2020/2021
MATA UJIAN : HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
“JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2020/2021”
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
JUNI 2021
1. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 adalah memeriksa, mengadili, dan memutus Pembubaran
Partai Politik. Jelaskan secara komprehensif hukum acara Mahkamah Konstitusi
dalam hal Pembubaran Partai Politik dimaksud.
Menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) Mahkamah Konstitusi memiliki lima
kewenangan, salah satunya Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutus
pembubaran partai politik. Selain itu, mekanisme pembubaran partai politik juga diatur
dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi). Pasal 68
ayat (1) menegaskan bahwa pemohon adalah pemerintah, bukan pihak lain. Jadi partai
politik yang lain tidak bisa mengajukan pembubaran atau tidak bisa menjadi pihak
pemohon karena partai politik tidak dibenarkan untuk menuntut pembubaran pesaingnya
sendiri. Dengan dasar Indonesia sebagai negara demokrasi maka seharusnya partai
politik harus dapat bersaing secara sehat antara yang satu dengan yang lain, bukan justru
saling menjatuhkan. Karena ketika partai politik saling menjatuhkan otomatis kualitas
demokrasi juga akan menurun.
Ketika membahas mengenai mekanisme pembubaran partai politik, pemerintah kita
mengenal asas contrarius actus yang artinya pemerintah dalam melakukan salah satu
haknya yaitu untuk melakukan pembubaran partai politik, tidak bisa dilakukan secara
langsung tetapi harus melalui laporan ke Mahkamah Konstitusi. Karena asas tersebut
memberikan kewenangan kepada pihak eksekutif (dalam hal ini pemerintah) yang telah
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) untuk dapat
melakukan pencabutan terhadap KTUN tersebut. Misalnya, ketika pemerintah ingin
membubarkan partai politik secara sepihak. Keadaan tersebut tidak dapat dilaksanakan
oleh pemerintah, karena hal tersebut dapat menurunkan kualitas demokrasi Indonesia
yang setiap jajaran dan pihak pemerintah berasal atau berawal dari partai politik. Dan
partai politik memiliki kaitannya dengan demokrasi, yakni demokrasi sebagai ruang
untuk rakyat berpendapat dan berkumpul dan dengan adanya partai politik ini, akan
membuktikan bahwa rakyat dapat memiliki kelompok untuk berpendapat sebagaimana
mestinya.
Selain itu, partai politik yang berkuasa adalah partai politik yang memenangkan
pemilihan umum dan jelas menjadi partai pemerintah. Maka dari itu, untuk
mempertahankan posisi dan kepentingannya sebagai partai politik pemerintah dan
pemenang pemilu. Partai pihak lain dan pemerintah yang tidak berasal dari partai politik
tersebut akan memiliki pikiran untuk menjegal saingannya dengan cara menuntut partai
politik yang bersangkutan agar dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu,
pembubaran partai politik tidak boleh diputuskan sendiri oleh pemerintah, melainkan
harus ditetapkan dengan putusan yang final dan berkekuatan hukum yang tetap. Hal
tersebut bertujuan untuk kepentingan partai politik yang berkuasa.
Mekanisme atau prosedur beracara mengenai pembubaran partai politik diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 (selanjutnya
disebut PMK No. 12 Tahun 2008) yang menjelaskan bahwa partai politik dapat
dibubarkan, apabila partai politik tersebut terbukti menganut, mengembangkan dan
menyebarkan ajaran atau pemahaman komunisme atau marxisme-leninisme. Biasanya
dalam paham komunsime, kebebasan berpendapat dan kehidupan rakyat sangat diatur
oleh pemerintah seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Laos, Korea Utara dan lain-
lain. Sedangkan Pasal 2 PMK No.12 Tahun 2008 menjelaskan bahwa partai politik dapat
dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila:
a. Ideologi, asas, tujuan, program partai politik bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b. kegiatan partai politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berikut merupakan tahapan pembubaran partai politik yang berdasar pada PMK
No. 12 Tahun 2008:
a. surat atau tulisan, terdiri atas: (Pasal 42 PMK No. 6 Tahun 2020)
- keputusan Termohon tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara;
- keputusan Termohon tentang penetapan pasangan calon peserta Pemilihan
beserta lampirannya;
- keputusan Termohon tentang penetapan nomor urut pasangan calon peserta
Pemilihan beserta lampirannya;
- berita acara dan/ atau salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara yang
ditandatangani oleh Penyelenggara Pemilu sampai dengan tingkatannya
yaitu:
1. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS);
2. Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK);
3. KPU /KIP Kabupaten/Kota; dan/ atau
4. KPU /KIP Provinsi.
- dokumen tertulis lainnya.
b. keterangan para pihak; (Pasal 43 PMK No. 6 Tahun 2020)
adalah Permohonan, jawaban, dan keterangan yang disampaikan
Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, dan Bawaslu Provinsi atau Bawaslu
Kabupaten/ Kata dalam persidangan.
c. keterangan saksi; (Pasal 44 PMK No. 6 Tahun 2020)
adalah keterangan dari saksi yang diajukan oleh Pemohon,
Termohon, dan Pihak Terkait.
d. keterangan ahli; (Pasal 45 PMK No. 6 Tahun 2020)
merupakan alat bukti yang dapat diajukan oleh Pemohon,
Termohon, dan Pihak Terkait.
e. alat bukti lain; dan/ atau (Pasal 47 PMK No. 6 Tahun 2020)
berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
f. petunjuk. (Pasal 48 PMK No. 6 Tahun 2020)
merupakan hasil pengamatan hakim terhadap rangkaian peristiwa,
keterangan, perbuatan, keadaan, dan/ atau peristiwa yang bersesuaian
dengan alat bukti lain.
Sedangkan menurut para ahli, seperti ketua Komite Pemilih Indonesia (TePi),
Jeirry Sumampow “Mahkamah Konstitusi tidak boleh lembaga Kalkulator” yang
menjelaskan bahwa, seharusnya Mahkamah Konstitusi tidak memproses persoalan
hanya berdasarkan perselisihan suara saja, namun juga harus melihat sisi lain, yakni
sis penyebab adanya perselisihan persoalan suara tersebut. Pada dasarnya keadilan
substantive yang dimaksud adalah suatu keadilan yang harus diciptakan oleh hakim
dengan segala putusannya yang didasarkan dari hasil galian atas rasa keadialan yang
ada di dalam masyarakat tanpa menitikberatkan pada ketentuan bunyi undang-undang
yang berlaku.
1. Jika terdapat penetapan rekapitulasi perolehan suara oleh KPU Daerah yang
berdasarkan pada rekapitulasi yang belum selesai perhitungannya dari seluruh
TPS yang ada, maka hal tersebut tidak boleh atau tidak dapat dibenarkan. Maka
dalam hal ini Mahkamah Konstitus tidak bisa hanya diam saja.
2. Jika terdapat rekomendasi dari panwaslu yang mengatakan agar melaksanakan
perhitungan suara atau pemungutan suara tidak dapat di tindaklanjuti oleh KPU
daerah dengan dasar pertimbangan yang tidak memadai. Maka dari itu,
Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat mendengarkan rekomendasi dan
menerima rekomendasi tersebut. maka mahkamah konstitusi dapat mengajukan
agar pemungutan suara diulang.
3. Jika KPU Daerah melakukan suatu tindakan subordinasi dengan mengeluarkan
keputusan atau tidak membatalkan keputusannya yang signifikan, sehingga
mempengaruhi keikutsertaan pasangan calon dalam Pemilihan kepala daerah
serta menolak mengikuti rekomendasi yang dikeluarkan oleh KPU RI dan KPU
Provinsi dan/atau Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi.
4. Jika mahkamah konstitusi menemukan bukti bahwa, awal terjadinya suatu
permasalahan tersebut sangat mendasar dan vital yang mengakibatkan ambang
batas perolehan suara tersebut memiliki potensi tidak dapat dihitung.
c. Berikan satu contoh kasus dalam Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota
Serentak Tahun 2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. apa masalah
yang disengketakan dan apa Putusan MK atas permohonan tersebut! Jelaskan
pendapat anda terhadap Putusan MK untuk kasus aquo
Saya memilih Putusan Nomor 21/PHP.KOT-XIX/2021 merupakan putusan
dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota
Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2020 yang diajukan oleh:
1. Ananda
2. Mushaffa Zakir
Yang merupakan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota dalam Pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Kota Banjarmasin Tahun 2020, Nomor Urut 4.
Permasalahan yang disengketakan adalah:
Terdapat selisih 16.826 antara Pemohon dengan Pihak yang dinyatakan
sebagai pasangan dengan perolehan suara terbanyak (Nomor Urut 02) didapatkan
dari pelanggaran berupa: penyalagunaan kewenangan dan program, penyalahgunaan
penggunaan fasilitas pemerintahan dan kecurangan yang kesemuanya memiliki
signifikansi dalam memengaruhi perolehan suara. Tidak hanya permasalahan itu saja,
tetapi juga ditemukan beberapa adanya kejanggalan, yakni adanya anak dibawah
umur menjadi pemilih, nama pemilih ganda, NIK Rekayasa dan ketidakcocokan
tanggal lahir antara yang terdapat di kolom DPT dan kolom DPT.
Penjelasannya: