Ada alasan mengapa kita perlu berbicara tentang morfologi Kota ? Pertama karena sejalan dengan semakin kompleks kehidupan kota muncul masalah bentukan fisik kota. Kedua karena tuntutan tujuan perancangan kota itu sendiri yang mengharapkan terciptanya kualitas lingkungan fisik, fungsional dan visual kota yang baik. Secara umum Paul D. Spreiregen , Edmund N. Bacon, Amos Rapoport dan Raymon J. Curran, lebih menekankan pada alasan keberadaan aspek lingkungan fisik perkotaan itu sendiri yang memiliki kaitan erat dengan aspek perilaku masyarakat serta interaksi keduanya di dalam kota. Argumentasi Amos Rapoport diperkuat dan A. Loeckx dengan menekankan pada alasan adanya hubungan timbal balik antara sistem pengaturan bentukan fisik kota dengan pola kebudayaan. Koentjaraningrat menekankan pada perkembangan fisik kota sebagal suatu produk budaya fisik (Physical culture). Hubungan lebih lanjut diistilah oleh Ali Madanipour sebagai pengaruh perubahan sosio-spatil dan Djoko Sujarto sebagai hubungan lingkungan fisik dan sosial. Sedangkan menurut J.Barnett kebutuhan itu lebih disebabkan oleh tuntutan perancangan kota dalam memberikan arahan desain fisik terhadap pertumbuhan dan perubahan kota. Menurutnya tujuan perancangan kota adalah meningkatkan penggunaan elemen material kota secara kreatif untuk menciptakan keteraturan optikal (optical order) yang dapat diterapkan pada pengaturan fisik kota. Menurut Kevin Lynch, memfokuskan pada kebutahan pembentukan karakter kota yang dimulai dengan persepsi lingkungan, tanda pengenal dan kemudian citra kota. Oleh karena itu Lynch menekankan pada argumentasi adanya 8 kriteria terpadu dalam menciptakan bentuk yang kota adalah (1) Singularity yaitu adanya batasan yang jelas baik antar kawasannya maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan sekitarnya (2) Continuity yaitu kaitan fungsional antara satu tempat dan tempat yang lain secara efektif dan efisien, (3) Simplicity yaitu kejelasan dan keterpaduan morfologi dan tipologinya, (4) Dominance yaitu memiliki bagian kota yang mempunyai karakter khusus dan penting, (5) Clarity of joint yaitu bagian strategis yang mampu berhubungan dengan sisi yang lain, (6) Visual scope yaitu tempat terbuka atau tinggi yang dapat memandang secara bebas dan lepas ke semua penjuru kota, (7) Directional differentiation yaitu beragamberagam bentukan fisik yang diatur secara harmonis, (8) Motion awareness yaitu kemampuan menggerakan emosional yaitu perasaan nyaman dan dinamis. Argumentasi lain tentang kebutuhan kajian morfologi adalah karena ada kaitan antara perencanaan kota dan perancangan kota dengan segala persoalannya yang memerlukan penelitian dan arahan. Argumentasi dikemukakan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2 Tahun 1987 yang menekankan pada kebutuhan mempelajari semua aspek permasalahan dalam perencanaan kota termasuk mempelajari morfologi untuk perancangan kota Dalam peraturan tersebut disebutkan juga maksud perencanaan kota yaitu untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat kota dalam mencapai kesejahteraan sesuai aspirasi warga kota. 2.2. Pengertian Morfologi Kota Morfologi terdiri dari dua suka kata yaitu morf yang berarti bentuk dan logos yang berarti ilmu. Secara sederhana morfologi kota berarti ilmu yang mempelajari produk bentuk-bentuk fisik kota secara logis. Morfologi merupakan pendekatan dalam memahami bentuk logis sebuah kota sebagai produk perubahan sosio-spatial. Disebabkan karena setiap karakteristik sosial-spatial di setiap tempat berbedabeda maka istilah morfologi sangat erat kaitannya dengan istilah tipologi. Secara sederhana, Markus Zahn memberi pengertian istilah morfologi sebagai formasi sebuah objek bentuk kota dalam skala yang lebih luas. Morfologi biasanya digunakan untuk skala kota dan kawasan. Sedangkan tipologi sebagai klasifikasi watak atau karakteristik dari formasi objek-objek bentukan fisik kota dalam skala lebih kecil. Istilah tipologi lebih banyak digunakan untuk mendefinisikan bentuk elemen-elemen kota seperti jalan, ruang terbuka hijau, bangunan dan lain sebagainya. Menurut pendekatan morfologi, kota dapat didefinisikan sebagai berikut : a. Menurut Kostof bahwa kota adalah tempat kumpulan bangunan dan manusia. (cities are place made up of buildings and people) b. Menurut Sandi Siregar, kota adalah artifak yang dihuni. Kota sebagai lingkungan buatan manusia yang memperlihatkan karya anjiniring besar dan kompleks, terdiri dari kumpulan bangunan (dan elemen-elemen fisik lainnya) serta manusia dengan konfigurasi tertentu membentuk satu kesatuan ruang fisik (physical-spatial entity). c. Menurut E.N. Bacon bahwa kota adalah artikulasi ruang yang memberikan suatu pengalaman ruang tertentu kepada partisipator. Oleh karena itu, lingkup perhatian perancang kota akan lebih lengkap jika meliputi bangunan, setting dan karakter kota. d. Menurut Ali Madanipour bahwa kota adalah kumpulan berbagai bangunan dan artefak (a collection of buildings and artefact) serta tempat untuk berhubungan sosial (a site for social relationships). Morfologi kota merupakan suatu geometri dari proses perubahan keadaan yang bersifat sosio-spatial (the geometry of a socio-spatial continum). e. Menurut Also Rossi bahwa kota adalah karya kolektif. Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik suatu rumusan bahwa morfologi kota adalah sebuah pendekatan dalam memahami kota sebagai suatu kumpulan geometris bangunan dan artefak dengan konfigurasi kesatuan ruang fisik tertentu produk dari perubahan sosio-spatialnya. 2.3. Ruang Lingkup Morfologi Kota Secara garis besar Hadi Sabari Yunusmenitik beratkan kajian morfologi pada eksistensi keruangan dari bentukbentuk wujud ciri-ciri atau karakteristik kota yaitu analisis bentuk kota dan faktorfaktor yang mempengaruhinya meliputi (1) bentuk-bentuk kompak ; bentuk bujur sangkar (the square cities), bentuk empat persegi panjang (the rectangular cities), bentuk kipas (fan shaped cities), bentuk bulat (rounded cities), bentuk pita (ribbon shaped cities), bentuk gurita atau bintang (octopus / star shaped cities), bentuk tidak berpola (unpatterned cities), (2) bentuk tidak kompak ; bentuk terpecah (fragmented cities), bentuk berantai (chained cities), bentuk terbelah (split cities), bentuk stellar (stellar cities), (3) Proses perembetan (urban sprawl) ; perembetan konsentris, perembetan memanjang, dan perembetan meloncat, (4) faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk kota ; faktor bentang alam /geografis, sosial, ekonomi, transportasi dan regulasi. Hamid Sirvani juga membahas kota dari elemen-elemen fisiknya yang meliputi (1) penggunaan lahan (land use), (2) bentuk dan massa bangunan (building form and massing), (3) sirkulasi dan parkir (circulation and parking), (4) ruang terbuka (open space), (5) jalur pedestrian (pedestrian way), (6) dukungan aktivitas (activity support), (7) tata informasi (Signage), dan (8) preservasi (preservation). Le Corbusier, Charta Athen memfokuskan kajian kota sebagai konfigurasi massa sedangkan Rob krier mengemukakan kota sebagai konfigurasi ruang. Studi ini kelompokkan dalam teori figure-ground yang memfokuskan pada hubungan perbandingan tanah/lahan yang ditutupi bangunan sebagai massa yang padat (figure) dengan void-void terbuka (ground). Teori dan metode ini meliputi analisis (1) pola, (2) tektur dan (3) solid-void sebagai elemen perkotaan. Teori place memfokuskan diri pada pemahaman makna tempat kota yang terdiri dari (1) konteks kota dikemukakan oleh A.V. Eyck membahas lebih lanjut tipologi ruang statis dan dinamis (2) citra kota dibahas oleh kevin Lynch dengan 5 elemennya yaitu path, edges, distict, nodes, dan landmark (3) estetika kota dibahas oleh C. Sitte, G. Cullen meliputi orientasi, posisi dan isi. Markus Zahn mencoba mengelompokan teori-teori di atas dalam tema perancangan kota secara terpadu dimana pembahasan morfologi kota dalam 3 ruang lingkup yaitu (1) Figure/ground, (2) linkage, dan (3) Place.