Anda di halaman 1dari 15

PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN, PERENCANAAN DAN

PERANCANGAN KAWASAN PERKOTAAN


(STUDI DI KOTA TUAL)

Usman A. Matdoan
Prodi Administrasi Negara STIA Darul Rachman Tual
Upangusman@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat keterkaitan antara proses perumusan
kebijakan, perencanaan dan perancangan perkotaan yang difokuskan di Kota Tual. Hasil
penelitian menunjukan bahwa perpaduan diantara tiga indikator diatas memperlihatkan
suatu korelasi yang positif dimana kota Tual mengalami sebuah perubahan dari sisi
pembangunan kota dan kawasan yang kearah yang lebih baik.

Kata Kunci : Kebijakan, Perencanaan dan Percangan Kawasan

PENDAHULUAN
Kota adalah tujuan dan kenangan terakhir dari perjuangan dan kemuliaan kita. Ia
adalah dimana kebanggaan dari masa lalu untuk di pamerkan (Kostof dalam Bambang
Heryanto, 2011). Dari segi historis semangat urban atau perpindahan dari wilayah
perdesaan ke wilayah perkotaan suda terjadi sejak lama, misalnya semangat masyarakat di
kota-kota Mesopotamia pada masa peradaban awal sampai dengan masyarakat kontemporer
di kota-kota megapolitan saat ini, membentuk wajah kota beraneka ragam melalui kegiatan
yang dilakukan dalam kehidupannya. Wajah kota-kota selalu beruba dan bentuk akhirnya
mencerminkan karakter budaya, sosial, politik dan ekonomi yang dianut masyarakatnya.
Terbentuknya wajah kota yang merupakan perwujudan unsur-unsur karakteristik kota,
seperti bentuk bangunan, tata pola jalan, pola tataguna tanah, ruang terbuka, selain
dipengaruhi oleh lingkungan alam masyarakat, juga terwujud dari suatu proses
pengambilan keputusan oleh pemegang otaritas pada masa pemerintahannya (Bambang
Heryanto, Ibid, 2011).
Suasana karakteristik kota selalu diingat dan menjadi tujuan hidup bagi sebagian
besar masyarakat, baik usia anak-anak, muda dan tua. Kota dengan keanekaragaman unsur-
unsur yang spesifik serta nuansa kehidupannya yang kadang-kadang unik sering kali
menjadi perhatian banyak kalangan termasuk kalangan seniman, sehingga hal ini memicu
perhatiannya dari sudut pandangannya yang berbeda dan beragam. Bentuk kota adalah
wujud terakhir dari akumulasi peningkatan jumlah penduduk, perilaku, kegiatan, serta

1
kebijakan-kebijakan yang dibuat penduduk dan pemerintahnya. John Brickerhoff Jakson
(1984 : 12) menulis dalam bukunya “Founding Vernaculer Landscope” bahwa bentuk kota
adalah citra dan kehidupan kemanusiaan kita yaitu kerja keras, harapan yang tinggi dan
kebersamaan untuk saling berkasih sayang, dalam pandangan ini, kota adalah suatu tempat
tinggal manusia yang merupakan manifestasi dari hasil perencanaan (planning) dan
perencangan (design) yang dipenuhi oleh berbagai unsur seperti bangunan, jalan, dan ruang
terbuka. Dengan demikian, suatu kota adalah hasil dari nilai-nilai perilaku manusia dalam
ruang kota yang membuat pola kuntur visual dari lingkungan alam menjadi tertata secara
lebih baik.
Rob Krier (2005), dalam studi perencangan kota, melihat bentuk fisik kota sebagai
suatu ruang kegiatan. Ia mengambil kesimpulan ini berdasarkan kajiannya tentang unsur-
unsur bentuk, tipologi dan morfologi suatu kota, yang meliputi lapangan, jalan, ruang
terbuka dan kelompok bangunan. Unsur lainnya yang membentuk rajutan suatu kota dan
penggunaan tanah, seperti diusulkan Rob Krier (2005, Ibid) dinyatakan olehnya sebagai
tempat tinggal. Para geographer dan perancang Landscope menyamakan pendapat
mengenai bentuk kota dengan terminilogi sebagai “landscope kota”.
Dari paparan diatas, dapat difahami bahwa penataan suatu kota terkonsolidasi dari
berbagai aspek, misalnya aspek kebijakan (policy), perencanaan (planning), perancangan
(design), nilai sosio kultural, politik, ekonomi dan lain sebagainya yang ditata dan dikelola
secara terstruktur untuk menciptakan kota sebagai pusat peradaban. Namun demikian
aspek-aspek tersebut sering menjadi magnit bagi kelompak masyarakat urban untuk melihat
kota sebagai tempat yang layak untuk memperoleh sumber-sumber penghidupan yang lebih
layak pula, dengan demikian tidak jarang kerapkali ditemukan dikota dengan berbagai
karakteristik warga kota yang hetoregen, tidak seperti homogenitas masyarakat di
pedesaan.
Aspek spacial (penataan tata kota berdasarkan fungsi kawasan) seringkali
terabaikan dalam proses perancangan kota, sehingga tidak jarang ditemukan adanya
tumpangtindi dan kesemrautan dalam penataan kawasan kota . Masyarakat kota dengan
tingkat kesibukan dan mobilitas yang tinggi membuatnya tidak terlalu memiliki perhatian
serius terhadap aspek spacial (penataan tata kota berdasarkan fungsi kawasan), padahal
persoalan ini menjadikan kawasan kota menjadi tertata dan terstruktur berdasarkan
fungsinya masing-masing, memperkecil kesemrautan, Landscope kota menjadi tertata, kota
menjadi indah dan sebagainya. Penataan dan pemetaan kota berdasarkan konsep spacial
(penataan tata kota berdasarkan fungsi kawasan) sesunggunya menjadi bagian yang sangat

