Anda di halaman 1dari 5

Nama : Renata Cesar Ramadan

NPM : 21100123

Kewenangan penyelesaian sengketa tersebut, dalam praktik-praktik negara-negara


sejak abad ke-20, menurut I Dewa Gede Palguna, memang lazimnya diberikan
kepada Mahkamah Konstitusi, karena lembaga negara inilah yang memiliki fungsi
sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution). Bahkan, kewenangan
demikian harus dianggap ada, walaupun konstitusi tidak secara tegas
menyatakannya.19Indonesia pun mengadopsi keberadaan Mahkamah Konstitusi. Pasal
24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahka mah Agung dan badan peradilan yang berada di bawah nya dalam
lingkungan peradilan umum, ling kung an peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusimerupakan salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.20 Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi
adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang
mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan
ketentuan UUD 1945.

Luthfi Widagdo Eddyono PenyelesaianSengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh


Mahkamah Konstitus Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010

Selain itu, terhadap perkara yang diajukan, selain kemungkinan diputus


dengan amar putusan permohonan tidak dapat diterima, permohonan
dikabulkan, dan permohonan ditolak, terdapat pula kemungkinan lainnya,
yaitu perkara tersebut ditarik kembali dan Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa dirinya tidak berwenang. Dalam hal perkara tersebut ditarik kembali,
maka sebagaimana diatur dalam Pasal 17 PMK Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian UU, maka Ketua
Mahkamah Konstitusi menerbitkan Ketetapan Penarikan Kembali yang
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Contoh Surat Ketetapan
tersebut adalah Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 59/TAP.
MK/2008, tanggal 6 Mei 2008, yang menetapkan sebagai berikut:
- Mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon;
- Menyatakan perkara Nomor 9/PUU-VI/2008 perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
2008 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
ditarik kembali;
- Menyatakan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun 2008 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dalam perkara a quo;
- Memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat penarikan kembali perkara Nomor
9/PUU-VI/2008 a quo dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Sedangkan amar putusan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang
hanya pada 2 perkara yang diajukan pada tahun 2003, yaitu Perkara Nomor
015/PUU-I/2003 tentang Verifikasi Partai Persatuan Nasional Indonesia
(PPNI) dan Perkara Nomor 016/PUU-I/2003 tentang Permohonan
Pembatalan Perkara Judicial Review.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD, di samping melakukan pengujian undang-undang terhadap
UUD, pada dasarnya merupakan kewenangan konstitusional yang dibentuk
dengan tujuan untuk menegakkan ketentuan yang terdapat dalam UUD.
Ini disebabkan karena dari dua hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat
timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi tercermin
dalam (2) dua kewenangan tersebut, yaitu: (1) kewenangan untuk menguji
undang-undang terhadap UUD; dan (2) kewenangan untuk memutus
SKLN yang kewenangannya bersumber dari UUD.
FADILLAH HUTRI LUBIS, SH /NUR ALAMSYAH, SH. MH. /NAZRUL ICHSAN
NASUTION, S HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jakarta, 2010 Bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi
UUD 1945 telah menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan di bawahnya, dan oleh Mahkamah
Konstitusi. Dalam konteks ini, konstitusi mengamanatkan bahwa pelaku
kekuasaan kehakiman tidak hanya satu yaitu Mahkamah Agung saja
sebagaimana sebelum amandemen UUD 1945, tetapi ada juga Mahkamah
Konstitusi. Artinya, konstitusi menghendaki adanya dua institusi dalam satu
cabang kekuasaan kehakiman. Pada dasarnya Mahkamah Agung merupakan
puncak tertinggi dari badan-badan peradilan di bawahnya namun Mahkamah Agung
tidak membawahi dan berkedudukan di atas Mahkamah Konstitusi, sebaliknya
Mahkamah Konstitusi juga tidak membawahi atau berkedudukan di atas
Mahkamah Agung. Artinya, kedudukan Mahkamah Konstitusi sejajar dengan
Mahkamah Agung, yaitu sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam
sistem kekuasaan di negara Republik Indonesia. Meskipun sama-sama berada dalam
lingkungan yudisial, namun diantara keduanya baik secara kelembagaan maupun
kewenangannya adalah terpisah dan berbeda satu sama lain.2Apabila
kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi dirinci dan kemudian ditautkan
dengan kewenangan Mahkamah Agung maka menurut Mahfud MD tampak ada
persilangan kewenangan antara kedua lembaga tersebut. Mahkamah Konstitusi
mengadili konflik peraturan yang bersifat abstrak sekaligus mengadili konflik (sengketa)
antar orang atau lembaga yang bersifat konkret. Ada pun Mahkamah Agung juga
mengadili konflik (sengketa) antar orang atau lembaga yang bersifat konkret sekaligus
mengadili konflik antar peraturan yang bersifat abstrak.3 Dalam hal yang berkaitan
dengan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan misalnya. Di sini
tampak adanya persilangan wewenang dalam pengujian peraturan perundang-
undangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung karena keduanya
sama-sama mempunyai kewenangan melakukan pengujian tetapi dengan tingkatan
yang berbeda.

Budi Suhariyanto Masalah EksekutabilitasPutusan Mahkamah Konstitusi oleh


Mahkamah Agung Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 1, Maret 201

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan


pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di
negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju
demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional
biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan
itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam
perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada
pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat. MK menjadi salah satu lembaga
negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-
lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualiikasi sebagai lembaga
negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan
kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, itu adalah
pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan
checks and balances antara satu sama lain.

Janedjri M. Gaffar Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam sistem
Ketatanegaraan Republik indonesia hal 6,9
Mahkamah Agung (MA)Adapun yang menjadi kewenangan MA menurut UUD NRI
Tahun 1934 adalah: mengadili pada tingkat kasa-si; menguji peraturan perundang-
undangan di bawah UU terhadap UU; mengajukan 3 orang hakim konstitusi;
memberikan pertimbangan kepada presiden dalam hal presiden memberi grasi dan
rehabilitasi; dan wewenang lainnya yang diberikan oleh UU;
Mahkamah Konstitusi (MK)Adapun yang menjadi kewenangan konstitusional MK
adalah sebagai berikut: menguji UU terhadap UUD; memutus sengketa kewenangan
lem-baga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; memutus pem-bubaran
partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan
putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Batasan Lembaga Negara yang Memiliki Kedudukan Hukum dalam Perkara Seng-keta
Kewenangan Lembaga NegaraSebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa
menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, salah satu kewenangan
MK adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD. Berpijak dari ketentuan dimaksud, maka dapat dipahami bahwa
setidaknya terdapat dua unsur pokok terkait definisi lembaga negara yang memiliki
kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara sengketa kewenangan lembaga
negara. Kedua unsur pokok dimaksud adalah pertama, lembaga negara itu disebutkan
dalam UUD, kedua,kewenangan lembaga negara dimaksud diberikan oleh UUD. Unsur
pertama memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan dimaksud. Namun
didasarkan pada ketentuan bahwa lembaga negara yang dapat memiliki kedudukan
hukum (legal standing) adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD, maka secara otomatis bahwa lembaga negara dimaksud harus disebutkan dalam
UUD.Hal ini bertolak pada pemikiran logis bahwa tidak mungkin sebuah lembaga
negara diatur kewenangannya dalam UUD tanpa menyebutkan nama lembaga negara
tersebut. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa kedua unsur dimaksud
merupakan syarat mutlak yang berlaku secara kumulatif. Satu saja di antara kedua
unsur dimaksud tidak terpenuhi, maka dapat diartikan bahwa lembaga negara tersebut
tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing, baik sebagai pemohon maupun
termohon dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang merupakan
ranah kewenangan MK.Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU No. 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah menjadi UU No.
8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi, bahwa yang dapat menjadi pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga
negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun
1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan. Selain itu, dalam ayat (2) pasal yang sama ditegaskan bahwa
pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan
langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta
menyebutkan dengan jelas lembaga negara mana yang menjadi termohon. 88MIMBAR
HUKUMVolume 28, Nomor 1, Februari 2016, Halaman 77-92legal standing dalam
perkara sengketa kewenangan lembaga negara.754.Problematika Penyelesaian
Sengketa Ke-wenangan Lembaga NegaraKendati sudah ditemukan sejumlah regulasi
yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara oleh
MK, baik yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, maupun peraturan turunan lainnya
seperti UU MK dan Peraturan MK, namun demikian bahwa proses penyelesaian
perkara dimaksud masih menyisakan problematika tersendiri yang berpotensi menyulit-
kan pengimplementasiannya dalam kasus konkret. Hal ini kian rumit seiring dengan
suburnya pertum-bungan dan perkembangan lembaga-lembaga, khususnya sejak era
reformasi. Terdapat berbagai lembaga negara dengan pola pengaturan maupun
tingkatan landasan hukum yang berbeda-beda. Berdasarkan tingkatan regulasi yang
menjadi dasar hukum pembentukannya, ada lembaga-lembaga negara yang dibentuk
berdasarkan UUD, ada yang dibentuk berdasarkan UU dan ada pula lembaga yang
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.
Janpatar Simamora PROBLEMATIKA PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN
LEMBAGA NEGARA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI hal 7

Anda mungkin juga menyukai