Anda di halaman 1dari 10

Nama : fahim acad rizaldi / a.

57

Tugas : hukum acara MK (12)

1. Jelaskan tugas dan wewenang mahkamah konstitusi RI

Tugas Mahkamah Konstitusi ?

1. Menguji Undang-Undang

Salah satu tugas MK yang utama adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar. MK bertugas menjelaskan jika ada perbedaan interpretasi atas sebuah undang-undang
yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD).

2. Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Wewenang MK juga bertugas untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitus menjadi lembaga
yang berhak untuk memutuskan segala konflik dan perselisihan wewenang dalam lembaga
negara.

3. Memutus Pembubaran Partai Politik

Tugas Mahkamah Konstitusi juga penting dalam pengawasan partai politik. MK memiliki
wewenang untuk memutus pembubaran partai politik. Tentu segala prosedur terkait
pembubaran partai politik harus dilakukan sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum

MK juga memiliki wewenang untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum atau
pemilu. Segala sengketa, konflik atau dugaan kecurangan dalam pemilu bisa dilaporkan dan
diajukan ke Mahkamah Konstitusi, untuk kemudian diputuskan solusinya.

5. Memberi Putusan Mengenai Dugaan Pelanggaran Presiden

Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-
Undang Dasar. DPR berhak mengajukan dugaan pelanggaran presiden untuk diputuskan oleh
MK.
Wewenang mahkamah konstitusi

Di dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar RI 1945 jo. Undang Undang No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan.atau Wakil presiden menurut Undang-undang
Dasar

Sementara sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar RI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki


kewenangan sebagai berikut[2]:

Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Memutus sengketa kewenangan kenbaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.

Memutus pembubaran partai politik.

Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya atau perbuatan tercela.

Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wapres telah tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.

2. Jelaskan dan uraikan tentang ruang lingkup penyelesaian sengketa di mahkamah konstitusi
RI ?

Batasan Lembaga Negara yang Memiliki Kedudukan Hukum dalam Perkara Seng-keta
Kewenangan Lembaga NegaraSebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa menurut
ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, salah satu kewenangan MK adalah
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD. Berpijak dari ketentuan dimaksud, maka dapat dipahami bahwa setidaknya
terdapat dua unsur pokok terkait definisi lembaga negara yang memiliki kedudukan
hukum (legal standing) dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Kedua
unsur pokok dimaksud adalah pertama, lembaga negara itu disebutkan dalam UUD,
kedua,kewenangan lembaga negara dimaksud diberikan oleh UUD. Unsur pertama
memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan dimaksud. Namun didasarkan
pada ketentuan bahwa lembaga negara yang dapat memiliki kedudukan hukum (legal
standing) adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, maka secara
otomatis bahwa lembaga negara dimaksud harus disebutkan dalam UUD.Hal ini bertolak
pada pemikiran logis bahwa tidak mungkin sebuah lembaga negara diatur
kewenangannya dalam UUD tanpa menyebutkan nama lembaga negara tersebut. Dengan
demikian maka dapat disimpulkan bahwa kedua unsur dimaksud merupakan syarat
mutlak yang berlaku secara kumulatif. Satu saja di antara kedua unsur dimaksud tidak
terpenuhi, maka dapat diartikan bahwa lembaga negara tersebut tidak memiliki
kedudukan hukum atau legal standing, baik sebagai pemohon maupun termohon dalam
perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang merupakan ranah kewenangan
MK.Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa yang
dapat menjadi pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara adalah lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 yang mempunyai
kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Selain itu, dalam
ayat (2) pasal yang sama ditegaskan bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas
dalam permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan
kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara
mana yang menjadi termohon.Kemudian dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas
dan kewenangan dalam memutus perkara sengketa kewenangan lembaga negara, MK
mengeluarkan Peraturan No. 8/PMK/2006 Tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.71 Menurut peraturan dimaksud, batasan
definisi lembaga negara diletakkan pada pengertian lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD. Ketentuan dimaksud dipertegas melalui Pasal 2
ayat (1) dengan menyebutkan nama-nama lembaga negara yang dapat menjadi pemohon
maupun termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.
Adapun lembaga negara yang dapat menjadi pemohon maupun termohon dalam perkara
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menurut Pasal 2 ayat (1) PMK No.
8/PMK/2006 adalah sebagai berikut: DPR; DPD; MPR; Presiden; BPK; Pemerintah
Daerah; dan lembaga negara lainnya yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI
Tahun 1945.Pada ayat (2) pasal yang sama ditegaskan bahwa kewenangan yang
dipersengketakan adalah kewenangan lembaga negara yang diberikan atau ditentukan
oleh UUD NRI Tahun 1945. Kemudian terkait dengan syarat-syarat sebagai pemohon,
dijelaskan lebih lanjut bahwa pemohon adalah lembaga negara yang menganggap
kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan dan atau
dirugikan oleh lembaga negara yang lain. Selain itu, pemohon juga harus mempunyai
kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Jadi, sepanjang tidak
ditemukan kepentingan langsung, maka sebuah lembaga negara tidak dapat menjadi
pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara. Adapun yang dapat dijadikan
termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, meng-
halangi atau mengabaikan maupun merugikan pemohon.Berpijak pada sejumlah
ketentuan dimaksud, maka dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat lembaga-lembaga
negara yang memiliki legal standing sebagai pemohon maupun termohon dalam perkara
sengketa kewenangan lembaga negara adalah:
1.lembaga negara yang kewenangannya diberikan atau ditentukan dalam UUD
NRI Tahun 1945;
2.lembaga negara dimaksud memiliki kepentingan langsung terhadap kewe-
nangan yang dipersengketakan;
3.bagi pemohon, ada anggapan bahwa kewenangan konstitusionalnya diam-bil,
dikurangi, dihalangi, diabaikan dan atau dirugikan oleh lembaga nega-ra yang
lain.Syarat terakhir tersebut dapat ditafsirkan sebagai adanya hubungan kausal
kerugian yang dialami kewenangannya dengan kewenangan yang dilaksanakan
oleh lembaga negara lain.72 Jika didasarkan pada sejumlah syarat yang
disebutkan di atas, dapat dirinci bahwa lembaga negara yang kemungkinan
memiliki legal standing dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara
adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, Wakil Presiden, Menteri-Menteri, Pemerintah
Daerah, MA,73 MK, KY, BPK, KPU, TNI dan Polri. Lembaga-lembaga inilah
yang kewenangannya secara tegas disebutkan maupun diatur dalam UUD NRI
Tahun 1945. Namun kemudian, bila memperhatikan substansi Pasal 67 UU
Nomor 24 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa putusan MK mengenai sengketa
kewenangan disampaikan kepada DPR, DPD dan Presiden, maka bisa jadi muncul
penafsiran lain terkait dengan pemahaman tentang lembaga negara74 mana saja
yang memiliki legal standingdalam perkara SKLN. Selain itu, jika merujuk pada
pemaknaan istilah lembaga negara sebagai lembaga yang menjalankan tugas
pokok kekuasaan negara, maka semua lembaga yang disebutkan secara tegas
dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak secara otomatis memiliki kedudukan hukum
dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Artinya hanya lembaga
yang benar-benar menjalankan tugas pokok kekuasaan negara saja seperti MPR,
DPR, DPD, Presiden, MA dan MK saja yang dapat dikualifikasikan memiliki
kedudukan hukum atau legal standing dalam perkara sengketa kewenangan
lembaga negara

3. Jelaskan prosedur beracara di mahkamah konstitusi RI?


putusan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (PMK) No. 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Tahapan pengajuan dan
pemeriksaan permohonan uji materil meliputi:

1) Pengajuan Permohonan

Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh
pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK. Dalam pengajuan
permohonan uji materil, permohonan harus menguraikan secara jelas hak atau kewenangan
konstitusionalnya yang dilanggar.

Dalam pengujian formil, Pemohon wajib menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang


tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD. Pengajuan
permohonan ini harus disertai dengan bukti-bukti yang akan digunakan dalam persidangan.

Pemohon dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah:

a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU;

c. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau;

d. Lembaga negara.

2) Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK;

Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan pemeriksaan atas


kelengkapan administrasi. Apabila dalam permohonan tersebut syarat-syarat administrasi
masih kurang, maka pemohon diberi kesempatan untuk melengkapinya dalam waktu tujuh hari
setelah pemberitahuan mengenai ketidaklengkapan permohonan diterima oleh pemohon.
Apabila dalam waktu tersebut pemohon tidak memenuhi kelengkapan permohonannya, maka
panitera membuat akta yang menyatakan permohonan tidak diregistrasi dan diberitahukan
kepaa pemohon disertai pengembalian berkas permohonan.

3) Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK);

Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam waktu paling lambat tujuh hari sejak permohonan dicatat
dalam BRPK, MK menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden.

Selain itu, MK juga memberitahu kepada MA mengenai adanya permohonan pengujian undang-
undang dimaksud dan meberitahukan agar MA meberhentikan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang diuji.

4) Pembentukan Panel Hakim

Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK untuk
menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undang-undang
tersebut.

5) Penjadwalan Sidang;

Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK menetapkan
hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan. Penetapan ini diberitahukan
kepada para pihak dan diumumkan masyarakat dengan menempelkan pada papan
pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs www.mahkamah konstitusi.go.id,
serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik.

Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau kuasanya dalam jangka waktu
paling lambat tiga hari sebelum hari persidangan.

6) Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;

Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan pemeriksaan


pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan,
kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok permohonan. Dalam pemeriksaan ini,
hakim wajib memberikan nasehat kepada pemohon atau kuasanya untuk melengkapi dan atau
memperbaiki permohonan.

Pemohon diberi waktu selama 14 (empat belas) hari untuk melengkapi dan atau memperbaiki
permohonan tersebut. Nasihat yang diberikan kepada pemohon atau kuasanya termasuk hal-
hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan.

Dalam hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau telah diperbaiki,
panitera menyampaikan salinan permohonan tersebut kepada Presiden, DPR dan Mahkamah
Agung.

7) Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti;

Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari sembilan
hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang sudah
diajukan.

Untuk kepentingan persidangan, majelis hakim wajib memanggil para pihak yang berperkara
untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis
kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.

8) Putusan.

Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim
(RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapatnya secara tertulis. Apabila musyawarah tidak menghasilkan putusan maka
musyawarah ditunda sampai dengan musyawarah hakim berikutnya.

Selanjutnya apabila dalam musyawarah ini masih belum bisa diambil putusan secara
musyawarah mufakat maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Ketua sidang berhak
menentukan putusan apabila mekanisme suara terbanyak juga tidak dapat mengambil putusan.
Putusan MK berkaitan dengan pengajuan permohonan pengujian undang-undang dapat
berupa:

Dikabulkan; Apabila materi muatan yang terdapat dalam undang-undang melanggar


UUD dan apabila pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan UUD;
Ditolak; Apabila dalam persidangan terbukti bahwa ternyata undang-undang yang oleh
pemohon diajukan uji materil baik pembentukan maupun materinya tidak bertentangan
dengan UUD;
Tidak diterima; Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang tidak
dipenuhi

