Anda di halaman 1dari 36

BAB II Intisari Buku

BAB 1 Pengertian dasar dan karakteristik kota, perkotaan, serta perencanaan kota Pembahasan tentang Perencanaan Wilayah Perkotaan perlu terlebih dahulu dimulai dengan tinjauan terhadap pengertian-pengertian dasar, konsep atau terminologi yang menjadi unsur-unsur yang membentuknya. Pengertian-pengertian dasar tersebut mencakup wilayah, kota dan perkotaan, serta perencanaan. Selain itu, perlu dibahas pula pengertian yang berkaitan seperti daerah dan kawasan. Pemahaman terhadap pengertian-pengertian dasar tersebut diperlukan sebagai pengantar untuk Perencanaan Wilayah dan Kota, baik sebagai disiplin ilmu maupun salah satu praktik dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Keterkaitan antara wilayah, daerah, kawasan sebagai ruang atau kesatuan geografis, dapat dilihat dari hubungannya berdasarkan aspek geografis, administrasi, dan perwatakan fungsional. Wilayah dipergunakan dalam konteks pengertian umum meskipun lebih umum (Wilayah Nasional, Wilayah Provinsi, Wilayah

Kabupaten/Kota, atau Wilayah Indonesia Timur, Wilayah Kalimantan, Wilayah Pantai Utara Pulau Jawa). Daerah dipergunakan mengacu pada pengertian administrasi daeah otonom, yang di Indonesia adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota. Sementara itu kawasan dipergunakan dalam pengertian fungsional. Dalam hal ini, misalnya suatu wilayah provinsi, berdasarkan fungsinya terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Contoh yang lain wilayah kabupaten (yang berdasarkan pengertian administrasi merupakan Daerah Otonom) mencakup baik kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan. Dalam skala wilayah yang lebih kecil lagi, wilayah kota berdasarkan fungsinya terdiri dari kawasan

perumahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan pemerintahan, kawasan industri, dsb. Perencanaan kota (atau wilayah/kawasan perkotaan) mengacu pada pengertian perencaan secara umum sebagai proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam hal ini yang menjadi domainnya adalah sektor publik, yang dalam skala spasial objeknya adalah kota atau kawasan perkotaan. Secara umum karakteristik kota dapat ditinjau berdasarkan aspek fisik, sosial serta ekonomi. Berdasarkan bidang ilmu, kota atau perkotaan telah menjadi pokok bahasan di bidang geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, engineering, planologi, dan lain-lain. Pengertian kota secara fungsional sebagai suatu konsep atau yang berkaitan dengan ruang sebagai tempat manusia beraktivitas sangat beragam, sebanyak pakar mendefinisikannya berdasarkan sudut pandang atau tinjauan yang berbeda-beda. Dalam konteks ruang, kota merupakan satu sistem yang tidak berdiri sendiri, karena secara internal kota merupakan satu kesatuan sistem kegiatan fungsional di dalamnya, sementara secara eksternal, kota dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kota ditinjau dari aspek fisik merupakan kawasan terbangun yang terletak saling berdekatan/terkonsentrasi, yang meluas dari pusat hingga ke wilayah pinggiran, atau wilayah geografis yang didominasi oleh struktur binaan. Kota ditinjau dari aspek ekonomi memiliki fungsi sebagai penghasil produksi barang dan jasa, untuk mendukung kehidupan penduduknya dan untuk keberlangsungan kota itu sendiri. Kota ditinjau dari aspek sosial merupakan konsentrasi penduduk yang membentuk suatu komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas melalui konsentrasi dan spesialisasi tenaga kerja dan meningkatkan adanya diversitas intelektual, kebudayaan dan kegiatan rekreatif di kota-kota. Berdasarkan hal tersebut, setiap kota dipengaruhi oleh besaran jumlah penduduknya dan kota secara sosial juga

dapat dipandang dari sudut keruangan. Di sekeliling pusat pemerintahan dan pusat komersial biasanya terdapat sederetan bangunan apartemen yang tidak terawat yang merupakan tempat tinggal sebagian besar penduduk yang tidak mampu, berpenghasilan rendah, golongan usia lanjut, dan kelompok yang tergolong minoritas. Seperti apapun bentuk pengaturan penduduk dan guna lahan ke dalam ruang wilayah yang tepat, identifikasi dan analisis implikasi sosioekonomi pengaturan tersebut merupakan bagian yang penting bagi keberhasilan perencanaan kota. Pengertian perencanaan secara umum adalah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia. Unsur-unsur dasar dalam perencanaan adalah: (1) merencana berarti memilih; (2) perencanaan sebagai alat untuk mengalokasikan sumberdaya; (3) perencanaan sebagai alat untuk mencapi tujuan; (4) perencanaan adalah untuk masa datang. Sebagai aktivitas perencanaan yang mempunyai domain publik, karakteristik perencanaan: (1) mengarah ke pencapaian tujuan; (2) mengarah ke perubahan; (3) pernyataan pilihan; (4) rasionalitas; dan (5) tindakan kolektif sebagai dasar. Jenis aktivitas perencanaan pada dasarnya dapat dibedakan berdasarkan kriteria: sifat tujuan perencanaan, lingkup aktivitas perencanaan yang tercakup; hierarki/tingkat spasial, dan hierarki operasional. Dalam konteks ini perencanaan kota/perkotaan merupakan salah satu jenis perencanaan berdasarkan hierarki spasial, yakni pada tingkat/skala kota atau kawasan perkotaan. Perencanaan kota/perkotaan berorientasi pada aspek fisik dan spasial. Dalam hal ini perencanaan kota/perkotaan penyiapan dan antisipasi kondisi kota pada masa yang akan datang, dengan titik berat pada aspek spasial dan tata guna lahan, yang dimaksudkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat kota dalam mencapai kesejahteraan.

BAB 2 Sejarah perkembangan kota dan perencanaan kota Pemahaman terhadap perkembangan kota dapat dilakukan dengan

menggunakan perspektif sejarah karena sejak ribuan tahun fenomena kota sudah dikenal walaupun di berbagai bangsa kehidupan perkotaan mempunyai arti yang berbeda-beda. Berdasarkan tinjauan historis ini dapat diamati bagaimana dinamika perkembangan kota dipengaruhi oleh perkembangan masyarakatnya dan sebaliknya perkembangan masyarakat dipengaruhi pula oleh perkembangan kotanya. Pemukiman yang menjadi cikal-bakal kota sejak ribuan tahun yang lalu bertujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih kuat kepada sebagian besar penduduk dari berbagai kelompok masyarakat. Dalam konteks dinamika dari perkembangan permukiman yang menjadi cikal-bakal itu pula perencanaan kota berkembang. Dengan demikian, sesungguhnya perencanaan kota telah berkembang sebagai suatu seni dan ilmu selama hampir 6.000 tahun. Dari kota-negara Asiria hingga pembangunan kembali kota-kota sentral masa kini, terdapat evolusi dalam pemikiran dan praktik perencanaan kota. Penelusuran terhadap sejarah perkembangan kota dan perencanaan kota telah dilakukan dengan melakukan periodisasi dari yang paling sederhana dengan membuat dikotomi kota tradisional kota modern, sampai dengan periodisasi yang rinci sesuai dengan tahapan perkembangan peradaban yang melatarbelakanginya. Perkembangan kota dan perencanaan kota dapat diamati seiring dengan evolusi peradaban Mesir Kuno (Kota Babilonia); peradaban Yunani (Kota Athena); peradaban Romawi (Kota Militer); Abad Pertengahan (Renaisance); Revolusi Industri; dan Gerakan Reformasi (Abad 20). Dalam perspektif lain, upaya untuk memahami pola perkotaan (urban pattern) dan tahapan perkembangan kota di masa lalu, menunjukkan perkembangan kota-kota: Kota zaman kuno: Mesir, kota-kota di Aegea, Beijing dan Lukang; kota klasik; kota neoklasik; dan kota modern/pasca revolusi industri.

Apabila ditinjau dikotomis, perkembangan kota berdasarkan perspektif historis dapat dibedakan antara kota tradisional dan kota modern. Pembedaan ini mengacu pada aspek kompleksitas kota-kota tersebut dalam tatanan fisik-spasialnya dengan parameter ruang/morfologi, ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Kota tradisional mempunyai pola-pola demografis dan ekologis yang dilintasi budaya tradisional setempat sehingga susunan kota-kota tradisional dipengaruhi oleh faktorfaktor yang membatasi pola susunannya, yaitu keamanan dan persatuan, keterbatasan bahan dan teknologi, keterbatasan mobilitas, struktur sosial yang kaku, serta perkembangan yang agak lambat. Kota modern susunan kotanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak lagi dipengaruhi oleh batasan tertentu seperti pada kota tradisional, karena kota modern mempunyai ciri ketidakterbatasan, baik dalam komunikasi dan pengaruh pada masyarakat secara individual; ketidakterbatasan teknologi yang menyebabkan perbedaan bentuk kota dan citranya; maupun ketidakterbatasan mobilitas yang mengarah pada perluasan dan kepadatan kawasan kota, yang berkembang begitu cepatnya. Sejarah perkembangan kota di Indonesia dari masa tradisional sampai dengan masa kolonial, secara umum dapat dibagi dalam empat periode, yakni: Periode I (abad III-IX); Periode II (abad IX-XV); Periode III (abad XV-XVIII); dan Periode IV (abad XIX-XX). Pada periode III, setelah kerajaan Majapahit mulai runtuh dan di Jawa mulai tumbuh kota-kota Gresik, Tuban, Banten, Batavia, Aceh di Sumatera, Makasar di Sulawesi, sejalan dengan masuknya Islam. Pada periode IV (abad XIXXX), kota-kota di Asia Tenggara semakin tumbuh dan berkembang terutama sesudah adanya perjanjian Wina dan dibukanya terusan Suez. Pada masa ini banyak pengaruh Eropa dan terjadinya percampuran bentuk Barat dan Timur atau tradisional. Berdasarkan periodisasi tersebut, perkembangan kota-kota tradisional di Indonesia menunjukkan evolusi dari kota tradisional menjadi kota kolonial sehingga pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Barat dalam berbagai segi

kehidupan termasuk kebudayaan. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dalam bentuk kota dan tata bangunannya. Dalam perspektif lain, periodisasi perkembangan kota di Indonesia dapat dibagi menjadi: Kota masa prakolonial dan masa kolonial; kota masa kolonial abad 20; kota dekade 1950-an; dan kota masa Repelita. Perkembangan kota-kota di Indonesia di masa lalu tak dapat dilepaskan dari penyebaran agama Islam. Dalam hal ini ada keterkaitan antara kedatangan Islam dan pertumbuhan kota-kota pesisir, karena kedatangan orang-orang muslim mengikuti jalan pelayaran dan perdagangan maka tempat-tempat yang dituju kebanyakan terletak di pesisir-pesisir. Tempat-tempat itu ada yang sudah tumbuh sebagai kotakota pelayaran sebelum Islam, dan ada pula tempat-tempat yang belum berfungsi sebagai kota. Melalui proses islamisasi terbentuklah kota-kota bercorak Islam di Sumatera, Jawa, Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi. Dari perkembangan berbagai kota pesisir tersebut, dapat disimpulkan bahwa tempat-tempat yang didatangi orangorang muslim dan tempat terjadinya proses islamisasi tumbuh menjadi kota-kota muslim, di antaranya ada yang berfungsi sebagai kota pelabuhan, kota perdagangan dan ada pula sebagai kota pusat kerajaan yang berarti pusat-pusat kekuasaan politik. Selain dari periodisasi sejarah perkembangan kota, perkembangan

perencanaan kota di Indonesia dapat ditinjau dari perspektif hukum pranata perencanaan. Dalam hal ini perkembangan kota di Indonesia dapat dibagi dalam 5 (lima) periode, yakni: Mas kota-kota VOC; Masa awal urbanisasi; Masa perbaikan lingkungan; Masa revolusi; dan Masa pembangunan berencana (1960-1970; 19701985; 1985-sekarang).

BAB 3 Urbanisasi dan pertumbuhan perkotaan

Pada bagian ini membahas tentang konsep, proses, dan dampak urbanisasi. Urbanisasi dapat didefinisikan sebagai proses pengkotaan, proses menjadi kota; peningkatan presentase penduduk perkotaan; kota tumbuh meluas, pinggiran yang semula pedesaan manjadi kota; dalam bahasa sehari-hari urbanisasi diasosiasikan dengan migrasi desa-kota. Secara konseptual urbanisasi tidak selalu sama dengan pertumbuhan perkotaan, karena urbanisasi lebih menunjukkan perubahan proporsi penduduk yang berdiam di kawasan perkotaan. Dengan pengertian tersebut maka urbanisasi baru dapat terjadi apabila laju pertumbuhan penduduk perdesaan. Di negara maju, urbanisasi pada dasarnya merupakan fungsi dari pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah, semakin tinggi derajat urbanisasinya (level of urbanization). Urbanisasi di negaranegara maju juga berkorelasi dengan industrialisasi, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika ditelusuri secara sektoral sesungguhnya bersumber dari pertumbuhan industri yang pesat dan dominan. Berbeda dengan di negara maju, di negara berkembang urbanisasi tidak selalu berbarengan dengan industrialisasi, karena hanya urbanisasi demografis. Ditinjau dari lajunya, kecepatan urbanisasi di negara berkembang jauh lebih besar dibandingkan dengan di negara-negara maju, yang disebut sebagai over-urbanization atau pseudo-urbanization. Proses urbanisasi secara konseptual dapat ditinjau berdasarkan aspek demografik, ekonomi, dan fisik. Ditinjau dari aspek demografik, proses urbanisasi terkait dengan proses-proses: Pertumbuhan penduduk perkotaan, baik karena pertumbuhan alami maupun migrasi desa-kota, migrasi internasional dan perluasan batas administrasi; pergeseran dalam hierarki kota-kota; komposisi umur dan gender penduduk perkotaan; perubahan angkatan kerja; serta keterkaitan desa-kota: penduduk, komoditas, kapital, informasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju urbanisasi antara lain: (1) Perubahan teknologi yang lebih cepat di bidang pertanian daripada di bidang nonpertanian, yang

mempercepat arus penduduk dari pedesaan; (2) Kegiatan produksi untuk ekspor terpusat di kawasan kota; (3) Pertambahan alami yang tinggi di perdesaan; (4) Susunan kelembagaan yang membatasi daya serap perdesaan, seperti: sistem pemilikan tanah; kebijaksanaan harga dan pajak yang bersifat menganakemaskan penduduk perkotaan; (5) Layanan pemerintah yang lebih berat pada perkotaan; (6) Kelembaman (intertia)- faktor negatif yang menahan penduduk tetap tinggal di perdesaan; dan (7) Kebijaksanaan perpindahan penduduk oleh Pemerintah dengan tujuan mengurangi arus penduduk dari perdesaan ke perkotaan. Tantangan besar terkait dengan pertumbuhan perkotaan, terutama di negaranegara berkembang adalah perkembangan kota yang sangat pesat menimbulkan implikasi langsung terhadap kebutuhan sarana dan prasarana perkotaan. Pertumbuhan perkotaan dan proses urbanisasi menjadi masalah di negara-negara sedang berkembang, karena kegagalannya dalam menanggulangi dampak yang timbul. Jadi, bukan pertumbuhan perkotaan itu sendiri yang menjadi masalah, tetapi laju pertumbuhan yang pesat di luar kapasitas institusional, administratif dan finansial untuk menanggulanginya. Masalah perkotaan secara umum meliputi: Kota raksasa (excessive size); kepadatan berlebih; Kekurangan sarana prasarana; Pemukiman kumuh dan liar; kemacetan lalu-lintas; berkurangnya tanggung jawab; pengangguran dan setengah pengangguran; masalah rasial dan sosial; westernisasi dan modernisasi; kerusakan lingkungan; perluasan perkotaan dan berkurangnya laha pertanian; serta organisasi administrasi. Indonesia seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya, sedang mengalami pertumbuhan perkotaan yang pesat. Ditinjau dari laju pertumbuhannya, laju pertumbuhan penduduk perkotaan menunjukkan angka yang sangat pesat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk total 5,38% per tahun pada 19801990, dan 4,40% per tahun pada tahun 1990-2000. Ditinjau secara spasial, sesuai

dengan tahap perkembangan Indonesia, urbanisasi yang berlangsung pada waktu lalu diperkirakan cenderung memusat, ditandai dengan tarikan metropolitan dan kota-kota besar terhadap migran jauh lebih besar daripada kota-kota menengah maupun kecil.

BAB 4 Perkembangan kota dalam konstelasi regional Tiap kota mempunyai kinerja perkembangan berbeda-beda yang disebabkan oleh faktor-faktor perkembangannya. Beberapa teori telah dikemukakan untuk menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi laju perkembangan atau

pertumbuhan kota-kota dalam wilayah yang lebih luas. Secara garis besar ada dua teori yang dapat menjelaskan perkembangan (ekonomi) kota dalam konteks wilayah yang lebih luas, yaitu Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory) dan Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory). Menurut teori basis ekonomi dasar pendukung utama suatu kota berasal dari penjualan barang/jasa yang berada di luar komunitas, yang disebut ekspor. Penerimaan dari penjualan ini membantu perluasan ekonomi lokal dengan menyediakan uang yang mendukung aktivitas pelayanan. Barang/jasa yang diproduksi untuk ekspor ke luar wilayah disebut basis dan pekerja yang berhubungan dengan penjualan lokal di dalam komunitas tersebut disebut nonbasis. Perkembangan kota terkait dengan kontribusi sektor basis dari total pekerja basis, memisahkan pelayanan menjadi peran pendukung. Dalam teori basis, memisahkan pelayanan menjadi peran pendukung. Dalam teori basis ekonomi ada dua konsep penting yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan kota, yakni economic of scale dan urbanization economies. Kedua konsep ini pada dasarnya berkaitan dengan prinsip keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya aglomerasi, seperti halnya di kawasan perkotaan.

Teori kutub pertumbuhan menjelaskan perkembangan ekonomi kota dalam suatu wilayah yang luas, dengan adanya sumberdaya yang menyebar dan penyerapan sumberdaya yang timpang. Berbeda dengan teori Economic base, dalam teori ini pemisahan sektor ditinggalkan. Teori ini juga ditopang oleh alat-alat ukur ekonomi sehingga dapat menjelaskan implikasinya pada perencanaan dan bersifat dinamis. Teori ini cukup mampu menjelaskan perkembangan di negara maju maupun berkembang. Konsep-konsepnya: prospulsive Industry, industri sebagai pemicu perkembangan; circular and Cumulative Causation, proses yang memungkinkan akumulasi perkembangan; dan Multiplier effect, ketimpangan dapat diatasi oleh tricling down process dan spread effect. Berdasarkan teori ini, tidak semua kota dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan, karena pusat pertumbuhan harus memiliki empat cirri, yaitu adanya hubungan internal antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya multiplier effect (dampak pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan wilayah belakangnya. Sistem kota-kota terbentuk karena adanya keterkaitan antara stau kota dengan kota yang lain, baik secara spasial maupun fungsional. Suatu kota mempunyai potensi untuk membentuk suatu sistem dengan kota-kota lain karena tersedianya infrastruktur, faktor lokasi, dan penduduk. Dalam sistem kota-kota, terdapat banyak kota yang saling berkaitan secara fungsional, yang antara lain digambarkan oleh orientasi pemasaran geografis. Keterkaitan antarkota dalam suatu sistem kota-kota terjadi karena terdapat kota sebagai pusat koleksi/distribusi komoditas dan kota sebagai node yang ukurannya berbeda-beda tergantung jumlah penduduk, fungsi dan hierarkinya. Peran penting yang diemban oleh interaksi antarkota adalah: (1) mewujudkan integrasi spasial, karena manusia dan kegiatannya terpisah-pisah dalam ruang, sehingga interaksi ini penting untuk mengaitkannya; (2) memungkinkan adanya diferensiasi dan spesialisasi dalam sistem perkotaan; (3) sebagai wahana untuk pengorganisasian kegiatan dalam ruang; dan (4) memfasilitasi serta menyalurkan perubahan-perubahan dari satu simpul ke simpul lainnya dalam sistem.

Ditinjau dari lingkup wilayahnya, sistem kota-kota dapat mempunyai cakupan nasional atau subnasional, membentuk sistem kota-kota/ perkotaan nasional atau subnasional. Secara ideal, dalam suatu sistem kota terdapat keteraturan antara peringkat dan ukuran kota, yang dikenal sebagai rank size rule. Fenomena yang berbeda dengan rank size rule, antara lain fenomena primate city yang terjadi terutama di negara-negara berkembang. Dalam hal ini primacy ratio menunjukkan rasio antara kota pertama dengan kota kedua di suatu negara yang merefleksikan derajat dominasi populasi dari kota/pusat perkotaan terbesar. Primacy rations yang meningkat menunjukkan bahwa kota unggul/kota utama menjadi paling penting baik dalam populasi, sosial, ekonomi, maupun politik dalam negara tersebut. Kota pada dasarnya merupakan pusat kegiatan dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Peranan kota sebagai pusat kegiatan dalam suatu wilayah nasional maupun lokal telah banyak ditunjukkan dalam berbagai literatur Barat yang pada intinya menyimpulkan bahwa kota berperan sebagai pusat industri manufaktur atau pusat kegiatan pelayanan. Dalam lingkup wilayah yang lebih luas, setiap kota mempunyai fungsi baik fungsi umum maupun khusus. Fungsi umum kota adalah pusat pemukiman dan kegiatan penduduk, sedangkan fungsi khusus kota adalah dominasi kegiatan fungsional di suatu kota yang dicirikan oleh kegiatan ekonomi kota tersebut yang mempunyai peran dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Di Indonesia, National empat Urban fungsi Development dasar Strategy (NUDS,1985) Hinterland telah Service,

mengidentifikasi

kota/perkotaan:

Interregional communication, Goods processing (manufacturing), Residential subcenters. Berdasarkan fungsinya dalam sistem kota-kota/ sistem pusat permukiman nasional seperti diarahkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN, 1977), kota-kota di Indonesia terdiri dari: Pusat Kegiatan Nasional (PKN); Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Globalisasi yang ditandai dengan bebasnya aliran, modal, manusia, barang, serta informasi, pada gilirannya telah membawa implikasi semakin terintegrasinya

sistem sosioekonomi dan politik secara global. Globalisasi telah mengakibatkan restrukturisasi kota dan wilayah di dunia dengan kota dan wilayah terintegrasi dalam suatu jejaring (networks), satu dengan lainnya terkait erat. Namun, kota yang terimbas serta terintegrasi ke dalam jejaring itu bersifat selektif, artinya tidak semua kota mempunyai kesempatan sama dapat masuk ke dalam jejaring tersebut. Hanya kota yang memiliki keunggulan (competitiveness) yang dapat masuk. Sementara itu, persaingan antarkota untuk menarik investasi, terjadi dalam jejaring tersebut. Fenomena perkembangan kota-kota global pada dasarnya merupakan perluasan konsep kota-kota dalam konstelasi wilayah lebih luas yang semula terbatas dalam lingkup wilayah negara menjadi dalam lingkup dunia. Dalam sistem kota-kota global terdapat hierarki kota-kota yang terkait dengan pembagian negara pusat dan negara semiperiphery. Secara ekonomi, perkembangan sistem kota-kota global dipengaruhi oleh kapitalisme global, yang mempunyai ciri dalam komoditas, aktivitas, struktur pasar, dan organisasinya. Pertumbuhan kota yang semakin besar memunculkan desa-kota yang akhirnya terwujud wilayah kota mega (mega cities) yang mempunyai struktur kota mega terdiri atas kota besar, wilayah pinggiran, desa-kota, desa berkepadatan penduduk tinggi, desa berkepadatan penduduk rendah, dan kota kecil. Munculnya Mega-Urban Regions (MUR) di Asia/ASEAN merupakan salah satu produk dari proses urbanisasi global melalui keterkaitan (ketergantungan) ekonomi antara negara-negara di Asia yang berorientasi ekonomi pasar dan ekonomi global (terjadi melalui proses industrialisasi yang dipacu arus investasi asing/korporasi transnasional) tidak saja mengakibatkan perubahan pada pola pembangunan daerah secara spasial, tetapi juga mengakibatkan restrukturisasi politik, sosial, dan ekonomi.

BAB 5 Perencanaan pembangunan nasional dan perencanaan pembangunan daerah

Pengertian perencanaan pembangunan dapat didefinisikan berdasarkan unsurunsur yang membentuknya, yakni perencanaan dan pembangunan. Perencanaan secara umum adalah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia; sedangkan pembangunan adalah proses untuk melakukan perubahan atau suatu proses perubahan yang disengaja untuk mencapai perbaikan kehidupan dan penghidupan yang berkesinambungan. Dengan menghubungkan kedua pengertian ini maka perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia, yang mengarah pada perubahan ke kondisi yang lebih baik. Perencanaan pembangunan merupakan suatu tahapan awal dalam proses pembangunan, yang akan menjadi pedoman/acuan dasar bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan. Dalam konteks manajemen pembangunan, perencanaan merupakan tugas pokok yang harus diemban, yang diperlukan karena kebutuhan pembangunan yang lebih besar daripada sumberdaya yang tersedia. Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam konteks ini maka perencanaan pembangunan nasional adalah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia, yang mengarah pada perubahan ke kondisi yang lebih baik, yang dilakukan dalam skala makro atau menyeluruh. Dalam hal ini perencanaan pembangunan nasional dilakukan dalam satu sistem, yang berarti satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsure penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Dalam sistem perencanaan pembangunan, dikembangkan berbagai jenis perencanaan pembangunan yang dapat dibedakan: (1) menurut jangkauan jangka waktu; (2) menurut dimensi pendekatan dan koordinasi; (3) menurut proses/hierarki

