Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN LITERATUR
Kajian literatur adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk mendukung dan
memperkaya landasan pola berfikir seseorang dalam melakukan sebuah
penelitian. Semakin banyak referensi semakin berkembang pula pengetahuan
seseorang, sehingga kekayaan dalam kajian literatur ini akan mempermudah
seseorang dalam memecahkan masalah dan sebagai dasar penentu varibel yang
akan dibahas pada penelitian yang akan dilakukan.
2.1

Perancangan Kota

Menurut Beckley yang melihat pengertian perancangan kota dari segi profesi
menjelaskan bahwa urban design merupakan suatu jembatan antara profesi
perencana kota dengan arsitektur dengan perhatian utama pada bentuk fisik kota
(Catanese,1986:45). Sedangkan menurut disiplin keilmuan, urban design
merupakan bagian dari proses perencanaan yang berhubungan dengan kualitas
lingkungan fisik kota (Shirvani,1985:6). Dalam pengertian lain, perancangan Kota
(Urban Design) merupakan suatu perpaduan kegiatan antara profesi perencana
kota, arsitektur, lansekap, rekayasa sipil, dan transportasi dalam wujud fisik.
Perancangan kota lazimnya lebih memperhatikan bentuk fisik perkotaan. Bentukbentuk perancangan kota dapat direfleksikan sebagai facade bangunan, bentuk
jaringan jalan, dan elemen lain yang mempengaruhi bentuk wilayah perkotaan.
Produk perancangan kota dapat dikategorikan dalam dua bentuk umum (Eko
Budiharjo; Kota Berkelanjutan,1999,59), yaitu:
1. Ruang Kota (Urban Space)
Pada dasarnya ruang kota harus dibedakan oleh suatu karakteristik yang
menonjol, seperti kualitas pengolahan detail dan aktivitas yang berlangsung
di dalamnya. Sebuah ruang kota dapat diolah dengan lansekap yang indah
sebagai taman kota yang tenang. Dalam hal ini sebuah tempat tertentu dalam
kota berfungsi sebagai lokasi suatu aktivitas penting, tetapi tidak mempunyai

II - 1

pelingkup fisik dan lantai yang semestinya. (Eko Budiharjo; Kota


Berkelanjutan,1999,63)
2. Ruang Terbuka (Open Space)
Ruang terbuka dapat dikatakan sebagai unsur ruang alam yang dibawa ke
dalam kota atau lapangan terbuka yang dibiarkan tetap seperti keadaan
aslinya. Penampilannya dicirikan oleh pemandangan tumbuh-tumbuhan alam
segar daripada bangunan sekitar. Ruang terbuka di dalam kota mempunyai
beberapa maksud sebagai pelengkap dan pengontras bentuk kota,
menyediakan tanah untuk penggunaan di masa depan. Pada saat melakukan
survei perancangan kota, harus mempelajari ruang kota sebagai struktur
keseluruhan.(Eko Budiharjo; Kota Berkelanjutan,1999,65)
Menurut Shirvani, Perancangan kota merupakan bagian dari proses perencanaan
yang kemudian diuraikan dengan kualitas fisik dari suatu lingkungan.
Perancangan kota merupakan kelanjutan dari urban planning (perencanaan kota)
sebab bagaimanapun hasil perencanaan kota belum selesai atau belum dapat
dilaksanakan tanpa ada rancang desain dari rencana yang telah disusun. Dari
pengertian di atas maka urban design memiliki tekanan bahwa urban design lebih
terprioritas pada penataan lingkungan fisik kota. Dalam perancangan kota
tentunya memiliki panduan rancang kota yang merupakan seperangkat panduan
dan peraturan yang digunakan untuk mengatur dan membatasi penggunaan dan
pengembangan ruang kota dan arsitektur kota.
Urban design dalam prosesnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu sadar
diri dan tidak sadar diri. Urban design yang sadar diri adalah yang diciptakan
oleh orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai desainer dan
menggunakan keahlian desain mereka untuk menciptakan suatu lingkungan yang
nyaman. Sedangkan urban design yang tidak sadar diri adalah yang diciptakan
oleh orang-orang yang tidak menganggap dirinya sebagai seorang desainer, tetapi
mereka mempunyai peranan dalam mempengaruhi bentuk lingkungan perkotaan
(Catanese,1986:42).
Untuk mewujudkan suatu kota yang membentuk kesatuan sistem organisasi, maka
dibutuhkan suatu proses perencanaan maupun perancangan yang terpadu. Sebuah

II - 2

kota tidak cukup hanya direncanakan tanpa dirancang. Karena walau bagaimana
juga perancangan kota merupakan jembatan antara perencanaan kota yang bersifat
2 dimensi dengan perancanagan arsitektural.
Perancangan kota merupakan suatu proses dan produk hasil rancangan yang
berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan suatu lingkungan binaan yang
berkualitas. Adapun perancangan digunakan juga untuk mengelola perkembangan
dan pertumbuhan suatu kota serta perubahan sikap, trend, maupun gaya hidup
masyarakat yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Perancangan kota
biasanya dilakukan untuk meminimalkan ataupun mencegah permasalahan yang
biasanya timbul di suatu kota.
Dalam perancangan kota, terdapat beberapa unsur yang harus tetap diperhatikan
dan jangan sampai dilupakan, apalagi diabaikan. Unsur-unsur tersebut antara lain :

Peruntukan lahan mikro

Sistem penghubung jalan( sirkulasi)

Jaringan utilitas umum kota

Ruang terbuka dan tata hijau

Tata masa bangunan

Pelestarian struktur alami dan binaan

Unsur-unsur penunjang

Penciptaan unsur identitas kota

2.2

Citra Kota

Dalam memahami citra kota perlu diketahui beberapa pengertian citra kota,
elemen-elemen pembentuk citra kota, faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan citra kota dan metode identifikasi citra kota.
2.2.1

Pengertian Citra Kota

Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia (1987), kata citra itu sendiri
mengandung arti: rupa, gambar, gambaran, gambaran yang dimiliki orang banyak
mengenai pribadi, perusahaan/organisasi/produk. Dapat juga diartikan sebagai
kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kota. Dengan

II - 3

demikian secara harfiah citra kota dapat diartikan sebagai kumpulan dari interaksi
sensorik langsung seperti diimplementasikan melalui sistem nilai pengamat dan
diakomodasikan kedalam penyimpanan memori dimana input dari sumber tak
langsung sama pentingnya (Pocock & Hudson, 1978).
Citra secara luas terkait dengan ruang, dan dapat pula dikaitkan dengan rasa atau
persepsi seseorang. Berikut ini merupakan beberapa karakteristik dari sebuah citra
(Pocock & Hudson, 1978).

Citra merupakan sebagai representasi parsial dan sederhana.

Citra umumnya skematis atau dibentuk secara fisik atau sosial. Objek yang
menimbulkan citra tersebut tidak perlu memiliki bentuk yang sama
terhadap lingkungannya.

Citra merupakan Idiosyncratic atau dengan kata lain setiap orang akan
memiliki respon atau citra yang berbeda terhadap sesuatu hal yang sama.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa citra sangat tergantung

pada persepsi atau cara pandang orang masing-masing. Citra juga berkaitan
dengan hal-hal fisik. Citra kota sendiri dapat diartikan sebagai gambaran mental
dari sebuah kota sesuai dengan rata-rata pandangan masyarakatnya (Zahnd, 1999).
Citra kota mengambarkan suatu persamaan dari sejumlah gabungan atau satuan
informasi yang dihubungkan dengan tempatnya (Kotler, 1993). Diterjemahkan
melalui gambaran mental dari sebuah kata sesuai dengan rata-rata pandangan
masyarakatnya (Lynch, 1982).
Sebuah citra lingkungan (kota) menurut (Lynch, 1982) dalam bukunya Image of
the city dapat dianalisis kedalam komponen yang meliputi:

Identitas, suatu objek harus dapat dibedakan dengan objek-objek lain


sehingga dikenal sebagai sesuatu yang berbeda atau mandiri.

Struktur, citra harus meliputi hubungan spasial atau hubungan pola citra
objek dengan pengamat dan dengan objek-objek lainnya.

Makna, yaitu suatu objek harus mempunyai arti tertentu bagi pengamat
baik secara kegunaan maupun emosi yang ditimbulkan.

2.2.2

Elemen-elemen Pembentuk Citra Kota

II - 4

Citra kota menurut Lynch (1982) terbentuk dari elemen-elemen pembentuk citra
kotanya yang terdiri dari:
1. Tetenger (Landmark), yang merupakan titik referensi seperti elemen
simpul tetapi tidak masuk kedalamnya karena bisa dilihat dari luar
letaknya. Tetenger adalah elemen eksternal yang merupakan bentuk visual
yang menonjol dari kota misalnya gunung, bukit, gedung tinggi, menara,
tanah tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi dan lain-lain. Beberapa tetenger
letaknya dekat sedangkan yang lain jauh sampai diluar kota. Tetenger
adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk
mengenali suatu daerah.
2.

Jalur (Path), yang merupakan elemen paling


penting dalam citra kota. Kevin Lynch menemukan dalam risetnya bahwa
jika identitas elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan
citra kotanya secara keseluruhan. Jalur merupakan alur pergerakan yang
secara umum digunakan oleh manusia seperti jalan, gang-gang utama,
jalan transit, lintasan kereta api, saluran dan sebagainya. Jalur mempunyai
identitas yang lebih baik jika memiliki tujuan yang besar (misalnya ke
stasiun, tugu, alun-alun) serta ada penampakan yang kuat (misalnya
pohon) atau ada belokan yang jelas.

3. Kawasan (District), yang merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala


dua dimensi. Sebuah kawasan memiliki ciri khas mirip (bentuk, pola dan
wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, dimana orang merasa harus
mengakhiri atau memulainya. Kawasan dalam kota dapat dilihat sebagai
referensi interior maupun eksterior. Kawasan menpunyai identitas yang
lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas berdiri sendiri atau
dikaitkan dengan yang lain.
4. Simpul (Nodes), yang merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis
dimana arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah arah atau
aktivitasnya misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang,
dan jembatan. Kota secara keseluruhan dalam skala makro misalnya pasar,

II - 5

taman, square dan lain sebagainya. Simpul adalah suatu tempat dimana
orang mempunyai perasaan masuk dan keluar dalam tempat yang sama.
5. Batas atau tepian (Edge), yang merupakan elemen linier yang tidak
dipakai atau dilihat sebagai jalur. Batas berada diantara dua kawasan
tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linier misalnya pantai, tembok,
batasan antara lintasan kereta api, topografi dan lain-lain. Batas lebih
bersifat sebagai referensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat
koordinasi (linkage). Batas merupakan penghalang walaupun kadangkadang ada tempat untuk masuk. Batas merupakan pengakhiran dari
sebuah kawasan atau batasan sebuah kawasan dengan yang lainnya.
Demikian pula fungsi batasnya harus jelas membagi atau menyatukan.
2.2.3

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Citra Kota

Dalam bukunya Lynch (1982), pembentukan citra kota tergantung pada rasa
(sence), pengalaman (experience), persepsi dan imajinasi pengamat atau dalam
hal ini adalah masyarakat terhadap sesuatu tempat atau lingkungannya.
Keterkaitan

antara

manusia

dengan

tempat

atau

lingkungannya

akan

mempengaruhi pembentukan citra kota.


Sujarto (1988, dalam Prasidha (1999) dan Prastianti (2006)) menyatakan bahwa
citra kota tercermin dari kinerja penampilan fisik kota yang pada hakekatnya
menyangkut 3 aspek pertimbangan antara lain:
1. aspek normatis kota (kondisi sosial-budaya)
2. aspek fungsional kota (kegiatan khas masyarakat) dan
3. aspek fisik kota (kekhasan penampilan fisik kota)
Dari uraian tersebut terlihat bahwa aspek fungsional kota merupakan aspek non
fisik yang turut mempengaruhi terbentuknya citra kota. Sejalan dengan pemikiran
Lynch (1982) bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi citra kota selain objek
fisik yang tampak terkait juga dengan:

Makna sosial (social meaning)

Fungsi (function)

Sejarah (history)

II - 6

Nama (name) dari kota tersebut.

