Abstrak
Penerapan Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia dan sekaligus
sumber segala sumber hukum negara masih menghadapi sejumlah permasalahan
salah satunya kemauan politik pembentuk peraturan perundang-undangan yang
merupakan anggota Partai politik. Akibat pembentukan yang tidak bersumber
pada Pancasila maka peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di pusat
maupun daerah menimbulkan permasalahan. Permasalahan yang dibahas dalam
tulisan ini mengenai cara meningkatkan peran partai politik untuk mewujudkan
peraturan perundang-undangan yang berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila.
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah dengan pendekatan
konseptual, dengan mendasarkan pada kedudukan Pancasila sebagai cita hukum,
serta fungsi partai politik dalam negara demokratis. Temuan yang didapat
yaitu fungsi legislasi sering dikesampingkan dibanding fungsi pengawasan dan
anggaran, politik mayoritas menjadi dasar pemikiran para pembuat peraturan
perundang-undangan dan bukan ukuran ideologi atau konstitusional, pragmatisme
perekrutan calon anggota parlemen, serta adanya perilaku korupsi legislasi. Untuk
meningkatkan peran partai politik mewujudkan peraturan perundang-undangan
yang berdasarkan pada Pancasila dapat dilakukan dengan cara mewajibkan Parpol
di semua tingkatan menyusun desain politik legislasi dalam masa kampanye Pemilu,
kepengurusan Parpol dibagi ke dalam 3 (tiga) komponen salah satunya calon
anggota lembaga perwakilan, ketegasan Parpol untuk menarik atau mengganti
Abstract
The application of Pancasila as the legal idealsm of the Indonesia and as the
source of all legal sources still dealing with some problems, one of which were the
political will of laws and regulations maker which are the members of political
parties. As a result of the formation that does not originate from Pancasila, the
laws and regulations that are enforced at the central and regional levels cause
problems. The issues discussed in this paper are about how to increase the role
of political parties to refine laws and regulations based on Pancasila values. The
method of approach used in this paper is a conceptual approach, based on the
standing of the Pancasila as a legal idealism, as well as the function of political
parties in a democratic country. The findings obtained are that the legislative
function is often ruled out compared to the controlling and budgeting functions,
political majorities become the rationale for legislators and not ideological
or constitutional measures, pragmatism for recruiting parliament candidates,
and the existence of corrupt behaviour in the legislation. To increase the role
of political parties in refining laws and regulations based on Pancasila can be done
by requiring the political parties at all levels to construct political legislation design
in the election campaign period, management of political parties are divided into
three (3) components one of which members of the legislature candidate, the firmness
of political parties to withdraw or change the members in the legislature that fail
to implement the Pancasila political legislation, including the Pancasila education
curriculum in the cadre of political party members gradually and continuously, and
the state immediately made guidelines as official documents in interpreting and
understanding the Pancasila principles.
Keywords: Political Parties, Legislation, Pancasila
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketua Mahkamah Konstitusi 2015 sampai dengan 2018 Arief Hidayat dalam
satu kesempatan berkunjung ke kantor media pada Januari 2017 menyatakan
bahwa Tugas Mahkamah Konstitusi sebetulnya tidak hanya sebagai penjaga
konstitusi negara lewat uji materi yang diajukan. MK juga memiliki peran penting
dan strategis sebagai penjaga ideologi negara.1 Lebih lanjut menurut Arief
Hidayat selama ini Mahkamah Konstitusi hanya dipandang sebagai guardian of
the constitution (penjaga konstitusi) saja, padahal sebenarnya MK juga memiliki
peran sebagai guardian of the ideology (penjaga ideologi negara) yaitu Pancasila.2
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga ideologi ini ternyata dipraktikkan
dalam pelaksanaan salah satu kewenangan MK yaitu dalam menguji Undang-
Undang terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 (UUD 1945).3 Dalam penelitian disertasi Ahmad Basarah di Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro yang meneliti 9 (Sembilan) putusan terkait pengujian
Undang–Undang di bidang Politik, Ekonomi, Sosial dan Agama dihasilkan temuan
pola penggunaan Pancasila sebagai tolok ukur dalam putusan MK selama ini yaitu:
Pertama, Putusan MK yang sama sekali tidak menggunakan Pancasila sebagai
tolok ukur untuk menguji UU; Kedua, Putusan MK yang di dalam penafsirannya
tidak hanya terhadap ketentuan dalam Pasal UUD 1945 tetapi sudah menyinggung
nilai-nilai Pancasila, namun nilai-nilai Pancasila tidak digunakan secara eksplisit
sebagai tolok ukurnya; Ketiga, Putusan MK yang di dalamnya telah secara jelas
menggunakan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian UU.4
Penegasan MK berhak untuk menguji Undang-Undang terhadap Pancasila
juga dapat ditelusuri dalam Putusan MK Nomor 59/PUU-XIII/2015. Menurut
MK dalam putusan tersebut Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan
“Dengan ditetapkannya Perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal”. Sementara
itu pembukaan UUD 1945 khususnya alinea keempat secara substantif memuat
Pancasila sebagai dasar negara.5 Oleh karena itu, ketentuan dalam Pasal 24C
1
Metrotvnesw, “MK Berperan Menjaga Ideologi Negara”, http://news.metrotvnews.com/politik/VNxJrO1k-mk-berperan-menjaga-ideologi-negara,
diakses 20 September 2018.
2
Ibid.
3
Kewenangan MK lainnya sesuai Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 adalah: memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum dan Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Setjen dan Kapaniteraan MK, 2010, h. 11.
4
Kesembilan Putusan yang jadi obyek penelitian adalah: (i) Putusan Nomor 72 Tahun 2004 Pengujian UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah;
(ii) Putusan Nomor 011-017 Tahun 2003 Pengujian UU12/2003 tentang Pemilu Legislatif; (iii) Putusan Nomor 56 Tahun 2008 Pengujian UU
42/2008 tentang Pilpres; (iv) Putusan Nomor 008 Tahun 2005 Pengujian UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air; (v) Putusan Nomor 001 Tahun
2003 Pengujian UU 20/2002 tentang Ketenagalistrikan; (vi)
Putusan Nomor 28 Tahun 2013 Pengujian UU 17/2012 tentang Perkoperasian;
(vii)
Putusan Nomor 5 Tahun 2012 Pengujian UU 20/2003 tentang Sisdiknas; (viii) Putusan Nomor 11 Tahun 2009 Pengujian UU 9/2009 tentang
Badan Hukum
Pendidikan; dan (ix)
Putusan Nomor 140 Tahun 2009 Pengujian UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan
Agama. Ahmad Basarah, Eksistensi Pancasila Sebagai Tolok Ukur Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Di Mahkamah Konstitusi: Kajian Perspektif Filsafat Hukum dan Ketatanegaraan, Ringkasan Disertasi, Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, 2016, h, 54 – 56.
5
Putusan MK Nomor 59/PUU-XIII/2015 tanggal 3 Maret 2016 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, h. 46.
menemukan 139 Peraturan Daerah (Perda) yang diajukan daerah namun tidak
sesuai dengan nilai Pancasila, sehingga dikembalikan ke daerah yang mengajukan
tersebut.9 Padahal menurut Kemendagri Perda haruslah menyesuaikan dengan
kondisi kemajemukan Indonesia sebagai negara kesatuan, bukan mengakomodir
kepentingan mayoritas maupun minoritas semata.10
Selain kementerian dalam negeri, menurut data Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) selama tujuh tahun
melakukan pemantauan, sejak tahun 2009 hingga 2016, menemukan ada 421
kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah daerah. Menurut Komnas
Perempuan, keberadaan 421 kebijakan diskriminatif ini menjadi penghambat bagi
upaya penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan pemenuhan hak asasi
perempuan. Kebijakan diskriminatif telah membatasi ruang gerak perempuan
dan kelompok-kelompok minoritas.11
Untuk mengarahkan pembentukan Undang-Undang maupun peraturan
perundang-undangan di tingkat daerah sesuai dengan Pancasila sebagai cita hukum
negara dan sumber segala sumber hukum negara maka diperlukan peran Partai
Politik (Parpol). Hal ini mengingat kewenangan pembentukan Undang-Undang
menurut Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 merupakan kekuasaan Dewan Perwakilan
Rakyat, sementara pembentukan peraturan daerah menurut Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 merupakan kewenangan DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah.
Peran Partai Politik menjadi penting mengingat sesuai Pasal 22E ayat (3) UUD
1945 Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Parpol.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan dijawab
adalah bagaimana meningkatkan peran partai politik untuk mewujudkan peraturan
perundang-undangan yang berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila. Pembahasan
atas permasalahan ini akan dibagi menjadi tiga bagian yang dimulai dari implikasi
kedudukan Pancasila sebagai cita hukum, kemudian fungsi partai politik dalam
negara hukum demokratis, hingga strategi meningkatkan peran partai politik
dalam mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berdasarkan Pancasila.
9
Republika, “Mendagri: Perda tak Sesuai dengan Pancasila Harus Dibatalkan”, https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/07/22/nrvyo1-
mendagri-perda-tak-sesuai-dengan-pancasila-harus-dibatalkan, diakses 22 September 2018.
10
Ibid.
11
Komnas Perempuan, Siaran Pers Komnas Perempuan, Refleksi Dua Dasawarsa (20 Tahun) Upaya Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi
terhadap Perempuan di Indonesia. Jakarta, 31 Oktober 2018.
PEMBAHASAN
A. Implikasi Kedudukan Pancasila sebagai Cita Hukum
Cita hukum (rechtsidee) menurut Rudolf Starmmler merupakan konstruksi
berpikir yang merupakan keharusan bagi mengarahkan hukum kepada cita-cita
yang diinginkan masyarakat.12 Cita hukum memberi manfaat karena mengandung
2 (dua) sisi, dengan cita hukum, hukum positif yang berlaku dapat diuji, dan
kepada cita hukum, hukum positif sebagai usaha menuju sesuatu yang adil dengan
sanksi pemaksa dapat diarahkan.13
Selain berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif yaitu menguji apakah
hukum positif yang dibentuk sesuai dengan cita-cita masyarakat, maka menurut
Gustav Radbruch cita hukum juga berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif
yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya
sebagai hukum.14 Konstruksi ini mengharuskan cita hukum harus dijadikan dasar
dan tujuan setiap hukum disuatu negara. Oleh sebab itu setiap hukum yang lahir
harus berdasar pada cita hukum dengan memuat konsistensi isi mulai dari yang
paling atas sampai yang paling rendah hierarkinya.15
Pemikiran Radbruch ini berangkat dari konsep bahwa hukum adalah realitas
yang akal sehatnya melayani nilai hukum, gagasan hukum.16 Konsep Radbruch
ini menghubungkan tiga elemen: realitas, gagasan hukum, dan akal, menurut
Radbruch konsep realitas mengacu pada kepositifan hukum, yaitu penerbitan
dan keefektifannya. Ini adalah dimensi hukum yang sesungguhnya. Dengan konsep
gagasan hukum, Radbruch menyandingkan dimensi nyata ini dengan dimensi ideal,
yang pusatnya adalah keadilan sebagai idea gagasan spesifik hukum.17
Mengingat keadilan adalah pusat dari hukum maka konsep Radbruch tentang
hukum ini dapat juga diartikan sebagai law is the reality whose sense is to serve
justice yaitu hukum adalah realitas yang artinya melayani keadilan.18 Menurut
Radbruch setiap hukum harus menonjolkan karakter keadilan tertentu atau
sebagai versi di mana konsep keadilan digunakan dengan makna yang cukup
12
A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”. Disertasi, Jakarta: Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia,1990, h. 308.
13
Ibid.
14
Ibid, 309.
15
Ibid.
16
Gustav Radbruch, Legal Philosophy (first publ. 1932), trans. Kurt Wilk, in: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Cambridge,
Mass.: Harvard University Press, 1950, p.4.
17
Ibid. p. 7.
18
Ibid. p.4.
yang dikristalisasikan dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang serta
berakar jauh dari kehidupan leluhur atau nenek moyang bangsa Indonesia. Dari
sudut hukum Pancasila menjadi cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar
dan tujuan setiap hukun di Indonesia. Oleh sebab itu, setiap hukum yang lahir di
Indonesia harus berdasar pada Pancasila dengan memuat konsistensi isi mulai
dari yang paling atas sampai yang paling rendah hirakinya.23
Mengingat kedudukan Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia maka
menurut Maria Farida Indrati S Pancasila secara positif merupakan “bintang
pemandu” yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan
memberi isi kepada tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif
merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-
undangan tersebut.24 Terhadap isi peraturan perundang-undangan sila-sila tersebut
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan
merupakan asas hukum umum.25
Lebih lanjut menurut Mahfud MD dalam kedudukannya yang seperti itu dan
dalam kaitan dengan politik pembangunan hukum maka Pancasila sebagai cita
hukum melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum, yaitu:26 Pertama, hukum yang
dibuat di Indonesia haruslah bertujuan membangun dan menjamin integrasi negara
dan bangsa Indonesia baik secara teritori maupun secara ideologi. Hukum-hukum
di Indonesia tidak boleh memuat isi yang berpotensi (menyebabkan) terjadinya
disintegrasi wilayah maupun ideologi karena hal itu bertentangan dengan tujuan
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia yang terikat
dalam persatuan.
Kedua, hukum yang dibuat di Indonesia haruslah didasarkan pada demokrasi
dan nomokrasi sekaligus. Demokrasi yang menjadi dasar politik (kerakyatan)
menghendaki pembuatan hukum berdasar kesepakatan rakyat atau wakil-wakilnya
yang dipilih secara sah baik melalui kesepakatan aklamasi maupun berdasar suara
terbanyak jika mufakat bulat tak dapat dicapai; sedangkan nomokrasi sebagai
prinsip negara hukum menghendaki agar hukum-hukum di Indonesia dibuat
berdasar substansi hukum yang secara filosofis sesuai dengan rechtside Pancasila
serta dengan prosedur yang benar. Dengan demikian hukum di Indonesia tak
23
Moh. Mahfud MD, “Penuangan Pancasila
di Dalam Peraturan Perundang-Undangan”, Makalah Seminar Nasional Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila
dalam Pendidikan Ilmu Hukum dan Perundang-undangan Indonesia,” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM dalam rangka Peringatan
Hari Lahirnya Pancasila di Yogyakarta, 30–31 Mei 2007, h. 2.
24
Maria Farida Indrati S, Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2007, h. 59.
25
Ibid.
26
Moh. Mahfud MD, “Penuangan Pancasila…. op.cit, h. 3 – 4.
suatu negara. Menurut Philippe C. Schmitter’s dalam suatu negara yang sedang
melalukan konsolidasi demokrasi terdapat 3 (tiga) aktor yang memegang peranan
penting yang menjadi perantara kepentingan masyarakat yaitu partai politik (the
political parties), asosiasi kepentingan (the interest associations) dan gerakan
sosial (the social movements).31
Mengenai pengertian Parpol sendiri setidaknya bisa dilacak dari pendapat
Gabriel Almond dan G. Bingham Powell yang menyebutkan Partai Politik sebagai
the specialised, aggregation structure of modem societies.32 Adapun Giovanni Sartori
menyebutkan Partai Politik sebagai a political group that can identify itself with
an official name appearing during the election period, and at elections (whether
free or limited) is capable of providing candidates for political functions.33
Mengenai definisi lainnya tentang Parpol Frank J Sorauf menyebutnya sebagai
an agency for the organisation of political power characterised by exclusively
political functions, by a stable structure and the inclusive membership, and by the
ability to dominate the contesting elections.34 J. LaPalombara dan Myron Weiner
menyebutkan beberapa ciri Organisasi dapat disebut sebagai Partai Politik yaitu:
(1) continuity in the organisation that is an organisation whose expected life span is
not dependent on the life span of the current leaders; (2) manifest and presumably
permanent organisation at the local level with the regularised communications and
other relationships between local and national units; (3) self conscious determination
of leader at both national and locals levels to capture and hold decision making
power alone or in coalition with others, not simply influence the exercise of the
power; and (4) a concern on the part of the organisation for seeking followers at
the polls in some manners triving for popular support.35
Almond and Powell menekankan 4 (empat) fungsi dari Parpol yaitu: (i) the
institutional expression of individual and group interests, (ii) the aggregation of
interests, namely the expression of the necessities as an alternative on the level of
general politics, (iii) the political recruitment and, (iv) the political socialization.36
Janos Simon juga menyebutkan 6 (enam) fungsi dari Parpol yaitu function of
31
Philippe C Schmitter, “Intermediaries in the Consolidation of Neo- democracies: The Role of Parties, Associations and Movements”, Working
Paper, Barcelona, Institut de Ciències Polítiques i Socials, 1997, p.9
32
Gabriel A. Almond and G. Bingham Powell Jr, Comparative Politics: System Process and Policy, Boston: little Brown,1978, p. 189-231.
33
Giovanni Sartori, The Typology of Party Systems-Proposals for Improvement, in Allardt, E.; Rokkan, S. (eds.): Mass Politics: Studies in Political
Sociology. New York-London, 1970, p. 89.
34
Frank J. Sorauf, Political Parties in American System, Boston: Little Brown, 1964. p.13.
35
J.LaPalombara and M. Weiner, The Origin and Development ofPolitical Parties, in J.LaPalombara and M. Weiner (ed), Political Parties and
Political Development, Princeton: Princeton University Press, 1966, p. 3.
36
Gabriel Almond and G. Bingham Powell, Comparative Politics: a development approach, Boston: Little Brown, 1966, p. 17.
(v) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme
demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
legislasi yaitu dengan memutuskan untuk setuju atau tidak setuju dengan politik
legislasi yang ditawarkan oleh Parpol tertentu. Partisipasi publik sejak awal
ini adalah wujud pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif
yang berpijak pada tiga indikator, yakni proses pembuatannya yang partisipatif,
muatannya yang aspiratif, serta rincian peraturan tersebut bersifat limitatif dan
konkret.62
Memberikan kewajiban bagi tiap Parpol peserta pemilu untuk menyusun
politik legislasi bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan ketentuan yang telah
ada dalam UU Pemilu yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3, Pasal
274 dan Pasal 279. Ketiga ketentuan tersebut pada pokoknya mengatur bahwa
muatan materi kampanye Parpol peserta pemilu meliputi visi, misi, dan program
Parpol untuk Parpol Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR,
anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota, dimana KPU diberikan
kewenangan untuk membentuk peraturan KPU mengenai pedoman pelaksanaan
Kampanye Pemilu secara nasional. Melalui kewenangan yang diberikan oleh
UU Pemilu ini dan dalam rangka mewujudkan Pemilu yang berkualitas serta
kemudahan bagi pemilih untuk memahami visi, misi dan program Parpol maka
seharusnya KPU melalui peraturan KPU mengatur hal-hal pokok apa saja yang
seharusnya ada dalam dokumen visi, misi dan program Parpol peserta Pemilu
salah satunya adalah program legislasi.
Kedua; Perlu pengaturan tentang kepengurusan partai politik dibagi ke dalam
3 (tiga) komponen yaitu (i) komponen kader wakil rakyat, (ii) komponen kader
pejabat eksekutif, dan (iii) komponen pengelola profesional.63 Ketiganya diatur
dalam struktur yang terpisah, dan tidak boleh ada rangkap jabatan dan pilihan
jalur. Pola rekruitmen dan promosi diharuskan mengikuti jalur yang sudah
ditentukan dalam salah satu dari ketiga jalur tersebut.64
Jika seseorang berminat menjadi anggota DPR atau DPRD, maka ia diberi
kesempatan sejak awal untuk menjadi dewan perwakilan partai atau yang dapat
disebut dengan nama lain. Sedangkan kader yang berminat duduk di lembaga
eksekutif, tidak duduk di lembaga eksekutif tidak duduk di dewan perwakilan,
melainkan duduk dalam dewan kabinet atau yang disebut dengan nama lain.65
62
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2009, h. 7
63
Jimly Asshidiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi”, https://www.academia.edu/10138709/DINAMIKA_PARTAI_POLITIK-2, diakses 26 Januari
2019, h. 7.
