Anda di halaman 1dari 25

DINAMIKA KEDUDUKAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM DPD ( STUDI

KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XVI/2018 )

Khairul Hikmatullah Zamri

Rezti Aisyahbella

Nabila Ainayah Budiman

Perdi irwanta perangin-angin

ABSTRAK

Dewan Perwakilan Derah merupakan lembaga yang memiliki kedudukan sebagai wakil dan
representasi dari daerah (provinsi) yang di mana anggotanya dipilih dari tokoh masyarakat
yang bukan bagian dari pengurus partai politik. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/PUU-XVI/2018 adalah salah satu putusan dari Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa pengurus partai politik dilarang menjadi anggota Dewan Perwakilan
Daerah. Di dalam keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah anggota yang merupaakan
fungsionaris partai justru menghilangkan eksistensi Dewan Perwakilan Daerah yang
seharusnya membawa kepentingan daerah justru memiliki kepentingan partai didalamnya.

Kata kunci: Dewan Perwakilan Daerah, Putusan Mahkamah Konstitusi, Partai Politik

ABSTRACT

The Regional Representative Council is an institution that has a position as a representative


and representative of the region (province) where the members are elected from community
leaders who are not part of the management of political parties. The decision of the
Constitutional Court Number 30 / PUU-XVI / 2018 is one of the decisions of the
Constitutional Court which states that the management of political parties are prohibited
from becoming members of the Regional Representative Council. In the membership of the
Regional Representative Council members who are party functionaries actually eliminate the
existence of the Regional Representative Council which should bring the interests of the
region actually has the interests of the party in it.

Keywords: : Regional Representative Council, Decision of the Constitutional Court, Political


Parties
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adanya reformasi pada tahun 1998 telah menghasilkan suatu perubahan yang
fundamental terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, dimana perubahan tersebut dilakukan
dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD
NRI 1945) yang dilakukan sebanyak empat kali. Amandemen UUD NRI 1945 yang pertama
dilakukan melalui sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999,
sementara untuk amandemen UUD NRI 1945 yang kedua, ketiga, dan keempat dilakukan
melalui sidang tahunan MPR, yang dilakukan secara berurut pada tahun 2000, 2001, dan
2002. Hasil amandemen ke 3 (tiga) UUD NRI 1945 telah memposisikan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif. DPD bersanding dengan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dalam komposisi keanggotaan MPR.1

Sri Sumantri Martosoewignjo dan Mochamad Isnaeni Ramadhan menyatakan bahwa


pembentukan DPD tidak lepas dari 2 hal, yaitu: 2 Pertama, adanya tuntutan demokratisasi
pengisian anggota lembaga agar selalu mengikutsertakan rakyat pemilih, keberadaan utusan
daerah dan utusan golongan dalam komposisi MPR digantikan dengan keberadaan DPD.
Kedua, karena adanya tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah yang jika tidak dikendalikan
dengan baik akan berujung pada tuntutan separatisme.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan lembaga yang memiliki kedudukan
sebagai wakil dan representasi dari daerah (provinsi). 3 Melihat pada sejarah ketatanegaraan
oleh Moh.Yamin, pada saat itu mengungkapkan keberadaan daerah di parlemen yang sangat
penting, keterlibatan daerah dan menjalankan pemerintahan di pusat bisa menjadikan tolak
ukur atau batasan bagi pemerintah pusat untuk menyusun kebijaksanaan maupun kebijakan
yang akan diambil nantinya. Lahirnya DPD dapat dikatakan sebagai jembatan antara daerah
1
Gabriel Talawe. “Kedudukan Fungsi dan Wewenang Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dalam Legal Opinion : Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 5 no. 5/ 2017. Hlm. 2
2
Muchammad Ali Safa’at. Parlemen Bikameral. (Malang: UB Press, 2010), Hlm. 95.
3
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfa. Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia. (Bandung : PT. Alumni,
2010.) Hlm.126.
dan pusat. Sebagai Lembaga negara baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, ide
semula pembentukan DPD dikaitkan dengan upaya untuk merestrukturisasikan bangunan
parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameralism). Dibentuknya Lembaga DPD sejalan
dengan semangat untuk mengakomodasi keterlibatan daerah dalam pengambilan kebijakan
nasional dan juga sesuai dengan prinsip check and balance yang ingin diterapkan oleh
pemerintah pada waktu itu.4

Tujuan dibentuknya DPD adalah sebagai penghubung antara daerah dan pusat, namun dalam
perkembangannya timbul beberapa masalah yang merusak tujuan awal dibentuknya DPD,
yaitu salah satunya adalah adanya beberapa anggota partai politik yang mengemban sebagai
anggota DPD. Salah satu contohnya adalah terpilihnya Ketua Partai Hanura bernama Oesman
Sapta Odang sebagai ketua DPD yang menuai berbagai kontroversi yaitu lembaga DPD yang
tidak lagi dianggap netral. Dimana yang semula DPD berfungsi membawa aspirasi dari
daerahnya bisa bergeser membawa aspirasi dari partai politik yang bersangkutan, serta
dengan adanya anggota DPD yang juga menjadi anggota partai politik cenderung akan lebih
mendahulukan kepentingan partai politiknya dibandingkan dengan kepentingan masyarakat
daerah.5

Diperbolehkannya calon anggota DPD berasal dari partai politik menjadi anggota
DPD memang merupakan hak konstitusional bagi setiap waga negara. namun, jika dilihat
pada praktiknya, anggota DPD yang berasal dari anggota partai politik terutama yang
menjadi pengurus parpol, tidak bisa menghindari terjadinya benturan kepentingan antara
partai politik dengan kepentingan daerah.6

Pengaturan tentang calon anggota DPD pertama kali dinormakan dalam Pasal 63
huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
Dalam pasal ini menyatakan bahwa salah satu syarat menjadi anggota DPD adalah tidak
menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun dihitung sampai dengan
pengajuan calon. Akan tetapi, pada tahun 2008 terdapat putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 10/PUU-VI/2008 yang mengubah aturan tersebut. Putusan MK tersebut menyatakan
4
Ibid
5
Pranamya Dewati. “ Mahfud MD :: Pemilihan Oesman Sapta Jadi Ketua DPD Ilegal”., Kumparan,
https://kumparan.com/pranamya-dewati/mahfud-md-pemilihanoesman-sapta-jadi-ketua-dpd-ilegal. (Diakses
pada 3 Februari 2020)
6
Sutan Sorik. “Pengurus Parpol Dilarang Jadi Anggota DPD: Kepentingan Politik Praktis atau Amanah
Konstitusi?”., Pusat Penelitian Politik, http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1249-
pengurus-parpol-dilarang-jadi-anggota-dpd-kepentingan-politik-praktis-atau-amanah-konstitusi (diakses pada 3
Februari 2020)
bahwa anggota partai politik boleh turut serta sebagai peserta pemilu dari calon perseorangan
dalam pencalonan anggota DPD. Oleh karena itu, pengaturan mengenai pengaruh partai
politik yang dilarang menjadi anggota DPD mengalami suatu kekosongan hukum.7

Implikasi dari putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008, pada masa bakti tahun 2014-2019
setidaknya ada 70 (tujuh puluh) orang anggota DPD yang berafiliasi dengan partai politik,
bahkan 8 (delapan) orang anggota DPD selain berafiliasi dengan partai politik juga berperan
sebagai pengurus partai politik.8

Banyaknya anggota DPD yang berafiliasi dan menjadi pengurus partai politik telah
memunculkan kekhawatiran dan diskursus publik, sehingga diajukanlah pengujian
konstitusionalitas pasal 182 huruf l Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum ke Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 dengan
amar putusan yang menyatakan bahwa, “frasa ‘pekerjaan lain’ dalam Pasal 182 huruf l
bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai
politik.” Putusan ini memberikan penafsiran hukum secara tegas dengan melarang calon
anggota DPD yang masih berstatus sebagai pengurus partai politik.9

Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 berlaku sejak dibacakannya putusan pada tanggal 23


Juli 2018. Putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Putusan MK
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka
untuk umum. Tetapi terdapat pendapat bahwa putusan tersebut berlaku pada pemilihan umum
tahun 2024.10

B. Perumusan Masalah

7
Sutan Sorik. “Pengurus Parpol Dilarang Jadi Anggota DPD: Kepentingan Politik Praktis atau Amanah
Konstitusi” http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1249-pengurus-parpol-dilarang-jadi-
anggota-dpd-kepentingan-politik-praktis-atau-amanah-konstitusi” (Diakses pada Senin, 3 Januari 2020)
8
Ibid
9
Pan Mohamad Faiz dan Muhammad Reza Winata, “Respon Konstitusional Larangan Calon Anggota Dewan
Perwakilan Daerah sebagai Pengurus Partai Politik” dalam Jurnal Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara
Mahkamah Konstitusi. Vol 16 No. 3 Thn 2019. h.535-536.
10
Tim CNN Indonesia. “MK Tegaskan Pengurus Parpol dilarang jadi DPD di Pemilu 2019”
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180920144225-12-331756/mk-tegaskan-pengurus-parpol-dilarang-
jadi-dpd-di-pemilu-2019 (Di akses pada Senin 3 Januari 2020)
1. Bagaimana Posisi Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem ketatanegaran Indonesia ?
2. Bagaimanakah latar belakang fungsionaris partai politik dilarang menjadi anggota
Dewan Perwakilan Daerah berdasarkan Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 ?

C. Metode Penelitian

Penelitian hukum menurut Soerjono Soekanto merupakan suatu penelitian ilmiah


yang mempelajari suatu gejala hukum tertentu dengan menganalisisnya atau melakukan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan yang timbul dari gejala yang bersangkutan. 11 Dalam menyusun
sebuah penelitian diperlukan adanya metode. Metode Penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan penulis dalam menydapat eusun penelitian ini
adalah jenis penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Seokanto dan Sri
Mamuji penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 12 Dalam hal ini
penulis menjelaskan secara preskriptif mengenai ……. menurut hukum.

2. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan pandangan Peter Mahmud Marzuki bahwa dalam penelitian hukum


terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi
dari berbagai aspek guna menjawab isu hukum yang diteliti.13 Berkenaan dengan
pandangan dan pendekatan Peter Mahmud Marzuki tersebut, penulis menggunakan
pendekatan yang relevan dengan permasalah yang diteliti, yaitu pendekatan
Perundang-undangan (statute approach). Pendekatan ini dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani.

11
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2015). h.27
12
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017) h.12
13
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005) Hlm 93
2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Secara umum dalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat disebut data primer, sedangkan data yang diperoleh dari
bahan-bahan kepustakaan disebut data sekunder. Data primer adalah data yang
diperoleh dan dikumpulkan secara langsung dari lapangan yang menjadi objek
penelitian atau diperoleh melalui wawancara yang berupa keterangan atau fakta-
fakta atau juga bisa disebut dengan data yang diperoleh dari sumber yang
pertama.14 Berdasarkan pengertian di atas, maka sumber data yang digunakan
adalah data sekunder. Data sekunder dalam penelitian hukum ini terdiri dari
berbagai bahan hukum. Bahan Hukum yang digunakan penulis dalam penelitian
hukum ini diantaranya yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 j.o. Undang-Undang No. 2


Tahun 2008 tentang Partai Politik,

3. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu

4. Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang Majelis


Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU
MD3) j.o. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR,


DPD, dan DPRD

6. Putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008

7. Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012

8. Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018

b. Bahan Hukum Sekunder

1. Buku-buku;

2. Jurnal-jurnal hukum;
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1986) h. 51-52
3. Hasil karya ilmiah sarjana yang relevan; dan

4. Internet.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan hukum ini dengan


menggunakan teknik studi pustaka, pengumpulan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Kemudian bahan hukum itu
diinventarisasi dan diklasifikasikan dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.
Bahan hukum yang berkaitan dengan masalah yang dipaparkan, disistematisasi,
kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.15

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deduksi. Penggunaan
metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan
premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan. Di dalam
logika silogistik untuk penalaran hukum yang merupakan premis mayor adalah
aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Kemudian dari
kedua hal tersebut ditarik suatu konklusi.16