Kotler (1993), menyebutkan beberapa faktor yang dapat menentukan citra suatu
kota antara lain:

Persepsi personal terhadap suatu tempat dapat beragam antara orang yang
satu dengan yang lainnya (penduduk asli, pengunjung, pengusaha, investor
dan pelancong)

Posisi dari tempat tersebut akan mendukung citra yang tercipta

Tergantung pada waktu dan dapat berlaku sepanjang waktu.


Selain itu dijelakan pula bahwa terdapat 3 cara dalam membahasakan citra
antara lain:

1. Slogan, tema dan kedudukan


2. Simbol visual
3. Peristiwa dan kegiatan dimana media massa memiliki peran penting
melalui ketiganya dalam memunculkan citra suatu kota di mata
masyarakat.
Adanya perbedaan-perbedaan yang nyata dan terasa dalam setiap kota akan
memunculkan ciri khas kota tersebut (Rapoport, 1997) yang pada akhirnya akan
memunculkan citra kota. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan yang
menyangkut fisik, sosial dan sesuatu yang bersifat temporal.
a. Perbedaan fisik, mennyangkut sifat kota berdasarkan penilaian

Visual sebagai akibat perbedaan wujud, bentuk, ukuran, tinggi,


warna dan lain-lain

Suara

Bau-bauan

Pergerakan udara dan perbedaan iklim

Bentuk dan tekstur permukaan jalan

b. Perbedaan sosial

Karakteristik masyarakat

Jenis aktivitas dan intensitasnya

II - 7

Intensitas norma dan budaya lokal pada pemanfaatan ruangnya

Simbol dan hirarki atau tanda sebagai makna ciri dan status sosial

c. Perbedaan yang bersifat temporal

Jangka panjang berkaitan dengan perubahan sosial masyarakat,


indikator sosial dan perkembangan kebudayaan

Jangka pendek berkaitan dengan intensitas pemanfaatan waktu


tempo dan irama kegiatan.

2.3

Identitas Kota

Identitas bisa diproduksi melalui representasi yang merupakan sebuah sistem


simbolik. Sementara itu, sebuah representasi memiliki karakteristik yang khas,
yaitu menunjuk kepada sesuatu yang lain, yang bukan dirinya. Namun seringkali
sebuah representasi justru beralih menjadi apa yang direpresentasikannya dan
seolah-olah menjadi `realitas' yang baru. Melalui representasi tersebut, sebuah
identitas baik yang lama ataupun baru bisa menjadi seolah-olah nyata, dan bukan
sebuah rekaan.
Dalam risetnya, Kevin Lynch menemukan arti pentingnya citra penduduk suatu
kota terhadap kotanya, karena citra yang jelas dapat memberikan banyak hal yang
sangat penting bagi masyarakatnya,3 yaitu :
a. Legibility (Kejelasan)
Sebuah kejelasan emosional suatu kota dirasakan secara jelas oleh warga
kota. Jelasnya sebuah image yang bersih memungkinkan seseorang
melakukan mobilitas di dalam kota secara mudah dan cepat. Artinya suatu
kota arau bagian kota atau kawasan bisa dikenali dengan cepat dan jelas
mengenai distriknya, landmarknya, atau jalur jalannya dan bisa langsung
dilihat pola keseluruhannya.
b. Identitas dan Susunan
Identitas artinya image orang akan menuntut suatu pengenalan atas suatu
obyek dimana didalamnya harus tersirat perbedaan obyek tersebut dengan
obyek lainnya sehingga orang dengan mudah bisa mengenalinya. Susunan

II - 8

artinya adanya kemudahan pemahaman pola suatu blok-blok yang menyatu


antar bangunan dan ruangan terbukanya.
c. Imageability
Artinya kualitas secara fisik suatu obyek yang memberikan peluang yang
besar untuk timbulnya image yang kuat yang diterima orang. Sehingga image
ditekankan pada kualitas fisik suatu kawasan atau lingkungan yang
menghubungkan atribut identitas dengan strukturnya, dan suatu image
dibentuk oleh elemen-elemen pembentuk wajah kota.
Identitas merupakan suatu keadaan, sifat, ciri-ciri khusus, jati diri seseorang atau
benda (Poerwadarminta, 1987). Identitas kawasan

merupakan sesuatu yang

objektif tentang seperti apa sebenarnya rupa atau bentuk suatu tempat
(Montgomery, 1998). Identitas merupakan ciri khas suatu tempat, yang
menyebabkan adanya perasaan terhadap suatu tempat. Identitas kawasan bisa
terlihat dari bahan apakah yang dipakai, pola yang terdapat, warna serta apa yang
dilakukan masyarakat ditempat tersebut (Zahnd, 1999). Upaya membentuk
identitas tempat pada kawasan koridor komersial menurut Bohl (2002) antara lain:
1.

Mengembangkan penggunaan
fungsi campuran

2.

Menyediakan jalur pedestrian


untuk pasar harian dan perayaan festival

4. Menata pusat kawasan hijau dan air mancur


5. Menyediakan gedung pertemuan sebagai tempat berkumpul untuk
pertemuan asosiasi, pernikahan, resepsi dan perayaan yang bersifat privat
maupun publik.
6. Mengembangkan konsep perumahan baru
7. Mengembangkan retail
8. Mengembangkan lingkungan tempat kerja baru
9. Mengembangkan tempat leisure dan konsep entertainment/ hiburan.
10. Meningkatkan pertumbuhan yang smart, pembangunan yang sustainable
dan lingkungan komunitas yang layak ditinggali (livable).

II - 9

2.4

Koridor Komersial Perkotaan

2.4.1

Pengertian

Kawasan komersial adalah area yang mempunyai fungsi dominan untuk kegiatan
komersial atau disebut sebagai kawasan pusat perniagaan/usaha kota, letaknya
tidak selalu di tengah-tengah kota dan mempunyai pengaruh besar terhadap
kegiatan ekonomi kota.
Koridor jalan komersial merupakan koridor jalan yang pemanfaatan ruang di
sepanjang jalannya untuk kegiatan komersial, perkantoran yang kompleks dan
pusat pekerjaan di dalam kota (Bishop,1989).
Ketika jalan raya diperluas dari pusat kota ke pinggiran kota yang kemudian
diikuti dengan tumbuhnya pertokoan, restoran dan area parkir maka lahirlah
koridor komersial ditandai dengan deretan bangunan komersial, parker halaman
depan, jalan berorientasi pejalan kaki dan barisan elemen penanda sepanjang jalan
utama dari pusat kota ke pinggiran kota. Dari beberapa pengertian ini dapat
disimpulkan bahwa koridor komersial merupakan konsentrasi toko retail, yang
melayani area perdagangan umum yang terletak di sepanjang jalan.
2.4.1

Pengembangan kawasan koridor komersial pejalan kaki

Walkabel adalah konsep yang mendukung

place making koridor komersial

sehingga menjadi kawasan koridor yang berorientasi pejalan kaki. Dalam buku
An

Introduction

to

Sustainable

Transportation:

Policy,

Planning

and

Implementation yang ditulis Schiller, Bruun dan Kenworthy 2010, Roger K.


Lewis mengatakan kriteria desain untuk memotivasi kota yang walkable adalah:
1. Pola jalan mudah diarahkan, blok yang tidak terlalu besar, dan
persimpangan yang tidak terlalu jauh. Jalan harus kontinyu dan saling
berhubungan. Menyediakan jalur kendaraan dan pejalan kaki lebih dari
satu jalur.
2. Jalan umum harus proporsional dalam menata lebar trotoar, strip tanaman
jalur kendaraan informal dan median.
3. Meningkatkan kualitas streetscape dan memberi kemudahan serta
kenyamanan. Komponen yang ditata adalah vegetasi streetscape,

II - 10

pencahayaan dan signage, furnitur jalan yang nyaman, material paving


yang menarik.
4. Aman untuk berjalan siang atau malam hari, tanda penyeberangan jelas.
5. Bangunan menghadap jalan umum membutuhkan penataan fasad.
Aspek penting dalam menciptakan dan mempertahankan walkable commercial
corridor : (Dom Nozzi, 2010)
1. Mementingkan pejalan kaki.
2. Kepadatan hunian. Masyarakat hidup dalam jarak berjalan kaki,
menyediakan jaringan penghubung antar blok (tiga sampai lima blok).
3. Dimensi berskala manusia. Indikatornya adalah:
a. Jalan tidak lebih dari dua atau tiga jalur.
b. Bangunan berbatasan dengan jalan dan trotoar.
c. Teras depan berhubungan langsung dengan trotoar.
d. Tempat parkir di belakang gedung.
e. Tinggi lampu jalan enam sampai sembilan meter.
f. Penggunaan fungsi campuran, lantai bawah toko atau kantor lantai
atas

hunian.

Jalan

berskala

manusia

menciptakan

perasaan

menyenangkan di ruang luar dan menciptakan sense of place.


4. Keaktifan dan keragaman retail.
5. Lalu lintas yang tenang (traffic calming) dengan strategi :
a. Menyediakan parkir badan jalan.
b. Jalan tidak lebih dari dua atau tiga jalur.
c. Lebar jalur lalu lintas tidak lebih dari 3 atau 3,5 m.
d. Kanopi pohon yag menonjol ke jalan mengurangi kecepatan
kendaraan.
6. Aktifitas 24 jam.
7. Kavling yang sempit mendorong variasi elemen pintu, jendela dan elemen
lainnya, memberi pengalaman yang menyenangkan bagi pejalan kaki.
8. Terlindung dari cuaca. Kenyamanan terhadap pengaruh iklim panas dan
hujan adalah penting dengan:
a. Menyediakan arcade depan bangunan di sepanjang trotoar.

II - 11

b. Manata kanopi pohon yang tinggi, sejajar, dari spesies jenis pohon
yang sama menjorok ke jalan dan trotoar.
9. Trotoar yang lebar. Indikatornya adalah:
a. Lebar trotoar: 1,6 meter sampai 6 meter.
b. Lebar trotoar disesuaikan dengan fungsi jalan.
c. Menyeimbangkan kenyamanan dan kebutuhan pejalan kaki.
10. Tampak depan bangunan yang aktif.
11. Menata median dan lansekap jalan ..
12. Jarak dari tempat tinggal ke tempat kerja, sekolah, taman dan tempat
belanja harus dalam jarak dekat maksimal seperempat mil.
13. Kawasan koridor yang walkable adalah menyediakan ruang tempat
berkumpul dan berinteraksi berupa: tempat hiburan, toko bahan makanan,
kantor pos dan lain-lain.P anjang blok jalan singkat, untuk mengurangi
jarak berjalan yakni tidak lebih dari 150 meter, lebih disukai berkisar 60
sampai 90 meter.
14. Pemusatan vista ke bangunan umum.
15. Bisnis yang tepat/ sesuai.
16. Menekan aktivitas pejalan kaki., tidak menghendaki retail berukuran besar,
drive-through, pompa bensin, penjualan dan service mobil dengan .
Enam kriteria desain jaringan pejalan kaki yang sukses (Southworth, 2005):
a. Konektivitas
b. Keterkaitan dengan moda lainnya
c. Pola penggunaan lahan
d. Keamanan
e. Kualitas jalan
f. Lingkungan jalan
2.5

Tabel Matriks Teori


Dalam setiap penyusunan laporan terdapat literatur yang dicantumkan dan

dijadikan acuan dalam penulisan laporan. Beberapa teori dalam literatur-literatur

II - 12

di atas akan dirangkum dan disajikan kembali dalam matriks teori berupa
rangkuman kajian literatur. Rangkuman kajian literatur juga bertujuan untuk
mengelompokan teori ataupun literatur yang ada agar lebih sistematis dan mudah.
Berikut adalah tabel sintesis kajian literatur:
Tabel II.1
Matriks Sintesis Kajian Literatur
No

Sumber Literatur

Kevin Lynch
(1982)

Substansi

Variabel Substansi

Definisi Citra Kota


2

Markus Zahnd
(1999)

Kotler (1993)

Citra Kota

Elemen Rancang
Kota
Citra Kota

Komponen Analisis
Citra Kota
Elemen-elemen
Pembentuk Citra
Kota

Kevin Lynch
(1982)

Kevin Lynch
(1982)

Faktor-faktor yang
Mempengaruhi
Terbentuknya Citra
Kota

Teori (Penjelasan Literatur)


Citra kota diterjemahkan melalui
gambaran mental dari sebuah kata
sesuai dengan rata-rata pandangan
masyarakatnya
Citra kota dapat diartikan sebagai
gambaran mental dari sebuah kota
sesuai dengan rata-rata pandangan
masyarakatnya.
Citra kota mengambarkan suatu
persamaan dari sejumlah gabungan
atau satuan informasi yang
dihubungkan dengan tempatnya
Citra kota dapat dianalisis kedalam
komponen yang meliputi:
Identitas, suatu objek harus dapat
dibedakan dengan objek-objek lain
sehingga dikenal sebagai sesuatu
yang berbeda atau mandiri.
Struktur, citra harus meliputi
hubungan spasial atau hubungan pola
citra objek dengan pengamat dan
dengan objek-objek lainnya.
Makna, yaitu suatu objek harus
mempunyai arti tertentu bagi
pengamat baik secara kegunaan
maupun emosi yang ditimbulkan.
Elemen pembentuk citra kotanya
yang terdiri dari:
Tetenger
(Landmark),
yang
merupakan titik referensi seperti
elemen simpul tetapi tidak masuk
kedalamnya karena bisa dilihat dari
luar letaknya.
Jalur (Path), merupakan alur
pergerakan yang secara umum

II - 13

No

Sumber Literatur

Kevin Lynch
(1982)

Sujarto (1988)

Substansi

Variabel Substansi

Komponen Analisis
Citra Kota

Teori (Penjelasan Literatur)


digunakan oleh manusia seperti jalan,
gang-gang utama, jalan transit,
lintasan kereta api, saluran dan
sebagainya.
Kawasan
(District),
yang
merupakan6kawasan-kawasan kota
dalam skala dua dimensi.
Simpul (Nodes), yang merupakan
simpul atau lingkaran daerah
strategis
dimana
arah
atau
aktivitasnya saling bertemu dan
dapat diubah arah atau aktivitasnya
misalnya persimpangan lalu lintas,
stasiun, lapangan terbang, dan
jembatan.
Batas atau tepian (Edge), yang
merupakan elemen linier yang tidak
dipakai atau dilihat sebagai jalur.
Batas berada diantara dua kawasan
tertentu dan berfungsi sebagai
pemutus linier misalnya pantai,
tembok, batasan antara lintasan
kereta api, topografi dan lain-lain.
Pembentukan citra kota tergantung
pada rasa (sence), pengalaman
(experience), persepsi dan imajinasi
pengamat atau dalam hal ini adalah
masyarakat terhadap sesuatu tempat
atau lingkungannya.
Citra kota tercermin dari kinerja
penampilan fisik kota yang pada
hakekatnya menyangkut 3 aspek
pertimbangan antara lain:
1. aspek normatis kota (kondisi
sosial-budaya)
2. aspek
fungsional
kota
(kegiatan khas masyarakat)
dan
aspek
fisik
kota
(kekhasan
penampilan fisik kota)

II - 14

No

Sumber Literatur

Substansi

Variabel Substansi

Elemen-elemen
8

Kotler (1993)

Citra Kota

Pembentuk Citra
Kota

Teori (Penjelasan Literatur)

Beberapa
faktor
yang
dapat
menentukan citra suatu kota antara
lain:
Persepsi personal terhadap suatu
tempat dapat beragam antara
orang yang satu dengan yang
lainnya
(penduduk
asli,
pengunjung, pengusaha, investor
dan pelancong)
Posisi dari tempat tersebut akan
mendukung citra yang tercipta
Tergantung pada waktu dan dapat
berlaku sepanjang waktu.

II - 15

Anda mungkin juga menyukai