Anda di halaman 1dari 5

Nama : Fatih Henning Octavian Haq

NIM : 13030121140108
Mata Kuliah : Sejarah Perkotaan (A)

Ujian Akhir Sejarah Perkotaan

Sejarah adalah peristiwa yang telah terjadi pada masa lalu tentang dinamika
kehidupan masyarakat, yang salah satunya adalah perkotaan (Garraghan, 1948). Kota
pada awalnya adalah sebuah desa yang mengalami perubahan terus-menerus sehingga
menjadi sebuah kota. Dinamika perubahan tersebut dalam suatu wilayah tentunya
harus dicatat tiap perubahannya agar menciptakan perubahan kearah yang lebih maju.
Oleh karena itu, peran sejarah di bidang perkotaan menjadi faktor penting dalam
menunjang pembangunan kota.
Penulisan sejarah perkotaan mempunyai berbagai aspek yang dapat dikaji
seperti sosial, ekonomi, dan budaya (Makkelo, 2017). Buku Kota Lama Kota Baru
karya Freek Colombijn, Purnawan Basundoro, dan Jhonny Alfian Khusairi
merupakan buku yang membahas satu kesatuan antara aspek sosial, ekonomi hingga
budaya di bidang perkotaan. Selain itu, masalah sosial yang dapat dijadikan topik
penelitan sejarah perkotaan antara lain kemiskinan, kriminalitas dan pemukiman
kumuh. Munculnya pemukiman kumuh tidak lepas dari pengaruh urbanisasi karena
kurangnya kesejahteraan di desa (Dieters Ever, 1982). Munculnya pemukiman kumuh
ini nantinya akan berdampak pada sanitasi yang buruk seperti perkampungan yang
tidak teratur dan kumuh, drainase dan sistem pembuangan yang tidak memenuhi
standar kesehatan, akses air bersih yang terbatas, serta iklim tropis yang
menyebabkan bakteri lebih mudah menyebar (Reerink 2015). Penelitian mengenai
masalah sosial seperti pemukiman kumuh dapat dilakukan melalui metode penelitian
sejarah dan wawancara. Namun dalam penelitian menggunakan wawancara harus
berdasarkan narasumber yang hidup se-zaman dengan kajian sosial sejarah perkotaan.
Apabila tidak ada maka dapat menggunakan studi pustaka menggunakan metodologi
sejarah.
Dalam ilmu lingkungan, perencanaan kota merupakan bagian yang harus
terintegrasi dengan perencanaan lingkungan untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan. Kota dalam perspektif lingkungan tersebut dianggap sebagai masalah
ekologis karena berkaitan dengan kebutuhan dan sediaan sumber daya alam yang
tidak seimbang. Secara konsep ekologi pada kota terjadi sebuah pergeseran makna
dari waktu ke waktu. Kota dalam perspektif ekologi lama sebagai sistem ekologi
dengan proses evolusi linier menuju komunitas klimaks keadaan-mapan, dan
digambarkan sebagai sistem tertutup melalui siklus metabolisme, mengatur dirinya
sendiri ke dalam keadaan seimbang, yang tidak akan menyebabkan pemborosan dan
memaksimalkan efisiensi pemanfaatan sumber daya (Pickett et al., 2016). Perspektif
ekologi baru, terjadi pergeseran dari model ekuilibrium ke model non-ekuilibrium
yang memandang kota sebagai ekosistem terbuka, dinamis dan tidak dapat diprediksi,
didorong oleh proses dan seringkali diatur oleh kekuatan eksternal. Beberapa konsep
dasar pemikiran ekologi baru meliputi kompleksitas, ketahanan, dinamika sistem
nonlinier, pengelolaan adaptif, dan eksistensi. Pemikiran ekologi baru juga
memasukkan manusia sebagai komponen ekosistem. Perubahan ekologi uga
mempengaruhi karakteristik dari suatu kota. Pembangunan lapangan hijau kota
seperti hutan kota atau taman kota yang memperlihatkan karakteristik dari kota
tersebut. Contoh, pembangunan hutan kota Salatiga dalam mengurangi polusi udara
di wilayah Salatiga dan sekitarnya. Pembangunan tersebut menjadikan kota Salatiga
sebagai kota hijau (green city).
Kota dianggap sebagai hybrid ecosystems karena menunjukkan karakteristik,
pola dan perilaku yang unik, yang bersumber dari interaksi yang kompleks antara
manusia dan proses ekologi. Human Environmental Relations terdapat dalam
ekosistem kota memerlukan pemahaman bagaimana kota bekerja dalam arti ekologis
berkaitan dengan manusia hidup dan bergantung di dalamnya. Human environmental
relations didasarkan pada individu yang memiliki value dan sistem sosial yang
berbeda (Golubiewski, 2012). Pergeseran perspektif kota dari organism ke ekosistem
dalam perspektif lingkungan lebih menitikberatkan pada interaksi dua arah antara
komponen biotik dan abiotik, keterkaitan struktur dan fungsi, dan menghadapi
multiple stable states (Golubiewski, 2012). Arti ruang dalam perspektif kota sebagai
ekosistem berkembang dari keseragaman menjadi fine scale spatial heterogeneity
(patch dynamics and gradients). Aktivitas manusia terpisah dari manusia itu sendiri
sehingga berfokus pada konsep, proses, gangguan, struktur dan fungsi sistem
tersebut.
Semua kota mempunyai identitas yang berbeda, baik yang positif maupun
negatif. Identitas sebuah kota adalah keunikan kondisi dan karakteristik yang
membedakannya dengan kota lainnya. Identitas kota adalah sebuah konsep yang kuat
terhadap penciptaan citra (image) dalam pikiran seseorang yang sebelumnya tidak
pernah dipahami. Identitas kota sebenarnya tidak dapat dibangun tetapi terbentuk
dengan sendirinya. Identitas kota terbentuk dari pemahaman dan pemaknaan “image”
tentang sesuatu yang ada atau pernah ada/melekat pada kota atau pengenalan obyek‐
obyek fisik (bangunan dan elemen fisik lain) maupun obyek non fisik (aktifitas
sosial) yang yang terbentuk dari waktu ke waktu. Aspek historis dan pengenalan
“image” yang ditangkap oleh warga kota menjadi penting dalam pemaknaan identitas
kota atau citra Kawasan. Keberadaan kota‐kota di Indonesia yang seharusnya
mendukung pertumbuhan nilai‐ nilai budaya lokal justru terjebak dalam budaya
massal. Karena diakui atau tidak nilai‐ nilai budaya itulah yang pada akhirnya akan
membentuk karakter dan identitas sebagai sebuah bangsa. Hal ini disebabkan oleh
diabaikannya aspek kesejarahan pembentukan kota sehingga kesinambungan sejarah
kawasan kota seolah terputus sebagai akibat pengendalian perkembangan yang
kurang memperhatikan tatanan kehidupan dan aspek fungsi kawasan. proses
perkembangan dan kehidupan kotanya, dimana telah terjadi generalisasi atau
keseragaman bentuk dan penampilan kota, serta peningkatan percepatan perubahan
ruang‐ruang kota secara sistematis, sangat pragmatis, dan lebih banyak berdasarkan
pada pertimbangan ekonomi yang seolah telah menjadi satu‐satunya paradigma dalam
pengembangan kota. Apabila kecenderungan itu terus terjadi dan mencakup wilayah
perkotaan yang luas, kondisi ini bukan saja akan mengubah bentuk dan wajah kota
(city form and town space) dalam waktu singkat, tetapi juga mengakibatkan
menurunnya kualitas lingkungan kota dan terjadinya proses dehumanisasi kota. Lebih
lanjut dikhawatirkan pula bahwa kota itu mulai kehilangan identitasnya dan semakin
asing
bagi kehidupan warganya.
Sejarah perkotaan sangat vital dalam memahami dan mengembangkan
wilayah perkotaan masa kini. Aspek sosial, ekonomi, dan budaya menjadi fokus
utama dalam menelaah perubahan dan tantangan yang dihadapi oleh kota. Fenomena
seperti pemukiman kumuh, perubahan ekologi, identitas kota, dan perencanaan
lingkungan semuanya saling terkait dalam membentuk perkembangan kota. Identitas
kota berkaitan erat dengan pemahaman warganya terhadap sejarah dan budaya lokal,
yang jika diabaikan, dapat mengakibatkan kehilangan jati diri dan kualitas lingkungan
yang menurun. Maka dari itu, memahami sejarah perkotaan dan menggali nilai-nilai
budaya lokal menjadi penting untuk memastikan pertumbuhan kota yang
berkelanjutan dan beridentitas kuat.