64
Ibid.
65
Ibid.
Ketiga kelompok pengurus tersebut hendaknya jangan dicampur aduk atau terlalu
mudah berpindah-pindah posisi dan jalur. Kalaupun ada orang yang ingin pindah
jalur karena alasan yang rasional, maka hal itu dapat saja dimungkinkan dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu yang sangat ketat.66
Selama ini UU Parpol masih sangat umum mengatur perihal struktur
kepengurusan Parpol, beberapa hal yang diatur dalam UU Parpol terkait struktur
kepengurusan Parpol adalah Kepengurusan Partai Politik dapat membentuk badan/
lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik
beserta anggotanya serta kewajiban memperhatikan keterwakilan perempuan
dengan memasukkan perempuan dalam kepengurusan di setiap tingkatan.67
Sebagai tanggung jawab negara untuk menguatkan pelaksanaan demokrasi dan
sistem kepartaian yang efektif sesuai dengan amanat UUD 1945, maka diperlukan
penguatan kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran Partai Politik.
Salah satu yang perlu dilakukan saat dilakukan perubahan UU Parpol maka
perlu mengatur tentang bentuk struktur kepengurusan Parpol agar di dalamnya
memastikan tiap Parpol memiliki dewan perwakilan partai atau nama lainnya,
dewan kabinet atau nama lainnya dan dewan pengurus biasa atau nama lainnya.
Ketiga; ketegasan Parpol untuk menarik atau mengganti anggotanya di
lembaga perwakilan yang lalai dalam menjalankan kinerja legislasi termasuk
tidak menggunakan politik legislasi berdasarkan Pancasila. Selama ini alasan
pergantian antar waktu masih sebatas alasan hukum atau alasan lain yang tidak
ada hubungannya dengan kinerja sebagai anggota lembaga pewakilan. Untuk
itu kode etik Parpol perlu memasukkan evaluasi kinerja legislasi sebagai salah
satu bentuk komitmen etik yang jika dilanggar akan berakibat dapat digantinya
keanggotaan di lembaga perwakilan.
Hak Partai Politik untuk melakukan pergantian antar waktu telah dijamin
dalam UU MD3 di Pasal 239 ayat (2) yaitu Anggota DPR diberhentikan antarwaktu
apabila diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan. Partai Politik harus didorong membuat kontrak kinerja
dengan anggotanya yang duduk di DPR maupun DPRD dan diumumkan ke publik
yang salah satunya berisi kewajiban bagi anggota Parpol di lembaga perwakilan
untuk melaksanakan politik legislasi berdasarkan Pancasila dan di sisi lain hak
66
Ibid.
67
Pasal 2, Pasal 20 dan Pasal 21 UU Parpol
Parpol untuk melakukan pergantian antar waktu jika kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan.
Keempat; dengan telah dibentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 maka Parpol bisa
didorong untuk kerjasama dengan BPIP. Kerjasama ini meliputi penyusunan
standardisasi pendidikan dan pelatihan Pancasila serta menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan bagi kader-kader Parpol. Melalui pendidikan dan
pelatihan dengan BPIP ini maka Parpol akan dapat memastikan bahwa kader-
kadernya telah memiliki pengetahuan yang cukup seputar Pancasila dan praktik
pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila.
Selama ini UU Parpol telah menjamin adanya Bantuan keuangan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kepada
Parpol yang di dalamnya diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik
bagi anggota Partai Politik dan masyarakat.68 Mengenai bagaimana kegiatan terkait
Pendidikan Politik maka UU Parpol telah mewajibkan kegiatan tersebut berupa
pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan.69 Supaya
kegiatan pengkaderan tersebut dapat mendorong terwujudnya politik legislasi
berdasarkan Pancasila maka materi pengkaderan tersebut seharusnya sudah
membahas mengenai teori dan praktik penggunaan Pancasila dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo untuk menjadikan Pancasila tegar,
efektik, dan menjadi petunjuk bagaimana negara mestinya dijalankan berdasarkan
Pancasila maka terdapat 5 langkah yang harus dilakukan bangsa Indonesia
terhadap Pancasila. Kelima langkah tersebut adalah (i) mengembalikan Pancasila
sebagai ideologi negara, (ii) mengembangkan Pancasila sebagai ideologi negara
menjadi Pancasila sebagai ilmu, (iii) mengusahakan Pancasila mempunyai
konsistensi Pancasila dengan produk perundang-undangan, koherensi antara
sila, dan korespondensi dengan realitas sosial, (iv) Pancasila yang semula hanya
menangani kepentingan vertical (negara) menjadi Pancasila yang melayani
kepentingan horizontal, dan (v) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan
negara.70 Menjadikan Pancasila sebagai ilmu dapat ditempuh dengan melalui
jalur pendidikan formal dan informal, secara formal adalah melalui kurikulum
68
Pasal 34 ayat (3a)
69
Pasal 34 ayat (3b)
70
A. Ubaedillah, Pancasila , Demokrasi, dan Pencegahan Korupsi, Cet ke-4, Jakarta: Kencana, 2017, h. 32.
hukum (rechtside) harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukun di Indonesia.
Oleh sebab itu setiap hukum yang lahir di Indonesia harus berdasar pada Pancasila
dengan memuat konsistensi isi mulai dari yang paling atas sampai yang paling
rendah hierarkinya.
Beberapa faktor yang menyebabkan belum terinternalisasinya Pancasila
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya adalah:
fungsi legislasi selama ini dikesampingkan, politik mayoritas menjadi dasar
pemikiran para pembuat peraturan perundang-undangan (bukan ukuran-ukuran
konstitusional), kualitas anggota yang mengacu pada pengetahuan dan pengalaman,
perilaku korupsi legislasi dan ketiadaan dokumen negara yang resmi terkait
penjabaran nilai-nilai Pancasila.
Strategi yang bisa ditempuh agar kader Parpol yang duduk di lembaga
perwakilan maupun eksekutif senantiasa menggunakan Pancasila sebagai sumber
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diantaranya adalah: partai
politik menyusun desain politik legislasi di semua tingkatan, kepengurusan partai
politik dibagi ke dalam 3 (tiga) komponen salah satunya calon anggota lembaga
perwakilan, ketegasan Parpol untuk menarik atau mengganti anggotanya di
lembaga perwakilan yang lalai dalam menjalankan politik legislasi berdasarkan
Pancasila, memasukkan kurikulum pendidikan Pancasila dalam pengkaderan
anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan, dan negara segera
membuat panduan atau pedoman sebagai dokumen resmi dalam menafsirkan
dan memahami sila-sila Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel and G. Bingham Powell, 1966, Comparative Politics: a development
approach, Boston: Little Brown.
_________________, 1978, Comparative Politics: System Process and Policy, Boston:
little Brown.
Attamimi, Hamid S, 1990 “Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara”. Disertasi, Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia.
Anggono, Bayu Dwi, 2014, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di
Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press.
S, Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan, Yogyakarta: Kanisius.
Sidharta, B. Arief, 2004, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum” dalam
Jurnal Hukum Jentera, Rule of Law, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK),
Jakarta, edisi 3 Tahun II, November.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2009, “Pancasila dan Mahkamah
Konstitusi”, Majalah Konstitusi, No.29–Mei.
_________________, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Setjen dan
Kapaniteraan MK.
Taekama, Sanne, 2003, The Concept of Ideal in Legal Theory, The Hague: Kluwer
Law Internasional.
Ubaedillah, A., 2017, Pancasila, Demokrasi, dan Pencegahan Korupsi, Cet ke-4,
Jakarta: Kencana.