Anda di halaman 1dari 11

1

PERMASLAHAN (Problem Statement )

1. Pada Senin, 30 April 2018 dalam sidang membahas tentang Undang-undang Perjanjian
Internasional menyatakan Pembuatan perjanjian dengan negara lain secara sepihak oleh
presiden dinyatakan tidak sesuai dengan semangat revormasi, seharusnya presiden
membuat perjanjian internasional harus dengan persetujuan DPR.
2. Di mana Pernyataan tersebut disampaikan oleh Irfan R. Hutagalung seorang pakar
hukum Internasional,yang di mana dalam sidang pengujian Undang-undang perjanjian
Internasional, yang dipimpin oleh ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman diruang
sidang Mahkamah Konstitusi

3. Untuk perjanjian-perjanjian penting seperti perjanjian bebas, perjanjian kemitraan


seperti yang saya sebutkan perjanjian dengan Jepang, perjanjian dengan Cina, asean-
Indonesia-Cina, itu harus dimintakan persetujuan kepada DPR, dengan Undang-undang
yang ada untuk sekarang itu dinyatakan tidak mungkin (Pernyataan yang disampaikan
oleh Irfan R. Hutagalung sorang Ahli Hukum Internasional).
4. Dalam hal itu Hakim konstitusi dewa gede palaguna Menanggapi dan mempertanyakan
terkait siapakah yang mempunyai kredibilitas untuk diberikan kewenangan dalam
perjanjian Internasional.
 Sesungguhnya siapakah yang mempunyai kredensial untuk membuat perjanjian
Internasional? Apakah DPR atau Presiden selaku kepala negara, atau Menteri
Luar Negeri dalam hal tertentu, atau apakah Menteri-menteri Khusus yang
membahas persoalan spesifik yang ingin di muat dalam perjanjian Internasional
tersebut?

5. Menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut Irfan bahwa dalam Undang-undang Negara


untuk membetuk suatu Undang-undang, haruslah dilakukan oleh dua Lembaga yakni
DPR dan pemerintah yang dilakukan secara bersama-sama.

1
POSIS KASUS (Statement of Facts)

1. Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian

Internasional terdapat di pasal 4 yang dimana Pemerintah Republik Indonesia membuat

perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek

hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk

melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik, dan juga terdapat di pasal 5 ayat

1mengatakan Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen

maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat

perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai

rencana tersebut dengan Menteri.

2. Adapun di dalam undang-undang dasar 1945 mengatakan Undang-undang tentang Perjanjian

internasional merupakan pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan

kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945

bersifat ringkas sehingga memerlukan penjabaran lebih lanjut. Untuk itu, diperlukan suatu

perangkat perundang-undangan yang secara tegas mendefinisikan kewenangan lembaga

eksekutif dan legislatif dalam Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional serta aspek-

aspek lain yang diperlukan dalam mewujudkan hubungan yang dinamis antara kedua lembaga

tersebut.

3. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Menteri memberikan pendapat dan pertimbangan politis

dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional berdasarkan kepentingan nasional.

Sebagai pelaksana hubungan luar negeri dan politik luar negeri, Menteri juga terlibat dalam

setiap proses pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, khususnya dalam

2
mengkoordinasikan langkah-langkah yang perlu diambil untuk melaksanakan prosedur

pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional. Hal yang menyangkut kepentingan publik

adalah materi yang diatur dalam Pasal 10 undang-undang ini.

4. Presiden dan DPR mempunyai wewenang yang sama termasuk dalam Pasal 11 Undang-

Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) dalam pembuatan maupun

pengesahan perjanjian internasional. Pada perkembangannya saat ini, Mahkamah

Konstitusi melalui Putusan Nomor 13/PUU-XVI/2018 mengabulkan sebagian uji

materi aturan kewenangan DPR dalam perjanjian internasional di sejumlah pasal

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian International, khususnya

Pasal 10. Dalam pokok permohonannya disebutkan bahwa Pasal 10 dan Pasal 11

Undang-Undang Perjanjian Internasional yang diratifikasi oleh Undang-Undang dan

ada yang diratifikasi melalui Peraturan Presiden. Hal ini dikarenakan bentuk dari

instrumen ratifikasi menunjukkan ada atau tidaknya keterlibatan DPR.

