Anda di halaman 1dari 5

A.

Prosedur Pembubaran Partai Politik


Tujuan utama dari peradilan adalah menemukan keadilan. Untuk itu, dibutuhkan
suatu prosedur guna membantu hakim dan menyediakannya untuknya sarana untuk
mengerjakan tugas yudisial, maka hakim MK juga mempunyai prosedur tersendiri
dalam proses peradilannya, sebagaimana berikut ini.

1. Pengajuan Permohonan Pembubaran Partai Politik


Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan permohonan, sebagaimana
dalam Pasal 29-31 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, adalah sebagai berikut:
1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau
kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi.
2. Permohonan ditandatangani oleh pemohon/kuasanya dalam rangkap 12, yaitu
masing-masing 9 buah untuk Hakim Mahkamah Konstitusi, 1 buah untuk
Sekretaris Jenderal, 1 buah untuk Mahkamah Agung, dan satu buah untuk
Presiden.
3. Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai jenis perkara yang
sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang saat ini diperkarakan
adalah mengenai pembubaran partai politik.
4. Sistematika permohonan pada prinsipnya harus memuat tiga pokok, yaitu:
a. Identitas dan legal standing, yaitu nama dan alamat pemohon.
b. Posita, yaitu uraian mengenai hal-hal yang menjadi dasar dan alasan
pemohon.
c. Petitum atau tuntutan, yaitu hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
5. Permohonan harus disertai alat bukti yang mendukung.
Pihak-pihak yang hak atau kewenangan konstitusonalnya dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang dapat mengajukan permohonan kepada MK agar dapat
diselesaikan permasalahannya. Pihak yang mengajukan permohonan ini disebut pihak
pemohon sedangkan pihak lawannya disebut pihak termohon. Untuk perkara
pembubaran partai politik sebagai pihak pemohon adalah Pemerintah, sebagaimana
dalam Pasal 68 ayat (1) UUMK jo Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi
No.12 Tahun 2008.
Selanjutnya terkait dengan pendaftaran permohonan telah diatur dalam Pasal 32
sampai Pasal 33 UUMK. Selanjutnya dalam Pasal 35 ayat (1) UUMK dijelaskan
bahwa pemohon dapat menarik permohonanya kembali sebelum atau selama
pemeriksaan MK dilakukan. Penarikan kembali tersebut mengakibatkan permohonan
tidak dapat diajukan kembali.
Untuk masalah permohonan pembubaran partai politik telah diatur dalam Pasal 68
sampai Pasal 70 UUMK. Untuk pihak pemohon harus memenuhi syarat-syarat
berikut:
1. Pemohon adalah Pemerintah.
2. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan,
yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Setelah permohonan diajukan dan didaftarkan di Kepaniteraan MK, maka
selanjutnya akan ditentukan hari persidangan yang pertama. Penjadwalan sidang
diatur dalam pasal 34 sampai pasal 35 UUMK. MK menentukan hari sidang pertama,
setelah permohonan dicatat dalam buku register perkara konstitusi (BRPK) dalam
jangka waktu paling lambat 14 hari kerja.
Penentuan sidang hari pertama diberitahukan kepada para pihak yang berpekara
dan diumumkan kepada masyarakat. Pengumuman dilakukan melalui papan
pengumuman resmi didepan kantor MK.

2. Alat Bukti sebagai Dasar Pembubaran Partai Politik


Mengenai pembuktian, dilingkungan MK diatur dalam Pasal 36-38 UUMK.
Dalam Pasal 36 ayat (1) disebutkan bahwa ada enam macam alat bukti yang dapat
dipergunakan, yaitu:
1. Surat atau tulisan;
2. Keterangan saksi;
3. Keterangan ahli;
4. Keterangan para pihak;
5. Petunjuk; dan
6. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Alat bukti yang dipergunakan haruslah alat bukti yang sah, yang perolehannya
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, bila tidak maka tidak dapat dijadikan
alat bukti yang sah. Tujuaan pembuktian adalah mencari atau menemukan kebenaran
peristiwa yang digunakan dasar putusan hakim yang mempunyai akibat hukum.

3. Pemeriksaan Perkara
Tahap pertama pemeriksaan, adalah pemeriksaaan administrasi. Administrasi
perkara diurus dan dikelola oleh petugas tersendiri dibawah koordinasi Panitera dan
Sekretaris Jenderal. Sejak perkara diregistrasi sampai perkara tersebut diputus final
dan diumumkan dalam berita negara, segala berkas perkara yang bersangkutan berada
dalam lingkup tanggungjawab Panitera atau Panitera Pengganti yang menangani
administrasi perkara yang bersangkutan. Koordinasi mengenai hal ini berada dalam
lingkup Panitera sebagai pejabat administrasi perkara yang paling tinggi.
Tahap kedua adalah pemeriksaan pendahuluan. Hal ini diatur dalam Pasal 39
UUMK, yang menyatakan bahwa:
1. Sebelum melakukan pemeriksaan pokok perkara, MK mengadakan pemeriksaan
kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
2. Dalam pemeriksaan yang diatur dalam ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib
memberi nasehat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari.
Dalam pemeriksaan pendahuluan walaupun pemohon diminta melengkapi dan/atau
memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari, tetapi dalam
ketentuan ini tidak diatur sanksi terhadap pemohon apabila tidak memenuhinya.
Tahap ketiga adalah pemeriksaan persidangan. Pemeriksaan persidangan MK
terbuka untuk umum kecuali untuk rapat permusyawaratan hakim. Pemeriksaan
persidangan ini diatur dalam pasal 40 sampai Pasal 44 ayat (2) UUMK. Pemeriksaan
persidangan ini dapat dilakukan melalui sidang panel pemeriksaan yang terdiri atas
sekurang-kurangnya 3 orang hakim konstitusi atau melalui sidang pleno yang
sekurang-kurangnya terdiri atas 7 orang hakim konstitusi.
Terdapat dua sidang pemeriksaan, yaitu:
1. Sidang panel pemeriksaan
Sebelum sidang pleno, MK dapat membentuk panel hakim yang anggotanya
terdiri atas sekurang-kurangnya tiga orang hakim konstitusi untuk memeriksa
berkas perkara yang hasilnya akan dibahas dalam sidang pleno (rapat
permusyawaratan hakim) untuk diambil putusan sebagai kelanjutan sebagai
pemeriksaan berkas.
2. Sidang pleno pemeriksaan
Sidang pleno MK adalah persidangan yang dihadiri oleh 9, 8, atau sekurang-
kurangnya 7 orang hakim konstitusi untuk mengadakan pemeriksaan
persidangan dan/atau pembacaan putusan yang bersifat final dan mengikat
untuk umum. Dalam persidangan hakim konstitusi memeriksa permohonan
beserta alat bukti yang diajukan, memanggil para pihak yang berpekara untuk
memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara
tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan. Dalam sidang
pleno pemeriksaan persidangan, para pihak yang telah dipanggil menempati
tempat duduk yang telah disediakan masing-masing. (i) pemohon dan kuasanya
di sebelah kanan meja hakim, (ii) Pihak pemerintah dan DPR berada di sebelah
kiri meja hakim, (iii) Pihak terkait berada di tengah persis berhadapan dengan
meja hakim.

4. Rapat Permusyawaratan Hakim


Rapat permusyawaratan hakim (RPH) adalah rapat pleno hakim yang
diselenggarakan secara tertutup untuk membahas putusan atas perkara yang telah
diperiksa melalui persidangan yang bersifat terbuka untuk umum. Dalam pasal 40
ayat (1) UUMK menyatakan bahwa:“Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.”Rapat permusyawaratan hakim yang
bersifat tertutup itu berarti semua informasi mengenai pembahasan perkara tersebut
bersifat rahasia dan tidak boleh dibocorkan kepada siapapun.
Dalam Pasal 45 ayat (4) sampai (8) dijelaskan bahwa rapat permusyawaratan
hakim dipimpin oleh ketua sidang dan setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan. Apabila dalam satu kali
rapat permusyawaratan hakim tidak langsung mendapatkan putusan, maka rapat
permusyawaratan hakim ditunda sampai rapat permusyawaratan hakim berikutnya.
Namun, apabila rapat permusyawaratan yang telah dilakukan dengan sungguh-
sungguh tidak mencapai mufakat bulat maka putusannya diambil dengan suara
terbanyak. Dan apabila dalam putusan dengan suara terbanyak juga tidak dapat
dicapai, misalnya hakim yang hadir hanya 8 orang maka suara terakhir dari ketua
rapat permusyawaratan hakim yang menentukan.
Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat secara bulat, maka pendapat anggota
Majelis Hakim yang berbeda itu dimuat dalam putusan (Pasal 45 ayat 10 UUMK).

Putusan dan Pembacaan Putusan


Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008, dijelaskan dalam :
Pasal 9
1) Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim diucapkan
dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.
2) Putusan Mahkamah tentang permohonan pembubaran partai politik dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja setelah
permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
3) Amar putusan Mahkamah dapat menyatakan:
a. permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) apabila tidak
memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 dan Pasal 4;
b. permohonan dikabulkan apabila permohonan beralasan;
c. permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.
Pasal 10
1) Dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan:
a. mengabulkan permohonan pemohon;
b. menyatakan membubarkan dan membatalkan status badan hukum partai
politik yang dimohonkan pembubaran;
c. memerintahkan kepada Pemerintah untuk:
1. menghapuskan partai politik yang dibubarkan dari daftar pada Pemerintah
paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan
Mahkamah diterima;
2. mengumumkan putusan Mahkamah dalam Berita Negara Republik
Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.
Dalam Pasal 45 ayat 2 UUMK, dijelaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya2 (dua)
alat bukti. Artinya permohonan tidak dapat dikabulkan hanya dengan satu alat bukti
saja.

Pelaksanaan putusan
Pemeriksaan perkara memang diakhiri dengan putusan. Akan tetapi, dengan
dijatuhkannya putusan saja tidak berarti persoalan tersebut sudah selesai. Suatu
putusan tidak mempunyai arti apabila tidak dilaksanakan hal ini disebabkan oleh
karena hak-hak pihak pemohon belum dapat dipulihkan secara nyata sebagaimana
yang diharapkan.
Dalam Pasal 71 UUMK dijelaskan bahwa putusan MK mengenai permohonan atas
pembubaran partai politik wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 60 hari
kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pelaksanaan putusan dalam pembubaran partai politik diatur pada Pasal 73 UUMK
yang menyatakan bahwa:
1. Pelaksanaan putusan pembubaran partai politik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 71, dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada pemerintah.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diumumkan oleh pemerintah dalam berita negara Republik Indonesia dalam
jangka waktu paling lambat 14 hari sejak putusan diterima.

Anda mungkin juga menyukai