Anda di halaman 1dari 7

Anggota :

1. Muhammad Naufal Haafizh Putra (8111422280)


2. Gymnastiar Kristin Putra (8111422290)
3. Figo Cleverian Iqbal (8111422301)
4. Fatih Hening Octavian Haq (8111422308)

ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) Paket 9

Indonesia menyepakati perjanjian perdagangan bidang jasa atau disebut AFAS yang diadakan
pada tanggal 15 Desember 1995. Presiden Joko Widodo telah menandatangi sahnya perjanjian
ini melalui keputusan presiden Nomor 88 Tahun 1995. Tujuan dari ratifikasi ini adalah sebagai
bentuk dukungan pemerintahan agar memperluas peluang berkembangnya industri penerbangan
di Indonesia sehingga industry penerbangan Indonesia dapat bersaing di kancah ASEAN.
Adapun 4 hal yang mencakup pelayanan jasa yang menjadi komitmen untuk dibuka di negara
ASEAN yakni: Cross Border Supply, Consumption Abroad, Commercial Presence, Movement of
Natural Person.

Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 2018:


ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) Paket 9

Paris Agreement to the United Nations Framework Convention


on Climate Change 2016

Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris yang diadakan di Paris pada 12 Desember 2015.
Ratifikasi tersebut dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations
Framework Convention on Climate Change, dan diundangkan pada tanggal 25 Oktober 2016.
Ratifikasi ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memberikan jaminan untuk
mendapat lingkungan hidup yang berkualitas. Selain itu, Persetujuan Paris diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim menuju ketahanan
iklim dan pembangunan rendah emisi, tanpa mengancam produksi pangan. Adapun isi dari
Perjanjian Paris itu sendiri yakni, pengupayaan pembatasan kenaikan suhu global sampai di angka
1,5 derajat Celcius, dan di bawah 2 derajat Celcius untuk tingkat praindustri, Mengurangi tingkat
emisi gas rumah kaca dan aktivitas serupa, Seluruh negara wajib memiliki dan menetapkan target
pengurangan emisinya, negara maju membantu negara miskin dalam pendanaan atau pembiayaan
iklim dan membantu implementasi negara terbarukan yang lebih efektif serta beradaptasi dengan
perubahan iklim.

Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United
Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka
Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim):
PARIS AGREEMENT The Parties to this Agreement

United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC)

UNCAC adalah Konvensi Anti Korupsi (KAK) 2003 yang berlaku secara global, yang
dirancang untuk mencegah dan memerangi korupsi secara komprehensif. Indonesia telah
menandatangani UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption) pada tanggal 18
Desember 2003 dan Indonesia telah meratifikasi Undang-Undang No.7 tahun 2006
sebagai tindak lanjut dari kesepahaman UNCAC pada tanggal 18 April 2006. Partsipasi
Indonesia dalam konvensi tersebut menunjukkan bahwa komitmen Indonesia dalam usaha
memberantas korupsi tidak hanya dalam skala nasional tetapi juga internasional. Dengan ikut
meratifikasi, Indonesia bisa memanfaatkan isi dari konvensi tersebut untuk menyelesaikan
masalah korupsi baik yang terjadi di dalam negeri maupun korupsi yang terjadi lintas negara,
terutama dalam rangka pengembalian aset korupsi yang ada di luar negeri. Dalam pengembalian
aset inipun pemerintah bisa memanfaatkan kerjasama internasional dengan negara-negara lain
sesuai dengan KAK 2003.

United Nations Convention Againts Corruption


UU Nomor 7 Tahun 2006

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

Pada tanggal 10 Desember 1948 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB)
mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia – DUHAM). DUHAM memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar,
termasuk cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik. Hal ini
dapat dicapai salah satu dengan diciptakannya kondisi dimana setiap orang dapat menikmati
hak-hak sipil dan politik yang diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan internasional. Indonesia
sendiri telah meratifikasi ICCPR pada 28 Oktober 2005 melalui Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And
Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang disertai
dengan Deklarasi terhadap Pasal 1 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik.