II. PEMBAHASAN

POSISI DPD DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN

Keberlakuan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
membawa dampak signifikan dalam tatanan lembaga negara di Indonesia. Inti perubahan
tersebut memberikan penegasan terhadap sistem presidential, memperkuat kelembagaan
legislatif, Hak Asasi Manusia, serta memberikan jaminan kemandirian lembaga yudikatif
sebagai lembaga yang independen. Dalam hal penguatan lembaga legislatif, dalam perubahan
UUD NRI Tahun 1945 membentuk sebuah lembaga sebagai representasi perwakilan daerah,
yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bersanding dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). 17
15
Johny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia, 2006) Hlm
296
16
Peter Mahmud MarzukiPenelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, hlm 47
17
Zaki Ulya. “Kontradiksi Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Ditinjau Dari Segi Kemandirian
Lembaga Dalam Sistem Bikameral”dalam Jurnal Hukum Samudera Keadilan Vol 2/2016 (172-184). Hlm 172.
Hasil perubahan konstitusi di Indonesia telah melahirkan beberapa lembaga-lembaga negara
baik dalam cabang kekuasaan legislatif maupun yudikatif.18 Perubahan UUD NRI 1945
menempatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai badan perwakilan tingkat pusat
yang baru di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPD adalah sebuah lembaga
perwakilan seperti halnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mewakili masyarakat pada
wilayah tertentu. DPD merupakan alternatif baru bagi bentuk “utusan daerah” di MPR, yang
lebih merepresentasikan kepentingan daerah. Bila pada MPR sistem yang lama anggota
utusan daerah merupakan hasil pemilihan eksklusif anggota DPRD Provinsi, maka anggota
DPD dipilih melalui Pemilihan umum (pemilu) melalui sistem distrik berwakil banyak.
Dalam sisitem ini, masyarakat langsung memilih nama kandidat, yang memang disyaratkan
untuk independen (bukan pengurus Partai Politik).19

Pembentukan DPD sebagai Lembaga negara diatur pada ketentuan pasal 2 ayat 1, pasal 22D
UUD NRI. Kedudukan Dpd dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia adalah
Lembaga negara utama (mainstage organ) yang disebutkan dan diberikan kewenangannya
secara langsung oleh UUD NRI tahun 1945. Sehingga kedudukannya sebagai lembaga
negara adalah sederajat/sejajar lembaga-lembaga negara konstitusional lainnya. Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebagai lembaga baru yang akan menjamin
terwujudnya hubungan pusat dan daerah yang lebih baik dan bertanggung jawab. Realitas
ketidakadilan dan kurang meratanya pembangunan di tingkat pusat dan daerah selama Orde
Baru telah memicu keinginan perlunya melembagakan aspirasi daerah dari yang dulunya
berwujud Utusan Daerah menjadi Perwakilan Daerah. 20

Keberadaan DPD RI dalam desain bangunan ketatanegaraan Indonesia dimaksudkan untuk


menjembatani aspirasi lokal kedaerahan dengan kebijakan pembangunan nasional. Dengan
demikian kepentingan dan aspirasi lokal dapat terintegrasi dan selaras dengan kebijakan
pusat. Bagaimanapun aspirasi kedaerahan harus tetap menjadi perhatian apalagi mengingat
luasnya wilayah Indonesia dan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi dan berbagai
ancaman disintegrasi atau pemisahan diri beberapa daerah yang menganggap tidak pernah
diperhatikan aspirasi dan kesejahteraannya oleh pemerintah pusat. Intinya DPD diharapkan
18
Masnur Marzuki. “Analisis Kontestasi Kelembagaan DPD Dan Upaya Mengefektifkan
Keberadaannya” dalam Jurnal Hukum No. 1 Vol 15/ 2008 (81-100). hlm 81
19
Yulianta Saputra, “Penguatan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia” https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/02/26/penguatan-kewenangan-dewan-
perwakilan-daerah-dalam-sistem-ketatanegaraan-di-indonesia/ (Diakses pada 2 Februari 2020)
20
Masnur Marzuki. “Analisis Kontestasi Kelembagaan” dalam Jurnal (81-100). Hlm. 81
menjadi perekat yang akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Itulah yang menjadi pertimbangan politis untuk melahirkan DPD.21

Sejak kelahiran DPD, maka sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem
unikameral menjadi sistem bikameral. Namun, dalam perjalanannya, sangat dirasakan bahwa
fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum dalam pasal 22D UUD NRI 1945 setelah
amandemen sulit mewujudkan maksud dan tujuan pembentukan DPD. Demikian juga sulit
bagi anggota DPD untuk mempertanggungjawabkan secara moral dan politik kepada pemilih
dan daerah pemilihannya. Pasal 22D tersebut juga tidak dapat mencerminkan prinsip checks
and balances antara dua lembaga perwakilan (legislatif). Padahal, DPD sebagai lembaga
negara memiliki legitimasi yang sangat kuat karena anggotanya dipilih secara langsung oleh
rakyat. Sebagai lembaga negara, tentunya DPD seyogyanya memiliki kedudukan yang sama
dengan lembaga negara lainnya. Karena mengalami keterbatasan itu, wajarlah apa yang
dilakukan DPD untuk penguatan peran dan kewenangannya.22

Sebagai tindak lanjut dari Pasal 22D UUD NRI 1945, pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan DPD diatur dalam Undang-Undang No.17
Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). UU tersebut
merupakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Kehadiran DPD sebagai lembaga baru hasil perubahan UUD NRI
1945 merupakan konsekuensi dari perubahan Pasal 1 ayat (2) sebagai upaya untuk
mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat.23

Terkait dengan DPD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang dihasilkan dalam perubahan
UUD NRI 1945, Denny Indrayana mengatakan bahwa pembentukan DPD merupakan salah
langkah untuk melakukan reformasi lembaga legislatif. Terutama dengan tidak jelasnya
posisi dan peran Utusan Daerah dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum
perubahan UUD NRI 1945. Meskipun demikian, kehadiran DPD tidak dapat dikatakan
21
Ibid.
22
M. Solly Lubis, Suhaidi, et al. ”Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/PPU-X/2012)”
dalam USU Law Journal Vol 3 No. 2/2015. (160-167). Hlm. 160-161.
23
Saldi Isra. “Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan
Daerah” ,https://www.saldiisra.web.id/index.php/buku-jurnal/jurnal/19-jurnalnasional/273-menuju-bikameral-
efektif-dalam-rangka-memperkuat-fungsi-legislasi-dpd.html (Diakses pada 30 Januari 2020)
bahwa Indonesia menggunakan model sistem lembaga perwakilan dua kamar (bicameral).
Oleh karena itu, latar belakang dibentuknya DPD adalah sebagai berikut :

1. Memperkuat ikatan daerah daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik


Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaaan seluruh daerah.

2. Meningkatkan akomodasi dan aspirasi dan kepentingan daerah daerah dalam


kebijakan nasional yang berkaitan dengan negara dan daerah.

3. Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah

4. Mengoptimalkan fungsi utusan daerah yang semula merupakan bagian atau fraksi
dari lembaga MPR.24

Maka berdasarkan ketentuan di atas, fungsi legislatif menyangkut empat bentuk kegiatan
sebagai berikut:

a. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initation)

b.pembahasan rancangan undang-undang (law making process)

c.persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval)

d.pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan


internasional dan dokumen atau persetujuan internasional lainnya (binding decision
making on international agreement and treaties or other binding document).25

UUD NRI 1945 secara limitatif mengatur pelaksanaan fungsi parlemen yang lain seperti
fungsi anggaran, kontrol, representasi, dan rekrutmen jabatan publik. Dalam implementasi
fungsi-fungsi parlemen tersebut, kewenangan atau kedudukan DPD hanyalah bersifat
penunjang terhadap fungsi-fungsi parlemen yang dimiliki oleh DPR itu sendiri.26

24
Ni Kadek Riza Sartika Setiawati dan Nyoman Mas Aryani. “ Kewenangan DPD Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”. (Denpasar : Fakultas Hukum Universitas
Udayana, 2011). Hlm. 3
25
Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang
mencerminkan kedaulatan rakyat yang bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama-sama. Ada tiga hal yang
harus diperhatikan oleh wakil rakyat di parlemen yaitu: pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan
warga Negara, pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga Negara dan pengaturan mengenai
pengeluaran penyelenggaraan Negara. Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II,
(Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 32
26
I Wayan Sudirta. Sistem Bikameral Dalam Spektrum Lembaga Parlemen Indonesia, (Jakarta : 2013)
Hlm. 173
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa Anggota DPD mempunyai hak
dan kewajiban sebagai berikut :27

a. Hak Anggota DPD RI

1. Menyampaikan usul dan pendapat

2. Memilih dan dipilih

3. Membela Diri

4. Imunitas

5. Protokoler

6. Keuangan dan administratif

b. Kewajiban Anggota DPD RI

1. Mengamalkan Pancasila

2. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


dan menaati segala peraturan perundang-undangan.

3. Melaksankan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

4. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara


kesatuan Republik Indonesia.

5. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.

6. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan


daerah pemilihannya.

Pembentukan DPD sebagai salah satu institusi negara yang baru bertujuan
memberikan kepada orang-orang daerah untuk ikut mengambil kebijakan dalam tingkat
nasional, khususnya yang terkait kepentingan daerah. Berdasarkan Ketentuan Pasal 22D ayat
(1) dan ayat (2) UUD NRI 1945, DPD memiliki kewenangan dalam hal pembuatan
Undang-Undang dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang, walaupun terdapat
pembahasan Rancangan Undang-Undang. Keberadaan DPD dalam sistem ketatanegaraan
dimana Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pelembagaan fungsi representasi. Dalam
Rangka pelembagaan fungsi representasi itu dikenal adanya 3 (tiga) sistem perwakilan
yang dipraktikkandi berbagai negara demokrasi yaitu:

a. Sistem perwakilan politik (political representative)

27
DPD RI,Untuk apa DPD RI, Jakarta, kelompok DPD, 2006, hlm.40
b. Sistem perwakilan teritorial (teritorial representative)

c. Sistem perwakilan fungsional (fungsional representative).28

Kedudukan DPD yang saat ini diparadigmakan sebagai lembaga legislatif memiliki tujuan
yang sangat penting. Perwakilan politik dianggap tidak sempurna jika tidak dilengkapi
dengan sistem “double check” sehingga aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat benar-benar
dapat disalurkan dengan baik. Kedudukan DPD dalam struktur parlemen menjadi hal yang
fundamental. Selain mewakili secara kelembagaan pemerintahan daerah dalam memperkuat
negara kesatuan, DPD juga berfungsi sebagai wakil rakyat yang kepentingannya tidak
diakomodasikan oleh anggota DPR, oleh karena itu DPD dibentuk terkait sifat degree of
representativeness dari lembaga perwakilan tersebut agar bisa menjamin keseluruhan
kelompok yang ada di dalam masyarakat.29

Berdasarkan ketentuan pasal 22 D ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945,
sebagaimana telah penulis kemukakan terlebih sebelumnya, dapat didefinisikan bahwa
fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD tersebut dapat dikategorikan sebagai fungsi legislasi
lemah, karena tidak diberikannya kewenangan kepada DPD untuk ikut memutuskan
rancangan undang-undang mana dan bagaimana yang dapat diterima untuk dijadikan
sebagai undang-undang.Dengan pengaturan sebagaimanayang dikemukakan diatas, menilai
terdapat beberapa kelemahan yang akan muncul, yaitu:30

1. Diberikannya fungsi legislasi yang lemah kepada DPD akan kehilangan status dan
kondisi yang seharusnya yang melekat pada DPD tersebut sebagai suatu
lembaga yang bertindak untuk mewakili aspirasi dan kepentingan daerah

2.Daerah akan kehilangan sarana yang optimal untuk menyalurkan aspirasi dan
melindungi kepentingan-kepentingan daerah berkaitan dengan kebijakan-
kebijakan yang diambil pada tingkat pusat.

28
Jimly Asshidiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MKRI, 2006.) Hlm, 32-44
29
Adventus Toding. “DPD dalam Struktur Parlemen Indonesia : Wacana Pemusnahan Versus .
Penguatan” dalam Jurnal Konstitusi, Vol.14 No,2 2017. Hlm.305-306
30
Ruliah Ruliah. “Penataan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem
Ketatanegaran di Indonesia”. ( Kendari : Fakultas Hukum Halu Holeo, 2018). Hlm. 392
3.Tidak terdapatnya mekanisme check and balance yang dikehendaki dari
pembentukan sistem perwakilan bikameral, karena DPD hanya diberikan
kewenangan yang terbatas sebagai jelmaan dari fungsi legislasi yang lemah.

Tujuan Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah untuk lebih memberikan kesempatan


yang bagi daerah untuk lebih aktif ikut berpartisipasi sehingga persatuan dan kesatuan bangsa
dapat terwujud, akan sulit tercapai, karena sangat dimungkinkan dengan pengaturan
kewenangan DPD yang demikian tersebut, akan menimbulkan gejolak bagi daerah yang
merasakan bahwa saluran untuk ikut memberikan partisipasi dan melindungi kepentingan-
kepentingan sulit tercapai.31

Interpretasi Yudisial atau Penafsiran yudisial menurut Wheave dapat dipahami suatu
penafsiran yang dapat mengubah jalannya pelaksaan bunyi konstitusi dan menjelaskan suatu
pengertian mengenai makna dari konten konstitusi. Suatu pelaksaan kontekstual konstitusi
yang berbeda dari penampakan tekstual dalam konstitusi. DPD RI dalam melakukan
penguatan, salah satunya menempuh jalur interpretasi yudisial, interpretasi yudisial (Judicial
Interpretation) atas konstitusi untuk kasus Indonesia dilakukan atas dasar kewenangan
Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan pasal 24 C ayat 1 UUD NRI 1945.

Secara yuridis normatif, pasca amandemen UUD NRI 1945 proses legislasi nasional
sebenarnya memang melibatkan tiga institusi yakni Presiden, DPR dan DPD RI (proses
legislasi segi tiga). Namun realita di lapangan berbicara lain. DPD RI belum diberikan peran
yang berimplikasi secara legal formal dalam setiap pengambilan keputusan dalam bidang
legislasi. Hal ini dapat dilihat dari proses yang berjalan antara DPR dan DPD RI. DPD RI
hanya memiliki peran konsultatif (Pasal 22D UUD NRI 1945). Konstitusi dan UU Susduk
hanya mengamanahkan DPD RI sebatas memberikan pandangan dan pendapat dalam
pembahasan RUU pada pembicaraan awal tingkat satu. Dengan begitu DPD RI hanya sebagai
penonton sebab pengambilan keputusan legislasi yang sesungguhnya ada di tangan DPR
bersama Presiden.32 Untuk itulah ke depan, DPD RI harus diposisikan sebagai salah satu
bagian dalam Badan Kekuasaan Legislatif yang berhak dan berwenang merancang,
membahas, dan mengesahkan suatu rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
kepentingan dan aspirasi yang bersifat kedaerahan dengan memperhatikan penolakan dari
Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden. Terhadap RUU yang diajukan Pemerintah dan
31
Ibid
32
Masnur Marzuki, Analisis Kontestasi Kelembagaan. Hlm 88
DPR, DPD RI juga berhak dan berwenang menolak rancangan dan usul amandemen atas
suatu Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang tertentu yang berkaitan erat dengan
kepentingan dan aspirasi lokal.33

Dinamika Posisi Partai Politik dan Putusan MK Nom 30/PUU-XVI/2018

Kelumit masalah antara partai politik dan DPD bukan merupakan hal yang baru.
Sebelum lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI1/2018, Pasal 63
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif pernah melarang bakal
calon anggota DPD untuk menduduki jabatan pengurus partai politik dalam kurun waktu
sekurang-kurangnya empat tahun sebelum waktu pencalonan.34 Dalam perkembangannya,
norma tersebut tidak lagi dicantumkam dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Legislatif dan mendorong sejumlah pihak untuk melakukan uji materiil
terhadap ketentuan peraturan tersebut. Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor
10/PUU-VI/2008 selanjutnya menyatakan bahwa syarat non-partai politik tidak termasuk
sebagai norma implisit yang tercantum dalam konstitusi, sehingga tidak merupakan syarat
untuk menjadi calon anggota yang harus dicantumkan.35

Putusan tersebut membuka kesempatan bagi pengurus partai politik untuk berkiprah
di kursi keanggotaan DPD. Dalam kurun waktu 2002 hingga 2012, Bivitri Susanti melihat
peningkatan yang cukup signifikan terhadap jumlah anggota DPD yang terafiliasi dengan
partai politik.36 Berdasarkan data Indonesian Parliamentary Center, 78 dari 132 total anggota
DPD di tahun 2017 menjabat sebagai anggota DPD sekaligus pengurus partai politik.37

Menanggapi hal tersebut, seorang warga negara mengajukan permohonan uji materiil
terhadap prasyarat bakal calon anggota DPD yang dimuat dalam Pasal 182 huruf l Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut dengan UU
33
Usulan ini antara lain dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie. Lihat dalam Jimly Asshiddiqie,
Konstitusi dan Konstitutisionlisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2005, hlm. 176.
34
Indonesia. Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. LN
Nomor 37 Tahun 2003/TLN No. 4227. Pasal 63
35
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008. Hlm. 214-220
36
Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018. Halaman 19-20
37
Sultan Sorik. “Pengurus Parpol Dilarang Jadi Anggota DPD : Kepentingan Politik Praktis atau
Amanah Konstitusi?” http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1249-pengurus-parpol-
dilarang-jadi-anggota-dpd-kepentingan-politik-praktis-atau-amanah-konstitusi (Diakses pada 2 Februari 2019)
Pemilu). Permohonan pengujian khususnya ditujukan pada frasa “pekerjaan lain” dalam pasal
a quo yang dinilai telah bertentangan dengan hak warga negara atas kepastian hukum yang
adil sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Pemohon menilai
bahwa frasa tersebut mengandung ketidakjelasan interpretasi yang dapat membahayakan
hakikat keberadaan lembaga DPD sebagai wadah dari masyarakat lokal untuk mewakili
daerahnya. Pertanyaan besar yang diajukan adalah apakah fungsionaris partai politik turut
pula termasuk dalam arti “pekerjaan lain”. Selengkapnya, Pasal 182 huruf l UU Pemilu
adalah sebagai berikut :38

l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik advokat, notaris, pejabat
pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa
yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas wewenang, dan hak sebagai
anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

Terhadap hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan MK Nomor. 30/PUU-XVI/2018


menilai bahwa keberadaan fungsionaris partai politik dalam DPD memang tidak sesuai
dengan hakikat dan fungsi DPD yang tertuang dalam Pasal 22D UUD NRI 1945. Mengutip
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, Mahkamah dalam pertimbangan
hukumnya menekankan karakteristik keanggotaan DPD sebagai representasi teritorial yang
pengisian jabatannya dilakukan secara perorangan, sehingga hanya akan secara murni
menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya.39 Hal ini berbeda dengan hakikat anggota
DPR dianggap sebagai penjelmaan dari kepentingan partai politik dan kepentingan rakyat
daerah yang diwakilinya.40

DPD, DPR, dan Partai Politik

Prof. Jimly Asshidique menjelasakan bahwa keberadaan DPR dan DPD dalam sistem
parlemen Indonesia pasca amandemen ketiga UUD NRI 1945 telah mengarah pada
implementasi gagasan soft-bicameral dalam lingkup bikameralisme.41 Konsep bikameralisme

