Anda di halaman 1dari 3

SAMUEL REYNALDI (215010100111157)

HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI J

1. Sesuai dengan Pasal 61 ayat (1) dan (2) UU 24 Tahun 2009, syarat terpenuhinya
kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 adalah sebagai berikut,
(1) Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan
langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan
serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon.

2. Sesuai dengan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003, Mahkamah Agung tidak dapat menjadi
pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah
Konstitusi.
Dan juga dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman
Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara (“PMK 08/2006”)
Pasal 2 ayat 3 menyatakan, “Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik
sebagai pemohon ataupun termohon dalam sengketa kewenangan teknis peradilan
(yustisial) Vide Pasal 65 UU Mahkamah Konstitusi.”

Alasan yang paling mendasari ketentuan tersebut dikarenakan Mahkamah Agung sendiri
merupakan bagian dari struktur kekuasaan yudikatif (kekuasaan kehakiman)
sebagaimana Mahkamah Konstitusi, sehingga tidaklah etis Mahkamah Konstitusi
Memeriksa Mahkamah Agung dalam sengketa kewenangan lembaga negara disamping
ada kekhawatiran akan mengurangi independensi kekuasaan kehakiman, terutama
independensi kelembagaannya
Selain alasan tersebut pembatasan ini juga dimaksudkan untuk jawaban dari pertanyaan
bagaimana jika Mahkamah Agung bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi, mengapa
hanya Mahkamah Konstitusi yang memutuskan sendiri. Sementara dari segi kedudukan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang berada dalam
kekuasaan kehakiman yang dianggap sebagai puncak peradilan dan memiliki kedudukan
yang sama.
Dan juga memang berkembang pula paradigma bahwa sudah seharusnya Mahkamah
Agung tidak perlu dijadikan pihak yang bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Hal itu
dimaksudkan untuk menjamin agar independensi dan kewibawaan Mahkamah Agung
sebagai lembaga peradilan biasa yang tertinggi dapat dijaga.

3. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945:


“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.***”

Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi:


“Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan suatu partai politik yang didasarkan pada
alasan dan terbukti bahwa ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan dari partai
politik yang bersangkutan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.”

Partai Politik bubar apabila (Pasal 41 UU 2/2008 ttg Parpol):


a. membubarkan diri atas keputusan sendiri;
b. menggabungkan diri dengan Partai Politik lain; atau
c. dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Partai membubarkan diri atas keputusan sendiri dilakukan berdasarkan AD dan ART
(Pasal 42)
• menggabungkan diri dengan Partai Politik lain Penggabungan Partai Politik dengan
Partai Politik lain dapat dilakukan dengan cara:
a. Menggabungkan diri membentuk Partai Politik baru dengan nama, lambang, dan
tanda gambar baru; atau
b. Menggabungkan diri dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda gambar salah
satu Partai Politik.
• Partai Politik baru hasil penggabungan dengan membentuk Partai Politik baru
diwajibkan memenuhi persyaratan pembentukan parpol baru.
• Partai Politik yang menerima penggabungan Partai Politik lain tidak diwajibkan untuk
memenuhi persyaratan pembentukan parpol baru.

Partai Politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah apabila:


a. Ideologi, asas, tujuan, program partai politik bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b. Kegiatan partai politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Menurut Pasal 10 ayat 2 Peraturan MK No. 12 Tahun 2008 Tentang Prosedur Beracara
Dalam Pembubaran Partai Politik, Akibat hukumnya ialah ;
a. pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol partai tersebut di
seluruh Indonesia;
b. pemberhentian seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang berasal dari partai politik yang dibubarkan;
c. pelarangan terhadap mantan pengurus partai politik yang dibubarkan untuk
melakukan kegiatan politik;
d. pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang dibubarkan.

Anda mungkin juga menyukai