Anda di halaman 1dari 6

LEGAL OPINION

Tarakan 4 November 2023

A. Permasalahan ( Problem S tatemen)


1. Pembatasan Kewenangan Presiden dalam Pembuatan Perjanjian Internasional:
Persoalan hukum yang mengemukakan adalah apakah pembuatan perjanjian
internasional secara sepihak oleh presiden sudah sesuai dengan semangat reformasi dan
prinsip demokrasi atau tidak. Hal ini muncul pertanyaan tentang sejauh mana presiden
seharusnya memiliki kewenangan dalam pembuatan perjanjian internasional tanpa
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2. Permasalahan kedua berkaitan dengan pertanyaantentang siapa yang memiliki
kredensial dan wewenang sebenarnya dalam pembuatan perjanjian internasional. Ini
menggaris bawahi perdebatan mengenai peran dan tanggung jawab Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), presiden sesebagai kepala negara, menteri luar negeri, atau menteri-
menteri khusus dalam menentukan isu-isu tertentu yang pasti akan dimuat dalam
perjanjian internasional, serta bagaimana proses ini seharusnya diatur dalam undang-
undang negara.

B. Posisi kasus (Statement of Facts )


Bahwa pada senin 30 April 2018 sidang pengujian materi UU perjanjian internasional.
Pembuatan perjanjian Internasional dengan negara lain secara secara sepihak oleh presiden
tidak sesuai dengan semangat reformasi seharusnya presiden membuat perjanjian
internasional harus dengan persetujuan DPR penyampaian tersebut disampaikan Irfan R
Hutagalung (pakar hukum internasional) dalam sidang pengujian undang undang
perjanjian internasional Yang dipimpin oleh ketua MK Anwar Usman menyatakan bahwa
untuk perjanjian perjanjian penting Seperti perjanjian perdagangan bebas perjanjian
kemitraan. Yang saya sebutkan perjanjian dengan Jepang, kementrian dengan Jepang
dengan China, Asean Indonesia China itu harus di mintakan persetujuan kepada DPR
dengan Undang- undang yang ada sekarang itu tidak mungkin menanggapi menanggapi
keterangan tersebut Hakim Konstitusi Ideologi I Dewa Gede Palguna mempertanyakan
tentang yang mempunyai kereabilitas untuk memberikan kewenangan perjanjian
internasional. DPR atau Presiden atau Menteri Luar Negeri dalam hal tertentu atau
Menteri-menteri khusus . Menjawab pertanyaan tersebut Irfan mengatakan bahwa dalam
Undang-undang Negar untuk membentuk suatu undang-undang haruslah dilakakan oleh
dua lembaga DPR dan pemerintah secara bersama-sama.

C. Dasar Hukum ( Legal Basis )


1. Undang-Undang Negara Republik indonesia Tahun 1945.
2. Udang- Undang 24 Tahun 2000 Tentang perjanjian internasional.
3. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
4. Pasal 19 konstitusi prancis.
5. Pasal 61 konsititusi prancis.
D. Analisis Hukum ( Legal Analysis )

Berdasarkan informasi dan dasar hukum yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Peran DPR seharusnya menyetujui atau menolak tindakan pemerintah yang akan
mengikatkan diri dalam kesepakatan/perjanjian internasional sesuai maksud Pasal
11 UUD 1945. Setiap perjanjian internasional seharusnya membutuhkan
persetujuan DPR terutama ketika substansi perjanjiannya berdampak terhadap
masyarakat luas. Hal ini wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dimanatkan
Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun 1945 agar tercipta partisipasi, transparansi dan
akutanbilitas dalam alam demokrasi.
2. Berdasarkan undang undang Republik Indonesia 1945 pasal 11 angka (1) Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilam Rakyat menyatakan peran membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, sebagaimana di tegaskan dalam
pasal 11 Ayat 2 “ Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan bebena keuangan negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang- undang harus dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat
hal ini sangat berbeda denga undang- udang 24 tahun 2000 Tentang perjanjian
internasional.
3. Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2000 tentang
perjanjian internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional
diberikan kepada Presiden Republik Indonesia. Hal ini diatur dalam Berdasarkan
undang-undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian
internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional diberikan
kepada Presiden Republik Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) yang
menyatakan bahwa pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap
penjajakan, perundingan perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan
oleh delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain
sesuai dengan materi dan cakupan kewenangan masing-masing. Selain itu, Pasal
11 ayat (1) menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional oleh
Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh
perjanjian internasional tersebut.

4. Setelah diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan (UU No. 10/2004), pengesahan perjanjian antara negara
Republik Indonesia dan negara lain atau badan Internasional tidak lagi dapat
dilakukan dengan Keppres tapi dengan Peraturan Presiden (Perpres), hal tersebut
sesuai dengan ketentuan pasal 46 ayat (1) huruf c butir 1 UU No. 10/2004. Jadi,
persetujuan DPR diberikan pada saat perjanjian internasional akan disahkan
menjadi Undang-undang, bukan sebelum penandatangan perjanjian Internasional.
5. Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Luar Negeri adalah aktor yang memiliki
wewenang untuk menandatangani perjanjian internasional.
6. Pasal 19 Konstitusi Perancis mengatur mengenai perjanjian internasional (PI) dan
prosedur yang berkaitan dengan perjanjian internasioal. Berdasarkan Pasal 19
Konstitusi Prancis, tanda tangan Presiden pada PI wajib menyertakan tanda tangan
dari Perdana Menteri dan Menteri yang bertanggung jawab.
7. Apabila perjanjian internasional masuk ke dalam kategori sebagaimana tercantum
pada Pasal 53 Konstitusi, maka Parlemen perlu mengeluarkan act of parliament
sebagai bentuk persetujuan terhadap proses ratifikasi atau approval dari perjanjian
internasional tersebut. Namun, apabila perjanjian internasional tidak masuk ke
dalam kategori tersebut, maka perjanjian internasional dapat diratifikasi oleh
Presiden atau disetujui oleh Menteri Luar Negeri tanpa perlu persetujuan dari
Parlemen.
8. Pasal 61 Konstitusi Prancis menetapkan bahwa Dewan Konstitusional dapat
menguji kesesuaian perjanjian internasional dengan konstitusi Prancis jika
diusulkan oleh Presiden, Perdana Menteri, dan Parlemen sebelum perjanjian
internasional tersebut diratifikasi. Namun pengujian ini hanya dapat dilakukan
sebelum perjanjian internasional diratifikasi, dan tidak dapat dilakukan setelah
perjanjian internasional tersebut diratifikasi. Selain itu, Pasal 61 Konstitusi Prancis
juga menentukan bahwa perjanjian internasional yang telah diratifikasi
berkedudukan di atas undang-undang. Dalam keadaan tertentu, organisasi
internasional bahkan dapat berkedudukan lebih tinggi dari konstitusi Prancis. Jika
suatu perjanjian internasional tidak sesuai dengan konstitusi Perancis, maka perlu
dilakukan amandemen konstitusi sebelum perjanjian internasional tersebut
diratifikasi.
9. Perjanjian Internasional yang harus melalui persetujuan DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat) adalah bahwa dalam sistem pemerintahan suatu negara, perjanjian tersebut
tidak dapat dianggap sah atau mengikat tanpa persetujuan dan ratifikasi dari badan
Legislatife atau lembaga yang setara, seperti DPR di Indonesia. Hal ini
menggarisbawahi pentingnya proses demokratis dalam menjalankan kewajiban
internasional dan memastikan bahwa perjanjian tersebut mencerminkan
kepentingan dan kebijakan negara yang bersangkutan. Dalam pembuatan
perjanjian internasional, pengaruh politik kewenangan presiden lebih
mendominasi daripada kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat.
E. Kesimpulan.
Berdasarkan analisis hukum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Presiden,
Perdana Menteri, dan Menteri Luar Negeri memiliki kewenangan untuk membuat
perjanjian internasional. Namun, apabila perjanjian internasional masuk ke dalam kategori
sebagaimana tercantum pada Pasal 53 Konstitusi, maka Parlemen perlu mengeluarkan act
of parliament sebagai bentuk persetujuan terhadap proses ratifikasi atau approval dari
perjanjian internasional tersebut. Dewan Konstitusional juga dapat melakukan pengujian
kesesuaian perjanjian internasional dengan konstitusi apabila diusulkan oleh Presiden,
Perdana Menteri, dan Parlemen. Namun, DPR RI tidak memiliki kewenangan untuk
membuat perjanjian internasional.

Anda mungkin juga menyukai