38
Indonesia. Undang-Undang Pemilu. UU No.7 Tahun 2017. LN No 182 Thn 2017/ TLN No. 6109 .
Pasal 182. Dengan penebalan dilakukan oleh Penulis
39
Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018. hlm. 47-48
40
Ibid.
41
Jimly Asshiddiqie. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945.
(Yogyakarta : FH UII Press, 2014). Hlm. 51
sendiri sejatinya mengarah pada keberadaan dua kamar dalam lembaga legislatif, dengan
harapan bahwa “kompetisi” antar kedua kamar tersebut dapat mewujudkan mekanisme
checks and balances dalam proses legislatif itu sendiri.42 Walau demikian, harapan tesebut
akan sukar dijewantahkan dalam sistem parlemen Indonesia mengingat timpangnya kekuatan
DPD jika dibandingkan dengan DPR, yang kemudian mengarah pada penambahan istilah
“soft” dalam istilah bikameral yang digunakan. Merujuk Pasal 22D UUD NRI 1945,
kewenangan DPD hanya bersifat tambahan dan terbatas pada hal-hal yang berkaitan langsung
dengan kepentingan daerah.43 Hal ini menjadi unik apabila mengingat bahwa DPD dan DPR
memiliki legitimasi yang sama kuat karena sama-sama dipilih melalui Pemilihan Umum.
Karakteristik tesebut menjadi keunikan tersendiri dalam sistem “bikameral” parlemen
Indonesia.

Sejalan dengan penjelasan Mahkamah Konstitusi dalam bagian sebelumnya, dalam sistem ini
DPD bertindak sebagai kamar dengan fungsi representasi daerah untuk memerankan kontras
terhadap DPR yang bersifat sebagai perwakilan politik dari rakyat. Maka dari itu, DPD harus
mengutamakan daerah sebagai keseluruhan terlepas dari kepentingan individu-individu
rakyat yang kepentingannya seharusnya disalurkan melalui DPR. 44 Dalam Pasal 2 ayat (2)
UUD NRI 1945, secara eksplisit disebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri
atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
melalui pemilihan umum.45 Keterwakilan daerah dalam hal ini dianggap penting karena partai
politik tidak dapat secara absolut dianggap telah merepresentasikan aspirasi seluruh rakyat.

Partai Politik dalam Parlemen

Apabila melihat UU No. 2 Tahun 2011 j.o. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, Partai Politik didefinisikan sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,
bangasa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Berdasarkan definisi tersebut, maka perlu digarisbawahi bahwa Partai Politik dibentuk untuk
membela dan merealisasikan kepentingan politik—yang dalam hal ini disebut sebagai “cita-
42
Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018.
43
Jimly Asshiddique. Format Kelembagaan Negara. Hlm. 55
44
Ibid. Hlm. 51
45
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal 2 ayat (2)
cita Partai Politik”—yang dianggap menjadi tujuan bersama para anggotanya. Usaha realisasi
kepentingan politik yang demikian salah satunya dapat diwujudkan melalui jalan
konstitusional.46 Jalan konstitusional yang dimaksud mengarah pada partisipasi partai politik
sebagai aktor dalam penentuan kebijakan nasional, yang diwujudkan melalui ikut andilnya
partai politik dalam pengisian jabatan-jabatan penting melalui pemilihan umum. Oleh karena
itu, partai politik melakukan rekrutmen politik.

Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 j.o. UU Nomor. 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik (UU Partai Politik) selanjutnya menjelaskan bahwa rekrutmen
partai politik dilakukan untuk memenuhi jabatan berupa:47

a) Anggota Partai Politik

b) Bakal calon anggota DPR dan DPRD

c) Bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan

d) Bakal calon Presiden dan Wakil Presiden

konstruksi pasal di atas, menunjukkan bahwa focus penempatan dari partai politik dalam
lembaga legislative berada di kamar Dewan Perwakilan Rakyat. Hal tersebut sejalan dengan
formulasi Pasal 172 UU No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) yang menyatakan bahwa partai
politik adalah Peserta Pemilu untuk pemilihan umum anggota DPR, DPRD, provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.48 Namun, hal ini tidak menghalau masuknya anggota partai politik
dalam kontestasi kursi DPD

DPD dan Partai Politik

Keberadaan Partai Politik dalam DPD tentu mengundang pro-kontra. Muradi dalam
himpunan tulisan Bikameral Bukan Federal melihat bahwa keikutsertaan partai politik dan
fungsionarisnya dalam pengisian kursi DPD adalah salah satu bentuk upaya penguatan
terhadap posisi DPD itu sendiri.49 DPD sebagai “kamar minor” memiliki kekuatan yang
terbatas ketimbang kekuatan yang dimiliki oleh DPR. Sebagai contoh, dalam fungsi legilatif,

46
Indonesia. Undang-Undang Perubahan atas UU Partai Politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011LN No. 8 Tahun 2011/TLN No. 5189. .Pasal 10 ayat (3).
47
Ibid. Pasal 29 ayat (1)
48
Indonesia. Undang-Undang Pemilu. Pasal 172
49
Lihat lebih lanjut Muradi, “Penguatan DPD dan Insentif Politik” dan Muradi, “Akseptabilitas Politik
DPD dan Amandemen (Kembali) UUD 1945” dalam Bikameral Bukan Federal. (Jakarta : Kelompok DPD di
MPR RI, 2006).
DPD lebih bersifat sebgai co-legislator dan “lembaga konsultatif” bagi DPR. Maka dari itu,
DPD harus mengkonsolidasi dukungan politis dari DPR dan Presiden untuk dapat
menjalankan fungsi dan tugasnya dengan efektif.

Di sisi lain, Bagir Manan justru berpendapat bahwa mengingat hakikat DPD sebagai
substitusi utusan daerah, maka pencalonan DPD seharusnya bersifat individual dan tidak
mewakili kekuatan politik tertentu.50 Bivitri Susanti khususnya menilai bahwa kenaikan
jumlah fungsionaris partai politik dalam DPD membawa sejumlah permasalahan baru dalam
panggung legislative Indonesia. Pertama, pengurus partai politik telah mendorong adanya alih
fungsi karakter keterwakilan DPD sebagai territorial representative menjadi wadah baru
kontestasi partai politik dalam memperjuangkan kepentingannya. 51 Terhadap hal ini, beliau
mencontohkan kasus pertikaian fisik dalam perebutan kursi Pimpinan DPD di tahun 2016,
yang harus dipandang dalam konteks yang lebih luas ketimbang sekadar perebutan fasilitas
keuangan dan protokoler. Bivitri lebih lanjut menilai bahwa posisi Pimpinan DPD akan
mempengaruhi konstelasi Pimpinan MPR dan kekuatan politik untuk kepentingan-
kepentingan pemerintah vs. “oposisi”.52 Permasalahan kedua yang juga turut diperhatikan
adalah bahwa model kerja partai politik yang berbasis pada massa anggota daripada
konstituensi wilayah tanda sekat keanggotaan partai politik terbawa ke dalam DPD.53 Salah
satu dasar pertimbangan politis kehadiran DPD RI sejatinya adalah meningkatkan agregasi
dan akomodasi aspirasi serta kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan
nasional.54 Keberadaan fungsionaris partai politik dianggap akan menyuguhkan fenomena
distorsi politik berupa lahirnya perwakilan ganda dalam pengambilan keputusan, dan
membuat keputusan politik, khususnya di bidang kebijakan legislasi, secara faktual berada di
tangan pihak yang semata-mata merupakan representasi politik.55.

Jalan tengah

50
Rangga Pandu Asmara Jingga, “Bagir Manan : hakikat DPD tidak mewakili kekuatan politik”.
Antara news. https://pemilu.antaranews.com/berita/797578/bagir-manan-hakikat-dpd-tidak-mewakili-kekuatan-
politik ( Diakses pada 3 Februari 2019)
51
Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018. Hlm. 21
52
Ibid.
53
Ibid.
54
Indira J. Piliang, Bivitri Susanti, et al. Untuk Apa DPD RI. Jakarta : Kelompok DPD di MR RI,
2007. Hlm. 38
55
Mahkamah Konstitusi. Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/UU-XVI/2018. 2
Jalan tengah yang dapat menjadi solusi atas pergumulan tersebut disampaikan oleh
Bivitri Susanti dalam keterangannya sebagai ahli dalam putusan MK NO. 30/PUU-XVI/2018.
Dalam hal ini, beliau tidak menampik bahwa keberadaan partai politik memainkan peran
penting dalam konsolidasi kekuatan dan bargaining power dari DPD. Namun mengingat
bahwa terdapat kewajiban dan peran yang berbeda antara anggota partai politik biasa dengan
pengurus partai politik, maka keberadaan fungsionaris parpol dalam DPD haruslah
dihilangkan.

Dalam membicarakan keanggotaan partai politik dalam parlemen, perlu dipahami


perbedaan mendasar antara peran anggota partai politik dengan pengurus partai politik.
Undang-Undang Partai Politik sejatinya tidak membedakan secara eksplisit antara anggota
partai politik dan pengurus partai politik.56 Dalam pasal ayat (I) UU Partai Politik, disebutkan
bahwa rekrutmen partai politik salah satunya dilakukan untuk menambah keanggotaan
partai.57Selanjutnya, kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis
melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART partai politik.Pasal 22 UU Partai Politik
Anggota partai politik memiliki memang peran penting.

Bivitri selanjutnya menjelaskan bahwa pengurus partai politik memiliki kewajiban


untuk melaksanakan kepentingan partai politik dan sistematis.58 Walau simpatisan dn anggota
partai politik dapat memperlihatkan sikap yang sesuai dengan pandangan dari partai
politiknya, namun pengurus diharuskan untuk secara konkrit merealisasikan kepentingan dari
partai politik. Salah satu komitmen pengurus terhadap hal tersebut selanjutnya dikuatkan
dengan keberadaan dengan pasal 2 huruf (1b) Undang-Undang Partai Politik yang
menyatakan bahwa Pendiri maupun pengurus partai politik dilarang merangkap sebagai
anggota partai politik lain.59

Kewajiban yang diemban oleh pengurus partai politik tersebut lah yang dinilai dapat
menimbulkan konflik kepentingan. Konflik kepentingan sendiri memiliki

Implikasi pelarangan fungsionaris parpol terhadap dalam DPD, dan harapan untuk
kedepan

56
Dimas Hutomo. “Dapatkah Anggota Parpol Mencalonkan dDiri menjadi Anggota DPD?”
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c70fc9e32c90/dapatkah-anggota-parpol-mencalonkan-
diri-menjadi-anggota-dpd/. (Diakses pada 4 Februari 2020)
57
Indonesia. Undangg-Undang Partai Politik. Pasal 1 ayat (1)
58
Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018. Hlm. 22
59
Indonesia. Undang-Undang Parpol. Pasal 2 uu 2 2011
Berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi telah memiliki kekuatan hukum mengikat
sederajat dengan undang-undang sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka
untuk umum. Maka dari itu, Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 telah mengikat sejak
selesai dibacakan. Namun, mengingat bahwa dalam faktanya terdapat anggota DPD yang
telah merangkap sebagai pengurus partai politik ketika putusan dibacakan, maka sesuai
dengan asas non-retroactive dan prinsip presumption of constitutionality, anggota DPD yang
demikian masih dianggap dipilih berdasarkan dasar konstitusionalitas yang sah sehingga
tidak mempengaruhi posisinya. Walau demikian, putusan tersebut akan tetap berlaku bagi
bakal calon anggota DPD yang akan berpartisipasi dalam Pemilu 2019.60

Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 selanjutnya telah memberi kepastian hukum


terkait posisi dan hakikat dari Lembaga DPD serta rasa keterwakilan masyakat. DPD sebagai
perwakilan territorial sejatinya berkewajiban untuk membela kepentingan daerah yang
diwakilinya secara penuh. Ketiadaan fungsionaris partai politik untuk masuk ke dalam
bangun keanggotaan DPD akan berdampak positif dan mengarah pada penguatan dari DPD
itu sendiri. Di satu sisi, tidak dilarangnya secara utuh keanggotaan partai politik dalam
persyaratan pendaftaran bakal calon anggota DPD akan tetap mempertahankan fleksibilitas
DPD dalam mengumpulkan dukungan politik untuk menjalankan tugas dan fungsi secara
efektif. Di sisi lain, ketiadaan fungsionaris politik dalam DPD akan mereduksi kemungkinan
terjadinya keterwakilan ganda dalam kamar tersebut sehingga dapat menciptakan DPD yang
lebih bersih dan mewakili rakyat, sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi.

III. KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa keberadaan DPD RI dalam


desain bangunan ketatanegaraan Indonesia dimaksudkan untuk menjembatani aspirasi lokal
kedaerahan dengan kebijakan pembangunan nasional. Dengan demikian kepentingan dan
aspirasi lokal dapat terintegrasi dan selaras dengan kebijakan pusat, mengingat luasnya
wilayah Indonesia dan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi dan berbagai ancaman
disintegrasi atau pemisahan diri beberapa daerah yang menganggap tidak pernah diperhatikan
aspirasi dan kesejahteraannya oleh pemerintah pusat. DPD juga berfungsi sebagai wakil

60
Mahkamah Konstitusi. Putsan No. 30/PUU-XVI/2018/ Hlm. 51
rakyat yang kepentingannya tidak diakomodasikan oleh anggota DPR, oleh karena itu DPD
dibentuk terkait sifat degree of representativeness dari lembaga perwakilan tersebut agar bisa
menjamin keseluruhan kelompok yang ada di dalam masyarakat. Dengan dilarangnya
fungsionaris partai politik menjadi anggota DPD akan berdampak positif dan mengarah pada
penguatan dari DPD itu sendiri. Ketiadaan fungsionaris politik dalam DPD akan mereduksi
kemungkinan terjadinya keterwakilan ganda dalam kamar tersebut sehingga dapat
menciptakan DPD yang lebih bersih dan mewakili rakyat.

IV. SARAN

Hakikat perwakilan DPD adalah territorial representative, sehingga menjadikan DPD


sebagai bagian kamar legislatif yang seharusnya murni merepresentasikan kepentingan
daerah dan menciptakan mekanisme checks and balances dalam. Namun, timpangnya
kekuatan DPD jika dibandingkan dengan DPR membuat DPD mengalami kesulitan untuk
merealisasikan hal tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XVI/2018 yang melarang fungsionaris


partai politik untuk menjabat sebagai anggota DPD merupakan langkah positif dalam upaya
penegakkan peran DPD. Namun, ketentuan tersebut masih belum dapat menjamin netralitas
anggota dari kepentingan politik. Bakal calon DPD dapat saja hanya melepaskan jabatan
fungsionarisnya secara “formal”. Untuk menghadapi hal tersebut, Penulis menyarankan agar
pembuat kebijakan dapat menaruh aturan yang memberlakukan jangka waktu minimum bagi
bakal calon anggota DPD untuk melepaskan jabatan fungsionaris partai sebagai langkah
antisipasi atas kedok demikian.
IV. DAFTAR PUSTAKA

Buku
Agus Haryadi, Bivitri Susanti, et al. Bikameral Bukan Federal. Jakarta : Kelompok DPD
di MPR RI, 2006.
Indira J. Piliang, Bivitri Susanti, et al. Untuk Apa DPD RI. Jakarta : Kelompok DPD di
MPR RI, 2007
Janedjiri M. Gaffar, Syiaruddin et al. eds. Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Inodnesia. Jakarta : Setjen MPR-UNDIP, 2003
Jimly Asshiddiqie. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekausaan dalam UUD
1945. Yogyakarta : FH UII Press, 2014
Miriam Budiarjo. Demokrasi di Indonesia : Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila. Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 1994
Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu NEgara FH UI. Ilmu Negara. Depok : FH UI, 2017
Reni Dwi Purnomowati. Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia.
Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2005
Hanna Fenichel Pitkin. The Concept of Representation. Calfornia : University of
California Pres, 1967
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. 2015. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia.
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani. 2017. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Jurnal

Jurnal bag pan muhammad faiz


http://ejournal.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php/jk/article/view/1635/pdf

Zaki Ulya. “Kontradiksi Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Ditinjau Dari Segi
Kemandirian Lembaga Dalam Sistem Bikameral”dalam Jurnal Hukum Samudera Keadilan
Vol 2/2016 172-184

M. Solly Lubis, Suhaidi, et al. ”Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan


Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Analisis Putusan Mahkamah
Konstitusi No.92/PPU-X/2012)” dalam USU Law Journal Vol 3 No. 2/2015. 160-167

Masnur Marzuki. “Analisis Kontestasi Kelembagaan DPD Dan Upaya


Mengefektifkan Keberadaannya” dalam Jurnal Hukum No. 1 Vol 15/ 2008 81-100

Internet
Rangga Pandu Asmara Jingga, “Bagir Manan : hakikat DPD tidak mewakili kekuatan
politik”. Antara news. https://pemilu.antaranews.com/berita/797578/bagir-manan-hakikat-
dpd-tidak-mewakili-kekuatan-politik Diakses pada 3 Februari 2019
Dimas Hutomo. “Dapatkah Anggota Parpol Mencalonkan Diri menjadi Anggota
DPD?” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c70fc9e32c90/dapatkah-
anggota-parpol-mencalonkan-diri-menjadi-anggota-dpd/. Diakses pada 4 Februari 2020.
Sultan Sorik. “Pengurus Parpol Dilarang Jadi Anggota DPD : Kepentingan Politik
Praktis atau Amanah Konstitusi?” http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-
nasional/1249-pengurus-parpol-dilarang-jadi-anggota-dpd-kepentingan-politik-praktis-atau-
amanah-konstitusi. Diakses pada 2 Februari 2019)

Yulianta Saputra, “Penguatan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem


Ketatanegaraan di Indonesia” https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/02/26/penguatan-
kewenangan-dewan-perwakilan-daerah-dalam-sistem-ketatanegaraan-di-indonesia/ Diakses
pada 2 Februari 2020

Saldi Isra. “Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan


Daerah” ,https://www.saldiisra.web.id/index.php/buku-jurnal/jurnal/19-jurnalnasional/273-
menuju-bikameral-efektif-dalam-rangka-memperkuat-fungsi-legislasi-dpd.html Diakses pada
30 Januari 2020

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

________. Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,


Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003. LN Nomor 37 Tahun 2003/TLN No. 4227.

________. Undang-Undang Pemilu. UU No.7 Tahun 2017. LN No 182 Thn 2017/


TLN No. 6109 .

_______. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 24 Tahun


2003. LN Nomor 98 Tahun 2003/ TLN Nomor 4316

______. Undang-Undang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 Mahkamah


Konstitusi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011. LN Nomor 70 Tahun 2011/ TLN No.
5226

______. Undang-Undang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. LN


Nomor 2 Tahun 2008/TLN Nomor 4801

______. Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Dewa Perwkilan Rakyat, Dewan


Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008. LN Nomor 51 Tahun 2008/ TLN Nomor

Putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018.

_______.Putusan Nomor 92/PUU-XVI/2012.

_______.Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008

Anda mungkin juga menyukai