Daftar Pustaka
Makkelo, I. D. (2017). Sejarah Perkotaan: Sebuah Tinjauan Historiografis Dan
Tematis. Lensa Budaya: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Budaya, 12(2)
Kuntowijoyo, D. R. (2005). Pengantar ilmu sejarah. Bentang Pustaka.
Evers, H. D. (1982). Sosiologi perkotaan: urbanisasi dan sengketa tanah di Indonesia
dan Malaysia. (No Title).
Reerink, Gustaaf. 2015. From Autonomous Village to ‘Informal Slum’. Dalam Cars,
Conduits, Kampongs: The Modernization of the Indonesian City, 1920–1960.
Diedit oleh Freek Colombijn dan Joost Coté, 193–212. Leiden, Boston: Brill.
Gottschalk, L. R., & Notosusanto, N. (1985). Mengerti sejarah. (No Title).
Pickett, S. T., Cadenasso, M. L., Childers, D. L., McDonnell, M. J., & Zhou, W.
(2016). Evolution and future of urban ecological science: ecology in, of, and
for the city. Ecosystem health and Sustainability, 2(7), e01229.
Golubiewski, N. (2012). Is there a metabolism of an urban ecosystem? An ecological
critique.Ambio, 41(7), 751-764.

Anda mungkin juga menyukai