Anda di halaman 1dari 13

1

A. OBJEK DAN SUBJEK PERKARA

1. Objek Perkara

Objek perkara yang dimaksud di sini adalah terkait perkara apa yang
dimohonkan oleh pihak Pemohon ke Mahkamah Konstitusi. Objek perkara
konstitusi yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat
(1) dan ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik;dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pada contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012


tersebut terlihat jelas bahwasanya objek dari perkara yang dimohonkan ke
Mahkamah Konstitusi tersebut adalah terkait pengujian Undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, khususnya rumusan Pasal 310 undang-undang tersebut, yaitu berbunyi:

(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena


kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan
kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat
(2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000,00- (Satu Juta Rupiah)
(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka
2

ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
2.000.000,00- (Dua Juta Rupiah)
(3) Setiap orang yang mengendarai kendaraan bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka
berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 10.000.000,00- (Sepuluh Juta Rupiah)
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp. 12.000.000,00-
(Dua Belas Juta Rupiah)

2. Subjek Hukum ( Para Pihak )

Pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi tentu ada para pihak atau


subjek hukum yang mengajukan permohonan perkara tersebut. Para pihak
dalam perkara di Mahkamah Konstitusi tersebut tidak mengenal yang namanya
Penggugat dan Tergugat, akan tetapi memakai istilah pihak Pemohon sebagai
pihak yang mutlak harus ada dan jelas tercantumkan di dalam suatu surat
permohonan, kemudian adanya pihak Termohon atau Pihak Terkait.

Syarat-syarat dari para pihak yang dapat dikatakan sebagai Pemohon


dalam pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi adalah tergantung pada 4
(empat) bentuk permohonan perkara (objek perkara) yang dapat diajukan ke
Mahkamah Konstitusi itu sendiri, dimana masing-masing tersebut telah diatur
di dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi, diantaranya :
3

a. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945. Merupakan pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang.
b. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar.Merupakan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan
c. Pembubaran partai politik. Pemohon adalah Pemerintah.
d. Perselisihan hasil pemilihan umum. Merupakan perorangan warga negara
Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan
umum. Merupakan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan Merupakan partai
politik peserta pemilihan umum.

Pada contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012


terkait pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pihak yang berperkara adalah :

1) Pemohon

Nama : Saipul Jamil


Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jalan Gading Indah Utara VI Nomor 05 Blok NH 10


RT/RW 025/012, Kelurahan Pegangsaan Dua,
Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Pekerjaan : Swasta
4

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 28 Mei 2012 dan 19 Juni


2012 memberi kuasa kepada 1) R.M Tito Hananta Kusuma,SH,.MH., 2) Andi
Faisal, SH,.MH., 3) Teguh Prasetyo,SH., 4) Roland Hutabarat,SH, 5) Arvid
Martdwisaktyo,SH., 6) Rioberto P Sidauruk,SH., 7) Ihwansyah A Udaya,SH.,
8) Santoso SH, Advokat/Pengacara yang tergabung dalam Lembaga Bantuan
Hukum “Tito Hananta Kususma & Co”Termohon atau Pihak Terkait

Secara Eksplisit yang disebut dengan pihak Termohon hanyalah untuk


sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, sedangkan untuk
pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilu, dan impeachment adanya
pihak Termohon bersifat implisit, dan bahkan untuk pengujian
konstitusionalitas undang-undang tidak ada pihak Termohon, DPR dan
Pemerintah (Presiden) hanya pemberi keterangan sebagai pembentuk undang-
undang (Abdul Mukthie Fadjar, 2006: 131).

Berdasarkan hal di atas, maka perkara dalam contoh Putusan


Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tersebut tidak ada yang namanya Pihak Termohon, akan tetapi dalam perkara
tersebut Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanyalah sebagai
pemberi keterangan atas dasar permintaan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 UU Mahkamah Konstitusi,
bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat
yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau
Presiden”.

Hal demikian berlaku karena berkaitan erat dengan amanat konstitusi


yang menyebutkan bahwa Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat dapat
5

membentuk Undang-undang, sehingga beralasanlah kalau Mahkamah


Konstitusi meminta keterangan dan/atau risalah rapat terkait pembentukan UU
yang merupakan permohonan yang sedang diperiksa.

B. KEDUDUKAN PERKARA

1. Pokok Permohonan ( Posita)

Di dalam permohonan perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-


X/2012 yang diajukan oleh Saipul Jamil beserta kuasanya yang dalam hal ini
bertindak sebagai Pemohon, yang menjadi pokok-pokok permohonannya
(Posita) adalah:

a. Bahwa Pasal 310 Undang-Undang a quo (Undang-undang Nomor 22


Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) tidak memberikan
penjelasan secara khusus mengenai frasa “kelalaiannya” dan “orang lain”
sehingga tidak memberikan kepastian hukum, terdapat potensi
ketidakadilan terhadap diri Pemohon yang bertentangan dengan hak
konstitusional Pemohon sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-
undang a quo sehingga merugikan Pemohon incasu melanggar Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “ Setiap orang berhak atas pengakuan ,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum” juncto Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang
berbunyi “ Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
b. Bahwa Pasal 310 Undang-Undang a quo sepanjang frasa “kelalaiannya”
dan “orang lain” yang sudah diatur dalam Pasal 359 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang pada intinya mengatur tentang kelalaian yang
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Bahwa dalam Pasal 310
6

Undang-Undang a quo juga mengatur rumusan perbuatan dan akibat yang


sama tetapi ancaman hukumannya lebih berat yaitu 6 (enam) tahun penjara,
sehingga dapat dikatakan Pasal 310 Undang-Undang a quo merupakan
aturan yang lebih khusus (lex specialis) dari Pasal 359 KUHP sebagai
aturan yang lebih umum (lex generalis).
Dengan demikian, kalaulah ada aturan yang lebih khusus (lex
specialis) in casu Pasal 310 Undang-Undang a quo. Menurut hemat
Pemohon haruslah ada kondisi yang lebih khusus lagi dalam hal yang
bagaimana frasa “kelalaiannya” tersebut didefenisikan dalam Pasal 310
Undang-Undang a quo. Oleh karenanya Pemohon dalam permohonannya
memohon agar frasa “kelalaiannya” didefenisikan lebih khusus
lagi,misalnya :

“Yang dimaksud dengan “kelalaiannya” adalah


dalam hal seseorang keadaan seseorang yang menkonsumsi zat-zat adiktif,
minuman beralkohol, Narkotika (baik berupa tanaman maupun bukan
tanaman) yang mengakibatkan hilang atau berkurangnya kesadaran dan
melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak wajar dalam berkendara”.

c. Bahwa sebagai akibat tidak adanya penafsiran dalam Pasal 310 Undang-
Undang a quo, sepanjang frasa “kelalaiannya” dan “orang lain” maka pasal
tersebut dapat menimbulkan kerugian ketidakpastian hukum dan dapat
melanggar hak konstitusional Pemohon.

2. Petitum

Berdasarkan dalil-dalil yang tercantum dalam pokok permohonan di


atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk :
7

a. Memberikan penafsiran yang lebih khusus atas Pasal 310 Undang-Undang


Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sepanjang
frasa “kelalaiannya” dan “orang lain”.
b. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia. Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan
seadil-adilnya (ex aequo et bono).

C. PANDANGAN AHLI

Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi


menyebutkan bahwa dapat dilakukannya Pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah jika
Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya undang-undang, dimana lebih lanjut diatur dalam beberapa
Putusan Mahkamah Konstitusi bahwa kerugian konstitusional tersebut harus
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi serta harus adanya
hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-
undang yang dimohonkan pengujiannya.

Hal demikian sejalan dengan yang dipaparkan oleh Dr. Moh.Mahfud


MD, di dalam bukunya “Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia” yang
menyebutkan diantara syarat-syarat (ciri-ciri) pemerintahan yang demokratis di
bawah Rule Of Law adalah adanya perlindungan konstitusional, dan Badan
Kehakiman yang bebas dan tidak memihak.

Perlindungan konstitusional yang dipaparkan tersebut mengandung arti


bahwasanya suatu negara yang dalam hal ini dijalankan oleh pemerintah selain
menjamin hak-hak individu konstitusi juga harus menentukan cara prosedural
untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin tersebut.
8

Gustav Rabruch dalam Fery Amsary, “ Terdapat tiga nilai yang harus
selalu diperhatikan dalam menegakkan hukum, yaitu; Kepastian hukum,
kemanfaatan, dan keadilan”. Pendapat Gustav Rabruch tentu akan dapat
dijadikan salah satu pedoman bagi Majelis Hakim dalam memutuskan suatu
perkara disamping adanya pedoman-pedoman lainnya.

D. ANALISIS

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 setelah perubahan,


Mahkamah Konstitusi adalah salah satu kekuasaan kehakiman yang ada di
Indonesia, merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang memutus perkara
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, artinya
tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan dan karenanya Putusan tersebut
akan mengikat para pihak secara umum dimana para pihak tersebut harus tunduk
dan taat melaksanakan putusan tersebut.

Oleh karena putusan bersifat final tersebut, maka jelaslah bahwasanya


Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan dengan sebaik-
baiknya segala hal menyangkut perkara yang diajukan oleh Pemohon sebagai salah
satu bentuk usaha untuk tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita-cita
negara hukum dan demokrasi.

Secara keseluruhan jika kita sudah berada pada penganalisaan suatu


Putusan Mahkamah Konstitusi maka secara tidak langsung hal tersebut telah
menunjukkan bahwa prosedur sebelum perkara dapat diadili di Mahkamah
Konstitusi sudah terpenuhi dan telah melalui tahap-tahap atau proses pemeriksaan
di persidangan Mahkamah Konstitusi, seperti syarat-syarat dari pengajuan suatu
permohonan perkara yang didaftarkan , baik itu syarat-syarat yang melekat pada
9

diri para pihak maupun pada objek yang dimohonkan , sebagaimana yang telah
diuraikan sebelumnya.

Maka untuk selanjutnya Penulis akan mencoba menjelaskan dan


menguraikan satu per satu dari hal-hal yang perlu untuk disoroti lebih jauh lagi
terkait penganalisaan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

1. Isi / Bagian Putusan

Secara umum yang menjadi Isi atau Bagian dari suatu Putusan
Mahkamah Konstitusi adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat
(2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi :

a. Kepala Putusan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. Identitas para pihak;
c. Ringkasan permohonan;
d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar Putusan;
f. Amar putusan;
g. Hari, tanggal putusan, nama Hakim Konstitusi, dan Panitera.

Menurut hemat Penulis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


57/PUU-X/2012 terkait pengujian UU Nomor 22 Tahun 2009 terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara
keseluruhan sudah memenuhi syarat dari Isi atau Bagian-bagian yang harus
termuat dalam suatu Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 48 UU MK tersebut di atas.
10

2. Kompetensi Mengadili

Perkara yang diajukan oleh Pihak Pemohon Saipul Jamil ke


Mahkamah Konstitusi, jika mengacu kepada ketentuan Pasal 10 UU MK,
maka perkara yang diajukan tersebut adalah termasuk kedalam salah satu dari
wewenang Mahkamah Konstitusi, yaitu menguji Undang-Undang terhadap
UUD 1945. Akan tetapi hal tersebut belumlah serta merta menunjukkan
kewenangan Mahkamah Konstitusi, karena selain dari pada itu yang perlu
diperhatikan dalam pengujian UU terhadap UUD 1945, juga harus
memperhatikan ketentuan Pasal 50 UU MK bahwa “ Undang-undang yang
dapat dimohonkan untuk diuji adalah Undang-undang yang diundangkan
setelah perubahan UUD 1945”.

Jika dilihat dan dibandingkan antara tahun perubahan terakhir UUD


1945 dengan tahun diundangkannya Undang-undang yang diajukan untuk di
uji di Mahkamah Konstitusi yaitu UU Nomor 22 Tahun 2009, maka UU yang
diujikan oleh Pemohon Saipul Jamil ke MK sudah memenuhi ketentuan dari
Pasal 50 UU MK tersebut, karena UU tersebut dibuat dan disahkan setelah
terjadinya perubahan UUD 1945.

3. Kedudukan Hukum (Legal Standing)

Ketentuan Pasal 51 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemohon yang


dapat mengajukan permohonan perkara pengujian UU terhadap UUD 1945
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-undang.

Dalam hal ini yang dikatakan hak dan kewenangan konstitusinya


dirugikan oleh Undang-undang adalah sebagaimana yang diatur lebih lanjut
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/25 tanggal 31 Mei
2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor II/PUU-V/2007 tanggal 20
September 2007 adalah bahwasanya kerugian konstitusional tersebut harus
11

bersifat spesifik (khusus) dan actual atau setidak-tidaknya potensial yang


menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

Dalam contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-


X/2012 dimana Saipul Jamil sebagai Pihak Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan perkaranya ke Peradilan
Mahkamah Konstitusi.

4. Pertimbangan Hukum

Secara garis besar pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi


terhadap pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
57/PUU-X/2012 terkait pengujian Undang-undang Nomor 22 tahun 2009
terhadap UUD 1945 tersebut Penulis sependapat dengan dengan
pertimbangan tersebut.

Namun, disamping itu masih ada pendapat Majelis Hakim dalam


pertimbangan hukum terhadap perkara tersebut yang menurut Penulis masih
kurang tepat, ialah yang mana salah satu pertimbangan hukum Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi terkait frasa ” kelalaiannya” yang diartikan
bahwasanya dalam Pasal 28 G Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tidak melarang Negara melalui Undang-undang
menjatuhkan pidana terhadap orang yang nyata-nyata lalai.

Akibat pertimbangan Majelis Hakim tersebut, Pemohon tetap


merupakan Subjek hukum yang termasuk kedalam kategori “lalai”, yaitu lalai
dalam mengendarai kendaraannya yang mengakibatkan meninggalnya istri
Pemohon sendiri, yang menjerat pemohon dalam kasus pidana, yang
merupakan perkara yang terpisah dengan permohonan perkara pemohon di
Mahkamah Konstitusi.
12

seharusnya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi harus memberikan


penafsiran yang jelas atas frasa “kelalaian” dalam Pasal 310 UU Lalu Lintas
ssebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon dalam pengajuan perkara di
MK tersebut.

Karena beranggapan bahwa harus adanya kejelasan-kejelasan sebab-


sebab “kelalaian” yaitu disamping kelalaian mengakibatkan dapat
dipidananya seseorang, akan tetapi juga harus adanya suatu pertimbangan
“pemaafan” dalam hal kelalaian tersebut, dan dalam hal ini meninggalnya
seseorang dalam kecelakaan lalu lintas yang dimana pengendaranya sendiri
memiliki hubungan keluarga dengannya. Seharusnya untuk hal tersebut
Majelis Hakim memberikan penafsiran suatu perbuatan yang diluar kehendak
orang yang bersangkutan.

Oleh karena itu frasa “kelalaiannya” tersebut tidak tepat jika ditujukan
untuk kasus yang menimpanya (Saipul Jamil) tersebut.

5. Amar Putusan

Setelah semua pemeriksaan di persidangan dilakukan, selanjutnya


adalah tahap penjatuhan putusan akhir. Amar putusan adalah apa yang
diputuskan secara final oleh Mahkamah Konstitusi.

Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah


dilakukannya pemeriksaan perkara di persidangan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 56 Undang-undang Mahkamah Konstitusi, bentuk-bentuk
Putusan Mahkamah Konstitusi dapat berupa :

a. Menyatakan permohonan tidak dapat diterima,jika dalam hal


Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU
MK.
13

b. Menyatakan permohonan dikabulkan, jika dalam hal Mahkamah


Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan.
c. Menyatakan permohonan dikabulkan, jika dalam hal pembentukan
Undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan
Undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
d. Menyatakan permohonan ditolak, jika dalam hal undang-undang
dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun
materinya sebagaian atau keseluruhan.

Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 yang


menjadi Amar Putusan/Putusan akhir Majelis Hakim terhadap perkara yang
diajukan Pemohon sebagaimana yang telah diputuskan dalam Rapat
Permusyawaratan Majelis Hakim tanggal 8 Agustus 2012, yaitu mengadili
“MENYATAKAN MENOLAK PERMOHONAN UNTUK
SELURUHNYA”

Dengan dinyatakannya permohonan Pemohon ditolak untuk


seluruhnya, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan yang diperkarakan oleh Pemohon akan tetap berlaku,
dimana dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwasanya
Undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana tidak bertentangan dengan
Pasal 28 D dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 sebagaimana yang dijadikan
acuan oleh Pemohon dalam mengajukan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi.

Anda mungkin juga menyukai