Anda di halaman 1dari 3

Nama : Rahmawaty Mustafa

Kelas : C
NIM : 1011421090
Tugas : 5

1. Jelaskan apa saja yang anda ketahui soal perjanjian internasional?


2. Apa saja yang menjadi muatan dalam Juducal Review Mahkamah Konstitusi dalam Undang-
Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional? Beserta analisis.

Jawaban
1. Perjanjian internasional merupakan persetujuan yang di lakukan oleh subjek-subjek
Hukum Internasional yang dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban yang dapat
mengikat dalam hukum internasional, yang perjanjian yang berbentuk bilateral (antara 2
negara) maupun multilateral (dibuat oleh lebih dari 2 negara)

Jika merujuk pada UU Nomor 24 tahun 2004, perjanjian Internasional itu merupakan
perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang
dibuat secara tertulis dan menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum

Definisi dari perjanjian Internasional juga dijelaskan dalam pasal 2 ayat 1 huruf a
konvensi wina 1969, yakni
“perjanjian internasional merupakan perjanjian yang dibuat oleh negara-negara dalam
bentuk tertulis serta diatur oleh hukum internasional, baik yang diwujudkan dalam satu
instrumen tunggal maupun dua atau lebih instrumen terkait, dan apapun sebutan
Khususnya.

Prosedur perjanjian Internasional secara umum diatur dalam konvensi wina 1969.
Konvemsi tentang perjanjian Internasional itu dibentuk pada 23 Mei 1969, tetapi baru
berlaku efektif mulai 27 Januari 1980 setelah diratifikasi oleh 35 negara.

Perjanjian Internasional dapat diklasifikasi menjadi 2 jenis. Pertma, treaty contract, yakni
perjanjian yang hanya menimbulkan akibat hukum (hak dan kewajiban) bagi para pihak
yang yerlibat di dalamnya, kedua law making treaty, yaitu perjanjian yang mewujufkan
ketentuan dan kaidah hukum bagi masyarakat Internasional secara keseluruhan

Sebelum perjanjian Internasional dibentuk, ada beberapa tahapan-tahapan yang harus


dilalui secara teknis. Perjanjian intetnasional akan mulai berlaku ketika semua subjek
hukum termasuk negara, yang terlibat dalam proses penyusunannya sudah bersedia saling
terikat melalui penandatanganan Oleh wakil masing-masing pihak.
Adapaun tahap dalam proses penyusunan perjanjian internasional yaitu: perundingan
(negotiation), penandatanganan (signature), pengesahan (ratification)

Ada 6 asas perjanjian Internasional antara lain:


1. Pacta Sunt servanda
2. Egality Rights
3. Reciprocity
4. Bonafides
5. Courtesy
6. Rebus Sic Stantibus

2. Tanggal 22 November 2018, MK memutus uji materil mengenai Undang-undang No. 24


Tahun 2000 tentang perjanjian internasional. Gugatan uji material dilakukan oleh
beberapa kelompok madani dan para petambak garam tradisional.
Pokok persoalan dalam gugatan adalah apakah seluruh perjanjian internasional harus
mendapat pengesahan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk
mengikat dan berlaku di Indonesia?

Adapun Gugatan pembatalan yang diajukan terhadap pasal 2, pasal 9 (2), pasal 10 dan
pasal 11 ayat (1) UUPI
Dalam permohonannya, pemohon menilai pasal 2, pasal 9 (2), pasal 10 dan pasal 11 ayat
(1) UU perjanjian Internasional merugikan hak Konstitusionalnya yang dijamin oleh
UUD 1945. Yang dimana ketiga norma tersebut mengatur mengenai peran Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional.
Disini pemohon menilai bahwa seluruh ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD
1945 terutama pasal 11 ayat (2) UUD 1945.

Dalam putusan tersebut, Mahkamah menolak dalil terkait konstitusionalitas pasal 2, pasal
9 (2), dan pasal 11 ayat (1) UU perjanjian Internasional. Mahkamah menilai dalil
pemohon terkait ketiga pasal tersebut tidak beralasan menurut hukum. namun menerima
satu permohonan pembatalan Pasal 10 UUPI. MK memutus bahwa Pasal 10 UUPI
dinyatakan tidak berlaku sebab bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 11 ayat
(2) dan Pasal 28 D ayat (1).

Dalam gugatan disebutkan bahwa:


“Kesalahan dalam mengkualifikasikan perjanjian internasional tentunya akan berdampak
terhadap hilangnya kontrol rakyat yang direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) untuk secara hati-hati mengikatkan Indonesia kepada perjanjian internasional yang
akan membawa dampak secara langsung terhadap kedaulatan negara. Sehingga hak-hak
rakyat tidak akan dirugikan dan tidak akan dilanggar atas penerapan perjanjian internasional
ke dalam hukum nasional.”
Selanjutnya disebutkan bahwa: “…kewenangan persetujuan DPR sebagai representasi rakyat
dihilangkan dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.”
Ketentuan Pasal 10 UUPI dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena frase “menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” yang dimuat dalam Pasal 11
ayat (2) UUD 1945” telah dimaknai secara terbatas dalam 6 jenis perjanjian saja yang wajib mendapat
persetujuan DPR (Pasal 10 huruf a - f UUPI). Selain itu, Pasal 10 dinilai menciptakan norma hukum
baru yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Seharusnya, norma hukum lebih rendah tidak boleh
menciptakan norma hukum baru yang tidak diatur oleh hukum yang lebih tinggi
Selain itu, Mahkamah juga menegaskan bahwa proses konsultasi dengan DPR dan proses permintaan
persetujuan DPR adalah dua hal yang berbeda. Lembaga konsultasi masih tetap dapat dilakukan dan
bukan serta merta menggantikan proses permintaan persetujuan dari DPR.
Signifikansi Putusan MK
a. Putusan MK meluruskan bahwa tidak semua perjanjian internasional harus mendapat persetujuan
DPR. Mahkamah menyatakan: “…menurut praktik yang umum berlaku hingga saat ini, tidak selalu
dipersyaratkan adanya persetujuan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen jika perjanjian demikian
tidak dianggap penting menurut negara yang bersangkutan…”
b. MK menekankan kriteria perjanjian internasional yang pengesahannya perlu mendapat persetujuan
DPR sebagaimana diatur Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, yaitu: “menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang”
c. Sesungguhnya isu kriteria untuk menentukan perjanjian internasional mana yang perlu persetujuan
DPR bukanlah hal baru. Hal ini pernah dibahas dalam UU yang mengatur mengenai MPR, DPR,
DPRD dan DPD atau yang biasa disebut dengan UU MD3. Selain itu, pada dasarnya “problem kriteria
perjanjian mana” telah menjadi pembahasan dalam proses revisi UUPI yang sedang dibahas Kemenlu
keputusan MK ini menarik bukan saja dari segi praktik, namun juga dari segi akademis. Debat
akademis ini secara tegas disebut dalam dokumen putusan. Selain itu, isu ini bukan saja mengenai isu
hukum, tetapi juga isu politis, khususnya peran DPR dalam hubungan internasional dan perjanjian
internasional. Putusan MK menegaskan bahwa peran parlemen sangat signifikan dalam pengesahan
perjanjian internasional, khususnya di bidang ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai