1
Umi Chalsum Fareza, Hendrik B. Sompotan, Revy S. M. Korah. 2021. Pengesahan Perjanjian
Internasional Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/Puu-Xvi/2018 Terhadap Undang-
Salah satu tahapan penting dalam proses pembuatan perjanjian internasional
yaitu proses ratifikasi. Persoalan ratifikasi ini bukan hanya persoalan hukum
perjanjian internasional tetapi juga merupakan persoalan di bidang hukum tata
negara. Praktik mengenai ratifikasi di Indonesia sampai saat ini agak tidak
menentu. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
bukan saja tidak terdapat pembagian perjanjian dalam golongan mana yang
memerlukan dan tidak memerlukan persetujuan parlemen, bahkan tidak
ditemukan kata ratifikasi itu sendiri apalagi terhadap pembedaaan antara
persertujuan atau pengesahan terhadap perjanjian internasional.2
2. Bagaimana pengesahan dan pemberlakuan suatu perjanjian internasional
berdasarkan UU 24/2000?
Proses pengesahan perjanjian internasional dilihat dari dua perspektif, yakni
eksternal dan internal. Pembagian wewenang lembaga negara (treaty making
power) dalam prosedur pengesahan perjanjian internasional merupakan bagian
dari perspektif internal, setiap negara memiliki tugas dan wewenang lembaga
yang berbeda sehingga konsep treaty making power dalam prosedur pengesahan
perjanjian internasional juga berbeda-beda. Pengesahan Perjanjian Internasional
kedalam hukum nasional merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
baik berbentuk UU ataupun Peraturan Presiden.
Dari sudut pandang Indonesia pengesahan perjanjian internasional diatur di
dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Undang-undang tersebut mengatur tata cara pengesahan suatu perjanjian
internasional sesuai dengan jenis perjanjiannya. Pengesahan perjanjian
internasional menjadi hukum positif Indonesia menggunakan sistem campuran,
yakni oleh badan eksekutif dan legislatif dalam bentuk undang-undang atau
keputusan presiden sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (2) Undang
Undang Nomor 24 Tahun 2000. Pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional
dalam bentuk undang-undang diurusi oleh Direktorat Perjanjian Politik,
Keamanan dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Sedangkan yang menangani pengesahan/ratifikasi dalam bentuk keputusan
presiden adalah Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia. Pengesahan Perjanjian Internasional harus
diartikan dari dua perspektif perosedur yang terpisah namun terkait, yaitu
prosedur internal dan prosedur eksternal. Dari perspektif prosedur internal,
Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
2
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. 2013.Pengantar Hukum Internasional. PT. Alumni,
Bandung, hlm.130
pengesahan perjanjian internasional adalah masalah hukum tata Negara, yaitu
hukum nasional Indonesia yang mengatur kewenangan eksekutif dan legeslatif
dalam pembuatan perjanjian internasional.
Pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan dengan tiga prosedur
yaitu: 3
1. Prosedur Internal
Pengikatan diri terhadap perjanjian internasional menurut hukum
nasional Indonesia didasarkan atas Pasal 11 UndangUndang Dasar NRI
Tahun 1945 yang berbunyi: “Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain” dan pasal-pasal dalam Undang-Undang
Nomor 24 tentang Perjanjian Internasional, yaitu Pasal 9, 10, 11, dan 15.
Selanjutnya terkait pengertian Pengesahan yang dimaksud oleh UU ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat 2 adalah perbuatan hukum untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk
ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan
persetujuan (approval).