5. Kekuatan politik Presiden lebih tinggi apabila dibandingkan dengan Dewan Perwakilan

Rakyat (yang selanjutnya disebut DPR) dalam pembuatan ratifikasi perjanjian

internasional. Hal ini dapat dilihat dari dominasi pemerintah yang kuat dalam

pengiriman anggota delegasi ke berbagai perundingan internasional dan adanya

keinginan pemerintah mendominasi usaha-usaha impelementasi perjanjian dalam

bentuk ratifikasi. Selama 54 tahun praktik ratifikasi di Indonesia dibawah pemerintahan

dua Presiden yang memiliki kekuasaan yang panjang dan represif memiliki peranan dan

wewenang yang sangat tinggi dalam implementasi ratifikasi perjanjian internasional.

Untuk mewujudkan kepentingan berbangsa dan bernegara, Presiden dan DPR

mempunyai kewenangan yang sama dalam penerapan suatu perjanjian internasional.

Presiden dan DPR harus dapat memberikan sebuah penafsiran kumulatif bagi primat

hukum nasional dan hukum internasional terhadap suatu perjanjian internasional

3
6. Menurut Melda Kamil Ariadno, dimana pemerintah memerlukan persetujuan DPR

dalam membuat suatu perjanjian Internasional dari maulai proses perencanaan ataupun

tahap perundingan, merupakan salah satu cara untuk melaksanakan analisa

implementasi. Melda Kamil menjelaskan, sebelum Pemerintah menandatangani satu

perjanjian Internasional perlu dijawab dulu apakah perjanjian tersebut selaras dengan

kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika memang

dibutuhkan untuk kepentingan nasional tetapi bertentangan dengan ketentuan hukum

internasional maka perlu ada analisa ketentuan hukum mana yang harus disesuaikan

untuk menjamin bahwa perjanjian Internasional itu dapat dilaksanakan dalam wilayah

nasional.

7. Undang-undang Dasar mengatakan, dengan persetujuan DPR, Presiden membuat

perjanjian Internasional. Ini mensyaratkan Presiden untuk membuat persetujuan dengan

DPR sebelum menandatangani perjanjian Internasional. Setelah tahap-tahap ini dilalui

barulah satu perjanjian Internasional disahkan dalam bentuk persetujuan antara DPR

dengan Presiden terhadap perjanjian Internasional, baik yang nantinya menghasilkan

Undang-undang maupun Peraturan Presiden. Sebelumnya perlu diklarifikasi mengenai

perjanjian internasional.

8. Akan tetapi Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 bahwa tidak

semua perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden mempersyaratkan adanya persetujuan

DPR melainkan hanya perjanjian-perjanjian internasional yang memenuhi persyaratan umum.

Dalam undang-undang Perjanjian Internasional tercantum konsultasi antara Menteri dengan

DPR dalam tahap–tahap pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional. Berdasarkan

undang-undang Perjanjian Internasional menyatakan bahwa Menteri memberikan

pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan

pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan DPR dalam hal yang

menyakut kepentingan public.

4
9. Adapun di pasal pasal 7 ayat 2 undang-undang nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian

internasinal mengatakan Mengingat kedudukan Presiden sebagai kepala

negara/kepala pemerintahan dan kedudukan Menteri Luar Negeri sebagai pembantu Presiden

dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan di bidang hubungan luar negeri, Presiden

dan Menteri Luar Negeri tidak memerlukan Surat Kuasa dalam menandatangani suatu

perjanjian internasional. Pejabat negara selain Presiden dan Menteri Luar Negeri memerlukan

Surat Kuasa. Dalam praktik dewasa ini, Surat Kuasa umumnya diberikan oleh Menteri Luar

Negeri kepada pejabat Indonesia, termasuk Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh

Republik Indonesia, dalam menandatangani, menerima naskah, menyatakan persetujuan

negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian dan menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan

dalam pembuatan perjanjian internasional. Dalam hal pinjaman luar negeri,

Menteri mendelegasikan kepada Menteri Keuangan.