2
penting dalam proses perumusan kebijakan (policy) dan perencanaan pembangunan
(planning) perkotaan, dan pada bagian ini pemerintah termasuk pemerintah daerah
haruslah berperan aktif dalam merumuskan kebijakan serta membuat perencanaan yang
benar-benar bermuara pada suatu srtuktur penataan kota yang lebih artistik, indah dan
tertata rapi, sehingga kota benar-benar memiliki daya tarik, terkesan serta memiliki cerita
tersendiri bagi setiap orang yang mengunjunginya.
Dalam perspektif diatas, kajian ini mencoba untuk menelaah struktur penataan
kota Tual dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan dikaitkan dengan rumusan
kebijakan dan perencanaan penataan kota Tual sebagai suatu daerah otonom baru. Kota
Tual sebagai daerah otonom, pemerintah daerah memiliki kewenangan dan otoritas yang
kuat untuk merumuskan kebijakan dan merencanakan bagaimana sebaiknya penataan
srtuktur dan kawasan perkotaan yang lebih baik dan tertata rapi.
Secara sepintas penataan kota Tual dari segi spacial (fungsi kawasan) hampir
terlihat berjalan dengan baik sesuai gran design atau master plan pembangunan kota Tual.
Ini artinya bahwa pembangunan (infrastruktur) kota Tual dari segi kawasan telah
terstruktur dan tertata secara baik, dimana telah dibuat pemataan kawasan berdasarkan
fungsinya masing-masing, misalnya kawasan perkantoran dan pendidikan terpusat pada
areal tertentu, yang secara fungsional memudahkan urusan-urusan administrasi yang
menjadi kebutuhan masyarakat, kawasan ekonomi (pasar, pusat-pusat pembelanjaan)
berada pada kawasan tertentu yang muda diakses oleh masyarakat, lokasi pemukiman
penduduk juga berada bada areal-areal khusus, yang sesunggunya tidak berhimpitan
langsung dengan areal perkatoran, areal pendidikan, pasar dan pusat atau sentrum
perekonomian warga.
Berdasarkan beberapa hasil wawancara dapat ditarik suatu pemahaman bahwa
pada beberapa sudut dan kawasan kota masih terlihat adanya perhimpitan antara kawasan
pemukiman penduduk, areal perkantoran, areal pendidikan serta kawasan pasar, hal ini
apabila tidak direncanakan dan dirumuskan kebijakan tentang pemataan pemanfaatan
kawasan secara lebih terstruktur maka akan berdampak terhadap struktur tata-kota dari
segi pemanfaatan kawasan, dan pada akhirnya akan menimbulkan kompleksitas persoalan
perkotaan seperti macet, banjir, tidak berfungsinya saluran air, yang sesungguhnya
memiliki efek ikutan sosial ekonomi lainnya yang berdampak pula terhadap pemataan
struktur kota Tual dimasa-masa yang akan datang.

KAJIAN PUSTAKA
1. Konsep dan Pengertian Kebijakan Publik

3
Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan
mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan
oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Untuk
memahami lebih jauh bagaimana kebijakan publik sebagai solusi permasalahan yang
ada pada masyarakat, kita harus memahami dulu apa dan seperti apa kebijakan publik
itu sendiri. Berikut adalah definisi-definisi kebijakan publik menurut para ahli kebijakan
public, sebagai berikut :
Thomas R. Dye (2003), Kebijakan publik adalah apa yang tidak dilakukan
maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Pengertian yang diberikan Thomas R. Dye ini
memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Selain itu, kajiannya yang hanya terfokus pada
negara sebagai pokok kajian.
Easton (2001), Mendefinisikan kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai
kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam pengertian
ini hanya pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan
tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang
merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Dye (2000), Mendefinisikan kebijakan publik sebagai “Whatever governments
choose to do or not to do.”, yaitu segala sesuatu atau apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dye juga memaknai kebijakan publik
sebagai suatu upaya untuk mengetahui apa sesungguhnya yang dilakukan oleh
pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan apa yang menyebabkan mereka
melakukannya secara berbeda-beda.
Dia juga mengatakan bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan suatu
tindakan, maka tindakan tersebut harus memiliki tujuan. Kebijakan publik tersebut harus
meliputi semua tindakan pemerintah, bukan hanya merupakan keinginan atau pejabat
pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun
termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang tidak dilakukan oleh
pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan
oleh pemerintah.
David Easton (2001), Mendefinisikan public policy sebagai : “The authoritative
allocation of value for the whole society, but it turns out that only theg overnment can
authoritatively act on the ‘whole’ society, and everything the government choosed do or
not to do result in the allocation of values.” Maksudnya, public policy tidak hanya
berupa apa yang dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi juga apa yang tidak dikerjakan

4
oleh pemerintah karena keduanya sama-sama membutuhkan alasan-alasan yang harus
dipertanggungjawabkan.
Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan
Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah
yang menjadi perhatian publik. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah
sebagian disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan
menyelesaikan.
persoalan publik. Kegagalan tersebut adalah information failures, complex side
effects, motivation failures, rentseeking, second best theory, implementation failures
(Hakim, 2002). Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga
tingkatan, yaitu kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis
operasional. Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat
dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi :
1. Pembuatan kebijakan,
2. Pelaksanaan dan pengendalian, serta
3. Evaluasi kebijakan.
Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas
dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai
proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling
tergantung, yaitu :
1. Penyusunan agenda,
2. Formulasi kebijakan,
3. Adopsi kebijakan,
4. Implementasi kebijakan, dan
5. Penilaian kebijakan.

Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai


berikut:
Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami
hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam
hubungan sebab akibat.
1. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai
melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
2. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang
mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

5
3. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang
dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam
berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model
simbolik, dan lain-lain.
4. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan
konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat
dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi,
peranserta masyarakat, dan lain-lain.
5. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria
dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat
efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
6. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian
alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal
dan dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.

2. Perencanan dan Perancangan (design) Kota dan Wilayah


a. Pengertian dan Konsep Perancangan Kota
Ada suatu kesalahan persepsi, baik secara pendefinisian, maupun secara
pemaknaan terhadap Perancanan Kota (Urban Design), yaitu yang selama ini
dianggap suatu arsitektur besar, yang muncul sebagai akibat dibangunnya proyek-
proyek berskala besar oleh swasta, disamping itu juga sering dianggap sebagai suatu
usaha vpengindahan kota', seperti misalnya penanaman pohon-pohon, penghias
jalan, trotoarisasi, dan sejenisnya, yang lebih cenderung bersifat sebagai dekorasi
kota. Namun demikian, pada dasarnya Urban Design berkaitan erat dengan
kebijakan dalam perancangan fisik kota, yang melibatkan sekelompok orang dalam
suatu kurun waktu tertentu, disamping juga berkaitan erat dengan rnanajemen
pembangunan fisik kota, baik dalam lingkungan alarni, maupun linakungan binaan
(Shirvani).
Menurut Catanese dan Snyder, pada hakekatnya Urban Design adalah suatu
jembatan antara profesi perencanaan kota dan arsitektur, yang perhatian utamanya
adalah pada bentuk fisik wilayah perkotaan. Dalam hai in; Catanese dan Snyder
menjelaskan posisi urban design dalam proses perencanaan dan perancangan dalam
skala makro.

6
Perancangan kota adalah sebutan yang diterima secara umum untuk suatu
proses yang ditujukan untuk menghasilkan arahan perancangan fisik dari
perkembangan kota, konservasi dan perubahan. Di dalamnya termasuk
pertimbangan lansekap lebih dari pada bangunannya, preservasi dan pembangunan
baru; perdesaan yang perkembangannya dipengaruhi kota, rencana lokal, renovasi
kota oieh pemerintah serta kepentingan lokal (Barnet, 2002:12).
Menurut Adisasmita, R. (2008). perancangan kota adalah proses dari konsep
dan realisasi arsitektur yang memungkinkan penguasaan pengaturan formal dari
perkembangan kota, yang menyatukan perubahan dan kemapanan. la adalah
pertengahan dari praktek arsitek yang berkonsentrasi pada konsep formal dan
realisasi arsitektural dalam konstruksi bangunan dan perancang kota yang
berkonsentrasi pada pembagian dan penggunaan yang kurang sempurna dari
sumber-sumber kepemilikan dan penghancuran yang tidak perlu dari bagian-bagian
bersejarah sehingga terintegrasinya kesatuan dan keindahan dalam lingkungan
terbangun.
Kekeliruan yang sering dilakukan dalam urban planning menurut
Danisvvoro adalah melihat kota sebagai 'subyek fisik' bukan sebagai 'subyek sosial'.
Sebuah kota tidak hanya direncanakan, melainkan dirancang. Berdasarkan ha!
tersebut, beliau mendefinisikan urban design sebagai berikut:
a. Urban Design merupakan jembatan yang diperlukan untuk
menghubungkan secara layak, berbagai kebijaksanaan perencanaan kota
dengan produk-produk perancangan fisiknya.
b. Urban Design merupakan suatu proses yang memberikan arahan, bagi
terwujudnya suatu lingkungan binaan fisik yang Iayak dan sesuai dengan
aspirasi masyarakat, kemarnpuan sumber daya setempat, serta daya dukung
lahannya.
Definisi dari Danisworo tersebut merupakan suatu gabungan definisi antara
Shirvani dengan Catanese & Snyder, yang menjelackan posisi urban design dalam
lingkup perancangan kota. Disamping itu, ia juga menjelaskan arah dan tujuan dan
proses tersebut.
Urban Design menurut Andy Siswanto sebenarnya adaiah sebuah disiplin
perancangan yang merupakan pertemuan dari arsitektur, perencanaan dan
pembangunan kota. Lebih jauh lagi, Urban Design adalah menterjemahkan kedua
bidang riset perkotaan dan arsitektural sedemikian rupa, sehingga ruang dan

7
bangunan perkotaan dapat dimanfaatkan, sosial, artistik, berbudaya dan optimal
secara teknis maupun ekonomis
Namun demikian, terkadang definisi Urban Design banyak disalahartikan,
dimana arsitek sendiri sering terkonsentrasi pada perancangan bangunan sebagai
sosok tunggal yang terisolasi dari kawasan, tidak merespon dan, terintegrasi
dengan tipologi morfologi arsitektur, serta struktur fisik kawasan. Pendapat ini
sama dengan Danisworc yang mendefinisikan urban design berdasarkan posisinya
dalam proses perancangan suatu kota, dan menjelaskan fungsi clan tujuan dari proses
tersebut
Disain kota atau Urban Design, dapat didefinisikan sebagai bagian dari
rangkaian perencanaan kota, yang rnenyangkut seal estetika, yang akan mengatur dan
menata bentuk serta penampilan dari suatu kota (Djoko Sujarto). Pendapat ini
berbeda dengan beberapa definisi diatas, Djoko Sujarto lebih menekankan
pandangannya pada segi estetika.
Berdasarkan atas beberapa analisa tersebut, banyak ditemui adany kesamaan-
kesamaan pandangan persepsi, mengenai pengertian dan definisi dari urban design,
antara lain:
a. Lebih menekankan pada aspek perancangan secara fisik, daripada perencanaan.
b. Lebih condong pada suatu nilsi estetis, daripada fungsi dan penampilan fisiknya.
c. Sama-sama menekankan pada aspek saling keterkaitan dalam proses
perancangan, antara dampak yang satu dengan yang lainnya.
Disamping beberapa kesamaan pandangan tersebut, ada pula beberapa
perbedaan yang dapat ditemukan, terutama dalam hal penekanan masalah yang
rnenyangkut pengertian dan definisi Urban Design, yaitu antara lain:
a. Shirvani dan Danisworo, lebih menekankan pada kebijakan dan manajemen
pembangunan, dalam perancangan fisik kota.
b. Catanese dan Snyder dalam definisinya, lebih menekankan pada kebijakan dan
manajemen pembangunan, dalam perancangan fisik kota.
c. Andy Siswanto dan Djoko Sujarto iebih menekankan urban design dalam
posisinya, yaitu sebagai suatu penghubung antara dua disiplin ilmu, yang menjadi
bagian dari suatu proses perancangan kota.
d. Jo Santoso iebih menekankan pada latar belakang dari timbulnya proses
perancangan tersebut, dibandingkan dengan pembahasan tentang proses itu sendiri.

8
Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya urban design
adalah merupakan suatu disiplin perancangan, yang merupakan suatu jembatan antara
perencanaan kota dan arsitektur, dan berkaitan erat dengan kebijakan dalam perancangan
dan manajemen pembangunan fisik kota, yang perhatian utamanya adalah pada bentuk fisik
kota dan lingkungannya, baik daiam bentuk lingkungan alami, maupun lingkungan binaan,
yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, kernampuan sumberdaya setempat, serta daya
dukung lahannya, dan diatur sedemikian rupa, sehingga ruang dan bangunan perkotaan
tersebut dapat dimanfaatkan, sosial, artistik, berbudaya dan optimal, secara teknis maupun
ekonomis.
c. Tata Guna Lahan (Land Use)
Tata guna lahan merupakan elemen pokok dalam urban design yang menentukan
dasar perancangan dalam dua dimensi demi terciptanua ruang tiga dimensi. prinsip
Land Use itu sendiri merupakan pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan
pilihan yangterbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga kawasan tersebut
berfungsi dengan seharusnya. (Sumber: Perancangan Kota, Urban Desain).

Tata Guna Lahan merupakan rancangan dua dimensi berupa denah peruntukan
lahan sebuah kota. Pada prinsipnya, pengertian land use (tata guna lahan) adalah
pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam
mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga dapat memberikan gambaran ke- seluruhan
bagaimana daerah-daerah pada suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi.
(Sumber: Tugas Perancangan Kota, Universitas Diponegoro)

d. Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form and Massing)


Bentuk dan massa bangunan dapat ditentukan oleh tinggi dan besaran bangunan.
Prinsip-prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan bentuk dan massa
bangunan meliputi:
a. Scale, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi, dan dimensi
bangunan sekitar.
b. Urban Space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas, dan tipe-tipe
ruang.
c. Urban Mass, meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang
dapat tersusun untuk membentuk urban space dan pola akti tas dalam skala
besar dan kecil. (Sumber: Perancangan Kota, Urban Desain).

9
Building form and massing membahas mengenai bagaimana bentuk dan massa-
massa bangunan yang ada dapat membentuk suatu kota serta bagaimana hubungan
antar-massa(banyak bangunan) yang ada. Building form and massing dapat meliputi
kualitas yang berkaitan dengan penampilan bangunan, yaitu : ketinggian bangunan,
kepejalan bangunan, KLB, KDB, garis sempadan bangunan, langgam, skala,
material, tekstur, warna.

e. Sirkulasi dan Perparkiran


Sirkulasi adalah elemen perancangan kota yang secara langsung dapat
membentuk dan mengkontrol pola kegiatan kota, sebagaimana halnya dengan
keberadaan sistem transportasi dari jalan publik, pedestrian way, dan tempat-tempat
transit yang saling berhubungan akan membentuk pergerakan. Sirkulasi kota meliputi
prasarana jalan yang tersedia, bentuk struktur kota, fasilitas pelayanan umum, dan
jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat. Semakin meningkatnya
transportasi maka area parkir sangat dibutuhkan terutama di pusat-pusat kegiatan kota.

f. Ruang Terbuka (Open Space)


Ruang terbuka selalu berhubungan dengan lansekap. Lansekap terdiri dari
elemen keras dan elemen lunak. Open space biasanya berupa lapangan, jalan,
sempadan, sungai, taman makam, dan sebagainya. Menurut S Gunadi (2004) dalam
Yoshinobu Ashihara, ruang luar adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam.
Ruang luar dipisahkan dengan alam dengan memberi “frame”, jadi bukan alam itu
sendiri (yang dapat meluas tak terhingga).

g. Pedestrian

Sistem pejalan kaki yang baik adalah:

- Mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota.

- Meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan skala manusia.

- Lebih mengekspresikan aktifitas PKL dan mampu menyajikan kualitas udara.

menurut Jhon fruin berjalan kaki merupakan salah satu penggerak kota, yang
mana satu-satunya alat untuk memenuhi kebutuhan interaksi tatap muka yang selalu
ada dalam aktivitas kehidupan perkotaan.

h. Aktifitas pendukung

10
Meliputi segala fungsi dan aktivitas yang memperkuat ruang terbuka
publik; karena aktivitas dan ruang fisik saling melengkapi satu sama lain. hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam penerapan desain aktifitas pendukung adalah:
- adanya kordinasi antara kegiatan dengan lingkungan binaan yang dirancang.
- danya keragaman intensitas yang dihadirkan yang dihadirkan dalam suatu ruang
tertentu.
- pengadaan fasilitas kegiatan.

METODE
Metode atau pendekatan yang dipakai dalam menganalisis hasil penelitian ini, adalah
dengan menggunakan desain diskriptif kualitatif yang kemudian dihubungkan dengan hasil
observasi lapangan, kemudian dibandingkan dengan kajian teoritis yang bertujuan untuk
melihat relefansi antara kajian teori dengan kondisi objektif dan realitas lapangan.

Pendekatan Yang Digunakan


Pendekatan yang digunakan peneliti untuk memperoleh data dalam memperkaya
hasil penelitian ini adalah terdiri dari:
1. Wawancara
2. Kuesener atau Angket
3. Studi Kepustakaan
4. Observasi Lapangan

HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Hasil
Hasil dari penelitian ini bertujuan untuk menganalisis beberapa indikator kunci
yang berkaitan dengan aspek formulasi dan perumusan kebijakan, perencanaan tata ruang
dan fungsi kawasan (spacial) maupun perancangan (desaign) tata kota. Indikator kunci
yang ditanyakan kepada responden atau informan key dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Aspek formulasi dan perumusan kebijakan
Bagaimana pemerintah daerah dalam memformulasikan dan merumuskan kebijakan
dalam kaitannya dengan pembangunan kawasan dan tata ruang wilayah perkotaan,
Kota Tual?

11
Pada
Formulas Jawaban Responden Terhadap Indikator : 1
indikator
ini terdapat
kebijakan suda tepat :
75% bebarapa
dibutuhkan formulasi varian
yang teapt :10
kebiakan belum jawaban
terarah :5%
dari
tidak mengetahu : 5 %
responden
yang
ditanyakan, secara konkrit, jawaban responden terhadap indikator ini dapat dilihat
sebagai berikut:

2. Aspek perencanaan tata ruang dan fungsi kawasan (spacial)


Apakah
Jawaban Responden Terhadap Indikator : 2
dalam

sangat setuju : 65 % Setuju : 15 % kurang setuju : 15 % tidak setuju :

merumuskan perencanaan tata ruang dan fungsi kawasan (spacial), pemerintah daerah
kota Tual telah merencanakan tata ruang dan fungsi kawaasan secara baik dalam konsep
pembangunan wilayah perkotaan, secara konkrit jawaban responden terhadap indikator
indikator ini sebagai berikut :

