Anda di halaman 1dari 23

IMPLEMENTASI KONSEP REINVENTING GOVERNMENT

DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH*

Oleh: Budi Winarno

ABSTRACT

This study discusses the implementation of a concept of reinventing


government in the context of realizing local autonomy in Indonesia. This concept
was introduced by Osborne and Gaebler as a critic towards the performance of
hierarchical Weberian bureaucracy adopted in the United States, in which it
became increasingly unefficent and uneffective to deliver public service as a
result of the fast global changes.
As a concept, entrepreneurial bureaucracy is promising, and therefore it is
considered very important to be adopted in the context of rebuilding a new
Indonesian bureaucracy to support the implementation of local autonomy. Several
problems, however, become a stumbling bloc in the adoption of reinventing
government since Indonesian bureaucracy has been characterized as a
patrimonial bureaucracy coloured by corruption, collusion and nepotism. Thus,
the strong commitment and the real action of national and local political elites
and the current wave of democracy are needed to do reforming.

Keywords: reinventing government, entrepreneurial bureaucracy, local autonomy.

A. PENDAHULUAN
1. Seputar pelaksanaan otonomi kalangan ilmuwan, politisi, dan
daerah di Indonesia pejabat publik.
Salah satu hasil reformasi yang Pada masa kemerdekaan atau
patut mendapatkan penghargaan masa Orde Lama misalnya,
yang besar adalah dikeluarkannya pernyataan tentang otonomi yang
perangkat hukum yang menjamin seluas-luasnya tercantum dalam UU
dilaksanakannya otonomi daerah No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun
secara nyata dan bertanggung 1948, dan disusul kemudian dengan
jawab. Meskipun otonomi daerah itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun
sendiri bukan merupakan hal baru 1957. Setahun sebelumnya juga
karena telah mendapatkan perhatian muncul undang-undang yang
sejak masa pemerintahan Soekarno mengatur perimbangan keuangan
bahkan sejak pemerintahan kolonial, antara pusat dan daerah, yaitu
tetapi bentuk ideal dan Undang-Undang No. 32 Tahun 1956.
implementasinya telah banyak Di era pemerintahan Orde Baru, kita
menimbulkan perdebatan di mengenal Undang-Undang Nomor 5

175
“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

Tahun 1974 yang menegaskan Dati II sebagai basis pelaksanaan


bahwa otonomi daerah dititikberat- otonomi daerah, tetapi pada
kan pada daerah tingkat II. Selanjut- kenyataannya pemerintah pusat dan
nya pasal 11 undang-undang ini pemerintah daerah tingkat I masih
menyebutkan bahwa pelaksanaan memegang kendali kekuasaan
otonomi dengan titik berat pada secara signifikan. Asas desen-
daerah tingkat II dilaksanakan tralisasi yang seharusnya menjadi
dengan memuat tiga aspek utama, pijakan utama untuk melaksanakan
yaitu aspek administrasi; aspek otonomi daerah berada di bawah
politik; dan aspek kemandirian. bayang-bayang asas dekosentrasi
Aspek administrasi merujuk pada (Miftah Thoha, 1991). Sebagai
pemerataan dan efisiensi dalam konsekuensinya sentralisme menjadi
penyelenggaraan pemerintahan dan ciri khas yang mewarnai sepanjang
pembangunan daerah. Aspek politik pelaksanaan otonomi daerah di
merujuk pada upaya pendemo- masa Orde Baru. Pada masa ini isu
krasian pemerintah di daerah, desentralisasi dalam konteks
sedangkan aspek kemandirian hubungan kekuasaan antara pusat
dimaksudkan agar daerah mampu dan daerah terbatas pada distribusi
mandiri, khususnya dalam melaksa- keuangan ke daerah-daerah tidak
nakan urusan rumah tangganya pernah menyentuh masalah
sehingga pemerintah daerah dituntut pembagian kekuasaan (power
untuk menciptakan kondisi dimana sharing) sebagai sesuatu yang
masyarakat ikut berperan serta, diperlukan dalam menum-buhkan
kreatif, dan inovatif dalam pemba- proses pembangunan demokrasi di
ngunan daerah. Dengan demikian, daerah, baik antara pusat dengan
isu mengenai otonomi daerah telah daerah maupun antara birokrasi
lama diperdebatkan dalam tata dengan masyarakatnya (Ichasul
pemerintahan Indonesia, terutama Amal, 1992: 9). Oleh karena itu,
dalam konteks hubungan antara menjadi tidak mengherankan jika isu
pusat dan daerah. desentralisasi dan otonomi tetap
Konsep ideal yang tercantum menjadi isu yang menarik didis-
dalam masing-masing undang- kusikan hingga saat ini terutama,
undang, terutama UU No. 5 Tahun ketika negara mengalami kebang-
1974 yang menjadi patokan krutan ekonomi dan politik akibat
pelaksanaan desentralisasi dan krisis moneter yang berkepanjangan
otonomi daerah di Indonesia pada beberapa waktu yang lalu. Ini seolah-
masa Orde Baru, belum dapat olah menjadi momen yang tepat untuk
dilaksanakan sesuai dengan yang mendesakkan kembali agenda
diharapkan. Hal ini karena meskipun desentralisasi dan otonomi daerah
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dalam penyelenggaraan pemerin-
telah memberikan penekanan pada tahan daerah di Indonesia.

176
Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

Kuatnya peran pemerintah kedua adalah minimnya sumber-


pusat dalam pelaksanaan otonomi sumber penerima-an daerah yang
daerah menimbulkan beberapa dapat diandalkan; dan (4) faktor
akibat. Pertama, pembangunan politis. Dalam hal ini ada kekha-
yang dilakukan gagal menangkap watiran pusat jika daerah diberi
aspirasi, potensi, dan kebutuhan kekuasaan yang besar dalam hal
masyarakat di daerah. Hal ini terjadi keuangan dan pendapatan akan
karena kuatnya dominasi pemerin- muncul gerakan disintegrasi dan
tah pusat sehingga para pengambil separatisme (Mudrajad Kuncoro,
keputusan gagal memahami aspirasi 1995: 12-14). Dalam sejarah, tuntutan
dan dinamika yang berkembang di seperti ini muncul justru ketika daerah
tingkat grass root. Pada akhirnya, tidak diberi otonomi yang memadai
pembangunan yang dilakukan oleh sehingga mereka merasa tidak
pemerintah gagal dalam menjawab diberi peran yang signifikan dalam
persoalan-persoalan yang berada di mengelola pembangunan di
tengah-tengah masyarakat karena daerahnya. Ketiga, banyak daerah
pada dasarnya pemerintah daerah- yang potensial gagal berkembang
lah yang lebih mempunyai pemaha- karena sumber daya daerah yang
man terhadap masalah dan aspirasi penting sebagai penopang pem-
yang berkembang di daerahnya. bangunan daerah ditarik ke pusat,
Kedua, sentralisme pembangunan dan pemerintah daerah hanya
telah menciptakan ketergantungan mendapatkan sedikit saja dari hasil-
daerah terhadap pusat. Hal ini hasil kekayaan daerahnya, akibat-
ditunjukkan terutama dalam hal nya, banyak daerah merasa tidak
pembiayaan proyek-proyek pem- puas dengan kondisi ini sehingga
bangunan yang dilakukan oleh muncul desakan ke arah pembentuk-
pemerintah. Setidaknya ada empat an daerah teritorial sendiri yang lepas
faktor yang membuat daerah sangat dari peme-rintahan RI. Irian Jaya dan
tergantung pada pusat menyangkut DI Aceh dapat dijadikan contoh untuk
pembiayaan proyek-proyek pem- menjelaskan hal ini. Dengan kata lain
bangunan, yaitu: (1) kurang pola hubungan daerah-pusat yang
berperannya perusahaan daerah dikembangkan selama pemerintah-
sebagai sumber pendapatan; (2) an Orde Baru lebih dilihat sebagai
tingginya tingkat sentralisasi dalam pola hubungan yang eksploitatif atau
bidang perpajakan. Dalam konteks ada penulis yang mengatakannya
ini, pemerintah pusat menguasai sebagai bentuk-bentuk neokolonia-
sumber-sumber pajak penting yang lisme baru Jakarta terhadap daerah-
bersifat lucrative (pajak bidang usaha daerah di Indonesia. Keempat,
dan penghasilan orang, pajak sentralisme telah menciptakan
pertambahan nilai, dan bea cukai); homogenisasi dan dominasi dalam
(3) akibat yang ditimbulkan dari faktor pembangunan daerah. Kuatnya

177
“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

pengaruh Jakarta atau dalam hal ini menurut prakarsa sendiri berdasar-
Jawa, telah membuat pembangunan kan aspirasi masyarakat sesuai
daerah yang dijalankan selama dengan peraturan perundang-
pemerin-tahan Orde Baru tidak bisa undangan yang berlaku dan titik berat
dilepaskan dari bias pusat. Daerah otonomi diletakkan di daerah tingkat
tidak mempunyai ruang yang cukup II seperti telah ditegaskan dalam
untuk memelihara keunikan yang ada Undang-Undang No. 5 Tahun 1974.
di daerahnya. Secara filosofis landasan yang
Dengan melihat realita di atas, mendasari pelaksanaan desen-
maka munculnya TAP MPR N0. XV/ tralisasi dan otonomi daerah bahwa
MPR/1998 yang mengamanatkan otonomi dimaksudkan untuk
perlu diwujudkannya penyelengga- meningkatkan pelayanan publik dan
raan otonomi daerah, pengaturan, meningkatkan kesejahteraan
pembagian, dan pemanfaatan masyarakat melalui pemberian
sumber daya nasional yang kewenangan yang lebih besar
berkeadilan serta perimbangan kepada daerah. Melalui kewenangan
keuangan antara pemerintah pusat ini diharapkan akan tumbuh prakarsa
dan daerah dalam wadah Negara atau inisiatif dan kreativitas daerah
Kesatuan Republik Indonesia, yang untuk mendaya-gunakan potensi
ditindaklanjuti dengan dikeluarkan- setempat, dan menjadi semakin
nya produk Undang-Undang No. 22 responsif terhadap permasalahan-
Tahun 1999 tentang Pemerintahan permasalahan yang mereka hadapi.
Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 Dengan kata lain, melalui pelaksana-
tentang Perimbangan Keuangan an otonomi daerah ini, pemerintahan
antara Pemerintah Pusat dan daerah diharapkan akan semakin
Daerah, hendaknya dilihat dalam mampu bekerja secara efektif dan
konteks ini. Dengan kata lain, efisien dalam melayani dan meres-
keluarnya ketetapan MPR dan pon segala tuntutan masyarakat, dan
undang-undang otonomi daerah ini dalam menyelesaikan permasalah-
sebenarnya ditujukan untuk an yang ada (Soni Soemarsono,
menjawab kelemahan-kelemahan 2001).
yang muncul akibat pelaksanaan Ada beberapa hal pokok yang
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974. perlu digarisbawahi menyangkut
Hal ini dapat kita lihat dari spirit yang pelaksanaan otonomi. Pertama,
melingkupi pelaksanaan undang- menyangkut desentralisasi itu
undang tersebut. sendiri. Undang-Undang No. 22
Otonomi daerah sebagaimana Tahun 1999 nampaknya berusaha
dijelaskan dalam UU No. 22 Tahun mendefinisikan desentralisasi
1999, adalah kewenangan daerah dengan merujuk pada pengertian
otonomi untuk mengatur dan desentralisasi sebagaimana sering
mengurus masyarakat setempat dibahas dalam kajian teoritik, yaitu

178
Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

desentralisasi dalam pengertian desentralisasi membuat daerah


administratif dan desentralisasi hanya menjadi pelaksana kebijakan
dalam pengertian politik. Desen- pusat.
tralisasi administratif (administrative Kedua, keterlibatan masyara-
decentralization) lebih menekankan kat (daerah) dalam proses pem-
pada lembaga-lembaga pemerin- bangunan. Konsekuensi yang paling
tahan formal. Titik berat lebih penting sebagai akibat pelaksanaan
ditekankan pada susunan organisasi desentralisasi politik adalah
atau administratif. Dalam pengertian keterlibatan masyarakat (daerah)
ini, desentralisasi merupakan dalam proses pengambilan keputus-
transfer pertanggungan jawab an. Pada masa lampau pembangun-
mengenai perencanaan, mana- an sangat bersifat sentralistik dimana
jemen, dan peningkatan ataupun rakyat berada dalam posisi marginal
alokasi berbagai sumber dari dalam proses pengambilan keputus-
pemerintah pusat dan berbagai an. Segala sesuatu menyangkut
lembaga yang dimiliki kepada program-program pembangunan
berbagai unit lembaga pemerintah telah digariskan oleh pemerintah
dan unit-unit yang lebih bawah. pusat dalam suatu lingkaran elit
Sementara itu pengertian desentrali- terbatas, dan pemerintah daerah
sasi politik lebih menekan-kan pada hanya menjadi pelaksana dari
transfer otoritas pembuatan keputus- program pembangunan yang telah
an kepada daerah dan kepada digariskan. Masyarakat dalam
kelompok yang sebelumnya tidak kondisi seperti itu hanya menjadi
terwakili atau termarjinalisasi. Tujuan “penggembira” dalam proses
desentralisasi politik adalah pembangunan dan keberadaannya
memberikan keleluasaan yang lebih hanya dibutuhkan sebagai imple-
besar kepada warga negara atau mentor kebijakan melalui mobilisasi
para wakil yang duduk di lembaga massa yang dilakukan oleh elit-elit
perwakilan dalam proses pembuat- lokal.
an keputusan publik. Ketiga, perbaikan pelayanan
Pada masa lampau, desen- birokrasi daerah melalui penciptaan
tralisasi administratif lebih dominan lembaga birokrasi yang lebih
dibandingkan dengan desentralisasi responsif. Sentralisme yang dikem-
politik. Akibatnya, pemerintah daerah bangkan pada masa pemerintahan
kurang mempunyai otoritas dalam Orde Baru telah membuat pemerin-
mengambil keputusan-keputusan tah daerah tidak lagi responsif
politik menyangkut alokasi sumber terhadap kebutuhan-kebutuhan
daya pembangunan sesuai dengan masyarakat. Hal ini terjadi karena
kebutuhan dan potensi daerahnya. pemerintah daerah tidak diberi ruang
Kuatnya pelaksanaan asas dekon- untuk mengenali permasalahan yang
sentrasi dibandingkan dengan asas dihadapi, dan mengembangkan cara

179
“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

yang efektif untuk mengatasi masalah rakyat sebagaimana hendak di-


tersebut. Segalanya telah ditetapkan wujudkan melalui pelaksanaan
di pusat sehingga daerah kehilangan otonomi ini hanya mungkin dapat
kreativitasnya. Pelaksanaan otono- dicapai jika daerah mampu me-
mi daerah yang menyandarkan pada ngembangkan potensi yang mereka
Dati II diharapkan akan menciptakan miliki sebagai modal utama untuk
karakter pemerintahan daerah yang melakukan pembangunan. Oleh ka-
lebih kreatif dan responsif terhadap rena itu, aparat pemerintah daerah
kebutuhan masyarakat. harus kreatif dalam mengembangkan
Keempat, dalam skala yang setiap potensi yang mereka miliki
lebih luas pelaksanaan otonomi sebagai usaha untuk meningkatkan
daerah ini ditujukan untuk merang- pendapatan asli daerah (PAD).
sang daerah-daerah agar mengem- Peningkatan PAD ini dapat mereka
bangkan potensi yang dimiliki guna peroleh melalui pengelolaan
menopang pembangunan daerahnya perusahaan daerah secara efisien
masing-masing. Dengan kata lain, sehingga mampu menghasilkan
pemberlakuan undang-undang ini keuntungan yang besar, pemanfaat-
diharapkan akan memacu daerah an sumber-sumber kekayaan alam,
untuk secara kreatif mengembang- atau melalui pajak, dan penarikan
kan potensi yang dimiliki secara investasi ke daerah sehingga akan
mandiri melakukan pembangunan memacu pertumbuhan ekonomi.
daerah. Untuk menarik investasi ini
pemerintah daerah harus mampu
2. Kebutuhan akan reformasi mengembangkan birokrasi yang
birokrasi Pemerintahan efisien, tidak korup, demokratis
Daerah (dalam arti terdesentralisasi), dan
Sebagaimana telah dising- ramah terhadap investasi. Peme-
gung dalam uraian sebelumnya, rintah daerah masa lampau lebih
tujuan dilaksanakannya otonomi bersifat pasif, tidak akuntabel, kurang
daerah adalah dalam rangka responsif, dan tersentralisasikan oleh
meningkatkan pelayanan publik dan pusat, sehingga tidak lagi memadai
meningkatkan kesejahteraan masya- untuk menjawab tantangan yang
rakat melalui pemberian kewenangan muncul. Singkatnya otonomi daerah
yang lebih besar kepada daerah. Di yang hendak dilaksanakan diharap-
sisi lain, melalui pelaksanaan kan akan memberikan manfaat yang
otonomi pemerintah daerah diharap- besar terhadap daerah. Diantara
kan lebih kreatif dalam mengem- manfaat yang diharapkan adalah
bangkan potensi di daerahnya sebagai berikut: (1) peningkatan
masing-masing sehingga mereka efisiensi dan efektivitas administrasi
akan mampu melakukan pem- pemerintahan dan pembangunan di
bangunan daerah. Kesejahteraan daerah; (2) terciptanya hubungan

180
Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

yang harmonis dan saling membutuh- pertama yang perlu kita lakukan
kan antara pemerintah dengan adalah mencari kerangka kon-
masyarakat; (3) mempertinggi daya septual mengenai apa yang
serap aspirasi masyarakat dalam dimaksud dengan reinventing
program pembangunan; (4) terjadi- government. Untuk itu, tulisan
nya penanganan masalah secara Osborne dan Gaebler, dan Osborne
terpusat dan tepat dari berbagai dan Plastrik akan dijadikan rujukan
permasalahan aktual yang ber- utama untuk menjelaskan konsep ini.
kembang dalam masyarakat. (5) Hal ini tidak berarti bahwa kita harus
mendorong munculnya partisipasi menerima begitu saja konsep
masyarakat dalam pemerintahan dan reinventing government yang
pembangunan di daerah (Ahmad ditawarkan Osborne dan Gaebler ini
Jamli, 1998: 4). dalam konteks Indonesia. Hal ini
Agar otonomi daerah men- karena penerapan suatu konsep
dapatkan manfaat seperti telah tidak bisa dilepaskan dari konteks
dijelaskan di awal, kita mem- sosial, ekonomi, politik, dan budaya
butuhkan wajah birokrasi yang baru, yang melingkupinya. Kedua, setelah
yang mampu bertindak sebagai kita mengetahui dengan jelas konsep
kreator dan inovator dalam reinventing government, pertanyaan
pembangunan daerah. Hal ini karena selanjutnya adalah bagaimana
wajah birokrasi yang lama tidak lagi konsep ini dapat diterapkan di
memadai untuk menopang otonomi Indonesia. Untuk itu perlu kiranya juga
daerah yang penuh dengan dalam konteks ini dicari persoalan-
tantangan, kompetisi, dan tentu saja persoalan yang mungkin dapat
kompleksitas permasalahan. Oleh menjadi penghambat bagi implemen-
karena itu, gagasan mengenai tasi konsep reinventing government
reinventing government nampaknya di era otonomi daerah sekarang ini.
menemukan relevansinya dalam Pembahasan mengenai karak-
konteks ini. Pertanyaan yang muncul teristik birokrasi Indonesia adalah
adalah bagaimana konsep penting karena birokrasi akan
reinventing government ini dapat memegang peran yang signifikan,
diimplementasikan di Indonesia? dan sekaligus menjadi subyek
Kendala-kendala apa saja yang reformasi yang hendak dilakukan.
mungkin timbul jika konsep ini Pengidentifikasian peluang juga
hendak diimplementasikan? Apa sama pentingnya sehingga peluang
yang dapat kita lakukan untuk yang ada tersebut dapat dimaksimal-
melaksanakan konsep tersebut di kan. Tulisan ini akan ditutup dengan
Indonesia, terutama dalam konteks beberapa rekomendasi yang
otonomi daerah? mungkin berguna bagi pelaksanaan
Untuk menjawab pertanyaan- konsep reinventing government di
pertanyaan ini, maka langkah Indonesia.

181
“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

hendaknya tetap dimaknai dalam


B. PEMBAHASAN konteks mendukung Negara
1. Reinventing Government Kesatuan Republik Indonesia.
Saya telah menyinggung dalam Dengan kata lain, otonomi daerah
uraian sebelumnya bahwa pelak- hendaknya dilihat sebagai usaha
sanaan otonomi daerah yang untuk membenahi kesalahan masa
mendasarkan pada UU No. 22 Tahun lalu yang sangat membatasi daerah
1999 akan mempunyai implikasi untuk berkembang sesuai dengan
yang serius bagi daerah. Setidaknya, potensi yang dimiliki sehingga
pemerintah daerah harus mampu pembangunan daerah yang
menggali potensi yang dimiliki guna dilaksanakan tidak dapat berjalan
meningkatkan PAD sebagai modal secara efektif dalam arti, mampu
utama untuk melakukan pembangun- meningkatkan taraf hidup rakyat di
an ekonomi di daerahnya. Suatu daerah. Ketiga hal ini nampaknya
sistem birokrasi daerah yang efisien, telah terangkum dalam UU No. 22
transparan, dan akuntabel hendak- Tahun 1999 sebagai pijakan utama
nya menjadi acuan kerja. Di sisi lain dalam melaksanakan desentralisasi
otonomi daerah tidak semata-mata dan otonomi daerah. Hanya yang
menyangkut bagaimana daerah menjadi persoalan sekarang ini
mampu secara kreatif mengem- bagaimana implementasinya pada
bangkan potensi daerah untuk tataran praktis. Tentunya, hal ini
meningkatkan PAD hendaknya masih merupakan proses yang
dilihat dalam perspektif yang lebih panjang, meskipun kita menemukan
luas, yaitu : (Afan Gaffar, 1995) momentumnya di era reformasi
Pertama, otonomi harus dikaitkan sekarang ini.
dengan peningkatan kapasitas atau Untuk menjawab berbagai
demokratisasi kehidupan politik. Hal tantangan yang muncul sebagai
ini dimaksudkan agar di daerah juga konsekuensi pelaksanaan otonomi
terbentuk lembaga-lembaga demo- daerah, kita membutuhkan, sebagai-
krasi termasuk dewan perwakilan mana sering dibahas oleh beberapa
rakyat daerah, lembaga partai, penulis, birokrasi yang mempunyai
lembaga nonpartai, atau lembaga- jiwa entrepreneur. Hal ini karena
lembaga pemerintahan yang desentralisasi, baik dalam konteks
memungkinkan masyarakat di administratif maupun dalam konteks
daerah terlibat dalam proses politik tidak akan pernah bisa
pengambilan keputusan publik. dilaksanakan secara efektif jika
Kedua, yang selalu menjadi tema aparatur pemerintahan daerah gagal
otonomi dilaksanakan dalam rangka mengembangkan kapasitasnya
meningkatkan efisiensi dan secara memadai untuk mengelola
efektivitas penyelenggaraan peme- proses pembangunan. Dalam
rintahan daerah. Ketiga, otonomi konteks ini reinventing government

182
Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

adalah signifikan dan menemukan yang mampu memperbaiki keefek-


momentum yang tepat. tifannya di masa mendatang pada
Reinventing government itu waktu lingkungan organisasi
sendiri oleh Osborne dan Plastrik mengalami perubahan.
dalam Banishing Bureaucracy Selanjutnya dalam kaitannya
dimaknai sebagai berikut (David dengan liberalisasi pasar, (Moeljarto
Osborne and Peter Plastrik, Tjokrowinoto) menyebutkan bahwa
1992:12-13): dalam rangka mendorong pasar
agar tetap berlaku efisien, maka
The fundamental transformation of birokrasi memerlukan kualitas
public systems and organizations entrepreneurial. Setidaknya, terda-
to create dramatic increases in their pat tujuh kompentensi yang harus
effectiveness, efficiency, dimiliki oleh birokrasi entrepreneurial,
adaptability, and capacity to
adalah (2001: 9-10): (1) Sensitif dan
innovate. This transformation is
responsif terhadap peluang dan
accomplished by changing their
purpose, incentives, accountability, tantangan baru yang timbul di dalam
power structure, and culture. pasar; (2) Tidak terpaku pada
kegiatan-kegiatan rutin yang terkait
Reinventing dimaknai sebagai dengan fungsi instrumental birokrasi,
penciptaan kembali birokrasi dengan akan tetapi harus mampu melakukan
mendasarkan pada sistem wirausa- terobosan (breakthrough) melalui
ha, yaitu menciptakan organisasi- pemikiran yang kreatif dan inovatif;
organisasi dan sistem publik yang (3) Mempunyai wawasan futuristik
terbiasa memperbarui, dan dan sistematik; (4) Mempunyai
berkelanjutan, memperbaiki kualitas- kemam-puan untuk mengantisipasi,
nya tanpa harus memperoleh memperhitungkan, dan menimbul-
dorongan dari luar. Dengan demikian, kan risiko; (5) Jeli terhadap potensi
reinventing berarti menciptakan sumber-sumber dan peluang baru;
sektor publik yang memiliki dorongan (6) Mempunyai kemampuan untuk
dari dalam untuk memperbaiki apa mengkombinasikan sumber menjadi
yang disebut dengan “sistem yang resource mix yang mempunyai
memperbarui kembali secara produktivitas tinggi; dan (7)
sendiri”. Dengan kata lain, reinven- Mempunyai kemampuan untuk
ting menjadikan pemerintah siap mengoptimalkan sumber yang
menghadapi tantangan yang tersedia dengan menggeser sumber
mungkin tidak dapat diantisipasi. Di kegiatan yang berproduktivitas
samping itu, reinventing tidak hanya rendah menuju kegiatan yang
memperbaiki keefektifan pemerintah berproduktivitas tinggi.
sekarang ini, tetapi juga dapat Diskusi tentang karakter
membangun organisasi-organisasi birokrasi yang mempunyai jiwa
entrepeneur ini secara lebih konkret