10. Dalam Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PPU-XV1/2018 Terhadap

Kriteria Perjanjian internasional yang Harus Mendapatkan Persetujuan DPR. Sehingga Pasal 9

ayat (2) Undang-Undang Perjanjian Internasional adalah tentang pernyataan pengikatan diri

kepada perjanjian internasional, bukan permintaan persetujuan pemerintah kepada DPR.

Namun pernyataan pengikatan diri itu dirumuskan secara keliru karena mencampuradukkan

proses internal yang tunduk pada hukum nasional dengan proses eksternal yang tunduk pada

hukum internasional, jelas Ahli Hukum Irfan erhadap Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018

tersebut. Terhadap Putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018 ditemukan tindaklanjut dari

addresat putusan tersebut. Adapun tindak lanjut tersebut adalah terdapat usulan Revisi Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang sudah masuk ke dalam

Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hal itu ditandai dengan adanya Konsepsi Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tertanggal 2

Februari 2015 yang salah satunya bertujuan untuk menyempurnakan Undang-Undang tentang

Perjanjian Internasional dan mengharmoniskannya dengan Undang-Undang lain dan putusan

MK

5
DASAR HUKUM (Applicable Laws)

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Dalam Dokumen


Konstitusi Tertulis yang Menjadi Landasan Hukum Utama Republik Indonesia. UUD
1945 Menjelaskan Prinsip-Prinsip Dasar Negara, Hak-Hak Dan Kewajiban Warga
Negara, Serta Struktur Pemerintahan.
2. Undang-undang nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional

3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PPU-XVI/2018 terhadap kewenangan DPR


dalam Perjanjian Internasional.

6
ANALISA HUKUM (Laws Analysis)

1. Peran DPR seharusnya menyetujui atau menolak tindakan pemerintah yang akan
mengikatkan diri dalam kesepakatan/perjanjian internasional sesuai maksud Pasal 11
UUD 1945. Setiap perjanjian internasional seharusnya membutuhkan persetujuan DPR
terutama ketika substansi perjanjiannya berdampak terhadap masyarakat luas. Hal ini
wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dimanatkan Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun
1945 agar tercipta partisipasi, transparansi dan akutanbilitas dalam alam demokrasi.
Pandangan ini disampaikan pengajar hukum ekonomi Universitas Lancang Kuning
Pekanbaru Cenuk Widiyastrisna Sayekti saat memberi keterangan sebagai ahli di
sidang lanjutan pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional di Gedung MK Jakarta, persetujuan DPR dalam perjanjian
internasional sesuai prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat melalui pelaksananya
(DPR). Usulan Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional bertujuan untuk menyempurnakan Undang-Undang tentang Perjanjian
Internasional dan mengharmoniskannya dengan undang-undang lain dan putusan
Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya usulan Perubahan ini, mekanisme pembuatan
dan pengesahan perjanjian internasional semakin mengutamakan kepentingan nasional
dan tidak merugikan daerah.
2. Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2000 tentang
perjanjian internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional
diberikan kepada Presiden Republik Indonesia. Hal ini diatur dalam Berdasarkan
undang-undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian
internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional diberikan kepada
Presiden Republik Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan
bahwa pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan,
perundingan perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan oleh delegasi
Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain sesuai dengan materi
dan cakupan kewenangan masing-masing. Selain itu, Pasal 11 ayat (1) menyatakan
bahwa pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia
dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut

7
3. Dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menyebut, “Presiden dalam membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Mereka meminta MK agar Pasal 2 dan 11
ayat (1) UU Perjanjian Internasional dihapus/dibatalkan karena bertentangan dengan
Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun 1945. Dan, Pasal 9 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional sepanjang frasa”dilakukan dengan undang-undang
atau keputusan presiden” bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat
(1) UUD Tahun 1945. Dalam Pasal 11 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa
ketentuan mengenai perjanjian Internasional ini diatur dengan Undang-undang.
Berkaitan dengan ketentuan tersebut, Undang-undang yang perlu kita rujuk adalah
Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian
Internasional).
4. Pasal 61 Konstitusi Prancis menetapkan bahwa Dewan Konstitusional dapat menguji
kesesuaian perjanjian internasional dengan konstitusi Prancis jika diusulkan oleh
Presiden, Perdana Menteri, dan Parlemen sebelum perjanjian internasional tersebut
diratifikasi. Namun pengujian ini hanya dapat dilakukan sebelum perjanjian
internasional diratifikasi, dan tidak dapat dilakukan setelah perjanjian internasional
tersebut diratifikasi. Selain itu, Pasal 61 Konstitusi Prancis juga menentukan bahwa
perjanjian internasional yang telah diratifikasi berkedudukan di atas undang-undang.
Dalam keadaan tertentu, organisasi internasional bahkan dapat berkedudukan lebih
tinggi dari konstitusi Prancis. Jika suatu perjanjian internasional tidak sesuai dengan
konstitusi Perancis, maka perlu dilakukan amandemen konstitusi sebelum perjanjian
internasional tersebut diratifikasi
5. Pengesahan terhadap perjanjian internasional, jika dilihat dari prosedur eksternal, maka
harus dimaknai sebagai “konfirmasi”, yakni perbuatan hukum untuk meningkatkan diri
pada perjanjian internasional. Sementara itu, pengesahan sebagai prosedur internal
harus dimaknai sebagai “Persetujuan DPR”, yang juga dapat dimaknai sebagai
konfirmasi dari legislatif kepada presiden, agar presiden melakukan pengesahan dalam
arti eksternal. Bentuk hukum dari pengesahan perjanjian internasional adalah Peraturan
Presiden (Perpres), karena sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar,
maka perjanjian internasional seharusnya berwadah atau berbentuk hukum Peraturan

8
Presiden, karena Presiden adalah wakil negara dalam berhubungan dengan negara lain,
sehingga secara yuridis tepat sekali jika presiden yang berhak secara berkeseluruhan.

6. Perjanjian Internasional yang harus melalui persetujuan DPR (Dewan Perwakilan


Rakyat) adalah bahwa dalam sistem pemerintahan suatu negara, perjanjian tersebut
tidak dapat dianggap sah atau mengikat tanpa persetujuan dan ratifikasi dari badan
Legislatife atau lembaga yang setara, seperti DPR di Indonesia. Hal ini
menggarisbawahi pentingnya proses demokratis dalam menjalankan kewajiban
internasional dan memastikan bahwa perjanjian tersebut mencerminkan kepentingan
dan kebijakan negara yang bersangkutan. Dalam pembuatan perjanjian internasional,

9
KESIMPULAN (Conclusion)

Berdasarkan analisis mengenai siapa yang berwenang dalam pembentukan perjanjian


internasioanl disimpulkan bahwa Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Luar Negeri
adalah aktor yang memiliki kewenangan untuk membuat perjanjian internasional. Namun,
apabila perjanjian internasional masuk ke dalam kategori sebagaimana tercantum pada
Pasal 53 Konstitusi, maka Parlemen perlu mengeluarkan act of parliament sebagai bentuk
persetujuan terhadap proses ratifikasi atau approval dari perjanjian internasional tersebut.
Dewan Konstitusional juga dapat melakukan pengujian kesesuaian perjanjian internasional
dengan konstitusi apabila diusulkan oleh Presiden, Perdana Menteri, dan Parlemen.
Namun, DPR RI tidak memiliki kewenangan untuk membuat perjanjian internasional.
Namun Hal tersebut memberikan konsekuensi bahwa dalam setiap penyelenggaraan
negara harus menjunjung partisipasi rakyat dan memberikan jaminan keadilan dan
kepastian hukum bagi tiap-tiap warga negara. Sebuah Perjanjian internasional memiliki
konsekuensi yang luas terhadap kepentingan nasional dengan mengikatkan diri dengan
negara lain dalam perjanjian tersebut, sehingga dalam pengesahannya perlu mendapat
partisipasi dari rakyat selaku pemegang kedaulatan melalui wakil rakyat yakni DPR.

Di Peran DPR dalam perjanjian internasional juga diperjelas dengan Putusan MK


Nomor 13/PUU-XVI/2018. Dalam praktiknya, diperlukan payung hukum dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang telah diharmonisasikan dengan Putusan MK dan juga
mencakup aspek pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional demi kepastian
hukum. Harapannya, akan lahir sebuah Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional
yang dicita-citakan yang dapat menjangkau hak konstitusional seluruh warga negara.

10

Anda mungkin juga menyukai