3. Aspek Perencangan (desaign) Kawasan Perkotaan

12
Apakah
Jawaban Responden Terhadap Indikator : 3
aspek

Sangat Ideal : 63 % Ideal : 17


Kurang Ideal : 12 % Tidak Ideal :
perancangan (desaign) kawasan perkotaan dilihat dari sisi letak areal perkantoran, areal
pendidikan, pasar, areal permukiman, posisi jalan, lokasi tempat Ibadah, pembangunan
pelabuhan kapal, model dan konstruksi bangunan, kawasan terbuka hijau, fasilitas
olahraga telah sesuai dengan perancangan (desaign) kawasan perkotaan yang ideal,
jawaban responden terhadap indikator ini adalah sebagai berikut :

b. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data diatas, dimana pada indikator 1, yang terkait
dengan rumusan dan formulasi kebijakan yang berkaitan dengan rancangan tata kota
dan fungsi kawasan didapatkan jawaban responden sebagai berikut, terdapat 75 %
responden menyebutkan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Kota Tual
telah tepat, 15 % responden menjawab perlu adanya formulasi ulang kebijakan, 5 %
responden menjawab kebijakan yang dirumuskan belum terarah dan 5 % respnden
menjawab tidak mengetahui. Dengan demikian pada indikator ini hampir mayoritas
respon memberikan melihat bahwa rumusan kebijakan pada pembangunan tata
ruang dan kawasan (spacial) di Kota Tual telah sesuai dengan rencana pembangunan
wilayah dan kawasan.
Pada indikator : 2, yakni pada rencana tata ruang dan fungsi kawasan,
sebagai mana hasil penelitian yang ditunjukan di atas, dimana variasi jawaban
responden sebagai berikut: terdapat 65 % responden menyatakan sangat setuju, 15 %
responden menyatakan setuju, 15 % responden menyatakan kurang setuju dan 5 %
responden menyatakan tidak setuju. Moyoritas jawaban responden terhadap
indikator ini menunjukan bahwa pemerintah Kota Tual dalam merencanakan tata
ruang dan kawasan terlah memperhatikan aspek tata ruang dan kawasan dari segi
fungsi ruang dan kawasan, sehingga menciptakan wilayah berdasarkan klaster yang
dengan itu menjadikan kota tertata secara lebih baik.

13
Dan pada indikator : 3, yakni pada aspek perancangan (desaign), pada
indikator ini, hasil penelitian menunjukan bahwa perancangan (desaign) kota Tual
63 % responden menyatakan bahwa sangat ideal, 17 % responden menyatakan ideal,
12 % responden menyatakan kurang ideal dan 8 % responden menyatakan tidak
ideal. Hasil penelitian pada indikator ini memperlihatkan rancanagan tata kota dan
kawasan (spacial) di Kota Tual telah memperlihatkan suatu kondisi yang sangat ideal
sebagai sebuah kota, meskipun ada aspek-aspek tertentu yang perlu mendapatkan
pembenahan secara terstruktur.

KESIMPULAN
Berdasarkan kajian teori dan hasil analisis data serta beberapa pembahasan diatas,
dapatlah disimpulkan bahwa kota Tual dan pembangunan fisik maupun non fisik dalam
perjalanannya sebagai sebuah daerah otonom telah memadukan antara rumusan kebijakan,
perencanaan kota dan wilayah serta perancangan (design) membuat kota Tual saat ini
menjadi tertata rapi dari segi kontruksi bangunan, tata jalan, pasar, tempat ibadah, taman
kota, ruang terbuka hijau, fasilitas olahraga, tempat dan fasilitas pendidikan, yang
mengarah pada sebuah kota yang ideal dilihat dari skala dan ukuran kota.

SARAN
Dari kesimpulan di atas, meskipun terjadi perubahan wajah kota secara lebih baik,
akan tetapi masih ada sudut-sudut kota tertentu di kota Tual yang perlu menjadapatkan
sentuhan kebijakan yang lebih maksimal yang dapat mendorong kearah perbaikan di masa-
masa yang akan datang

DAFTAR PUSTAKA
Robinson Tarigan (2015) Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Bumi Akasar, Jakarta

Bambang Heryanto (2011), Roh dan Citra Kota, Peran Perancangan Kota sebagai
Kebijakan Publik, Brilian Internasional, Surabaya

S Gunadi (2004) S Gunadi (2004). Pengembangan Wilayah Konsep dan Teori. Graha Ilmu.
Yogyakarta.

Pierre Merlin dan Francoise Choay (1988: 677 & 851. Problems of Regional Economics
Planning. Edinburgh University Press. Edinburg.

14
Hakim (2003), Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Dunn (1994), Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010, hal.1.

Adisasmita, R. 2008. Pengembangan Wilayah Konsep dan Teori. Graha Ilmu. Yogyakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai