Anda di halaman 1dari 17

Study Task:

Negara memiliki kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional.


Secara umum, pembuatan perjanjian internasional terbagi dalam 5 tahap, yaitu tahap
penjajakan, perundingan perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan.
Mengenai pembentukan dan pengesahan perjanjian internasional, Indonesia telah
mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional (UU 24/2000). Di Indonesia, perundingan perjanjian internasional akan
dilakukan oleh delegasi Indonesia yang dipimpin oleh menteri luar negeri atau
pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing.
Setelah teks disepakati, maka perjanjian internasional akan ditandatangani untuk
kemudian dilakukan pengesahan oleh pemerintah Indonesia. Secara internasional,
Vienna Convention on the Law of Treaties between States 1969 (VCLT) telah lebih
dahulu mengatur mengenai pembentukan perjanjian internasional dan terdapat
berbagai perbedaan antara VCLT dengan UU 24/2000. Salah satunya, dalam UU
24/2000, pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa untuk mewakili pemerintah
Indonesia dalam proses pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional adalah
presiden dan menteri. Sementara, cakupan pejabat yang dapat mewakili negara tanpa
surat kuasa berdasarkan VCLT, hanya mencakup kepala negara, kepala
pemerintahan, dan menteri luar negeri. Perbedaan lainnya, yaitu UU 24/2000 tidak
mengatur mengenai keberlakuan perjanjian internasional terhadap negara yang bukan
negara pihak. Sementara VCLT mengatur bahwa perjanjian internasional dapat
berlaku pada selain negara pihak jika memenuhi kondisi tertentu.
Instruksi:
Jawablah pertanyaan di bawah disertai dengan penjelasan
1. Bagaimana pembentukan suatu perjanjian internasional berdasarkan UU 24/2000?
Perjanjian internasional dapat mengikat negara dengan cara pernyataan
persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional (consent
to be bound). Hal tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yang paling
umum digunakan yakni penandatanganan, akseptasi, persetujuan, aksesi,
ratifikasi, atau tergantung dari ketentuan dan kesepakatan dalam perjanjian
internasional tersebut. Setelah adanya consent to be bound, suatu negara terikat
untuk menjalankan segala hak dan kewajiban yang tercantum dalam sebuah
perjanjian internasional.1

1
Umi Chalsum Fareza, Hendrik B. Sompotan, Revy S. M. Korah. 2021. Pengesahan Perjanjian
Internasional Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/Puu-Xvi/2018 Terhadap Undang-
Salah satu tahapan penting dalam proses pembuatan perjanjian internasional
yaitu proses ratifikasi. Persoalan ratifikasi ini bukan hanya persoalan hukum
perjanjian internasional tetapi juga merupakan persoalan di bidang hukum tata
negara. Praktik mengenai ratifikasi di Indonesia sampai saat ini agak tidak
menentu. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
bukan saja tidak terdapat pembagian perjanjian dalam golongan mana yang
memerlukan dan tidak memerlukan persetujuan parlemen, bahkan tidak
ditemukan kata ratifikasi itu sendiri apalagi terhadap pembedaaan antara
persertujuan atau pengesahan terhadap perjanjian internasional.2
2. Bagaimana pengesahan dan pemberlakuan suatu perjanjian internasional
berdasarkan UU 24/2000?
Proses pengesahan perjanjian internasional dilihat dari dua perspektif, yakni
eksternal dan internal. Pembagian wewenang lembaga negara (treaty making
power) dalam prosedur pengesahan perjanjian internasional merupakan bagian
dari perspektif internal, setiap negara memiliki tugas dan wewenang lembaga
yang berbeda sehingga konsep treaty making power dalam prosedur pengesahan
perjanjian internasional juga berbeda-beda. Pengesahan Perjanjian Internasional
kedalam hukum nasional merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
baik berbentuk UU ataupun Peraturan Presiden.
Dari sudut pandang Indonesia pengesahan perjanjian internasional diatur di
dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Undang-undang tersebut mengatur tata cara pengesahan suatu perjanjian
internasional sesuai dengan jenis perjanjiannya. Pengesahan perjanjian
internasional menjadi hukum positif Indonesia menggunakan sistem campuran,
yakni oleh badan eksekutif dan legislatif dalam bentuk undang-undang atau
keputusan presiden sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (2) Undang
Undang Nomor 24 Tahun 2000. Pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional
dalam bentuk undang-undang diurusi oleh Direktorat Perjanjian Politik,
Keamanan dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Sedangkan yang menangani pengesahan/ratifikasi dalam bentuk keputusan
presiden adalah Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia. Pengesahan Perjanjian Internasional harus
diartikan dari dua perspektif perosedur yang terpisah namun terkait, yaitu
prosedur internal dan prosedur eksternal. Dari perspektif prosedur internal,
Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
2
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. 2013.Pengantar Hukum Internasional. PT. Alumni,
Bandung, hlm.130
pengesahan perjanjian internasional adalah masalah hukum tata Negara, yaitu
hukum nasional Indonesia yang mengatur kewenangan eksekutif dan legeslatif
dalam pembuatan perjanjian internasional.
Pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan dengan tiga prosedur
yaitu: 3
1. Prosedur Internal
Pengikatan diri terhadap perjanjian internasional menurut hukum
nasional Indonesia didasarkan atas Pasal 11 UndangUndang Dasar NRI
Tahun 1945 yang berbunyi: “Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain” dan pasal-pasal dalam Undang-Undang
Nomor 24 tentang Perjanjian Internasional, yaitu Pasal 9, 10, 11, dan 15.
Selanjutnya terkait pengertian Pengesahan yang dimaksud oleh UU ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat 2 adalah perbuatan hukum untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk
ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan
persetujuan (approval).
Dalam pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang
undang, langkahlangkah yang harus dilakukan sebagai berikut:
a. Lembaga pemrakarsa/focal point mengajukan ijin prakarsa kepada
Presiden melalui Menteri luar Negeri RI. Dalam surat tersebut dijelaskan
antara lain hal-hal yang mendasari pentingnya pengesahan perjanjian
dimaksud bagi Indonesia, dengan me-lampirkan 1 (satu) Naskah
Akdemik dan 1 (satu) Salinan Naskah Resmi (certified true copy)
perjanjian inter-nasional beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
b. Lembaga pemrakarsa setelah men-dapat ijin prakarsa dari Presiden,
akan membentuk panitia Antar-Depar-temen yang berangggotakan
Deplu, Depertemen Kehakiman dan HAM, Sekretariat Negara serta
instansi teknis lainnya.
c. Panitia Antar-Departemen bertugas untuk menyiapkan Rancangan
UndangUndang bagi Pengesahan suatu Perjanjian. Apabila Panitia-
Antar Departemen telah selesai menyiapkannya, lembaga pemrakarsa
akan meminta tanggapan dan pesetujuan dari semua instansi yang terkait
sebagaimana dimaksud dalam butir b diatas.

3
Setyo Widagdo. Pengesahan Perjanjian Internasional dalam Perspektif Hukum Nasional
Indonesia. Arena Hukum Volume 12 Nomor 1, April 2019. Hal 205.
d. Lembaga pemrakarsa menyiapkan 1 (satu) Rancangan undang-Undang,
1 (satu) Naskah Akadremik, 45 salinan (copy) naskah perjanjian beserta
terjemahannya, serta dokumen lain yang diperlukan kepada Deplu cq
Direktorat yang menangani perjanjian internasional, setelah
mendapatkan tanggapan dan persetujuan dari instansi terkait.
e. Deplu cq Direktorat yang menangani perjanjian internasional, akan
menyampaikan surat Amanat Presiden bagi pembahasan RUU tentang
pengesahan Perjanjian Internasional, setelah menenliti kelengkapan
dokumen. Apabila disetujui Presiden RI akan mengeluarkan amanat
Presiden yang akan menunjuk menteri-menteri/kepada instansi ter-kait
untuk mewakili pemerintah dalam pembahahasan RUU Pengesahan di
DPR.
f. Lembaga pemrakarsa mengadakan koordinasi tentang jadwal pem-
bahasan RUU dimaksud dengan pihak sekretariat DPR dan sekretariat
komisi yang menangani substansi perjanjian. Untuk keperluan pem-
bahasan di DPR, lembaga pemrakarsa menyiapkan salinan (copy)
naskah perjanjian, RUU pengesahan, naskah akademik dan dokumen
lainnya sebanyak yang diperlukan bagi pembahasan.
g. Setelah disetujui oleh DPR dalam bentuk Undang-Undang, dan diterbit-
kan dalam Lembaran Negara, pengikatan diri Republik Indonesia
terhadap perjanjian internasional (melalui instrument of ratification/
accession/approval) disampaikan oleh Menteri Luar Negeri kepada para
pihak (bilateral/trilateral) atau Des-positary Government/Organization
(Multiralteral).
2. Pengaturan Khusus
Mengingat prosedur pengesahan melalui Undang-Undang/Peraturan
Presi-den pada hakekatnya adalah sama dengan pembuatan Undang-
Undang/Peraturan Presiden maka secara khusus prosedur ini juga tunduk
pada rejim Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundangundangan dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun
2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan, Ran-cangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan
Peraturan Presiden.
3. Prosedur Eksternal
Pengesahan menurut hukum perjanjian internasional dapat dilakukan
dalam bentuk: ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan
(acceptance), penyetujuan (approval). Praktik Indonesia selama ini selalu
menggunakan istilah ratifikasi atau aksesi. Ratifikasi adalah bentuk
pengesahan terhadap perjanjian (pada umumnya perjanjian multilateral)
yang sudah ditandatangani oleh pemerintah RI, sedangkan aksesi adalah
pengesahan terhadap perjanjian yang tidak ditandatangani.

3.Dalam bentuk matriks perbandingan, apa saja perbedaan dari pengaturan terkait
perjanjian internasional berdasarkan UU 24/2000 dengan VCLT?4

N
UU 24/2000 VCLT Perbandingan
O

UU 24/2000 sama sekali


tidak membedakan
subjek hukum
"Treaty" means an international
“Perjanjian Internasional adalah internasional yang
agreement concluded between
perjanjian, dalam bentuk dan membuat perjanjian,
States in written form and
nama tertentu, yang diatur dalam sedangkan pada VCLT
governed by international law,
1 hukum internasional yang dibuat terbatas pada negara.
whether embodied in a single
secara tertulis serta VCLT mempaerjelas
instrument or in two or more
menimbulkan hak dan kewajiban bahwa perjanjian
related instruments and whatever
di bidang hukum publik;” Internasional dapat
its particular designation;
berbentuk hanya 1 atau
dapat juga dua atau
lebih instrumen yang
berkaitan.

2 Surat Kuasa (Full Powers) - surat "Full powers" means a document VCLT membedakan
yang dikeluarkan oleh Presiden emanating from the competent antara Fullpowers dan
atau Menteri yang memberikan authority of a State designating a Credentials
kuasa kepada satu atau beberapa person or persons to represent (analisis setelah tabel)
orang yang mewakili Pemerintah the State for negotiating,
Republik Indonesia untuk adopting or authenticating the
menandatangani atau menerima text of a treaty, for expressing the
naskah perjanjian, menyatakan consent of the State to be bound

4
Nanda Indrawati. 2020. Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018. Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
persetujuan negara untuk
mengikatkan diri pada
perjanjian, dan/atau
menyelesaikan hal-hal lain yang
diperlukan dalam pembuatan
perjanjian internasional;

Surat Kepercayaan (Credentials) - by a treaty, or for accomplishing


surat yang dikeluarkan oleh any other act with respect to a
Presiden atau Menteri yang treaty;
memberikan kuasa kepada satu
atau beberapa orang yang
mewakili Pemerintah Republik
Indonesia untuk menghadiri,
merundingkan, dan/atau
menerima hasil akhir suatu
pertemuan internasional;

3 Prinsip Perjanjian Internasional Article 26. "PACTA SUNT UU 24/2000 sama sekali
SERVANDA" Every treaty in tidak menyebutkan
force is binding upon the parties mengenai beberapa
to it and must be performed by prinsip dalam Perjanjian
them in good faith. Internasional.
Article 27. INTERNAL LAW AND
OBSERVANCE OF TREATIES
A party may not invoke the
provisions of its internal law as
justification for its failure to
perform a treaty. This rule is
without prejudice to article 46.
SECTION 2. APPLICATION OF
TREATIES
Article 28. NON-
RETROACTIVITY OF
TREATIES Unless a different
intention appears from the treaty
or is otherwise established, its
provisions do not bind a party in
relation to any act or fact which
took place or any situation which
ceased to exist before the date of
the entry into force of the treaty
with respect to that party.
Article 29. TERRITORIAL
SCOPE OF TREATIES Unless
a different intention appears from
the treaty or is otherwise
established, a treaty is binding
upon each party in respect of its
entire territory.

4 Pihak ketiga dalam perjanjian Article 34. GENERAL RULE UU 24/2000 tidak
REGARDING THIRD STATES mengatur tentang pihak
A treaty does not create either ketiga dalam perjanjian
obligations or rights for a third
State without its consent.
Article 35. TREATIES
PROVIDING FOR
OBLIGATIONS FOR THIRD
STATES An obligation arises for
a third State from a provision of a
treaty if the parties to the treaty
intend the provision to be the
means of establishing the
obligation and the third State
expressly accepts that obligation
in writing.
Article 36. TREATIES
PROVIDING FOR RIGHTS
FOR THIRD STATES
1. A right arises for a third State
from a provision of a treaty if the
parties to the treaty intend the
provision to accord that right
either to the third State, or to a
group of States to which it
belongs, or to all States, and the
third State assents thereto. Its
assent shall be presumed so long
as the contrary is not indicated,
unless the treaty otherwise
provides.
2. A State exercising a right in
accordance with paragraph 1
shall comply with the conditions
for its exercise provided for in the
treaty or established in
conformity with the treaty.

5 PENGAKHIRAN PERJANJIAN Article 46. PROVISIONS OF Pasal 49-52 VCLT tidak


INTERNASIONAL INTERNAL LAW dicakup dalam UU
Pasal 18 REGARDING COMPETENCE 24/2000
Perjanjian internasional berakhir TO CONCLUDE TREATIES Yakni mengenai keadaan
apabila: 1. A State may not invoke the fact yang dapat
a. terdapat kesepakatan para that its consent to be bound by a membalatkan
pihak melalui prosedur treaty has been expressed in keberlakuakn perjanjian
yang ditetapkan dalam violation of a provision of its internasional, yakni:
perjanjian; internal law regarding 49 Fraud
b. tujuan perjanjian tersebut competence to conclude treaties 50 Corruption Of A
telah tercapai; as invalidating its consent unless Representative Of A
c. terdapat perubahan that violation was manifest and State
mendasar yang concerned a rule of its internal 51 Coercion Of A
mempengaruhi law of fundamental importance. Representative Of A
pelaksanaan perjanjian; 2. A violation is manifest if it would State
d. salah satu pihak tidak be objectively evident to any State 52 Coercion Of A State
melaksanakan atau con ducting itself in the matter in By The Threat Or Use
melanggar ketentuan accordance with normal practice Of Force
perjanjian; and in good faith.
e. dibuat suatu perjanjian Article 47. SPECIFIC
baru yang menggantikan RESTRICTIONS ON
perjanjian lama; AUTHORITY TO EXPRESS
f. muncul norma-norma baru THE CONSENT OF A STATE
dalam hukum If the authority of a
internasional; representative to express the
g. objek perjanjian hilang; consent of a State to be bound by
h. terdapat hal-hal yang a particular treaty has been made
merugikan kepentingan subject to a specific restriction,
nasional. his omission to observe that
restriction may not be invoked as
invalidating the consent
expressed by him unless the
restriction was notified to the
other negotiating States prior to
his expressing such consent.
Article 48. ERROR
1. A State may invoke an error in a
treaty as invalidating its consent
to be bound by the treaty if the
error relates to a fact or situation
which was assumed by that State
to exist at the time when the
treaty was concluded and formed
an essential basis of its consent to
be bound by the treaty.
2. Paragraph 1 shall not apply if
the State in question contributed
by its own conduct to the error or
if the circumstances were such as
to put that State on notice of a
possible error. 3. An error
relating only to the wording of
the text of a treaty does not affect
its validity; article 79 then
applies.
Article 49. FRAUD
If a State has been induced to
conclude a treaty by the
fraudulent conduct of another
negotiating State, the State may
invoke the fraud as invalidating
its consent to be bound by the
treaty.
Article 50. CORRUPTION OF A
REPRESENTATIVE OF A
STATE
If the expression of a State's
consent to be bound by a treaty
has been procured through the
corruption of its representative
directly or indirectly by another
negotiating State, the State may
invoke such corruption as
invalidating its consent to be
bound by the treaty.
Article 51. COERCION OF A
REPRESENTATIVE OF A
STATE
The expression of a State's consent
to be bound by a treaty which has
been pro cured by the coercion of
its representative through acts or
threats directed against him shall
be without any legal effect.
Article 52. COERCION OF A
STATE BY THE THREAT OR
USE OF FORCE
A treaty is void if its conclusion has
been procured by the threat or
use of force in violation of the
principles of international law
embodied in the Charter of the
United Nations.
Article 53. TREATIES
CONFLICTING WITH A
PEREMPTORY NORM OF
GENERAL INTERNATIONAL
LAW ("JUS COGENS")
A treaty is void if, at the time of its
conclusion, it conflicts with a
peremptory norm of general
international law. For the
purposes of the present
Convention, a peremptory norm
of general international law is a
norm accepted and recognized by
the international community of
States as a whole as a norm from
which no deroga tion is permitted
and which can be modified only
by a subsequent norm of general
in ternational law having the
same character.

6 Pengesahan adalah perbuatan (b) "Ratification", "acceptance", Pada VCLT tidak menenal
hukum untuk mengikatkan diri "approval" and "accession" adanya Unilateral
pada suatu perjanjian mean in each case the Declaration seperti pada
internasional dalam bentuk international act so named UU 24/2000 (analisis
ratifikasi (ratification), aksesi whereby a State establishes on setelah
(accession), penerimaan the international plane its tabel)
(acceptance) dan penyetujuan consent to be bound by a treaty;
(approval);
Pernyataan (Declaration) adalah (d) "Reservation" means a
pernyataan sepihak suatu negara unilateral statement, however
tentang pemahaman atau phrased or named, made by a
penafsiran mengenai suatu State, when signing, ratifying,
ketentuan dalam perjanjian accepting, approving or acceding
internasional, yang dibuat ketika to a treaty, whereby it purports to
menandatangani, menerima, exclude or to modify the legal
menyetujui, atau mengesahkan effect of certain provisions of the
perjanjian internasional yang treaty in their application to that
bersifat multilateral, guna State;
memperjelas makna ketentuan
tersebut dan tidak dimaksudkan
untuk mempengaruhi hak dan
kewajiban negara dalam
perjanjian internasional;

Article 79. CORRECTION OF


ERRORS IN TEXTS OR IN
CERTIFIED COPIES OF
TREATIES
1. Where, after the authentication
of the text of a treaty, the
signatory States and the
contracting States are agreed
that it contains an error, the
error shall, unless they decide
upon some other means of
UU 24/2000 tidak
correction, be corrected:
memiliki mekanisme
7 Kesalahan Penulisan (à) By having the appropriate
atas kesalahan cetak
correction made in the text and
pada perjanjian
causing the correc tion to be
initialled by duly authorized
representatives;
(b) By executing or exchanging an
instrument or instruments setting
out the correc tion which it has
been agreed to make; or
(c) By executing a corrected text of
the whole treaty by the same
procedure as in the case of the
original text.
PART IV. AMENDMENT AND
MODIFICATION OF
TREATIES
Article 39. GENERAL RULE
REGARDING THE
Amandemen dan Modifikasi AMENDMENT OF TREATIES UU 24/2000 tidak
8 perjanjian internasional A treaty may be amended by memiliki mekanisme
agreement between the parties. perubahan perjanjian
The rules laid down in Part II
apply to such an agreement
except in so far as the treaty may
otherwise provide.

Case Study:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 menyatakan bahwa Pasal
10 UU 24/2000 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa
hanya jenis-jenis perjanjian internasional sebagaimana disebutkan pada huruf a
sampai dengan huruf f dalam Pasal a quo itulah yang mempersyaratkan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang
pengesahannya dilakukan dengan undang-undang.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Dewan Perwakilan Rakyat harus dilibatkan
dalam pembuatan perjanjian internasional, tidak hanya di bagian akhir penyusunan
perjanjian internasional saja, karena jika perjanjian internasional tersebut memenuhi
unsur-unsur perjanjian internasional dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu perjanjian internasional antar negara dan perjanjian internasional yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang, maka harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
wakil rakyat. Oleh karena itu, sebaiknya Pasal 10 UU 24/2000 tidak menjadi batasan
jenis perjanjian internasional yang disahkan melalui undang-undang dan melalui
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Instruksi Khusus untuk Case Study:
Buat laporan kasus yang disusun sebagai berikut:
Fakta-fakta hukum (5W + 1H)
Permasalahan hukum (legal issues)
Argumentasi para pihak
Putusan badan peradilan
Dasar pertimbangan
Komentar – analisis terkait aspek hukum perjanjian internasionalnya

Fakta Hukum
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI/2018 yang memberikan
norma baru di dalam penafsiran lebih dalam mengenai ketentuan dalam Pasal
11 UUD 1945 mengenai Perjanjian Internasional.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi memunculkan perbedaan pengertian,
pengertian persetujuan DPR yang merupakan proses yang berbeda juga
merupakan konsekuensi dari perbedaan pengertian pengesahan dalam
Perjanjian Internasional menurut Hukum Internasional dan Pengesahan
menurut Hukum Nasional sendiri.
3. Mahkamah Konstitusi sendiri dalam putusannya telah menyatakan bahwa
Pasal 10 UU Perjanjian Internasional telah bertentangan dengan UUD 1945
serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Secara bersyarat sepanjang ketentuan yang telah ditafsirkan bahwa jenis-jenis
perjanjian internasional tertentu harus mendapatkan persetujuan dari DPR.
5. Putusan pada hal 266 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XVI/2018 telah mengartikan bahwa kategori yang didapat pada Pasal
10 UU Perjanjian Internasional tidak cukup memaknai perjanjian
internasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.

Legal Issues:
Pengaturan terhadap prosesi ratifikasi di Indonesia yang tidak memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia, terhadap pasal dalam UU Perjanjian
Internasional seperti Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 UU Perjanjian Internasional.

Argumentasi para pihak:


Masyarakat sipil yang mengajukan judicial review dengan mahkamah
konstitusi yang memberikan putusan serta persetujuan dari DPR. Sekelompok
masyarakat sipil untuk mengajukan judicial review terhadap beberapa pasal dalam
UU. Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 9 ayat (2),
Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) dan penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian
Internasional inskonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD
1945. Pasal 11 UUD 1945 menggunakan istilah “persetujuan”, sementara UU
Perjanjian Internasional menggunakan istilah “pengesahan” sehingga Pengugat
mengangap bahwa peran DPR berubah dari yang seharusnya menyetujui atau
menolak tindakan pemerintah yang mengikatkan diri kepada suatu kesepakatan
internasional menjadi hanya pembuat pernyataan pengikatan (consent to be bound).5
Perjanjian Internasional yang dianggap tidak memberikan kepastian hukum
bagi masyarakat. Pengujian tersebut khususnya terhadap Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10,
dan Pasal 11 UU Perjanjian Internasional. Mahkamah Konstitusi telah memberikan
putusan atas judicial review tersebut melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XVI/2018. Para hakim MK dalam putusan tersebut hanya menerima satu
permohonan pembatalan yaitu Pasal 10 UU Perjanjian Internasional. MK
memutuskan bahwa Pasal 10 UU Perjanjian Internasional dinyatakan tidak berlaku
sebab bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28 (D) UUD 1945.6

Putusan badan peradilan:


Lembaga ratifikasi secara internal diartikan sebagai persetujuan parlemen
terhadap rencana Kepala Negara untuk melakukan ratifikasi (mengikatkan diri)
seperti yang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional itu sendiri.7
a. Perbuatan hukum internal yaitu persetujuan yang diberikan oleh organ negara
(pada umumnya parlemen) kepada Kepala Negara/Kepala Pemerintah untuk
melakukan pengikatan diri kepada suatu perjanjian, terlepas apakah berlakunya
perjanjian ini harus melalui mekanisme ratifikasi atau tidak.
b. Perbuatan hukum eksternal yaitu ratifikasi oleh Kepala Negara/Pemerintah
terhadap perjanjian yang mensyaratkan ratifikasi. Produk perbuatan ini berbentuk
instrument of ratification yang ditandatangani oleh atau atas nama kepala
Negara/Pemerintah.

Dasar pertimbangan:

5
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R.Agoes,2013,Pengantar Hukum Internasional, PT.Alumni,
Bandung, hlm.130
6
Kontan, “Kementrian Luar Negeri: Putusan MK perkuat revisi UU Perjanjian Internasional”,
https://nasional.kontan.co.id/news/kementerian-luar-negeri-putusan-mk-perkuat-revisi-uu-
perjanjianinternasional, diakses pada 10 Februari 2020 jam 15.00 wib
7
Ibid hlm 73
a. Perjanjian itu sendiri menentukan bahwa persetujuan untuk terikat pada perjanjian
itu dinyatakan dengan cara ratifikasi.
b. Ditentukan sebaliknya bahwa negara-negara yang melakukan perundingan
menyepakati bahwa dibutuhkan adanya ratifikasi.
c. Wakil dari negara yang telah menandatangani perjanjian tunduk pada tindakan
ratifikasi.
d. Maksud dari negara yang menandatangani perjanjian tunduk pada tindakan
ratifikasi yang tampak dari kuasa penuh dari wakilnya itu atau dinyatakan selama
dalam perundingan.8

Komentar – analisis terkait aspek hukum perjanjian internasionalnya:


Mahkamah Konstitusi telah memutus pengujian judicial review UU Perjanjian
Internasional tersebut melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XVI/2018. Putusan ini memberikan norma baru untuk memberikan
penafsiran yang lebih lanjut dengan ketentuan Pasal 11 UUD 1945. Kehadiran norma
baru ini harus menjadi dasar hukum untuk mengembangkan ketentuan baru di dalam
UU Perjanjian Internasional. Kementrian Luar Negeri menilai bahwa dengan adanya
putusan ini juga memperkuat rencana revisi terhadap UU Perjanjian internasional.
Mahkamah telah memberikan penafsiran yang sistematis terhadap Pasal 11
UUD 1945. Pasal 11 haruslah ditafsirkan bahwa frasa “perjanjian internasional
lainnya” dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa perjanjian
antarnegara atau perjanjian dengan negara lainnya. Penegasan ini memberikan
konsekuensi bahwa perjanjian internasional antarnegara dan perjanjian internasional
antara negara dengan subjek hukum internasional lainnya yang bukan negara tunduk
pada pengaturan yang berbeda. Perjanjian internasional antarnegara diatur oleh
Konvensi Wina 1969 sedangkan perjanjian internasional yang antara negara dengan
subjek hukum internasional lainnya diatur dalam Konvensi Wina 1986.
Dalam pertimbangan hukumnya MK hanya memberikan penjelasan bahwa
perihal dalam hal apapun atau dalam keadaaan suatu materi perjanjian internasional
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan
negara dan/atau harus mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
tidak dapat ditentukan secara limitatif melainkan harus dinilai secara kausistis
berdasarkan pertimbangan dan perkembangan kebutuhan hukum secara nasional dan
internasional. Maka diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud
dalam putusan tersebut sehingga dalam praktik tidak menimbulkan sengketa karena
adanya interpretasi/penafsiran yang berbeda.
8
14 Ibid, hlm 601
Daftar Pustaka
Setyo Widagdo. Pengesahan Perjanjian Internasional dalam Perspektif Hukum
Nasional Indonesia. Arena Hukum Volume 12 Nomor 1, April 2019. Hal 205.
Umi Chalsum Fareza, Hendrik B. Sompotan, Revy S. M. Korah. 2021. Pengesahan
Perjanjian Internasional Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/Puu-
Xvi/2018 Terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang
Perjanjian Internasional. Lex Administratum, Vol. IX/No. 2/Mar/EK/2021.
Nanda Indrawati. 2020. Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018. Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Email : nanda.indrawati@uajy.ac.id
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. 2013.Pengantar Hukum Internasional.
PT. Alumni, Bandung, hlm.130
Ibid hlm 73.
Ibid, hlm 601.
Kontan, “Kementrian Luar Negeri: Putusan MK perkuat revisi UU Perjanjian
Internasional”, https://nasional.kontan.co.id/news/kementerian-luar-negeri-
putusan-mk-perkuat-revisi-uu-perjanjianinternasional, diakses pada 10
Februari 2020 jam 15.00 wib

Anda mungkin juga menyukai