183
“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

dapat kita temukan dalam buku yang teknologi komunikasi dan semakin
ditulis oleh David Osborne dan Ted rendahnya biaya transportasi. Kedua
Gaebler dengan judul Reinventing faktor yang disebutkan belakangan
Government: How the Entrepre- ini telah mengubah secara
neurial Spirit is Transforming the fundamental struktur ekonomi dan
Public Sector. Buku ini pada politik global (Susan Strange, 2000).
dasarnya merupakan kritik terhadap Lebih lanjut, Osborne dan Gaebler
birokrasi pemerintahan federal di menyatakan bahwa perubahan-
Amerika Serikat yang tidak lagi perubahan lingkungan yang terjadi
efisien dalam mengelola pelayanan sebagaimana dijelaskan di atas
publik. Seperti diungkapkan oleh menuntut lembaga yang sangat
Osborne dan Gaebler, saat ini kita fleksibel dan mampu beradaptasi
hidup dalam suatu era perubahan secara cepat. Perubahan lingkungan
yang menakjubkan, dalam suatu tersebut menuntut lembaga yang
pasar global yang sangat kompetitif, mampu memberikan barang dan
dalam suatu masyarakat informasi jasa berkualitas tinggi yang
dimana orang bisa memanfaatkan memberikan hasil lebih banyak dari
informasi sama cepatnya dengan setiap dollar yang diberikan oleh
pemimpin mereka, hidup dalam setiap pelanggan. Perubahan
suatu perekonomian yang mendasar- tersebut juga menuntut lembaga yang
kan pada pengetahuan di mana tanggap terhadap pelanggan dengan
pekerja terdidik tidak mau dikekang menawarkan berbagai pilihan
oleh komando serta menuntut (choices) jasa yang tidak dibakukan,
otonomi dalam suatu jaman pasar yang banyak dituntun dengan
reses dimana konsumen telah persuasi dan dorongan ketimbang
terbiasa dengan kualitas tinggi dan dengan perintah, yang memberikan
banyak pilihan (David Osborne and pengertian tentang makna dan
Ted Gaebler, 1992). Singkatnya, kontrol, bahkan kepemilikan kepada
perubahan-perubahan ini menuntut pekerja mereka (Osborne dan
respon yang tepat dari para Gaebler, 1992: 15). Perubahan
penyelenggara birokrasi publik. tersebut menuntut lembaga yang
Dengan demikian, munculnya memberikan wewenang kepada
konsep birokrasi entrepreneurial warga negara dibandingkan sekedar
tidak bisa dilepaskan dari per- melayani mereka.
kembangan global yang menyangkut Akhirnya, konsep birokrasi
dua dimensi pokok, yaitu globalisasi entrepreneurial merupakan kritik
ekonomi, dalam hal ini desakan ke terhadap birokrasi Weberian yang
arah integrasi ekonomi menuju pasar sangat hierarkhis. Meskipun pada
global dan perubahan-perubahan awalnya, birokrasi merupakan sistem
yang mendasar sebagai katalisator kerja institusional yang diharapkan
globalisasi, yaitu revolusi di bidang dapat menjadi alat untuk melayani

184
Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

kepentingan masyarakat dengan Dengan bahasa yang lebih


efektif dan efisien, dalam kenyataan- ringkas, Osborne dan Gaebler
nya justru sebaliknya. Birokrasi meringkas kesepuluh prinsip
cenderung lamban, hierarkhis, tidak birokrasi wirausaha tersebut ke
efisien, dan hanya memboroskan dalam paragraf yang ringkas
anggaran pemerintah. Oleh karena sebagai berikut.
itu, dengan banyak berguru kepada
ahli marketing abad ini, Peter …most entrepreneurial
Drucker, mereka mulai melontarkan governments promote competition
gagasan mengenai pentingnya between service providers. They
birokrasi yang mempunyai jiwa empower citizens by pushing
control out of the bureaucracy, into
entrerpreneur. Didukung dengan
the community. They measure the
riset yang dilakukan di beberapa
performance of their agencies,
negara bagian AS, Osborne dan focusing not inputs but on
Gaebler merumuskan sepuluh prinsip outcomes. They are driven by their
birokrasi yang mempunyai jiwa goals-their mission-not by their
entrepreneur, yaitu : (1) Pemerintah- rules and regulations. They
an Katalis, mengarahkan ketimbang redefine their clients as customers
mengayuh; (2) Pemerintahan Milik and offer them choices-between
Masyarakat, memberi wewenang schools, between training pro-
ketimbang melayani; (3) Pemerintah- grams, between housing options.
an yang Kompetitif, menyuntikkan They prevent problems before they
emerge, rather than simply offering
persaingan ke dalam pemberian
services afterward. They put their
pelayanan; (4) Pemerintahan yang
energies into earning money, not
digerakkan Misi, mengubah organi- simply spending it. They decen-
sasi yang digerakkan oleh peraturan; tralize authority, embracing par-
(5) Pemerintahan yang berorientasi ticipatory management. They
Hasil, membiayai hasil dibanding- prefer market mechanism to
kan dengan masukan; (6) Pemerin- bureaucratic mechanism. And they
tahan berorientasi Pelanggan, focus not simply on providing public
memenuhi kebutuhan pelanggan services, but on catalizing all sector
bukan birokrasi; (7) Pemerintahan public, private, and voluntary into
Wirausaha, menghasilkan dibanding- action to solve their community’s
kan dengan membelanjakan; (8) problems (Ibid : 19-20).
Pemerintahan Antisipatif, mencegah
daripada mengobati; (9) Pemerin- 2. Implementasinya di Indonesia
tahan Desentralisasi; dan (10) Ada pertanyaan bagaimana
Pemerintahan berorientasi Pasar, konsep birokrasi entrepreneurial ini
mendongkrak perubahan melalui dapat diterapkan di Indonesia,
pasar. terutama dalam konteks otonomi
daerah? Apa yang dapat kita

185
“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

lakukan untuk menumbuhkan pegawai mempunyai arah dan


birokrasi yang mempunyai semangat pegangan yang jelas. Di luar itu,
wirausaha ini dalam birokrasi strategi ini terutama berkaitan
pemerintahan daerah sehingga dengan usaha-usaha memperbaiki
tujuan pelaksanaan desentralisasi pengarahan (steering).
dan otonomi daerah dapat dicapai Kedua, strategi konsekuensi
dengan baik? (the consequences strategy).
Untuk menjawab pertanyaan ini, Strategi ini menentukan insentif-
Osborne dan Plastrik menyatakan insentif yang dibangun ke dalam
bahwa setidaknya terdapat lima sistem publik. Birokrasi memberikan
strategi yang dapat digunakan untuk para pegawainya insentif yang kuat
melakukan perubahan mendasar untuk mengikuti peraturan-peraturan,
dalam rangka mendorong pening- dan sekaligus, mematuhinya. Pada
katan kemampuan birokrasi yang model birokrasi lama, para pegawai
efektif dan efisien, ataupun kemam- atau, karyawan memperoleh gaji
puan menyesuaikan atau adap- yang sama terlepas dari yang mereka
tability, dan kapasitas untuk hasilkan. Dalam rangka reinventing
memperbarui sistem dan organisasi government, seperti diungkapkan
publik (Osborne and Plastrik,op.it. : oleh Osborne dan Plastrik, mengu-
39-43). bah insentif adalah penting dengan
Pertama, strategi inti (the core cara menciptakan konse-kuensi-
strategy). Strategi ini menentukan konsekuensi bagi kinerja. Jika
tujuan (the purpose) sebuah sistem diperlukan, organisasi publik ditem-
dan organisasi publik. Jika sebuah patkan dalam dunia usaha (market
organisasi tidak mempunyai tujuan place), dan membuat organisasi
yang jelas atau mempunyai tujuan tergantung pada konsumennya untuk
yang banyak atau saling ber- memperoleh penghasilan. Namun,
tentangan, maka organisasi itu tidak jika hal ini tidak layak untuk dilakukan,
dapat mencapai kinerja yang tinggi. maka perlu dibuat kontrak atau
Sebuah organisasi publik akan perjanjian guna menciptakan
mampu bekerja secara efektif jika persaingan antara organisasi-
ia mempunyai tujuan yang spesifik. organisasi publik dan swasta (atau
Penting bagi para pemimpin persaingan antarorganisasi publik).
organisasi-organisasi publik untuk Hal ini karena pasar dan persaingan
menetapkan terlebih dahulu tujuan menciptakan insentif-insentif yang
organisasinya secara spesifik. jauh lebih kuat sehingga organisasi
Penetapan visi dan misi organisasi publik terdorong untuk memberikan
juga mempunyai peran yang sama perbaikan-perbaikan kinerja yang
pentingnya dalam melengkapi tujuan lebih besar. Insentif dan persaingan
organisasi publik. Hal ini penting ini dapat mempunyai bentuk yang
sebagai usaha agar karyawan atau beragam, seperti: tunjangan kese-

186
Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

hatan; kenaikan gaji; atau mem- kekuasaan membuat keputusan itu


berikan penghargaan bagi organi- diberikan. Dalam sistem birokrasi
sasi-organisasi publik yang lama, sebagian besar kekuasaan
mempunyai kinerja yang lebih tinggi. tetap berada di dekat puncak
Ketiga, strategi pelanggan (the hierarkhi. Dengan kata lain,
customers strategy). Strategi ini wewenang tertinggi untuk membuat
terutama memfokuskan pada keputusan berada pada puncak
pertanggungjawaban (accoun- hierarkhi. Perkembangan birokrasi
tability). Berbeda dengan birokrasi modern yang semakin kompleks
lama, dalam birokrasi model baru telah membuat organisasi menjadi
tanggung jawab para pelaksana tidak efektif. Hal ini karena proses
birokrasi publik hendaknya ditempat- pengambilan keputusan harus
kan pada masyarakat, atau dalam melalui jenjang hierakhi yang panjang
konteks ini dianggap sebagai sehingga membuat proses pengam-
pelanggan. Dengan demikian, bilan keputusan cenderung lamban,
tanggung jawab tidak lagi semata- dan jika hal ini dipaksakan, maka jika
mata ditempatkan pada pejabat dilewati akan membawa dampak
birokratis di atasnya, tetapi lebih terjadinya bureaucracy barierrs
didiversifikan kepada publik yang (Sarundajang, 1999: 12). Pada
lebih luas. Model pertanggungan akhirnya, secara keseluruhan, sistem
jawab seperti ini diharapkan dapat kinerja birokrasi dalam menangani
meningkatkan tekanan terhadap masalah dan memberikan pelayan-
organisasi-organisasi publik untuk an kepada masyarakat akan
memperbaiki kinerja ataupun berlangsung lamban karena bawah-
pengelolaan sumber-sumber organi- an tidak diberi ruang yang cukup
sasi. Selanjutnya, dengan memberi untuk mengambil inisiatif dalam
pertanggunganjawab kepada memecahkan masalah.
masyarakat/ konsumen, akan dapat Lebih lanjut, dalam model
menciptakan informasi, tentang birokrasi lama, para pengelola atau
kepuasan para konsumen terhadap manajer mempunyai pilihan-pilihan
hasil-hasil dan pelayanan pemerin- yang terbatas dan keleluasan atau
tahan tertentu. Dengan kata lain, fleksibilitas mereka dihimpit oleh
penyerahan pertanggungan jawab ketentuan-ketentuan anggaran yang
kepada para konsumen berarti terinci, peraturan-peraturan perorang-
bahwa organisasi-organisasi publik an, sistem pendapatan (procurement
harus mempunyai sasaran yang systems), praktek-praktek audit, dan
harus dicapai, yaitu meningkat-kan sebagainya. Karyawan mereka
kepuasan konsumen (customers hampir tidak mempunyai kekuasaan
satisfaction). untuk membuat keputusan. Akibat-
Keempat, the control strategy. nya, organisasi-organisasi pemerin-
Strategi ini menentukan di mana letak tah lebih menanggapi perintah-

187
“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

perintah baru dibandingkan dengan yang melingkupinya. Harus tetap


situasi yang berubah atau diingat bahwa buku yang ditulis oleh
kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Osborne dan Gaebler merujuk pada
Oleh karena itu, adalah penting kasus-kasus di negara federal
mendesentralisasikan pembuatan Amerika Serikat di mana struktur
keputusan kepada pejabat-pejabat masyarakatnya secara ekonomi lebih
dan karyawan atau pegawai mapan, dan secara politik lebih
birokrasi di bawahnya karena hal ini demokratis. Selain itu, di negara ini
akan mendorong timbulnya rasa karakteristik birokrasinya meskipun
tanggung jawab di kalangan para barangkali juga merujuk pada model
pegawai birokrasi, dan dalam birokrasi ala Weber, tetapi berbeda
konteks yang luas mendorong dengan karakteristik birokrasi di
keterlibatan masyarakat dalam Indonesia. Birokrasi ini tidak diliputi
proses implementasi kebijakan. oleh penyakit korupsi yang kronis dan
Kelima, the culture strategy. budaya nepotis yang sangat kuat,
Strategi ini menentukan budaya akibatnya, konsep birokrasi
organisasi publik yang menyangkut wirausaha akan jauh lebih mudah
nilai, norma, tingkah laku, dan diterapkan di negara federal AS
harapan-harapan para karyawan. dibandingkan dengan jika diterapkan
Budaya ini akan dibentuk secara kuat di daerah-daerah di Indonesia.
oleh tujuan organisasi, insentif, sistem Sistem kapitalisme yang sudah
pertanggungan jawab, dan struktur sangat mengakar di AS juga akan
kekuasaan organisasi. Dengan kata menciptakan lingkungan yang
lain, mengubah tujuan, insentif, kondusif bagi dilaksanakannya
sistem pertanggungan jawab, dan konsep reinventing government ini.
struktur kekuasaan organisasi akan Dalam uraian selanjutnya saya
mengubah budaya. akan berusaha mengidentifikasi
Masalah yang barangkali timbul beberapa faktor yang mungkin
adalah seberapa besar pemerintah menjadi kendala bagi pelaksanaan
daerah mampu menerapkan kelima reinventing government di era
strategi tersebut sebagai usaha otonomi daerah sekarang ini. Hal ini
untuk melakukan reinventing penting kita lakukan sebab dengan
government dan menciptakan mengidentifikasi berbagai kendala
birokrasi yang mempunyai semangat yang mungkin timbul diharapkan
wirausaha? Pertanyaan ini layak akan ditemukan rekomendasi yang
dikemukakan di sini karena sebagai- baik yang berguna untuk mengatasi
mana telah saya singgung di awal, kendala-kendala tersebut untuk
keberhasilan penerapan sebuah kemudian menciptakan suatu
konsep teoritik akan sangat organisasi birokrasi publik yang
ditentukan oleh konteks sosial, efektif dan efisien serta mempunyai
ekonomi, politik, dan bahkan budaya semangat kewirausahaan.

188
Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

Salah satu faktor yang konstitusi dan konvensi. Sebagai


nampaknya menjadi kendala paling aparat, birokrasi tidak akan
kuat bagi dilaksanakanya reinven- mengambil tindakan yang memihak
ting government di Indonesia adalah pemerintah yang berkuasa dalam
menyangkut karakteristik birokrasi di keadaan dimana pemerintah
negara ini. Birokrasi di Indonesia mengalami krisis kepercayaan (crisis
sebagaimana ditunjukkan oleh of confidence), baik yang tercermin
beberapa penulis, mempunyai di lembaga legislatif maupun melalui
karakteristik yang hampir mirip opini publik yang berkembang
dengan birokrasi di sebagian besar (Dorodjatun Kuntjoro Jati, 1980: 6).
negara dunia ketiga (Dorodjatun Di Indonesia, model birokrasi
Kuntjoro Jati, 1980: 6), yang sangat yang berkembang nampaknya tidak
kuat nuansa paternalistiknya (Agus terlalu jauh dengan model-model
Dwiyanto, dkk., 2002) dan cara birokrasi di negara dunia ketiga ini.
pandang yang sangat naif terhadap Pada masa Orde Baru, birokrasi
masyarakat yang seharusnya telah menjadi mesin politik partai
mereka layani. pemerintah, menjadi organisasi yang
Dalam banyak kasus, di kuat, dan hampir-hampir bersifat
negara-negara dunia ketiga, otonom dari kontrol masyarakat.
birokrasi justru menjadi penghalang Akibatnya, karena birokrasi menjadi
utama proses pembangunan yang organisasi yang kuat secara politis,
sedang dilaksanakan. Gunnar Mirdal gerak langkahnya mendominasi
misalnya, menyatakan bahwa hampir semua kehidupan
observasi yang telah banyak masyarakat. Karl D. Jackson, lantas
dilakukan menyangkut pembangu- menyebut fenomena ini sebagai
nan, hasilnya adalah kegagalan masyarakat politik birokrasi
pembangunan yang justru muncul dari (bureaucratic polity). Masyarakat
kalangan aparat negara. Menurut politik birokrasi ini setidaknya
observasi ini, aparat birokrasi di dicirikan oleh tiga hal, yaitu: Pertama,
negara-negara dunia ketiga lembaga-lembaga politik yang
merupakan mesin politik yang tidak dominan adalah aparat birokrasi.
netral dan tidak akan mungkin netral. Kedua, lembaga-lembaga politik
Hal ini sangat berbeda dengan lainnya seperti parlemen, partai
birokrasi di negara-negara industri politik, dan kelompok-kelompok
maju. Sebagaimana diungkapkan kepentingan (interest group) adalah
oleh Max Weber, mesin birokrasi di lemah dan tidak mampu melakukan
negara-negara industri maju sangat kontrol terhadap birokrasi. Ketiga,
formal dan legalistis. Dengan kata massa di luar birokrasi baik secara
lain, aparat negara yang bertindak politis maupun ekonomis sebagai
sebagai birokrasi di negara-negara akibat lemahnya peran partai politik,
industri maju sangat loyal terhadap dan secara timbal balik menguatkan

189
“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

peran birokrasi (Karl D. Jackson, maupun ekstern adalah hubungan


1978). Dalam suatu masyarakat antara patron dan klien yang bersifat
politik birokrasi sebagaimana sangat pribadi dan khas (Dorodjatun
dicirikan oleh birokrasi Orde Baru, Kuntjoro Jati, 1980 : 6).
keputusan-keputusan penting Fenomena birokrasi Indonesia
diformulasikan dalam birokrasi, juga diwarnai oleh apa yang sering
korps militer, dan administrasi sipil. disebut Arief Budiman sebagai
Kelompok-kelompok di luar biro- bureaucratic rente (Jerzy Regulski
krasi, sebagai konsekuensi kuatnya and W. Kocan,1994). Dominasi
organisasi birokrasi, seperti birokrasi dalam arena politik telah
pemimpin kharismatik, partai politik, memungkinkan birokrasi Indonesia
kelompok-kelompok kepentingan, menjadi “otonom” dalam arti terlepas
dan gerakan massa tidak mem- dari pengaruh pihak luas terutama
punyai pengaruh dalam proses masyarakat dalam proses penetapan
pengambilan keputusan di tingkat dan pelaksanaan kebijakan publik
nasional (John L. S. Girling, 1981:1). seperti telah dijelaskan di atas.
Singkatnya kebijakan nasional dibuat Selama Orde Baru berbagai aktor
dalam lingkaran kecil elit yang yang dapat menjadi penyeimbang
berpengaruh, dan biasanya kebijak- dan pengawas lembaga-lembaga
an tersebut ditujukan untuk merespon publik seperti kelompok-kelompok
nilai-nilai dan kepentingan pemimpin kepentingan, LSM, dan organisasi-
militer dan birokrat tingkat tinggi organisasi profesi yang tumbuh
(Jackson, 1978:3-4). dalam masyarakat telah dikooptasi
Dalam masyarakat politik oleh rejim. Partai politik telah
seperti ini mobilisasi massa yang “dimandulkan” melalui kebijakan
melibatkan sebagian besar rakyat massa mengambang (floating
hanya diizinkan oleh pemerintah mass), dan disederhanakan menjadi
dalam proses implementasi kebijak- tiga partai saja. Kondisi ini semakin
an dibandingkan dengan pengambil- diperparah dengan kebijakan asas
an keputusan di tingkat nasional. tunggal Pancasila sehingga partai-
Mobilisasi semacam itu biasanya partai politik tidak dapat mengguna-
hanya dibatasi di tingkat lokal, dan kan ikatan ideologisnya untuk
diorganisasikan oleh elit dalam suatu mengikat konstituennya. Akibatnya,
cara ke atas melalui kekuasaan birokrasi benar-benar menjadi
tradisional dan hubungan patron- institusi yang dominan dalam sistem
klien (Jackson, 1978:5). Sifat politik di Indonesia. Hal ini mendo-
birokrasi yang dicirikan hubungan rong individu-individu di dalamnya
patronklien ini melahirkan tipe untuk berperilaku korup, nepotis, dan
birokrasi yang patrimornial, yaitu kolusif.
suatu birokrasi dimana hubungan- Oleh karena itu pula, birokrasi
hubungan yang ada, baik intern patrimonial menjadi ciri khas

190
Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

birokrasi Indonesia di mana dengan menggunakan gelombang


hubungan-hubungan yang dilakukan demokrasi yang kini sedang
lebih mendasarkan pada hubungan mengalir.
patronklien, maka di bidang Tidak semua birokrasi yang
ekonomi pun muncul fenomena rent- sentralistik gagal dalam mendorong
seeker. Para kapitalisme yang pembangunan dan industrialisasi. Di
muncul dari model pembangunan Korea Selatan, Taiwan, Hongkong,
yang dilakukan oleh birokrasi dan Singapura, sentralisme kekuasa-
patrimonial juga bukan kapitalisme an dan dominasi birokrasi justru
sejati yang lahir dari kemampuan membuat proses pengambilan
wirausaha yang dimiliki, tetapi lebih keputusan berlangsung efektif
karena privilege yang diberikan karena tidak mendapatkan tanta-
pemerintah kepada mereka. ngan dari kelompok oposisi. Namun,
Akhirnya, lahirlah apa yang sering hal ini hanya berlaku jika elit-elit politik
disebut sebagai kapitalisme semu yang duduk di birokrasi pemerintahan
(erzats capitalism). mempunyai komitmen yang kuat
Dengan demikian, mereforma- untuk pembangunan dan kesejah-
si birokrasi publik di Indonesia teraan rakyat. Sementara di Indone-
dengan menerapkan birokrasi yang sia, sentralisme dan hegemoni
mempunyai semangat wirausaha birokrasi justru menjadi penghambat
akan menghadapi tembok besar utama pembangunan. Bahkan,
karena karakteristik birokrasi yang dalam kasus Orde Baru, meskipun
ada sama sekali tidak mendukung telah ditetapkan UU No. 5 Tahun 1974
bahkan bertolak belakang. Oleh yang menjamin pelaksanaan asas
karena itu dalam rangka reinventing desentralisasi dan otonomi daerah,
government maka langkah awal yang tetapi karena langkanya komitmen
harus dilakukan adalah menghancur- elit politik untuk mendesentrali-
kan struktur tradisional birokrasi sasikan kekuasaan maka yang
tersebut. Model-model birokrasi terjadi adalah hal yang sebaliknya,
patrimonial, birokrasi rente, ataupun yaitu sentralisme dan pola hubungan
bereaucratic polity harus dihancur- pusat dan daerah yang eksploitatif.
kan dan sedikit demi sedikit diganti Komitmen elit untuk mau melakukan
dengan model birokrasi yang reformasi birokrasi adalah penting
mempunyai semangat wirausaha. karena merekalah yang mempunyai
Untuk tujuan ini, dapat dilakukan sumber daya dan otoritas yang
dengan menggunakan dua cara : menentukan agenda reformasi.
pertama, melalui penegasan kembali Namun, komitmen elit saja tidak
komitmen elit politik untuk merefor- cukup karena alasan-alasan
masi birokrasi publik yang lebih sebagaimana telah dijelaskan dalam
akuntabel dan berpihak kepada uraian seblumnya. Oleh karena itu,
kepentingan rakyat; dan kedua, dibutuhkan gerakan reformasi

191
“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

birokrasi yang berasal dari bawah. seperti telah saya tegaskan di awal
Dengan demikian, program pember- bahwa kesepuluh prinsip birokrasi
dayaan masyarakat adalah penting wirausaha yang dikembangkan oleh
sebagai usaha untuk lebih mendo- Osborne dan Gaebler, berangkat
rong partisipasi masyarakat dalam dari studi yang dilakukan di berbagai
proses pengambilan keputusan di pemerintah negara bagian AS.
tingkat lokal ataupun nasional. Barangkali, dengan melakukan kajian
Berbagai kelompok di luar birokrasi yang sama kita akan menemukan
juga harus didorong untuk terlibat sepuluh prinsip lainnya yang khas
dalam mengawasi kinerja birokrasi Indonesia.
publik. Munculnya lembaga-lembaga Media massa sebagai institusi
swadaya masyarakat yang bertindak penyedia informasi harus berperan
sebagai watchdog perlu didorong lebih besar lagi dalam memberikan
dan difasilitasi. Hal ini karena informasi kepada masyarakat,
keberadaan lembaga-lembaga terutama menyangkut hak warga
seperti itu dapat menjadi sparing- negara dan kinerja sistem birokrasi
partner yang baik bagi birokrasi publik. Di negara-negara demo-
publik agar bekerja lebih efektif dan kratis, keberadaan industri media
efisien, mempunyai akuntabilitas, dan adalah penting karena ia menjadi
mempunyai komitmen yang baik semacam public servant di bidang
untuk memberikan pelayanan informasi. Informasi yang disampai-
kepada masyarakat. Selain itu, kan media kepada masyarakat akan
kalangan akademisi juga dapat menjadi bahan yang sangat berguna
dituntut perannya yang lebih besar bagi masyarakat untuk mengambil
lagi dalam konteks pengawasan tindakan-tindakan politik. Gelom-
dengan jalan memberikan kajian- bang demokratisasi yang mulai
kajian kritis mengenai kinerja menerpa bangsa ini sejak tahun
birokrasi publik, dan yang lebih 1998 membuat kelompok-kelompok
penting adalah mengembangkan yang telah saya sebutkan di atas
riset akademik yang dapat dijadikan mempunyai kesempatan yang besar
acuan untuk memperbaiki kinerja untuk mempengaruhi kebijakan-
birokrasi publik. Barangkali, dengan kebijakan publik. Hal ini karena
melakukan kajian terhadap daerah- demokrasi akan menggerogoti
daerah yang mampu melakukan kekuasaan negara, dan membuat
reformasi birokrasi publik dalam kekuasaaan lebih tersebar ke
konteks reinventing government, masyarakat dan aktor-aktor di luar
maka kita akan lebih mempunyai negara.
banyak rujukan dengan kasus-kasus
khas Indonesia. Oleh karena itu, 4. Kasus
publikasi hasil kajian seperti ini Di bawah ini akan dipaparkan
menjadi penting. Hal ini karena, secara sekilas daerah yang kurang

192
Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

lebih mampu menerapkan konsep Masfuk adalah pengusaha dengan


reinventing government. Sayang- jumlah tenaga kerja lebih dari sekitar
nya, tulisan ini tidak didasarkan pada 16 ribu dengan omzet perusahaan
hasil penelitian yang akurat sehingga mencapai 15 milyar rupiah. Sebelum
kemungkinan untuk terjebak ke menjadi pengusaha sukses, Masfuk
dalam simplikasi masalah dan adalah pedagang perhiasan monel di
generalisasi yang berlebihan dapat Sinar Supermarket Surabaya
saja terjadi. Namun, setidaknya kita dengan modal awal 65 ribu rupiah.
mempunyai informasi mengenai Latar belakang sebagai pengusaha
daerah yang sukses dalam yang berangkat dari titik nol inilah,
melakukan pembangunan, dan nampaknya yang memberikan
melakukan reformasi birokrasi kontribusi bagi keberhasilan
berdasarkan prinsip reinventing pembangunan di daerah Lamongan.
government. Setidaknya, hal ini dibuktikan melalui
Daerah yang dimaksud adalah usahanya dalam mengembangkan
Lamongan (Gatra,No. 23. 2003:20- pupuk lokal dengan merk Maharani
21). Di bawah kepemimpinan yang dibuat dari enceng gondok. Per
Masfuk, kini, Kota Lamongan kilogram pupuk ini seharga Rp.
menjadi salah kota di Jawa Timur 600,00 kilogram. Dengan mengguna-
yang layak dibanggakan. Prestasi ini kan pupuk ini, terjadi penghematan
setidaknya dapat dilihat dari sekitar Rp. 385. 000,00 per hektar
pendapatan asli daerah Lamongan atau sekitar 54 milyar per tahun. Oleh
yang naik mencapai lebih dari 150%, karena pupuk ini pula, pada tahun
yakni dari 6 milyar rupiah menjadi 19 2002 Lamongan berhasil mempro-
milyar. Meskipun laporan tersebut duksi beras unggul Rajasili yang
tidak menyebutkan secara jelas harganya Rp. 3.500,00 per kilo gram.
dalam rentang berapa tahun Semangat kewirausahaan ini juga
kenaikan tersebut dicapai, tetapi diterapkan dalam mengembangkan
laporan tersebut menegaskan kawasan industri seluas 500 hektar
bahwa kenaikan itu dicapai selama dan tengah dipersiapkan kawasan
Bupati Masfuk belum genap sebesar 9500 hektar. Selanjutnya,
memimpin kabupaten itu selama dua untuk mendukung usaha tersebut
tahun. pemda juga mempersiapkan
Ada beberapa faktor yang infrastruktur, seperti perbaikan jalan
nampaknya menjadi penyebab kabupaten. Hal ini ditujukan untuk
keberhasilan pembangunan di memper-lancar arus transportasi,
Kabupaten Lamongan. Pertama, atau sebagaimana diungkapkan
kemampuan leadership dan Bupati Lamongan dalam rangka
semangat wirausaha yang dimiliki mendekat-kan komoditas dengan
oleh Bupati Lamongan. Sebelum pasar. Untuk itu pula, pemda juga
menjabat sebagai Bupati Lamongan, menstimuli perkembangan pasar-

193
“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

pasar desa, sentra-sentra ekonomi, sistem pelayanan terpadu semua


dan pertanian. Kedua, berbagai urusan perijinan bisnis dijadikan satu
program pembangunan daerah di atap di bawah Badan Perencanaan
Kabupaten Lamongan tersebut Pembangunan Daerah.
barangkali tidak akan pernah
berhasil jika pemda tidak melibatkan C. PENUTUP
masyarakat. Salah satu semangat Salah satu hasil reformasi yang
otonomi daerah adalah dalam patut kita hargai adalah dikeluarkan-
rangka mendorong keterlibatan nya ketetapan MPR tentang otonomi
masyarakat sehingga pembangun- daerah yang ditindaklanjuti dengan
an yang dilakukan di daerah dapat dikeluarkannya Undang-Undang
memenuhi kebutuhan masyarakat Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-
secara riil. Nampaknya, ini dipegang Undang Nomor 25 Tahun 1999.
teguh oleh Bupati Lamongan Kedua undang-undang ini akan
sebagaimana dia ungkapkan, menjadi landasan bagi pelaksanaan
“Pemda hanya bertanggung jawab azas desentralisasi dan otonomi
pada pembinaan. Intinya, masyara- daerah di Indonesia. Meskipun
kat yang melaksanakan, mereka pula otonomi daerah bukan merupakan
yang akan memetik manfaatnya”. hal baru yang dibahas dalam sistem
Prinsip ini dengan kuat diterapkan pemerintahan Indonesia, tetapi
Bupati dalam mengembangkan karena sejak dulu belum dilaksana-
hutan jati seluas 33. 000 hektar yang kan secara konsisten maka hingga
dikembangkan dari hutan tidur. sekarang isu otonomi masih menarik
Nantinya, pengelolaan hutan jati ini untuk dibahas.
akan diserahkan kepada warga. Dikeluarkannya UU No. 22
Ketiga, faktor ketiga ini nampaknya Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun
yang paling krusial dalam mendorong 1999 tentang Perimbangan Keuang-
keberhasilan pembangunan di an antara Pusat dan Daerah pada
Lamongan. Hal ini merupakan dasarnya merupakan koreksi
langkah yang paling pertama terhadap kelemahan-kelemahan
dilakukan bupati, yakni dengan pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974.
mereformasi sistem dan sumber Pada masa lampau otonomi daerah
daya manusia. Pegawai di Kabu- sebagaimana diamanatkan dalam
paten Lamongan yang jumlahnya UU No. 5 Tahun 1974 yang menitik-
mencapai 12. 000 ribu orang diminta beratkan otonomi daerah pada
komitmennya untuk meningkatkan daerah tingkat II, pada kenyataan
pelayanan publik, dan bagi mereka tidaklah demikian. Desentralisasi
atau dinas yang berhasil akan masih berada dibawah bayang-
diberikan reward yang menarik. bayang asas dekonsentrasi. Semen-
Selanjutnya, menyangkut pembenah- tara itu, pemerintah pusat dan peme-
an sistem, pemda menerapkan rintah daerah tingkat I masih meme-

194
Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

gang peran yang sangat penting memperbarui diri dan responsif


dalam proses pembangunan daerah. terhadap perubahan-perubahan yang
Akibatnya, pelaksanaan otonomi terjadi.
daerah diwarnai oleh sentralisme Namun, dalam konteks
yang kuat sehingga muncul ketidak- Indonesia usaha mengimplementa-
puasan dari daerah-daerah di tingkat sikan konsep reinventing govern-
II karena berbagai sumber daya yang ment ini akan mendapatkan banyak
penting mengalir ke pusat dan kendala. Hal ini karena model
daerah hanya mendapatkan sedikit birokrasi di Indonesia dicirikan oleh
saja dari sumber daya yang mereka model birokrasi patrimonial, birokrasi
miliki. Kuatnya perencanaan pemba- rente, dan bureaucratic polity. Jika
ngunan yang bersifat sentralistik diruntut kembali dengan seksama
pada akhirnya juga gagal dalam model-model birokrasi seperti ini
mengembangkan potensi daerah sangat bertentangan dengan model
dan juga gagal dalam menangkap birokrasi wirausaha. Oleh karena itu,
aspirasi yang berkembang di daerah. usaha mewirausahakan birokrasi
Oleh karena itu, munculnya UU tidak akan dapat dilakukan dengan
No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 baik tanpa terlebih dahulu menghan-
Tahun 1999 harus dilihat dalam curkan model birokrasi yang lama.
konteks usaha pemerintahan refor- Untuk itu diperlukan komitmen yang
masi untuk melaksanakan otonomi kuat dari elit politik. Hal ini juga dapat
daerah secara lebih baik. Otonomi dilakukan dengan mendorong
daerah dalam konteks ini ditujukan keterlibatan masyarakat dalam
untuk mendorong keterlibatan daerah melakukan pengawasan terhadap
dalam proses pembangunan kinerja birokrasi. Program pember-
sehingga pemerintahan daerah dayaan masyarakat menjadi salah
dapat mengembangkan potensi satu agenda penting yang harus
daerahnya dan diharapkan akan dilakukan. Penguatan kelompok-
menjadi lebih responsif terhadap kelompok kepentingan, dan
kebutuhan dan dinamika yang lembaga-lembaga swadaya
berkembang dalam masyarakat. masyarakat juga penting dilakukan
Untuk itu diperlukan reinventing karena kelompok-kelompok ini dapat
government yang bermakna dalam diharapkan menjadi pengawas
pencarian format birokrasi yang kinerja birokrasi publik. Media
mempunyai kemampuan untuk massa juga dapat diharapkan
memperbarui secara mandiri dan perannya dalam konteks menyedia-
mempunyai mentalitas wirausaha. kan informasi bagi masyarakat
Hal ini karena otonomi daerah sehingga masyarakat akan memiliki
dengan berbagai tujuan yang hendak sumber informasi yang cukup untuk
dicapai memerlukan birokrasi yang mengambil tindakan-tindakan yang
efisien yang secara cepat mampu bersifat politis, terutama dalam

195
“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

konteks penyikapannya terhadap Communication in Indonesia”, dalam


kinerja birokrasi publik. Karld D. Jackson and Lucian Pye,
eds. Political Power and
Communication in Indonesia,
DAFTAR PUSTAKA Berkeley and Los Angeles: University
of California Press.
Amal, Ichlasul. 1992. “Decentrali-
zation and Democratization in the Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. 1980.
New Order Indonesia”, Paper “Birokrasi di Dunia Ketiga: Alat
presented for International Rakyat, Alat Penguasa, atau
Symposium: Democratic Experien- Penguasa?”. Prisma . Oktober.
ces in Southeast Asian Countries.
December 7-8. Bangkok: Kuncoro, Mudrajad. 1995.
Thammasat University. “Desentralisasi Fiskal di Indonesia:
Dilema Otonomi dan Keter-
Dwiyanto, Agus. 2002. Reformasi gantungan”. Prisma 4. April.
Birokasi Publik di Indonesia.
Yogyakarta: Pusat Studi Ke- Muhaimin, Yahya. 1980. “Beberapa
pendudukan dan Kebijakan, Segi Birokrasi di Indonesia”. Prisma.
Universitas Gadjah Mada. Oktober.

Gaffar, Afan. 1995. “Otonomi Daerah Osborne, David and Peter Plastrik.
dalam Negara Kesatuan” Prisma 4. 1992. Banishing Bureaucracy. New
April. York: Addison-Wesley Publishing
Company, Inc.
Girling, John L. S. 1981. The
Bureaucratic Polity in Modernizing Pratikno. 1998. “Urgensi Reformasi
Societies, Differences, and Basis Kekuasaan Birokrasi di
Prospect in The Asean Region. Indonesia”. Jurnal Kebijakan dan
Singapore: Institute of Southeast Admnistrasi Publik (JKAP). Vol. 2.
Asian Studies. No. 1. Februari.

Hidayat, Syarif. 2001. “Fenomena Regulski, Jerzy. & W. Kocan. 1994.


‘Rent-Seeking’ di Daerah: Kasus “From Communism Towards
Tata Niaga Kayu Cendana.” Jurnal Democracy: Local Government
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) Reform in Poland”, dalam Robert J.
FISIP UGM. Vol.5. No. 2. November. Bennet, ed. Local Government and
Market Decentralization: Experien-
Jackson, Karl D. 1978. “Bureaucratic ces in Industrialized, Developing,
Polity: A Theoretical Framework for and Former Eastern Bloc Countries.
Analysis of Power and Tokyo: United Nations University.

196
Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

Sarundajang. 1999. Arus Balik Entrepreneurial Spirit is


Kekuasaan Pusat ke Daerah. Transforming the Public Sector. New
Jakarta: Sinar Harapan. York: Penguin Books, Ltd.

Strange, Susan. 2000. “States, Firms,


and Diplomacy”, dalam Jeffrey A. ∗ Makalah disampaikan dalam seminar
Frieden. & David A. Lake, ed. nasional dengan judul “PENATAAN
International Political Economy: BIROKRASI DALAM PELAKSANAAN
Perspective on Global Power and OTONOMI DAERAH”, Ruang Seminar
Wealth, Fourth Edition. Boston: “PENIDA NOOR” FLA UPN “Veteran”
Bedford/St. Martin’s. Jawa Timur, Surabaya, Rabu, 14 Januari
2004.

Soemarsono, Soni . 2001. “Peranan


Akuntansi dalam Sektor Publik pada
Era Otonomi Daerah bagi
Pemerintahan Daerah dan
Masyarakat Menuju Terciptanya
Good Governance, Makalah
disampaikan pada Diskusi Panel
sehari di Istana Ballroom Sari Pacific.
Kamis, 22 Maret.

Tjokrowinoto, Moeljarto. 2001.


“Pengembangan Sumber Daya
Manusia Birokrasi: Kemelut antara
Negara, Masyarakat Sipil, dan
Pasar”, dalam Saiful Arif, ed.
Birokrasi dalam Polemik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Thoha, Miftah. 1991. “Pelaksanaan


Otonomi Daerah”, Makalah di-
sampaikan pada Seminar Program
MPA dan FIA Untag Surabaya,
tanggal 8 Oktober.

----.2003. Gatra, No. 23. Tahun VIII.


27. April.

----and Ted Gaebler. 1992.


Reinventing Government: How the

197

Anda mungkin juga menyukai