Dalam pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang
undang, langkahlangkah yang harus dilakukan sebagai berikut:
a. Lembaga pemrakarsa/focal point mengajukan ijin prakarsa kepada
Presiden melalui Menteri luar Negeri RI. Dalam surat tersebut dijelaskan
antara lain hal-hal yang mendasari pentingnya pengesahan perjanjian
dimaksud bagi Indonesia, dengan me-lampirkan 1 (satu) Naskah
Akdemik dan 1 (satu) Salinan Naskah Resmi (certified true copy)
perjanjian inter-nasional beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
b. Lembaga pemrakarsa setelah men-dapat ijin prakarsa dari Presiden,
akan membentuk panitia Antar-Depar-temen yang berangggotakan
Deplu, Depertemen Kehakiman dan HAM, Sekretariat Negara serta
instansi teknis lainnya.
c. Panitia Antar-Departemen bertugas untuk menyiapkan Rancangan
UndangUndang bagi Pengesahan suatu Perjanjian. Apabila Panitia-
Antar Departemen telah selesai menyiapkannya, lembaga pemrakarsa
akan meminta tanggapan dan pesetujuan dari semua instansi yang terkait
sebagaimana dimaksud dalam butir b diatas.
3
Setyo Widagdo. Pengesahan Perjanjian Internasional dalam Perspektif Hukum Nasional
Indonesia. Arena Hukum Volume 12 Nomor 1, April 2019. Hal 205.
d. Lembaga pemrakarsa menyiapkan 1 (satu) Rancangan undang-Undang,
1 (satu) Naskah Akadremik, 45 salinan (copy) naskah perjanjian beserta
terjemahannya, serta dokumen lain yang diperlukan kepada Deplu cq
Direktorat yang menangani perjanjian internasional, setelah
mendapatkan tanggapan dan persetujuan dari instansi terkait.
e. Deplu cq Direktorat yang menangani perjanjian internasional, akan
menyampaikan surat Amanat Presiden bagi pembahasan RUU tentang
pengesahan Perjanjian Internasional, setelah menenliti kelengkapan
dokumen. Apabila disetujui Presiden RI akan mengeluarkan amanat
Presiden yang akan menunjuk menteri-menteri/kepada instansi ter-kait
untuk mewakili pemerintah dalam pembahahasan RUU Pengesahan di
DPR.
f. Lembaga pemrakarsa mengadakan koordinasi tentang jadwal pem-
bahasan RUU dimaksud dengan pihak sekretariat DPR dan sekretariat
komisi yang menangani substansi perjanjian. Untuk keperluan pem-
bahasan di DPR, lembaga pemrakarsa menyiapkan salinan (copy)
naskah perjanjian, RUU pengesahan, naskah akademik dan dokumen
lainnya sebanyak yang diperlukan bagi pembahasan.
g. Setelah disetujui oleh DPR dalam bentuk Undang-Undang, dan diterbit-
kan dalam Lembaran Negara, pengikatan diri Republik Indonesia
terhadap perjanjian internasional (melalui instrument of ratification/
accession/approval) disampaikan oleh Menteri Luar Negeri kepada para
pihak (bilateral/trilateral) atau Des-positary Government/Organization
(Multiralteral).
2. Pengaturan Khusus
Mengingat prosedur pengesahan melalui Undang-Undang/Peraturan
Presi-den pada hakekatnya adalah sama dengan pembuatan Undang-
Undang/Peraturan Presiden maka secara khusus prosedur ini juga tunduk
pada rejim Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundangundangan dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun
2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan, Ran-cangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan
Peraturan Presiden.
3. Prosedur Eksternal
Pengesahan menurut hukum perjanjian internasional dapat dilakukan
dalam bentuk: ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan
(acceptance), penyetujuan (approval). Praktik Indonesia selama ini selalu
menggunakan istilah ratifikasi atau aksesi. Ratifikasi adalah bentuk
pengesahan terhadap perjanjian (pada umumnya perjanjian multilateral)
yang sudah ditandatangani oleh pemerintah RI, sedangkan aksesi adalah
pengesahan terhadap perjanjian yang tidak ditandatangani.
