Resume ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi
Disusun oleh :
2022
Tujuh Masalah dalam Legal Drafting
Naskah Akademik sebagai hasil penelitian atau pengkajian yang harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah paling tidak memiliki cirri-ciri tulisan ilmiah
sebagai berikut:
a. Metode kajian idiealis, berusaha menguji hokum yang harus mewujudkan nilai-
nilai tertentu terutama untuk memahami arti keadilan
b. Metode normatif, bagi mereka yang memilih melihat hokum sebagai suatu system
peraturan-peraturan yang abstrak
c. Metode sosiologi, digunakan oleh mereka yang memahami hokum sebagai alat
mengatur masyarakat
a. diskriminatif:
b. memberlakukan ketentuan hukum secara retroaktif:
c. menimbulkan ketidakpastian hukum:
d. melanggar prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan:
e. melanggar kewenangan regulasi pemerintah:
f. menyebabkan terhalangnya akses keadilan:
g. bertentan gan dengan asas atau prinsip-prinsip hukum yang berkaitan secara
spesifik dengan Undang-undang yang bersangkutan:
h. bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi,
i. melanggar prinsip persamaan hak:
j. melanggar asas praduga tak bersalah:
k. melanggar prinsip equal protection,
l. menimbulkan dualisme hukum.
F. Sektoralisme
Peraturan pperundang-undangan tersusun secara hierarkis,saling berhubungan
dan berkaitan satu sama lain sebagai bagian dari sisteem hokum nasional berdasarkan
Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perancang harus
menyadari bahwa ketika ia menyusun peratura perundang-undangan sesungghnya ia
sedang mengisi salah satu unsur yang merupakan bagiian integral dari system hukum
nasional yang hendak dibangun.
Berdasarkan kententuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, prakarsa
mengajukan Rancangan Undang-undang dapat diajukan oleh DPR, Presiden, atau
DPD. Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh presiden disiapkan oleh
menntrii atau pimpinan lembaga pemerintahan nonkementrian sesuai dengan lingkup
tugas dan tanggung jawabnya. Menurut Kementrian PPN/Bappenas “saat iini tidak
ada satupun lembaga yang mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan
pengelolaan regulasi secara nasional. Kewenagana perumusan kebijakan dan
pembentukan regulasi tersebut tersebar pada kementrian/lembaga, sementara
Kementrian Hukum dan Ham yang tidak mempunyai kewenangan untuk menangani
kebjaknnya hanya menangani sebagian proses pembentukan regulasi (harmonisasi
dan pendampingan ketika proses tersebut masuk pada tahap pembahasan di
parlemen)”. Konsekuensi pengaturan kelembagaan seperti itu mengakibatkan
hilangnya kendali terhadap proses perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi,
sehingga hasilnya adalah kuantitas regulasi terus meningkat dan kualitas regulasi terus
menurun. Implikasinya ialah kepastian hukum semakin tidak terwujud. Dapat
ditambahkan bahwa program legilasi nasional belum dapat dikatakan sebagai grand
design system hukum nasional, karena hanya memuat daftar prioritas pembentkan
Undang-undang untuk jangka menengah dan jangka pendek.
Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tahun 1995/1996 telah menyusun
buku Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan
Hukum Jangka Panjang. Dalam buuku tersebut dikemukakan “apabila hukum
nasional dipandang sebagai suatu site, maka upaya pembangunan hukum menuju
terwujudnya Sistem Hukum Nasional tidak hanya meliputi pembangunan mateeri
hukum, akan tetapi juga meliputi pembangunan budaya hukum, lembaga dan aparatur,
termasuk penyempurnaan proses, prosedur dan mekanisme hukum serta modernisasi
sarana dan prasarana hukum”. Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional, paling
sedikit terdapat dua belas kelompok besar variabel hukum nasioanl yaitu :
1. Penataan politik hukum
2. Pengembangan ilmu dan filsafat hukum
3. Pendidikan hukum
4. Informasi hukum
5. Pengkajian dan penellitian hukum
6. Penerapan/pentaatan dan pelayanan hukum
7. Pebentukan hukum
8. Penindakan hukum
9. Perencanaan hukum
10. Pengorganisasian/pelembagaan
11. Evaluasi hukum
12. Pengawasan hukum
Seluruh komponen itu harus dibangun secara stimulant, sinkron dan terpadu.
Namun sayangnya hanya sebagian kecil saja dilaksanakan, lebih banyak yang
dilupakan. Akibat pengaturan kelembagaan seperti itu pemerintah kehilangan kendali
terhadap proses perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi. Hasilnya adalah
kuantitas regulasi terus meningkat dan kualitas regulasi terus menurun. Implikasinya
ialah kepastian hukum semakin tidak terwujud.
Tidak jelasnya lembaga yang berwenang mengendalikan pembentukan
peraturan perundang-undangan menyebabkan berkembangnya “sektoralisme”.
Sektoralisme yang dimaksud adalah suatu paham yang mementingkan sektor.
Reformasi tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan
menuju pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih komprhensif,
sinergis dengan pendekatan system. Tujuannya ialah untuk menghasilkan peraturan
perundang-undangan yang responsive, aspiratif, dan memenuhi kriteria legalitas,
kebutuhan dan ramah urusan, sebagai bbagian integral dari system hukum nasional.
Peraturan perundang-undangan (regulasi) yang memenuhi kriteria legalitas adalah
regulasi yang tidak bertentangan dengan regulasi lain baik secara vertical maupun
horizontal. Kriteria kebutuhan dipenuhi jika regulasi yang berangkutan dibutuhkan
oleh masyarakat atau responsif terhadap aspirasi masyarakat. Kriteria ramah urusan
yaitu jika regulasi yang dibentuk btul-betul mengakomodasi tuntutan pelayanan
public yang menghendaki kelancaran, kemudahan, dan biaya yang wajar dan bebas
dari praktik uang dinawah meja alias uang semir. Rekonseptualisasi tata cara
pembentukan regulasi dilakukan dengan cara melihat kembali dan menata kembali
tata cara pembentukan regulasi agar proses pembentukan regulasi menjadi lebih
komprehensif dan lebih mampu menghasilakn regulasi yang berkualitas.