4. Jelaskan karakteristik hukum acara mahkamah konstitusi RI ?

Mengingat keberadaannya sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengawal konstitusi agar
dilaksanakan oleh ketentuan di bawahnya, MK adalah lembaga yang menyelenggarakan
peradilan konstitusi sehingga sering disebut sebagai Pengadilan Konstitusi (constitutional
court). Hal itu juga tercermin dari dua hal lain. Pertama, perkara-perkara yang menjadi
wewenang MK adalah perkara-perkara konstitusional, yaitu perkara yang menyangkut
konsistensi pelaksanaan norma-norma konstitusi. Kedua, sebagai konsekuensinya, dasar utama
yang digunakan oleh MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara adalah konstitusi
itu sendiri. Walaupun terdapat ketentuan undangundang yang berlaku dan mengatur
bagaimana MK menjalankan wewenangnya, jika undang-undang tersebut bertentangan dengan
konstitusi MK dapat mengesampingkan atau bahkan membatalkannya jika dimohonkan. Hukum
Acara MK dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur prosedur dan tata cara pelaksanaan
wewenang yang dimiliki oleh MK. Ada juga yang menyebut dengan istilah lain, seperti Hukum
Acara Peradilan Konstitusi, Hukum Acara Peradilan Tata Negara, dan lain-lain. Penggunaan
istilah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi untuk sementara digunakan secara umum karena
memang terkait dengan perkara-perkara yang menjadi wewenang MK. Hukum Acara MK adalah
hukum formil yang berfungsi untuk menegakkan hukum materiilnya, yaitu bagian dari hukum
konstitusi yang menjadi wewenang MK. Oleh karena itu keberadaan Hukum Acara MK dapat
disejajarkan dengan Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, dan Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara. Hukum Acara MK memiliki karakteristik khusus, karena hukum materiil
yang hendak ditegakkan tidak merujuk pada undang-undang atau kitab undang-undang
tertentu, melainkan konstitusi sebagai hukum dasar sistem hukum itu sendiri. Hukum Acara MK
dimaksudkan sebagai hukum acara yang berlaku secara umum dalam perkara-perkara yang
menjadi wewenang MK serta hukum acara yang berlaku secara khusus untuk setiap wewenang
dimaksud. Oleh karena itu Hukum Acara MK meliputi Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, Hukum Acara Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara, Hukum Acara Pembubaran Partai Politik, dan Hukum Acara Memutus
Pendapat DPR mengenai Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Asas-Asas Hukum Acara MK

Asas Ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya. Asas tersebut juga
ditegaskan dalam Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman

Persidangan terbuka untuk umum adalah Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara
terbuka untuk umum merupakan asas yang berlaku untuk semua jenis pengadilan, kecuali
dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang. Hal ini tertuang di dalam Pasal 13
UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40
ayat (1) UU MK, bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.

Independen dan imparsial yaitu Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara
obyektif serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus independen dalam
arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak memihak
kepada salah satu pihak yang berperkara atau imparsial. Hal ini berlaku untuk semua peradilan
yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang ditegaskan dalam
Pasal 2 UU MK. Sedangkan dalam Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.

Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan adalah Prinsip peradilan
cepat, sederhana, dan murah dimaksudkan agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat
diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan
salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before the law. Jika pengadilan berjalan dengan
rumit dan kompleks, berbelit-belit, serta membutuhkan biaya yang mahal, maka hanya
sekelompok orang tertentu yang memiliki kemampuan berperkara di pengadilan, dan hanya
orang-orang inilah yang pada akhirnya dapat menikmati keadilan.

Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem) Pada pengadilan biasa, para
pihak memiliki hak untuk didengar secara seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah pihak-
pihak yang saling berhadaphadapan, baik sebagai tergugat-penggugat, pemohon-termohon,
maupun penuntut-terdakwa. Dalam peradilan MK tidak selalu terdapat pihak-pihak yang saling
berhadapan (adversarial). Untuk perkara pengujian undang-undang misalnya, hanya terdapat
pemohon. Pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR tidak berkedudukan sebagai
termohon.

Hakim aktif dalam persidangan adalah Hakim dapat bertindak aktif dalam persidangan karena
hakim dipandang mengetahui hukum dari suatu perkara. Hal ini juga sesuai dengan asas ius
curia novit, yang juga dapat diterjemahkan bahwa hakim mengetahui hukum dari suatu
perkara. Oleh karena itu pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada
hukumnya, dan hakim di pengadilan itu dapat aktif dalam persidangan.

Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa) adalah Asas praduga keabsahan adalah
bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai ada pembatalannya.
Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan
konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Sah dalam hal ini berarti sesuai dengan
asas dan ketentuan hukum baik dari sisi materi maupun prosedur yang harus ditempuh. Untuk
menyatakan tidak sah tindakan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga yang melakukan
tindakan itu sendiri maupun oleh lembaga lain yang diberi kewenangan berdasarkan aturan
hukum. Sebagai konsekuensi dari asas ini, apabila ada upaya hukum untuk melakukan
pengujian terhadap tindakan dimaksud, maka tindakan itu tetap berlaku walaupun sedang
dalam proses pengujian

5. Putusan MK RI itu bersifat final dan mengikat ?

Putusan final pada putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”), artinya putusan langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Akibat hukumnya secara umum, tidak ada
upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Sedangkan arti putusan
mengikat dalam Putusan MK yaitu putusan tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi
seluruh masyarakat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai