Resume Webinar HI “Quo Vadis Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000”
Moderator: Nanik Trihastuti
Pembicara: Dr. Harjono, S.H., MCL.
Perjanjian Internasional diatur di pasal 11 UUD 1945, berkaitan dengan kekuasaan
pemerintah negara. Sebagai sebuah perjanjian, diantara pihak yang berjanji harus ada good faith, harus memulai dengan etikad baik. Oleh karena itu, antarpihak harus mendasarkan pada good faith masing-masing, saling percaya diperlukan. Perjanjian Internasional itu pelaksanaannya tidak boleh dihambat oleh ketentuan hukum nasional. Di Indonesia, perjanjian internasional dibentuk dalam undang-undang. Kalau kita mengambil bentuknya, maka ada persoalan-persoalan yang timbul dari ketentuan undang-undang nomor 24. Jadi kalau tentang Quo Vadis, ada 2 persoalan yang timbul, bentuk formalnya dan materinya. Pada saat undang-undang ASEAN itu diuji di Mahkamah Konstitusi, maka yang paling penting disitu persoalan yang berkaitan tentang substansinya. Karena sebenarnya waktu Indonesia bergabung ke ASEAN itu tidak ada yang memaksa, semuanya bekerja sama, jika ada sesuatu hal akan dirundingkan. Jika ditinjau dari substansinya, itu merupakan keinginan untuk bersama-sama secara baik. Kemudian setelah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, dinyatakan bahwa yang perlu persetujuan Presiden adalah yang ada pada pasal 10. Memang nanti akan menjadi suatu persoalan, pasal 10 jika dilihat dari masalah politik merupakan sesuatu yang tidak bisa kita rumuskan apa-apa dan tidak bisa kita putuskan akhirnya, lalu kita masukkan otak politik saja. Ini baru mengenai persoalan yang ditumbulkan dengan adanya ketentuan pasal 10 itu. Jadi, hal-hal seperti ini memang menimbulkan pertanyaan. Nanti ke depan, jika dibayangkan, bahwa ada batasan-batasan yang kemudian dicantumkan dalam pasal 10. Maka akan banyak ketentuan perjanjian internasional undang-undang nomor 24 yang tidak perlu lagi dibawa ke DPR. Karena persoalan-persoalan yang berkaitan dengan yang dibatasi tersebut sebenernya semuanya sudah tersedia secara internasional. Oleh karena itu, wujud dari perjanjian internasional ke depannya yang kita miliki itu merupakan executive agreement. Banyak perjanjian lintas negara yang kemudian menjadi persoalan dari segi substansi apakah perlu persetujuan Presiden terlebih dahulu atau tidak. Karena kita bicara perjanjian internasional itu luas, bentuknya bermacan-macam, tidak selalu kritis. Di dalam bentuk bermacam-macam tersebut harus kita liat substansinya dahulu, supaya jika terjadi konflik, bisa memutuskan harus dibawa ke International Court of Justice atau hanya Mutual Understanding saja. Memang terkadang ada persoalan dalam perjanjian internasional yang harus ada dalam bentuk undang-undang. Memang kata-kata yang tercantum dalam pasal 10, “dengan persetujuan DPR”, seolah dengan persetujuan DPR menghasilkan produk berupa undang- undang, padahal tidak. Yang menjadi persoalan bukan ke dalam, tetapi ke luar. Apapun itu juga, misalnya dalam bentuk undang-undang yang disetujui oleh Presiden atau keputusan Presiden, jika sudah mengikat antarnegara berarti hukum antarpihak, negara dengan negara. Dengan begitu, jika salah satu pihak melanggar, tetap bisa dibawa ke International Court of Justice. Tidak bisa asal menolak untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan alasan bertentangan dengan undang-undang nasional. Ini merupakan segi-segi pertimbangan yang dipikirkan dalam pembuatan perjanjian internasional. Pembicara : Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum. Judul: “Membaca Kembali Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13 Tahun 2018”
Objek permohonannya tentang undang-undang nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian
internasional. Kemudian norma yang diuji ada 4, yaitu pasal 2, pasal 9 ayat 2, pasal 10, pasal 1, dan juga penjelasan pasal 11. Yang menjadi hukum permohonan ini adalah pasal 2, pasal 9 ayat 2, pasal 10, dan penjelasan pasal 11 undang-undang nomor 24 tahun 2000 itu bertentangan dengan pasal 11 ayat 2 UUD 1945. Pertama, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bagaimana kita melihat pasal 11 UUD 1945. Pasal 11 UUD 1945 membedakan antara perjanjian internasional antarnegara dan perjanjian internasional dengan subjek hukum internasional lainnya. Kalau kita lihat pasal 11 ayat 1, “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”. Kemudian ayat 2, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya…”. Ini berarti perjanjian dengan negara lain termasuk perjanjian internasional. Ini juga sejalan dengan praktik yang berlaku pada saat ini, karena perjanjian internasional ini bukan hanya perjanjian