International Covenant on Civil and Political Rights


UU No 12 Tahun 2005
United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS)

Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Konferensi Hukum Laut ketiga telah berhasil mewujudkan
United Nations Conventions on the Law of the Sea yang ditandatangani oleh 117 negara di
Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. Indonesia sebagai salah satu negara
kepulauan, telah meratifikasi UNCLOS tersebut dengan UU Nomor 17 tahun 1985 sebagai
kelanjutan perwujudan dari konsep Doktrin Wawasan Nusantara yang merupakan satu kesatuan
terhadap tanah, daratan dan perairan.

United Nations Convention on the Law of the Sea


UU NOMOR 17 TAHUN 1985

Konvensi Jenewa Tahun 1949

Konvensi Jenewa 1949 adalah serangkaian empat konvensi internasional yang ditetapkan pada
Konferensi Diplomatik tentang Pemulihan Korban Perang yang diadakan di Jenewa, Swiss, pada
tahun 1949. Konvensi ini bertujuan untuk mengatur perlindungan dan perawatan terhadap korban
perang, termasuk prajurit terluka, anggota militer yang terdampar, dan penduduk sipil yang terkena
dampak konflik bersenjata. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi-konvensi Jenewa
1949 melalui Undang-Undang No. 59 tahun 1958.

Konvensi Jenewa Tahun 1949


Undang-Undang No. 59 tahun 1958

CEDAW

CEDAW adalah singkatan dari "Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women" atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai "Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan". Ini adalah perjanjian internasional yang
disepakati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1979.
Tujuan utama CEDAW adalah mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan kesehatan.
Perjanjian ini mengakui bahwa diskriminasi terhadap perempuan dapat menghambat kemajuan
dan perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah Indonesia resmi meratifikasi
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW)
melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.

CEDAW
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
Konvensi Tokyo 1963

Konvensi Tokyo 1963 mengacu pada "Convention on Offences and Certain Other Acts Committed
on Board Aircraft" atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai "Konvensi tentang Kejahatan dan
Beberapa Tindakan Lain yang Dilakukan di Dalam Pesawat Udara." Konvensi ini merupakan
perjanjian internasional yang ditetapkan di Tokyo, Jepang, pada tanggal 14 September 1963.
Konvensi ini bertujuan untuk memperluas yurisdiksi hukum negara-negara terkait terhadap
tindakan kejahatan yang terjadi di dalam pesawat udara sipil. Ini termasuk tindakan seperti
penculikan, ancaman terorisme, penyerangan terhadap awak pesawat, dan tindakan kriminal serius
lainnya yang dapat terjadi di pesawat udara. Hasil ratifikasinya adalah UU Nomor 2 Tahun 1976

Konvensi Tokyo 1963


UU Nomor 2 Tahun 1976

Konvensi Hak Anak-Anak (Convention on the Rights of the Child)

Konvensi Hak Anak-Anak (Convention on the Rights of the Child atau CRC) membahas hak-hak
yang dimiliki oleh anak-anak di seluruh dunia. Konvensi ini adalah perjanjian internasional yang
diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh sebagian
besar negara di dunia. Hasil Ratifikasinya: Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.

Konvensi Hak Anak-Anak


Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk Bekerja (Minimum Age Convention, 1973)

Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk Bekerja (Minimum Age Convention, 1973)
adalah perjanjian internasional yang dikeluarkan oleh Organisasi Buruh Internasional
(International Labour Organization, ILO) yang bertujuan untuk melindungi hak-hak anak-anak
dari eksploitasi kerja yang tidak sesuai dengan usia dan yang berbahaya bagi kesehatan dan
perkembangan fisik dan mental mereka. Hasil ratifikasinya adalah Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan

Konvensi ILO No. 138


Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Konvensi Wina 1961

Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatikSetelah berdirinya PBB pada tahun 1945,
untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik
telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya
mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah
digariskan secara rinci.Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua
aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Di samping itu, juga
terdapat 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk
menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu
beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31
Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana
42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52
negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan
sengketa.Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak
dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala
Perwakilan Diplomatik (Dubes); pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-
misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah
mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para diplomat dan keistimewaan
bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan pasal 48-53 berisi
tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya
Konvensi itu.

Konvensi Wina Tahun 1961 Tentang Hubungan Diplomatik


Undang-undang (UU) No. 1 Tahun 1982

Konvensi International Telecomunication Union di Montreux 1965

Konvensi International Telecommunication Union yang disetujui di Montreux pada tahun


1965, menggantikan Konvensi International Telecommunication Union di Geneva pada tahun
1959. Penggantian itu dilakukan berhubung secara berkala dan telah menjadi kebiasaan tiap lima
tahun sekali, dibuka kemungkinan untuk meninjau dan mengubah ketentuan-ketentuan
Konvensi yang berlaku agar dapat disesuaikan dengan perkembangan umum dan kemajuan teknik.
Indonesia sebagai anggota International Telecommunication Union telah menghadiri Kongres
Umum di Montreux dan menandatangani Konvensi Montreux 1965 itu disertai pula
penandatanganan Final Protocol, Additional Protocols I sampai IV dan 46 Resolusi-resolusi.
Dengan disahkannya Undang-undang ini, maka Konvensi International Teleconununication
Union Montreux 1965 telah diratipisir sesuai peraturan perundangan Indonesia untuk
kemudian dapat dideponir pada Sekretariat Jenderal International Telecommunication Union
yang berkedudukan di Geneva melalui saluran-saluran diplomatik sesuai dengan tata-cara
yang ditentukan. Berhubung dengan Final Protocol yang telah ditanda-tangani oleh Delegasi
Indonesia, maka pernyataan tentang tidak mengakui "Federation of Malaysia" dicabut kembali
dengan melampirkan hal ini pada Protokol Ratipikasi yang disampaikan kepada Sekretaris
Jenderal International Telecommunication Union. Pada penjelasan Undang-undang ini
dilampirkan uraian tentang ketentuan-ketentuan Konvensi International Telecommunication
Union, isi Final Protocol yang ditanda-tantani Indonesia serta isi Additional Protocols dan
resolutions.

KONVENSI INTERNATIONAL TELECOMUNICATION UNION


DI MONTREUX 1965
Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 1969

AANZFTA

Salah satu kerjasama perdagangan internasional Indonesia dengan negara mitranya adalah
ASEAN-Australia New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA). Kerjasama perdagangan ini
ditandatangani pada tanggal 27 Februari 2009 dan mulai dapat dimanfaatkan oleh Indonesia sejak
tahun 2012. Cakupan kerjasama perdagangan ini termasuk kedalam kategori komprehensif dan
mencakup perdagangan barang dan jasa. Secara umum, penurunan tariff dilakukan secara bertahap
dan ditargetkan minimum 90% lini tariff di Australia, New Zealand dan Indonesia akan nol pada
tahun 2025. Dalam kurun waktu 5 tahun implementasi (2012-2017), utilisasi kerjasama AANZFTA
oleh Indonesia masih tergolong sangat rendah. Ekspor Indonesia ke Australia yang telah
memanfaatkan tarif preferensial baru mencapai 32,67%. Bahkan, utilisasi yang lebih rendah
terlihat pada kinerja ekspor Indonesia ke New Zealand. Periode 5 tahun seharusnya sudah cukup
untuk melakukan penyesuaian dan melakukan pendalaman pasar di Australia dan New Zealand
dengan memanfaatkan skema AANZFTA, namun sayangnya eksportir Indonesia ternyata belum
mampu memanfaatkan peluang yang ada.

AANZFTA
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994

Anda mungkin juga menyukai