Anda di halaman 1dari 10

RESUME BUKU LEGAL DRAFTING

Resume ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi

Dosen Pengampu: Wahyu Benny Mukti Setiyawan, S.H.,M.H

Disusun oleh :

TIARA MAHARDHIKA H.D P27220019092


VINIA PUTRI A P27220019093
WINDY ELVINA D.O P27220019094
YUSTIN ASTRIA P27220019095

PRODI D-III KEPERAWATAN JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA

2022
Tujuh Masalah dalam Legal Drafting

A. Pertimbangan Filosofis Minimalis


Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi
suasana kebatinan erta falsafat bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Unsur
filosofis, sosiologis, dan yuridis juga dimuat dalam konsideran Peraturan Presiden
untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Jadi, menurut petunjuk pada
angka 27, konsiderans menimbang Peraturan Daerah cukup memuat satu
pertimbangan saja yang menjadi alasan pembentukannya. Merumuskan unsur filosofis
sebagai pertimbangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan bukan pekerjaan
yang sederhana. Filosofis yang dijadikan pertimbangan pembentukan Peraturan
Perundang-undangan lebih banyak parafrase sila-sila Pancasila atau nilai-nilai yang
terkandung dalam Pembukaan UUN Negara Republik Indonesia Tahun 1945/
a. Masih sangat lemahnya sistem rekruitmen anggota-anggota lembaga legislatif.
b. Ada kesulitan teknis bagi anggota-anggota legislatif untuk diberikan pemahaman
sesungguhnya tentang arti penting sebuah kerangka orientasi berpikir yuridis.
c. Kentalnya nuansa politis (pragmatis) dalam aktivitas organisasi ini;dan
d. Sebagian diantara mereka juga bukan berlatar belakang pendidikan tinggi hukum.

Pertimbangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan, cenderung


didasarkan kepada kepentingan politik (pramatis), kepentingan kewenangan dan/atau
teknis administratif penyelenggaraan pemerintahan.

B. Kelemahan Perencanaan atau Fungsi Legislasi Kurang Joss


Penyusunan daftar Rancangan Undang-undang dalam penyusunan Prolegnas
didasarkan atas:
a. Perintah UUD Negara RI Tahun 1945;
b. Perintah Ketetapan MPR;
c. Perintah Undang-undang lainnya;
d. Sistem perencanaan pembangunan nasional;
e. Rencana pembangunan jangka panjangnasional;
f. Rencana pembangunan jangka menengah;
g. Rencana kerja Pemerintah dan rencana strategi DPR dan
h. Aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.

Perencanaan Prolegnas dilaksanakan oelh DPR dan Pemerintah. Plolegnas


ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas
pembentukan Rancangan Undang-undang. Pendapat Riant Nugroho, Prolegnas
sebagai salah satu kebijakan publik yang ditetapkan oleh DPR lebih diwarnai oleh
kepentingan politik kekuatan politik yang dominan di DPR, ktimbang mengikuti
tahapan pembuatan kebijakan publik khusunya perencanaan kebijakan publik dan
perumusan kebijakan publik yang tak terpisahkan.

Firman Soebagyo menambahkan bahwa disiplin rendah anggota DPR bukan


penyebab tunggal rendahnya kinerja legislasi DPR, pemicu lain adalah sering
terlambatnya surat dari Presiden/Pemerintah ke DPR sebagai syarat dimulainya
pembahasan. Penyebab lainnya ialah penempatan anggota DPR dalam suatu Komisi,
atau Panitia Khusus sering tidak sesuai dengan bidang keahliannya, sehingga tidak
mudah bagi anggota yang bersangkutan.

Selain itu, Anggota DPR juga perlu memahami masalah sub-sayangnya


sebagian anggota DPR tidak memiliki latar belakang dibidang hukum, policy making,
atau di bidang subsanstif yang sesuai dengan materi muatan RUU yang dibahas.
Anggota DPR diharapkan paling tinggi menguasai politik hukum berkenan dengan
RUU yang dibahas agar arah pembahasan menjadi jelas, Anggota DPR ternyata kurag
joss pembahasan menjadi jelas. Anggota DPR ternyata kurang joss dalam
menjaalankan fungsi legislatif.

C. Naskah Akademik Belum Akademik


Pasal 43 ayat (3) Undang Undang Nomor 112 Tahun 2011 menentukan,
“Rancangan Undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus disertai
Naskah Akademik.” Naskah Akademik merupakan suatu persyaratan yang harus
disertakan oleh DPR, Presiden atau DPD jika hendak mengusulkan suatu RUU.
Ketentuan yang tidak berlaku pada ayat (3) tersebut tidak berlaku bagi RUU
mengenai;
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang menjadi Undang-
undang
c. Pencabutan Undang-undang atau Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
“Naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan
hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau pokok pikiran
dan materi muatan yang diatur dalam suatu Rancangan Undang-undang, Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi, atay Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat”

Naskah Akademik sebagai hasil penelitian atau pengkajian yang harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah paling tidak memiliki cirri-ciri tulisan ilmiah
sebagai berikut:

a. Merupakan tulisan ilmu pengetahuan yang berdasarkan hasil penelitian atau


pengkajian
b. Bersifat objektif
c. Isian tulisan susunannya sistematis
d. Dikembangkan berdasarkan rujukan atau referensi

Dalam penyusunan Naskah Akademik memiliki kelemahan mulai dari


kelemahan metodologi penelitian atau pengkajian, kelemahan kajian teoritis dan
emperis, dan kelemahan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis.

Satjipto Raharjo mengemukakan tida metode kajian hokum, yaitu:

a. Metode kajian idiealis, berusaha menguji hokum yang harus mewujudkan nilai-
nilai tertentu terutama untuk memahami arti keadilan
b. Metode normatif, bagi mereka yang memilih melihat hokum sebagai suatu system
peraturan-peraturan yang abstrak
c. Metode sosiologi, digunakan oleh mereka yang memahami hokum sebagai alat
mengatur masyarakat

D. Kualitas Peraturan Perundang-undangan Jauh Dari Harapan


“Keluhan mengenai ketidakpuasan hukum sebagai akibat regulasi yang buruk
semakin sering terdengar di berbagai media pada akhir-akhir ini,” kata Sofyan A.
Djalil menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
Pada periode 200 hingga 2015 pemerintah pusat telah menerbitkan 13.980
regulasi dengan rincian
1. Undang-undang 916
2. Peaturan Pengganti Undang-undang 49
3. Peraturan Pemerintah 2.446
4. Peraturan Presiden 2.258
5. Peraturan Menteri/Setingkat 8.311
Jumlah Peraturan Daerah sejak era reformasi hingga 2015 adalah
a. Peraturan Daerah Provinsi 3.177
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 25.575
-Kata “Regulasi” adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan”(Pasa 1 angka 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, op.cit)

Secara umum permasalahan regulasi diklasifikasikan menjadi

1. Konflik (Apabila terdapat pasal atau ketentuan yang bertentangan dengan


peraturan lainnya)
2. Inkonsisten (Apabila terdapat ketentuan atau pengaturan tidak konsisten dalam
perundang-undangan dan pelaksanaannya)
3. Multitafsir (Apabila terdapat ketidak jelasan pada objek dan subjek/sulit
dimengerti serta sistematikanya tidak jelas)
4. Tidak operasional ( Apabila regulasi tersebut tidak memiliki daya guna)

Dari data Rekapitulasi penguji UU terhadap UUD di Mahkamah Konstitusi


2003-2016 adalah sebagai berikut:
a. Jumlah perkara dari tahun 2003 sd Mei 2016 sebanyak 1.369 perkara
b. Perkara yang diputus 790 perkara
c. Permohonan yang dikabulkan sebanyak 187 permohonan
d. Persentase amar putusan permohonan dikabulkan terhadap putusan
sebanyak=23,67%
e. Persentase amar putusan permohonan dikabulkan terhadap UU yang diuji
sebanyak=46,06%

Kesimpulannya adalah cukup tinggi persentase amar putusan permohonan


dikabulkan olek Mahkamah Konstitusi selama 2003 sd 2016.

Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan permohonan permohonan dalam


pertimbangan hukumnya menggunakan alas an bahwa pasal atau ayat yang diuji
dianggap

a. diskriminatif:
b. memberlakukan ketentuan hukum secara retroaktif:
c. menimbulkan ketidakpastian hukum:
d. melanggar prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan:
e. melanggar kewenangan regulasi pemerintah:
f. menyebabkan terhalangnya akses keadilan:
g. bertentan gan dengan asas atau prinsip-prinsip hukum yang berkaitan secara
spesifik dengan Undang-undang yang bersangkutan:
h. bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi,
i. melanggar prinsip persamaan hak:
j. melanggar asas praduga tak bersalah:
k. melanggar prinsip equal protection,
l. menimbulkan dualisme hukum.

Direktur Jendral Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono


mengemukakan Perda yang dibatalkan adalah Perda yang normanya bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut Asep Warlan
Yusuf, pengajar hukum di Universitas Parahyangan, ada tiga kemungkinan yang
menjadi penyebab Perda bermasalah yaitu: Pertama, Perda dibuat oleh Pemerintah
Daerah tanpa berdasarkan aspirasi publik di daerahnya.

Untuk mencegah munculnya Perda bermasalah dikemudian hari Kementerian


dalam Negeri akan meluncurkan Program e-perda, sebagai sarana konsultasi langsung
Pemerintah Daerah dengan Kementerian Dalam Negeri dalam penyusunan Perda.

E. Kuantitas Dan Kualitas Perancang


Jumlah atau kuantitas perancang di kementrian hokum dan ham dan
kementrian/lembaga pemerintah serta di kantor wilayah kementria hokum da ham
masih jauh di bawah jumlah yang diperlukan untuk mendukung fungsi dan tugas
perancangan peraturan perundang-undangan. Dari segi kualitas perancang juga belum
memadai. Sebagian besar perancang adalah perancang pertama, kemudian perancang
muda, sebagian kecil perancang madya.pengetahuan perancang mengenai masalah
substantif umumnya kurang mmadai. Dalam mendiskusikan masalah substantive, para
perancang sangat bergantung pada instansi teknis yang menguasai secara substantive
aspek teknis masalah yang akan diatur.

Betatapun juga perancang yang berkualifikasi perancang ahli dalam berbagai


jenjang harus mmiliki pengetahuan yang memadai tentang substanssi yang akan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Langkah nyata yang perlu diluk
dalam mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia perumus kebijakan dan
pembetuk regulasi adalah dengan membentuk suatu modul pelatihan sinergitas
kebijakan dan pembentukan regulasi dan upaya perbaikan kurikulum dan kerjasama
antara Kementrian PPN/Bappenas dan Kementrian Hukum dan Ham. Sasaran pokok
peningkatan kapasitas sumber daya manusia diharapkan terjadi pada unit perencanaan
dan biro hokum dari kementrian/lembaa maupun lembaga pemerintah di luar
eksekkutif dan tidak tertutup pula bagi unit teknis lain dalam rangka peningkatan
wawasan dan kemampuan teknis perumusan kebijakan maupun pembentukan
regulasi.

F. Sektoralisme
Peraturan pperundang-undangan tersusun secara hierarkis,saling berhubungan
dan berkaitan satu sama lain sebagai bagian dari sisteem hokum nasional berdasarkan
Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perancang harus
menyadari bahwa ketika ia menyusun peratura perundang-undangan sesungghnya ia
sedang mengisi salah satu unsur yang merupakan bagiian integral dari system hukum
nasional yang hendak dibangun.
Berdasarkan kententuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, prakarsa
mengajukan Rancangan Undang-undang dapat diajukan oleh DPR, Presiden, atau
DPD. Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh presiden disiapkan oleh
menntrii atau pimpinan lembaga pemerintahan nonkementrian sesuai dengan lingkup
tugas dan tanggung jawabnya. Menurut Kementrian PPN/Bappenas “saat iini tidak
ada satupun lembaga yang mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan
pengelolaan regulasi secara nasional. Kewenagana perumusan kebijakan dan
pembentukan regulasi tersebut tersebar pada kementrian/lembaga, sementara
Kementrian Hukum dan Ham yang tidak mempunyai kewenangan untuk menangani
kebjaknnya hanya menangani sebagian proses pembentukan regulasi (harmonisasi
dan pendampingan ketika proses tersebut masuk pada tahap pembahasan di
parlemen)”. Konsekuensi pengaturan kelembagaan seperti itu mengakibatkan
hilangnya kendali terhadap proses perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi,
sehingga hasilnya adalah kuantitas regulasi terus meningkat dan kualitas regulasi terus
menurun. Implikasinya ialah kepastian hukum semakin tidak terwujud. Dapat
ditambahkan bahwa program legilasi nasional belum dapat dikatakan sebagai grand
design system hukum nasional, karena hanya memuat daftar prioritas pembentkan
Undang-undang untuk jangka menengah dan jangka pendek.
Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tahun 1995/1996 telah menyusun
buku Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan
Hukum Jangka Panjang. Dalam buuku tersebut dikemukakan “apabila hukum
nasional dipandang sebagai suatu site, maka upaya pembangunan hukum menuju
terwujudnya Sistem Hukum Nasional tidak hanya meliputi pembangunan mateeri
hukum, akan tetapi juga meliputi pembangunan budaya hukum, lembaga dan aparatur,
termasuk penyempurnaan proses, prosedur dan mekanisme hukum serta modernisasi
sarana dan prasarana hukum”. Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional, paling
sedikit terdapat dua belas kelompok besar variabel hukum nasioanl yaitu :
1. Penataan politik hukum
2. Pengembangan ilmu dan filsafat hukum
3. Pendidikan hukum
4. Informasi hukum
5. Pengkajian dan penellitian hukum
6. Penerapan/pentaatan dan pelayanan hukum
7. Pebentukan hukum
8. Penindakan hukum
9. Perencanaan hukum
10. Pengorganisasian/pelembagaan
11. Evaluasi hukum
12. Pengawasan hukum

Seluruh komponen itu harus dibangun secara stimulant, sinkron dan terpadu.
Namun sayangnya hanya sebagian kecil saja dilaksanakan, lebih banyak yang
dilupakan. Akibat pengaturan kelembagaan seperti itu pemerintah kehilangan kendali
terhadap proses perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi. Hasilnya adalah
kuantitas regulasi terus meningkat dan kualitas regulasi terus menurun. Implikasinya
ialah kepastian hukum semakin tidak terwujud.
Tidak jelasnya lembaga yang berwenang mengendalikan pembentukan
peraturan perundang-undangan menyebabkan berkembangnya “sektoralisme”.
Sektoralisme yang dimaksud adalah suatu paham yang mementingkan sektor.
Reformasi tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan
menuju pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih komprhensif,
sinergis dengan pendekatan system. Tujuannya ialah untuk menghasilkan peraturan
perundang-undangan yang responsive, aspiratif, dan memenuhi kriteria legalitas,
kebutuhan dan ramah urusan, sebagai bbagian integral dari system hukum nasional.
Peraturan perundang-undangan (regulasi) yang memenuhi kriteria legalitas adalah
regulasi yang tidak bertentangan dengan regulasi lain baik secara vertical maupun
horizontal. Kriteria kebutuhan dipenuhi jika regulasi yang berangkutan dibutuhkan
oleh masyarakat atau responsif terhadap aspirasi masyarakat. Kriteria ramah urusan
yaitu jika regulasi yang dibentuk btul-betul mengakomodasi tuntutan pelayanan
public yang menghendaki kelancaran, kemudahan, dan biaya yang wajar dan bebas
dari praktik uang dinawah meja alias uang semir. Rekonseptualisasi tata cara
pembentukan regulasi dilakukan dengan cara melihat kembali dan menata kembali
tata cara pembentukan regulasi agar proses pembentukan regulasi menjadi lebih
komprehensif dan lebih mampu menghasilakn regulasi yang berkualitas.

G. Bahasa Peraturan Perundang-undangan Bersayap


Bahasa yang digunakan dalam Peraturan Perundang-undangan secara yuridis
berwibawa. Oleh karena itu, bahasa yang dipergunakan dalam bidang hukum atau
Peraturan Perundang-undangan harus jelas, lugas, pasti dan efektif. Bahasa Indonesia
di bidang hukum dan Peraturan Perundang-undangan harus dapat dipahami secara
mudah dan jelas oleh setiap orang. Sebab, hukum dibentuk untuk kepentingan
masyarakat, karena itu hukum harus dengan mudah dipahami oleh masyarakat dengan
berbagai latar belakang status sosial atau pendidikan.
Norma yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan dimaksudkan
untuk mempengaruhi alam pikiran, mengatur perilaku atau perbuatan orang yang
tunduk pada Peraturan Perundang-undangan tersebut.
Permasalahan penggunaan kaidah baku Bahasa Indonesia yang sering
ditemukan dalam praktik perumusan Peraturan Perundang-undangan yaitu :
1. Rumusan norma menggunakan “kalimat bersayap”
Kalimat bersayap membuka peluang praktik penyalahgunaan. Penganggaran
harus dilakukan dengan menggunakan kalimat jelas, detail, serta langsung pada
kebutuhan.
Contoh kalimat kalimat bersayap sebagai berikut “program pemberdayaan
nelayan”. Seharusnya program yang dimaksud ditulis dengan jelas “program
pengadaan 1000 jaring ikan untuk nelayan di Pangandaran” dan sebagainya yang
jelas dan terukur.
2. Ambiguitas
Menurut Veda Charrow c.s. ambiguitas dapat terjadi pada level kata dan
kalimat. Pada level kata terjadi di bidang hukum, karena hukum memberikan
makna tersendiri pada suatu kata yang artinya berbeda dengan penggunaan sehari-
hari.
Ambiguitas pada level kalimat sebaiknya berhati-hati dalam menggunakan
kata ganti. Pastikan pembaca akan mengetahui kata ganti merujuk pada kata benda
mana dan tidak akan membingungkan pembaca.
Tipe ambiguitas lainnya pada pengguanan kata penghubung “atau” dan
“dan”yang dapat secara khusus menimbulkan ambiguitas jika dalam satu kalimat
berisi kedua kata.
3. Nominalisasi
Konstruksi kalimat berikutnya yang kurang cermat adalah penggunaan
nominalisasi secara berlebihan. Nominalisasi adalah penciptaan kata benda dari
kata kerja dan ajektif.
Nominalisasi membuat kalimat sulit dimengerti, karena tidak
mengomunikasikan sebuah “skenario”, peristiwa yang dapat dibayangkan oleh
pembaca. Nominalisasi mengeliminasi informasi mengenai siapa melakukan apa.
Nominalisasi membuat kalimat menjadi kehilangan daya persuasif, karena
nominalisasi adalah kata benda yang statis, maka pembaca sedikit atau bahkan
tidak mempunyai perasaan bahwa ada tindakan yang dilakukan.
4. Kalimat Pasif
Kalimat pasif memungkinkan penulisnya untuk fokus pada objek kalimat
daripada pelaku suatu tindakan/perbuatan.
Peraturan Perundang-undangan sering menggunakan kalimat pasif yang
melemahkan penegakan ketentuan tersebut. Contohnya “Pelatihan kerja
diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintahan dan/atau lembaga
pelatihan kerja swasta.”
Ketentuan tersebut akan mempunyai daya persuasif yang kuat jika diubah
menjadi kalimat aktif sebagai berikut : “ Lembaga pelatihan kerja pemerintah
dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta menyelenggarakan pelatihan kerja.”
5. Kalimat Panjang
Kalimat panjang sering kehilangan fokus dan melelahkan pembacanya. Rata-
rata pembaca hanya dapat menangkap sedkit ide pada satu waktu untuk short term
memory. Setelah dua atau tiga ide, pembaca perlu berisitirahat sejenak dan
merangkum apa yang telah dibacanya.
Dalam Peraturan Perundang-undangan tidak jarang berbagai ide atau gagasan
dituangkan dalam satu pasal atau ayat, sehingga pasal atau tersebut menggunakan
kalimat panjang.
6. Kalimat Majemuk
Tidak sedikit norma dirumuskan dengan menggunakan kalimat majemuk yang
merupakan gabungan beberapa kalimat tunggal sehingga kalimat gabungan
tersebut mempunyai dua subjek atau lebih, dua predikat atau lebih.
7. Pengungkapan tidak logis
Kalimat yang diucapkan atau yang dituliskan haruslah dilandasi suatu
pemikiran yang jernih. Jika kalimat yang dituliskan berawal dari pemikiran yang
kusut, kalimat yang lahir adalah kalimat yang tidak logis.
Kalimat tidak logis contohnya “Setiap orang yang melakukan kebohongan
publik melalui media elektronik atau media cetak diancam dengan….”. Makna
kebohongan publik ialah kebohongan milik publik.
Setelah ditelusuri konteks situasi pengucapannya, ternyata yang dimaksudkan
ialah kebohongan terhadap publik, tentang bohong kepada publik, atau perbuatan
bohong kepada publik. Jika demikian, kalimat itu diperbaiki menjadi : “Setiap
orang yag melakukan kebohongan kepada publik melalui media elektronik atau
media……”

Anda mungkin juga menyukai