3.Dalam bentuk matriks perbandingan, apa saja perbedaan dari pengaturan terkait
perjanjian internasional berdasarkan UU 24/2000 dengan VCLT?4
N
UU 24/2000 VCLT Perbandingan
O
2 Surat Kuasa (Full Powers) - surat "Full powers" means a document VCLT membedakan
yang dikeluarkan oleh Presiden emanating from the competent antara Fullpowers dan
atau Menteri yang memberikan authority of a State designating a Credentials
kuasa kepada satu atau beberapa person or persons to represent (analisis setelah tabel)
orang yang mewakili Pemerintah the State for negotiating,
Republik Indonesia untuk adopting or authenticating the
menandatangani atau menerima text of a treaty, for expressing the
naskah perjanjian, menyatakan consent of the State to be bound
4
Nanda Indrawati. 2020. Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018. Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
persetujuan negara untuk
mengikatkan diri pada
perjanjian, dan/atau
menyelesaikan hal-hal lain yang
diperlukan dalam pembuatan
perjanjian internasional;
3 Prinsip Perjanjian Internasional Article 26. "PACTA SUNT UU 24/2000 sama sekali
SERVANDA" Every treaty in tidak menyebutkan
force is binding upon the parties mengenai beberapa
to it and must be performed by prinsip dalam Perjanjian
them in good faith. Internasional.
Article 27. INTERNAL LAW AND
OBSERVANCE OF TREATIES
A party may not invoke the
provisions of its internal law as
justification for its failure to
perform a treaty. This rule is
without prejudice to article 46.
SECTION 2. APPLICATION OF
TREATIES
Article 28. NON-
RETROACTIVITY OF
TREATIES Unless a different
intention appears from the treaty
or is otherwise established, its
provisions do not bind a party in
relation to any act or fact which
took place or any situation which
ceased to exist before the date of
the entry into force of the treaty
with respect to that party.
Article 29. TERRITORIAL
SCOPE OF TREATIES Unless
a different intention appears from
the treaty or is otherwise
established, a treaty is binding
upon each party in respect of its
entire territory.
4 Pihak ketiga dalam perjanjian Article 34. GENERAL RULE UU 24/2000 tidak
REGARDING THIRD STATES mengatur tentang pihak
A treaty does not create either ketiga dalam perjanjian
obligations or rights for a third
State without its consent.
Article 35. TREATIES
PROVIDING FOR
OBLIGATIONS FOR THIRD
STATES An obligation arises for
a third State from a provision of a
treaty if the parties to the treaty
intend the provision to be the
means of establishing the
obligation and the third State
expressly accepts that obligation
in writing.
Article 36. TREATIES
PROVIDING FOR RIGHTS
FOR THIRD STATES
1. A right arises for a third State
from a provision of a treaty if the
parties to the treaty intend the
provision to accord that right
either to the third State, or to a
group of States to which it
belongs, or to all States, and the
third State assents thereto. Its
assent shall be presumed so long
as the contrary is not indicated,
unless the treaty otherwise
provides.
2. A State exercising a right in
accordance with paragraph 1
shall comply with the conditions
for its exercise provided for in the
treaty or established in
conformity with the treaty.
6 Pengesahan adalah perbuatan (b) "Ratification", "acceptance", Pada VCLT tidak menenal
hukum untuk mengikatkan diri "approval" and "accession" adanya Unilateral
pada suatu perjanjian mean in each case the Declaration seperti pada
internasional dalam bentuk international act so named UU 24/2000 (analisis
ratifikasi (ratification), aksesi whereby a State establishes on setelah
(accession), penerimaan the international plane its tabel)
(acceptance) dan penyetujuan consent to be bound by a treaty;
(approval);
Pernyataan (Declaration) adalah (d) "Reservation" means a
pernyataan sepihak suatu negara unilateral statement, however
tentang pemahaman atau phrased or named, made by a
penafsiran mengenai suatu State, when signing, ratifying,
ketentuan dalam perjanjian accepting, approving or acceding
internasional, yang dibuat ketika to a treaty, whereby it purports to
menandatangani, menerima, exclude or to modify the legal
menyetujui, atau mengesahkan effect of certain provisions of the
perjanjian internasional yang treaty in their application to that
bersifat multilateral, guna State;
memperjelas makna ketentuan
tersebut dan tidak dimaksudkan
untuk mempengaruhi hak dan
kewajiban negara dalam
perjanjian internasional;
Case Study:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 menyatakan bahwa Pasal
10 UU 24/2000 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa
hanya jenis-jenis perjanjian internasional sebagaimana disebutkan pada huruf a
sampai dengan huruf f dalam Pasal a quo itulah yang mempersyaratkan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang
pengesahannya dilakukan dengan undang-undang.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Dewan Perwakilan Rakyat harus dilibatkan
dalam pembuatan perjanjian internasional, tidak hanya di bagian akhir penyusunan
perjanjian internasional saja, karena jika perjanjian internasional tersebut memenuhi
unsur-unsur perjanjian internasional dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu perjanjian internasional antar negara dan perjanjian internasional yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang, maka harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
wakil rakyat. Oleh karena itu, sebaiknya Pasal 10 UU 24/2000 tidak menjadi batasan
jenis perjanjian internasional yang disahkan melalui undang-undang dan melalui
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Instruksi Khusus untuk Case Study:
Buat laporan kasus yang disusun sebagai berikut:
Fakta-fakta hukum (5W + 1H)
Permasalahan hukum (legal issues)
Argumentasi para pihak
Putusan badan peradilan
Dasar pertimbangan
Komentar – analisis terkait aspek hukum perjanjian internasionalnya
Fakta Hukum
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI/2018 yang memberikan
norma baru di dalam penafsiran lebih dalam mengenai ketentuan dalam Pasal
11 UUD 1945 mengenai Perjanjian Internasional.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi memunculkan perbedaan pengertian,
pengertian persetujuan DPR yang merupakan proses yang berbeda juga
merupakan konsekuensi dari perbedaan pengertian pengesahan dalam
Perjanjian Internasional menurut Hukum Internasional dan Pengesahan
menurut Hukum Nasional sendiri.
3. Mahkamah Konstitusi sendiri dalam putusannya telah menyatakan bahwa
Pasal 10 UU Perjanjian Internasional telah bertentangan dengan UUD 1945
serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Secara bersyarat sepanjang ketentuan yang telah ditafsirkan bahwa jenis-jenis
perjanjian internasional tertentu harus mendapatkan persetujuan dari DPR.
5. Putusan pada hal 266 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XVI/2018 telah mengartikan bahwa kategori yang didapat pada Pasal
10 UU Perjanjian Internasional tidak cukup memaknai perjanjian
internasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
Legal Issues:
Pengaturan terhadap prosesi ratifikasi di Indonesia yang tidak memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia, terhadap pasal dalam UU Perjanjian
Internasional seperti Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 UU Perjanjian Internasional.
Dasar pertimbangan:
5
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R.Agoes,2013,Pengantar Hukum Internasional, PT.Alumni,
Bandung, hlm.130
6
Kontan, “Kementrian Luar Negeri: Putusan MK perkuat revisi UU Perjanjian Internasional”,
https://nasional.kontan.co.id/news/kementerian-luar-negeri-putusan-mk-perkuat-revisi-uu-
perjanjianinternasional, diakses pada 10 Februari 2020 jam 15.00 wib
7
Ibid hlm 73
a. Perjanjian itu sendiri menentukan bahwa persetujuan untuk terikat pada perjanjian
itu dinyatakan dengan cara ratifikasi.
b. Ditentukan sebaliknya bahwa negara-negara yang melakukan perundingan
menyepakati bahwa dibutuhkan adanya ratifikasi.
c. Wakil dari negara yang telah menandatangani perjanjian tunduk pada tindakan
ratifikasi.
d. Maksud dari negara yang menandatangani perjanjian tunduk pada tindakan
ratifikasi yang tampak dari kuasa penuh dari wakilnya itu atau dinyatakan selama
dalam perundingan.8