Anda di halaman 1dari 7

UJIAN AKHIR SEMESTER

NOMOR 1
1. Menurut saya, terminologi “sumber hukum” sendiri dimaknai sebagai sumber dari suatu
hukum. Hal tersebut meliputi nilai-nilai, kaidah, ataupun norma hukum. Sementara
Pancasila merupakan refleksi dari seluruh nilai yang hidup, tumbuh, dan berkembang
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pancasila yang menjadi dasar
filsafat negara dan filsafat hidup bangsa Indonesia mengandung nilai-nilai yang bersifat
sistematis, fundamental, dan menyeluruh. Karena itu, “Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum” merupakan norma yang fundamental sebagai dasar dari
terbentuknya konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.Sebagai konsekuensi dari
hal tersebut, seluruh nilai Pancasila haruslah tercermin dan menjadi ruh dalam
seluruh isi hukum atau Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Atau dengan
kata lain, seluruh konstitusi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia
tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.Sebagai sumber hukum, Pancasila secara
konstitusional mengatur penyelenggaraan negara Republik Indonesia. Hal tersebut tak
terkecuali seluruh unsur-unsur negara Indonesia, yaitu, rakyat, wilayah, serta pemerintah.
Berbagai masalah bangsa Indonesia seperti ancaman terhadap demokrasi, keberagaman
dan masih banyak lagi di atur dalam nilai Pancasila.

2. Pancasila sebagai sumber hukum yang diatur keberadaannya di UUD 1945 dalam pasal 2
UU Nomor 12 Tahun 2011 : “Pancasila Merupakan Sumber Segala Sumber Hukum
Negara”. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah
sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, berada di
atas konstitusi, artinya Pancasila berada di atas UUD 1945.Jika UUD 1945 merupakan
konstitusi negara, maka Pancasila adalah Kaidah Pokok Negara yang Fundamental (staats
fundamental norm). Kedudukan Pancasila lebih tinggi dari Undang-Undang Dasar 1945
(“UUD 1945”) dalam tataran teori norma. Namun bukan merupakan dasar hukum
tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dapat dipahami bahwa Pancasila
bukan dasar hukum, melainkan sumber dari segala sumber hukum. Karena dasar hukum
tertinggi dalam hierarki ialah UUD 1945 berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan .

3. Mekanisme atau upaya judicial review yang bisa dilakukan jika suatu peraturan
perundang-undangan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila adalah melalui HUM (Hak
Uji Materii) yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan suatu
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap perhaturan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.Lingkup tugas dan wewenang Mahkamah Agung
ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
yang berbunyi:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang.”
Bersumber dari kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar tersebut maka,
dalam hal terdapat muatan suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang yang diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Agung.Kemudian melalui putusan HUM, MA menyatakan tidak sah
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku.
Adapun putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dapat diambil
baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan
permohonan keberatan langsung yang diajukan kepada Mahkamah Agung. Implikasi
hukum atas putusan tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang dinyatakan
tidak sah maka tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Prosedur Pengajuan Uji Materiil
Kriteria Pemohon Uji Materiil

1. Subyek permohonan dapat berupa perorangan warga negara Indonesia, kesatuan


masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang, atau badan hukum publik atau badan hukum privat;
2. Pemohon keberatan disyarakatkan harus merupakan pihak yang menganggap haknya
dirugikan atas berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang
hendak diajukan uji materiil;
3. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan obyek permohonan
kebaratan;
4. Apabila permohonan bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian yang bersangkutan
tidak lagi atau tidak akan terjadi dengan dibatalkannya peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang dimaksud.

Termohon

Termohon adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan
perundangan-undangan yang dipersoalkan, seperti Presiden untuk Peraturan Presiden dan
Peraturan Pemerintah, Kepala Daerah dan DPRD untuk PERDA, dan sebagainya.

Obyek Permohonan Keberatan

Obyek permohonan HUM adalah peraturan perundang-undangan, yakni kaidah hukum


tertulis yang mengikat umum di bawah undang-undang. Berkaitan dengan obyek
permohonan, dalam hal terjadi kasus bilamana undang-undang yang dijadikan sebagai
dasar pengujian sedang diuji di Mahkamah Konstitusi, maka berdasarkan nota
kesepakatan MA dan MK yang telah dibuat, setiap pengujian UU terhadap UUD 1945
oleh MK diberitahukan ke MA. Disamping itu bagian pratalak secara berkala memeriksa
di situs resmi MK adanya pengujian UU terhadap UUD tersebut.

Dasar Alasan Permohonan Hak Uji Materiil

 Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah


undang-undang yang dimohonkan uji materiil dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
 Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Tata Cara Mengajukan Permohonan Uji Materiil

1. Permohonan Hak Uji Materiil diajukan dengan membuat permohonan secara tertulis,
dibuat rangkap sesuai keperluan, yang menyebutkan secara jelas dalil-dalil/ alasan
keberatan dan wajib ditandangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah;
2. Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan;
3. Permohonan HUM dapat diajukan dengan dua cara, yakni:

 Diajukan langsung ke Mahkamah Agung (MA)


 Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke MA, didaftarkan di Kepaniteraan
MA dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan menggunakan kode:
.....P/HUM/Th......;
 Panitera MA setelah memeriksa kelengkapan berkas, kemudian mengirim salinan
permohonan tersebut kepada Termohon (setelah terpenuhi kelengkapan berkasnya);
 Termohon wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera MA dalam
waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan permohonan tersebut;
 Ketua Kamar Bidang Tata Usaha Negara MA atas nama Ketua MA, menetapkan Majelis
Hakim Agung yang akan memeriksa dan memutus permohonan keberatan tersebut;
 Majelis Hakim Agung yang telah ditetapkan kemudian memeriksa dan memutus
permohonan keberatan HUM tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang
berlaku bagi perkara permohonan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai
dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan.

2. Diajukan melalui Pengadilan Negeri atau PTUN yang membawahi wilayah hukum
tempat kedudukan pemohon

 Dalam hal hal permohonan keberatan diajukan melalui PN/PTUN, didaftarkan pada
kepaniteraan PN/PTUN dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan
menggunakan kode / nomor:....., P/HUM/Th....../PN atau PTUN......, dengan membayar
biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
 Panitera PN/PTUN setelah memeriksa kelengkapan berkas, mengirimkan permohonan
keberatan HUM kepada MA pada hari berikutnya setelah pendaftaran (dan proses
selanjutnya ditangani oleh MA);
 Panitera MA menyampaikan kepada Ketua MA untuk menetapkan Majelis Hakim
Agung, setelah dinyatakan lengkap berkas-berkas permohonan tersebut.

1. Putusan HUM
2. Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, yaitu karena
peraturan perundang-undangan yang dimohonkan HUM tersebut bertentangan dengan uu
atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka permohonan HUM tersebut
dapat dikabulkan dengan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan HUM tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk
umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera mencabutnya;
3. Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan HUM tidak beralasan, maka
permohonan itu ditolak;
4. Pemberitahuan isi putusan beserta salinan Putusan MA dikirimkan dengan surat tercatat
kepada para pihak, atau dalam hal permohonan diajukan melalui PN/PTUN, maka
penyerahan/pengiriman salinan putusan melalui PN/PTUN yang bersangkutan;
5. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Putusan diucapkan Panitera MA
mencantumkan petikan Putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya
Negara;
6. Dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah Putusan MA dikirim kepada
Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut ternyata
tidak dilaksanakan, maka peraturan perundang-undangan yang bersangkutan demi hukum
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;
7. Terhadap Putusan HUM, tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK).

Dasar Hukum:

 Undang-Undang Dasar 1945


 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji
Materiil
 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Materiil
NOMOR 2

1. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,


Peraturan Desa tidak disebutkan secara eksplisit sebagai salah satu jenis peraturan perundang-
undangan. Akan tetapi, kedudukan Peraturan Desa sebenarnya masih termasuk peraturan
perundang-undangan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas erintah Undang-Undang, dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/ Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.” Diakuinya keberadaan peraturan desa dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan (formal), dipertegas dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan peraturan desa sebagai suatu produk
hukum. Konsekuensinya, Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi.

2. Menurut saya, diakuinya keberadaan peraturan desa dan mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan (formal), dipertegas dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan peraturan desa sebagai suatu produk hukum.
Konsekuensinya, Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dalam hal ini dalam menyusun peraturan desa harus memperhatikan jenis dan hierarki
peraturan perundangundangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Konsekuensi lainnya sebagai produk
hukum, berdasarkan Pasal 69 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2014, peraturan desa tidak boleh
merugikan kepentingan umum.Apabila peraturan desa bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, pemerintah kabupaten/kota
dapat membatalkan peraturan desa tersebut berdasarkan Pasal 115 huruf e UU No. 6 tahun
2014 tentang Desa yang menyatakan bahwa salah satu pembinaan dan pengawasan yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah melakukan evaluasi dan
pengawasan peraturan desa dan penjelasan Pasal 115 huruf e UU No. 6 tahun 2014 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “pengawasan” adalah termasuk di dalamnya pembatalan
Peraturan Desa.

NOMOR 3

1. Menurut saya, hal ini berkaitan dengan pancasila dimana pancasila sebagai sumber
hukum dengan berdasarkan terminologi “sumber hukum” sendiri dimaknai sebagai
sumber dari suatu hukum. Hal tersebut meliputi nilai-nilai, kaidah, ataupun norma
hukum. Materi ketentuan pidana yang dimuat atau diatur dalam undang-undang,
peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota didasarkan tentunya dari
norma-norma yang berlaku di masyarakat yang tertuang dalam pancasila dan peraturan
daerah pada setiap di daerah diindonesia berbeda berdasarkan norma adat yang ada
didaerahnya sehingga materi ketentuan pidana tersebut juga didasar norma adat didaerah
tersebut. Sebagaimana juga diatur dalam pasal 15 yang menegaskan bahwa Perda dapat
memuat ketentuan pidana, dengan batasan sebagaimana diatur di dalam Pasal 15 ayat (2)
UP3 dan dengan peluang mengatur ancaman pidana lebih tinggi atau sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan lainnya. Namun demikian, peluang ini jarang digunakan
dalam praktek perancangan, karena tidak rasional, berkenaan dengan alat penegak hukum
yang tersedia di dalam lingkungan kelembagaan Pemerintah Daerah, yang memiliki
kewenangan penegakan hukum terbatas pada jenis perbuatan pidana ringan, atau
perbuatan pidana dengan ancaman hukum paling tinggi 3 (tiga) bulan. Jenis pidana ini
juga yang mengakibatkan beberapa daerah bahkan cenderung menurunkan ancaman
pidana yang diatur di dalam Perda yang mereka buat, lebih rendah dari ancaman pidana
yang dimungkinkan oleh UP3.

2. Berlakunya prinsip otonomi dalam negara Indonesia yang membagi kewenangan antara
pusat dan daerah diharapkan segala urusan baik yang bersifat wajib ataupun pilihan dapat
dilaksanakan sesuai dengan kewenangan masingmasing yang diberikan oleh Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan daerah dalam
pelaksanaan otonomi ini telah diisyaratkan oleh UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah di dalam penjelasan umum disebutkan bahwa daerah
sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi, berwenang
mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya
sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.
Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus kehidupan warganya maka pemerintah pusat dalam membentuk kebijakan
harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya daerah ketika membentuk kebijakan
daerah baik dalam bentuk peraturan daerah maupun kebijakan lainnya hendaknya juga
memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan
antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan,
dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan (Penjelasan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014). Daerah melaksanakan otonomi daerah yang
berasal dari kewenangan presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan. Menurut
saya, Mengingat tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan
presiden, maka konsekuensi logisnya kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah
ada di tangan presiden. Adalah tidak efisien apabila presiden yang langsung membatalkan
peraturan daerah. Presiden melimpahkan kewenangan pembatalan peraturan daerah
provinsi kepada Menteri sebagai pembantu presiden yang bertanggung jawab atas
otonomi daerah. Sedangkan untuk pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota, presiden
melimpahkan kewenangannya kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah
(Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014).
NOMOR 4

Anda mungkin juga menyukai