penyusunan. Pengelompokan lain perencanaan pembangunan berdasarkan dimensi pendekatan dan koordinasi meliputi: Perencanaan makro, perencanaan sektoral, perencanaan regional, dan perencanaan mikro. Di antara keempat jenis perencanaan tersebut, perencanaan sektoral dan perencanaan regional adalah yang paling dikenal. Perencanaan sektoral merupakan perencanaan embangunan yang berorientasi pada sektor atau kelompok program yang merupakan wadah dari kegiatan-kegiatan yang menunjang pencapaian suatu kelompok tujuan atau sasaran sektor tertentu; sedangkan perencanaan regional adalah perencanaan dengan dimensi pendekatan regional yang menitikberatkan pada aspek tempat kegiatan dilakukan. Dalam praktik perencanaan pembangunan di Indonesia, dikembangkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai satu kesatuan tata cara perencanaan pembanguna untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang (RPJP, 20 tahun), jangka menengah (RPJM, 5 tahun), dan tahunan yang dilaksanakn oleh unsure penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Hal ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan nasional, tahapan yang dilakukan adalah penyusunan rencana; penetapan rencana; pengendalian pelaksanaan rencana; dan evaluasi pelaksanaan rencana. Pembangunan daerah pada dasarnya merupakan bagian integral dari sistem pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh semua komponen masyarakat dan pemerintah menurut prakarsa daerah. Dalam konteks ini maka perencanaan pembangunan daerah tidak dapat dilepaskan dari sistem perencanaan pembangunan nasional. Kebutuhan perencanaan pembangunan daerah terkait dengan paradigm otonomi daerah yang member hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mnegurus rumah tangganya sendiri. Perencanaan pembangunan daerah merupakan proses perencanaan

pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan

lingkungannya

dalam

wilayah/daerah

tertentu,

dengan

memanfaatkan

atau

mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang pada asas prioritas. Aspek perencanaan pembangunan daerah: Aspek lingkungan, potensi dan masalah, institusi perencana, serta aspek ruang dan waktu. Ditinjau berdasarkan dimensi waktunya, perencanaan pembangunan daerah disusun secara berjangka, meliputi: (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) daerah, dengan jangka waktu 20 tahun yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu pada RPJP Nasional; (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah untuk jangka waktu 5 tahun, yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJP Nasional; dan (3) Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakna langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu pada rencana kerja pemerintah. Ditinjau berdasarkan prosesnya, penyusunan Rencana Pembangunan Daerah (RPJP dan RPJM) dilakukan melalui empat pendekatan mendasar dalam suatu rangkaian perencanaan, yaitu: (1) Pendekatan Politik, yakni memandang bahwa pemilihan Kepala Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang

ditawarkan masing-masing calon Kepala Daerah; (2) Pendekatan Teknokratik, yaitu dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu; (3) Pendekatan Partisipatif, yaitu dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Keterlibatan mereka adalah untuk

mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki; dan (4) Pendekatan Atas-

Bawah (Top-Down) dan Bawah-Atas (Bottom Up), yaitu dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Pada dasarnya perencanaan pembanguna yang dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni perencanaan makro, sektoral dan regional yang mempunyai implikasi administratif berbeda, sesuai lingkup dan kewenangan masing-masing dalam rangka penyelenggaraan pambangunan nasional. Ditinjau dari sisi inilah dimensi ruang dan daerah menjadi penting artinya dalam perencanaan pembangunan, dan sebaliknya perencanaan pembangunan daerah menjadi penting dalam rangka pembangunan nasional. Oleh sebab itulah kemudian sering disebutkan bahw apembangunan daerah pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Apabila perencanaan pembangunan dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dalam administrasi pembangunan, ada beberapa aspek dari dimensi ruang dan daerah yang berkaitan dengan administrasi pembangunan daerah, yaitu: (1) Aspek regionalisasi atau pewilayahan; (2) Aspek ruang yang akan tercermin dalam penataan ruang; (3) Aspek otonomi daerah; (4) Aspek partisipasi masyarakat dalam pembangunan; dan (5) Aspek keragaman dalma kebijaksanaan. Keterkaitan antara perencanaan pembangunan nasional dengan perencanaan pembangunan daerah (PPD) atau perencanaan pengembangan wilayah (PPW), tercermin dari esensi dan kebutuhan PPD/PPW dalam konteks perencanaan pembangunan nasional. Mengapa diperlukan perencanaan wilayah atau kebijakan pengembangan wilayah, pada dasarnya terkait dengan aspek lokasi. Dalam hal ini, perencanaan wilayah bukan hanya menentukan kebijaksanaan pengembangan ekonomi dan sosial serta penentuan sektor-sektor yang harus dikembangkan, tetapi berkaitan dengan lokasi atau berkaitan dengan pertanyaan dimana suatu aktivitas akan diletakkan. Mengapa persoalan dimana ini penting? Karena suatu negara bukanlah suatu wilayah homogen. Tujuan perencanaan wilayah adalah: (1)

mengurangi kesenjangan; (2) pengintegrasian ekonomi wilayah ke dalam sistem ekonomi nasional; (3) efisiensi dalam penentuan lokasi aktivitas; (4) alokasi investasi di wilayah yang diarahkan agar mendapat kesempatan untuk perkembangan ekonomi nasional lebih lanjut; dan (5) keseimbangan antarwilayah, pertumbuhan nasional. Selain esensi dan kebutuhannya, keterkaitan antara perencanaan

pembangunan nasional yang bersifat makro dengan perencanaan pembangunan daerah yang bersifat regional, dapat dilihat dari perbedaan utama dalam wilayah perencanaannya. Perbedaan utama antara daerah atau wilayah dalam suatu negara dengan negara atau wilayah nasional adalah dalam keterbukaannya. Perbedaan yang lain antara negara dan wilayah terletak pada tujuannya. Tujuan perencanaan ekonomi nasional adalah mengendalikan inflasi srta kebijaksanaan stabilisasi ekonomi, sedangkan perencanaan wilayah bertujuan untuk perkembangan ekonomi wilayah jangka panjang, distribusi penduduk dan kegiatan ekonomi yang efisien, dan kualitas lingkungan yang baik serta berkesinambungan. Dengan perbedaan dalam tujuan seperti di atas maka isi dari perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah/wilayah pun menjadi berbeda. Perbedaan terpenting adalah dalam perencanaan wilayah, dimensi ruang (spatial dimension), menjadi sangat penting. Dalam kaitannya dengan kepentingan dan kewenangan, ada perencanaan perbedaan kepentingan dan kewenangan dalam penataan ruang antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan UU No.22/1999 (yang telah diamandemen menjadi UU No. 32/2004) tentang Pemerintahan Daerah, pada dasarnya hampir seluruh kewenangan urusan pemerintahan, termasuk penataan ruang, diserahkan kepada daerah (kabupaten dan kota), kecuali urusan yang ditetapkan menjadi kewenangan pusat dan provinsi. Persoalan dalam penataan ruang umumnya mencul karena adanya ketidaksesuaian antara kepentingan dan kewenangan. Ada potensi persoalan bila kepentingan suatu pihak (jenjang pemerintah) ternyata berada di bawah kewenangan pihak (jenjang

pemerintah) lain. Kewenangan utama penataan ruang berbanding terbalik dengan jenjang pemerintahan, karena makin tinggi jenjang pemerintahan, makin terbatas kewenangan utamanya. Dasar pertimbangan dan criteria yang secara umum dapat menjadi dasar perumusan kepentingan Pusat dan Provinsi antara lain: pertumbuhan ekonomi, pemerataan pelayanan, efisiensi investasi publik, swasembada,

keberlanjutan, keadilan, dan kesesuaian fungsi. Dalam konteks wilayah, perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah atau perencanaan wilayah (provinsi, kabupaten), dan perencanaan wilayah perkotaan (perencanaan kota), ketiganya saling berkaitan. Perencanaan wilayah mempengaruhi perencanaan kota, perencanaan kota pun tidak dapat mengabaikan perkembangan wilayah tempat kota tersebut berada. Di dalam perencanaan kota, perencanaan wilayah (provinsi, kabupaten) berperan dalam menentukan fungsi kota tersebut dalam struktur tata ruang wilayah yang melingkupinya. Fungsi serta kedudukan kota tersebut di dalam wilayah menentukan seberapa besar perkembangan kota akan terjadi, serta fasilitas-fasilitas apa yang harus disediakan oleh kota yang sifatnya melayani wilayah yang melingkupinya.

BAB 6 Bentuk dan struktur internal kota Tinjauan terhadap kota sebagai area menempatkan kota dalam wujud struktural dan pola pemanfaatan ruangnya secara internal. Dalam hal ini yang menjadi fokus adalah unsur-unsur pembentuk struktur tata ruang kota atau kawasan perkotaan, yang terdiri dari pusat kegiatan/pelayanan, kawasan fungsional perkotaan, dan jaringan jalan. Sebagai suatu area, kota dengan berbagai unsur dan keterkaitannya merupakan sistem yang kompleks. Hal ini karena struktur dan pola pemanfaatan

ruang kota merupakan suatu produk sekaligus proses dari perkembangan kota yang berlangsung lama, baik direncanakan maupun tidak. Secara konsepsional, unsur-unsur pembentuk struktur tata ruang kota telah dikemukakan oleh banyak pakar. Menurut Doxiadis, perkotaan atau permukiman kota merupakan totalitas lingkungan yang terbentuk oleh 5 unsur, yakni alam (nature), individu manusia (antropos), masyarakat (society), ruang kehidupan (Shells), dan jaringan (Network). Dalam perspektif yang berbeda, menurut Patrick Geddes, karakteristik permukiman sebagai suatu kawasan memiliki unsur: place (tempat tinggal); Work (tempat kerja); Folk (tempat bermasyarakat). Kus Hadinoto mengadaptasinya menjadi 5 unsur pokok, yaitu: Wisma, tempat tinggal (perumahan); Karya: tempat bekerja (kegiatan usaha); Marga, jaringan pergerakan, jalan; Suka, tempat rekreasi/hiburan; dan Penyempurna, prasarana sarana. Unsur pembentuk struktur tata ruang kota dapat pula dipahami secara persepsional seperti yang dikemukakan oleh Kevin Lynch yang menyatakan sifat suatu objek fisik yang menyebabkan kemungkinan besar membuat citra (image) yang kuat pada setiap orang. Menurutnya, ada lima unsur dalam gambaran mengenai kota: Path, Edge, District, Node dan Landmark. Kota sebagai suatu sistem spasial dapat dipandang sebagai wujud structural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak, yang mencirikan kawasan dengan kegiatan utama bukan-pertanian. Sebagai wujud struktural pemanfaatan ruang, kota terdiri dari susunan unsur-unsur pembentuk kawasan perkotaan secara hierarkis dan structural berhubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang kota. Dalam suatu kota terdapat hierarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan, seperti pusat kota, pusat bagian wilayah kota, dan pusat lingkungan; yang ditunjang dengan sistem prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan lokal.

Pola ruang kota adalah bentuk yang menggambarkan ukuran, fungsi, dan karakteristik kegiatan perkotaan. Ditinjau dari pola ruangnya, kota atau kawasan perkotaan secara garis besar terdiri dari kawasan terbangun kawasan tidak terbangun (RTH). Dalam hal ini kawasan terbangun adalah ruang dalam kawasan perkotaan yang mempunyai cirri dominasi penggunaan lahan secara terbangun atau lingkungan binaan untuk mewadahi kegiatan perkotaan. Jenis-jenis pemanfaatan ruang kawasan terbangun kota antara lain kawsan perumahan, kawasan pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, serta kawasan industri. Keragaman jenis pemanfaatan ruang kota bergantung pada fungsi kota tersebut dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Selain pusat-pusat pelayanan kegiatan perkotaan dan kawasan fungsional perkotaan, unsur pembentuk struktur tata ruang kota adalah sistem prasarana dan sarana sebagai kelengkapan dasar fisik yang memungkinkan kawasan permukiman perkotaan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Secara spesifik prasarana perkotaan yang paling berpengaruh terhadap struktur tata ruang kota adalah prasarana transportasi, yakni jaringan jalan. Jaringan jalan merupakan indikator utama morfologi kota sehingga dalam perencanaan tata ruang kota, pengembangan jaringan jalan tidak dapat dilepaskan dari pola pemanfaatan ruang yang ada atau ingin diwujudkan. Jaringan jalan dapat menjadi faktor yang mendorong perkembangan kegiatan, dan sebaliknya pengembangan suatu kegiatan memerlukan dukungan pengembangan jaringan jalan. Kota, sebagai suatu area dengan berbagai unsur dan keterkaitannya merupakan sistem yang kompleks. Struktur dan pola pemanfaatan ruang kota merupakan suatu produk sekaligus proses. Untuk memahaminya perlu pendekatan secara spasial, dengan didasarkan pada hasil kajian dalam bidang geografi perkotaan (urban geography). Tinjauan terhadap struktur tata ruang internal kota dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan antara lain pendekatan ekologikal, ekonomi, morfologi kota, dan sistem kegiatan.

Pendekatan ekologikal meninjau kota sebagai suatu objek studi dengan di dalamnya terdapat masyarakat yang kompleks, telah mengalami proses interrelasi antarmanusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Penduduknya adalah pola keteraturan penggunaan lahan kota. Dalam pendekatan ini terdapat tiga teori utama, yaitu: Teori Konsentrik, Teori Sektoral, dan Teori Pusat Jamak. Pendekatan ekonomi terhadap struktur tata ruang kota didasarkan pada pemahaman bahwa nilai lahan, rent dan cost mempunyai kaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan. Jalur dan simpul transportasi mempunyai peranan besar terhadap perkembangan kota. Dalam pendekatan ini, teori yag dapat menjelaskan perbedaan dalam pola penggunaan lahan adalah Teori Sewa Lahan dan Teori Nilai Lahan. Meskipun pola pemanfaatan ruang di perkotaan merupakan hasil dari aneka faktor alami dan manusiawi dapatlah dikatakan bahwa pada dasarnya semua itu merupakan produk belaka dari motivasi ekonomi. Pendekatan morfologi kota memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk fisikal kawasan perkotaan yang tercermin dari jenis penggunaan lahan, sistem jaringan jalan, dan blok-blok bangunan, townscape, urban sprawl, dan pola jaringan jalan sebagai indikator morfologi kota. Berdasarkan pendekatan ini, secara garis besar ekspresi keruangan kota dapat dilihat dari pola fisik atau susunan elemen fisik kota seperti bangunan dan lingkungan, sehingga bentuk kota dapat dibedakan antara bentuk kota yang kompak dan bentuk kota yang tidak kompak. Pendekatan sistem kegiatan secara komprehensif dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk memahami pola-pola perilaku dari perorangan maupun lembaga yang mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan di dalam kota. Dalam hal ini yang menjadi penekanan analisis adalah unsur-unsur utama perilaku manusia serta dinamika perilaku manusia yang kemudian di dalam proses interaksinya telah mengakibatkan terciptanya pola-pola keruanagn tertentu di dalam suatu kota. Dalam

pendekatan ini berusaha dipahami kota sebagai suatu sistem dan kekuatan-kekuatan dinamis yang mempengaruhi struktur tata ruang kota. Pemahaman terhadap berbagai pendekatan terhadap struktur tata ruang kota menjadi sangat penting, karena terkait dengan implikasinya dalam perencanaan tata ruang kota. Perencanaan tata ruang kota dalam hal ini dapat dipandang sebagai intervensi terhadap wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang berkembang secara alamiah berdasarkan kecenderungan. Dengan landasan pemahaman terhadap bentuk dan struktur tata kota inilah produk perencanaan tata ruang kota, dalam hal ini struktur dan pola pemanfaatan ruang kota sesuai yang diinginkan, dapat dirumuskan.

BAB 7 Perkembangan pendekatan dan paradigma baru dalam perencanaan kota Perencanaan kota pada dasarnya merupakan intervensi (campur tangan) terhadap perkembangan kota/kawasan perkotaan yang berlangsung pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan sosial-ekonomi yang menyertainya. Semakin pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan menjadi implikasi

pembangunan dan industrialisasi, sementara di sisi lain semakin terbatasnya lahan perkotaan serta msih belum terpenuhinya secara memadai pelayanan prasarana dan sarana perkotaan, menjadi tantangan dalam perencanaan kota. Perencanaan kota dapat digambarkan sebagai suatu aktivitas atau proses yang mengatur segala sesuatu sebelumnya serta member arahan pengendalian terhadap konsekuensi-konsekuensi dari semua tindakan yang diambil. Sebagai suatu disiplin, perencanaan kota merupakan aktivitas merencanakan suatu ruang tertentu, dalam hal ini kawsan perkotaan, dengan mempertimbangkan semua faktor fisik-tata ruang, ekonomi, sosial-kependudukan, sosial-budaya, yang mempengaruhi kota/kawasan perkotaan. Berbeda dengan manajemen perkotaan, perencanaan kota lebih

menyangkut antisipasi dan penyiapan ke masa depan, terutama dimensi spasial dan penggunaan lahan dari pembangunan perkotaan; sementara manajemen perkotaan lebih menyangkut aspek operasi pelayanan publik dengan berbagai jenis intervensi pemerintah yang akan mempengaruhi kondisi perkotaan secara luas. Sebagai suatu disiplin ilmu sekaligus profesi, perencanaan kota telah berkembang dan pada dasarnya merupakan campuran antara teori dan praktik. Dalam konteks ini telah berkembang berbagai pendekatan yang selama ini diterapkan dalam praktik perencanaan kota, baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Beberapa pendekatan dominan dalam praktik perencanaan kota, antara lain rational comprehensive planning, disjointed incremental approach, dan mixscanning approach; advocacy; planning; dan strategic planning. Rational comprehensive approach dasar dalam pertimbangan-pertimbangan analisisnya mencakup unsure/subsistem; dan masalah dilihat secara komprehensif, tidak terpilah. Disjointed incremental approach lebih mengutamakan pada unsure/subsistem tertentu yang perlu diprioritaskan tanpa memperhatikan wawasan yang lebih luas dan tidak perlu penelaahan serta evaluasi alternative rencana secara menyeluruh. Mixscanning approach merupakan pendekatan perencanaan terpilah berdasarkan pertimbangan menyeluruh, yang tetap mengacu garis kebijakan umum pada tingkat yang lebih tinggi. Advocacy planning berpandangan bahwa satu badan perencanaan tidak mungkin untuk mewakili kebutuhan masyarakat yang beragam, sehingga perencanaan harus memperjuangkan kepentingan-kepentingan berbagai kelompok masyarakat. Strategic planning memfokuskan pada tugas-tugas strategis yang jelas dan spesifik, berbeda dengan tujuan-tujuan yang luas dan tidak terfokus dari comprehensive planning; dengan karakteristik berorientasi tindakan, partisipatif, serta analisis terhadap lingkungan internal dan eksternal. Paradigma perencanaan tradisional yang mempunyai karakteristik:

Penekanan pada rencana jangka panjang dengan rencana lebih merupakan produk

daripada proses; penekanan pada rencana fisik, kualitas strategis yang rendah dan tidak adanya keterkaitan dengan pengguna; ternyata tidak dapat memecahkan masalah perkotaan secara mendasar. Padahal realitas perkotaan memasuki abad 21 ini ditandai dengan berbagai hal antara lain: Ledakan pertumbuhan perkotaan terutama di negara berkembang; Kemiskinan di perkotaan; Penurunan derajat kesehatan dan kesejahteraan; dan tidak ada kota pada bagian dunia manapun yang bebas dari persoalan. Realitas lain yang terkait dengan perkembangan kota adalah, pertama pengambilan keputusan dalam pembangunan kota lebih banyka dilakukan oleh perorangan atau organisasi, bukan semata-mata oleh pemerintah. Kedua, keterbatasan pemerintah dalam mempengaruhi sistem kota secara efektif sehingga aspek tersebut diserahkan kepada mekanisme pasar; Ketiga, adanya kendala keterbatasan sumberdaya yang dihadapi pemerintah, baik secara nasional maupun lokal (terutama keterbatasan finansial). Keempat, proses perencanaan bukan merupakan proses linier yang terdiri atas tahapan Survey-Plan-Action; melainkan suatu proses yang menerus dan iteratif. Kelima, adanya keterbatasan kapasitas institusi dalam perencanaan dan pelaksanaan rencana, terutama dalam kemampuan teknis tenaga ahli dan manajemen. Keenam, adanya keterbatasan kemampuan institusi pada perencanaan untuk menerapkan law enforcement dalam pengawasan pembangunan karena adanya

keterbatasan kapasitas administrasi, kemauan politik, dan kelemahan dalam sistem perundang-undangan. Dengan didasarkan pada: (1) Kritik terhadap perncanaan kota tradisional; (2) Pentingnya perencanaan kota dalam pembangunan berkelanjutan; (3) Perlunya peningkatan penyusunan rencana secara tradisional dan implementasinya; dan perlunya membuat perencanaan kota lebih efektif sehingga direkomendasikan perlunya paradigma baru dalam Perencanaan Kota yang mencakup beberapa unsur agar perencanaan kota lebih efektif, yakni (UNCHS, 1994): Partisipasi masyarakat; Keterlibatan seluruh kelompok yang berkepentingan; Koordinasi horizontal dan

vertical; Keberlanjutan; Kelayakan finansial; Subsidaritas; dan Interaksi perencanaan fisik dan perencanaan ekonomi. Dalam kaitannya dengan penerapan paradigma baru dalam perencanaan kota, prinsip-prinsip good governance, yang secara ringkas dapat diartikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan, secara efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat, menjadi sangat penting untuk diterapkan. Aspek utama good governance secara umum meliputi manajemen sektor publik, akuntabilitas, kerangka hokum dalam pembangunan, serta informasi publik dan transparasi. Karakteristik good governance meliputi: Partisipasi, kerangka hukumm, transparasi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efektif dan efisien, profesionalisme; serta berorientasi pada kosensus.

BAB 8 Proses dan produk perencanaan kota Perencanaan sebagai kegiatan untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, malalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia, dalam konteks kota/kawasan perkotaan dilakukan melalui serangkaian kegiatan atau langkah yang berurutan dan berkaitan satu sama lain dalam suatu proses perencanaan. Meskipun banyak model proses perencanaan yang dikemukakan berbagai ahli selama ini, secara generik proses perencanaan ini terdiri dari tahapan: (1) Pendefinisian persoalan; (2) Perumusan tujuan dan sasaran; (3) Pengumpulan data dan informasi; (4) Analisis; (5) Identifikasi dan evaluasi alternatif; (6) Implementasi; (7) Pemantauan; (8) Evaluasi. Dalam hal ini rencana merupakan rumusan kegiatan yang akan dilaksanakan secara spesifik di masa yang akan datang; produk dari suatu

proses perencanaan dalam bentuk blueprint yang mempresentasikan tujuan atau halhal yang ingin dicapai serta regulasi sebagai alay untuk mencapai tujuan. Karakteristik utama dari proses perencanaan yang perlu diperhatikan, adalah: bersifat siklis; kesatuan dalam ragam kegiatan/tahapannya; serta tiap tahapan tidak selalu dilakukan secara sekuensial. Pemahaman terhadap konsep perencanaan sebagai suatu proses mempunyai beberapa implikasi penting yang berkaitan dengan rencana sebagai produknya, sifat kontinuitasnya, serta peranan perencana yang terlibat di dalamnya. Dalam hal ini implikasi pertama adalah perencanaan lebih melibatkan banyak hal daripada sekadar membuat suatu dokumen rencana, karena rencana bukanlah tujuan akhir perencanaan, tetapi perangkat sebagai perwujudan cara untuk mencapai tujuan. Implikasi yang kedua, perencanaan dianggap sebagai suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus, bukan suatu proses yang dikerjakan sekali saja. Implikasi yang ketiga berkaitan dengan peran perencana yang sesungguhnya menyangkut pengertian yang luas bagi siapa saja yang terlibat dalam suatu jenis kegiatan perencanaan sehingga setiap orang yang terlibat sebagai seorang perencana haruslah bekerja erat dengan pihak lain yang terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan, termasuk di dalamnya para politisi, administrator/birokrasi, dan masyarakat secara umum. Pendefinisian persoalan merupakan titik mula dari siklus dalam proses perencanaan secara keseluruhan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan persoalan adalah kesenjangan (gap) antara apa yang ada dengan apa yang diinginkan. Berdasarkan pendefinisian persoalan secara benarlah kemudian tujuan (goals) dan sasaran (objectives) dapat dirumuskan. Tujuan dan sasaran dalam pengertian

umum merupakan ekspresi prioritas yang ingin dicapai dari kegiatan perencanaan yang dilakukan, yang formulasinya dilakukan pada tahap awal dari siklus perencanaan. Kegiatan perumusan tujuan dalam perencanaan kota diarahkan untuk menghasilkan suatu pernyataan yang bersifat kualitatif berkenaan dengan pencapaian

yang diinginkan dari hasil perencanaan/kebijaksanaan dan/atau keputusan, yang dapat menjadi pedoman nyata dalam menentukan tindakan yang sesuai untuk mencapainya. Tahap pengumpulan data dan informasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam perencanaan, karena perencanaan pada dasarnya merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang tidak dapat dilakukan tanpa didukung oleh informasi yang memadai. Dalam perencanaan, data atau informasi diperlukan untuk tiga tujuan utama, yaitu: (1) Identifikasi permasalahan dan perkembangan eksisting, sebagai dasar bagi perumusan kebijaksanaan/rencana; (2) Identifikasi dan evaluasi alternatif kebijaksanaan/rencana; (3) Sebagai umpan balik, untuk siklus proses perencanaan berikutnya. Didasarkan pada hasil pengumpulan data dan informasi, dilakukan analisis yang pada dasarnya merupakan pendekatan, metode, prosedur, atau teknik yang dilakukan untuk menelusuri kondisi historis dan kondisi sekarang dari wilayah perencanaan, untuk menentukan hal-hal yang dapat dilakukan dan kebijaksanaan, rencana atau program yang akan dirumuskan pada masa yang akan datang. Tahapan analisis mencakup analisis data dasar, analisis prakiraan, dan analisis untuk penyusunan skenario di masa datang. Dengan melakukan analisis, diharapkan diperoleh alternatif persoalan. Manakala atau pilihan tindakan yang mungkin untuk memecahkan terdapat serangkaian tindakan yang mungkin dapat

diidentifikasi, tahap selanjutnya dalam proses perencanaan adalah membandingkan secara rinci kelebihan dan kekurangan antaralternatif sehingga dapat memberikan informasi kepada pengambil keputusan untuk memilih alternatif terbaik, yang lazim disebut sebagai evaluasi alternatif. Alternatif terpilihlah yang kemudian

diimplementasikan. Implementasi atau pelaksanaan merupakan suatu proses penerjemahan atau perwujudan tujuan dan sasaran kebijaksanaan ke dalam bentuk program atau proyek spesifik. Dalam proses perencanaan, pelaksanaan adalah interaksi antara tujuan yang telah dirumuskan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapainya. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan rencana, antara lain: Sifat dari

proses perencanaan, organisasi perencanaan dan pelaksanaannya, isi atau contens rencana, dan manajemen proses pelaksanaan. Pemantauan dan evaluasi merupakan dua tahap terakhir dari proses perencanaan sebelum memulai siklus proses perencanaan baru. Pemantauan mengacu pada aktivitas untuk mengukur pencapaian (progress) dalam pelaksanaan suatu rencana, yang mempertautkan penyiapan rencana dengan pelaksanaannya. Pemantauan merupakan satu-satunya cara guna memperoleh informasi sampai sejauh mana rencana benar-benar dilaksanakan. Berdasarkan hasil pemantauan itu kemudian dilakukan evaluasi sebagai penilaian terhadap kinerja pelaksanaan rencana yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu (pada akhir pahe atau tahap tertentu dari pelaksanaan rencana), yang dapat berupa on-going evaluation dan evaluasi pasca pelaksanaan (expost evaluation). Kegiatan evaluasi dilakukan untuk mengidentifikasi lebih jauh sasaran yang sudah dicapai, dampak yang timbul, atau konsekuensi lainnya dari pelaksanaan rencana. Dengan evaluasi ini juga dapat diidentifikasi persoalan baru yang dapat menjadi fokus bagi siklus proses perencanaan selanjutnya. Aktivitas perencanaan kota, atau lebih spesifik perencanaan tata ruang kota, di Indonesia secara procedural mengacu pada Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (yang telah direvisi menjadi Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Khusus untuk kota/kawasan perkotaan, sebenarnya jauh sebelum undang-undang tersebut ditetapkan sudah ada prosedur buku, yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota dan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota. Dalam kedua ketentuan tersebut diatur berbagai jenis rencana tata ruang kota serta tata cara penyusunannya, yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mewujudkan peningkayan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat kota dalam mencapai kesejahteraan sesuai dengan aspirasi warga kota.

Dalam konteks kebutuhan suatu prosedur penyusunan rencana tata ruang, yang diatur kemudian adalah kawasan perkotaan. Dalam hal ini pada tahun 2002 telah ditetapkan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan, yang dimaksudkan untuk menyempurnakan dan melengkapi standar-standar dan acuan/pedoman penataan ruang yang telah ada maupun literature/studi yang telah ada, sebagai bahan rujukan kegiatan perencanaan penataan ruang. Secara procedural, Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dibedakan dalam 4 jenis rencana dengan tingkat kedalaman yang berbeda, yakni: (1) Rencana Struktur, sebagai kebijakan yang menggambarkan arahan tata ruang untuk Kawasan Perkotaan Metropolitan dalam jangka waktu sesuai dengan rencana tata ruang; (2) Rencana Umum, sebagai kebijakan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan; (3) Rencana Rinci, yang terdiri dari Rencana Detail dan Rencana Teknik. Ketentuan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan berbeda untuk tiap jenis rencana sesuai dengan hierarkinya, yang secara umum menyangkut dimensi waktu, skala/ketelitian peta, fungsi dan manfaat rencana, muatan/materi rencana, serta proses penyusunannya. Ditinjau dari prosesnya, penyusunan Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan, mancakup langkah-langkah: (1) penentuan arah pengembangan; (2) identifikasi potensi dan masalah pembangunan; (3) perumusan Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan; dan (4) penetapan Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan. Dalam proses penyusunan RTRW Kota/RUTR Kawasan Perkotaan dan RDTR Kawasan Perkotaan, ditempuh langkah-langkah: (1) Penentuan arah pengembangan; (2) Identifikasi potensi dan masalah pembangunan; (3) Perumusan rencana tata ruang; dan Penetapan rencana tata ruang.

Produk dari proses perencanaan adalah rencana sehingga output-nya dapat dipandang sebagai kumpulan substansi/materi rencana tersebut. Dalam konteks Perencanaan tata ruang di Indonesia, berbagai jenis rencana ini pada dasarnya mengacu pada prosedur yang berlaku sesuai dengan UU 24/1992 tentang Penataan Ruang. Rencana tata ruang sebagai produk dari proses perencanaan tata ruang sesuai dengan batasan wilayah administrasi, sehingga dikenal RTRW Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Untuk lingkup kota/kawasan perkotaa, prosedur yang berlaku, yakni: (1) Permendari No. 2/1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota; dan (2) KepMen Kimpraswil No.327/KPTS/M/2002 (antara lain tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan). Rencana tata ruang kota/kawasan perkotaan sebagai produk perencanaan tata ruang kota yang berlaku di Indonesia, sekurang-kurangnya terdiri dari 4 (empat) materi/substansi: (1) Rencana Pemanfaatan Ruang, menunjukkan alokasi ruang untuk mewadahi aktivitas yang akan dikembangkan; (2) Rencana Pengembangan Sarana, untuk mendukung setiap aktivitas yang memanfaatkan ruang; (3) Rencana Pengembangan Prasarana, untuk mendukung setiap aktivitas dan sarana; dan (4) Aspek Pelaksanaan dan Pengendalian, untuk mendukung terlaksananya ketiga produk rencana. Meskipun ada kesamaan materi/substansi rencana, tiap jenis/hierarki rencana tata ruang kawasan perkotaan berbeda dalam hal: (1) rincian substansi; (2) skala ketelitian peta; (3) periode atau jangka waktu rencana, legalisasi atau penetapannya, serta fungsi/manfaatnya. Sesuai dengan hierarkinya, rencana tata ruang kawasan perkotaan sebagaimana diatur dalam Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan, meliputi: (1) Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan, berisi kebijakan yang menggambarkan arahan tata ruang untuk kawasan perkotaan metropolitan; (2) Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/Rencana Umum Tata Ruang Kota Kawasan Perkotaan (RTRW Kota/RUTR kawasan

Perkotaan), yang berisi kebijakan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang dilindungi dan dibudidayakan serta diprioritaskan pengembangannya; (3) Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RDTR Kawasan Perkotaan), yang berisi pengaturan yang memperlihatkan keterkaitan antara blok-blok penggunaan kawasan untuk menjaga keserasian pemanfaatan ruang dengan manajemen transportasi kota dan pelayanan utilitas kota; dan (4) Rencana Teknik Ruang Kawasan Perkotaan (RTR Kawasan Perkotaan), yang berisi pengaturan geometris pemanfaatan ruang yang menggambarkan keterkaitan antara satu bangunan dengan bangunan lainnya, serta keterkaitannya dengan utilitas bangunan dan utilitas kawasan/kota.

BAB 9 Tantangan, kebijakan pembangunan perkotaan dan permasalahan dalam praktik perencanaan kota di Indonesia Indonesia seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya, sedang mengalami pertumbuhan perkotaan yang pesat. Berkaitan dengan pertumbuhan perkotaan yang pesat, beberapa isu atau tantangan yang dihadapi pemerintah daerah/kota antara lain isu globalisasi, urbanisasi, kemiskinan, dan lingkungan kota. Ditinjau dari lingkupnya, isu atau permasalahan pembangunan perkotaan pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu permasalahan dalam lingkup eksternal kota dan internal kota. Isu eksternal antara lain ketidakseimbangan pertumbuhan antara kota-kota besar, metropolitan dengan kota-kota menengah dan kecil; kesenjangan pembangunan antara desa dan kota; belum berkembangnya wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh; dan banyaknya wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan. Isu internal kota adalah permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam kota yang harus dihadapi oleh kota itu, antara lain: Kemiskinan,

kualitas lingkungan hidup, dan kapasitas daerah dalam pengembangan dan pengelolaan perkotaan. Ditinjau dari sifatnya dalam mempengaruhi perkembangan perkotaan, kebijakan perkotaan dapat dibagi dua, yakni kebijakan implisit dan kebijakan eksplisit. Kebijakan perkotaan secara implisit adalah kebijakan pembangunan yang tidak ditujukan untuk mengintervensi perkembangan perkotaan, namun dampaknya terhadap perkembangan perkotaan sangat besar. Sementara itu, kebijakan perkotaan eksplisit adalah kebijakan pembangunan yang secara spesifik ditujukan untuk melakukan intervensi pada perkembangan kota. Sifat kebijakan perkotaan harus berdasar pada kecenderungan perkembangan perkotaan, bukan tujuan akhir, melainkan untuk mencapai tujuan yang lebih luas, yaitu melayani tujuan pembangunan sosial ekonomi. Dalam hal ini, aspek kebijakan yang perlu diperhatikan: (1) Kebijakan pembangunan yang mampu mempengaruhi penyebaran penduduk; (2) Pengembangan sistem perkotaan yang mampu meningkatkan mobilitas penduduk; (3) Pengembangan hierarki perkotaan dengan besar dan kemampuan kota yang perlu diperhitungkan; (4) Pengembangan efisiensi kota dengan ukuran minimum penduduk kota merupakan tolak ukur pusat pertumbuhan wilayah; (5) Pengembangan sisitem perencanaan yang memeperhatikan segi koordinasi kegiatan; (6) Pengembangan konsep metropolitanisasi dengan pengaruh kota sudah menjangkau di luar batas wilayah administrasi kota. Dalam jangka panjang, sasaran pembangunan perkotaan di Indonesia pada PJP II adalah: (1) Terwujudnya keserasian dan keseimbangan pembangunan antara desa-kota, antardesa dan antarkota; (2) terwujudnya masyarakat kota yang sejahtera secara merata; (3) teratasinya masalah kemiskinan di perkotaan; (4) terwujudnya lingkungan perkotaan yang sehat serta lestari. Dalam konteks kebijakan pembangunan perkotaan di Indonesia, perlu adanya suatu Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan yang memiliki suatu kerangka

strategi: (1) Di tingkat lokal perlu strategi yang mengakomodir kondisi lokal dan variasi-variasi yang diperlukan; (2) Di tingkat nasional, perlu ada keserasian dan sinergitas; (3) Dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan nasional untuk menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah maka strategi pembangunan perkotaan pun perlu terdesentralisasi untuk mengakomodir kondisi dan aspirasi daerah serta dapat menjadi landasan program-program pembangunan daerah. Skenario dalam strategi nasional pembangunan perkotaan di Indonesia adalah mendorong perkembangan kota dengan memperhatikan besaran, potensi dan keterkaitan yang saling menguntungkan dengan kawasan sekitarnya secara selektif, yaitu: Mendorong kota-kota di luar Jawa untuk pengembangan industri pengolahan dan agrobisnis, dan kota-kota di Jawa untuk industri dan bisinis bersih, dan hemat ruang, air, serta sumberdaya alam lainnya. Dalam kaitan ini, maka strategi spasial pengembangan perkotaan nasional meliputi tiga komponen, yaitu: Tipologi dan fungsi kota-kota, pola keterkaitan dan aglomerasi kota-kota, dan prinsip umum pengelolaan kota sesuai dengan tipologi, fungsi dan keterkaitan kota-kotanya. Perencanaan kota di Indonesia yang merupakkan bagian sari proses penataan ruang kota, tidak terlepas dari pemanfaatan ruang sebagai implementasi rencana tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai kegiatan untuk menjaga kesesuaian antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang. Dalam praktik perencanaan tata ruang kota di Indonesia, seringkali terjadi benturan antara perencanaan tata ruang kota dengan berbagai kecenderungan yang menyertai perkembangan kota. Isu strategis dalam perencanaan tata ruang kota adalah bagaimana mengefektifkan rencana tata ruang agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kota sesuai dengan fungsi dan peranannya secara regional. Jika ditelusuri lebih jauh, permasalahan dalam praktik perencanaan kota di Indonesia, secara umum menyangkut tiga hal, yaitu: (1) permasalahan teknis penyusunan rencana tata ruang; (2) ketidakefektifan rencana tata ruang; dan (3) perbedaan pola pikir/persepsi tetang rencana tata ruang.

Permasalahan khusus dalam penataan ruang/pembangunan kota terkait dengan konsep penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pembangunan kota. Dalam hal ini perlu pemahaman terhadap aspek-aspek permasalahan spesifik yang mempengaruhi perwujudan pemanfaatan ruang kota sesuai dengan rencana yang ditetapkan, yang meliputi lima aspek, yaitu: manajemen lahan; lingkungan hidup perkotaan; prasarana perkotaan; pembiayaan dan investasi; serta kerjasama pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dampak perkembangan perkotaan dalam kaitannya dengan keterbatasan ruang perkotaan antara lain adalah konflik ruang, kebutuhan vs tidak efektifnya rencana tata ruang. Dalam konteks ini, maka isu strategis yang menyangkut manajemen lahan adalah bagaimana mengefektifkan manajemen lahan untuk dapat menunjang implementasi rencana tata ruang kota, melalui instrument: Peraturan pemanfaatan lahan, kebijaksanaan perpajakan, keterlibatan langsung masyarakat. Berdasarkan kondisi saat ini dan kecenderungan di masa mendatang dapat diidentifikasikan permasalahan strategis lingkungan hidup di perkotaan, yang meliputi: Limbah rumah tangga, sampah, emisi kendaraan, dan polusi industri. Keempat permasalahan ini dianggap strategis, karena dapat menurunkan terjasinya masalah-maslah ikutan. Pengelolaan lingkungan perkotaan tidak dapat dibatasi oleh wilayah administratif, tetapi harus dilihat dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang lebih luas. Selain itu, pengelolaan lingkungan perkotaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan aspek-aspek pembangunan kota lainnya. Rencana kota seringkali tidak efektif untuk mengarahkan pengembangan prasarana perkotaan, karena jaringgan prasarana yang ada tidak memadai untuk mendukung pertumbuhan kota, dan pengembangan prasarana yang terpaksa mengikuti perkembangan yang sudah terjadi. Keterkaitan antara prasarana perkotaan dengan tata ruang kota dapat dilihat dari kenyataan bahwa: (1) Jaringan prasarana membutuhkan lahan, sehingga harus efisien; (2) sistem jaringan ini menjadi kerangka

bagi struktur dan pola pemanfaatan ruang kota; (3) sistem jaringan tidak terikat pada batas administrasi kota. Dalam kaitan ini, maslah yang terkait dengan prasarana perkotaan mencakup: (1) Masalah teknis, kesulitan dalam praktik dan prosedur perencanaan untuk mengkaitkan rencana tata ruang kota dengan pembangunan sistem prasarana; (2) masalah kewenangan, daerah kurang memahami dan berperan dalam koordinasi dan pemberlakuan Rencana Tata Ruang Kota; (3) masalah pendanaan oleh lembaga sektoral prasarana masing-masing; dan (4) masalah teritorial, tiap jenis prasarana dengan sistem teritori yang berbeda-beda. Permasalahan dalam aspek pembiayaan yang terkait dengan perencanaan kota adalah: (1) Kapasitas rencana belum mampu untuk mengakomodasi sistem ekonomi kota, memberikan indikasi nilai ekonomi lahan, memberi arah pembangunan jangka pendek/menengah, mendorong pengelola untuk mengeluarkan kebijakan pendukung; (2) Pola pikir lahan terbatas dan kurang; padahal permintaan dinamis, mengacu kepada kebutuhan pemerintah; (3) Sistem pendanaan belum terkait kepada rencana kota; (4) Intervensi pusat, ketergantungan daerah; dan (5) Alokasi pemanfaatan yang seringkali tidak didasarkan kepada kebutuhan pembangunan, tetapi kepada kebutuhan dinas/sektor. Permasalahan yang menjadi alasan perlunya kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat adalah keterbatasan pemerintah sementara pihak swasta dan masyarakat lebih berpotensi. Rencana yang melibatkan pihak swasta dan masyarakat akan lebih efektif untuk menjadi daar kerjasama. Dalam pengembangan konsep kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat, perlu dipahami adanya kepentingan yang berbeda antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ditinjau dari bidangnya kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, potensial dilakukan untuk kegiatan pengembangan lahan skala besar serta pembangunan prasarana dan pelayanan jasa lain. Pembangunan prasarana dan pelayanan kota yang dapat dikerjasamakan antara lain adalah pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut,

pelabuhan udara, sistem transportasi, air minum, persampahan, pariwisata, industri, dan pasar/pusat perbelanjaan.

Anda mungkin juga menyukai