunan satu dengan bangunan yang lain,
misalnya bentuk persegi panjang dan persegi yang menyesuaikan
keteraturan dan keseimbangan kota. Bentuk Kecamatan Bangil
adalah bentuk bintang/gurita yang kompak. Hal tersebut dapat
dilihat peranan jalur transportasi pada Kecamatan Bangil ini sendiri
terletak di antara jalan akses dari Surabaya menuju Banyuwangi
dan Bali, serta mempunyai jalur alternatif yang bisa
menghubungkan kita dengan cepat ke Pandaan, Sukorejo serta
Malang.
4.4 Citra Kota Kecamatan Bangil
4.2.1. Path,
Path merupakan jalur yang digunakan oleh pengamat/orang-
orang untuk bisa bergerak melaluinya, misalnya jalan, trotoar, rel
kereta api, dsb. Dengan adanya path, elemen lingkungan lainnya
disusun dan dihubungkan. Secara umum, path terdiri dari koridor
atau jalan-jalan yang memiliki karakter kuat dan dikenali sebagai
bagian yang melekat erat dan identik dengan bagian kota tersebut.
Jalur pada kawasan Kecamatan Bangil terdapat jalur kendaraan,
jalur kereta api, jalur sungai dan pedestrian. Berikut persebaran
path di Kecamatan Bangil

No. Nama Alamat Foto


1. Jl. A.Yani Jl. A.Yani

2. Stasiun Jl. Gajah


Bangil Mada

Berdasarkan tabel diatas, persebaran path yang berada di


Kecamatan Bangil yaitu Jl. A. Yani sebagai jalan arteri primer yang
menghubungkan Kota Surabaya dengan Kabupaten Probolinggo.
Kemudian Kecamatan Bangil juga memiliki jalur kereta api yaitu
Stasiun Bangil yang menyebabkan tingkat aksebilitas Kecamatan
Bangil mudah dijangkau menggunakan modal transportasi apapun.
4.2.2 Edges
Edges merupakan tepian/penghalang yang
menutup/memisahkan satu bagian kota dengan bagian lainnya,
misalnya garis tepian kota yang berhenti di sepanjang tepian
sungai. Edges terbentuk karena pengaruh dari fasade bangunan,
kondisi alam, maupun karakteristik fungsi kawasan. Pada kawasan
edge berupa pembatas kawasan yang berupa fisik, pada kawasan
koridor edge dapat juga berupa tepian jalan (sebagai pembatas
kawasan koridor). Ada beberapa edges yang digunakan sebagai
batasan kawasan Kecamatan Bangil:

No. Foto Keterangan


1. Batas wilayah Kecamatan
Bangil dengan Kecamatan Beji

2. Batas wilayah Kecamatan


Bangil dengan Kecamatan
Rembang

Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahawa edges yang


berada di Keacamatan Bangil yaitu batas antar wilayah Kecamatan
Beji dan Kecamatan Rembangan dengan tugu sebagai penanda
perbatasan.
4.2.3 District
Distrik merupakan bagian dari sebuah kota, yang dikenali
secara mental atau visual oleh pengamat sebagai bagian kota yang
berkarakter khusus, dimana pengamat dapat dengan mudah
mengidentifikasi dirinya sedang berada di dalam atau di luar dari
bagian kota tersebut.

No Distrik Alamat Foto


.
1, Plaza Bangil Jl. Untung
Suropati, Kidul
Dalem.
2. Pasar Kidul Jl. Mangga,
Bangil Pogar.

