Anda di halaman 1dari 3

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

13/PUU-XVI/2018 TERHADA
P PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Oleh :
● Swara Adzani (11000120130617)
● Aisha Safa Kamila (11000120130640)
● Eliezer Patardo Siringoringo (11000120130624)
● Haniyah Salma Ariza (11000120130615)
● Ian Reinhart Hamonangan (11000120130644)
● Fikri Andrian Putra (11000120130653)
LATAR BELAKANG
Dalam dinamika kehidupan internasional, antarnegara tidak bisa saling lepas atau sali
ng bergantung khususnya dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakatnya itu sendiri. Kerja s
ama ini juga dilaksanakan untuk memberi ketentuan pada beberapa aktivitas negara-negara,
menyelesaikan masalah bersama yang ada, dan seterusnya. Selain itu, juga mempertahankan
eksistensi negara bersangkutan dalam kehidupan dan pergaulan antarnegara melalui perjanjia
n internasional sebagai sumber hukum. Indonesia sendiri, sejak tahun 2000 telah membuat se
kitar 100 perjanjian internasional yang secara dominan memuat materi mengenai ekonomi, in
vestasi, dan perdagangan.1 Hal ini merupakan wujud implementasi konstitusi Undang-Undan
g Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea ke-4, yaitu ikut serta dalam melaksana
kan ketertiban dunia. Pembuatan perjanjian internasional itu sendiri juga telah diatur dalam k
onstitusi pada Pasal 11, bahwa “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat me
nyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”. Dengan demiki
an, dapat disimpulkan, bahwa perjanjian internasional memiliki urgensitas bagi negara dalam
hal kebutuhan atau kepentingan vital negara itu sendiri atau eksistensinya pada pergaulan inte
rnasional.
Berkaitan dengan pengintergrasian perjanjian intenasional pada suatu sistem hukum n
asional, setiap negara memiliki ketentuannya masing-masing. Di Indonesia sendiri, telah diat
ur sendiri ketentuannya pada UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Melalu
i undang-undang ini dikenal istilah “pengesahan”, yaitu sebagai salah satu perbuatan hukum
yang bertujuan untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional. Pengesahan ini ter
1 Widagdo, S. (2019). Pengesahan Perjanjian Internasional Dalam Perspektif Hukum Nasional Indonesia. In Ar
ena Hukum (Vol. 12, Issue 1, pp. 195–214). https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2019.01201.10
dapat beberapa bentuk berupa ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (accept
ance), dan persetujuan (approval). Namun, dalam realitanya terdapat perbedaan yang akan m
emberikan pengaruh besar, yaitu ketentuan antara UUD NRI Tahun 1945 dengan UU Perjanji
an Internasional. Pada UUD NRI Tahun 1945, dalam mengesahkan perjanjian internasional d
iperlukan persetujuan DPR. Sedangkan pada UU Perjanjian Internasional, dalam tahap pemb
uatan dan pengesahan hanya membutuhkan konsultasi antara Menteri dengan DPR. Yang ke
mudian, diajukannya judicial review kepada Mahkamah Konstitusi dan menghasilkan Putusa
n MK No.13/PUU XVI/2018.

PEMBAHASAN
Proses pengesahan perjanjian internasional merupakan proses negara untuk mengikatk
an diri pada perjanjian tersebut. Terdapat perbedaan pada setiap negara mengenai proses peng
esahan tersebut. Pengesahan perjanjian internasional di Indonesia mengacu pada beberapa per
aturan perundang-undangan dan konvensi seperti Konvensi Wina 1969, UUD NRI 1945, Sur
at Presiden No. 2826/HK/60 Tahun 1960, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Undang-Und
ang No. 12 Tahun 2011 serta Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005.
Konvensi Wina 1969 mengatur mengenai cara negara bisa terikat pada sebuah perjanj
ian internasional. Menurut Pasal 11 Konvensi Wina 1969 cara untuk sebuah negara melakuka
n perjanjian internasional yaitu penandatanganan (signature), pertukaran instrumen (exchang
e of instruments), ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), persetujuan (approval), aks
esi (accession), atau dengan cara lainnya.
Pasal 2 UU Perjanjian Internasional bertentangan dengan pasal 11 ayat 2 UUD NRI 1
945 karena mengganti frasa “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dengan “berko
nsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat” dalam hal ini perjanjian internasional menyangku
t kepentingan publik. Penggantian frasa tersebut menurut Mahkamah Konstitusi dianggap tid
ak beralasan menurut hukum.
Selain itu, terdapat permohonan judicial review bahwa Pasal 9 ayat (2) Perjanjian Inte
rnasional bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD NRI 1945 dinyatakan tidak beralasan
menurut hukum. Pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan menurut hukum nasion
al merupakan konsekuensi pernyataan consent to be bound pemerintah terhadap adanya perja
njian internasional yang mensyaratkan adanya pengesahan.
Mahkamah Konstitusi menafsirkan konsep pembagian wewenang baru antara lembag
a eksekutif dan legislatif dalam konteks treaty making power berdasarkan UUD NRI 1945. Pe
rsetujuan DPR dapat diwujudkan dengan mekanisme konsultasi antara Pemerintah dan DPR
dalam bentuk rekomendasi, sedangkan pengesahan hukum nasional menerbitkan undang-und
ang atau peraturan presiden yang diatur dalam Pasal 9 UU Perjanjian Internasional.
Putusan Mahkamah Konstitusi berdampak terhadap jenis perjanjian internasional yan
g membutuhkan pengesahan dengan undang-undang serta tafsir terhadap peran DPR dalam pr
oses pengesahan perjanjian internasional. Jika suatu perjanjian internasional menimbulkan ak
ibat yang luas dan mendasar bahkan berhubungan dengan beban keuangan negara sesuai yang
diatur dalam pasal 11 UUD NRI 1945, pengesahannya tetap dilakukan dengan undang-undan
g sehingga tetap ada peran DPR di dalam proses pengesahan sebagai wujud persetujuan negar
a untuk mengikatkan diri pada hukum internasional tersebut dan tidak dibatasi oleh bidang-bi
dang tertentu saja.

KESIMPULAN
Pasal 2 UU Perjanjian Internasional bertentangan dengan pasal 11 ayat 2 UUD NRI 1
945 karena mengganti frasa “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dengan “berko
nsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat” dalam hal ini perjanjian internasional menyangku
t kepentingan publik. Putusan Mahkamah Konstitusi berdampak terhadap jenis perjanjian inte
rnasional yang membutuhkan pengesahan dengan undang-undang serta tafsir terhadap peran
DPR dalam proses pengesahan perjanjian internasional. Jadi, suatu perjanjian internasional da
pat menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bahkan berhubungan dengan beban keuanga
n negara sesuai yang diatur dalam pasal 11 UUD NRI 1945, pengesahannya tetap dilakukan d
engan undang-undang sehingga tetap ada peran DPR di dalam proses pengesahan sebagai wuj
ud persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada hukum internasional tersebut dan tidak di
batasi oleh bidang-bidang tertentu saja.

Anda mungkin juga menyukai