Anda di halaman 1dari 3

MOSI

KETERLIBATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM RATIFIKASI PERJANJIAN


INTERNASIONAL

berakar dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 perihal pengujian


Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Mahkamah Konstitusi dalam putusan
tersebut hanya menerima satu permohonan pembatalan yaitu terhadap Pasal 10 UU Perjanjian
Internasional. Putusan ini telah menimbulkan perkembangan yang baru terkait praktik proses
ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia. Namun di sisi lain, masih terdapat beberapa
permasalahan terkait perluasan kriteria perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan
dari Dewan Perwakilan Rakyat. Hasil penelitian menunjukan bahwa sampai saat ini belum ada
peraturan yang memberikan penafsiran terkait batasan kriteria perjanjian internasional yang
proses pengesahannya memerlukan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini justru ini
berpotensi akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari karena adanya ketidakpastian
hukum.

Ketentuan ratifikasi perjanjian internasional menurut UUD 19503 sebagaimana dimuat dalam
pasal 120 dan pasal 121 adalah salinan dari pasal 175 dan pasal176 UUD 1949. Pasal174 UUD
1949 tidak dimuat dalam UUD 1950 karena sudah ada perubahan menjadi negara kesatuan maka
tidak ada negara bagian. Dengap demikian adalah jelas bahwa yang mempunyai ke-. wenangan
untuk mengadakan hubungan luar negeri hanya pemerintah pusat. Sam a dengan ketentuan
ratifikasi perjanjian internasional UUD 1949, bahwa pengesahan perjanjian internasional
memerlukan kerja sarna antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (D. P.R.) dan dimuat
dalam bentuk Undang-Undang (Pasa1120 dan pasal UUD 1950) dan pemasukan Indonesia
menjadi anggauta organisasi internasional dengan persetujuan D.P.R. Karena perjanjian dan
persetujuan kedua-duanya memerlukan persetujuan D.P .R.

MOSI

PERUBAHAN SUBSTANSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANG MELALUI SURAT


EDARAN

Dalam menyusun peraturan perundang-undangan telah ditetapkan Undang-Undang 12 tahun


2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang tersebut
merupakan pedoman dan standar baku untuk Kementerian dan Pemerintah Daerah dalam
menyusun regulasi. Pedoman Penyusunan peraturan perundangundangan dibutuhkan sebagai
acuan bagi setiap satuan kerja di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika guna
penyeragaman mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan bidang Komunikasi dan
Informatika dengan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan yang pasti, baku, dan
standar serta mengikat semua satuan kerja di lingkungan Kementerian Komunikasi dan
Informatika.

Di Kementerian Komunikasi dan Informatika telah terbit Surat Edaran Sekretaris Jenderal
Kementerian Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2014 tentang Mekanisme
Penyusunan Peraturan PerundangUndangan pada Kementerian Komunikasi dan Informatika,
namun Surat Edaran Sekretaris Jenderal tersebut belum optimal karena masih ada beberapa tata
cara penyusunan atau langkah-langkah penyusunan regulasi yang belum diakomodir dalam Surat
Edaran tersebut, seperti tahapan untuk menyusun Prolegnas, tahapan untuk menyusunan RUU,
RPP, RPepres dan RPM secara menyeluruh dan rinci. Memperhatikan permasalahan di atas,
Surat Edaran Sekjen Kementerian Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Mekanisme Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Komunikasi dan
Informatika perlu disempurnakan dan diganti,

MOSI

PUTUSAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT MENCIPTAKAN KETIDAKPASTIAN


HUKUM

Majelis Hakim Konstitusi menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil. Untuk itu, Mahkamah menyatakan bahwa UU
Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat. Demikian Putusan
Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dibacakan dalam sidang putusan . Dalam Amar Putusan yang
dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman, Mahkamah mengabulkan untuk sebagian permohonan
yang diajukan oleh Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat,
Mahkamah Adat Minangkabau, serta Muchtar Said.

“Menyatakan  pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak
dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan'. Menyatakan UU
Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan
tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.
MOSI

PENGHAPUSAN PRENUPTIAL AGREEMENT DI INDONESIA

berakar dari prenuptial agreement yang dianggap menyimpang dari ketentuan hukum
perundang-undangan ,yang mengatur bahwa kekayaan pribadi masing-masing suami istri pada
dasarnya dicampur menjadi satu kesatuan yang bulat telah diatur dan dicatat dalam Dalam Pasal
119 Kitab UndangUndang Hukum Perdata.Selain itu di terapkannya prenuptial agreement
apabila diantara pasangan calon suami istri terdapat perbedaan status sosial yang mencolok,atau
memiliki harta kekayaan pribadi yang seimbang, atau masing-masing suami istri tunduk pada
hukum berbeda seperti yang terjadi pada perkawinan campuran. Dengan diadakannya Perjanjian
Perjanjian Pra Nikah maka terdapat kepastian hukum terhadap apa yang diperjanjikan mereka
untuk melakukan suatu perbuatan hukum terhadap apa yang diperjanjikan. Secara hukum,
perjanjian pra-nikah telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Di mana, perjanjian
tersebut dibuat secara tertulis pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. ... Pembuatan
perjanjian pra-nikah harus dibuat dalam bentuk akta otentik, artinya perjanjian harus dibuat oleh
notaris.namun Penerapan peraturan tentang Perjanjian Pra Nikah atau perjanjian kawin belum
begitu nampak di Indonesia karena masyarakat Indonesia masih menganggap Perjanjian Pra
Nikah masih sangat tabuh atau tidak sesuai dengan budaya ketimuran.

MOSI

PENGAKUAN HAK KONSTITUSIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT

Secara konstitusional masyarakat memiliki hak atas sumberdaya alam di wilayah laut dan pesisir
sebagaimana tertuang dan tercantum dalam Pasal 18 B UUD 1945. Tetapi dalam pelaksanaan
hak tersebut masyarakat adat diperhadapkan dengan berbagai aturan perundang-undangan yang
melemahkan masyarakat adat. Lemahnya hak konstitusional masyarakat adat disebabkan adanya
berbagai peraturan perundang-undangan yang seolah-olah tidak mengakui eksistensi masyarakat
adat. Hal ini tentu tidaklah tepat karena bertentangan dengan konstitusi sehingga berbagai
kebijakan pemerintah tersebut perlu di tinjau ulang untuk di rubah, sehingga kedepannya
peraturan perundangundangan yang dibuat dapat mengakomodir berbagai kepentingan
masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat hukum adat.

Anda mungkin juga menyukai