Anda di halaman 1dari 7

WEWENANG MK DALAM MENGAJUKAN USULAN PEMBUBARAN

PARTAI POLITIK

ABSTARCK
Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga yang bertugas mengawal, dan menjaga
konstitusi, salah satu kewenangannya yaitu memutus untuk membubarkan partai politik .
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang- Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, partai politik dapat dibubarkan apabila:
partai politik menganut, mengembangkan, serta menyebarluaskan ajaran Komunisme/
Marxisme-Leninisme; ideologi, asas, tujuan, program, kegiatan partai politik dan akibat dari
kegiatan tersebut yang bertentanagan dengan UUD NRI 1945. Proses pembubaran partai politik
yang diajukan oleh pemerintah baik Jaksa Agung dan/atau Menteri Hukum dan HAM yang
ditugasi Presiden kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus untuk pembubaran partai politik
yang akan dilakukan pembatalan status badan hukum partai politik oleh pemerintah apabila
Mahkamah Konstitusi telah memutus membubarkan partai politik. Pemerintah Kementerian
Hukum dan HAM mempunyai kewenang untuk mendirikan sebuah badan hukum atau partai
politik sesuai yang telah diatur oleh undang-undang .Namun dalam hal ini MK juga berhak untuk
memutus pembubaran partai apabila melakukan sebuah pelanggaran etika ataupun sejenisnya
Dan hal tersebut telah diatur oleh undang-undnag.

PEMBAHASAN
Partai politik merupakan cermin kebebasan berserikat (freedom of association) dan
berkumpul (freedom of assembly) sebagai wujud adanya kemerdekaan berfikir (freedom of
thought) serta kebebasan berekspresi (freedom of expression). Oleh karena itu kebebasan
berserikat dalam bentuk partai politik sangat dilindungi melalui konstitusi dalam negara
demokrasi konstitusional1.Meskipun demikian, kebebasan berserikat memiliki batasan yang
diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan negara,
untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk
melindungi hak dan kebebasan lain. Pembatasan tersebut harus diartikan secara ketat dam
benar bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum yang syah; harus dilakukan
semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat indonesia demokratis; dan harus benar-
benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial. Sebagai bentuk
pelaksanaan dari demokrasi konstitusional inilah, sejak lahirnya era reformasi Negara
Indonensia telah mengatur mengenai pembubaran partai politik dalam Pasal 24C ayat (1)
bahwa partai politik dapat dibubarkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
bersifat final (legally binding). Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan partai politik yang
telah terfadtar dan berstatus sebagai badan hukum dalam Kementerian Hukum dan HAM
apabila terbukti dalam persidangan MK melakukan bentuk pelanggaran konstitusional.
Beberapa bentuk pelanggaran konstitusional sebagai alasan untuk dapat membubarkan partai
politik diatur dalam Unndang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

1
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2010),
hlm. 272.
(UU MK) jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Partai Politik). Berdasarkan UU
Partai Politik bahwa Partai Politik berbentuk badan hukum (rechtspersoon) melalui proses
pendaftaran dan pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM RI 2, sehingga dalam lalu lintas
hubungan hukum privat dan perbuatan hukum publik sama dengan subjek hukum manusia
(natuurlijkepersoon) yang mengemban hak dan kewajiban. Jika manusia dapat digugat
dan/atau dituntut di pengadilan maupun di luar pengadilan, maka badan hukumpun juga
demikian3. Dengan mendasari pada konsep hukum perdata inilah, maka pembubaran partai
politik melalui putusan MK bukan hanya berakibat hukum pada ketidak ikutan partai politik
tersebut sebagai peserta Pemilihan Umum, tetapi lebih jauh lagi adalah pembatalan terhadap
status badan hukum partai politik tersebut dan harus diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia oleh Kementerian Hukum dan HAM RI. Pembatalan atas status badan
hukum partai politik tersebut berakibat hukum bahwa partai politik tersebut tidak lagi bisa
melakukan atau melanjutkan beberapa tindakan hukum dan hubungan hukum yang telah
dilakukan baik yang bersifat public maupun yang bersifat privat. Tindakan hukum yang
bersifat publik misalnya bahwa partai politik yang telah dibubarkan tersebut tidak bisa lagi
mencalonkan anggotanya untuk duduk di lembaga DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden,
maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pertanyaan yang sangat mendasar adalah
bagaimana dengan partai politik yang telah dibubarkan dan anggotanya telah terpilih dan
duduk di kursi DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, maupun Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah? Apakah mereka tetap sah untuk tetap duduk di lembaga Negara tersebut,
mengingat mereka dicalonkan oleh Partai politik yang telah dibubarkan atau “mati”.
Sedangkan tindakan hukum partai politik yang bersifat privat misalnya adanya berbagai
perjanjian maupun kontrak maupun jual beli yang dilakukan oleh partai politik tersebut atau
adanya kewajiban partai politik tersebut untuk membayar utang pajaknya. Bererapa akibat
hukum yang sangat mendasar ini tidak diatur secara jelas di dalam UU MK maupun UU Partai
Politik, sehingga hal ini akan menjadi persoalan hukum yang akan menimbulkan beberapa
persoalan hukum baru yang lebih banyak.
Dalam konteks ini, pembubaran yang dimaksud mengakhiri eksistensi hukum dari partai
politik, dimana proses terjadinya pembubaran berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik bisa terjadi karena tiga hal, yakni atas keputusan sendiri,
menggabungkan diri dengan partai politik lain, atau dibubarkan berdasarkan keputusan otoritas
negara. Dalam tulisan ini, penulis fokus pada pembubaran partai politik variasi ke tiga yakni
pembubaran yang dilakukan oleh
keputusan otoritas negara secara paksa (enforced dissolution).4 Perbedaan antara pembubaran
dengan cara keputusan otoritas negara secara paksa dengan pembubaran jenis lainnya adalah
pembubaran jenis ini harus dipandang sebagai pemberian sanksi dari negara terhadap partai
politik yang inkonstitusional dan melanggar peraturan perundang-undangan. Mahkamah
Konstitusi dapat membubarkan partai politik yang telah terdaftar dan berstatus sebagai badan
hukum dalam Kementrian Hukum dan HAM apabila terbukti dalam persidangan di Mahkamah
Konstitusi melakukan bentuk pelanggaran konstitusional. Adapun alasan-alasan membubarkan
2
Pasal 45 UU Partai Politik
3
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-30 (Jakarta : PT. Intermasa, 2002), hlm. 20-21.
4
Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam
Pergulatan Republik, 2011, Jakarta: Rajawali Press, hlm. 32.
suatu partai politik telah tertuang dalam Pasal 68 (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dimana partai politik tersebut terbukti memiliki ideologi, asas,
tujuan, program, dan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini sebagaimana diamanatkan pada Pasal 40 ayat (2) huruf
a Undang-Undang Partai Politik yang menyatakan bahwa partai politik dilarang melakukan
kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan peraturan perundang-undangan. Lebih ekstrim lagi, partai politik yang menganut,
mengembangkan dan menyebarluaskan paham komunisme, marxisme, dan leninisme
berdasarkan Pasal 40 ayat (5) Undang-Undang Partai Politik sudah pasti harus dibubarkan karena
hal tersebut bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia.

Walaupun dapat dibubarkan oleh negara melalui Mahkamah Konstitusi, partai politik
harus dibubarkan dengan prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang. Selain menyangkut
kebebasan berserikat, partai politik memiliki peran yang begitu penting dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi dan
kedaulatan rakyat, keberadaan partai politik memegang fungsi yang sangat strategis. Hal itu
karena negara demokrasi memang dibangun di atas sitem kepartaian. Bahkan menurut R.M.
Maciver, demokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya partai politik itu sendiri, karena partai
politik berfungsi sebagai struktur perantara (intermediate structure) antara rakyat (civil society)
dengan negara (state)5. Lebih lanjut menurut Miriam Budiardjo pentingnya partai politik
tertuang dalam 4 fungsi yakni komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan
pengatur konflik politik. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sendiri keberadaan partai politik dianggap begitu penting bagi keberlangsungan negara. Pasal
22E ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa partai politik sebagai peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Selain itu Pasal 6A ayat (2)UUD 1945 juga menyatakan bahwa pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik6.
Pembubaran partai politik sebelum amandemen UUD NRI 1945 masih diatur dalam
undang-undang yang mengenai partai politik, tetapi setelah amademen UUD NRI 1945,
pembubaran partai politik diatur dalam UUD NRI karena beberapa alasan yang menjadi dasar
untuk dapat membubarkan partai politik termasuk pelanggaran konstitusional. Oleh karena
inilah, maka wewenang untuk mengadili dan membubarkan partai politik inilah menjadi
wewenang dari Mahkamah Konstitusi.Beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar untuk
membubarkan partai politik oleh Mahkamah Konstitusi adalah sebagaimana diatur dalam Pasal
68 ayat (2) UU MK jo. Pasal Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5) jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU
Partai Politik, di antaranya:Mempunyai ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan dari partai
politik yang bersangkutan bertentangan dengan UUD NRI 1945; Menganut dan mengembangkan
serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.Melakukan kegiatan
atau akibat yang ditimbulkan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan peraturan perundang-
undangan; atau Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

5
RM Maciver, The Modern State, first edition, 1955, London: Oxford University Press, hlm. 194.
6
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, 1982, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
hlm. 14-16.
Sejak lahirnya Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Provinsi Aceh, dalam
Pasal 95 dikatakan bahwa seluruh masyarakat aceh diperbolehkan untuk membentuk partai
politik local di Aceh sebagai peserta dalam suatu Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini berarti di Indonesia terdapat dua macam partai
politik, yaitu partai politik Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011. Sedangkan macam partai kedua adalah Partai Lokal di Aceh sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan yang
diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Lokal di
Aceh.Dengan adanya dua macam partai politik di Indonesia ini, apakah MK sama-sama
mempunyai wewenang untuk membubarkan baik partai politik nasional maupun partai politik
local?
UU Mahkamah Konstitusi ternyata tidak memberikan pembedaan dan pengertian
mengenai partai politik secara jelas sesuai yang dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI
19457. Dalam UU Mahkamah Konstitusi hanya mengatur mengenai beberapa alasan yang dapat
dijadikan dasar untuk membubarkan partai politik beserta hukum acaranya. Sekarang
bagaimanakah dengan UU Partai Politik? Dalam UU Partai Politik ternyata juga tidak
memberikan pembedaan mengenai partai nasional dan partai lokal, bahkan sebenarnya UU Partai
Politik itu hanya mengatur mengenai partai nasional. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1 angka 1 UU Partai Politik yang berbunyi : Partai Politik adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Apabila melihat ketentuan dalam UU MK dan UU Partai Politik sebagai paraturan organik
dari Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, maka secara normative-legalistic dapat dikatakan bahwa
yang dimaksud dengan partai politik yang dapat dibubarkan oleh sebagaimana tercantum dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 hanyalah terhadap partai poltik nasional. Hal ini berarti MK
hanya berwenang membubarkan partai politik nasional. Akan tetapi benakah demikian?
mengingat MK adalah sebagai pengawal konstitusi (the quardian of the constitution) dan partai
lokal pun mempunyai kecenderungan yang sama dengan partai politik nasional untuk melakukan
pelanggaran konstitusional sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK jo. Pasal
Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5) jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik.
Pasal 3 ayat (I) Peraturan Mahkamah Konstitusi NC 12 tahun 2008 menyebutkan bahwa
yang menjadi pemohon dalam pembubaran partai politik adalah pemerintah yang dapat diwakili
oleh Jaksa Asung dan:atau Menteri yang oleh Presiden untuk itu: sedangkan tata cara pengajuan
permohonannya diatur pula dalam Pasal Dengan ditetapkannya pemerintah sebagai pemohon
dalam perkara pembubaran partai politik dianggap kurang adil bagi rakyat, mengingat pasal I
ayat (2) menyebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar. Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan apakah satu
pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan Ini
adalah satu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar memperoleh

7
UUD NEGARA RI TAHUN 1945
putusan akhir dari pengadiIan8. Dalam yurisprudensi Amerika dikatakan bahwa tiga syarat harus
dipenuhi untuk mempunyai standing to sue, yaitu sebagai berikut:
•Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan pemohon yang
dilindungi secara hukum yang bersifat: Spesifik atau khusus, dan Aktual dalam satu
kontroversi dan bukan hanya bersifat potensial

 Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian dengan
berlakunya satu undang-undang kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang
diharapkan, kerugian akan atau dipulihkan 9.
Jika berpedoman dengan hal di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dalam
perkara pembubaran partai politik seharusnya masyarakat juga mempunyai hak untuk menggugat
atau bertindak sebagai pemohon suatu kasus tersebut, karena rakyat juga dirugikan atas
pelaksanaan kegiatan partai politik yang dapat menghambat kesejahteraan umum: mempunyai
hubungan sebab akibat atas kerugian dengan beroperasinya suatu kegiatan partai tertentu, dan
tentunya jika partai yang merugikan tersebut dibubarkan maka kerugian atas terhambatnya
kesejahteraan umum dapat dihindarkan.Contohnya saja adalah jika kader suatu partai politik
melakukan tindak pidana korupsi dan dana dari hasil korupsi tersebut dipergunakan untuk
kepentingannya sendiri maka kejahatan seperti itu dapat dikategorikan kejahatan korporasi.
Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan atau nama suatu korporasi, maka tuntutan korupsi
dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusannya. Yang
dimaksud dengan dan atau kekayaan yang pidana tindakan kepada korporasi dalam perkara
korupsi ini cukup beralasan dan sesuai dengan beberapa rekomendasi kongres PBB mengenai
The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders , Jika suatu partai terlibat kejahatan
korporasi maka seharusnya pembubaran partai tersebut dapat dimintakan ke Mahkamah
Konstitusi dengan alasan bahwa kegiatan partai politik tersebut bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akibat yang ditimbulkannya
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Namun yang menjadi
ironi adalah jika partai tersebut merupakan partai pemerintah yang sedang berkuasa,tentunya
dalam hal ini hampir dapat dipastikan bahwa pemerintah tidak akan menggugat partainya sendiri.
Oleh karena itulah diperlukan pihak yang independent yang dapat menuntut pembubaran partai
politik tersebut. Dalam hal ini yang diangggap paling mungkin adalah rakyat, namun hak
menggugat rakyat terhadap pembubaran partai politik memang belum diakui dan dilindungi
secara hukum. Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik Pasal 10 (2) PMK No. 12 Th 2005
menyebutkan bahwa akibat dari adanya pembubaran suatu partai politik adalah:

 Pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol partai tersebut di
seluruh Indonesia .

 Pemberhentian seluruh angota DPR dan DPRD dari Parpol yang dibubarkan (melalui
Keputusan Dewan).

8
Maruara siahaan , Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia edisi 2 , hal 65
9
Ibid 66
 Pelarangan terhadap mantan pengurus partai politik yang dibubarkan untuk melakukan
kegiatan politik.

 Pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang dibubarkan.


Dengan dibubarkannya suatu partai politik memang memiliki dampak yang cukup
signifikan bagi para pengurus dan partai politik itu sendiri. Dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia sejak masa pemerintahan orde lama hingga sekarang (masa reformasi) tercatat bahwa
setidaknya telah ada 3 partai politik vang dibubarkan oleh pemerintah. yakni Partai Masjumi
(dengan Keppers No 200 tahun 1960) dan Partai Sosialis Indonesia (dengan Keppers No 201
tahun 1960) pada masa pemerintahan Soekarno, serta Partai Komunis Indonesia (dengan
Keppers No 1/3 tahun 1966) pada masa pemerintahan Soeharto. Dua (2) poin pertama dalam 7
Guideline: on Prohibition of Political Partic and Analogous Measures menyebutkan bahwa :
Dalam hal ini negara seyogyanya harus mengakui bahwa setiap orang memiliki hak untuk
berkumpul dan berserikat secara bebas tanpa adanya intimidasi dalam partai politik Hak ini
mencakup juga kebebasan orang untuk mengemukakan pandangan dan pendapatnya tentang
politik dan untuk menerima dan menyampaikan informasi tanpa rintangan dan ancaman oleh
pejabat publik dan tanpa batasan. Persyaratan pendaftaran partai politik tidak dapat dianggap
sebagai pelanggaran terhadap hak dimaksud.
Setiap pembatasan terhadap kegiatan partai politik dalam menjalankan hak-hak dasar
yang tersebut haruslah sejalan dengan ketentuan "European Convention for the Protection of
Human Rights" dan perjanjian-perjanjian internasional baik dalam kondisi normal maupun
dalam kondisi yang darurat10 .Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pembubaran
partai politik bukanlah merupakan pembatasan ataupun pelanggaran terhadap hak azasi manusia:
utamanya adalah kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran sesuai pasal
28 UUD 1945, selama sesuai dengan aturan yang ada dan telah disepakati bersama.Dalam hal ini
MK diharapkan menjadi pengawal dan penjamin akan terselenggaranya kehidupan berdemokrasi
di Indonesia. Serta di harapkan MK dapat berlaku adil serta membawa kesejahteraan kepada
masyarakat indonesia

NAMA : LUTFIZAR WAHYU


NIM : 160710101140

10
Jimly Asshiddiqie , kemerdekaan berserikat , Pembubaran Partai Politik , dan Mahkamah Konstitusi , hal 130

Anda mungkin juga menyukai