antarnegara. Kemudian yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi, apakah kepada setiap perjanjian internasional yang melibatkan Indonesia, baik antarnegara maupun perjanjian internasional lainnya, selalu memerlukan persetujuan DPR? Yang kedua, karena pembuatan perjanjian internasional itu terdiri atas beberapa tahap, maka persoalannya adalah (kalau kita mengacu pada pasal 11 UUD 1945) pada tahap mana persetujuan DPR diperlukan? Terhadap persoalan yang pertama, dengan mempertimbangkan hakikat kekuasaan eksekutif serta praktik negara-negara, memang tidak semua perjanjian internasional membutuhkan persetujuan DPR, hanya yang penting saja. Kemudian yang menjadi masalah, perjanjian manakah yang dianggap penting, karena berbeda pengaturannya di masing-masing negara. Bagi negara yang mempunyai konstitusi tertulis seperti Indonesia, itu diatur dalam konstitusinya, itupun tidak lengkap. Bagi negara yang mempunyai konstitusi tidak tertulis, biasanya diatur dalam hukum kebiasaan. Dalam membuat perjanjian internasional, Presiden tidak perlu membawa keterangan kuasa penuh, karena sama saja dengan tugas Menteri luar negeri. Dalam hukum perjanjian internasional, eksekutif sebagai penanggung jawab pemerintahan memang memerlukan keleluasaan bergerak yang cukup sehingga memungkinkannya untuk melaksanakan pemerintahan secara efektif sehingga dalam pembuatan perjanjian internasional, hal itu tidak menghambat negara yang diwakilkannya dan tidak menghambat kedaulatan negara. Akibat peran imbang antara kedua hal inilah, maka peran parlemen atau DPR disini menjadi penting untuk dianalisis secara komprehensif. Di Indonesia, praktik seperti itu telah diterima jauh sejak adanya UU no 24 tahun 2000, tepatnya saat dikeluarkannya Surat Presiden 2826/HK/1960. Inilah yang diikuti oleh UU no 24 tahun 2000. Ada pertimbangan Mahkamah Konstitusi juga bahwa pasal 11 ini ditafsirkan sebagai adanya frasa “perjanjian internasional lainnya” pada ayat 2 itu berarti frasa “perjanjian dengan negara lain” pada ayat 1 bukanlah berada di luar pengertian perjanjian internasional. Penegasan ini penting karena menurut hukum internasional, perjanjian internasional antarnegara dan perjanjian antarnegara dengan subjek hukum internasional lainnya (bukan negara) itu tunduk pada pengaturan yang berbeda. Perjanjian antarnegara diatur dalam Konferensi Wina 1969, sedangkan perjanjian antarnegara dengan organisasi internasional diatur dalam Konferensi Wina 1986. Yang kedua, tidak semua perjanjian internasional yang dibuat Presiden disyaratkan adanya persetujuan DPR, tetapi hanya perjanjian yang memenuhi persyaratan ayat 2, yaitu yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, yang terkait dengan keuangan negara, yang mengharuskan perubahan negara, dan mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Yang ketiga, persoalan dalam hal apa atau keadaan bagaimana suatu perjanjian internasional menimbulkan akibat yang luas, yang terkait dengan keuangan negara, dan/atau yang mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, hal ini harus dipertimbangkan secara kasuistis, berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum nasional maupun internasional. Kemudian mengenai pertanyaan kedua, pada tahap mana persetujuan DPR dibutuhkan? Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan harus dibedakan antara persetujuan DPR dan persetujuan untuk terikat dalam suatu perjanjian internasional. Yang dimaksud dengan tahapan dalam hal ini adalah tahapan dalam konteks hukum nasional, bukan tahapan pembuatan perjanjian internasional. Tetapi tahapan menurut UU nomor 24 tahun 2000. Kemudian ketiga, harus dibedakan antara pengesahan menurut hukum internasional dan pengesahan menurut hukum nasional. Dalam hukum internasional, ada perjanjian internasional yang prosesnya terdiri dari dua tahap, perundingan dan penandatanganan, dan perjanjian internasional yang terdiri dari tiga tahap, perundingan, penandatanganan, dan pengesahan. Dalam perjanjian internasional yang terdiri dari dua tahap, tahap penandatanganan termasuk persetujuan untuk terikat, sedangkan dalam perjanjian yang terdiri dari tiga tahap, tahap penandatanganan artinya antarpihak telah sepakat tentang perjanjiannya. Sedangkan persetujuan untuk terikat termasuk dalam tahap pengesahan. Setelah Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan hal tersebut, pengertian tahapan dalam konteks hukum internasional itu merujuk dengan tahapan pembuatan perjanjian internasional yang sesuai dengan corak perjanjian internasional, dua tahap atau tiga tahap. Sedangkan dalam konteks hukum nasional itu merujuk pada pengaturan hukum nasional masing-masing negara dalam hal membuat atau mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional, yang dalam konteks Indonesia diatur dalam pasal 2 hingga pasal 18 UU nomor 24 tahun 2000. Sementara itu dalam kaitannya dengan pengesahan, dalam konteks hukum nasional, pengesahan selain termasuk tahapan, juga merupakan persetujuan untuk terikat, sedangkan dalam hukum nasional, pengesahan merupakan tindak lanjut dari perjanjian internasional yang mensyaratkan pengesahan (perjanjian internasional yang terdiri dari tiga tahap). Inilah di Indonesia diatur dalam UU nomor 24 tahun 2000. Dengan demikian, ratifikasi menurut konferensi wina 1969 itu baru memiliki arti persetujuan negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional setelah dilakukannya tindakan pengesahan di tingkat nasional. Dalam kaitannya dengan pasal 11 UUD 1945, bukan tahap mana, melainkan untuk perjanjian internasional yang bagaimana persetujuan DPR tersebut dipersyaratkan. Dalam hal ini untuk perjanjian internasional yang terdiri dalam tiga tahap. Jadi, meskipun UUD 1945 tidak menyebut bentuk hukum tertentu dalam persetujuan DPR untuk pembuat perjanjian internasional, tetapi dapat diketahui dari tahap konsultasi yang diatur dalam pasal 2. Akhirnya Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan sebagian pernyataan pemohon, dengan menyatakan pasal 10 UU nomor 24 tahun 2000 itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Pembicara : prof. Dr. Kholis Roisah, S.H., M.Hum.
Judul: Eksistensi Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia Landasan filosofis dalam undang – undang dasar tepatnya dalam Pembukaan UUD ,terdapat salah satu tujuan negara Indonesia yaitu melaksanakan ketertiban dunia, yang mana salah satunya dilakukan melalui perjanjian internasonal. Kemudian dalam Pasal 11 UUD 1945, diatur 1. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang , membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain 2. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya menimbilkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang dengan harus atas persetujuan DPR 3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-undang. Dalam pengaturan undang – undang dasar pasal 11 mengatur tentang treaty making power, siapa yang berwenang dalam mebuat sebuah perjanjian internasional. peraturan pelaksanaan yang kaitanya dengan perjanjian diatur dalam Surat Presiden, UU No.24 Tahun 2000, Putusan MK No.33/PUU-IX/2011, dan SA Mahkamah Konstitusi No.13/PUU- XVI/2018 Pemikiran akademisi dalam hal ini menyatakan dan menempatkan perjanjian internasional yang telah disahkan (ratifikasi) sebagai bagian dari hukum internasional(dalam hukum tata negara), dalam Hukum Internasional mengahruskan adanya legislasi nasional tersendiri untuk memberlakukan suatu perjanjian internasional yang telah diberikan. Dalam halnya perjanjian Internasional relasi hukum internasional dan hukum nasional terhadap pendekatan tradisional. Ada dua sifat yaitu dualisme dan monisme, yang menjadi bahan pembeda secara jelas itu ada dibagian kemauan dari negara itu tersebut dan tradisi common law dan tradisi civil law. Dua cara dalam membentuk perjanjian internasional itu ada transformation yaitu dimana setiap bentuk baik bentuk secara formal maupun substansial diubah mengikuti apa yang ada dalam hukum nasional itu tanpa maksud mengidahkan hukum internasional. Kedua, delegation proses pembentukan hukum internasional ini sampai mengikat berlaku dalam suatu negara (waktu dan cara berlakunya, ketentuan hukum mana yang diberlakukan dan prosedur yang ditempuh). Pemberlakuan perjanjian internasional melihat dari prespektif hard law and soft law , untuk melihat suatu perjanjian internasional itu masuk ke dalam hard law atau soft law maka dibutuhkan pandangan-pandangan diantaranya pandangan positivis, konstruktivis, danatau pandangan institusionalis rasional. Hard law sifatnya perjanjiannya memiliki kekuatan yang mengikat secara hukum( legally binding), sedangkan Soft law sifatnya hanya mengikat secara moral atau non-legally binding. Dalam Prakteknya di Indonesia, penerapan perjanjian internasional ada yang sifatnya Inkorporatif contohnya UU No.1 Tahun 1982 yang kaitannya dengan Ratifikasi hubungan diplomatik, sifat Adopsi tanpa Ratifikasi contohnya UU pengadilan HAM, sifat Monisme/Dualisme, dan sifat Implementing Legislation . Untuk Indonesia sendiri mempunyai sifat fleksibelitas, Jika memilih Dualisme, indonesia masih ada peluang untuk bisa bagaimana norma perjanjian Internasional yang akan di impor dalam konteks sistemvekonomi dll, belum tentu cocok dengan Indonesia, sehingga ada kesempatan untuk menerapkan perjanjian internasional dengan jalan transformasi.
Pembicara: Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, S.H., M.A.
Judul: Dua Putusan ‘Landmark’ MK tentang Perjanjian Internasional
MK 2013, UU No 38/2008 tentang Piagam ASEAN
MK 2018, UU No 24/2000 tentang Perjanjian Internasional Akar persoalan yang mendasari MK 2018 Pasal 10 menjadi konstitusional bersyarat yaitu Pasal 11 (2) UUD yang berbunyi “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang- undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Yang dimaksud dengan “Perjanjian Internasional lainnya” adalah perjanjian antara Indonesia dengan subjek hukum lain selain negara. Sehingga pemerintah menggunakan kriteria ayat 2 ini berbeda dengan ayat 1, ayat 1 yang tercantum “antarnegara” merupakan kriteria perjanjian ke DPR berorientasi kepada Surat Presiden 2826 kemudian dielaborasi dalam UU Nomor 24 Tahun 2000. Sedangkan kriteria ayat 2 ini belum pernah ada perjanjian dengan kategori ayat ini disampaikan ke DPR. MK 2018 mendobrak penafsiran Pasal 11 UUD 1945, sehingga ayat 1 dan 2 tidak lagi dibaca secara serpihan. Penafsiran yang dilahirkan adalah sebagai berikut: Pertama: bahwa ‘perjanjian’ dengan ‘negara lain’ adalah perjanjian internasional Kedua: tidak semua perjanjian harus ke DPR melainkan yang memenuhi kriteria seperti tertera pada ayat (2) Ketiga: Kriteria untuk ayat (2) berlaku untuk ayat (1) Dari penafsiran tersebut, maka pemerintah memahami ada persoalan yang diselesaikan, yaitu: - Problem kriteria: Kita tidak perlu meributkan kriteria, cukup menggunakan kriteria yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi - Status Surat Presiden 2826/1960? Persoalan yang kedua bahwa MK 2018 membedakan antara persetujuan DPR dan pengesahan UU. Awalnya pemerintah melihat bahwa persetujuan DPR dan pengesahan sebagai satu proses. Jadi persetujuan DPR di pasal 11 itu, diperlukan dalam rangka pengesahan undang-undang. Kenapa Perjanjian Internasional menggunakan format undang-undang? Karena pada waktu itu Prof. Natabaya dan Prof. Hamid sebagai pengendali perundang- undangan, mengatakan bahwa persetujuan DPR itu harus bermuara kepada undang-undang. Karena waktu itu dikenalnya persetujuan DPR itu dalam bentuk undang-undang. Dalam Akademis ada perdebatan, apakah persetujuan DPR dan pengesahan dalam fungsi control atau fungsi legislasi. Kemudian yang dilakukan MK 2018 adalah memaknai dua istilah tersebut sebagai dua proses yang berbeda. MK 2018 membedakan persetujuan DPR (Pasal 11 UUD 1945) dengan pengesahan menurut hukum nasional (Pasal 20 UUD 1945). Persetujuan DPR Pasal 11 dapat diketahui dan dapat terekspresi antara pemerintah dan DPR dalam bentuk rekomendasi (tidak dalam bentuk UU). Sedangkan dalam persetujuan DPR Pasal 20, persetujuan DPR dalam rangka “pengesahan hukum nasional” terekspresi dengan lahirnya UU pengesahan. Makna baru tentang UU yang mengesahkan Perjanjian Internasional MK 2013: UU pengesahan Perjanjian Internasional adalah pengesahan Perjanjian Internasional sehingga format UU tidak tepat dan perlu ditinjau kembali. MK 2018: UU pengesahan Perjanjian Internasional adalah pengesahan hukum nasional menjadikan suatu perjanjian internasional menjadi hukum nasional. Akan tetapi, di dalam putusan MK 2018, menimbulkan masalah. Indonesia menurunkan tarif FTA sementara perjanjiannya itu sendiri belum berlaku, tetapi undang-undang pengesahannya sudah berlaku, ini menimbulkan kerugian bagi Indonesia. Kesimpulan: 1. MK 2013 menggungat format UU pengesahan. 2. MK 2018: - Membuat penafsiran baru soal pasal 11 (2) UUD - Memaknai UU pengesahan sebagai ‘menjadikan Perjanjian Internasional menjadi hukum nasional’ 3. Melahirkan kontroversi baru: Apakah hakim terikat pada perjanjian internasional dalam kualitasnya sebagai: Hukum internasional (Treaty) atau hukum nasional (UU)?