Anda di halaman 1dari 7

1.

Permohonan dalam hukum acara mahkamah konstitusi Secara


yuridis, permohonan adalahpermasalahan perdata yang
diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

2. Mekanisme pengajuan permohonan dan syarat kelengkapan permohonan

Proses beracara di MK yang dimulai dengan pengajuan permohonan hingga sidangputusan


diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang MahkamahKonstitusi.
Tahapan pengajuan dan pemeriksaan permohonan, meliputi sebagai berikut:

Pengajuan Permohonan
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh
pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK. Dalam
pengajuan permohonan uji materil, permohonan harus menguraikan secara jelas hak atau
kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar. Dalam pengujian formil, Pemohon wajib
menjelaskan bahwa pembentukan undang- undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
UUD dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
dianggap bertentangan dengan UUD. Pengajuan permohonan ini harus disertai dengan
bukti-bukti yang akan digunakan dalam persidangan.

3. Di dalam UU MK tidak dikenal istilah penggugat dan tergugat. Hal ini karena di dalam UU MK
juga tidak dikenal istilah gugatan, melainkan permohonan sebagaimana diatur Pasal 1 angka
3 UU MK, sebagai berikut:

Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi
mengenai:
a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemilihan kata “permohonan” dan bukan “gugatan” yang diajukan kepada MK


sebagaimana dalam hukum acara perdata yang menyangkut contentieus
rechtspraak dapat menimbulkan kesan seolah-olah yang diajukan merupakan satu
perkara yang bersifat satu pihak (ex parte atau volontair).
Pemilihan kata permohonan ini juga berdampak seolah-olah tidak ada pihak lain
yang ditarik sebagai pihak atau termohon dan yang mempunyai hak untuk melawan
permohonan tersebut. Padahal hal ini tidak selalu benar karena dalam jenis perkara
tertentu harus ada pihak yang secara tegas ditetapkan dan ditarik sebagai pihak dan
yang mempunyai hak untuk menjawab atau menanggapi permohonan tersebut.

UU MK memilih istilah “permohonan” akan tetapi sesungguhnya ada pihak yang


berkepentingan untuk berada dalam posisi sebagai termohon. Mungkin hal ini
timbul karena kuatnya nuansa kepentingan umum yang terlibat dalam perselisihan
demikian sehingga dihindarkan sifat berperkara yang adversarial.”

4. Gugatan Dikabulkan
Menurut pakar hukum acara perdata, M. Yahya Harahap, dikabulkannya suatu
gugatan adalah dengan syarat bila dalil gugatnya dapat dibuktikan oleh penggugat
sesuai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUHPerdata”)/Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”).
Dikabulkannya gugatan ini pun ada yang dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan
seluruhnya, ditentukan oleh pertimbangan majelis hakim.
B. Gugatan Ditolak
Dalam bukunya, Hukum Acara Perdata (hal. 812), M. Yahya Harahap, menyebutkan
bahwa bila penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya, akibat
hukum yang harus ditanggungnya atas kegagalan membuktikan dalil gugatannya
adalah gugatannya mesti ditolak seluruhnya. Jadi, bila suatu gugatan tidak dapat
dibuktikan dalil gugatannya bahwa tergugat patut dihukum karena melanggar hal-
hal yang disampaikan dalam gugatan, maka gugatan akan ditolak.
C. Gugatan Tidak Dapat Diterima
Dijelaskan pula oleh M. Yahya Harahap (hal. 811), bahwa ada berbagai cacat formil
yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain, gugatan yang ditandatangani
kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal
123 ayat (1) HIR jo. SEMA No. 4 Tahun 1996:
1. gugatan tidak memiliki dasar hukum;
2. gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;
3. gugatan mengandung cacat atau obscuur libel; atau
4. gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolute atau relatif dan sebagainya.
Menghadapi gugatan yang mengandung cacat formil (surat kuasa, error in persona,
obscuur libel, premature, kedaluwarsa, ne bis in idem), putusan yang dijatuhkan
harus dengan jelas dan tegas mencantumkan dalam amar putusan: menyatakan
gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard/NO).
Dasar pemberian putusan NO (tidak dapat diterima) ini dapat kita lihat dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.1149/K/Sip/1975 tanggal 17 April 1975 Jo
Putusan Mahkamah Agung RI No.565/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1973, Jo
Putusan Mahkamah Agung RI No.1149/K/Sip/1979 tanggal 7 April 1979 yang
menyatakan bahwa terhadap objek gugatan yang tidak jelas, maka gugatan tidak
dapat diterima. Sehingga jelas semua putusan tersebut diberikan karena alasan yang
berbeda. Dan secara sederhana dapat kita ketahui persamaannya adalah ketiganya
diputuskan oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili gugatan tersebut.
5. 1. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan merupakan persidangan yang dilakukan untuk
memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebelum memasuki
pemeriksaan pokok perkara.
Pemeriksaan pendahuluan biasanya dilakukan oleh majelis hakim panel terbuka
untuk umum. Namun dalam perkara-perkara tertentu yang dipandang penting dan
harus segera diputus, pemeriksaan pendahuluan dapat juga langsung dilakukan oleh
majelis hakim pleno.
Dalam pemeriksaan pendahuluan ini setidaknya majelis hakim panel akan
memeriksa beberapa hal berikut:
– Kelengkapan administrasi
– Kejelasan materi permohonan
– Legal standing
– Wewenang MK
2. Pemeriksaan Persidangan
Setelah pemeriksaan pendahuluan, maka majelis hakim akan menyelenggarakan
pemeriksaan persidangan yang dilakukan untuk memeriksa :
– Permohonan
– Alat bukti
– Keterangan termohon (jika ada)
– Keterangan saksi
– Keterangan ahli
– Keterangan pihak terkait
Dalam forum persidangan, penyampaian secara lisan dilakukan tidak dengan
membaca dokumen tertulis yang telah disampaikan kepada MK, melainkan hanya
menyampaikan hal-hal pokok yang dipandang penting. Setelah itu dilanjutkan
dengan pemeriksaan berupa tanya jawab baik dengan pemohon, termohon, pihak
terkait, saksi/ahli maupun dengan hakim konstitusi.
Pemeriksaan persidangan pada prinsipnya dilakukan oleh majelis hakim pleno,
kecuali untuk perkara tertentu berdasarkan keputusan Ketua MK dapat dilakukan
oleh panel hakim.
Sidang pemeriksaan persidangan dilakukan secara terbuka, kecuali ditentukan lain
oleh majelis hakim, misalnya karena alasan kesusilaan dapat ditetapkan sidang
tertutup.

6. Sebutkan dan jelaskan pihak yang ditentukan memenuhi syarat dan mempunyai hak untuk
mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan
Mahkamah Konstitusi ?
Jawab : Legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak
ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan
permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan
Mahkamah Konstitusi.
dengan merujuk pada Pasal 51 UU 24/2003, MK dalam beberapa putusannya telah
merumuskan kriteria agar seseorang atau suatu pihak memiliki legal standing, yaitu:
1. Kriteria Pertama berkaitan dengan kualifikasinya sebagai subjek hukum, dimana
pemohon harus merupakan salah satu dari subjek hukum berikut ini:
a. Perorangan warga negara;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.
2. Kriteria kedua yang berkaitan dengan anggapan pemohon bahwa hak dan
wewenang konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang
dengan rincian sebagai berikut:
a. adanya hak/kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD
1945;
b. hak/kewenangan konstitusional permohon tersebut dianggap oleh pemohon
telah dirugikan oleh undang-undang yang sedang diuji;
c. kerugian tersebut bersifat khusus (spesifik) dan aktual atau setidak-tidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkan permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tersebut akan atau tidak lagi terjadi.
Dengan dipenuhinya persyaratan tentang kualifikasi subjek hukum dan persyaratan
kerugian tersebut di atas, maka pemohon mempunyai legal standing.
Adanya ketentuan mengenai legal standing, berarti tidak semua orang atau pihak
mempunyai hak mengajukan permohonan ke MK. Hanya mereka yang benar-benar
mempunyai kepentingan hukum saja yang boleh menjadi pemohon.

7. Jika bicara soal arti putusan final pada putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”), artinya
putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Akibat hukumnya
secara umum, tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut.
Sedangkan arti putusan mengikat dalam Putusan MK yaitu putusan tidak hanya berlaku bagi
para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Begitupula sifat final pada putusan arbitrase dan putusan BPSK yang tidak dapat
diajukan banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Namun, khusus putusan
BPSK, meski tidak ada upaya banding dan kasasi yang dapat dilakukan terhadap
putusan BPSK, namun terhadap putusan BPSK dapat diajukan upaya hukum
keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut.
1. Sifat Final dan Mengikat Pada Putusan MK
Bicara soal sifat final dan mengikat (final and binding) dalam suatu putusan, maka
kita dapat merujuk pada sifat final dan mengikat suatu putusan Mahkamah
Konstitusi (“MK”).
Menjatuhkan putusan final adalah salah satu kewenangan MK yang telah diatur
dalamPasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (“UU MK”):
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
c. memutus pembubaran partai politik
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Yang dimaksud putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat
ditempuh. Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum
mengikat (final and binding). Jadi, akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya
hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut.
Sementara, sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para
pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Demikian yang dijelaskan dalam
artikel Menguji Sifat ‘Final dan Mengikat’ dengan Hukum Progresif.
Dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi (hal. 81-82) tentang Telaah Makna Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat dijelaskan bahwa secara
harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki
makna hukum tersendiri. Frase “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai “terakhir dari rangkaian pemeriksaan”, sedangkan frase mengikat
diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harafiah ini maka
frase final dan frase mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya
akhir dari suatu proses pemeriksaan, telah memiliki kekuatan mengeratkan atau
menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi.
Masih bersumber dari laman yang sama, makna harfiah di atas, bila dikaitkan
dengan sifat final dan mengikat dari putusan MK artinya telah tertutup segala
kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan
dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Putusan MK memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap semua komponen
bangsa termasuk obyek yang disengketa.

8. Prosedur beracara di Mahkamah Konstitusi

1) Pengajuan Permohonan
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan
ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada
panitera MK. Dalam pengajuan permohonan uji materil, permohonan harus
menguraikan secara jelas hak atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar.
Dalam pengujian formil, Pemohon wajib menjelaskan bahwa pembentukan undang-
undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD dan/atau materi muatan
dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan
dengan UUD. Pengajuan permohonan ini harus disertai dengan bukti-bukti yang
akan digunakan dalam persidangan.
Pemohon dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah:
a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam UU;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau;
d. Lembaga negara.
2) Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK;
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan pemeriksaan
atas kelengkapan administrasi. Apabila dalam permohonan tersebut syarat-syarat
administrasi masih kurang, maka pemohon diberi kesempatan untuk melengkapinya
dalam waktu tujuh hari setelah pemberitahuan mengenai ketidaklengkapan
permohonan diterima oleh pemohon. Apabila dalam waktu tersebut pemohon tidak
memenuhi kelengkapan permohonannya, maka panitera membuat akta yang
menyatakan permohonan tidak diregistrasi dan diberitahukan kepaa pemohon
disertai pengembalian berkas permohonan.
3) Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK);
Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam waktu paling lambat tujuh hari sejak
permohonan dicatat dalam BRPK, MK menyampaikan salinan permohonan kepada
DPR dan Presiden.
Selain itu, MK juga memberitahu kepada MA mengenai adanya permohonan
pengujian undang-undang dimaksud dan meberitahukan agar MA meberhentikan
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang
diuji.
4) Pembentukan Panel Hakim
Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK
untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian
undang-undang tersebut.
5) Penjadwalan Sidang;
Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK
menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan.
Penetapan ini diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan masyarakat dengan
menempelkan pada papan pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs
www.mahkamah konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan
elektronik.
Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau kuasanya dalam
jangka waktu paling lambat tiga hari sebelum hari persidangan.
6) Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;
Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan
pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan
kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan
pokok permohonan. Dalam pemeriksaan ini, hakim wajib memberikan nasehat
kepada pemohon atau kuasanya untuk melengkapi dan atau memperbaiki
permohonan.
Pemohon diberi waktu selama 14 (empat belas) hari untuk melengkapi dan atau
memperbaiki permohonan tersebut. Nasihat yang diberikan kepada pemohon atau
kuasanya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan.
Dalam hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau telah
diperbaiki, panitera menyampaikan salinan permohonan tersebut kepada Presiden,
DPR dan Mahkamah Agung.

7) Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti;


Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari
sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa
bukti-bukti yang sudah diajukan.Untuk kepentingan persidangan, majelis hakim
wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang
dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara
yang terkait dengan permohonan.
8.Putusan.
Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis. Apabila
musyawarah tidak menghasilkan putusan maka musyawarah ditunda sampai dengan
musyawarah hakim berikutnya. Selanjutnya apabila dalam musyawarah ini masih
belum bisa diambil putusan secara musyawarah mufakat maka putusan diambil
berdasarkan suara terbanyak. Ketua sidang berhak menentukan putusan apabila
mekanisme suara terbanyak juga tidak dapat mengambil putusan.
Putusan MK berkaitan dengan pengajuan permohonan pengujian undang-undang
dapat berupa:
a. Dikabulkan; Apabila materi muatan yang terdapat dalam undang-undang
melanggar UUD dan apabila pembentukan undang-undang tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD;
b. Ditolak; Apabila dalam persidangan terbukti bahwa ternyata undang-undang yang
oleh pemohon diajukan uji materil baik pembentukan maupun materinya tidak
bertentangan dengan UUD;
c Tidak diterima; Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang
tidak dipenuhi.
Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan, maka undang-
undang, pasal, ayat atau bagian dari sebuah undang-undang yang diajukan tersebut
menjadi tidak berlaku. MK merupakan sebuah lembaga peradilan yang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final. Tidak ada upaya
hukum yang bisa ditempuh para pihak yang tidak puas dengan putusan MK.

Anda mungkin juga menyukai