PERJANJIAN INTERNASIONAL
Dosen Pengampu
Disusun Oleh :
- Nisa Nur Islami (E0017355)
- Nurul Huda Dinda Lestari (E0017362)
- Onni Dwiatmi (E0017370)
- Puspita Maharani Pangestiningtyas (E0017380)
- Reza Amirul Hatman (E0017402)
- Riyadhi Saputra Wibowo (E0017410)
- Riza Setyo Nugraha (E0017411)
- Rizky Adi Nugraha (E0017413)
FAKULTAS HUKUM
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam
hubungan internasional dan serta mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan
negara-negara lain, baik bilateral maupun multilateral. Seiring perkembangannya bukan
hanya negara saja sebagai subjek hukum internasional yang dapat mengadakan perjanjian
internasional, namun pemerintah daerah pun mempunyai kewenangan juga untuk
mengadakan perjanjian internasional dengan negara-negara lain. Hal ini juga telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 yang memberikan kewenangan kepada daerah
untuk membuat perjanjian internasional, hal tersebut diatur dalam Pasal 5. Selain itu
kewenangan daerah dalam membuat perjanjian internasional diatur dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Mekanisme pembuatan
perjanjian internasional oleh daerah, pemerintah daerah dalam hal ini yaitu Gubernur,
Bupati, atau Walikota terlebih dahulu meminta pendapat dan pertimbangan kepada
DPRD terhadap rencana pembuatan perjanjian internasional. Perjanjian internasional tidak
hanya digunakan dalam rangka membahas objek-objek perjanjian internasional itu sendiri
namun juga dalam kaitannya mengenai pembahasan yang akan terjadi di kemudian hari
sebagai langkah preventif dan antisipasi apabila terjadi hal-hal yang dirasa tidak diinginkan
atau merugikan berbagai pihak. Sebuah daerah mengadakan perjanjian internasional kepada
sebuah kota di negara lain dapat disebut juga sebagai perjanjian sister’s city hal ini
merupakan langkah persahabatan agar kedua kota tersebut dapat bertukar budaya, informasi,
kemudahan akses, dsb. Selain itu, dalam melakukan hubungan luar negeri dalam kaitannya
kewenangannya membuat perjanjian internasional, ada aturan yang dibuat untuk
melaksanakan perjanjian tersebut, aturan ini digunakan untuk menertibkan, menghindari
perselisihan dan memelihara hubungan antarnegara
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui mekanisme pembuatan perjanjian internasional oleh pemerintah daerah
di Indonesia
2. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum serta hambatan pemerintah daerah dalam
melaksanakan perjanjian internasional
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ade Pratiwi Susanty Kewenangan Daerah Dalam Membuat Perjanjian Internasional Di Indonesia
,Jurnal Selat
Kapasitas hukum dari pemerintah daerah untuk dapat mengadakan kerjasama
internasional adalah terbatas. Bila naskah perjanjian internasional yang hendak dilakukan
oleh pemerintah daerah ada keterkaitan dengan bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama, perjanjian yang hendak dilakukan
memerlukan kekuatan penuh Pemerintah
Menurut Pasal 2 (1a) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, Perjanjian
internasional adalah persetujuan yang dilakukan oleh negara-negara, bentuknya tertulis dan
diatur oleh hukum internasional, apakah terdiri dari satu atau lebih instrumen dan apa pun
namanya.. Maksud pembentuk treaty mensyaratkan pesertanya harus negara dan bentuknya
tertulis semata-mata untuk memperkecil ruang lingkupnya. Sedangkan untuk sengketa yang
pihaknya bukan negara misalnya organisasi internasional pengaturannya ditemukan dalam
Konvensi Wina 1986 tentang perjanjian internasional untuk sesama organisasi internasional
atau organisasi dengan negara. Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian
internasional apabila perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional. Jadi,
walaupun para pihaknya adalah negara bila ada klausul bahwa para pihak tunduk pada hukum
nasional salah satu peserta maka perjanjian itu tidak dapat digolongkan sebagai perjanjian
internasional tetapi dapat disebut kontrak. Di Indonesia, perjanjian internasional diatur dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Perjanjian internasional menurut Undang-Undang No.
24 Tahun 2000 adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang
hukum publik. Undang-undang tentang perjanjian internasional ini sebenarnya merupakan
pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan kewenangan kepada
presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah
walaupun tidak diminta persetujuan sebelum pembuatan perjanjian internasional tersebut
karena pada umumnya pengesahan dengan keputusan presiden hanya dilakukan bagi
perjanjian internasional di bidang teknis.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemerintah daerah bukanlah subjek hukum dalam hukum internasional. Namun
demikian, para pakar hukum internasional juga setuju adanya treaty making power untuk
daerah dengan syarat, “sepanjang diberi mandat oleh konstitusinya”.
Sampai saat ini tidak ada undang-undang lain selain UU Nomor 24 Tahun 2000 yang
secara khusus mengatur tentang perjanjian internasional. Pasal 5 UU 24 Tahun 2000 tentang
PI menetapkan bahwa Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintah, baik departemen maupun
non departemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat PI,
terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan
menteri luar negeri.
Dengan ketentuan tersebut jelas bahwa pemerintah daerah hanya dapat menjadi
pemrakarsa pembuatan perjanjian internasional yang kemudian diharuskan melakukan
konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan menteri luar negeri.
Selanjutnya apabila merujuk lebih lanjut ke UU otonomi khusus dapat dilihat bahwa
menurut pasal 4 (6) UU 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua merumuskan bahwa
perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan
provinsi papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan gubernur dan sesuai dengan
perundang-undangan.
Ada lagi pasal 8(1) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh disebutkan
bahwa rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh
yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Apa
yang diatur dalam pasal ini sama seperti yang ada di UU Otsus Papua bahwa ketika
pemerintah pusat berencana membuat perjanjian internasional menyangkut daerah harus
melibatkan DPRA. Pasal ini aktornya tetap pemerintah pusat. Treaty making power ada di
pemerintah pusat.
Namun demikian, kehati-hatian harus dilakukan terhadap pasal 9 (1) dan (3) UU
Nomor 11 Tahun 2006. Ketentuan ini bisa ditafsirkan memberikan Treaty making power
pada pemerintah daerah Aceh, meskipun dalam perjanjiannya mencantumkan frasa
Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak jelas
dalam UU ini apakah dalam pembuatan kerja sama tersebut memerlukan persetujuan
pemerintah pusat atau tidak. UU ini berpotensi konflik dengan UU 24 Tahun 2000 khususnya
pasal 5 yang menyatakan bahwa pemda hanya bisa bertindak dalam kapasitas sebagai
lembaga pemrakarsa.
DAFTAR PUSTAKA
Pratiwi Susanty, Ade. ” Kewenangan Daerah Dalam Membuat Perjanjian Internasional Di
Dumoli Agusman, Damos. 2014. “ Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan