Anda di halaman 1dari 18

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK

2020/2021
MATA UJIAN : HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
“JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2020/2021”

Nama Lengkap : Vira Wijaya


NRP : 120118356
KP.D

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
JUNI 2021
1. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 adalah memeriksa, mengadili, dan memutus Pembubaran
Partai Politik. Jelaskan secara komprehensif hukum acara Mahkamah Konstitusi
dalam hal Pembubaran Partai Politik dimaksud.
Menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) Mahkamah Konstitusi memiliki lima
kewenangan, salah satunya Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutus
pembubaran partai politik. Selain itu, mekanisme pembubaran partai politik juga diatur
dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi). Pasal 68
ayat (1) menegaskan bahwa pemohon adalah pemerintah, bukan pihak lain. Jadi partai
politik yang lain tidak bisa mengajukan pembubaran atau tidak bisa menjadi pihak
pemohon karena partai politik tidak dibenarkan untuk menuntut pembubaran pesaingnya
sendiri. Dengan dasar Indonesia sebagai negara demokrasi maka seharusnya partai
politik harus dapat bersaing secara sehat antara yang satu dengan yang lain, bukan justru
saling menjatuhkan. Karena ketika partai politik saling menjatuhkan otomatis kualitas
demokrasi juga akan menurun.
Ketika membahas mengenai mekanisme pembubaran partai politik, pemerintah kita
mengenal asas contrarius actus yang artinya pemerintah dalam melakukan salah satu
haknya yaitu untuk melakukan pembubaran partai politik, tidak bisa dilakukan secara
langsung tetapi harus melalui laporan ke Mahkamah Konstitusi. Karena asas tersebut
memberikan kewenangan kepada pihak eksekutif (dalam hal ini pemerintah) yang telah
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) untuk dapat
melakukan pencabutan terhadap KTUN tersebut. Misalnya, ketika pemerintah ingin
membubarkan partai politik secara sepihak. Keadaan tersebut tidak dapat dilaksanakan
oleh pemerintah, karena hal tersebut dapat menurunkan kualitas demokrasi Indonesia
yang setiap jajaran dan pihak pemerintah berasal atau berawal dari partai politik. Dan
partai politik memiliki kaitannya dengan demokrasi, yakni demokrasi sebagai ruang
untuk rakyat berpendapat dan berkumpul dan dengan adanya partai politik ini, akan
membuktikan bahwa rakyat dapat memiliki kelompok untuk berpendapat sebagaimana
mestinya.
Selain itu, partai politik yang berkuasa adalah partai politik yang memenangkan
pemilihan umum dan jelas menjadi partai pemerintah. Maka dari itu, untuk
mempertahankan posisi dan kepentingannya sebagai partai politik pemerintah dan
pemenang pemilu. Partai pihak lain dan pemerintah yang tidak berasal dari partai politik
tersebut akan memiliki pikiran untuk menjegal saingannya dengan cara menuntut partai
politik yang bersangkutan agar dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu,
pembubaran partai politik tidak boleh diputuskan sendiri oleh pemerintah, melainkan
harus ditetapkan dengan putusan yang final dan berkekuatan hukum yang tetap. Hal
tersebut bertujuan untuk kepentingan partai politik yang berkuasa.
Mekanisme atau prosedur beracara mengenai pembubaran partai politik diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 (selanjutnya
disebut PMK No. 12 Tahun 2008) yang menjelaskan bahwa partai politik dapat
dibubarkan, apabila partai politik tersebut terbukti menganut, mengembangkan dan
menyebarkan ajaran atau pemahaman komunisme atau marxisme-leninisme. Biasanya
dalam paham komunsime, kebebasan berpendapat dan kehidupan rakyat sangat diatur
oleh pemerintah seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Laos, Korea Utara dan lain-
lain. Sedangkan Pasal 2 PMK No.12 Tahun 2008 menjelaskan bahwa partai politik dapat
dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila:
a. Ideologi, asas, tujuan, program partai politik bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b. kegiatan partai politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berikut merupakan tahapan pembubaran partai politik yang berdasar pada PMK
No. 12 Tahun 2008:

1. Pengajuan permohonan pembubaran partai politik


Dalam tahap ini pemohonnya adalah pemerintah yang dapat diwakili
oleh jaksa agung dan/atau Menteri yang telah diberi kuasa oleh Presiden untuk
itu. Sedangkan pihak termohon adalah partai politik yang diwakili oleh
pimpinan partai politik yang dimohonkan untuk dibubarkan dan termohon
dapat didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 3 PMK No. 12 Tahun 2008.
2. Pendaftaran permohonan
Menurut Pasal 4 PMK No. 12 Tahun 2008 permohonan yang diajukan
oleh pemohon atau kuasanya, dilakukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
serta ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap.
Permohonan tersebut setidaknya memuat:
a. identitas lengkap pemohon dan kuasanya jika ada yang dilengkapi
surat kuasa khusus untuk itu;
b. uraian yang jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program dan
kegiatan partai politik yang dimohonkan pembubaran yang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. alat-alat bukti yang mendukung permohonan.
3. Pemeriksaan permohonan
Setelah permohonan diajukan, maka panitera akan memeriksa
kelengkapan permohonan. Apabila permohonan belum memenuhi ketentuan
yang dimaksud maka pemohon wajib melengkapi dengan jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan kekuranglengkapan
permohonan tersebut diterima oleh pemohon. Sebaliknya, apabila telah
lengkap maka Panitera mencatat permohonan yang sudah lengkap dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi (selanjutnya disebut BRPK).
Selanjutnya panitera mengirimkan satu berkas permohonan yang sudah
diregistrasi kepada termohon disertai permintaan tanggapan tertulis termohon
atas permohonan pemohon. Tanggapan tertulis termohon dibuat dalam 12 (dua
belas) rangkap dan ditandatangani oleh termohon atau kuasanya, serta sudah
harus diterima oleh Panitera paling lambat satu hari sebelum sidang pertama
dimulai sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 5 PMK No. 12 Tahun 2008
4. Penjadwalan sidang
Menurut Pasal 6 PMK No. 12 Tahun 2008 menjelaskan bahwa setelah
muncul nomor perkara maka Mahkamah Konstitusi akan menetapkan hari
sidang pertama paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah permohonan dicatat
dalam BRPK. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada para pihak
dan diumumkan kepada masyarakat melalui penempelan salinan
pemberitahuan di papan pengumuman Mahkamah yang khusus untuk itu.
5. Proses Persidangan
Menurut Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) PMK No. 12 Tahun 2008
menjelaskan bahwa pemeriksaan permohonan dilakukan dalam Sidang Pleno
terbuka untuk umum yang sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 (tujuh) orang
hakim konstitusi dan dipimpin oleh Ketua Mahkamah.
Sedangkan sidang pertama adalah sidang pemeriksaan pendahuluan
untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, serta wajib
memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
permohonan jika dipandang perlu dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari. Dan persidangan selanjutnya ditentukan oleh Ketua Sidang. Dalam
persidangan pemohon dan termohon diberikan kesempatan yang sama untuk
menyampaikan dalil-dalilnya, baik secara lisan maupun tertulis, dengan
dilengkapi bukti-bukti yang dapat berupa surat atau tulisan, keterangan saksi,
keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk, dan alat-alat bukti lainnya.
6. Rapat Pemusyawaratan Hakim
Rapat permusyawaratan Hakim (selanjutnya disebut RPH) ini
bertujuan untuk mengambil putusan setelah pemeriksaan persidangan oleh
ketua Mahkamah dipandang cukup. Menurut Pasal 8 ayat (2) PMK No. 12
Tahun 2008 RPH merupakan proses yang terjadi diantara para hakim yang
dilaksanakan secara tertutup oleh pleno hakim yang sekurang-kurangnya
dihadiri oleh 7 (tujuh) orang hakim konstitusi. Terdapat beberapa metode yang
digunakan dalam pengambilan keputusan seperti:
a. Dilakukan secara musyawarah.
b. Ketika dalam musyawarah tidak mencapai mufakat, maka
keputusan akan diambil dengan suara terbanyak.
c. Ketika dalam hal putusan tidak dapat dicapai dengan suara
terbanyak, maka suara terakhir dari Ketua RPH yang akan
menentukan.
7. Putusan
Menurut Pasal 9 PMK No. 12 Tahun 2008 putusan yang telah diambil
dalam RPH diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum. Putusan
Mahkamah tentang permohonan pembubaran partai politik dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja setelah permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Amar putusan Mahkamah
dapat menyatakan:
A. permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)
apabila tidak memenuhi syarat administratif;
B. permohonan dikabulkan apabila permohonan beralasan;
C. permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.

Menurut Pasal 10 PMK No. 12 Tahun 2008 menjelaskan bahwa,


apabila amar putusan tersebut dikabulkan maka amar putusan:

a. mengabulkan permohonan pemohon;


b. menyatakan membubarkan dan membatalkan status badan hukum
partai politik yang dimohonkan pembubaran;
c. memerintahkan kepada Pemerintah untuk:
1. menghapuskan partai politik yang dibubarkan dari daftar pada
Pemerintah paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
kerja sejak putusan Mahkamah diterima;
2. mengumumkan putusan Mahkamah dalam Berita Negara
Republik Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
putusan diterima.
2. Pertanyaan:
a. Buatlah alur proses beracara secara lengkap mulai dari pengajuan permohonan
ke Mahkamah Konstitusi sampai dengan dihasilkannya Putusan atas sengketa
Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota?

Alur proses beracara atas sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur,


Bupati dan Walikota diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6
Tahun 2020 (selanjutnya disebut PMK No. 6 Tahun 2020). Menurut Pasal 6 ayat
(1) PMK No. 6 Tahun 2020 terdapat beberapa tahapan dalam penanganan perkara
perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota, yaitu:

a. Pengajuan Permohonan Pemohon;


b. Melengkapi dan Memperbaiki Permohonan Pemohon;
c. Pemeriksaan Kelengkapan dan Perbaikan Permohonan Pemohon;
d. Penerbitan Hasil Pemeriksaan Kelengkapan dan Perbaikan Permohonan
Pemohon;
e. Pencatatan Permohonan Pemohon dalam e-BRPK;
f. Penyampaian Salinan Permohonan kepada Termohon dan Bawaslu;
g. Pengajuan Permohonan sebagai Pihak Terkait;
h. Pemberitahuan Sidang kepada para pihak;
i. Pemeriksaan Pendahuluan;
j. Pemeriksaan Persidangan dan RPH;
k. Pengucapan Putusan/Ketetapan;

Berikut merupakan para pihak dalam perkara perselisihan hasil pemilihan


yaitu:

a. Pemohon dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur,


Bupati/Walikota sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (1) PMK
No. 6 Tahun 2020, yaitu:

1. Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur;


2. Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati;
3. Pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota; atau
4. Pemantau pemilihan dalam hal hanya terdapat satu pasangan calo

b. Termohon dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur,


Bupati/Walikota sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (3) PMK
No. 6 Tahun 2020 adalah KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP
Kabupaten/Kota.
c. Pihak Terkait dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur,
Bupati/Walikota sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (4) PMK
No. 6 Tahun 2020 adalah pasangan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, atau pasangan
calon Walikota dan Wakil Walikota yang mempunyai kepentingan
langsung terhadap Permohonan yang diajukan oleh Pemohon.
Penjelasan setiap tahap:
1. Pengajuan Permohonan Pemohon
Permohonan dapat diajukan melalui luring (offline) dan daring
(online). Sedangkan, menurut Pasal 7 ayat (2) PMK No. 6 Tahun 2020
Pengajuan permohonan paling lambat diajukan dalam 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan umum
oleh KPU. Pengajuan permohonan secara luring (offline) atau daring (online)
hanya dapat dilakukan (1) satu kali dalam masa tenggang waktu. Sedangkan
Menurut Pasal 8 ayat (1) PMK No. 6 Tahun 2020 isi permohonan setidaknya
terdiri dari:
a. permohonan;
b. fotokopi Surat Keputusan Termohon tentang Penetapan sebagai
Pasangan Calon atau akreditasi KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP
Kabupaten/Kota untuk Pemantau Pemilihan;
c. fotokopi KTP atau Identitas Pemohon; dan
d. fotokopi kartu tanda anggota bagi advokat sebagai kuasa hukum.

Pasal 9 PMK No. 6 Tahun 2020 menegaskan bahwa permohonan


diajukan secara luring (offline) dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia
sebanyak 4 (empat) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa
hukum yang salah satunya asli serta harus disertai dengan daftar alat bukti
beserta alat bukti yang mendukung permohonan. Alat bukti tersebut juga
disampaikan sebanyak 4 (empat) rangkap, dengan ketentuan:

a. 1 (satu) rangkap dibubuhi meterai sebagaimana ditentukan dalam


peraturan perundang-undangan;
b. 3 (tiga) rangkap lainnya merupakan penggandaan dari alat bukti
sebagaimana dimaksud pada huruf a.

Sedangkan, Pasal 10 PMK No. 6 Tahun 2020 menegaskan bahwa


Permohonan yang diajukan secara daring (online) dibuat secara tertulis dalam
Bahasa Indonesia sebanyak 1 (satu) eksemplar asli yang ditandatangani oleh
Pemohon atau kuasa hukum serta harus disertai dengan daftar alat bukti
beserta alat bukti yang mendukung permohonan. Alat bukti tersebut
disampaikan sebanyak 4 (empat) rangkap, dengan ketentuan:

a. 1 (satu) rangkap dibubuhi meterai sebagaimana ditentukan dalam


peraturan perundang-undangan;
b. 3 (tiga) rangkap lainnya merupakan penggandaan dari alat bukti
sebagaimana dimaksud pada huruf a.

2. Melengkapi dan Memperbaiki Permohonan Pemohon

Dalam proses ini, pihak yang berhak memeriksa kelengkapan permohonan


adalah panitera. Selain itu, Pasal 13 PMK No. 6 Tahun 2020 menegaskan bahwa
permohonan yang diajukan baik secara luring (offline) atau daring (online) dapat
memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak
diterima atau dikirimkan AP3 kepada Pemohon atau kuasa hukum. Pasal 14 PMK
No. 6 Tahun 2020 juga menegaskan bahwa Perbaikan dan kelengkapan ini hanya
dapat dilakukan 1 (satu) kali selama tenggang waktu pengajuan perbaikan
permohonan.

3. Pemeriksaan Kelengkapan dan Perbaikan Permohonan Pemohon


Pasal 15 ayat (1) PMK No. 6 Tahun 2020 menegaskan bahwa
kepaniteraan dalam memeriksa perbaikan dan kelengkapan permohonan
setelah pemohon menyampaikan dan/ atau tidak menyampaikan perbaikan dan
kelengkapan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
4. Penerbitan Hasil Pemeriksaan Kelengkapan dan Perbaikan Permohonan
Pemohon
Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) PMK No. 6 Tahun 2020 menegaskan
bahwa, Panitera akan menerbitkan HPKP3 setelah dilakukannya pemeriksaan
perbaikan dan kelengkapan permohonan. Dalam hal Pemohon menyampaikan
perbaikan dan kelengkapan melewati tenggang waktu yang telah ditentukan,
keterlambatan dicatat dalam HPKP3.
5. Pencatatan Permohonan Pemohon dalam e-BRPK
Selanjutnya Pasal 16 PMK No. 6 Tahun 2020 menjelaskan bahwa,
Permohonan yang telah dilakukan pemeriksaan perbaikan dan kelengkapan
Permohonan tersebut dicatat ke dalam e-BRPK secara serentak dan
selanjutnya diunggah pada Laman Mahkamah. Dan Panitera akan menerbitkan
dan menyampaikan ARPK kepada Pemohon atau kuasa hukum setelah
Permohonan dicatat dalam e-BRPK. Pasal 19 PMK No. 6 Tahun 2020 juga
menegaskan bahwa para pihak sebagaimana dimaksud, dapat mengunduh
salinan Permohonan pada Laman Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang
telah dicatat dalam e-BRPK.
6. Penyampaian Salinan Permohonan kepada Termohon dan Bawaslu
Proses ini diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) PMK
No. 6 Tahun 2020 yang mengatur Panitera menyampaikan salinan
permohonan kepada termohon atau kuasa hukum dan kepada Bawaslu
Provinsi atau kuasa hukum dan Bawaslu Kabupaten/ Kota atau kuasa hukum
melalui Bawaslu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah Permohonan dicatat
dalam e-BRPK.
Selanjutnya, Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (2) PMK No. 6 Tahun
2020 menjelaskan bahwa penyampaian salinan permohonan disertai dengan
permintaan agar Termohon mempersiapkan jawaban serta Bawaslu Provinsi
dan Bawaslu Kabupaten/Kota mempersiapkan keterangan untuk diserahkan
kepada Mahkamah sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
7. Pengajuan Permohonan sebagai Pihak Terkait
Pengajuan permohonan sebagai pihak terkait diatur dalam Pasal 24
PMK No. 6 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa Pasangan Calon Gubernur,
Bupati, dan Walikota atau Pemantau Pemilihan dapat mengajukan
permohonan sebagai Pihak Terkait sejak permohonan dicatat dalam e-BRPK
dan/ atau diunggah pada Laman Mahkamah. Permohonan ini diajukan paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah permohonan dicatat dalam e-BRPK dan/ atau
diunggah pada Laman Mahkamah dan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali
dalam tenggang waktu.
8. Pemberitahuan Sidang kepada para pihak
Menurut Pasal 34 PMK No. 6 Tahun 2020 menjelaskan bahwa Jadwal hari
sidang Mahkamah dapat diketahui dan diakses melalui Laman Mahkamah dan
Persidangan yang akan dilaksanakan nantinya adalah persidangan dalam
sidang panel atau sidang pleno yang terbuka untuk umum. Menurut Pasal 34
ayat (2) PMK No. 6 Tahun 2020 menjelaskan bahwa persidangan perkara
perselisihan hasil pemilihan dilaksanakan melalui tiga tahap adalah:
a. Pemeriksaan Pendahuluan;
b. Pemeriksaan Persidangan; dan
c. Pengucapan Putusan.
9. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (1) PMK
No. 6 Tahun 2020 yang menjelaskan bahwa, pemeriksaan dilaksanakan paling
cepat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam e-BRPK. Panitera
menyampaikan pemberitahuan sidang pertama kepada Pemohon, Termohon,
dan Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/ Kota paling lama 2 (dua) hari
kerja setelah Permohonan dicatat dalam e-BRPK. Sedangkan, berdasarkan
Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) PMK No. 6 Tahun 2020 ketika pemohon atau
kuasa hukum tidak hadir dalam Pemeriksaan Pendahuluan tanpa alasan yang
sah. Meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, Maka mahkamah
konstitusi menyatakan Permohonan gugur dan Mahkamah konstitusi akan
menerbitkan ketetapan yang diucapkannya dalam Sidang Pleno terbuka untuk
umum.
10. Pemeriksaan Persidangan dan RPH
Tahap selanjutnya adalah pemeriksaan persidangan yang diatur dalam
Pasal 39 PMK No. 6 Tahun 2020 yang menjelaskan bahwa, perihal Pemohon
dan/ atau Termohon atau kuasa hukum tidak hadir dalam Pemeriksaan
Persidangan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan
patut, Mahkamah dapat mempertimbangkan keberlanjutan permohonan
tersebut.
Pemeriksaan ini mahkamah konstitusi dapat memanggil para pihak
yang dipandang perlu atas perintah Mahkamah Konstitusi atau permintaan
para pihak untuk didengar keterangannya. Alat bukti dalarn perkara
perselisihan hasil Pemilihan berupa:

a. surat atau tulisan, terdiri atas: (Pasal 42 PMK No. 6 Tahun 2020)
- keputusan Termohon tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara;
- keputusan Termohon tentang penetapan pasangan calon peserta Pemilihan
beserta lampirannya;
- keputusan Termohon tentang penetapan nomor urut pasangan calon peserta
Pemilihan beserta lampirannya;
- berita acara dan/ atau salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara yang
ditandatangani oleh Penyelenggara Pemilu sampai dengan tingkatannya
yaitu:
1. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS);
2. Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK);
3. KPU /KIP Kabupaten/Kota; dan/ atau
4. KPU /KIP Provinsi.
- dokumen tertulis lainnya.
b. keterangan para pihak; (Pasal 43 PMK No. 6 Tahun 2020)
adalah Permohonan, jawaban, dan keterangan yang disampaikan
Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, dan Bawaslu Provinsi atau Bawaslu
Kabupaten/ Kata dalam persidangan.
c. keterangan saksi; (Pasal 44 PMK No. 6 Tahun 2020)
adalah keterangan dari saksi yang diajukan oleh Pemohon,
Termohon, dan Pihak Terkait.
d. keterangan ahli; (Pasal 45 PMK No. 6 Tahun 2020)
merupakan alat bukti yang dapat diajukan oleh Pemohon,
Termohon, dan Pihak Terkait.
e. alat bukti lain; dan/ atau (Pasal 47 PMK No. 6 Tahun 2020)
berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
f. petunjuk. (Pasal 48 PMK No. 6 Tahun 2020)
merupakan hasil pengamatan hakim terhadap rangkaian peristiwa,
keterangan, perbuatan, keadaan, dan/ atau peristiwa yang bersesuaian
dengan alat bukti lain.

Selanjutnya proses RPH yang ditegaskan dalam Pasal 51 PMK No. 6


Tahun 2020 yang menerangkan bahwa, RPH dilakukan secara tertutup dan
rahasia yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah, apabila ketua Mahkamah
berhalangan memimpin, maka Rapat Pleno dipimpin oleh Wakil Ketua
Mahkam. Ketika Ketua Mahkamah dan Wakil Ketua Mahkamah berhalangan
dalam waktu bersamaan Rapat Pleno dipimpin oleh Ketua Sementara yang
dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah.

11. Pengucapan Putusan/Ketetapan;


Dalam pengucapan putusan, dilakukan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum dan dilakukan dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari
kerja setelah dicatat di BRPK sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 52
PMK No. 6 Tahun 2020. Menurut Pasal 55 PMK No. 6 Tahun 2020,
menegaskan bahwa amar putusan Mahkamah menyatakan:
1. Permohonan tidak dapat diterima, apabila Pemohon dan/ atau
permohonannya tidak memenuhi syarat formil permohonan;
2. Permohonan ditolak, apabila permohonan memenuhi syarat formil dan
pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum; atau
3. Permohonan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, apabila permohonan
memenuhi syarat formil dan pokok permohonan beralasan menurut
hukum untuk sebagian atau seluruhnya.
Pasal 56 PMK No. 6 Tahun 2020 menjelaskan bahwa, Mahkamah
mengeluarkan Ketetapan yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka
untuk umum jika Pemohon menarik kembali Permohonan, Mahkamah tidak
berwenang mengadili, atau Permohonan Pemohon dinyatakan gugur.

b. Ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 terkait ambang


batas pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi menimbulkan polemik
karena dinilai tidak memberikan keadilan substantif. Jelaskan pendapat
saudara secara terstruktur dengan menggunakan dasar hukum dan teori
hukum yang tepat, penyesuaian apa yang dapat dilakukan dalam hukum acara
yang berlaku agar Mahkamah Konstitusi dapat memberikan rasa keadilan
substantif kepada para pihak yang berperkara dalam PHP Gubernur,
Bupati/Walikota.
Pasal 158 Undang- -Undang Nomor 10 Tahun 2016 menjelaskan terkait
dengan ambang batas yang menjadi syarat dalam proses pengajuan sengketa pilkada.
Maka dari itu, dengan adanya ambang batas ini mengakibatkan tidak semua perkara
dapat disengketakan ke Mahkamah Konstitusi. Ambang batas ini seringkali menjadi
perdebatan bagi para pihak, karena Mahkamah Kosntitusi dianggap terlalu
mementingkan angka. Padahal seharusnya Mahkamah Konstitusi ada sebagai penjaga
konstitusi, artinya Mahkamah Konstitusi memastikan bahwa seluruh muatan harus
dilaksanakan.
Pada kenyataanya, pada saat merasa terdapat kecurangan dalam sengketa
pilkada, ketika akan disengketakan di Mahkamah Konstitusi tidak bisa, karena
terhalang dengan ambang batas ini. Akibat dari pasal 158 ini, ditemukan banyak
pihak yang merasa dirugikan namun tidak bisa mengajukan permohonan apapun.
Banyak pihak yang mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi mengabaikan hingga
menyimpangi aturan Pasal 158 tersebut, karena dianggap pasal tersebut tidak logis
jika terus diterapkan dalam keadaan Indonesia ini. Tetapi, disisi lain, ambang batas
ini menjadi syarat administrative yang harus dipenuhi sebagaimana dijelaskan dalam
Putusan MK Nomor 1/PHP.BUP-XV/2017, yang menjelaskan bahwa:
1. Tidak mungkin bagi Mahkamah Konstitusi untuk memperluas
kewenangannya sehingga melampaui kewenangan yang diberikan
berdasarkan Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Sehingga para pihak yang pernah berpendapat agar, Mahkamah Konstitusi
mengabaikan ambang batas yang dinilai tidak efektif dan mengabaikan batas-
batas kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah dengan dalih
menegakkan keadilan substantif tersebut tidak dapat diteruskan.
2. Ketika Mahkamah Konstitusi mengesampingkan atau membelakangi Pasal
158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 maka hal tersebut, dinilai sama
halya dengan menentang putusan dan pendirian Mahkamah Konstitusi itu
sendiri sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 58/PUU-XIII/2015 dan permasalahan tersebut akan menjadi persoalan
serius dalam konteks akuntabilitas peradilan, karena Mahkamah Konstitusi
dapat dianggap tidak memiliki kepastian hukum yang jelas.

Sedangkan menurut para ahli, seperti ketua Komite Pemilih Indonesia (TePi),
Jeirry Sumampow “Mahkamah Konstitusi tidak boleh lembaga Kalkulator” yang
menjelaskan bahwa, seharusnya Mahkamah Konstitusi tidak memproses persoalan
hanya berdasarkan perselisihan suara saja, namun juga harus melihat sisi lain, yakni
sis penyebab adanya perselisihan persoalan suara tersebut. Pada dasarnya keadilan
substantive yang dimaksud adalah suatu keadilan yang harus diciptakan oleh hakim
dengan segala putusannya yang didasarkan dari hasil galian atas rasa keadialan yang
ada di dalam masyarakat tanpa menitikberatkan pada ketentuan bunyi undang-undang
yang berlaku.

Sehingga dalam hal ini Mahkamah Konstitusi dapat menunda keberlakuan


Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 sebagaimana dijelaskan dalam
Putusan MK Nomor 2/PHP.KOT-XVI/2018, sepanjang memenuhi kondisi yang ada
atau sesuai dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada saat itu. Terdapat
beberapa contoh, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
42/PHP.BUPXV/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PHP.BUP-
XV/2017.

Menurut Pan Mohamad Faiz, Ph.D., terdapat beberapa kriteria penyimpangan


yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan ketika Mahkamah telah
memenuhi semua kriteria ini, maka Mahkamah tidak dapat disalahkan, yaitu:

1. Jika terdapat penetapan rekapitulasi perolehan suara oleh KPU Daerah yang
berdasarkan pada rekapitulasi yang belum selesai perhitungannya dari seluruh
TPS yang ada, maka hal tersebut tidak boleh atau tidak dapat dibenarkan. Maka
dalam hal ini Mahkamah Konstitus tidak bisa hanya diam saja.
2. Jika terdapat rekomendasi dari panwaslu yang mengatakan agar melaksanakan
perhitungan suara atau pemungutan suara tidak dapat di tindaklanjuti oleh KPU
daerah dengan dasar pertimbangan yang tidak memadai. Maka dari itu,
Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat mendengarkan rekomendasi dan
menerima rekomendasi tersebut. maka mahkamah konstitusi dapat mengajukan
agar pemungutan suara diulang.
3. Jika KPU Daerah melakukan suatu tindakan subordinasi dengan mengeluarkan
keputusan atau tidak membatalkan keputusannya yang signifikan, sehingga
mempengaruhi keikutsertaan pasangan calon dalam Pemilihan kepala daerah
serta menolak mengikuti rekomendasi yang dikeluarkan oleh KPU RI dan KPU
Provinsi dan/atau Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi.
4. Jika mahkamah konstitusi menemukan bukti bahwa, awal terjadinya suatu
permasalahan tersebut sangat mendasar dan vital yang mengakibatkan ambang
batas perolehan suara tersebut memiliki potensi tidak dapat dihitung.
c. Berikan satu contoh kasus dalam Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota
Serentak Tahun 2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. apa masalah
yang disengketakan dan apa Putusan MK atas permohonan tersebut! Jelaskan
pendapat anda terhadap Putusan MK untuk kasus aquo
Saya memilih Putusan Nomor 21/PHP.KOT-XIX/2021 merupakan putusan
dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota
Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2020 yang diajukan oleh:
1. Ananda
2. Mushaffa Zakir
Yang merupakan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota dalam Pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Kota Banjarmasin Tahun 2020, Nomor Urut 4.
Permasalahan yang disengketakan adalah:
Terdapat selisih 16.826 antara Pemohon dengan Pihak yang dinyatakan
sebagai pasangan dengan perolehan suara terbanyak (Nomor Urut 02) didapatkan
dari pelanggaran berupa: penyalagunaan kewenangan dan program, penyalahgunaan
penggunaan fasilitas pemerintahan dan kecurangan yang kesemuanya memiliki
signifikansi dalam memengaruhi perolehan suara. Tidak hanya permasalahan itu saja,
tetapi juga ditemukan beberapa adanya kejanggalan, yakni adanya anak dibawah
umur menjadi pemilih, nama pemilih ganda, NIK Rekayasa dan ketidakcocokan
tanggal lahir antara yang terdapat di kolom DPT dan kolom DPT.

Penjelasannya:

- Penyalahgunaan bantuan sosial agar dapat memenangkan pasangan calon


nomor urut 2. Kecurangan dan pelanggaran atas ketentuan peraturan
perundang-undangan dilakukan secara berulang-ulang di dalam berbagai
kesempatan. Terdapat beberapa fakta unik yang dapat ditemukan yakni,
segmen sasaran yang sangat luas dan sangat beragam sehingga mencakup
berbagai lapisan dan target mencapai 65.787 orang. Tidak hanya membagi
sembako saja, tetapi secara terang-terangan juga membagikan 30.000
Sembako seluruh Kota Banjarmasin yang berisi Citra Diri dari Pasangan
Calon Incumbent Petahana, membagikan Uang Tunai sebesar Rp 250.000
yang berisi Citra Diri dari Pasangan Calon Incumbent/Petahana, dan
membagikan Bantuan Sosial di luar BDT sebanyak 41.000 Warga. Dengan
demikian terbukti secara sah melakukan pelanggaran atas Pasal 71 ayat (3)
UU Pilkada, yaitu: menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan
yang menguntungkan sehingga pelanggarnya sesuai Pasal 71 ayat (5) dapat
dikenakan sanksi, yaitu: petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan
sebagai calon oleh KPU Kota.
- Penyalahgunaan Videotron Pemerintah Kota Banjarmasin untuk
kepentingan pencitraan petahana. Pada kenyataanya dalam Videotron
memuat Gambar atau Foto Petahana Pasangan Calon Nomor Urut 2.
Pemasangan Videotron sudah memasuki dan sedang dalam masa
kampanye (tanggal 26 September 2020 s/d 5 Desember 2020). Sehingga
perilaku tersebut, melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (3) UU Pilkada. Pasal
dimaksud menyatakan sebagai berikut: “… Gubernur atau Wakil
Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota
dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah
sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum
tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan
calon terpilih …”.
- Fakta dan Indikasi Pelanggaran, Kecurangan dalam Proses pemungutan
dan penghitungan suara, termasuk mobilisasi pemilih. Bahwa kecurangan
tersebut dilakukan oleh Pihak Terkait yang “diakomodasi” dan atau
setidaknya terjadi proses pembiaran dalam hampir seluruh Proses
Pemungutan dan Penghitungan Suara. Salah satu bentuk kecurangan
tersebut berupa Mobilisasi Pemilih di seluruh TPS di Banjarmasin Selatan,
Banjarmasin Barat, Banjarmasin Utara dan Banjarmasin Timur. Selain itu,
kecurangan dapat diketahui dari tingginya angka Jumlah Pemilih dalam
Daftar Pemilih Tetap Tambahan (DPTb). Jumlah DPTb menunjukkan
jumlah ketidakwajaran mengingat sudah berlakunya KTP Elektronik dan
yang mendata Daftar Pemilih adalah Petugas Pencocokan Penelitian
(Coklit) yang berasal dari Ketua Rt/Rw.

Sehingga dalam hal ini Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan


yang diajukan oleh Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota dalam Pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Kota Banjarmasin Tahun 2020, Nomor Urut 4 ditolak
sebagian.

Dalam pokok perkara

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk Sebagian.


2. Menyatakan batal surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota
Banjarmasin Nomor 245/PL.02.6-Kpt/6371/KPU-Kot/XII/2020 tentang
Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota Kota Banjarmasin Tahun 2020, bertanggal 15 Desember
2020, sepanjang mengenai perolehan suara masing-masing pasangan calon
pada TPS-TPS di 3 (tiga) kelurahan yaitu Kelurahan Mantuil, Kelurahan
Murung Raya dan Kelurahan Basirih Selatan, Kecamatan Banjarmasin
Selatan. 3
3. Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kota Banjarmasin untuk
melaksanakan pemungutan suara ulang Pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Kota Banjarmasin Tahun 2020 di seluruh TPS di 3 (tiga) kelurahan
yaitu Kelurahan Mantuil, Kelurahan Murung Raya, dan Kelurahan Basirih
Selatan, Kecamatan Banjarmasin Selatan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak diucapkannya Putusan Mahkamah ini, yang
selanjutnya hasil dari pelaksanaan pemungutan suara ulang tersebut
ditetapkan setelah digabungkan dengan perolehan suara yang tidak
dibatalkan berdasarkan surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota
Banjarmasin Nomor 245/PL.02.6-Kpt/6371/KPU-Kot/XII/2020 tentang
Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota Kota Banjarmasin Tahun 2020, bertanggal 15 Desember
2020, selanjutnya diumumkan oleh Termohon tanpa harus melaporkan pada
Mahkamah.
4. Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kota Banjarmasin untuk
mengangkat Ketua dan Anggota KPPS serta Ketua dan Anggota PPK yang
baru (bukan yang sebelumnya) di 3 (tiga) kelurahan yaitu Kelurahan Mantuil,
Kelurahan Murung Raya dan Kelurahan Basirih Selatan, Kecamatan
Banjarmasin Selatan.
5. Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum RI dan Komisi Pemilihan Umum
Provinsi Kalimantan Selatan untuk melakukan supervisi dan koordinasi
dengan Komisi Pemilihan Umum Kota Banjarmasin dalam rangka
pelaksanaan amar putusan ini;
6. Memerintahkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum RI dan Badan
Pengawas Pemilu Provinsi Kalimantan Selatan untuk melakukan supervisi
dan koordinasi dengan Bawaslu Kota Banjarmasin dalam rangka pelaksanaan
amar putusan ini;
7. Memerintahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta
jajarannya, khususnya Kepolisian Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan
Kepolisian Resor Kota Banjarmasin beserta jajarannya, untuk melakukan
pengamanan proses Pemungutan Suara Ulang dalam Pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota Kota Banjarmasin sesuai dengan kewenangannya.
8. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya

Anda mungkin juga menyukai