Anda di halaman 1dari 10

NAMA : INTAN PARASHINTA

NIM : 049024565

1. Eksistensi DPD dimunculkan pertama kali dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang


Dasar 1945 tahun 2001. Ketentuan-ketentuan terkait fungsi DPD sebagaimana yang
dicantumkan dalam Pasal 22 D UUD 1945. Namun sebenarnya apabila dicermati isi
ketentuan Pasal 22 D UUD 1945 dapat dikatakan bahwa fungsi DPD terkait legislasi,
kontrol, bugeting dan/atau rekrutmen adalah bersifat terbatas.

Silakan anda buktikan bahwa isi Pasal 22 D UUD 1945 menunjukkan fungsi DPD terkait
legislasi, kontrol, budgeting dan/atau rekrutmen adalah terbatas.

 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hadir sebagai tuntutan reformasi melalui Perubahan
UUD 1945 dalam konstruksi kekuasaan legislatif (legislative power) baru selain DPR.
Pengaturan DPD dalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945. Sebagai tindaklanjut
dari Pasal 22C dan Pasal 22D12 UUD 1945, pengaturan dalam peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan DPD diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 20014 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2014. Selain itu, implementasi DPD pun diatur dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraaturan Perundang-undangan. Kewenangan
legislatif DPD dibatasi dan DPD sekedar sebagai auxilliary state organ dari DPR.
Walaupun DPD diatur secara jelas dalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 yang
memiliki kewenangan legislasi, DPR sebagai pembentuk kedua undang-undang
dimaksud tetap mereduksi kewenangan DPD sehingga tidak tercipta chechs and
balances antara DPR dan DPD. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor
79/PUU-XII/2014 terhadap UU MD2 dan UU P3 telah mengembalikan kewenangan
legislasi DPD. Namun, DPR masih saja mengebiri kewenangan DPD walaupun telah
merubah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 menjadi Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2014, kewenangan legislasi DPD tetap tanpa adanya perubahan pasca putusan
MK.
sumber kewenangan DPD pasca putusan MK dan analisis terhadap konsep draft
rancangan undang-undang, alam pemaparan hal-hal dimaksud, lebih ditonjolkan dasar
kewenangan DPD sebagai lembaga negara utama (main state organ) dalam kekuasaan
legislatif selain DPR. Berkaitan dengan konteks tersebut, maka penulis akan
membahas lebih lanjut mengenai kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai sumber kewenangan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).
1. Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Dasar normatif pengaturan kewenangan konstitusional DPD diatur dalam Pasal 22D
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
UUD 1945 menyebutkan bahwa:
a) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
b) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-
undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
c) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan13 atas pelaksanaan
undang- undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu
kepada Dewan Perwakilan.
Dari dasar pengaturan kewenangan konstitusional DPD, DPD memiliki 3 (tiga)
fungsi,
diantara fungsi legislasi, fungsi pertimbangan, dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi
DPD ini bersifat terbatas, karena pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut terbatas pada
bidang-bidang tertentu saja yang menjadi kewenangan DPD. Bidang-bidang tertentu
sebagai fungsi legislasi DPD lebih dominan merupakan artikulasi kepentingan daerah,
antara lain otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya. Fungsi pertimbangan DPD berkaitan dengan pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan dan agama. Fungsi legislasi dan fungsi pertimbangan DPD ini menjadi
sumber adanya fungsi pengawasan DPD terhadap bidang-bidang dimaksud.

SUMBER :
Yuriska, (2010). “Kedudukan dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, 2 (2), h. 54
https://fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/download/309/pdf

2. Buktikan bahwa perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga yang dilakukan salah satu
pesero CV CM tanpa persetujuan dari pesero lain adalah sah berdasarkan ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata!
 Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschaap) yang
selanjutnya disebut CV adalah persekutuan yang didirikan oleh satu
atau lebih sekutu komanditer dengan satu atau lebih sekutu
komplementer, untuk menjalankan usaha secara terus menerus.
Di dalam CV terdapat dua alat kelengkapan, yaitu persero yang
bertanggung jawab secara tanggung renteng (persero aktif/persero
komplementer) dan persero yang memberikan modal (persero
pasif/persero komanditer). Persero aktif/persero komplementer
bertanggung jawab untuk melakukan tindakan pengurusan atau
bekerja di dalam CV, sedangkan persero pasif/persero komanditer
dilarang terlibat dalam aktivitas bisnis perseroan . Syarat Sah
Perjanjian
Lebih lanjut, untuk mengetahui sah atau tidaknya suatu perjanjian
yang ditandatangani oleh orang yang bukan lagi berkedudukan
sebagai persero aktif, terlebih dahulu kita perlu memahami syarat
sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata(“KUH Perdata”) sebagai berikut:

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;


1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena mengenai


orang atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat
subjektif dilanggar, maka perjanjian dapat dimintakan
pembatalan (voidable). Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua
belah pihak, selama tidak dimintakan pembatalan.
Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektifkarena
mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum
yang dilakukan itu. Apabila syarat objektif dilanggar, maka
perjanjian itu batal demi hukum (null and void). Artinya, sejak
semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.
Analisis Kasus
Terkait dengan pertanyaan diatas :.

Keabsahan suatu perjanjian kerjasama yang dilakukan salah satu pesero


CVadalah sah secara hukum, karena perjanjian tersebut dilakukan oleh
mereka yang telah sepakat melakukan perjanjian kerjasama, cakap dalam
melakukan perikatan dengan pihak ketiga, ada objek yang diperjanjikan
dalam perjanjian kerjasama tersebut dan mempunyai sebab yang halal
dalam perjanjian yang telah disepakatin bersama yaitu untuk
memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, walaupun salah satu
pihak pesero pasif menyatakan bahwa perjanjian kerjasama tersebut
dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pesero yang lainnya sehingga
pesero cv yang aktif dianggap telah melakukan perbuatan melawan
hukum, akan tetapi hal tersebut tidak cukup kuat untuk menyatakan
bahwa pesero aktif telah melanggar hukum, karena jika syarat- syarat
yang terdapat dalam KUHPerdata telah dipenuhi dan dibuat dihadapan
Notaris serta memiliki bukti autentik maka perjanjian kerjasama yang
dilakukan pesero aktif tersebut dengan pihak ketiga adalah sah dan
memiliki kekuatan hukum.

Pertama, apabila kedua pihak yang menandatangani perjanjian sama-


sama telah mengetahui bahwa orang tersebut tidak lagi berkedudukan
sebagai persero aktif dalam CV dan tidak diberikan kuasa oleh CV, namun
para pihak tetap bersedia mengadakan perjanjian, maka perjanjian antara
CV dan perusahaan tersebut melanggar syarat sah perjanjian yang kedua
dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kecakapan. Lebih lanjut, Abdulkadir
Muhammaddalam bukunya Hukum Perikatan (hal. 93) menyatakan bahwa
kecakapan untuk membuat suatu perjanjian harus dimaknai juga sebagai
kewenangan untuk membuat perjanjian. Seseorang dikatakan memiliki
kewenangan apabila ia mendapatkan kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu, dalam hal ini membuat perjanjian. Dikatakan tidak
ada kewenangan apabila ia tidak mendapat kuasa untuk itu. Akibat hukum
ketidakcakapan/ketidakwenangan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian
yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim (voidable).

Kedua, apabila pihak yang mewakili CV melakukan tipu muslihat


sehingga pihak perusahaan tidak menyadari dan tidak dapat mengetahui
bahwa orang tersebut tidak lagi berkedudukan sebagai persero aktif
dalam CV, maka perjanjian tersebut melanggar syarat sah perjanjian yang
pertama yaitu kesepakatan.

Sepakat berarti bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu


setuju atau seiya-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian
yang diadakan itu. Sepakat dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat
oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kata sepakat tersebut
terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan. Hal ini
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUH Perdata sebagai berikut:

Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan


karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

Mengenai penipuan (bedrog), Subektidalam bukunya Hukum


Perjanjian (hal. 23) menjelaskan penipuan terjadi apabila salah satu pihak
dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan palsu atau tidak
benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan
memberikan perizinannya.

SUMBER : https://www.hukumonline.com/klinik/a/keabsahan-perjanjian-yang-dibuat-oleh-
eks-pengurus-cv-lt5d8a28533965c/

3. Silakan dianalisis cara menentukan perbuatan “penyalahgunaan wewenang”


yang dilakukan oleh pejabat pemerintah berkualitas sebagai mal-adminstrasi,
dengan indikator yang digunakan adalah :

1. Ketentuan perundang-undangan, yakni UU No. No.30 Tahun 2014 tentang


Administrasi Pemerintahan.

=> penyalahgunaan wewenang dapat diidentifikasi sebagai tindakan mal-


administrasi yang dilakukan oleh pejabatpemerintah berkualitas.
Penyalahgunaan wewenang terjadi ketika
seorang pejabatpemerintah menggunakan kekuasaannya untuk tujuan yang
tidak sah atau tidak sesuai dengan wewenang yang diberikan kepadanya.

Indikator penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahberkualitas dapat


diidentifikasi dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan, terutama
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Pasal 4 ayat (1) UU tersebut mengatur bahwa prinsip-prinsip penyelenggaraan


pemerintahan yang baik meliputi:

a. terwujudnya tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, partisipatif,


dan responsif;

b. penggunaan sumber daya publik yang efektif, efisien, dan berkeadilan;

c. penegakan hukum, pencegahan tindak pidana korupsi, dan perlindungan hak


asasi manusia;

d. pemenuhan hak atas layanan publik yang baik, cepat, sederhana, dan
terjangkau;

e. pengelolaan informasi publik yang terbuka dan mudah diakses oleh


masyarakat;

f. peningkatan kualitas aparatur pemerintah melalui pemberian dukungan


sumber daya manusia, pendidikan, dan pelatihan.

Dalam konteks penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaanterhadap prinsip-


prinsip tersebut dapat terjadi ketika seorang pejabat pemerintah tidak memenuhi
kewajibannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, atau ketika ia
menggunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu, atau ketika ia melanggar prinsip asas spesialitas.

Asas Spesialitas adalah prinsip dalam pemberian wewenang di


mana pejabat pemerintah hanya diberikan wewenang yang sesuai dengan
jabatan dan kewenangan yang dimilikinya.

Hal ini berarti bahwa pejabat pemerintah tidak dapat melakukan tindakan atau
keputusan yang melampaui batas wewenang yang diberikan kepadanya.

Dengan demikian, apabila seorang pejabat pemerintahmelakukan tindakan atau


keputusan yang tidak sesuai dengan wewenang yang dimilikinya, hal ini dapat
dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang merupakan tindakan
mal-administrasi.

Dalam hal ini, penyalahgunaan wewenang oleh pejabatpemerintah dapat


terjadi ketika pejabat tersebut memberikan izin atau mengambil keputusan yang
melampaui batas wewenang yang dimilikinya, atau ketika pejabat tersebut
memilih untuk tidak memberikan izin atau mengambil keputusan yang
seharusnya sesuai dengan wewenang yang dimilikinya.

Dalam upaya mencegah terjadinya penyalahgunaanwewenang, perlu adanya


mekanisme pengawasan dan kontrol yang efektif terhadap pejabat pemerintah.

Pengawasan dan kontrol ini dapat dilakukan melalui berbagai mekanisme,


seperti pengawasan internal dan eksternal, audit, serta partisipasi masyarakat
dalam pengawasan pemerintah.

2. Asas Spesialitas dalam pemberian wewenang.

=> DJKN merupakan bagian dari pemerintah yang bertugas menyelenggarakan


fungsi pemerintahan. Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut salah
satunya diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada warga
masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana
dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D
ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, warga
masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam
penyelenggaraan pemerintahan.

Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 30


Tahun 2014 menjamin bahwa keputusan dan/atau tindakan badan dan/atau
pejabat pemerintahan terhadap warga masyarakat tidak dapat dilakukan
dengan semena-mena. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
maka warga masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara.
Selain itu, Undang-Undang ini merupakan transformasi Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh
tahun dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma
hukum yang mengikat.
Penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada asas legalitas, asas
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan AUPB khususnya dalam hal ini
asas tidak menyalahgunakan kewenangan. Asas tidak menyalahgunakan
wewenang sendiri diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 yaitu Pasal 10 ayat
(1) huruf e dan penjelasannya. Asas ini mewajibkan setiap badan dan/atau
pejabat pemerintahan untuk tidak menggunakan kewenangannya untuk
kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan
pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan,
dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.

Menurut ketentuan Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014, badan dan/atau pejabat


pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, larangan itu meliputi
larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang,
dan/atau larangan bertindak sewenang-wenang.

Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan melampaui wewenang


apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan melampaui masa jabatan
atau batas waktu berlakunya wewenang, melampaui batas wilayah berlakunya
wewenang; dan/atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan
mencampuradukkan wewenang apabila keputusan dan/atau tindakan yang
dilakukan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan,
dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Badan
dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang
apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan,
dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap.

Berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 30 Tahun 2014, maka pengawasan dan


penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang terlebih dahulu
dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Hasil
pengawasan APIP terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang berupa tidak
terdapat kesalahan, terdapat kesalahan administratif, atau terdapat kesalahan
administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang merasa kepentingannya dirugikan


oleh hasil pengawasan APIP dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menilai ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan sebagaimana
diatur dalam Pasal 21 UU Nomor 30 Tahun 2014. PTUN berwenang untuk
menerima, memeriksa dan memutus permohonan penilaian ada atau tidak ada
penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan Pejabat
Pemerintahan sebelum dilakukan proses pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2015
tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan
Wewenang. Lebih lanjut dalam ayat (2) disebutkan bahwa PTUN
baru berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan penilaian
setelah adanya hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah.
Putusan atas permohonan dimaksud, harus diputus dalam jangka waktu paling
lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.

Terhadap putusan PTUN tersebut dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi


Tata Usaha Negara dalam jangka waktu 14 hari kalender dihitung keesokan hari
setelah putusan diucapkan bagi pihak yang hadir atau 14 hari kalender setelah
amar pemberitahuan putusan dikirimkan bagi pihak yang tidak hadir saat
pembacaan putusan. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus
permohonan banding paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak penetapan
susunan Majelis. Atas putusan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum lain
karena putusan tersebut bersifat final dan mengikat.
Dalam kegiatan Focuss Group Discussion pada tanggal 21 Maret 2016,
bertempat di Direktorat Hukum dan Hubungan Masyarakat, Dr. Dian Puji
Simatupang, S.H., M.H., Pakar Hukum Administrasi Negara Hukum dari
Universitas Indonesia menyatakan bahwa dengan terbitnya UU Nomor 30 Tahun
2014, maka terkait dengan dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan seharusnya dapat diselesaikan
terlebih dahulu secara administrasi, kemudian, apabila berdasarkan putusan
pengadilan telah terbukti bahwa penyalahgunaan wewenang tersebut
mengandung 3 (tiga) unsur yang termasuk dalam ranah pidana yaitu ancaman,
suap, dan tipu muslihat untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah, maka
atas dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut diselesaikan melalui proses
pidana. Disampaikan kembali oleh Dian dalam FGD pada tanggal 18 Mei 2016
bertempat di Kantor Wilayah DJKN Bali dan Nusa Tenggara bahwa, “Aparatur
Sipil Negara (ASN) dan Pejabat Negara sudah dilekatkan kewenangan publik,
artinya dalam diri ASN dan Pejabat tersebut melekat wewenang dan
kewenangan sehingga ketika pihak lain menganggap ada pelanggaran yang
dilakukan ASN dan Pejabat Negara yang menyalahi wewenangnya maka
penyelesaian yang utama adalah penyelesaian administrasi terlebih dahulu,”
ujar Dian. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 Undang-undang No. 30/2014 yang
menjelaskan “Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang
dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP),”.
(https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita)

Lebih lanjut disampaikan oleh Dian bahwa berdasarkan ketentuan tersebut


diatas, apabila Pejabat Pemerintahan dipanggil oleh Aparat Penegak Hukum
(APH), misalnya Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, atas
dugaan penyalahgunaan wewenang maka atasan langsung Pejabat
Pemerintahan dapat menyampaikan surat ke APH yang pada intinya
menyampaikan bahwa terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut
sedang dilakukan penyelidikan oleh APIP. Terkait dengan hal tersebut maka
Atasan Pejabat Pemerintahan harus mendasarkan semua tindakannya pada
standar operasional prosedur pembuatan keputusan dan/atau tindakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf h UU Nomor 30 Tahun 2014.

Dengan demikian, laporan terhadap adanya dugaan penyalahgunaan


wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan tidak seharusnya
diperiksa melalui proses pidana karena sesuai dengan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 selama penyalahgunaan wewenang tersebut tidak mengandung
unsur tindak pidana maka hal tersebut merupakan ranah administrasi yang
penyelesaiannya dilakukan oleh atasan pejabat yang bersangkutan dan sanksi
terhadap pejabat yang telah terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang
berupa pencabutan kewenangan, sanksi tegoran atau pemberhentian
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, sebagaimana
diatur dalam pasal 87, definisi Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai
sebagai:

a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;

b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan


eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;

c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;

d. bersifat final dalam arti lebih luas;

e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau

f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

SUMBER :

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/11296/Penyalahgunaan-
Wewenang-Ditinjau-dari-Hukum-Administrasi-Negara.html

Anda mungkin juga menyukai