3. Mall Pelayanan Jl. Raya Raci


Publik

4. Permukiman Jl. Lumba-


Arab Lumba,
Kalirejo.
5. SMA 1 Jl. Bader,
TARUNA Kalirejo.
MADANI

Bedasarkan tabel tersebut dapat diklasifikasikan bahwa di


kawasan Kecamatan Bangil terdapat beberapa distrik mulai dari
distrik perdagangan, distrik pendidikan, distrik permukiman, dan
distrik perkantoran.
4.2.4 Nodes
Nodes merupakan sebuah simpul atau titik strategis yang
ada di dalam kota dan dapat diakses oleh pengamat dan bisa
menjadi fokus yang kuat untuk berorientasi di dalam kota. Nodes
bisa berupa persimpangan utama, stasiun/terminal, perpotongan
jalur/paths yang kuat, pusat distrik. Persimpangan jalan yang
strategis dan penting di Kecamatan Bangil adalah:

No. Persimpangan Foto


Jalan
1. Perempatan
Kancilmas

2. Perempatan Layur

3. Perempatan Kulon
Alun-Alun
4 Pertigaan Raya
Bangil

5. Pertigaan Wetan
Alun-Alun
6 Pertigaan Jalan
Tol Bangil-
Pandaan

Berdasarkan tabel tersebut didapat bahwa, Kecamatan


Bangil memiliki beberapa nodes yang strategis yaitu sebagai pusat
aktivitas masyarakat yang ramai digunakan sebagai jalur lalu lintas.
4.2.5 Landmark,
Landmark merupakan objek yang nilai sebagai representasi
titik yang bersifat monumental. Landmark membentuk objek fisik,
misalnya bangunan, patung, sculpture, gunung, signage. Beberapa
landmark dapat menjadi referensi radial, karena sangat tinggi dan
besar, sehingga bisa dilihat dari berbagai sudut wilayah kota. Di
sisi lain, landmark juga dapat menjadi penanda untuk bagian kota
tertentu. Landmark yang mudah terlihat dan diingat pada
Kecamatan Bangil sebagai berikut:

No. Jenis Alamat Foto


1. Tugu Jl. A. Yani
Alun-Alun

2. Menara Jl. Jaksa


Masjid Agung
Manarul Suprapto
Islam
Bangil

Dalam tabel diatas merupakan landmarj Kecamatan Bangil


sebagai identitas kota yaitu Tugu Alaun-Alun yang terletak di Jl. A.
Yani dengan tulisannya menghadap ke jalan utama untuk
menyambut pengendara ataupun pengunjung yang akan
mengunjungi alun-alun. Selain itu terdapat landmark menara
Masjid Manarul Islam yang terletak di Jl. Jaksa Agung Suprapto
yang menjulang tinggi.
4.5 Struktur Kota Kecamatan Bangil
Seiring berjalannya waktu, perkembangan perkotaan Kecamatan
Bangil mengalami perubahan dan bergerak untuk mencari ruang-ruang
baru dalam pembentukan wilayahnya. Perkembangan dalam hal ini
menyangkut beberapa aspek. Identifikasi morfologi kota dapat diamati
dari penampakan kota secara fiskal yang tercermin pada penggunaan
lahan, pola jaringan jalan, dan blok-blok bangunan. Berdasarkan hasil
analisis, diketahui bahwa bentuk pertumbuhan kota di Kecamatan Bangil,
Kabupaten Pasuruan adalah bentuk tidak terencana (Unplanned). Hal
tersebut ditunjukkan dalam pembangunan maupun perkembangan pada
aspek kota dilakukan secara spontan, tidak terencana dan memiliki pola
yang tidak teratur dan non-geometrik. Ditinjau dari aspek spasial, struktur
dan pola pemanfaatan ruang kawasan Kecamatan Bangil yang terbentuk
cenderung bersifat ekspansif dan menunjukkan gejala urban sprawl yang
semakin tidak terkendali serta mengkonversi lahan-lahan pertanian subur
dengan berbagai dampaknya.
Morfologi di Kecamatan Bangil terdapat 2 jenis analisa bentuk
kota yaitu kota bentuk gurita dan bentuk terbelah. Bentuk kota Kecamatan
Bangil yang berbentuk gurita karena peranan jalur transportasi pada
kawasan Kecamatan Bangil sangat dominan dengan jalur transportasi tidak
hanya dari satu arah saja, tetapi dari beberapa arah ke luar kota juga. Hal
tersebut karena untuk memudahkan aksesibilitas penggunaan jalur
transportasi, mengingat bahwa Kecamatan Bangil merupakan ibukota
Kabupaten Pasuruan dan menjadi pusat pendidikan serta perdagangan.
Sedangkan bentuk kota terbelah karena kawasan Kecamatan Bangil
dipisahkan oleh sungai kedunglarangan sehingga perpotongan kawasan ini
dihubungkan oleh jembatan.
Kajian tentang perkembangan morfologi kota memiliki keterikatan
terhadap pembentukan struktur kota Kecamatan Bangil. Hal tersebut
tercermin dalam pembentukan struktur kota di Kecamatan Bangil tidak
lepas dari pengaruh peradaban Kolonial Belanda. Morfologi kota
merupakan bentuk ekspresi keruangan yang terjadi dari seluruh kegiatan
ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang saling berintegrasi dalam suatu
sistem wilayah yang mengakibatkan terbentuk struktur kota tertentu.
Struktur kota yang tercermin pada keruangan kawasan Kecamatan Bangil
adalah model inti ganda. Hal ini ditunjukkan oleh distribusi penggunaan
lahan di Kecamatan Bangil yang memunculkan sektor baru yang berperan
sebagai kutub pertumbuhan sehingga berkembang dan membentuk
struktur perkotaan dengan sel-sel baru. Misalnya kompleks industri yang
tersebar di kawasan Kecamatan Bangil akan mencari lokasi yang dekat
dengan fasilitas transportasi. Kompleks perumahan mencari lokasi yang
dekat dengan pusat perbelanjaan dan institusi pendidikan.
Seiring perkembangan zaman, sebuah kota pasti akan mengalami
perkembangan. Perkembangan kota sangat dipengaruhi oleh keadaan atau
kondisi fisik dalam sebuah kota yang menjadi unsur terpenting dalam
perencanaan kota secara komprehensif. Faktor yang mempengaruhi
perkembangan morfologi kota Kecamatan Bangil adalah sebagai berikut:
1. Filosofi
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, Bangil sendiri
tergolong kota kecil yang unik dikarenakan status Bangil sebagai
Kota sering berubah-ubah, awalnya Kabupaten kemudian berubah
menjadi Kecamatan dan berubah lagi menjadi Ibukota Kabupaten.
Kota Pasuruan menjadi Ibu Kota Karisidenan pada tahun 1812.
Sejalan dengan pembangunan Jalan Raya Pos, dengan
pertimbangan strategis maka Ibu Kota Kabupaten dipindahkan ke
pinggir jalan tersebut, termasuk Bangil dijadikan sebagai
Afdeeling. Afdeeling adalah sebuah wilayah administrasi pada masa
pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda setingkat Kabupaten.
Kejadian tersebut merupakan faktor yang disignifikan dalam
penentuan letak dan awal pembentukan Kota Bangil sebagai
ibukota Kabupaten Pasuruan berdasarkan filosofi kerajaan di mana
dalam sebuah kerajaan terdapat kompleks Kraton, Masjid, Pasar,
dan Alun-Alun.
2. Ekonomi
Sektor potensial yang berada di Kecamatan Bangil yaitu
sektor pertanian dan perkebunan sehingga mampu meningkatkan
perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Karena jika dilihat
dari struktur daerahnya Kecamatan Bangil sebagian besar
dikelilingi oleh area persawahan dan tanaman perkebunan.
Banyaknya masyarakat yang bekerja disektor ini disebabkan
karena rata-rata hidup mereka dari dulu tergantung pada hasil hutan
dan perkebunan. Namun, pada masa kini mayoritas penduduk
Kecamatan Bangil bekerja di sektor perdagangan. Sektor
perdagangan di Kecamatan Bangil memperdagangkan bukan saja
hasil pertanian, tetapi juga sebagian besar produk-produk industri
pengolahan.
Perkembangan struktur kota di Kecamatan Bangil merupakan
kegiatan sistem pusat pelayanan kegiatan internal kota yang sangat erat
kaitannya dengan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan
perkembangan struktur ruang koya yang telah dilakukan, Kecamatan
Bangil mengalami perkembangan struktur kota yang signifikan dari
tahun 1860 hingga sekarang. Perkembangan yang terjadi menyebabkan
adanya perubahan dalam tatanan struktur kota Kecamatan Bangil.
Sehingga dalam perubahan tersebut muncul ide pengembangan dalam
penataan struktur kota di kawasan Kecamatan Bangil. Pengembangan
pada struktur kota penting dilakukan sebagai bentuk menciptakan tatanan
kota yang lebih terstruktur dan tertata. Strategi yang dihasilkan dari
penilaian kondisi morfologi kota, citra kota, dan bentuk kota sebagai
bentuk pengembangan struktur kota Kecamatan Bangil yang lebih baik
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Meningkatkan daya tarik pusat kota dengan memanfaatkan bentuk


fisik dan kualitas visual kawasan yang memiliki banyak bangunan
cagar budaya dengan langgam bangunan kolonial.
2. Menjadikan pusat kota Kecamatan Bangil sebagai kawasan kota
tua yang menjadi tujuan wisata serta berperan sebagai pusat
pelayanan wisata sekaligus menjadi pasar bagi produk-produk
olahan hasil pertanian.
3. Terus meningkatkan kualitas fungsi pelayanan pusat kota.
4. Mengadakan kontrol terhadap pembangunan fungsi perdagangan
dan jasa di kawasan historic urban area agar pembangunan dan
aktivitasnya tidak merusak wajah pusat kota.
5. Memanfaatkan peluang untuk menjadikan pusat kota Kecamatan
Bangil lebih berkembang dan menarik pengunjung ke pusat kota
dengan memperbaiki kualitas fisik dan fungsi pusat kota agar lebih
menarik.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kecamatan Bangil merupakan daerah perkotaan yang menjadi pusat
pemerintahan Kabupaten Pasuruan. Morfologi kota Kecamatan Bangil
mempunyai sejarah yang panjang, terkait bentuk dan proses pembentukannya.
Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa morfologi kota kawasan Kecamatan
Bangil ditentukan dan dipengaruhi oleh perubahan dari elemen pembentuk
morfologi kota yaitu tata guna lahan, pola jalan, dan tipe bangunan. Masa
kerajaan Islam dan masa Kolonial Belanda memberikan kontribusi terhadap
elemen morfologi yaitu building (bangunan) yang antara lain berupa Masjid
Manarul Islam dan setting ruang permukiman mereka. Elemen street (jalan)
yang tampak dari hasil analisis yaitu sebagai salah satu wilayah yang berada di
jalur tapal kuda sehingga menyebabkan terciptanya pola dari aktivitas
perdagangan dan sintaksis ruang mengenai kepadatan pergerakan di kawasan
Kecamatan Bangil. Morfologi kota Kecamatan Bangil sudah berlangsung
selama ratusan tahun, namun secara setting ruang kawasan hanya memiliki
sedikit perubahan yaitu tentang tersedianya berbagai fasilitas untuk
mendukung kehidupan masyarakat sekitar. Sementara alun-alun merupakan
center/pusat dari Kecamatan Bangil dan menjadi landmark kawasan.
Selain morfologi kota yang mempengaruhi pembentukan struktur kota
Kabupaten Pasuruan juga terdapat citra kota sebagai elemen pembentuk
identitas struktur kota Kecamatan Bangil. Elemen yang membentuk citra kota
tersebut adalah path, edges, distric, nodes, dan landmark. Setiap elemen-
elemen tersebut menjadi penanda karakteristik wilayah Kecamatan Bangil.
Perkembangan Kecamatan Bangil sangat dipengaruhi oleh faktor filosofis dan
ekonomi. Dalam artian historis tentang morfologi kota membentuk struktur
kota Kecamatan Bangil.. Setelah mengalami perkembangan hingga dengan
saat ini, kondisi morfologi Kecamatan Bangil sebagai pusat kota pemerintah
Kabupaten Pasuruan Pasuruan masih belum banyak berubah, terlihat dari pola
jaringan jalannya yang masih utuh, dan masih berdirinya banyak bangunan-
bangunan kuno yang membentuk historic urban area. Didukung dengan
kekuatan lain dan juga peluang yang ada dari luar daerah, pusat kota
Kecamatan Bangil memiliki kesempatan untuk berkembang sebagai kota tua
yang memiliki potensi wisata, selain sebagai pusat pemerintahan.
5.2 Saran
Peneliti menyadari bahwa hasil penelitian ini belum sempurna, namun
dengan hasil penelitian ini peneliti memberikan saran yang diharapkan
menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah
Kecamatan Bangil yaitu:
1. Perlu dilakukan penyusunan UDGL yang sesuai dan memperkuat
citra kota sebagai kota tua baik dari segi bangunan, maupun detail
lain seperti jalur pejalan kaki dan lain-lain yang disertai dengan
kontrol yang tegas dari pemerintah.
2. Menciptakan desain kawasan yang juga sebaiknya menunjukkan
kekhasan dari Kecamatan Bangil sehingga menjadi identitas yang
kuat bagi pusat kota. Selain itu panduan desain yang disusun harus
juga mampu mengoptimalkan fungsi pusat kota sebagai pusat
pemerintahan.
3. Perlunya kerja sama antara masyarakat Kecamatan Bangil dan
Pemerintahan Daerah untuk menciptakan kawasan yang memiliki
karakteristik sebagai identitas yang khas.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Matin, A. F. (2022). Kajian Morfologi Kota Balikpapan. Jurnal Arsitektur


Display, 1(1), 2-4.

Amandus Jong Tallo, Y. P. (2014). Identifikasi Pola Morfologi Kota (Studi Kasus :
Sebagian Kecamatan Klojen, Di Kota Malang). Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota, 25(3), 215-216.

Chawari, M. (2002). Perkotaan Pasuruan Di Era Kolonial Belanda Pada Sekitar


Abad XVIII s.d. XIX. Jurnal Berkala Arkeologi, 22(1), 70-73.

Dimas Wihardyanto, I. (2019). Pembangunan Permukiman Kolonial Belanda di


Jawa: Sebuah Tinjauan Literatur (Development of Dutch Colonial
Settlements in Java : A Literature Review). National Academic Journal of
Architectur, 6(6), 148-150.

Edi Purwanto, E. D. (2013). Memahami Citra Kota Berdasarkan Kognisi Spasial


Pengamat Studi Kasus: Pusat Kota Semarang. Jurnal Tata Loka, 15(4),
249-251.

Firmansyah Bachtiar, A. S. (2022). De Groote Postweg Sebagai Pemicu


Perubahan Struktur Kota di Jawa Bagian Barat. Jurnal Arsitektur dan
Kota Berkelanjutan, 2(2), 54.

Izzatillah, N. (2016). Perkembanagn Kota Bangil Masa Kolonial (1613-1942).


Bangil: Situs Resmi Kabupaten Pasuruan.

Pasuruan, P. D. (2019). Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi


Bagian Wilayah Perkotaan Kabupaten Pasuruan Tahun 2018 - 2038.
Kabupaten Pasuruan.

Qomariyah, S. (2019). Identifikasi Kawasan Pecinan Dilihat Dari Morfologi Kota


Probolinggo. Jember: Universitas Jember.
Statistik, B. P. (2022). Kecamatan Bangil Dalam Angka 2022. Bangil: BPS
Kabupaten Pasuruan.

Statistik, B. P. (2023). Kabupaten Pasuruan Dalam Angka. Pasuruan: BPS


Kabupaten Pasuruan.

Wulanningrum, S. D. (2014). Elemen-elemen Pembentuk Kota yang Berpengaruh


terhadap Citra Kota (Studi Kasus: Kota Lama Semarang). Jurnal Biro
Penerbit Planologi Undip, 10(2), 200.

Zain Fatehatul Mahawani, S. S. (2015). Kajian Morfologi Pusat Kota Purworejo.


Jurnal Teknik PWK, 4(4), 47.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai