Anda di halaman 1dari 4

HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARPOL

>(Pasal 1 Angka 1 UU No. 2/2011) Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok
WNI secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan mewakili kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan
UUDNRI Tahun 1945.

>P.41 UU No. 2/2008 tentang PARPOL Bab XVII Pembubaran Dan Penggabungan Parpol: Parpol bubar apabila
membubarkan diri atas keputusan sendiri; menggabungkan diri dengan parpol lain; atau dibubarkan oleh MK.

>PEMOHON: Pemerintah, dapat diwakili oleh Jaksa Agung atau Menteri yang ditunjuk Presiden (PMK 12/2008).

>ISI PERMOHONAN: identitas lengkap pemohon; uraian yang jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan
partai politik yang dimohonkan pembubaran yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945; alat-alat bukti yang
mendukung permohonan.

>TERMOHON: Partai Politik yang akan dibubarkan.

>MK menyampaikan permohonan kepada Termohon dalam jangka waktu 7 hari sejak registrasi permohonan.

> ALASAN PEMBUBARAN PARPOL (P.68 Ayat (2) UU MK) karna Ideologi, asas, tujuan, program, dan/atau kegiatannya
bertentangan dengan UUD 1945.

> PROSES SIDANG:

- -Harus Diputus dalam waktu 60 hari kerja;


- -Tahapan: Pemeriksaan Administrasi oleh Panitera; Pemeriksaan Pendahuluan oleh Majelis Hakim Konstitusi;
Pemeriksaan Persidangan, sidang panel atau pleno; Rapat Permusyawaratan Hakim; Putusan.
- -Pembuktian: Dokumen; Fakta.

> AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARPOL: (P.10 ayat (2) PMK No. 12/2008)

- -pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol2 partai tersebut di seluruh Indonesia;
- -pemberhentian seluruh anggota DPR dan DPRD yang berasal dari parpol yang dibubarkan;
- -pelarangan terhadap mantan pengurus parpol yang dibubarkan untuk melakukan kegiatan politik;
- -pengambilalihan oleh negara atas kekayaan parpol yang dibubarkan.

PERSELISIHAN HASIL PEMILU (PHPU)

> (PHPU): PHPU berdasarkan ketentuan dalam UUMK meliputi, Perselisihan hasil pemilu legislatif dan Presiden dan Wakil
Presiden. Berdasarkan UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu ditegaskan bahwa Pemilukada merupakan rezim
pemilu maka penyelesaian sengketa pemilu diberikan langsung kepada MK.

>Berdasarkan P.3 PMK No. 16/PMK/2009 ditentukan bahwa yang dapat menjadi pemohon mengajukan sengketa di MK
adalah: Perorangan WNI calon anggota DPD berserta pemilu; Pasangan capres dan wapres peserta pemilu; Parpol peserta
pemilu.

>Parpol yang mengajukan permohonan dalam perselisihan hasil pemilu DPR/DPRD haruslah pengurus pusat partai yang
bersangkutan sebagai badan hukum.
>Selanjutnya sebagai pihak termohon, adalah KPU nasional karena terdapat P.74 ayat 2 UU MK yang menjadi materi
permohonan adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan KPU secara nasional.

>Perselisihan hasil pemilu hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 jam terhitung sejak KPU
mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional.

>Materi permohonan tersebut harus diuraikan dengan jelas dan rinci terkait dengan: Kesalahan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan Permintaan untuk membatalkan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar
menurut pemohon.

DUGAAN PELANGGARAN UUD OLEH PRESIDEN/WAPRES

>Materi objek perselisihan yang bisa dipermohonkan adalah pendapat DPR (pemohon) bahwa presiden/wakil
(termohon) telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhiatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, atau pendapat bahwa presiden dan/atau wapres tidak lagi memenuhi syarat
sebagai presiden dan/atau wapres (P. 80 ayat (1) dan (2) UU MK), maka DPR dapat mengajukan usul pemberhentian
presiden dan/atau wapres kepada MPR.

>Usul ini dapat diajukan kepada MPR setelah terlebih dahulu DPR mengajukan permohonan kepada MK untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat itu dan tentunya setelah MK menyatukan putusan.

>Aturan-aturan khusus MK antara lain memutus pengujianUU terhadap UUD 1945, adalah menguji konstitsonalitas suatu
uu; memutus sengketa lembaga negara adalah memutus kewenangan lembaga negara yang dipersengketakan
konstitusionalnya; memutus pembubaran parpol adalah memutus konstitusionalitas partai politik; demikian pula halnya
dengan memutus pendapat DPR terhadap pemberhentian Presiden/wapres, juga dalam memutus perselisihan
hasil pemilihan umum.

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945:

>Hukum acara khusus yang mengatur prosedur dan hal2 lain terkait dengan pengujian UU di dalam UU MK meliputi hal2:

1. UU yang dapat dimohonkan pengujian;


2. pihak yang dapat bertindak dalam permohonan pengujian UU;
3. bentuk pengujian UU;
4. kewajiban MK menyampaikan salinan permohonan kepada institusi/lembaga negara tertentu (terutama lembaga
negara pembentuk UU);
5. hak MK meminta keterangan terhadap lembaga negara terkait dengan permohonan;
6. materi putusan,
7. akibat putusan pengujian UU dan kewajiban MK setelah putusan.

>Pihak yang Dapat Bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan Pengujian UU (P. 51 UU MK) yaitu pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU.

>pengujian UU itu meliputi pengujian formil dan pengujian materiil. Permohonan pengujian formil dimaksudkan sbg
bentuk pengujian berkenaan dengan pembentukan UU yang dianggap tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.
Mengenai hal ini PMK merinci tentang apa yang dimaksud dengan pembentukan itu, yakni meliputi pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan pemberlakuan.

>Pembentukan UU dilakukan oleh legislator dalam hal ini adalah DPR dan Presiden. Untuk UU tertentu, misalnya yang
terkait dengan urusan daerah melibatkan pula DPD, dan juga institusi atau lembaga pemerintahan yang lain. Untuk itu MK
berhak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada
MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden serta lembaga terkait lainnya.

HUKUM ACARA SKLN

> Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) adalah sengketa yang terjadi antara lembaga negara mengenai
kewenangan konstitusional yakni kewenangan yang diatur oleh UUD Tahun 1945.

> Pemohon dan Alasan SKLN:

>Pemohon:

- Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap
kewenangan yang dipersengketakan (Pasal 61 ayat (1) UU MK);
- Berpihak sebagai Pemohon maupun Termohon;
- DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK, Pemda dan Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan UUD (Pasal 2 PMK
No. 8 Tahun 2006);
- MA dan MK tidak dapat menjadi pihak, baik Pemohon maupun Termohon (Pasal 65 UU MK).

>Alasan: Adanya kewenangannya yg diberikan UUD diabaikan oleh Lembaga negara lain; atau Dilakukan oleh lembaga
negara lain yang tidak berwenang.

> LEGAL STANDING PEMOHON SKLN: (Pasal 2 PMK 08/2006)

1) Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara adalah: (DPR); (DPD); (MPR); Presiden; (BPK); (Pemda); atau Lembaga negara lain
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
2) Kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan yang diberikan
atau ditentukan oleh UUD 1945.

> PELAKSANAAN SIDANG SKLN:

- Sidang Pendahuluan: dilakukan dalam sidang Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang
Hakim atau oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang Hakim untuk memeriksa
kelengkapan permohonan, kelengkapan bukti, meminta penjelasan materi permohonan, dan memberikan nasihat
perbaikan. Perbaikan permohonan diberi waktu 14 hari.
- Pemeriksaan Persidangan dilakukan oleh Pleno Hakim yg sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang Hakim
atau Panel 3 (tiga) orang Hakim berdasarkan keputusan RPH.
- Pemeriksaan persidangan dilakukan untuk mendengarkan materi permohonan, tanggapan termohon, tanggapan
pihak terkait bila ada, mendengarkan saksi/ ahli dan memeriksa dan mengesahkan bukti tambahan.

> PUTUSAN AKHIR SKLN:


1) TIDAK DITERIMA: Dalam hal tidak dipenuhi syarat2 permohonan dan kedudukan hukum (legal standing). ctt: Dlm
hal MK tidak mempunyai kewenangan terhadap perkara yang diajukan putusan menyatakan TIDAK DAPAT
DITERIMA.
2) DIKABULKAN: Dalam hal alasan permohonan terbukti secara sah dan meyakinkan hakim.
3) DITOLAK: Dalam hal alasan permohonan tidak terbukti secara sah.

>Syarat lembaga negara yang dapat bersengketa di MK: Subjectum litis, yaitu lembaga negara yang menjadi pemohon
harus disebutkan, baik secara eksplisit maupun implisit dalam UUD 1945. Objectum litis, yaitu kewenangan lembaga
negara pemohon harus merupakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945.

>Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK No. 08/PMK/2006, lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau
termohon di MK adalah (DPR), (DPD), (MPR), Presiden, (BPK), (Pemda), atau lembaga negara lainnya yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai