Anda di halaman 1dari 131

RINGKASAN EKSEKUTIF

PENELITIAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

Latar Belakang
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) secara sempit dapat diartikan
sebagai penyusunan suatu daftar materi perundang-undangan atau daftar judul
RUU yang telah disepakati. Daftar urutan tersebut dibuat oleh DPR/Pemerintah
berdasarkan urgensi dan prioritas pembentukannya. Prolegnas dalam arti luas
mencakup program pembinaan hukum, pengembangan yurisprudensi,
pembinaan program perjanjian (termasuk ratifikasi konvensi internasional).
Maka telah ditetapkan Propenas sebagai lampiran Tap MPR No.
V/MPR/2000. Namun, dalam kenyataannya Propenas belum berhasil
mengarahkan Prolegnas ke arah yang diinginkan. Hal ini antara lain sebagai
konsekuensi dan konfigurasi politik Orde Baru yang tidak kondusif, yang
sampai saat ini masih kuat berakar.

Hasil Studi

Beberapa kesimpulan yang dihasilkan antara lain penyusunan Prolegnas


masih dalam taraf mencatat daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan, karena
daftar undang-undang yang dituangkan melalui Propenas tersebut terbukti
belum mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat (para
stakeholders). Proses pembentukan, perubahan (revisi), dan pencabutan suatu
undang-undang dalam kenyataan belum memberikan akses yang seimbang
kepada setiap stakeholder dalam menyuarakan kepentingannya. Di samping itu,
mekanisme penyusunan sampai dengan tahap pengesahan suatu undang-
undang, baik menurut Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 maupun
menurut Peraturan Tata Tertib DPR tidak menjamin pemberian akses yang
memadai bagi masyarakat (stakeholders) dalam menyampaikan aspirasi mereka.
Prolegnas yang dicantumkan dalam Propenas, BPHN, Baleg DPR, dan LoI
berawal dari sejumlah indikator yang berbeda penekanannya, namun pada
dasarnya bermuara kepada tiga faktor utama, yaitu adanya: (a) desakan untuk
memberi respon terhadap tuntutan reformasi di bidang hukum, (b) anggapan
bahwa pemulihan ekonomi tidak mungkin berjalan tanpa didukung oleh
pembenahan perangkat hukum positif, (c) urgensi untuk menyikapi
perkembangan regional dan global. Bervariasinya indikator yang digunakan
menunjukkan ketidakjelasan politik hukum Indonesia, khususnya yang terkait
dengan politik pembentukan hukum.
Penerapan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun
2000—2004 ternyata juga tidak efektif. Hal ini dapat diamati dari beberapa hal.
Pertama, jumlah undang-undang yang diproduksi dalam kurun waktu 2000—
2002 ternyata hanya sekitar seperempat dari jumlah keseluruhan produk yang
direkomendasikan Propenas. Kedua, sebagian dari rancangan undang-undang
yang diprogram untuk periode 2003—2004 sebagian besar tidak sesuai dengan
rekomendasi Propenas. Kondisi demikian terjadi karena terdapat kebutuhan
mendesak yang diserap oleh departemen/LPND, yang sebelumnya tidak
terakomodasikan oleh Propenas. Di luar itu, terdapat tekanan eksternal (pihak
internasional) yang cukup berperan dalam pergantian prioritas pembentukan,
perubahan, dan pencabutan suatu undang-undang.
Pendekatan sistematis untuk menjalankan Prolegnas belum secara
sungguh-sungguh diperhatikan.

Beberapa Kelemahan

Dalam tataran kebijakan makro, kelemahan ini karena ketidakjelasan politik


hukum nasional. Padahal politik hukum inilah yang memberi arahan ke arah
mana Prolegnas harus digulirkan.
Kelemahan lain terdapat pada tataran struktural. DPR dan Pemerintah
sebagai lembaga masih menggunakan pola pendekatan yang berbeda. Di satu
sisi, landasan normatif yang digunakan masih belum sama, tetapi di sisi lain
“arogansi sektoral” (baca: kepentingan sepihak) pada masing-masing institusi
juga sangat mendominasi.

Rekomendasi

Rekomendasi kebijakan dalam Prolegnas mengharuskan adanya penetapan


rentang waktu yang agak panjang (5 sampai 10 tahun). Perlu ada sebuah institusi
independen (komisi) di bidang perarturan perundang-undangan.
DPR dan Pemerintah sebagai dua lembaga pembentuk undang-undang
menetapkan politik hukum nasional. Untuk menetapkan politik hukum ini, DPR
dan Pemerintah dibantu oleh institusi independen (komisi di bidang peraturan
perundang-undangan) yang secara khusus diberi tugas menjabarkannya menjadi
daftar kebutuhan undang-undang (baca: Prolegnas) untuk dijadikan pedoman
penyusunan Repeta.
Penyusunan dan perumusan suatu undang-undang selain terkait masalah
substansi, juga harus memperhatikan aspek teknis. Maka peran para tenaga
perancang undang-undang (legal drafters) sangat penting. Di sisi lain, standar
kualitas perancangan undang-undang harus ditetapkan pula.
Mekanisme sosialisasi suatu undang-undang perlu diberi perhatian dalam
mengoptimalkan efektivitas keberlakuan suatu undang-undang.
Penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu undang-undang wajib
ditunjang oleh hasil penelitian hukum yang sungguh-sungguh komprehensif
dan mendalam, baik dari sudut substansi maupun metodologinya. Hasil
penelitian tersebut merupakan salah satu dasar untuk penyusunan naskah
akademik, dan keberadaan naskah akademik dinyatakan sebagai prasyarat wajib
(bukan sekadar anjuran) untuk pembuatan sebuah undang-undang.
Mekanisme penyusunan undang-undang dituangkan dalam sebuah produk
hukum yang berlaku baik untuk undang-undang yang berasal dari hak inisiatif
DPR maupun dari hak inisiatif Pemerintah.
DAFTAR ISI

Ringkasan Eksekutif

Daftar Isi

BAB I KONTEKS STUDI


A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Ruang Lingkup dan Permasalahan ............................................… 2
C. Maksud dan Tujuan ...................................................................... 3
D. Sasaran ………………………………………………………………….. 3
E. Metode .......................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengertian Program Legislasi Nasional .......................................…. 10
B. Tujuan Hukum ………….................................................................…… 12
C. Proses Pembentukan Hukum yang Demokratis ..........................….. 18
D. Kerangka Orientasi Berpikir Yuridis dalam Prolegnas ….................. 24

BAB III PROGRAM LEGISLASI NASIONAL


A. Program Legislasi BPHN …..........................................…..………... 35
B. Badan Legislasi DPR .................................................…............... 37
C. Program Letter of Intent (LoI) ...........................................…............ 47
D. Program Pembangunan Nasional (Propenas) .....................…............ 54

BAB IV ANALISIS PERMASALAHAN


A. Akomodasi Aspirasi Masyarakat dalam Prolegnas .………………... 59
1. Mekanisme Prolegnas yang Aspiratif ………………………… 59
2. Lembaga Ideal Penyusunan Prolegnas ………………………….. 68
3. Produk Hukum Prolegnas ………………………………………. 71
B. Indikator Penetapan Prioritas Program Legislasi Nasional .......... … 72
C. Penetapan Prioritas Prolegnas dalam Berbagai Bidang ............……. 79

BAB V KESIMPULAN ………………………………………………………….. 88

BAB VI REKOMENDASI ………………………………………………………….. 90

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................……….. 99

Lampiran 1: Prolegnas BPHN


Lampiran 2: Prolegnas DPR
Lampiran 3: Prolegnas LoI
Lampiran 4: Prolegnas Propenas

Lampiran 5: RUU di luar Propenas


BAB I
KONTEKS STUDI

Latar Belakang

Berbagai masalah dan kesulitan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia


saat ini, tidak lepas dari kondisi hukum nasional yang centang perenang. Hukum,
sebagaimana diidentifikasi dalam Lampiran Tap MPR No. V/MPR/2000, telah
menjadi alat kekuasaan dan pelaksanaannya telah diselewengkan sedemikian
rupa sehingga bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, yaitu persamaan
hak setiap warga negara di hadapan hukum.
Perangkat hukum yang demikian itu hadir sebagai konsekuensi dari
konfigurasi politik Orde Baru yang anti demokrasi. Akibatnya manajemen
produksi hukum berjalan tanpa sebuah perencanaan yang seksama, bahkan tidak
jarang hukum diproduksi hanya untuk merespon kepentingan segelintir orang
yang memiliki akses ke lingkaran dalam penguasa.
Selain itu, proses produksi hukum pun berlangsung sangat elitis dan sama
sekali menutup akses rakyat atau warga negara untuk mempengaruhi keputusan
pembentukan hukum itu. Bahwa dalam proses produksinya melibatkan DPR dan
organisasi profesi, memang tidak dapat disangkal. Akan tetapi, secara substantif,
pelibatan DPR dan organisasi profesi atau organisasi masyarakat sekalipun
sangat artifisial, sebab perdebatan yang terjadi semata-mata dalam wilayah
semantik. Apalagi, telah menjadi rahasia umum, bahwa organisasi profesi dan
organisasi kemasyarakatan, ketika itu, telah terkooptasi oleh kekuasaan yang
tengah bertahta.
Sesudah tumbangnya rezim Orde Baru yang disusul dengan hadirnya
sebuah pemerintahan baru melalui sebuah pemilihan umum yang relatif
demokratis, maka tuntutan pembaruan manajemen produksi hukum pun
merupakan conditio sine quanon.
Belajar dari pengalaman sejarah tersebut di atas, maka pembenahan
manajemen produksi hukum merupakan sebuah langka strategis untuk
mewujudkan amanah reformasi yakni tegaknya sistem hukum yang didasarkan
pada nilai filosofis yang berorientasi pada kebenaran dan keadilan, nilai sosial
yang berorientasi pada tata nilai yang berlaku dan bermanfaat bagi masyarakat,
serta nilai yuridis yang bertumpu pada ketentuan perundang-undangan yang
menjami ketertiban dan kepastian hukum.
Secara demikian, maka upaya pembaruan program legislasi nasional
seyogyanya didasarkan pada dua pertimbangan, yakni substansial berdasarkan
amanat reformasi dan proses yang harus partisipatif sesuai dengan tuntutan
demokrasi.

Ruang Lingkup dan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka ruang lingkup dan permasalahan

yang akan menjadi fokus kajian ini adalah sebagai berikut:

(1) Bagaimana pengakomodasian aspirasi masyarakat dalam penyusunan


program legislasi nasional?
a) Bagaimana mekanisme penyusunan program legislasi nasional yang
aspiratif?
b) Lembaga apa yang ideal untuk menyusun program legislasi nasional
tersebut?
c) Dalam produk hukum apa program legislasi nasional sebaiknya
dituangkan?
(2) Apa indikator penetapan prioritas program legislasi nasional?
(3) Apa prioritas program legislasi nasional dalam bidang hukum, bidang
ekonomi, bidang sosial dan politik, bidang pertahanan dan keamanan, dan
bidang kesejahteraan rakyat?

Maksud dan Tujuan

(1) Menginventarisasi produk legislasi dan klasifikasi berdasarkan Tap MPR


Np. I/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi dan Tap MPR No.
IV/MPR/ 1999 tentang GBHN untuk menganalisis pengakomodasian
aspirasi masyarakat didalamnya, meliputi mekanisme, sistem
kelembagaan dan format hukum yang diberlakukan.
(2) Menyusun prioritas perubahan/pencabutan produk-produk legislasi
dalam rangka program legislasi nasional.
(3) Menyusun prioritas RUU berdasarkan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat untuk tahun 2003 da n 2004
(4) Mengkaji prioritas legislasi bidang hukum
(5) Mengkaji prioritas legislasi bidang ekonomi
(6) Mengkaji prioritas legislasi bidang hankam
(7) Mengkaji prioritas legislasi bidang sospol
(8) Mengkaji prioritas legislasi bidang kesra
(9) Mengkaji prioritas legislasi yang berkaitan dengan konvensi-konvensi
internasional

Sasaran
(1) Manata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu sesuai
dengan amanat reformasi.
(2) Menegakkan reformasi hukum dan perundang-undangan secara
konsisten dan bertanggungjawab.

Metode

(1) Desain

Kajian studi ini dilakukan dengan menggunakan pola sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara akan dilakukan dengan anggota DPR saat ini,


khususnya dengan anggota DPR yang termasuk anggota Tim Legislasi.
Selain itu, dilakukan pula wawancara dengan 21 Kepala Biro Hukum
departemen-departemen/instansi pemerintah yang telah memiliki
program legislasi masing-masing.
Wawancara juga dilakukan kepada para ahli di bidang hukum,
ekonomi, politik, kesejahteraan rakyat, sosial budaya, pertahanan
keamanan, dan konvensi Internasional.

b. Pertemuan konsultasi dan Sub Komisi KHN

Agar arah dan fokus kajian sesuai dengan program Komisi


Hukum Nasional, maka selama berlangsungnya penelitian akan
dilaksanakan pertemuan konsultatif dengan Sub Komisi KHN sebanyak 4
(empat) kali.

c. Workshop

Sementara itu, untuk memperoleh wawasan materi dan


ketajaman analisis, maka selama berlangsungnya penelitian dilakukan 2
(dua) kali Workshop yang melibatkan para peserta dengan latar belakang
berbeda tetapi terkait dengan program legislasi nasional. Para peserta
yang dilibatkan adalah dari kalangan Akademisi, Lembaga Swadaya
Masyarakat, Praktisi (Advokat, Notaris, Kurator), Penegak Hukum
(Hakim, Jaksa, Polisi, dan Panitera), Usahawan, Lembaga Pemerintah
Departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen,
Pengawas/Pemerhati, dan Organisasi Profesi.

Workshop juga mengundang para Ahli sebagai nara sumber untuk


memberi tanggapan dan masukan atas hasil penelitian sementara. Adapun para
ahli yang diundang sebagai berikut:
1. Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M. (Pakar hukum ekonomi
Universitas Indonesia).
2. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. (Hakim Agung).
3. Rony Bako, SH., M.H. (Anggota Tim Legislasi Dewan Perwakilan
Rakyat)
4. Prof. H. A.S. Natabaya, S.H., LL.M (Mantan Kepala BPHN)
5. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., (Pakar hukum tata negara
Universitas Indonesia).
6. Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H. (Pakar Filsafat/Teori Hukum
Univeristas Parahyangan, Bandung).

d. Konsultasi Publik

Demikian pula, agar proses pembaruan Program Legislasi


Nasional ini berjalan demokratis, maka partisipasi masyarakat akan
dikembangkan melalui Konsultasi Publik, yang akan dilakukan di
Makassar dan Medan. Konsultasi Publik akan dilangsungkan dengan
menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) dengen elemen
masyarakat terkait (stakeholders).

(2) Sampel dan Daerah Penelitian

Pengambilan sampel studi ini melibatkan responden dengan latar


belakang pendidikan dan profesi yang berkaitan dengan program legislasi,
yaitu dari kalangan akademisi, lembaga swadaya masyarakat, praktisi
(advokat, notaris, kurator), penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan
panitera), usahawan, Lembaga Pemerintah Departemen/Lembaga
Pemerintah Non-Departemen, pengawas/pemerhati, dan organisasi profesi.

Pemilihan responden dilakukan dengan mengundang seluruh instansi


yang terkait, sehingga responden yang betul-betul terlibat dalam studi ini
adalah berdasarkan penunjukan instansi pengirimnya.

Lokasi studi, selain di Jakarta juga di Medan dan Makassar. Pemilihan


Medan dan Makassar didasarkan pada pembagian wilayah Indonesia bagian
Barat da n Timur untuk mendapatkan keseimbangan pandangan atas studi ini.
Medan mewakili Indonesia bagian Barat, sedangkan Makassar mewakili
Indonesia bagian Timur.

Adapun komposisi pembagian responden berdasarkan profesi mereka


adalah sebagai berikut:

Jumlah Responden di Jakarta:


Kelompok Jumlah

Akademisi 20

Lembaga Swadaya Masyarakat 10

Praktisi (Advokat, Notaris, Kurator) 15

Penegak Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, dan 10


Panitera)

Usahawan 5

Lembaga Pemerintah Departemen/Lembaga 20


Pemerintah Non-Departemen

Pengawas/Pemerhati 10

Organisasi Profesi 10

Jumlah 100

Jumlah Responden di Medan dan Makassar:

Kelompok Jumlah

Akademisi 4

Lembaga Swadaya Masyarakat 2

Praktisi (Advokat, Notaris, Kurator) 10

Penegak Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, dan 10


Panitera)

Usahawan 2

Lembaga Pemerintah Departemen/Lembaga 4


Pemerintah Non-Departemen

Pengawas/Pemerhati 4

Organisasi Profesi 4
Jumlah 40

(3) Alat dan Teknik Pengumpulan Data

Sebagai penelitian hukum normatif, kajian ini mengandalkan data


sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum
primer terdiri atas Tap-Tap MPR, UU, dan Konvensi-Konvensi Internasional.
Bahan hukum sekunder berupa dokumen pembahasan RUU di DPR, wacana
yang berkembang di masyarakat ketika suatu RUU dibahas ya ng terekam
dalam liputan media massa, serta dokumen program legislasi DPR dan
departemen-departemen. Data tersier berupa kamus hukum dan
ensiklopedia.
Untuk mendapatkan informasi yang akurat seputar program legislasi
nasional ini, maka dilakukan pengumpulan bahan penelitian dari lembaga
sumber utama yaitu BPHN sebagai lembaga yang mewakili program legislasi
yang diadakan oleh Pemerintah (lembaga eksekutif), Badan Legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat, sebagai perwakilan dari lembaga legislatif, Letter of Intent
yang merupakan dokumen yang mengandung program legislasi nasional
yang bersumber dari pengaruh dunia Internasional, dan Program
Pembangunan Nasional (Propenas) – Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000,
sebagai bentuk kompromi antar lembaga yang memiliki program legislasi dan
dokumen resmi nasional yang mencantumkan pula program legislasi nasional
yang diinginkan untuk jangka waktu tahun 2000-2004.
Disamping pengumpulan data sekunder di atas, studi ini juga
menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam
dengan sistem semi structured interview, yaitu wawancara yang terstruktur
dengan menyiapkan daftar wawancara untuk menghindari informasi yang
subjektif sifatnya, namun tetap memberi ruang untuk mengembangkan
pertanyaan dari jawaban-jawaban yang diberikan sebelumnya. Disamping itu
metode observasi partisipatori juga digunakan dengan melibatkan responden
untuk mengamati dan menganalisis kondisi yang ada di lapangan, dengan
demikian pendapat subjektif dari responden turut diperhitungkan.
Instrumen yang dipakai dalam studi ini adalah angket yang disusun
untuk mendapatkan informasi yang akan menjawab tujuan dan sasaran studi
ini. Sedangkan bentuk angket yang digunakan menggunakan jawaban
terbuka dan tertutup disesuaikan dengan jenis pertanyaan dan target yang
diinginkan dari setiap pertanyaan yang diajukan.

(4) Analisis Data

Segenap data yang telah dikumpulkan dianalisis melalui prosedur, sebagai


berikut:
1. Tap MPR, UU, dan Konvensi dimatriks berdasarkan klasifikasi bidang
hukum untuk memetakan materi muatan.
2. Berdasarkan pemetaan materi muatan di dalam matriks, kualitas norma
yang terkandung di dalamnya akan dianalisis dengan menggunakan
kriteria nilai filosofis, nilai sosial, dan nilai yuridis, sebagaimana yang
diamanatkan dalam Tap MPR No. V/MPR/2000.
3. Hasil analisis tersebut dijadikan dasar untuk menyusun UU sebagai
bagian dari Program Legislasi Nasional, baik untuk tahun 2002, maupun
untuk jangka menengah (hingga 2004).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Program Legislasi Nasional

Program Legislasi Nasional (dulu disebut program legislatif nasional) pada


hakikatnya adalah program perencanaan nasional di bidang perundang-undangan
(Marzuki, 2001). Kata “program” atau “programme” dalam The Advanced Learner’s
Dictionary of Current Eng lish, diartikan sebagai “List of items, events, etc.” atau “… plan of
what is to be done.” Sementara itu, menurut Black’s Law Dictionary, istilah “legislation”
diartikan dalam banyak makna, yaitu:
The act of giving or enacting laws; the power to make laws; the act of legislating;
preparation and enactment of laws; the making of laws via legislation, in contrast
to court-made laws. Formulation of rule for the future. Laws enacted by
lawmaking body.

Sekalipun berarti banyak, namun bentuk akhir dari proses legislasi itu adalah
undang-undang. Dalam konteks Prolegnas, proses ini berupa penyusunan suatu daftar
materi perundang-undangan atau daftar judul RUU yang telah disepakati (oleh semua
unsur terkait), diurut berdasarkan urgensi dan prioritas pembentukannya oleh
Pemerintah atau pembahasaannya di DPR. Daftar tersebut bukan hanya menampung
keinginan departemen/LPND atau Pemerintah, atau komisi-komisi di DPR, melainkan
hasil kesepakatan bersama sebagai suatu rencana strategis, dan oleh karena itu telah
pasti akan dan harus mendapatkan dukungan penganggarannya dalam RAPBN
(Wargakusumah, 1999).
Pengertian Prolegnas di atas adalah batasan dalam arti sempit. Sebab, dalam
pendekatan yang terintegrasi, Prolegnas ini sebenarnya tidak sekadar program
pembentukan hukum, sekalipun aspek ini memang yang menjadi perhatian utama.
Menurut Hasan Wargakusumah (1999), Prolegnas tersebut juga mencakup program
pembinaan hukum tidak tertulis (termasuk program pembinaan hukum adat), program
pengembangan yurisprudensi (keputusan-keputusan hakim), dan program pembinaan
perjanjian (termasuk ratifikasi konvensi-konvensi badan-badan PBB dan traktat dengan
negara-negara tetangga).
Pentingnya arti Program Legislasi Nasional sendiri telah disadari sejak lama di
Tanah Air. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah beberapa kali
menggulirkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) ini, namun biasanya terbentur
pada persoalan-persoalan teknis yang berujung pada pencapaian hasil kajian yang tidak
optimal.
Untuk dapat mengakomodasikan pendekatan filsafati, yuridis, dan sosiologis,
sebagaimana akan diungkapkan pada paparan di bawah, suksesnya Program Legislasi
Nasional memutlakkan kerja sama dengan peneliti-peneliti hukum independen.
Kelemahan terbesar dari perjalanan sistem hukum Indonesia, khususnya pada era Orde
Baru adalah kurangnya dukungan penelitian sebelum suatu produk hukum
dimunculkan. Kajian-kajian akademik memang dibuat, tetapi harus diakui sangat
kering dengan analisis filsafati dan antropologis-sosiologis.
Ketika gerakan reformasi dicetuskan tahun 1998, Bank Dunia memberikan suatu
grant untuk membuat “diagnostic assessment of legal development in Indonesia ”. Proyek ini
telah selesai dilakukan, dan hasilnya diterbitkan dalam sebuah buku yang disusun oleh
Kantor Hukum Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR) bekerja sama dengan
Kantor Hukum Mochtar, Karuwin, Komar (MKK). Rekomendasi yang diberikan oleh
pengkajian ini juga senada, yakni menggarisbawahi pentingnya pembangunan hukum
itu membuka diri pada aspirasi masyarakat. Kemudian, diga riskan pula perlunya
reformasi menyentuh pendidikan hukum yang didukung oleh penelitian hukum (Gaffar
& Kasim, 2000).
Uraian tinjauan pustaka berisi konsep-konsep penting tentang Prolegnas.
Pertama, dijelaskan tentang tujuan hukum sebagai nilai terpenting dalam suatu produk
hukum. Tujuan hukum ini terkait dengan keberlakuan filosofis yang selayaknya
dijadikan acuan dalam Prolegnas. Peletakan dasar pijakan filosofis tadi berhubungan
dengan aliran-aliran filsafat hukum. Dalam tinjauan ini sekaligus akan diintroduksi satu
pendekatan aliran filsafat hukum yang dianggap paling sesuai dengan konteks
Indonesia, namun tetap menjamin bahwa proses pembentukan hukum tersebut
berlangsung demokratis. Rangkuman tentang aliran filsafat hukum yang
direkomendasikan tersebut selanjutnya mendapat penekanan pada bagian akhir bab ini,
yakni tatkala dibahas tentang keterkaitan antara kerangka orientasi berpikir yuridik dan
Prolegnas di Indonesia. Proses pembentukan hukum yang demokratis dijadikan uraian
berikutnya. Tinjauan ini sangat berguna untuk melihat apakah mekanisme Prolegnas itu
sendiri telah memenuhi indikator-indikator pembentukan hukum yang demokratis
sebagaimana diamanatkan oleh reformasi hukum. Pada bagian akhir, disinggung
tentang kerangka orientasi berpikir yuridik dalam kaitannya dengan Prolegnas.
Kerangka orientasi berpikir yuridik

B. Tujuan Hukum

Seorang filsuf era Zaman Antik (Yunani Kuno) bernama Cicero, pernah
mengatakan, “Ubi societas, ibi ius.” Maknanya, “Di mana ada masyarakat, di situ ada
hukum.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa hukum pada dasarnya selalu muncul sejak
pertama kali masyarakat itu ada, yang ditandai oleh pembenturan kepentingan-
kepentingan.
Pengertian “ius” (hukum) itu sendiri dalam perkembangannya menjadi
demikian variatif. Ada yang mengartikannya sebagai nilai-nilai yang menuntun sikap
dan perilaku manusia. Ada pula yang lebih konkret daripada itu, yakni sebagai norma.
Lebih jauh lagi, ada yang secara spesifik menunjuk kepada norma tertentu yang secara
formal dibuat oleh penguasa negara.
Perbedaan pandangan tentang hukum tersebut diejawantahkan dalam
konfigurasi aliran-aliran berpikir dalam dunia hukum. Pada tataran grand theories dalam
disiplin hukum, kecenderungan berpikir tadi disebut aliran filsafat hukum. Ada banyak
aliran filsafat hukum, yang pengelompokkannya dapat didasarkan pada sejumlah
asumsi. Salah satu asumsi yang paling sering digunakan adalah dengan berpijak pada
tujuan hukum yang dipersepsikan setiap aliran.
Salah satu isu sentral yang dijadikan diskursus aliran-aliran di atas adalah
eksistensi hukum alam dan hukum positif. Di sini terkait persoalan keberadaan
program legislasi. Uraian di bawah ini akan memfokuskan pada isu sentral ini,
sekaligus ingin mengaitkannya dengan pandangan-pandangan sejumlah aliran filsafat
hukum.
Ada dua kelompok pendekatan yang esktrem dalam melihat arti penting suatu
legislasi. Kubu ekstrem pertama diwakili oleh Aliran Hukum Kodrat (sering juga
disebut Aliran Hukum Alam). Sedangkan kubu ekstrem kedua adalah Positivisme
Hukum, yang justru sebaliknya, sangat memutlakkan legislasi sebagai sumber hukum
satu-satunya. Di antara keduanya muncul aliran-aliran lain, seperti Utilitarianisme,
Mazhab Sejarah, Sociological Jurisprudence, Realisme, atau Critical Legal Studies.
Pemetaan terhadap aliran-aliran filsafat hukum di atas akan lebih mudah
dilakukan dengan menarik garis berdasarkan tujuan hukum yang diwakili masing-
masing. Tujuan hukum tersebut diinspirasi dari pertanyaan fundamental tentang
keterkaitan antara “hukum” dan “moral”. Untuk memudahkan pembahasan ini,
“hukum” di sini akan diartikan sama dengan “hukum positif” sebagai produk
penguasa. Aturan hukum positif (rule of law) yang paling konkret adalah perundang-
undangan (legislasi). Perdebatan antara dua kubu ekstrem di atas, berawal dari
persoalan penempatan hukum dan moral ini. Andrew Altman (2001)
mengilustrasikannya sebagai berikut:
1. Is the rule of law best understood as (a) the rule of law alone, or (b) the rule of natural law
and of positive law only insofar as it is consistent with natural law?
2. Is any rule of positive law that is in conflict with natural law invalid and incapable of
imposing any obligation on us?
3. Are acts contrary to natural law crimes even if there is no specific positive law that makes
them criminal?
Dalam bahasa yang lebih sederhana, Andrew Altman (2001) lalu meringkaskan
kembali ketiga pertanyaan tadi menjadi:
1. Does the concept of rule of law necessarily include the idea of natural law?
2. Are positive laws necessarily lacking in validity whenever they conflict with natural law?
3. Are acts that violate the obligations of natural law necessarily crimes, regardless of how the
positive law regards them?
Penganut Aliran Hukum Kodrat, khususnya yang berada dalam perspektif
tradisional (dengan Thomas Aquinas sebagai figur sentral), selalu berkeyakinan bahwa
tujuan hukum yang hakiki adalah keadilan. Legislasi (lex positivis) sebagai produk
hukum buatan manusia, ditempatkan pada kategori paling bawah setelah lex aeterna, lex
naturalis, dan lex divina. Posisi lex positivis ditentukan sepenuhnya oleh hukum-hukum
di atasnya, sehingga apabila terdapat kontradiksi, hukum positif itu menjadi batal
dengan sendirinya.
Lex divina sebagai guidance to the ultimate good selalu berlaku universal dan
abadi. Sebagai pedoman, muatan keseluruhannya adalah moralitas. Moralitas ini pula
yang menentukan segalanya. Tiada hukum tanpa moral. Bahkan, lebih jauh lagi, hukum
itu identik dengan moral. Sebab, hanya hukum yang bermoral yang dapat membimbing
manusia kepada pencapaian keadilan sebagai tujuan hukum.
Persoalannya adalah, bagaimana jika hukum itu sampai tidak memuat muatan
moral? Haruskah hukum itu menjadi batal?
Ada versi lain dari aliran ini yang mencoba untuk memodifikasi pandangan
kaum tradisional ini yang belakangan muncul tersebut diwakili oleh Lon Fuller dan
Dworkin.
Fuller berpendapat bahwa sistem hukum yang genuine selalu terikat pada
prinsip-prinsip moral tertentu. Ia menyebut prinsip moral ini dengan istilah “the inner
morality of law”. Prinsip hukum inilah yang menjadi prima facie peletakan kewajiban
kepada setiap warganegara untuk menghormati hukum. Ia mengakui bahwa dalam
kenyataannya, tidak semua produk hukum penguasa (legislasi) konsisten dengan
prinsip-prinsip moral itu. Produk hukum itu jelas tidak baik secara moral, tetapi ia tidak
lalu kehilangan validitasnya, seperti yang selalu ditegaskan kaum tradisional. Di
samping itu Fuller juga membuka kemungkinan lain, bahwa suatu produk hukum
mungkin tidak memiliki keabsahan secara “inner morality”, tetapi dapat dibenarkan
demi tujuan-tujuan sosial.
Dworkin berpendapat sedikit berbeda. Baginya, setiap produk hukum (legislasi)
dengan sendirinya harus dapat diinterpretasi dan diterapkan dengan pendekatan moral.
Baginya, hukum positif harus memiliki integritas moral. Integritas mungkin tidak
menjamin pencapaian keadilan, tetapi integritas tadi akan menjamin adanya derajat
moralitas tertentu (yang cukup) dalam setiap produk hukum, sehingga terhindarilah
legislasi sekadar menjadi produk kekuasaan politik.
Keragu-raguan Aliran Hukum Kodrat untuk mengklaim bahwa hukum positif
(legislasi) sebagai murni produk politik, dijawab secara tegas oleh Positivisme Hukum.
Bagi aliran Positivisme Hukum, hukum adalah benar produk politik. Tujuan hukum
semata-mata adalah untuk memberikan kepastian.
Lebih jauh lagi, menurut aliran ini, hukum adalah perintah dari penguasa (law is
a command of lawgivers). Raymond Wacks (1995) menuliskan tentang pendapat John
Austin, tokoh Positivisme Hukum, tentang hakikat hukum adalah: “…the notion of law as
a command of the sovereign. Anything that is not a command is not law. Only general
commands counts as law. And only commands emanating from the sovereign are ‘positive law’.”
Sebagai konsekuensinya, sumber satu-satunya hukum adalah undang-undang
(dalam arti material). Tugas aparatur hukum, khususnya hakim, adalah menjadi
“corong” dari undang-undang. Tugas hakim adalah menerapkan logika deduktif
(silogisme) untuk menyelesaikan setiap persoalan hukum. Premis mayor yang
digunakan wajib berasal dari undang-undang. Semua dilakukan dalam sistem yang
tertutup.
Tentu saja gagasan Positivisme Hukum baru dapat berjalan baik apabila
diasumsikan kodifikasi-kodifikasi hukum sudah lengkap mengatur segala hal.
Pembentukan undang-undang juga wajib berjalan lancar agar tidak terjadi kevakuman
hukum.
Dalam kenyataannya, asumsi bahwa undang-undang itu lengkap memang tidak
mungkin terjadi. Di sini diperlukan kreativitas penegak hukum, terutama hakim, dalam
melakukan terobosan-terobosan. Apa yang disebut dengan penemuan hukum
(rechtsvinding) adalah salah satu bentuk terobosan yang dimaksud. Namun, jelas
penemuan hukum seperti ini sesungguhnya sudah menyalahi “pakem” Positivisme
Hukum karena telah menjadikan hukum bergerak dalam sistem terbuka.
Rupanya kepastian hukum yang diperjuangkan sebagai satu-satunya tujuan
hukum oleh Positivisme Hukum itu dalam berbagai kesempatan justru menjadi
bumerang bagi masyarakat kebanyakan. Karena penguasa diberi kewenangan untuk
menetapkan hukum, maka dengan sendirinya kepentingan penguasa pula yang lebih
banyak ditonjolkan. Cita-cita untuk berdiri sama tinggi di hadapan hukum, sering lebih
terkesan sebagai utopia.
Lalu, seperti apakah hukum yang baik itu? Utilitarianisme memberikan alternatif
jawabannya. Menurutnya, hukum yang baik adalah hukum yang dapat memberikan
kemanfaatan untuk sebesar-besar jumlah orang. Basis aliran ini sebenarnya masih dalam
satu atap dengan Positivisme Hukum. Artinya, mereka masih mengandalkan kepada
penguasa untuk menetapkan hukum, namun dengan catatan, bahwa hukum produk
penguasa itu bisa baik dan bisa pula buruk.
Baik buruk suatu hukum tentu tidak dapat begitu saja disimpulkan hanya
dengan melihat rumusan normanya. Untuk itu diperlukan serangkaian peristiwa
hukum yang konkret sebagai test-cases. Dari pengalaman (empirik) itulah dapat
diketahui, bahwa suatu produk hukum itu baik atau buruk.
Jika indikator baik buruk suatu hukum baru dapat ditentukan setelah ada
pengalaman, tentu menjadi pertanyaan besar: berapa banyak peristiwa empirik
demikian harus terjadi sebelum berhasil dibuatkan kesimpulan baik dan buruk?
Bagaimana kalau peristiwa-peristiwa itu tidak cukup menggugah kita untuk mengubah
hukum yang buruk itu? Bagaimana jika masih ada keberatan penguasa untuk
mengubahnya?
Cara berpikir yang diperagakan oleh Mazhab Sejarah agaknya mampu
mengantisipasi sebagian pertanyaan di atas. Menurutnya, hukum tidak perlu dibuat
oleh penguasa. Hukum itu tumbuh sendiri bersama dengan masyarakat. Artinya,
biarkan masyarakat itu sendirilah yang menentukan mana hukum yang baik dan yang
buruk. Dalam perjalanan hidup bermasyarakat, proses seleksi itu pastilah sudah
berjalan dengan alamiah.
Dari titik ini sebenarnya kita dapat melihat betapa Mazhab Sejarah mulai
mendekati pemikiran Aliran Hukum Kodrat. Bedanya adalah, pada Aliran Hukum
Kodrat, nilai-nilai dalam hukum itu diproyeksikan secara universal, sementara pada
Mazhab Sejarah, lebih bersifat lokal. Pelopornya, yaitu von Savigny, menggunakan satu
istilah yang menunjukkan adanya jiwa rakyat (Volksgeist) pada setiap bangsa. Di sini
jelas bahwa konsep universalitas hukum, dalam kaca mata von Savigny, sangat tidak
masuk akal, dan sebagai gantinya ia perkenalkan konsep nasionalitas.
Sumber hukum yang utama, menurut Mazhab Sejarah, adalah kebiasaan.
Sumber hukum ini jelas tidak memerlukan pengujian lagi karena telah menjalani proses
sosialisasi yang panjang. Ia adalah hukum yang hidup (living law) dan telah berlaku
secara sosiologis.
Dalam lingkup masyarakat yang susunannya sederhana, barangkali konsep
Mazhab Sejarah dapat diterima baik. Persoalan muncul tatkala konsep ini akan
diterapkan untuk masyarakat yang pluralistis dengan pola kebiasaan yang berbeda.
Penentuan Volksgeist-nya saja mungkin akan memeras energi yang besar, sehingga pada
ujung-ujungnya akan diserahkan pada kepentingan pihak yang paling berkuasa pula.
Jika demikian halnya, hasil akhir Mazhab Sejarah mungkin tidak berbeda jauh dengan
Positivisme Hukum.
Apabila kita mengalami kesulitan untuk menentukan pola -pola umum
(kebiasaan) dari sikap dan perilaku masyarakat, mengapa kita tidak melihat langsung
ke peristiwa konkret yang terjadi? Bukankah setiap peristiwa konkret itu memiliki
nuansa tersendiri, yang tidak begitu saja dapat digeneralisasi?
Pertanyaan tersebut mengilhami munculnya aliran baru dalam filsafat hukum,
yaitu Realisme Hukum. Aliran ini melihat setiap kasus hukum sebagai sesuatu yang
berdiri sendiri. Peristiwa konkret itulah yang menentukan hukumnya, bukan oleh
hukum kodrat, undang-undang, atau kebiasaan.
Dalam derajat yang lebih tinggi, Realisme Hukum lalu berpuncak pada
penolakan sama sekali terhadap otoritas undang-undang yang selama ini dipandang
melebihi sumber-sumber formal hukum lainnya. Tidak ada kedudukan yang lebih
tinggi daripada yang lain. Semua diserahkan kepada keyakinan hakim. Sebab,
kepadanyalah peristiwa konkret itu dipercayakan, dan keputusannya harus
diasumsikan sebagai hukum yang terbaik untuk kasus tersebut. Mungkin keputusan itu
belum mencerminkan keadilan yang diharapkan masyarakat, atau bahkan menyimpang
dari kepastian hukum yang diletakkan undang-undang, namun bagi hakim
keputusannya adalah bermanfaat, khususnya kepada para pihak yang berperkara.
Dari uraian yang sedikit panjang lebar tentang aliran-aliran filsafat hukum dan
tujuan-tujuan hukum yang menyertai masing-masing, dapat diperoleh kesimpulan
bahwa program legislasi yang secara substansial bermutu tinggi dan secara prosedural
sangat aspiratif (dalam arti didesain melalui pendekatan demokratis) adalah suatu
kemutlakan bagi setiap negara modern. Terbukti, semua aliran filsafat hukum, bahkan
yang semula sangat menentang program demikian (antara lain Mazhab Sejarah), pada
akhirnya harus mengakui kenyataan pentingnya produk hukum tertulis, yang bernama
perundang-undangan (legislation). Spirit yang dibawa oleh penentang program legislasi
sebenarnya adalah keinginan agar produk hukum tidak sekadar menjadi produk politik
yang antidemokrasi. Undang-undang harus merekam dan mengakomodasikan
kepentingan masyarakat, sehingga proses produksi hukum itu haruslah sedemokratis
mungkin. Hal-hal yang dikemukakan terakhir ini akan dikupas lebih jauh pada subbab
di bawah ini.

C. Proses Pembentukan Hukum yang Demokratis

Pandangan bahwa hukum sebagai sistem tertutup merupakan salah satu


kelemahan dari Positivisme Hukum. Persoalannya adalah, jika sistem hukum bersifat
terbuka, seberapa besar toleransi hukum terbuka bagi sistem-sistem lain untuk masuk
ke dalam pergulatan internal sistem hukum?
Secara prosedural, desain hukum menjadi kental bermuatan politik. Hal ini
dapat dimengerti karena sistem hukum memang tidak mungkin menutup diri dari
sistem-sistem lain. Bahkan, pernyataan John Austin tentang sistem hukum tertutup
seperti dikemukakan pada subbab di atas, pada dasarnya mengalami contradictio in
terminis dengan pernyataannya semula tentang law as a command of lawgivers.
Keterkaitan sistem hukum dengan sistem lain ditunjukkan secara sangat baik
oleh Talcott Parson dengan Teori Sibernetika-nya (lihat Satjipto Rahardjo, 1985). Dalam
teorinya, Parson menyebutkan tentang ada empat subsistem: budaya, sosial, politik, dan
ekonomi yang senantiasa melingkari kehidupan kemasyarakatan. Dilihat dari arus
energi, subsistem ekonomi menempati kedudukan paling kuat, diikuti subsistem
politik, baru kemudian subsistem sosial (di mana hukum ada di dalamnya), dan diakhiri
oleh subsistem budaya. Di sisi lain, dilihat dari arus informasi (tata nilai), subsistem
budaya justru yang paling kaya, diikuti oleh subsistem sosial, subsistem politik, dan
berakhir pada subsistem ekonomi.
Apa artinya penjelasan Parson ini? Di sini terlihat bahwa anggapan bahwa
hukum adalah produk politik sesungguhnya hanya dapat dibenarkan apabila dilihat
dari arus energi saja. Sementara jika dilihat dari aspek informasi (material), hukum
adalah produk budaya. Oleh karena itu, diskursus aliran-aliran filsafat hukum seperti
yang dikemukakan di depan, menjadi makin relevan apabila dikaji dari perspektif
Parsonian.
Sekalipun pandangan bahwa hukum adalah produk politik itu sangat sepihak,
tidak terbantahkan bahwa pengaruh politik memang besar terhadap pengembanan
hukum (rechtsbeoefening). Program legislasi adalah bagian dari pengembanan hukum ini,
lebih spesifik lagi terkait dengan masalah penciptaan hukum. Itulah sebabnya, bagi
suatu negara modern, program legislasi ini harus mencerminkan pengontrolan yang
ketat terhadap arus energi tadi agar hukum tidak terselewengkan oleh pemegang
kekuasaan politik.
Hukum dengan demikian bukan lagi produk yang steril. Kita dapat mengatakan,
modernisasi hukum berjalan seiring dengan modernisasi masyarakat (sosial). Hal itu
ditunjukkan dalam model-model sistem hukum seperti disampaikan oleh Jonathan H.
Turner (lihat Peters & Siswosoebroto, 1990). Secara garis besar, Turner membagi ada tiga
model sistem hukum itu. Pembagian ini dilakukannya dengan mengikuti proses
perubahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Model-model ini ditulisnya
dalam karyanya berjudul: A Cybernetic Model of Legal Development (1974).
Untuk lebih jelasnya bagaimana corak model sistem hukum modern ini, dapat
diacu karakteristik yang dikembangkan oleh Marc Galanter beberapa tahun sebelum
Turner menulis karyanya itu. Dalam tulisannya berjudul “The Modernization of Law”
(1966), Galanter menyebutkan sebelas ciri sistem hukum modern itu.
Pertama, aturan-aturan dalam hukum modern itu bersifat seragam. Maksudnya,
ketika diterapkan, bentuk penerapannya tidak banyak bervariasi. Penerapannya tidak
lagi mengenal diskriminasi berdasarkan suku, agama, kelas, kasta, jenis kelamin, dan
lain-lain. Paling-paling perbedaannya karena teritorial saja. Jadi, hukum lebih bersifat
teritorial daripada personal.
Kedua, hukum modern bersifat transaksional. Artinya, hak dan kewajiban para
pihak dalam suatu hubungan hukum sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan tawar-
menawar antar-mereka. Di sini tidak lagi dikenal bahwa laki-laki harus diberi hak lebih
besar daripada wanita, atau yang lebih tua mendapat lebih daripada yang muda.
Ketiga, hukum modern bersifat universalistik. Putusan atas perkara-perkara
yang serupa, biasanya adalah sama. Jadi, tidak ada yang unik. Putusannya berulang dan
dapat diramalkan.
Keempat, sistem hukum itu bersifat hirarkis. Di situ ada jenjang-jenjangnya.
Tingkat yang lebih rendah akan diawasi oleh tingkat yang lebih tinggi. Misalnya,
putusan pengadilan negeri akan dikoreksi lagi pada pengadilan tinggi, dan seterusnya
putusan pengadilan tinggi oleh Mahkamah Agung.
Kelima, sistemnya diorganisasikan secara birokratis. Untuk mencapai adanya
keseragaman dalam putusan (universalistik) itu, tentu diperlukan catatan-catatan yang
disusun dan diarsip secara baik. Sistem hukum dengan demikian menjadi makin
impersonal (mekanis).
Keenam, sistem hukum modern itu adalah rasional. Maksudnya, sistem tersebut
dapat dipelajari dan dimengerti oleh semua orang. Padahal, dulu hanya orang-orang
tertentu yang diyakini dapat menafsirkan maksud suatu norma hukum. Teknik-teknik
teologikal dan formalistik dalam mengartikan norma hukum itu telah digantikan oleh
teknik-teknik fungsional.
Ketujuh, sistem itu dijalankan oleh para profesional. Sistem peradilan, misalnya,
tidak lagi bersifat ad hoc. Semuanya dilakukan oleh mereka yang bekerja purnawaktu
(full-timer). Mereka juga adalah lulusan pendidikan formal dengan kualifikasi tertentu.
Kedelapan, sistemnya menjadi lebih teknis dan kompleks. Maksudnya adalah
bahwa sistem hukum modern itu tidak bisa begitu saja dimasuki oleh orang-orang
kebanyakan. Perlu ada tenaga-tenaga ahli, yakni orang-orang yang tahu seluk beluk
sistem ini. Mereka adalah para ahli hukum. Merekalah yang menjembatani antara
peradilan dengan pribadi-pribadi yang berperkara. Peran para “general agents” sudah
digantikan oleh “lawyers”.
Kesembilan, sistem hukum modern itu dapat diubah atau diganti. Di sini tidak
ada sesuatu yang sakral. Perundang-undangan telah menggantikan peran hukum adat
yang lamban itu.
Ciri-ciri kesepuluh dan kesebelas berkaitan dengan hukum dan politik. Ciri
kesepuluh adalah bahwa sistem tersebut bersifat politis. Hukum terikat demikian dalam
kepada negara, sehingga negara menikmati suatu monopoli atas perkara-perkara dalam
kewenangannya. Peradilan-peradilan lain, seperti peradilan agama atau dagang, hanya
dapat beroperasi sepanjang diawasi oleh negara.
Sementara itu, ciri kesebelas adalah bahwa tugas menemukan hukum dan
menerapkan hukum dibedakan menurut fungsi-fungsinya. Jadi, ada pemisahan antara
legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Dari semua karakteristik itu, Galanter menyimpulkan tiga penekanan dari
model hukum modern itu, yaitu: (1) kesatuan, (2) keseragaman, dan (3) universalitas.
Dari ilustrasi di atas, timbul pertanyaan: apakah “modernisasi hukum” itu sama
artinya dengan pencapaian karakteristik-karakteristik di atas? Secara doktrinal
pertanyaan ini harus dijawab “ya”. Sesuatu yang dimaksud dengan modernisasi hukum
adalah upaya untuk mencapai kesebelas karakteristik itu. Usaha demikian, menurut
Galanter, telah dimulai di Eropa pada waktu berlangsungnya resepsi hukum Romawi
pada Abad ke-11. Proses itu lalu mencapai puncaknya pada akhir Abad ke-18, dan
menyebar ke bagian-bagian dunia lainnya pada Abad ke-19.
Seperti telah diketengahkan melalui sibernetika ala Parson, terlihat bahwa dari
sudut proses pembentukannya, hukum modern itu tidak dapat bebas dari politik.
Bukankah seharusnya, hukum yang modern itu otonom, bebas dari intervensi politik?
Ternyata, hukum yang modern bukan hukum yang otonom.
Menurut Nonet dan Selznick (1978), setiap sistem hukum memiliki potensi untuk
menindas rakyatnya. Di sini terlihat keterkaitan antara hukum dan kekuasaan, atau
hukum dan politik. Hukum memerlukan kekuasaan itu, karena sistem hukum terikat
pada kepastian hukum, dan itu mau tidak mau adalah suatu statu quo. Hanya yang
memiliki kekuasaan itulah yang dapat menjamin status quo itu.
Ada banyak penyebab suatu sistem hukum terjerumus menjadi tatanan yang
menindas masyarakatnya. Salah satunya, papar Nonet dan Selznick (1978), terjadi
karena elit politik tidak mempunyai legitimasi lain kecuali harus menggunakan cara-
cara kekerasan untuk mempertahankan tujuannya. Mereka yang memegang kendali
kekuasaan dihadapkan pada banyak masalah, seperti kemerosotan ekonomi dan
keresahan sosial, sementara di sisi lain waktu untuk memperbaiki itu semua tidak
cukup. Akhirnya, satu-satunya cara adalah mereka menggunakan hukum untuk
menindas rakyatnya.
Untuk mudahnya, Nonet dan Selznick (1978) membuat satu bagan yang
membedakan antara hukum yang bertipe menindas (repressive law) dan hukum yang
disebutnya lebih baik, yaitu hukum otonom (autonomous law). Di luar kedua model ini,
sebenarnya mereka juga menyebutkan satu tipe lain, yaitu hukum responsif (responsive
law). Mengenai tipe ketiga ini akan kita bicarakan kemudian.
Bagan dari tipe hukum yang menindas dan tipe otonom itu adalah sebagai
berikut:

Tipe Menindas Tipe Otonom


Tujuan hukum Ketertiban. Kesahan (legitimasi)
Legitimasi Pertahanan sosial dari raison Menegakkan prosedur
d’etaat (demi kepentingan (keadilan prosedural)
negara itu sendiri)
Peraturan Kasar dan terperinci, tetapi Panjang lebar; mengikat si
lemah sekali mengikat si pembuat perintah maupun
pembuat peraturan mereka yang diperintah.
Penalaran, alasan Ad hoc; sesuai keperluan dan Mengikatkan diri secara ketat
(reasoning) partikularistik (cepat dan kepada otoritas hu-kum;
khusus) mudah terjerumus ke
formalitas dan legalisme.
Diskresi (kebijakan) Sangat umum, merata; Dibatasi oleh peraturan-
oportunistis. peraturan; pendelegasian
sangat terbatas.
Pemaksaan Luas sekali; pembatasannya Dikontrol oleh pembatasan-
lemah (kurang terkendali) pembatasan hukum.
Moralitas Moralitas komunal; morali-tas Moralitas kelembagaan,
hukum; moralitas pemaksaan sangat memperhatikan
(pengawasan). integritas proses hukum.
Kaitan politik Hukum tunduk pada politik Hukum “bebas” dari politik;
dan kekuasaan. ada pemisahan kekuasaan.
Harapan terhadap kepatuhan tanpa syarat; jika tidak taat Penyimpangan aturan dapat
harus dihukum sebagai dibenarkan secara hukum,
pembangkangan misalnya untuk mengkaji
validitas undang-undang dan
peraturan.
Partisipasi Tunduk dan patuh; kritik kemungkinan dibatasi oleh
dianggap tidak loyal. prosedur, yang ada; terbuka
munculnya kritik hukum.
Hukum responsif adalah hukum yang mampu mengatasi ketegangan-
ketegangan akibat terjadinya perubahan sosial. Agar hukum menjadi responsif, sistem
hukum dalam banyak hal hendaknya terbuka terhadap tantangan-tantangan yang ada
dalam masyarakat. Sistem hukum juga harus mampu mendorong partisipasi
masyarakat dan selalu sigap menyikapi setiap kepentingan yang baru muncul dalam
masyarakat.
Jika bagan di atas dikembangkan untuk menandai tipe hukum responsif ini,
maka akan tampak seperti bagan di bawah ini.

Tipe Responsif
Tujuan hukum Kompetensi
Legitimasi Keadilan subtantif
Peraturan Tunduk kepada prinsip dan kebijaksanaan
Penalaran, alasan Bertujuan; perluasan kompetensi kognitif
(reasoning)
Diskresi (kebijakan) Banyak sekali dipakai; tetapi demi tujuan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Pemaksaan Pencarian alternatif secara positif, misalnya insentif, sistem-sistem
kewajiban swasembada
Moralitas Moralitas rakyat; “moralitas kerja sama”
Kaitan politik Aspirasi-aspirasi hukum dan politik berintegrasi; pembauran
kekuasaan
Harapan terhadap Tidak taat dilihat sebagai kerugian substantif; dipandang sebagai
Kepatuhan pengajuan isu tentang legitimasi
Partisipasi Kemungkinan diperluas oleh integrasi kepengacaraan hukum dan
sosial (bantuan hukum struktural)
Tipe hukum menindas (represif) adalah hukum yang mengabdi kepada
kekuasaan yang represif. Tipe hukum ini praktis tanpa legitimasi sama sekali. Orang
menaatinya karena dibayang-bayangi oleh ketakutan terhadap penguasa yang keras
dan kasar. Sifat represif dari hukum itu semata-mata bertujuan untuk memelihara
stabilitas sosial.
Tipe kedua, yaitu hukum otonom jelas lebih baik daripada tipe pertama karena
ia mampu menjinakkan sifat represif dari kekuasaan itu demi melindungi integritas
hukum itu sendiri. Tipe hukum otonom sudah memiliki legitimasi sebagai hukum.
Legitimasi ini didasarkan pada gagasan bahwa stabilitas sosial itu baru memiliki
keabsahan secara hukum apabila penggunaan kekuasaan diawasi menurut prinsip-
prinsip konstitusional, prosedur-prosedur formal, dan institusi peradilan yang bebas.
Tipe kedua di atas sudah baik, namun dikhawatirkan apabila hukum hanya
dijalankan secara formalitas demikian, maka keadilan yang dicapai juga hanya keadilan
formal belaka. Untuk itu perlu ada tipe hukum ketiga yang bertujuan melayani
kebutuhan riil masyarakat, atau dengan perkataan lain ia lebih sebagai “problem
solver”. Keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan material (substantif).
Nonet dan Selznick mengatakan, bahwa tipe hukum menindas tidak mungkin
dapat lepas dari permasalahan “legitimasi” yang dihadapinya, kecuali ia bergerak
mengubah dirinya menuju hukum otonom. Selanjutnya, tipe hukum otonom juga tidak
akan mampu mengatasi problema “formalitas hukum” yang dihadapinya dan menuju
ke arah tipe hukum responsif.
D. Kerangka Orientasi Berpikir Yuridik dalam Prolegnas
Sumber hukum, baik dalam arti material maupun formal, memiliki peran
penting dalam kelangsungan suatu sistem hukum yang modern. Sumber hukum dalam
arti material memberikan dukungan substansial bagi eksistensi sistem hukum. Nilai-
nilai yang bermuatan filosofis dan sosiologis, termasuk di dalamnya aspek historis,
ekonomi, budaya, politis, merupakan kontributor utamanya. Sementara itu, sumber
hukum dalam arti formal merupakan wadah yang sistematis dalam rangka konkretisasi
nilai-nilai itu. Konkretisasi tersebut mengubah nilai-nilai yang masih abstrak itu ke
dalam wujud norma-norma agar dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat, bangsa,
dan negara. Mengingat nilai-nilai yang merupakan sumber hukum dalam arti material
itu masih terlalu abstrak, maka tidak mudah untuk ditetapkan. Hal ini berbeda dengan
sumber hukum dalam arti formal.
Setelah jaman Hindia Belanda, sebenarnya pedoman penyusunan sumber hukum dalam arti formal (sumber formal hukum) itu
telah dibuat, tetapi konsistensinya belum dapat berjalan dengan baik. Bahkan, situasinya menjadi lebih buruk pada era 1960-an,
tatkala bermunculan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih. Ada peraturan presiden, penetapan
presiden, keputusan presiden, instruksi presiden, dan berbagai penamaan lainnya di tingkat lebih bawah, yang satu sama lain
tidak jelas batas-batas pembedaannya.

Tumpang tindih bentuk-bentuk peraturan itu akhirnya dicoba diatasi dengan


munculnya Ketetapan MPRS XX/MPRS/1966. Dalam ketetapan ini diatur kembali tata
urutan peraturan perundang-undangan itu, meskipun oleh banyak pihak, antara lain
oleh Hamid S. Attamimi (1990), Tap MPRS XX/MPRS/1966 itu dinilai banyak sekali
mengandung kelemahan. Kelemahan ini memang disadari benar, sehingga dalam
Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978,
diamanatkan kepada lembaga tertinggi negara untuk menyempurnakannya. Kendati
baru pada tahun 2000 penyempurnaan itu dilaksanakan, dalam kenyataannya
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 telah ikut mendorong ke arah tertib peraturan
perundang-undangan. Ketetapan ini juga diikuti dengan ketetapan MPRS lainnya
berkenaan dengan penertiban itu, sehingga cukup banyak peraturan presiden dan
penetapan presiden yang dicabut atau diubah bentuknya menjadi undang-undang (lihat
Darmodiharjo & Shidarta, 1996).
Selama Orde Baru, bentuk-bentuk itu relatif cukup konsisten dipakai. Hanya
saja, konsistensi tersebut lebih banyak ditekankan dari aspek formal. Artinya, dari sudut
materi muatannya, konsistensi itu masih perlu dipertanyakan. Sebagai contoh, masih
cukup banyak aturan-aturan tentang penggalian dana dari masyarakat yang tidak
diatur dalam peraturan berbentuk undang-undang, tetapi cukup dengan keputusan
presiden, atau bahkan keputusan menteri. Padahal, Pasal 23 UUD 1945 telah
menegaskan bahwa segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-
undang. Jika ada peraturan yang lebih rendah yang mengatur tentang pungutan, maka
peraturan itupun harus merupakan penjabaran atau merujuk pada undang-undang
tertentu. Pungutan jelas hanya boleh dilakukan oleh negara berdasarkan undang-
undang. Pengejawantahan “negara” di sini adalah pemerintah, baik yang ada di tingkat
pusat maupun daerah. Badan usaha yang bersifat privat, misalnya yayasan, jelas tidak
dapat dibenarkan untuk ikut memungut dana dari masyarakat.
Berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, tata urutan peraturan
perundang-undangan yang sebelumnya telah diatur dalam Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 itu akhirnya dicabut. Cukup banyak substansi yang menarik dalam
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tersebut. Jika dalam Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 tidak disinggung sama sekali tentang otonomi daerah, maka Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000 ini memasukkan unsur ini. Peraturan daerah disebutkan secara
tegas sebagai peraturan perundang-undangan juga.
Pembuatan peringkat peraturan perundang-undangan demikian itu, sekilas
mengacu kepada aliran filsafat hukum yang disebut Positivisme Hukum. Namun tidak
dapat pula secara terburu-buru dikatakan bahwa aliran filsafat hukum di Indonesia
adalah Positivisme Hukum. Ada banyak indikator yang menunjukkan aliran ini
menjumpai penolakan-penolakan (lihat Kusumaatmadja, 1975; Darmodiharjo &
Shidarta, 1996).
Setelah mempertimbangkan banyak grand theories dengan sudut pendekatan
yang berbeda satu dengan lainnya, dan dikaitkan dengan kepentingan Program
Legislasi Nasional dalam rangka pembangunan substansi hukum yang responsif, maka
timbul pertanyaan tentang konsepsi hukum seperti apa yang seharusnya dijadikan
kerangka acuan. Dengan perkataan lain, kerangka orientasi berpikir yuridik seperti apa
yang paling tepat untuk kebutuhan Indonesia saat ini?
Apabila aliran-aliran filsafat hukum sebagai grand theories tersebut dikorelasikan
dengan kebutuhan Indonesia saat ini, maka sebagai konsekuensinya aliran-aliran dalam
tataran makro itu harus diderivasi menjadi teori-teori di tingkat middle-range.
Tidak banyak ahli hukum Indonesia yang pernah menyinggung tentang
kebutuhan penelaahan aliran filsafat hukum sebagai kerangka orientasi berpikir yuridik
kita. Salah seorang dari sedikit ahli hukum dimaksud adalah Mochtar Kusumaatmadja
(1975). Ia secara cukup berhasil memasukkan konsep “hukum sebagai sarana
pembaruan masyarakat”-nya ke dalam GBHN 1973, namun sayangnya konsep ini
ternyata tidak cukup bergema di kalangan fungsionaris hukum Indonesia, khususnya
apabila dikaitkan dengan kebutuhan untuk menjalankan Program Legislasi Nasional.
Untuk dapat menetapkan Program Legislasi Nasional yang sesuai dengan cita
hukum Indonesia, jelas tidak mudah. Untuk itu, tataran yang paling makro harus
ditetapkan terlebih dulu. Tampaknya, kecenderungan Mochtar Kusumaatmadja (1975)
ke arah pendekatan Sociological Jurisprudence dapat dielaborasi kembali sebagai suatu
pilihan yang paling tepat untuk kondisi Indonesia saat ini. Secara mutatis mutandis cara
berpikir Sociological Jurisprudence dapat dialihkan menjadi konsep pembangunan hukum
Indonesia, khususnya dalam rangka melaksanakan Program Legislasi Nasional. Untuk
memahami konsep berpikir tersebut, beberapa tulisan Mochtar Kusumaatmadja dapat
diuraikan kembali di bawah ini.
Mochtar secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool)
menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangun masyarakat. Pokok-
pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah sebagai berikut:
1. bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan
memang diinginkan, bahkan mutlak perlu;
2. bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia
ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaruan itu.
Untuk itu diperlukan sarana berupa peraturan hukum tertulis (baik
perundang-undangan maupun yurisprudensi), dan hukum yang berbentuk
tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Meskipun Mochtar menegaskan bahwa gagasannya juga dipengaruhi oleh


faktor-faktor yang berakar pada sejarah bangsa, menurut Soetandyo Wignjosoebroto
(1994), Mochtar tidak terlampau percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli rakyat
pribumi harus dilestarikan seperti yang pernah dilakukan pada masa-masa pemerintah
kolonial. Kebijakan seperti itu meminjam kata-kata Raymond Kennedy --- merupakan
kebijakan anti-acculturation yang tidak mendatangkan kemajuan apa -apa, sedangkan
introduksi hukum Barat dengan tujuan-tujuan yang terbatas pun kenyataannya hanya
berdampak kecil untuk proses modernisasi (Indonesia) secara keseluruhannya. Untuk
itu, Mochtar mengusulkan agar pembangunan hukum nasional di Indonesia hendaklah
tidak secara tergesa -gesa dan terlalu pagi membuat keputusan, antara meneruskan saja
tradisi hukum kolonial berdasa rkan pola -pola pemikiran Barat, atau untuk secara
apriori mengembangkan hukum adat sebagai hukum nasional (Wignjosoebroto, 1994).
Sebelum memutuskan apa yang hendak dikembangkan sebagai hukum nasional,
Mochtar menganjurkan agar dilakukan penelitian-penelitian terlebih dulu untuk
menentukan bidang hukum apa yang perlu diperbarui, dan bidang (ranah) apa yang
dibiarkan berkembang sendiri. Mochtar melihat, bahwa untuk hukum-hukum yang
tidak netral, pembangunannya diupayakan sedekat mungkin berhubungan dengan
budaya dan kehidupan spiritual bangsa. Di sisi lain, untuk bidang hukum lain, seperti
kontrak, badan usaha, dan tata niaga, dapat diatur melalui hukum perundang-
undangan nasional. Untuk ihwal lain yang lebih netral—seperti komunikasi, pelayaran,
pos dan telekomunikasi—model yang telah dikembangkan dalam sistem hukum asing
pun dapat saja ditiru.
Soetandyo Wignjosoebroto (1994) mengatakan bahwa ide Mochtar tentang
kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang terbatas, ialah kodifikasi yang terbatas
secara selektif pada hukum yang tidak hendak menjamah ranah kehidupan budaya dan
spiritual rakyat (setidak-tidaknya untuk sementara ini), telah menjadi bagian dari
program kerja Badan Pembinaan Hukum Nasional bertahun-tahun lamanya.
Soetandyo lebih jauh mencatat, bahwa dalam perkembangannya tidak semua
ahli hukum sependapat dengan pengembangan hukum nasional dengan cara
mengembangkan hukum baru atas dasar prinsip-prinsip yang telah diterima dalam
kehidupan internasional, dengan maksud untuk memperoleh sarana yang berdayaguna
guna membangun infrastruktur politik dan ekonomi nasional --- dengan membiarkan
untuk sementara infrastruktur sosial budaya yang tidak netral atau belum dapat
dinetralkan. Pihak-pihak yang tidak setuju ini berpendapat, upaya demikian terlalu
menyimpang dari tradisi.
Ada dua golongan yang tidak setuju. Pertama, mereka yang percaya harus ada
kontinuitas perkembangan hukum dari yang lalu (kolonial) ke yang kini (nasional).
Golongan kedua adalah mereka yang percaya bahwa hukum nasional harus berakar
dan berangkat dari hukum rakyat yang ada, yaitu hukum adat. Dengan mengutip John
Ball dalam bukunya berjudul Indonesian Law Commentary and Teaching Materials (1985)
dan The Struggle or National in Indonesia (1986), golongan pertama ini antara lain tokoh-
tokoh pengacara di Jakarta, seperti Adnan Buyung Nasution, Sulistio, dan (?) Yap
Thiam Hien. Golongan kedua, merupakan kelanjutan dari gerakan yang telah berumur
tua, dengan perintisnya yaitu Soepomo. Menurut Ball, pada era Orde Baru, golongan
kedua ini sudah kehilangan pencetus-pencetus ide barunya yang mampu bersaing.
Beberapa nama yang dapat disebut adalah (almarhum) Djojodigoeno dan M. Koesno.
Suatu tanggapan yang lain mengenai gagasan Mochtar, datang dari S. Tasrif. Ia
mengingatkan agar pembinaan hukum tidak diarahkan untuk menghasilkan
perundang-undangan baru belaka, tetapi seharusnya juga menghasilkan perundang-
undangan yang tidak mengenyampingkan hak asasi manusia dan martabat manusia,
sehingga slogan rule of law pada hakikatnya akan menjadi rule of just law
(Kusumaatmadja, 1975).
Pendapat S. Tasrif ini perlu untuk digarisbawahi. Hal ini juga sebenarnya
disadari sepenuhnya oleh Mochtar Kusumaatmadja, dengan mengatakan bahwa
pembinaan hukum nasional secara menyeluruh menghadapi tiga kelompok masalah
(problem areas), yaitu (1) inventarisasi dan kepustakaan hukum, (2) media dan personil
(unsur manusia), dan (3) perkembangan hukum nasional. Kelompok masalah ketiga,
perkembangan hukum nasional, dapat dibedakan dalam dua masalah, yaitu (1) masalah
pemilihan bidang hukum mana yang hendak dikembangkan, dan (2) masalah
penggunaan model-model asing.
Berdasarkan uraian dan pertimbangan yang sangat logis seperti diungkapkan di
atas, maka harus diakui bahwa konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat
merupakan konsep pembangunan hukum (termasuk Prolegnas), atau tegasnya aliran
filsafat hukum yang paling tepat dan relevan untuk kondisi saat ini. Aliran ini memang
tidak sepenuhnya mirip lagi dengan pemikiran awal Roscoe Pound, sehingga dapat saja
dikatakan bahwa aliran yang kita anut tersebut sebagai Sociological Jurisprudence yang
telah dimodifikasi, disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh aliran Sociological Jurisprudence di
Indonesia terletak pada: seberapa jauh pembentukan peraturan perundang-undangan
baru (dalam bidang-bidang hukum yang dianggap netral itu) telah diantisipasi
dampaknya bagi masyarakat secara keseluruhannya. Untuk itu ada tiga catatan yang
dapat diberikan.
Pertama, harus disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu sistem,
yang keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk
itu, pengembangan satu bidang hukum (yang dikatakan netral sekalipun) juga akan
berpengaruh pula ke bidang-bidang hukum lainnya. Sebagai contoh, peraturan
perundang-undangan di bidang penanaman modal, memiliki keterkaitan dengan
hukum pertanahan, yang di Indonesia belum dapat disebut sebagai bidang yang netral.
Dalam kenyataannya, di Indonesia hal ini merupakan suatu kelemahan pula, terutama
untuk peraturan di bawah undang-undang. Banyak sekali peraturan yang tidak dibuat
dalam pola pikir hukum sebagai suatu sistem itu, sehingga implikasi ke bidang hukum
lain tidak dapat diantisipasi.
Kedua, penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari kenyataan sosial
seringkali menyebabkan dampak negatif yang perlu diperhitungkan. Artinya, unsur
social engineering dalam konsep Sociological Jurisprudence tersebut harus diperhitungkan
secara tepat agar instabilitas sosial tidak terjadi karena ada ketidaksiapan secara
sosiologis. Reaksi keras terhadap UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan adalah salah satu contoh yang baik dalam hal ini.
Ketiga, konsep social engineering tidak boleh berhenti pada penciptaan peraturan
tertulis belaka karena hukum tertulis seperti itu selalu mengalami keterbatasan. Konsep
ini memerlukan peranan aparat penegak hukum yang profesional, untuk memberi jiwa
pada kalimat-kalimat yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Dari ketiga catatan tersebut, segera tampak bahwa penelitian yang mendalam
terhadap unsur-unsur sistem hukum Indonesia sangat prinsipiil dilakukan. Tanpa ada
penelitian yang mendalam tidak akan diketahui pasti seperti apa living law yang ada,
dan bagaimana program legislasi tersebut harus dilakukan secara akurat. Penelitian
mendalam ini mencakup analisis terhadap aturan-aturan yang masih berlaku guna
dilakukan penjajakan untuk diadakan pencabutan atau perubahan, atau bahkan untuk
mengantisipasi pembentukan peraturan-peraturan bidang hukum yang baru.
Sejak awal telah digarisbawahi, bahwa kerangka orientasi berpikir yuridik
berupa aliran Sociological Jurisprudence yang telah diterjemahkan dalam konteks
keindonesiaan, menggariskan bahwa hukum positif yang ingin dibangun adalah hukum
positif sebagai produk lembaga -lembaga negara yang berwenang. Pendekatan demikian
merupakan pendekatan prosedural. Sekalipun demikian, dari sudut substansial, produk
hukum itu mendahulukan arus bottom-up yang mendekati karakteristik berpikir Mazhab
Sejarah. Dari dimensi ini, materi hukumnya haruslah sesuai dengan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, yang dipandu melalui “Leitstern” Pancasila. Oleh karena
rumusan materi yang sesuai dengan nilai-nilai living law tersebut sangat abstrak, maka
dalam aspek proseduralnya, diupayakan agar pembentukan hukum itu senantiasa
bersifat responsif.
Di sisi lain, Sociological Jurisprudence juga menempatkan hukum sebagai sarana
pembaruan masyarakat. Corak ini sebenarnya menyimpang dari pendekatan bottom-up
tersebut, sehingga dapat saja pendekatan ini lalu digunakan secara artifisial untuk
menutupi kepentingan-kepentingan pemegang kekuasaan seperti karakter Positivisme
Hukum. Oleh karena itu, penempatan skala prioritas, dengan menunjuk pada
pembidangan hukum netral dan nonnetral menjadi penting untuk dikemukakan.
Untuk menuntun pembentukan peraturan perundang-undangan, van der Villes mencatat sebelas asas yang harus diperhatikan
(Manan, 1994). Uraian dari sebelas asas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Asas tujuan atau sasaran yang jelas


Setiap undang-undang harus mencerminkan secara jelas tujuan atau sasaran yang
hendak dicapai. Tujuan tersebut adalah kebijakan-kebijakan umum dan khusus
yang ada dalam bidang yang diatur, baik sekarang maupun untuk masa mendatang.
Termasuk di dalam pengertian ini adalah akibat (seperti beban masyarakat atau
negara) yang akan ditimbulkan oleh undang-undang itu.
2. Asas organ yang tepat
Undang-undang harus dibuat oleh organ yang tepat, dalam arti memang berwenang
untuk itu. Di sini terkait masalah hubungan kesesuaian antara materi muatan
undang-undang dan bentuk formal undang-undang.
3. Asas keperluan
Undang-undang harus dibuat berdasarkan keperluan. Undang-undang bukan satu-
satunya instrumen dalam melaksanakan suatu kebijakan atau memecahkan
masalah, sehingga masih terbuka kemungkinan digunakan instrumen lain yang
lebih efisien dan efektif. Suatu undang-undang diperlukan, misalnya, jika dengan
instrumen lain dipertimbangkan akan menimbulkan beban lebih besar atau
membatasi hak-hak warga yang bersifat mendasar.
4. Asas dapat dilaksanakan
Undang-undang dibuat dengan memperhitungkan kemungkinan pelaksanaannya.
Suatu undang-undang menjadi tidak mungkin dilaksanakan jika menimbulkan
reaksi keras (penolakan) dari sebagian besar masyarakat atau menciptakan beban
terlalu berat bagi pemerintah.
5. Asas konsensus
Undang-undang adalah produk kesepakatan dari berbagai unsur masyarakat. Dari
konteks ini, diartikan bahwa undang-undang itu harus responsif, yakni
mengakomodasikan seluas mungkin masukan-masukan dari semua komponen
masyarakat.
6. Asas keutuhan
Undang-undang harus mencerminkan satu kebulatanyang utuh yang berisi segala
aspek yang diperlukan pada saat pelaksanaannya. Pendekatan sistematis dalam
pembentukan undang-undang menjadi titik berat dalam asas ini. Dengan demikian,
tidak akan terjadi kontradiksi antara ketentuan-ketentuan dalam undang-undang
itu, atau kontradiksi dengan undang-undang lain yang lebih tinggi atau yang sejajar.
7. Asas kejelasan terminologi dan sistematika
Kejelasan suatu undang-undang dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan
membuat penjelasan, pemilihan kata yang tepat, dan mempertahankan konsistensi
peristilahan.
8. Asas dapat dikenali
Setiap undang-undang pada dasarnya harus dapat diketahui secara wajar oleh yang
berkepentingan. Asas ini dilaksanakan dengan cara-cara seperti pengundangan atau
publikasi lainnya.
9. Asas persamaan di depan hukum
Undang-undang tidak boleh memuat ketentuan yang memungkinkan perbedaan
perlakuan secara sewenang-wenang. Perbedaan perlakuan hanya dibenarkan kalau
dilakukan demi kepentingan orang atau kelompok yang dibedakan (positive
discrimination).
10. Asas kepastian hukum
Undang-undang harus menjamin kepastian hukum. Kepastian ini dapat diperoleh
dengan beberapa cara, misalnya: (1) peraturan itu harus dirumuskan dengan jelas
dan tepat, (2) perubahannya harus mempertimbangkan dengan baik kepentingan
orang yang terkena dan pengaturan pealihan yang cukup dan memadai.
11. Asas memperhatikan keadaan individu dalam pelaksanaan hukum
Pada saat pembuatannya harus diperhitungkan keadaan-keadaan khusus yang
mungkin dihadapi dalam pelaksanaannya. Untuk mengantisipasi keadaan khusus
tersebut, dalam undang-undang itu dapat ditentukan: (1) pemberian kewenangan
kepada aparat administrasi negara untuk membuat keputusan dalam menghadapi
keadaan-keadaan khusus tadi, (2) pemberian kemungkinan kepada aparat
administrasi negara menyimpangi ketentuan yang ada dalam menghadapi keadaan-
keadaan khusus, dan (3) perlindungan hukum terhadap tindakan aparat
administrasi negara yang akan mempunyai akibat langsung terhadap kedudukan
hukum dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan petunjuk-petunjuk yang muncul dari Batang Tubuh UUD 1945,
wawasan negara berdasar atas hukum (Rechtsstaat), dan wawasan pemerintahan
berdasarkan sistem konstitusi (konstitusinalisme), ma ka A. Hamid Attamimi
(Soeprapto, 1998) menyebutkan sembilan butir materi muatan undang-undang, yakni
hal-hal yang:
1. secara tegas diperintahkan oleh UUD dan Tap MPR;
2. mengatur lebih lanjut ketentuan UUD;
3. mengatur hak-hak (asasi) manusia;
4. mengatur hak dan kewajiban warga negara;
5. mengatur pembagian kekuasaan negara;
6. mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara;
7. mengatur pembagian wilayah/daerah negara;
8. mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan;
9. dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk juga diatur dengan undang-undang.
Menurut A. Hamid S. Attamimi, rincian butir-butir di atas menunjukkan “pena-
pena penguji” (testpennen) untuk menguji apakah suatu materi peraturan perundang-
undngan negara termasuk materi muatan undang-undang atau tidak. Artinya, apabila
masalah yang akan diatur sesuai dengan kesembilan butir di atas, bentuk yang tepat
adalah undang-undang (dalam arti formal), sementara jika tidak sesuai, dapat dipilih
bentuk lain, misalnya dengan keputusan Presiden.
Kerangka berpikir seperti diuraikan di atas seharusnya menjadi acuan penting bagi
penyusunan skala prioritas, baik yang diajukan oleh Propenas, BPHN, Baleg DPR,
maupun LoI.
BAB III

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

Bab III akan memaparkan hasil penelitian program legislasi nasional pada
instansi-instansi yang telah mempunyai dan mempengaruhi program legislasi
nasional secara keseluruhan. Instansi-instansi yang dimaksud adalah BPHN dari sisi
lembaga eksekutif, Baleg DPR dari sisi lembaga legislatif, Letter of Intent sebagai
kekuatan asing yang dapat mempengaruhi program legislasi nasional tersebut, dan
Propenas (UU No. 25 Tahun 2000) sebagai perwujudan kompromi dari berbagai
kepentingan di atas.

A. Program Legislasi BPHN

Penyusunan prioritas program legislasi nasional yang dilakukan oleh BPHN


selalu diupayakan untuk mengakomodasi seluruh kepentingan departemen
teknis/lembaga non departemen. Sehingga peran BPHN lebih kepada koordinator dari
instansi-instansi yang memiliki program legislasi di lingkungan Pemerintah.

1. Mekanisme Pembentukan
Mekanisme pembentukan progral legislasi nasional yang dilakukan oleh
BPHN adalah sebagai berikut:
1. Setiap Departemen/LPND mengajukan prolegnas,
2. BPHN menerima semua usulan prolegnas dari Departemen/LPND.
3. BPHN mengadakan seleksi dari prolegnas yang diajukan oleh Departemen/LPND
dengan mempertimbangkan secara teknis sebagai berikut:
a. RUU yang telah disampaikan ke Sekneg.
b. RUU yang telah mendapat izin prakarsa dari Prersiden.
c. RUU yang telah duilakukan pembahasannya di tingkat Departemen/LPND.
d. RUU yang telah ada naskah akademiknya.
e. RUU yang telah menjadi program prioritas dari masing-masing instansi/
lembaga.
4. Pada akhir tahun BPHN melakukan rapat pembahasan tahunan prolegnas dengan
melibatkan seluruh biro-biro hukum departemen dan LPND, DPR RI, dan LSM
(organisasi profesi dan kemasyarakat) untuk mendiskusikan dan mengkaji
prolegnas yang diusulkan oleh Departemen/LPND.
5. Rapat pembahasan tahunan yang dilaksanakan oleh BPHN menghasilkan
prolegnas tahunan dengan mempertimbangkan secara substansi sebagai berikut:
a. Keterkaitan substansi RUU dengan ketentuan UU lainnya (yang sudah
dibentuk)
b. Substansi RUU yang mendukung pemulihan ekonomi.
c. Substansi RUU yang mendukung proses demokratisasi.
d. Substansi RUU yang berasal dari zaman Hindia Belanda.
e. Substansi RUU yang berhubungan dengan masalah gender.
f. Substansi RUU yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
6. Hasil prolegnas tahunan BPHN selanjutnya diserahkan ke Bappenas sebagai
masukan bagi penyempurnaan rancangan REPETA.

MEKANISME PEMBENTUKAN PROLEGNAS BPHN

Departemen/LPND
BPHN Bappenas

1. Membuat naskah akademik 1. Menerima prioritas RUU 1. Menerima prioritas


2. Membuat RUU dari Pemerintah prolegnas dari
3. Mengusulkan Prioritas 2. Rapat Pembahasan Pemerintah yang
tahunan untuk dikoordinir oleh BPHN
RUU ke BPHN menyusun prolegnas 2. Menyeleksi prolegnas
3. Mengusulkan prioritas RUU sebagai
prolegnas ke Bappenas pertimbangan dalam
menyusun REPETA

Bappenas mewakili Pemerintah membawa usulan RUU dan REPETA di atas


kepada DPR untuk dibahas dan disahkan mejadi undang-undang.

2. Program Pencabutan, Perubahan, dan Pembentukan UU


Adapun prioritas yang disusun BPHN tentang UU mana saja yang harus
dicabut, diubah dan dibentuk berdasarkan indikator yang ditetapkannya seperti
tercantum dalam lampiran 1.
Dari 191 RUU yang diajukan BPHN, dalam REPETA pada tahun 2002 yang
berjumlah 51 RUU, semuanya merupakan bagian dari RUU yang diajukan oleh
BPHN atau sebesar 26,7%. Sampai dengan bulan April 2002, tidak satu pun
diantara target tersebut yang sudah menjadi undang-undang, bahkan di tingkat
pembahasan pun tidak ada dari daftar dalam REPETA tersebut yang telah masuk
dalam agenda DPR.

B. Badan Legislasi DPR


Badan Legislasi merupakan suatu alat kelengkapan yang relatif baru di DPR.
Dalam menjalankan tugasnya, Badan Legislasi berpedoman pada pasal 46, dan pasal 192
ayat (2) Tata Tertib DPR-RI. Berdasarkan pasal 192 ayat (2) tata tertib DPR RI, Badan
Legislasi di bantu oleh Tim Asistensi dari Sekretariat Jenderal yang berada dibawah
koordinasi Asisten I Bidang Perundang-undangan.
1. Mekanisme Pembentukan
Konsep awal program pembahasan RUU yang akan di bahas oleh DPR dan
Pemerintah untuk masa tahun 1999-2004 disusun oleh Tim Asistensi berdasarkan
masukan antara lain dari:
1. Komisi-komisi DPR RI tahun 1992-1997;
2. Komisi-komisi DPR-RI tahun 1997-1999;
3. Inventaris RUU Usul Inisiatif DPR-RI 1997-1999;
4. SIUM MPR-RI 1999;
5. Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I) Setjen DPR-RI;
6. Bagian Hukum Setjen DPR-RI;
7. BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan
8. Sekretariat Negara.
Berdasarkan masukan-masukan tersebut, Badan Legislasi DPR-RI telah
menyusun daftar rancangan undang-undang yang diperkirakan akan dibahas oleh
DPR-RI dan Pemerintah dalam kurun waktu lima tahun. Jumlah RUU yang di
prioritaskan dalam masa tahun 1999-2004 yang disusun oleh Badan Legislasi
berjumlah 225 buah RUU, yang meliputi:
1) Bidang politik 105 RUU;
2) Bidang kesra 41 RUU;
3) Bidang Ekkuinbang 79 RUU.
Dari jumlah tersebut, tidak tertutup kemungkinan adanya RUU yang
muncul sesuai dengan aspirasi masyarakat yang sifatnya segera harus di bahas,
walaupun tidak termasuk dalam daftar prioritas RUU. Untuk hal seperti ini Badan
Legislasi DPR-RI mengalokasikan sebanyak 10-20% dari RUU.
Penyusunan Prolegnas badan legislasi DPR-RI khususnya dalam rangka
menentukan prioritas rancangan undang-undang yang akan di bahas, didasarkan
pada berbagai hal, antara lain meliputi:
1. Pelaksanaan UUD 1945;
2. Pelaksanaan Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN;
3. Pelaksanaan persyaratan yang diberikan oleh IMF dalam perjanjian
internasional/Letter of Intent.
4. Pelaksanaan perjanjian internasional, misalnya HAM.
5. Perubahan perunda ng-undangan warisan kolonial dan hukum Nasional yang
diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidak sesuaian dengan
tuntutan reformasi.
6. Pemenuhan kebutuhan masyarakat yang mendesak.
7. Keperluan untuk menjaga keutuhan bangsa.
8. Pemulihan ekonomi, keua ngan/perbankan dan pembangunan.
9. Kesiapan pemerintah dan DPR dalam mengajukan dan membahas RUU serta
kesiapan pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan undang-undang.
Badan Legislasi menginventarisasi masalah hukum dan perundang-
undangan serta menghimpun masukan dari komisi, fraksi, Pemerintah maupun non-
Pemerintah. Setelah itu Badan Legislasi menyusun konsep perencanaan dan program
RUU, kemudian membahas dan mengevaluasi konsep perencanaan dan program
RUU, lalu meminta masukan dari komisi yang berhubungan dengan RUU yang di
bahas. Dari sini kemudian ditetapkan prioritas lima tahunan dan satu tahunan.
Prioritas ini lalu dikonsultasikan dengan pemerintah dan masyarakat melalui
pimpinan DPR. Muncullah prioritas lima tahunan dan satu tahunan nasional yang
kemudian di rekomendasikan ke komisi dan Bamus unutk kemudian di bahas oleh
DPR dengan pemerintah berdasarkan prioritas satu tahun.
Saat ini telah dilakukan perubahan mekanisme tugas badan legislasi melalui
perubahan tata tertib DPR-RI yang baru dalam pasal 41 sebagai respon terhadap
kendala-kendala yang ditemui selama ini. Secara lengkap dapat dipaparkan
mekasime kerja Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:
1. Tim Asistensi membantu badan legislasi dalam menyusun inventarisasi RUU,
pertimbangan dalam hal penentuan RUU dimaksud didasarkan atas kebutuhan
masyarakat dengan mengingat kondisi ideal, filosofi dan sosiologis.
2. Tim Asistensi membantu mencari sumber informasi baik dari masyarakat, fraksi
DPR-RI, pimpinan DPR-RI, komisi DPR-RI, anggota DPR RI maupun instansi
pemerintah seperti sekretariat negara dan BPHN.
3. Tim Asistensi membantu melakukan pengkajian, analisis, seminar dan
sebagainya termasuk meminta masukan dari para pakar.
4. Keseluruhan hasil kerja tim asistensi dilaporkan kepada Badan Legislasi DPR RI
5. Laporan tim asistensi menjadi bahan penetapan dalam penyusunan prioritas
RUU oleh badan Legislasi DPR-RI dengan memperhatikan adanya
perkembangan dan informasi lanjutan yang didapat oleh Badan Legislasi DPR RI
secara langsung dari berbagai pihak.

a. Mekanisme Penetapan Prioritas Rancangan Undang-undang


Adapun mekanisme penetapan prioritas RUU di Baleg DPR adalah
sebagai berikut:

1. Tim Asistensi membantu melakukan pengkajian jumlah ideal prioritas


pembahasan RUU untuk masa lima tahunan dan satu periode persidangan
secara bertahap, dengan mendasarkan pada kebutuhan masyarakat.
2. Tim Asistensi membantu mengkaji secara materi (muatan) RUU yang ditetapkan
Badan Legislasi DPR RI dalam inventarisasi RUU dalam skala prioritas secara
kondisional yang didasarkan antara lain kepada:
a. kebijakan nasional sebagaimana tercantum dalam GBHN, TAP MPR, dan
kebijakan formal lainnya;
b. kesiapan pemerintah dan DPR dalam pengajuan dan pembahasan RUU;
c. kesiapan Pemerintah da n masyarakat untuk melaksanakan ketetapan UU.
3. Hasil kajian Tim Asistensi menjadi pertimbangan oleh Badan Legislasi DPR RI
dalam menyusun prioritas RUU menurut DPR RI
4. Hasil tersebut di atas sebagai bahan pembicaraan dalam rapat konsultasi antara
Badan Legislasi DPR RI dengan pihak Pemerintah untuk menetapkan prioritas
RUU secara nasional, baik yang bersifat lima tahunan maupun satu tahunan.
5. Dalam menetapkan kebijkasanaan pengajuan secara prioritas, Badan Legislasi
DPR RI mempertimbangkan adanya pengajuan RUU tak terduga setiap
tahunnya lebih kurang 20%.
6. Penetapan prioritas RUU oleh Badan Legislasi DPR RI tersebut di atas
direkomendasikan kepada BAMUS dan Komisi DPR RI.

b. Mekanisme Penyiapan RUU Usul Inisiatif di Badan Legislasi dan


Pembahasan hingga menjadi undang-undang

Sedangkan mekanisme penyiapan RUU di Baleg DPR seperti yang


digambarkan dalam bagan berikut:

1. Adanya usul inisiatif dari anggota DPR, komisi atau gabungan komisi;
2. Tim Asistensi menyusun dan menyempurnakan konsep RUU usul inisiatif, dan
mempresentasikan di depan rapat Badan Legislasi dan bidang yang bersangkutan
serta pengusul.
3. Tanggapan anggota Baleg atas hasil tim asistensi yang dilanjutkan dengan
pembentukan tim perumus.
4. Tim Perumus dan Tim Asistensi kemudian menyusun draf pertama
5. Tim Perumus dan tim Asistensi menjelaskan draft pertama tersebut untuk di
tanggapi oleh anggota Baleg.
6. Tim Perumus dan tim Asistensi meyusun draft kedua dan disampaikan kepada
anggota Baleg untuk di diskusikan dengan para pakar, pejabat pemerintah terkait
dan masyarakat.
7. Tim Perumus dan tim Asistensi menyusun draft ketiga dan dilaporkan kepada Baleg
untuk mendapat tanggapan selanjutnya Tim Perumus dan Tim Asistensi membuat
draft keempat.
8. Draft keempat diputuskan badan legislasi dan di setujui draft final RUU usul
inisiatif.
9. RUU tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR RI dengan pengantar yang
ditandatangani para pengusul, untuk selanjutnya masuknya usul RUU inisiatif
tersebut diumumkan di dalam Rapat Paripurna, kemudian membagikan RUU
kepada seluruh anggota.
10. Pengusul kemudian memberikan penjelasan di dalam rapat Badan Musyawarah dan
rapat paripurna.
11. Fraksi-fraksi memberikan tanggapan yang dilanjutkan dengan pengambilan
keputusan.
12. RUU usul inisiatif tersebut kemudian di sempurnakan oleh Komisi atau Komisi
Gabungan atau Pansus.
13. Hasil penyempurnaan tersebut, oleh pimpinan DPR RI di sampaikan kepada
Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan meawkili
pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR.
14. RUU yang disusun DPR dan disampaikan kepada Presiden, dilaporkan oleh
Sekretariat Negara disertai saran mengenai Menteri yang akan ditugasi untuk
mengkoordinasikan pembahasannya dengan Menteri terkait dan mengikut sertakan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
15. Pembicaraan RUU usul inisiatif di DPR RI antara DPR dengan Pemerintah.
16. RUU usul inisiatif kemudian disetujui oleh DPR dan disahkan menjadi undang-
undang oleh Presiden.

2. Program Pencabutan, Perubahan, dan Pembentukan UU


Karena setiap pencabutan, perubahan dan pembentukan UU selalu diajukan
sebagai UU dalam persidangan DPR, maka gambaran program legislasi usul inisiatif
DPR tergambar seperti pada lampiran 2.
Dari tabel prioritas UU yang diusulkan oleh Baleg DPR tersebut, terlihat
hanya sebanyak 23 RUU saja yang telah menjadi UU atau hanya sebesar 10,2%,
dengan perincian 10 UU di bidang Politik, 1 UU di bidang Kesra, dan 12 UU di
bidang Ekkuinbang. Ada 8 buah RUU yang sedang dibahas dalam masa sidang DPR
tahun ini, dan 2 RUU lainnya sudah disahkan tetapi belum dimasukkan dalam
Lembaran Negara.
Bidang ekonomi mendapatkan porsi terbesar dalam pengesahan UU, dan
menarik untuk diamati adalah 6 diantaranya atau 7,6% diantaranya adalah UU yang
merupakan perintah IMF untuk segera dilakukan dalam rangka pencairan dana
pinjaman.

C. Program Letter of Intent (LoI)


Ada 13 Letter of Intent yang dibuat Pemerintah Indonesia yang ditujukan
kepada IMF mengenai dasar kebijakan perekonomian yang telah dan akan diambil
yaitu:
1. Letter of Intent Tanggal 31 Oktober 1997,
2. Letter of Intent Tanggal 15 Januari 1998,
3. Letter of Intent Tanggal 24 Juni 1998,
4. Letter of Intent Tanggal 4 Agustus 1998,
5. Letter of Intent Tanggal 11 September 1998,
6. Letter of Intent Tanggal 19 Oktober 1998,
7. Letter of Intent Tanggal 14 November 1998,
8. Letter of Intent Tanggal 16 Ma ret 1999,
9. Letter of Intent Tanggal 14 Mei 1999,
10. Letter of Intent Tanggal 22 Juli 1999,
11. Letter of Intent Tanggal 27 Agustus 2001,
12. Letter of Intent Tanggal 13 Desember 2001, dan
13. Letter of Intent Tanggal 9 April 2002.
Semua LoI di atas, menggunakan parameter yang hampir bersamaan. Karena itu
berikut ini akan dipaparkan indikator-indikator yang mencerminkan program legislasi
nasional:
1. Umum .
Berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini dan juga dilandasi semangat
optimisme akan adanya perubahan yang positif pada masa-masa mendatang maka
defisit tahun 2002 ditargetkan 2,5% APBN yang turun dari sebelumnya 3,7%.
Sedangkan inflasi ditargetkan mencapai satu digit pada akhir 2002. Adapun target
pertumbuhan ekonomi adalah 3-4%.
Untuk mencapai stabilitas ekonomi makro akan dicapai melalui reformasi sektor
keuangan, privatisasi perusahaan negara, pengembalian asset yang ditangani
BPPN, dan menciptakan stabilitas hukum dan pemerintahan.
2. Kebijakan Moneter.
Untuk mencapai target-target yang telah ditentukan di atas, maka sektor moneter
pun harus menyesuaikan diri antara lain BI harus mengurangi pertumbuhan
berdasarkan uang dari 20% selama 12 bulan menjadi 12-14% pada akhir 2002, suku
bunga didasarkan pada suku bunga nyata yang positif, dan upaya
mengamendemen Undang-Undang Bank Sentral, yang targetnya adalah dibuatnya
rekomendasi para ahli pada April 2002.
3. Kebijakan Fiskal
Tujuan kebijakan di bidang fiskal adalah pengurangan utang publik. Untuk itu
Pemerintah melakukan konsolidasi fiskal melalui peningkatan pendapatan 1-2%
dari APBN dari pajak non minyak. Hal ini akan dilakukan dengan membentuk
“large taxpayer office”, dan membentuk sistem dan prosedur baru yang ditargetkan
pada bulan Juli 2002.
Masih berkaitan dengan kebijakan fiskal, maka akan dilakukan kebijakan untuk
mengurangi subisidi BBM dan listrik, dengan rincian pengurangan subsidi BBM
dari 2,8% menjadi 1,8% dari APBN. Untuk itu Pemerintah akan menaikkan harga
30% pada Januari 2002.
Upaya lainnya adalah mengupayakan pendapatan pajak 25% dari pendapatan
domestik. Disamping itu, upaya pengembalian aset publik ditargetkan mencapai
2,9% dari APBN untuk penjualan aset total yang dikuasai BPPN.
Untuk mengurangi utang publik ini, maka pembiayaan asing diturunkan dari 1,4%
pada anggaran 2001 menjadi 1,1% pada anggaran 2002.
4. Desentralisasi
Dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah, maka Pemerintah berencana akan
men-transfer 2 juta pekerja ke daerah. Dengan demikian maka tanggung jawab atas
pekerja-pekerja tersebut berada pada daerah yang bersangkutan.
Disamping itu, akan dilakukan pula peninjauan aturan daerah yang berpotensi
bertentangan dengan kepentingan nasional seperti pajak, lisensi, dan pembatasan
pengedaran barang, jasa, dan modal. Sementara ini ada 100 peraturan daerah
tentang pajak yang tidak konsisten.
Sekalipun daerah telah mendapatkan peran yang besar dalam mengatur
keuangannya sendiri, namun tetap diperlukan laporan-laporan mengenai
penerimaan dan penggunaan dana dari daerah tersebut untuk kepentingan
nasional secara keseluruhan. Untuk itu pembuatan laporan keuangan per kuartal
dianggap efektif untuk menjaga segala kemungkinan.
Desentralisasi di bidang hukum berkaitan dengan peluang daerah untuk melakukan
pinjaman. Untuk itu, perlu diadakan Undang-Undang Pinjaman/Utang Publik dan
Rancangan UU Utang Asing (Sovereign Debt Securities) yang keduanya ditargetkan
akan dibahas di DPR pada bulan November 2001.
5. Kebijakan Pembayaran Luar Negeri dan Keseimbangan Pembayaran.
Beberapa strategi untuk mencapai target ini adalah dengan menurunkan arus modal
swasta ke luar negeri. Disamping itu perlu pula mencari bantuan luar negeri, yaitu
dengan mengefektifkan pertemuan Paris Club. Penetapan suku bunga
mengambang pun diharapkan akan dapat menjaga keseimbangan pembayaran.
Disamping BI akan menerapkan “liberal trade regime”; bukan pembatasan aliran
modal.
6. Reformasi Sektor Keuangan
a. Restrukturisasi Bank Pemerintah
Dalam rangka mengadakan restrukturisasi Bank Pemerintah, maka Pemerintah
akan mengeluarkan 30% saham Bank Mandiri pada kuartal I tahun 2002.
Kemudian Pemerintah juga akan memperkuat manajemen BNI dan BRI,
melakukan penilaian terhadap BTN bulan Maret 2002 dalam rangka privatisasi.
b. Regulasi dan Pengawasan Bank
Untuk melakukan regulasi dan pengawasan bank, BI akan mengubah peraturan
syarat minimum CAR meningkat menjadi 8% pada 1 Januari 2002; yang tidak
memenuhi persyaratan ini akan masuk pada BPPN. Khusus untuk pengawasan
perbankan, maka akan dibentuk Lembaga Pengawasan Sektor Keuangan
(Financial Sector Supervisory Institution) pada akhir 2001.
7. Privatisasi, Penjualan Aset, dan Restrukturisasi Utang
a. Privatisasi
Dalam rangka melakukan upaya privatisasi, maka perlu membentuk kembali
Kementerian BUMN.
Pada anggaran 2001 lalu, dari sektor privatisasi ini telah diterima Rp 3,5 trilyun
dari penjualan aset dan pada anggaran 2002 targetnya dinaikkan menjadi Rp 6,5
trilyun sesuai dengan daftar perusahaan yang telah ditetapkan bersama -sama
dengan DPR.
b. Penjualan Aset dan Restrukturisasi BPPN.
Untuk mempermudah koordinasi, maka tanggungjawab BPPN dialihkan kepada
Menteri BUMN, sehingga ada satu manejemen. Sedangkan target pada anggaran
2002 dari penjualan aset BPPN adalah sebesar Rp 35 trilyun meningkat dari
anggaran 2001 yang hanya Rp 27 trilyun.
c. Pelaksanaan Manejemen BPPN.
Untuk menjaga transparannya proses penjualan aset di BPPN, maka penjualan
aset dilakukan melalui penawaran publik dan mekanisme penawaran yang
kompetitif dan transparan. Disamping itu perlu pula menetapkan transparansi
dalam statement keuangan, yang ukurannya antara lain dengan penunjukan
Pejabat Keuangan Kepala yang bertanggung jawab atas internal control,
menunjuk lembaga akuntansi baru untuk audit tahun 2001, dan membentuk tim
revisi “Corrective Action Plan” dengan memberdayakan Jakarta Initiative Task
Force (JITF). Adapun target akhir November sebanyak $12,7 juta dari 63
perusahaan, dan akhir Desember diharapkan $14 juta.
d. Peraturan-peraturan.
Dalam rangka privatisasi, penjualan aset dan restrukturisasi utang, maka
perangkat peraturan perundang-undangan yang perlu disiapkan antara lain
Peraturan Pajak yang dapat menunjang resturturisasi transaksi utang;
8. Reformasi Hukum, Pemerintahan dan Lainnya
a. Reformasi Hukum
Dalam kerangka reformasi hukum yang berkaitan dengan pemulihan ekonomi
antara lain dengan menciptakan hukum yang dapat meningkatkan kepercayaan
investor, memperdalam reformasi bidang perbankan, dan peraturan yang
memastikan pengembalian aset.
b. Pembentukan Komisi Anti Korupsi.
Hal ini diperlukan untuk mendorong kepercayaan investor dan dunia
internasional. Untuk melaksanakan hal ini targetnya adalah kuartal II tahun
2002. Adapun tanggungjawab Komisi ini meliputi investigasi dan penuntutan
kasus korupsi, mengadakan Peradilan Anti Korupsi yang terpisah dari peradilan
yang ada. Komisi juga diberi wewenang untuk memperpanjang hukuman bagi si
pelaku, memperkuat insentif, termasuk perlindungan negara bagi mereka yang
bekerjasama dalam mengungkap kasus korupsi.
c. Hal lain yang berkaitan dengan reformasi hukum adalah upaya amandemen
Undang-Undang Kepailitan yang ditargetkan selesai pada awal tahun 2002.
d. Pengaturan Sektor Publik
Untuk melakukan reformasi hukum dalam sektor publik, maka akan dilakukan
audit 9 yayasan milik militer (2 yayasan milik Menteri Pertahanan, 3 yayasan
milik Angkatan Darat, 1 milik Kantor Pusat TNI, 1 yayasan Angkatan Laut, 1
yayasan Angkatan Udara, dan 1 yayasan milik Kepolisian)
e. Dengan bekerjasama dengan World Bank, Asean Development Bank, Pemerintah
akan merumuskan kebijakan mengenai beras, reformasi BUMN, manejemen
sumber daya alam, reformasi jasa swasta, pengurangan kemiskinan
9. Program Ekonomi tahun 2003.
Untuk program ekonomi tahun 2003, Pemerintah akan melakukan konsolidasi fiskal
lebih lanjut, menurunkan inflasi dalam konteks suku bunga mengambang,
melanjutkan reformasi penjualan aset dan privatisasi, mengurangi peran sektor
pemerintah dalam perbankan dan sistem kesehatan dan pengawasan perbankan,
memperdalam reformasi hukum dan judisial.

1. Mekanisme Pembentukan

Mekanisme pembentukan LoI sedikit berbeda dengan mekanisme


pembentukan program legislasi pada umumnya. Keterlibatan IMF dalam
menetapkan program pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan bidang
ekonomi, telah dimulai dari tahapan paling awal; artinya IMF telah terlibat pada
level departemen teknis, sehingga program yang tersusun dan diusulkan untuk
dijadikan program legislasi nasional adalah merupakan kehendak bersama antara
pemerintah Indonesia dengan IMF. Keterlibatan IMF dalam membentuk program
pembangunan yang kemudian berkaitan dengan program legislasi nasional adalah
berdasarkan kenyataan bahwa IMF telah memiliki pengalaman pemulihan ekonomi
dari negara-negara lain. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, maka
disusunlah suatu program pembangunan untuk Indonesia yang disesuaikan dengan
kondisi dan karakter persoalan yang ada.
Dalam melakukan negoisasi itu, Pemerintah bersikap bahwa pembentukan
program-program sebagai persyaratan dari IMF ini diupayakan tidak bertentangan
dengan target-target yang ada di Propenas dan Repeta. Dengan kata lain, ada
program legislasi dari LoI untuk Propenas/Repeta, dan sebaliknya ada program
legislasi dari Propenas/Repeta yang didukung oleh LoI.

IMF Pemerintah

Departemen
LoI
Teknis

2. Program Pencabutan, Perubahan, dan Pembentukan UU


Adapun Program Pencabutan, Perubahan, dan Pembentukan UU dari LoI
adalah seperti tersebut dalam lampiran 3.
Dari 20 Program legislasi yang direkomendasikan LoI, 5 diantaranya (25%)

telah menjadi Undang-Undang, masih berstatus dibahas di DPR sebanyak 2 RUU

(10%) dan sisanya 13 RUU (65%) belum masuk DPR untuk dibahas. Dari sudut

Propenas, sebanyak 14 RUU (70%) ternyata juga menjadi program legislasi Propenas.

Dari data di atas, ada satu hal yang menarik, yaitu UU Anti Korupsi yang
telah menjadi Undang-Undang Nomor 20/2001. RUU Anti Korupsi tidak terdapat
dalam Propenas, tetapi merupakan rekomendasi dari LoI, namun ternyata pada
kenyataannya RUU ini telah menjadi UU pada tahun 2001.
D. Program Pembangunan Nasional (Propenas)
Sebelum tahun 2000 program pembangunan nasional dituangkan dalam Repelita
yang tidak membutuhkan Undang-Undang sebagai bentuk hukum formalnya.
Perubahan ini membawa dampak positif sekaligus negatif. Dampak positifnya adalah
program pembangunan nasional tersebut diharapkan merupakan hasil musyawarah
antara pemerintah – yang memegang amanat untuk menyelenggarakan pemerintahan –
di satu pihak dengan DPR – yang merupakan wakil rakya; pemberi amanat tersebut – di
lain pihak. Dengan dibentuknya dalam Undang-Undang, maka landasan hukum
penyelenggaraan pemerintahan menjadi kuat. Sebaliknya, dikarenakan bentuk
formalnya undang-undang, maka program pembangunan nasional ini tidak lagi
fleksibel, karena setiap perubahannya tentu harus dilakukan melalui paling rendah
setingkat undang-undang pula.
Adapun prioritas Propenas 2000-2004 adalah sebagai berikut:
1. Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan persatuan dan
kesatuan;
2. Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik;
3. Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan
berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem Ekonomi Kerakyatan;
4. Membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama, dan
ketahanan budaya; dan
5. Meningkatkan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Program legislasi nasional telah menjadi bagian dari
Propenas. Lebih khusus lagi program legislasi nasional dicantumkan dalam program
bidang hukum yang meliputi: program pembentukan peraturan perundang-undangan,
program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya,
program penuntasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pelanggaran hak asasi
manusia, serta program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya
hukum.
1. Mekanisme Pembentukan
Program legislasi nasional sesungguhnya telah dilaksanakan mendahului
pembahasan Propenas. Menurut mekanisme sebelum tahun 2000, pembentukan itu
dimulai dari usulan dari departemen/lembaga pemerintah non departemen terhadap
RUU yang diajukan. BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) bersama-sama
dengan Direktorat Hukum dan Perundang-undangan- Departemen Kehakiman-
mengakomodasi semua usulan tersebut dan menindaklanjutinya, kemudian hasil
kajian, penelitian dan rumusan RUU yang telah siap dibicarakan di DPR. Semua itu
dilaksanakan berdasarkan Keppres No. 188/1999 dan Keppres No. 44/1999 tentang
Teknik Penyusunan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah serta Rancangan Keputusan Presiden.

BPHN

Ditjen PP
Depkeh
Pengkajia Naskah
RUU Sekretari
n/ Akademis
at
Departemem
DPR
/
-BPHN -BPHN
- -
Dept/LPN Dept/LPN
D D

Khusus untuk Propenas, hal yang pertama dilakukan oleh Pemerintah adalah
mencoba menangkap saripati dari amanat GBHN. Selanjutnya Pemerintah meminta
masukan dari seluruh lembaga baik dari Pemerintah, dunia usaha, maupun
masyarakat luas mengani prioritas pembangunan yang penting, mendasar dan
mendesak. Dari masukan-masukan ini, kemudian disusun konsep awal Propenas.
Setelah konsep awal Propenas terbentuk, kemudian diseminarkan secara
terbuka di pusat dan di daerah, seperti Yogyakarta, Banjarmasin, Surabaya Padang
dan Makassar, dengan mengundang masyarakat luas untuk perbaikan dan
penyempurnaan. Setelah diperbaiki, konsep itu disampaikan kepada masyarakat dan
DPR untuk mendapatkan tanggapan, masukan dan kritik. Selain itu, konsep ini juga
telah diperiksa oleh tim independen yang terdiri dari pakar dan pemerhati untuk
memastikan bahwa apa yang diaspirasikan oleh masyarakat luas telah benar-benar
terakomodasi.

GBH
N
Masukan:
-Lembaga Perbaikan: DPR
BPHN Konsep
Pemerintah -Pakar
Awal
-Dunia usaha -Pemerhati
-Masyarakat luas
Seminar di: Paniti
- a
Yogyakarta
-
Banjarmasi
n

Di DPR, Propenas dibahas oleh Panitia Khusus bersama -sama dengan


Pemerintah. Proses yang dilalui adalah melalui 2 tahap, yaitu tahap pertama adalah
penjelasan dari Pemerintah mengenai isi Propenas, dan tahap kedua berisikan
tanggapan da ri DPR atas penjelasan tersebut. Khusus yang berkaitan dengan
program legislasi, maka yang melakukan pembahasan secara intensif adalah Panitia
Kerja II yang beranggotakan 34 orang dengan komposisi dua orang ketua dari unsur
pimpinan Pansus dan 2 orang Wakil Ketua Panja dari anggota Panja.
Dalam perdebatan mengenai prioritas Undang-Undang yang diusulkan oleh
Pemerintah hampir tidak dibahas secara substansinya, misalnya mengapa ada 120
RUU yang diusulkan, apa indikator penentuan RUU, dan apa alasan untuk masing-
masing RUU. Perdebatan lebih banyak mengenai redaksi dan bersifat umum saja.
Misalnya mengenai judul program yang diajukan Pemerintah semula Program
Penyusunan dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diubah menjadi
Program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, atau Program Penyadaran
Hukum diubah menjadi Program Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya
Hukum.
Perdebatan lain misalnya adalah mengenai anggaran yang harus dialokasikan
sehubungan dengan jumlah RUU yang diajukan, ataupun mengenai kekhawatiran
bisa tidaknya dicapai target RUU tersebut mengingat pembahasan satu UU yang
cukup memakan waktu. Sedangkan mengenai substansi pada umumnya bersifat
melengkapi hasil kerja dari Pemerintah seperti misalnya mengenai indikator
penyusunan RUU. Strategi Pemerintah dalam menyusun RUU adalah melalui
penetapan prioritas peraturan perundang-undangan yang memberi landasan dan
memperkuat upaya -upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good
governance).
Dengan demikian indikator yang digunakan oleh Pemerintah dalam
menentukan prioritas RUU dalam Propenas adalah:
1. penataan sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu;
2. penyempurnaan dan pembaharuan produk-produk hukum kolonial yang
diskriminatif;
3. menghapuskan ketidakadilan jender;
4. penyesuaian peraturan dengan tuntutan reformasi;
5. memberi landasan dan memperkuat upaya-upaya mewujudkan pemerintah yang
baik;
6. mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi pasar bebas dan
pemulihan ekonomi;
7. menjaga kelestarian daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup serta
masyarakat setempat.

2. Program Pencabutan. Perubahan dan Pembentukan UU


Berdasarkan Prioritas RUU yang telah ditetapkan dalam Propenas, maka
perkembangan RUU yang telah ditindaklanjuti sampai dengan April 2002 adalah
seperti tercantum dalam lampiran 4.
Berdasarkan data tersebut dalam lampiran 4, sejauh ini hanya 24 RUU yang
sudah masuk dalam pembahasan di DPR atau sekitar 20%; 9 RUU diantaranya masih
dibahas sampai saat ini, bahkan RUU Hak Cipta misalnya, merupakan pekerjaan
rumah yang tersisa dari tahun 1999, dan 2 RUU sudah disahkan tetapi belum
mendapatkan penomoran melalui Lembaran Negara.
Menarik mengamati RUU yang dibahas di DPR yang tidak berasal dari
Propenas seperti tergambar dalam lampiran 5.
Pada tahun 2000, 19 UU diantara 38 UU yang telah disahkan oleh DPR adalah
berasal dari non Propenas, yaitu sekitar 50%; sedangkan jumlah ini meningkat pada
tahun 2001, yaitu sebanyak 16 UU dari 20 UU yang disahkan juga berasal dari non
Propenas atau sekitar 80%.
Apabila diamati komitmen para pembentuk Undang-Undang yang telah
menetapkan bahwa kesempatan untuk menetapkan RUU di luar Propenas, karena
alasan mendesak dan perlu segera diatur undang-undangnya, hanya berkisar 10-
20%; maka angka ini jauh melebihi ketentuan tersebut.
BAB IV
ANALISIS PERMASALAHAN

Berdasarkan rumusan-rumusan masalah yang diajukan, dapat disederhanakan


tiga pokok permasalahan yang masing-masing akan dianalisis dalam bab ini.
Pertama, pokok permasalahan yang terkait dengan rumusan masalah yang
mempertanyakan tentang bagaimana pengakomodasian aspirasi masyarakat dalam
penyusunan Prolegnas itu. Derivasi dari rumusan masalah yang pertama ini
memunculkan tiga pertanyaan turunannya, yakni tentang (1) bagaimana mekanisme
penyusunan Prolegnas yang aspiratif, (2) lembaga apa yang ideal untuk menyusun
Prolegnas tersebut, dan (3) dalam produk hukum apa Prolegnas itu seharusnya
dituangkan.
Kedua, dipertanyakan tentang apa indikator dari penetapan prioritas Prolegnas
itu. Ketiga, dipermasalahkan mengenai prioritas Prolegnas dalam berbagai bidang
(hukum, ekonomi, sosial politik, hankam, dan kesra).

A. Akomodasi Aspirasi Masyarakat dalam Prolegnas

1. Mekanisme Prolegnas yang Aspiratif


Kebutuhan untuk menyerap aspirasi masyarakat ini merupakan bagian dari
tuntutan kerangka berpikir yuridik yang seharusnya dikembangkan dalam
pembangunan sistem hukum Indonesia. Setelah reformasi bergulir, tuntutan
demikian makin bertambah kuat lagi, sejalan dengan keinginan masyarakat luas
untuk membentuk kehidupan politik, ekonomi, dan hukum yang lebih demokratis.
Dalam kerangka berpikir Sociological Jurisprudence yang telah dimodifikasi,
sebagaimana dikemukakan dalam Bab II laporan penelitian ini, dalam pembentukan
undang-undang (baca: Prolegnas) aspirasi masyarakat memegang peranan sangat
penting.
Prolegnas yang ada sekarang ini belum bisa mencerminkan aspirasi
masyarakat tersebut, karena prolegnas pada kenyataannya disusun sekadar hasil
inventarisasi yang dilakukan Bappenas berdasarkan masukan dari departemen,
lembaga pemerintah nondepartemen, dan institusi lainnya, yang kemudian didaftar
kembali sehingga menghasilkan 120 buah undang-undang untuk diproduksi sampai
tahun 2004.
Sayangnya, Repeta bidang hukum yang nota bene merupakan penjabaran
Prolegnas dalam Propenas, tidak secara konsisten melaksanakannya. Dari penelitian,
diketahui bahwa inkonsistensi ini sebagian muncul karena faktor teknis yang dapat
dimaklumi. Kendati demikian, tidaklah seharusnya bahwa daftar undang-undang
yang muncul kemudian di luar Propenas justru mendominasi, sehingga praktis
Propenas tidak lagi menjadi acuan yang efektif, yang bahkan penyimpangannya
untuk Repeta tertentu berada di atas angka 70%.
Berdasarkan gambaran realitas kondisi Prolegnas yang masih jauh dari
responsif tersebut, tentu pertanyaan mendasar yang ingin dijawab adalah terkait
dengan keinginan melahirkan mekanisme penyusunan Prolegnas yang lebih
aspiratif, yang tidak sekadar mengacu pada jumlah undang-undang yang dihasilkan,
melainkan pada kualitas pengakomodasian kebutuhan riil masyarakat luas. Untuk
itu pertama -tama harus dicermati mekanisme penyusunan Prolegnas yang saat ini
digunakan.
Bagan yang telah ditampilkan pada bab sebelumnya menunjukkan bagaimana
tahap-tahap pembentukan Prolegnas dari berbagai sumber, yakni dari BPHN, Baleg
DPR, LoI, dan Propenas. Apabila disederhanakan, tampak bagan alurnya sebagai
berikut:
DEPARTEMEN
/

DEPKEH & HAM


BPHN BAPPENAS

UU 25 Th.
Forum 2000
NASKAH Konsultasi
LoI PROPENAS
DPR & (Bidang

DPR
BALEG UU ttg APBN
REPETA
(Prolegnas)
Non. Propenas

Aspirasi tuntutan kebutuhan masyarakat menurut bagan di atas ditampung


melalui DPR dan Pemerintah. Sebab, kedua lembaga tinggi negara inilah yang
mempunyai hak inisiatif mengajukan rancangan undang-undang. Wacana yang
memungkinkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk juga mempunyai hak yang
sama, sampai sekarang masih bergulir dan kurang mendapat dukungan.
Mekanisme pengajuan rancangan undang-undangnya sendiri diatur secara
khusus dalam dua peraturan yang terpisah untuk kedua lembaga itu, yakni dalam
Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 dan melalui Keputusan DPR Nomor
03A/DPR RI/I/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI. Dalam mekanisme
yang diintroduksi, baik melalui Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 maupun
melalui Peraturan Tata Tertib DPR, momentum untuk menyerap aspirasi masyarakat
tersebut memang sudah dibuka. Hal itu dapat dilihat dari adanya: (1)
naskah/rancangan akademik untuk tiap-tiap undang-undang; dan (2) konsultasi
publik, baik langsung maupun tidak langsung sebelum rancangan disahkan menjadi
undang-undang.
Perlunya naskah akademik (dalam Keppres Nomor 188 Tahun 1998
digunakan istilah “rancangan akademik”), misalnya, menunjukkan bahwa setiap
pengusulan rancangan undang-undang wajib didahului oleh kajian mendalam
melalui penelitian hukum. Tentu saja penelitian tersebut juga akan mengakomodasi
kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat, yakni para stakeholders sebagai sasaran (subjek
hukum) rancangan undang-undang itu. Sayangnya, dalam Lokakarya I Kelompok C-
3 (Hotel Indonesia, Jakarta, 29 Mei 2002), diperoleh informasi dari Rony Bako, S.H.,
M.H. (Baleg DPR), yang bertindak sebagai salah satu narasumber, bahwa ternyata
tidak semua rancangan undang-undang yang diajukan dilengkapi dengan naskah
akademik ini. Hal ini memang disadari sebagai suatu kelemahan, sehingga di masa
datang perlu segera diperbaiki. Dinyatakan oleh narasumber tersebut, bahwa saat ini
DPR sedang mempersiapkan rancangan undang-undang yang di dalamnya diatur
tentang persyaratan bahwa setiap rancangan undang-undang, baik dari DPR
maupun Pemerintah wajib dilampiri naskah akademik. Tanpa naskah akademik ini,
suatu rancangan dapat dikesampingkan.
Ironisnya, naskah akademis yang telah diberikan di DPR pun tidak semuanya
terbuka untuk umum. Bahkan, tim peneliti di lingkungan DPR sendiri tidak dapat
mengaksesnya secara leluasa. Menurut Rony Bako, untuk mendapatkan naskah ini
mereka seringkali harus terbentur birokrasi perizinan yang berbelit-belit. Padahal,
disadari bahwa proses penelitian untuk menyusun naskah akademis ini
membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Dilihat dari proses yang berjalan, yang mengantarkan suatu rancangan
undang-undang untuk sampai pada tahap pengesahannya, juga terdapat
momentum-momentum tertentu yang memberi akses pada penyampaian aspirasi
masyarakat. Pada masa reses, anggota DPR, biasanya melakukan kunjungan kerja ke
daerah-daerah. DPR juga memiliki agenda rapat kerja dengan Pemerintah atau
dengar pendapat dengan lembaga-lembaga nonpemerintah. Data inilah yang antara
lain dapat digodok agar kualitas suatu undang-undang yang diproduksi DPR
bersama dengan Pemerintah, tergolong aspiratif dan responsif.
Dari penelitian, diketahui bahwa akses masyarakat untuk menyampaikan
aspirasinya itu dalam kenyataannya tidak dapat dipantau secara lebih transparan.
Dalam wawancara dengan sejumlah pakar hukum, diperoleh penjelasan bahwa
mereka sering dimintakan pendapatnya dalam rapat-rapat dengan DPR menyangkut
suatu substansi penting untuk dimuat dalam rancangan undang-undang, tetapi
dalam wujud akhir setelah undang-undang itu disahkan, ternyata substansi penting
tadi “hilang” tanpa diketahui alasan-alasannya. Besar kemungkinan, menurut
narasumber yang diwawancarai ini, lobby politik di antara fraksi-fraksi DPR jauh
lebih berpengaruh daripada kebutuhan riil masyarakat yang disuarakan para pakar.
Sehubungan dengan kebutuhan untuk lebih mengakomodasikan aspirasi
masyarakat, dalam penelitian ini juga diperoleh masukan dari Focus Discussion Group
di Makassar dan Medan, agar hak inisiatif pengajuan rancangan undang-undang
tidak hanya dibatasi pada DPR dan Pemerintah. Masyarakat (termasuk di dalamnya
perguruan tinggi, LSM, ormas, bahkan perorangan, diperbolehka n juga untuk
mengajukan inisiatif serupa. Memang, dalam diskusi tersebut tidak secara konkret
dapat disepakati mekanisme penyaluran hak tersebut. Sekalipun demikian, terkesan
kuat bahwa masyarakat menyadari benar kebutuhan ini, khususnya untuk
mengakomodasi kebutuhan kedaerahan dalam peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah, setingkat peraturan daerah. Contoh konkret yang disebutkan oleh
sebuah LSM di Medan adalah tuntutan organisasi tersebut untuk membuat
rancangan peraturan tentang larangan pemekerjaan anak di jermal. Sejumlah aktivis
LSM ini telah pula menyusun drafnya dan menyerahkannya kepada DPRD setempat,
tetapi tidak pernah ada tindak lanjutnya.
Idealnya, akses masyarakat terhadap penyusunan Prolegnas memang tidak
hanya dibatasi pada DPR dan Pemerintah. Makin banyak akses ini dibuka, makin
responsif suatu produk hukum dapat dibentuk. Perbenturan kepentingan
antarkelompok masyarakat mungkin saja terjadi akibat dibukanya akses tersebut,
namun dengan transparansi dan koordinasi yang baik, perbenturan itu akan
menimbulkan dialektika yang konstruktif, yang justru memperkuat keberlakuan
filosofis dan sosiologis dari peraturan perundang-undangan itu di kemudian hari.
Koordinasi ini menjadi kata kunci yang penting, yang antara lain terkait dengan
kelembagaan. Usulan tentang kelembagaan untuk mengkoordinasikan penyusunan
Prolegnas ini juga sangat mengemuka dalam penelitian-penelitian Kelompok Kerja
C-3 selama berada di daerah-daerah. Hal ini akan dibahas dalam subpokok bahasan
berikutnya.
Mekanisme Prolegnas yang aspiratif, dengan demikian, dapat dijalankan
melalui pendekatan prosedural dan pendekatan kelembagaan. Untuk pendekatan
yang pertama, kata kuncinya adalah diintensifkannya penelitian hukum. Pemikiran
ini memang bukan hal baru, karena salah satu indikator kinerja dalam Propenas
bidang hukum telah menetapkan demikian. Namun, tindakan konkret untuk
memberi makna terhadap penelitian hukum ini tidak pernah dilakukan secara
sungguh-sungguh. Salah satu kunci yang menyebabkan peraturan masa kolonial
dapat bertahan lama adalah karena sebelum peraturan itu diundangkan, selalu ada
kajian-kajian mendalam terhadap substansinya. Kajian-kajian ini tidak sekadar
bersifat yuridis, tetapi juga filosofis dan sosiologis/antropologis.
REKOMENDASI TEKNIS Jangka Pendek Rekomendasi
No. 9*
PENELITIAN HUKUM

DIAGNOSIS:
Penelitian hukum sebagai kunci menyerap aspirasi dan hukum yang hidup di masyarakat (living law) belum
diorganisasi secara baik, sehingga tidak banyak memberi kontribusi bagi penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu
substansi undang-undang.

REKOMENDASI:
Penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu undang-undang wajib ditunjang oleh hasil penelitian hukum yang
sungguh-sungguh komprehensif dan mendalam, baik dari sudut subtansi maupun metodologinya. Hasil penelitian ini
merupakan salah satu dasar untuk penyusunan naskah akademik, dan keberadaan naskah akademik ini dinyatakan
sebagai prasyarat wajib (bukan sekadar anjuran) untuk pembuatan sebuah undang-undang.

RENCANA AKSI:
Memuat ketentuan yang mengikat secara normatif bahwa naskah akademik merupakan persyaratan yang harus
disertakan dalam setiap pengajuan RUU. Rumusan ini dituangkan dalam UU tentang Penyusunan UU (pengganti
AB).

*) Penulisan nomor rekomendasi ini disesuaikan dengan urutan dalam Bab Rekomendasi.
Dalam uraian Bab III disebutkan bahwa Prolegnas sendiri pada dasarnya
merupakan pengejawantahan politik hukum nasional. Dua lingkup utama dari
politik hukum ini adalah: (1) politik pembentukan hukum, dan (2) politik penegakan
hukum. Politik pembentukan hukum yang aspiratif tentu tidak harus berhenti pada
penggunaan hasil-hasil penelitian tentang living law itu saja. Politik pembentukan
hukum harus juga berlanjut sampai taraf perumusannya dalam bentuk (format)
yuridis formal undang-undang itu.
Politik hukum nasional dalam kedua lingkup utama di atas, sampai sekarang
tidak pernah jelas. Seharusnya ada suatu forum resmi dan terbuka, yang secara
berkala diadakan untuk mendiskusikan politik hukum nasional ini. Forum seperti
yang dilakukan oleh BPHN berupa Seminar Hukum Nasional, sebenarnya adalah
wahana yang tepat untuk keperluan ini. Sayangnya, seminar yang cukup besar
seperti itu tidak dimanfaatkan secara optimal, bahkan sering tanpa target yang jelas.
Seandainya, DPR dan Pemerintah dapat mengorganisasikan seminar demikian
menjadi lebih terfokus, yakni untuk mendiskusikan (mengkritisi) rancangan politik
hukum nasional, maka tentu seminar tadi akan menjadi forum yang bernas dan
sangat bermanfaat.
REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang Rekomendasi
No. 2
PENETAPAN POLITIK HUKUM NASIONAL

DIAGNOSIS:
Bervariasinya indikator yang digunakan menunjukkan ketidakjelasan politik hukum Indonesia, khususnya yang terkait
dengan politik pembentukan hukum.

REKOMENDASI:
Penetapan politik hukum nasional oleh DPR dan Pemerintah sebagai dua lembaga pembentuk undang-undang. Politik
hukum ini, sebagai suatu arahan kebijakan, dikonsultasikan secara berkala kepada semua lapisan masyarakat
(stakeholders) dalam suatu forum resmi dan terbuka.

RENCANA AKSI:
Menyelenggarakan suatu seminar hukum nasional secara berkala (tahunan) yang diorganisasikan oleh DPR dan
Pemerintah, dengan target untuk menetapkan politik hukum nasional.

Dalam lokakarya yang diadakan oleh Kelompok Kerja C-3, muncul sejumlah
keluhan dari narasumber dan peserta tentang sikap anggota-anggota DPR (tentunya
hal ini juga terjadi di DPRD), yang terlalu banyak membuang waktu
memperbincangkan terminologi hukum. Padahal, menurut narasumber tadi,
terminologi hukum ini sudah sangat baku dalam kosa kata ilmu hukum. Akibat
perdebatan demikian, tidak jarang akhirnya muncul kompromi dalam bentuk
perumusan yang lain, dengan menggunakan kata-kata yang justru tidak lazim dari
kaca mata hukum karena bernuansa multi-interpretable.
Kekhawatiran ini cukup beralasan. Artinya, dapat saja secara substansial
suatu undang-undang sudah sangat aspiratif karena berangkat dari penelitian dan
kajian mendalam di masyarakat, namun karena perumusannya tidak sempurna,
mengakibatkan terjadi deviasi makna yang bermuara ke arah berlawanan dari
aspirasi masyarakat. Untuk itulah, keterampilan para perancang undang-undang
(legal drafters) menjadi signifikan untuk ditingkatkan. Tidak tertutup kemungkinan,
jika secara kuantitas sudah cukup memadai, para tenaga perancang undang-undang
ini kemudian disertifikasi. Hanya mereka yang memiliki pengakuan (sertifikat)
tertentu itulah yang layak merancang suatu undang-undang atau peraturan tertentu.
Lebih ideal lagi jika tenaga perancang ini dapat membentuk asosiasi di antara
mereka. Sertifikasi dapat saja dilakukan oleh asosiasi independen ini. Melalui kerja
sama dengan para ahi bahasa Indonesia, asosiasi perancang undang-undang ini
dapat menyusun suatu standar peristilahan hukum. Dengan standar ini diharapkan
kontradiksi pemaknaan istilah-istilah hukum yang seringkali menjadi celah
kelemahan perundang-undangan di Indonesia dapat diminimalisasi.
REKOMENDASI TEKNIS Jangka Panjang Rekomendasi
No. 7
PENINGKATAN KUANTITAS DAN KUALITAS LEGAL DRAFTER

DIAGNOSIS:
Perumusan suatu ketentuan normatif dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan keterampilan yang
dimiliki oleh tenaga perancang (legal drafters), yang dalam kenyataannya masih kurang secara kuantitas maupun
kualitas.

REKOMENDASI:
Jumlah dan keterampilan tenaga perancang ditingkatkan.
RENCANA AKSI:
Menetapkan sertifikasi untuk para tenaga perancang. Sertifikasi diberikan oleh asosiasi tenaga perancang undang-
undang.

Pada tahapan berikutnya, setelah undang-undang disahkan, penyerapan


aspirasi masyarakat harus terus berjalan. Umpan balik dari masyarakat sering
terlambat diterima, biasanya justru karena sosialisasi undang-undang tersebut yang
tidak berjalan dengan baik. Untuk itu, lembaran negara tidak lagi dapat diandalkan
sebagai media satu-satunya.
Dalam Focus Discussion Group di Medan, Kelompok Kerja C-3 mendapat
masukan yang menarik dari peserta berkenaan dengan teknik sosialisasi ini. Menurut
mereka, sudah selayaknya dalam setiap undang-undang terdapat suatu pasal yang
memuat mekanisme sosialisasi ini. Menurut mereka, kalimat yang ada pada bagian
penutup, yaitu “Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan…
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,” belumlah
cukup untuk mengikat pihak-pihak berkompeten mensosialisasikan suatu produk
hukum.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, dapat pula dipertimbangkan untuk
merumuskan dalam setiap undang-undang tentang upaya sosialisasi ini. Artinya, jika
diperlukan, dapat disebutkan badan atau instansi yang ditunjuk dalam undang-
undang itu untuk mensosialisasikan undang-undang tersebut, berikut dengan
sasaran dan jangka waktunya. Badan atau instansi ini dengan sendirinya akan
dimintakan pertanggungjawabannya jika sosialisasi ini tidak menjangkau sasaran
yang diharapkan.
REKOMENDASI TEKNIS Jangka Panjang Rekomendasi
No. 8
SOSIALISASI UU

DIAGNOSIS:
Masyarakat (stakeholders) sering tidak diberi akses yang cukup untuk memahami hak dan kewajibannya setelah suatu
UU berlaku. Kondisi ini menyebabkan banyak UU yang memiliki daya berlaku yuridis, tetapi tidak berdaya laku
sosiologis.

REKOMENDASI:
Mensosialisasikan secara intensif keberlakuan suatu UU, dengan melibatkan semua potensi yang ada di lingkup
pemeirntahan dan masyarakat.

RENCANA AKSI:
Menetapkan suatu pihak (badan/instansi) yang bertanggung jawab untuk sosialisasi UU tersebut. Pelaksanaan
tanggung jawab ini kemudian dievaluasi secara berkala (sebagai bagian evaluasi kinerja badan/instansi tersebut).

2. Lembaga Ideal Penyusunan Prolegnas


Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah terkait dengan aspek
kelembagaan di bidang Prolegnas. Semula peran kelembagaan ini akan diserahkan
sepenuhnya kepada BPHN yang dikreasikan sebagai law center di Indonesia. Badan
inilah yang diharapkan dapat menyusun strategi besar Prolegnas di Indonesia.
Sayangnya, seperti dinyatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam Bab II laporan
ini, ada kekhawatiran atas usaha menjadikan BPHN sebagai pusat perundang-
undangan nasional (pada tahun 1982), yang menimbulkan tanda tanya banyak
departemen tentang kebijakan yang akan ditempuh BPHN kelak.
Dalam dua Focus Group Discussions di Makassar dan Medan, persoalan
kelembagaan yang layak untuk menjadi motor Prolegnas ini menjadi begitu
mengemuka. Komunitas hukum di daerah pun tampaknya menyadari benar bahwa
lembaga-lembaga yang mereka kenal selama ini, telah gagal mengemban misi ini.
Program legislasi tidak kunjung berjalan lebih baik daripada era sebelum gerakan
reformasi digulirkan.
Ada dua garis pemikiran yang dapat ditangkap dari peserta Focus Group
Discussions. Di satu sisi, ada pemikiran untuk mendayagunakan institusi yang sudah
ada. Beberapa institusi yang disebut adalah BPHN, Baleg DPR, dan KHN.
Keberadaan dan kinerja institusi yang disebutkan ini memang dinilai masih jauh dari
harapan, namun dengan meregulasi kewenangan baru kepada salah satu institusi
tadi, ada titik cerah bahwa Prolegnas dapat dikoordinasi secara lebih baik. Di sisi
lain, ada yang memandang mutlak perlu organ baru yang independen, dengan
tokoh-tokoh nonpartisan di dalamnya, yang dipilih secara ketat dan selektif seperti
halnya Komisi Pemilihan Umum dan Komnas HAM. Agar tidak tumpang tindih,
dengan adanya institusi ini, maka sejumlah badan serupa di tingkat nasional, harus
ditinjau ulang keberadaannya. Mereka menyarankan agar institusi baru ini
menggunakan predikat “komisi”.
Tugas utama dari komisi (untuk sementara dapat disebut sebagai Komisi
Perundang-undangan Nasional, disingkat KPN) adalah:
1. membantu DPR dan Pemerintah dalam menetapkan dan menerapkan politik
hukum yang terkait dengan Prolegnas, yang indikatornya terlihat dari konsistensi
di dalam asas-asas pembentukannya dan materi muatannya (lihat uraian dalam
Bab III laporan ini);
2. mengkoordinasikan penyusunan Prolegnas melalui mekanisme bottom-up, antara
lain dari proses konsultasi publik dan penelitian-penelitian mendalam;
3. mensosialisasikan rancangan undang-undang mulai dari taraf sedini mungkin
kepada para stakeholders, sekaligus menyerap aspirasi mereka dan memberi
artikulasi terhadap aspirasi ini agar lebih didengar oleh para pembentuk undang-
undang;
4. mensosialisasikan undang-undang yang sudah berlaku, dengan harapan agar
dapat dijaring umpan balik guna penyermpurnaannya di kemudian hari.
Tugas nomor 3 yang disebutkan di muka menjadi signifikan untuk
dimasukkan sebagai bagian dari tugas KPN ini, mengingat lobby-lobby politik selama
proses penyusunan undang-undang seringkali lebih menentukan wujud akhir dari
suatu undang-undang. Tidak semua stakeholders memiliki akses pada saat lobby-lobby
ini dilakukan. KPN, bekerja sama dengan elemen seperti pers, dapat mengawal
aspirasi masyarakat agar tidak gugur di tengah jalan akibat deal politik yang tidak
sehat.
Tugas nomor 4 adalah tugas tambahan yang dilaksanakan bersama -sama
dengan institansi terkait. Tugas sosialisasi ini harus diartikan sebagai bagian dari
upaya penyerapan aspirasi masyarakat, untuk keperluan penyusunan Prolegnas
pada periode berikutnya.
Masukan dari:
Politik hukum nasional
Masyarakat luas
Stakeholders
Konsultasi-
Legislatif KPN kan PROLEGNAS
Eksekutif kembali
Dunia internasional
dll.

Dengan pendekatan seperti yang dijalankan oleh KPN, diharapkan semua


sumber daya (termasuk alokasi dana dan pikiran) dapat digerakkan secara efisien
dan efektif. KPN adalah lembaga yang memfasilitasi kepentingan publik untuk
menjamin agar substansi peraturan perundang-undangan benar-benar responsif. Apa
yang diceritakan oleh Prof. H.A.S. Natabaya, S.H. dengan mengambil contoh
penyusunan RUU Otonomi Daerah, seharusnya tidak terjadi lagi jika KPN dapat
menjalankan fungsinya dengan baik.
Menurut Prof. Natabaya, rancangan undang-undang ini semula terdiri dari
dua versi, yakni versi yang dipersiapkan oleh Departemen Kehakiman (zaman
Menkeh Muladi) dan versi Departemen Dalam Negeri. Ternyata yang berhasil
dibawa ke DPR adalah versi Departemen Dalam Negeri, yang didominasi oleh
pandangan orang-orang dengan latar belakang ilmu sosial politik (sospol), sementara
rancangan versi Depkeh, yang telah didiskusikan secara intensif oleh para pakar
hukum, tersia-siakan.
Harap diingat, bahwa kewenangan KPN tidaklah sampai pada taraf
menyusun naskah akademik atau RUU. Tugas ini adalah bagian dari tugas DPR dan
Pemerintah. Sekalipun demikian, KPN akan menjadi sumber penting pada saat
naskah akademik disusun oleh tenaga ahli, atau pada saat RUU dikonsepkan.
Bahkan, KPN akan menjadi mitra DPR dan Pemerintah dalam taraf penyusunan
suatu undang-undang, sehingga akan dilibatkan pula dalam acara-acara dengar
pendapat.
REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang Rekomendasi
No. 1
PEMBENTUKAN KOMISI INDEPENDEN

DIAGNOSIS:
Penyusunan Prolegnas masih dalam taraf mencatat daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan, karena daftar undang -undang yang
dituangkan melalui Propenas tersebut terbukti belum mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat (para
stakeholders).
REKOMENDASI:
Penyusunan Prolegnas dilakukan oleh sebuah institusi independen (komisi), yang salah satu tugasnya adalah secara intensif
menjaring masukan dari semua elemen masyarakat, untuk kemudian menyusunnya dalam sebuah daftar kebutuhan undang-undang.
Daftar ini hanya menjadi pedoman, tidak mengikat secara normatif sebagai hukum positif, dan secara reguler dan kontinyu
dimutakhirkan. Dengan mengacu pada daftar kebutuhan ini, selanjutnya DPR dan Pemerintah mengeluarkan Undang -Undang
APBN yang di dalamnya tercantum Repeta di bidang hukum.
RENCANA AKSI:
DPR/Presiden mengajukan usul pembentukan institusi independen (komisi) di bidang peraturan perundang -undangan.

3. Produk Hukum Prolegnas


Saat ini, dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000, Prolegnas telah
dikonkretisasi dalam bentuk daftar undang-undang yang [seharusnya] diproduksi
selama kurun waktu tahun 2000—2004. Dalam uraian di muka telah diungkapkan
“penyimpangan” yang sangat signifikan terhadap daftar program legislasi tersebut,
sehingga akhirnya menimbulkan pertanyaan besar (yang juga disuarakan oleh rekan-
rekan komunitas hukum di daerah) tentang perlu tidaknya Prolegnas itu ditetapkan
dengan produk hukum setingkat undang-undang.
Jika Prolegnas diharapkan dapat mengikat pihak DPR dan Pemerintah
bersama-sama, maka produk hukum setingkat undang-undang adalah pilihan satu-
satunya. Sayangnya, “ikatan” yang diharapkan akan diikuti oleh dua lembaga tinggi
negara itu, ternyata tidak banyak dilirik. Justru terkesan, Prolegnas versi Letter of
Intent menjadi lebih mengikat untuk dilaksanakan oleh Pemerintah dan DPR
daripada Undang-Undang Propenas 2000--2004.
Jika lembaga seperti KPN yang disinggung di muka telah ada, dan politik
hukum nasional telah sangat jelas, maka undang-undang khusus tentang Prolegnas
tidak lagi menjadi kebutuhan. Daftar undang-undang tersebut dapat saja dibuat oleh
KPN sebagai pedoman yang tidak mengikat secara normatif (dalam arti tidak
dijadikan norma hukum positif).
Dalam Lokakarya II yang diadakan tanggal 29 Juli 2002 di Universitas
Tarumanagara, Kelompok Kerja C-3 mendapat masukan dari dua pakar hukum
(Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H.) tentang
perlunya diperhatikan kecenderungan perubahan UUD 1945 dan kaitannya dengan
Prolegnas. Akhirnya disepakati, bahwa kalaupun diperlukan ada undang-undang
khusus tentang Prolegnas, sebaiknya lebih diarahkan kepada undang-undang
tentang proses penyusunannnya. Undang-undang ini menggantikan fungsi
Algemeene Bepalingen van Wetgeving (AB), yang jelas tidak layak lagi untuk
dipertahankan saat ini.
Undang-undang ini sekaligus berfungsi mengatur mekanisme pengajuan dan
penyusunan undang-undang, yang saat ini tersebar pada beberapa produk hukum
(antara lain Keppres Nomor 188 Tahun 1998 dan Peraturan Tata Tertib DPR). Produk
hukum yang baru ini juga memuat hirarki peraturan perundang-undangan yang
terlanjur diatur secara rancu dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000.
REKOMENDASI TEKNIS Jangka Pendek Rekomendasi
No. 10
PENYUSUNAN UU PENGGANTI AB

DIAGNOSIS:
Mekanisme penyusunan sampai dengan tahap pengesahan suatu undang-undang, baik menurut Keputusan Presiden
Nomor 188 Tahun 1998 maupun menurut Peraturan Tatib DPR tidak menjamin pemberian akses yang memadai bagi
masyarakat (stakeholders) untuk dalam rangka menyampaikan aspirasi mereka.

REKOMENDASI:
Mekanisme penyusunan undang-undang dituangkan dalam sebuah produk hukum yang berlaku baik untuk undang-
undang yang berasal dari hak inisiatif DPR maupun dari hak inisiatif Pemerintah. Dalam undang-undang yang
menggantikan Algemene Bepalingen (AB) ini dicantumkan secara eksplisit hak setiap stakeholder untuk didengar
aspirasinya, dan mekanisme penyampaiannya sebagai bagian dari pengaturan “hak inisiatif” masyarakat untuk
mengajukan suatu rancangan undang-undang.

RENCANA AKSI:
DPR memprioritaskan penyusunan dan pemberlakuan UU pengganti AB (selesai 2004).
B. Indikator Penetapan Prioritas Prolegnas
Dari empat sumber program legislasi yang diteliti (Propenas, BPHN, Baleg DPR,
dan LoI), tampak bahwa prioritas perancangan undang-undang dari masing-masing
sumber didasarkan pada sudut pandang yang berbeda. Sekalipun demikian, harus
diakui bahwa kondisi objektif yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini senantiasa
mewarnai setiap usulan, seperti terlihat pada tabel di bawah:
Indikator Pemberian Prioritas Menurut Masing-Masing Sumber
Propenas BPHN Baleg DPR LoI
1. Membangun sistem 1. Keterkaitan 1. Pelaksanaan UUD Percepatan pemulihan
politik yang demokratis dengan UU lainnya 1945. ekonomi, dengan
serta mempertahankan yang sudah cara:
persatuan dan dibentuk.
kesatuan.
2. Mewujudkan 2. Mendukung 2. Pelaksanaan TAP 1. Mengontrol inflasi.
supremasi hukum dan pemulihan MPR No.
pemerintahan yang ekonomi. IV/MPR/1999
baik. tentang GBHN.
3. Mempercepat 3. Mendukung 3. Persyaratan IMF – 2. Amandemen UU
pemulihan ekonomi. demokrasi. LoI. Bank Sentral.
4. Memperkuat 4. Berasal dari 4. Perjanjian Int. 3. Pengurangan utang
landasan pembangun- zaman Hindia tentang HAM. publik.
an yang berkelanjutan Belanda.
dan berkeadilan
berdasarkan Ekonomi
Kerakyatan.
5. Membangun 5. Masalah gender. 5. Warisan Kolonial. 4. Mengurangi
kesejahteraan rakyat. Subsidi.
6. Meningkatkan 6. Sesuai dengan 6. Diskrimatif 5. Meningkatkan
kualitas kehidupan aspirasi dan (gender). pendapatan pajak.
beragama. kebutuhan rakyat.
7. Meningkatkan 7. Tidak reformis. 6. Otonomi daerah.
ketahanan budaya.
8. Meningkatkan 8. Kebutuhan rakyat 7. Menurunkan arus
pembangunan daerah. yang mendesak. modal swasta ke luar
negeri.
9. Menjaga keutuhan 8. Restrukturisasi
bangsa. Bank Pem.
10. Pemulihan 9. Privatisasi.
ekonomi,
keuangan/perbankan
dan pembangunan.
11. Kesiapan pem. 10. Keamanan
DPR dalam investasi.
mengajukan RUU.
12. Kesiapan 11. Memastikan
masyarakat untuk pengembalian aset.
melaksanakan UU.

Jika diperhatikan dengan saksama, semua indikator tersebut mengarah kepada


tiga kelompok indikator sebagai kondisi objektif yang sedang dihadapi bangsa
Indonesia. Tiga kelompok tadi adalah:
1. Desakan untuk memberi respons terhadap tuntutan reformasi di bidang hukum;
termasuk kelompok ini adalah pandangan tentang masih banyaknya produk hukum
warisan kolonial, perlunya memberi dukungan terhadap penyerapan aspirasi dan
kebutuhan masyarakat, pemberdayaan DPR dalam proses pengajuan RUU, otonomi
daerah, supremasi hukum, kesejahteraan sosial, peningkatan kualitas kehidupan
beragama, dan ketahanan budaya.
2. Klaim bahwa pemulihan ekonomi tidak berjalan disebabkan antara lain oleh kurang
kondusifnya perangkat hukum pendukungnya; termasuk kelompok ini adalah
alasan-alasan yang dikemukakan oleh LoI.
3. Urgensi untuk menyikapi perkembangan regional dan global; termasuk kelompok
ini adalah alasan-alasan yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan isu gender.
Dasar-dasar pemikiran yang digunakan untuk meletakkan suatu rancangan
undang-undang ke dalam daftar prioritas pada Propenas, Baleg DPR, dan LoI,
semuanya berlandaskan pertimbangan substansial. Artinya, materi rancangan undang-
undang tersebut yang dijadikan patokan penempatan prioriatas.
Dari penelitian yang dilakukan di BPHN, ternyata selain indikator substansial
seperti dibentangkan dalam tabel di atas, masih terdapat sejumlah pertimbangan untuk
memprioritaskan perancangan atau pemrosesan lebih lanjut sebuah perundang-
undangan. Dasar-dasar pertimbangan yang dimaksud dapat dikategorikan sebagai
indikator formal atau prosedural. Alasan-alasan BPHN yang dapat dimasukkan dalam
kriteria ini adalah apabila:
1. telah dipersiapkan naskah akademik untuk RUU tersebut;
2. telah ditetapkan sebagai program prioritas oleh instansi/lembaga tertentu;
3. telah dilakukan pembahasan terhadap RUU itu di tingkat departemen atau lembaga
pemerintah nondepartemen (LPND);
4. telah mendapat persetujuan dari Presiden;
5. rancangannya telah disampaikan ke Sekretariat Negara.
Dari alasan-alasan yang sangat formal-prosedural tersebut terlihat benar bahwa
BPHN sendiri sebenarnya tidak memiliki program legislasi sendiri. Daftar prioritas
yang dibuatnya lebih berdasarkan kebutuhan penguasa (baca: Pemerintah) tanpa
memberi penilaian secara substansial.
Pendekatan yang digunakan BPHN ini menunjukkan bahwa lembaga ini masih
sangat kuat didominasi oleh cara berpikir Positivisme Hukum. Kedudukan dan peranan
Sekretariat Negara dalam program legislasi nasional, misalnya, dalam banyak kasus
justru lebih menentukan dibandingkan BPHN. Padahal, lembaga ini sejak awal
diharapkan dapat menjadi law center yang berwibawa dan dijadikan referensi oleh
semua pembentuk peraturan perundang-undangan.
Prioritas pembentukan hukum seyogianya berawal dari tuntutan substansial
yang rasional. Artinya, ada penelitian-penelitian mendalam yang telah dilakukan
sebelumnya untuk mendukung pilihan tersebut. Penelitian demikian harus
menunjukkan bahwa dimensi filosofis dan sosiologis dari rancangan peraturan
perundang-undangan tersebut sudah diakomodasi. Demikian juga dengan aspek
sinkronisasi dengan peraturan-peraturan yang sudah eksis sebelumnya. Dimensi
terakhir ini sangat berguna untuk memberi kekuatan keberlakuan yuridis bagi suatu
peraturan perundang-undangan di kemudian hari.
Keberlakuan yuridis tidak semata-mata ditunjukkan bahwa suatu peraturan
telah dibuat oleh lembaga yang berwenang dengan mengikuti prosedur standar, sampai
tahap, misalnya, dipublikasikan melalui lembaran negara. Dimensi yuridis harus juga
diperhatikan dalam arti sinkronisasi vertikal dan horisontal. Mengingat adanya
demikian banyak sumber lahirnya sebuah rancangan undang-undang, maka dapat
dipastikan akan muncul desakan-desakan yang sangat sektoral sifatnya. Suatu
rancangan yang digagas oleh sebuah unit kerja (misalnya departemen) dapat saja
berseberangan dengan rancangan unit kerja lainnya. Ketidaksesuaian pendapat ini
secara teknis mungkin dapat diatasi melalui tim interdepartemen, tetapi tidak ada
jaminan bahwa pekerjaan tim tersebut demikian komprehensif dan bekerja dengan
paradigma “hukum sebagai sistem”. Keterbatasan tim seperti ini akan membuat mereka
tidak cukup kemampuan (dan mungkin kemauan) mengkaji rancangan tadi secara
filosofis, sosiologis, dan yuridis. Akhirnya, suatu peraturan akan berbenturan satu sama
lain, bahkan sampai pada satu tingkat di mana asas-asas hukum “tidak lagi sanggup”
mengatasi pembenturan itu. Sebagai contoh, ada ketentuan pidana dalam undang-
undang sektoral, yang melanggar prinsip-prinsip pemidanaan dalam KUHP. Jika
diberlakukan prinsip “lex specialis derogat lege generali” seharusnya, undang-undang
sektoral ini yang dimenangkan. Namun, jika undang-undang ini dipaksakan untuk
diterapkan, muncul inkonsistensi yang berdampak pada ketidakpastian hukum.
Belum lagi jika indikator prioritas ini juga didasarkan pada tekanan-tekanan
regional atau golobal. Indikator yang ditunjukkan oleh LoI memang tidak satu pun
yang secara eksplisit menunjukkan faktor ini. Semua dikemas dengan dalih akselerasi
pemulihan ekonomi. Padahal, desakan negara lain/lembaga internasional (kreditur)
tersebut tidak selalu sejalan dengan prioritas masyarakat Indonesia dalam dimensi
sosiologis-teleologis. Contoh yang klasik adalah UU Paten yang pernah mendapat
prioritas pengubahan bekali-kali, bahkan dalam tempo yang cukup singkat. Kebutuhan
terhadap undang-undang ini jelas lebih karena desakan eksternal, bukan karena
diangkat sec ara bottom-up menurut hukum yang hidup di tengah masyarakat Indonesia.
Buktinya, setelah undang-undang ini diberlakukan pun, permintaan paten dari dalam
negeri masih sangat minim.
Baleg DPR dalam menetapkan daftar prioritas yang disusunnya lebih banyak
mendasarkan indikatornya pada pendekatan politik. Isu-isu seperti hak asasi manusia
dan diskriminasi gender, misalnya, mencerminkan reaksi politis DPR yang terkadang
terkesan berlebihan. Lahirnya UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) dan
UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 Tahun
1999), yang keduanya adalah produk hak inisiatif DPR merupakan “prioritas” DPR
yang terbukti tidak berjalan efektif. Ini berarti, mayoritas masyarakat (bahkan aparat
penegak hukum) sendiri belum “menganggap penting” keberadaan kedua undang-
undang ini. Undang-undang seperti ini dapat saja diberi nilai tambah sebagai salah satu
bentuk “law as a tool of social engineering”. Namun, seperti telah diungkapkan dalam Bab
III laporan penelitian ini, pemeragaan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat
pun harus memperhatikan syarat-syarat tertentu, seperti aspek besaran penerimaan dan
penolakan masyarakat tatkala norma itu sampai pada proses pelembagaan
(institusionalization).
Indikator-indikator yang diberikan oleh Propenas berada dalam wilayah makro.
Oleh karena itu, pendekatan sistemik hukum terhadap Prolegnas ini tidak diberi bobot
yang terlalu besar. Indikator “untuk membangun kesejahteraan rakyat” misalnya, akan
diterjemahkan secara multivarian oleh departemen-departemen teknis. Dengan
demikian, kecenderungan tumpang tindih perumusannya dalam undang-undang akan
sangat besar.
Terakhir, adalah indikator-indikator yang ditetapkan melalui LoI. Fokus
perhatian LoI ini jelas dengan satu sudut pandang, yakni demi mempercepat pemulihan
ekonomi. Optik yang oleh banyak kalangan diibaratkan “kaca mata kuda” ini jelas akan
sangat berbahaya jika diperkuat dengan ide pragmatisme jangka pendek. Ukuran
keberhasilan Prolegnas melalui LoI, seyogianya tidak cukup dibaca melalui data
kuantitatif, seperti berkurangnya subsidi, privatisasi, atau peningkatan pendapatan
pajak. Indikator-indikator kualitatif pun selayaknya dijadikan acuan utama, seperti
peningkatan rasa percaya rakyat terhadap Pemerintah atau peningkatan kesejahteraan.
Dari gambaran tersebut sekilas tampak bahwa Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2000 (Propenas) ini tidak berjalan efektif untuk memandu Prolegnas. Data yang
diperoleh dari departemen/kementerian negara dalam tabel dalam Lampiran VI.
Dari data Lampiran VI tersebut dapat diperhatikan, bahwa dari 13
departemen/kementerian negara ternyata tidak semua departemen/kementerian
negara itu mempunyai kesamaan bahasa dengan daftar prioritas yang ditetapkan
Propenas. Bahkan, ada kecenderungan pada departemen tertentu untuk
memprogramkan suatu RUU yang tidak direkomendasikan Propenas sama sekali. Hal
ini sesungguhnya dapat dipahami, karena pendekatan “program” memang tidak dapat
sepenuhnya ditetapkan terlalu dini (dalam bentuk undang-undang). Adakalanya
program itu baru dirasakan urgensinya pada satu atau dua tahun terakhir berdasarkan
hasil observasi terhadap kebutuhan riil masyarakat. Sekalipun demikian, dari alasan-
alasan yang diberikan oleh departemen/kementerian negara tersebut, sesungguhnya
tidak ditemukan ada RUU yang tingkat urgensinya datang pada satu atau dua tahun
terakhir. Artinya, semua seharusnya dapat dimasukkan dalam prioritas Propenas.
Kuatnya desakan luar negeri terutama juga terlihat dalam ratifikasi konvensi-
konvensi internasional. Dalam Propenas terdapat sejumlah konvensi yang
diprogramkan akan segera diratifikasi, seperti Konvensi Internasional tentang Larangan
Perdagangan Perempuan dan Anak, Konvensi Internasional tentang Hukum Perjanjian
Internasional, dan konvensi-konvensi lain yang bernuansa penghormatan terhadap hak
asasi manusia dan keseimbangan gender.
REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang Rekomendasi
No. 5
AKOMODASI KEPENTINGAN EKSTERNAL DALAM PROLEGNAS

DIAGNOSIS:

Kepentingan kelompok dan tekanan regional dan internasional mempunyai peran yang signifikan dalam penetapan
prioritas dalam Prolegnas, sehingga daftar RUU yang diprogramkan tidak secara utuh mencerminkan kebutuhan riil
masyarakat Indonesia secara luas.

REKOMENDASI:
Mengkoordinasikan penetapan Prolegnas, dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan dari para stakeholders,
termasuk desakan regional dan internasional.

RENCANA AKSI:
Memberi tugas kepada institusi independen (komisi di bidang peraturan perundang-undangan) untuk menetapkan
Prolegnas secara aspiratif dan responsif sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat Indonesia (sejalan arahan politik
hukum nasional).

Sejalan dengan pembahasan pada subbab sebelumnya, agar Prolegnas dapat


berjalan efektif dengan indikator-indikator yang dipatuhi bersama, kiranya keberadaan
insitutusi yang berkompeten untuk mengkoordinasikan sekaligus memantau Prolegnas
ini sudah mutlak ada. Di sisi lain, keberadaan Propenas sebagai produk hukum, harus
dilengkapi dengan undang-undang yang mengatur tentang mekanisme pengajuan
Prolegnas itu. Undang-undang ini mengikat semua pihak, termasuk DPR dan
Pemerintah.
Dalam tataran makro, sebagaimana juga telah disinggung dalam subbab
sebelumnya, penggunaan indikator yang sedemikian banyak dan saling tumpang
tindih, justru menyebabkan pihak pembentuk undang-undang kehilangan arah dan
tidak dapat lagi berpegang pada skala prioritas yang jelas. Oleh sebab itu, tidak
mengherankan apabila Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 hanya menjadi aturan di
atas kertas karena sama sekali tidak efektif. Seharusnya indikator-indikator tersebut
merupakan pengejawantahan dari politik hukum Indonesia, sesuatu yang tidak pernah
dipersiapkan secara serius sampai saat ini.
REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang Rekomendasi
No. 3
PENEKANAN INDIKATOR PROLEGNAS

DIAGNOSIS:
Prolegnas yang dicantumkan dalam Propenas, BPHN, Baleg DPR, dan LoI berangkat dari sejumlah indikator yang
berbeda penekanannya, namun pada dasarnya bermuara kepada tiga faktor utama, yaitu adanya: (a) desakan untuk
memberi respons terhadap tuntutan reformasi di bidang hukum, (b) anggapan bahwa pemulihan ekonomi tidak
mungkin berjalan tanpa didukung oleh pembenahan perangkat hukum positif, (c) urgensi untuk menyikapi
perkembangan regional dan global.

REKOMENDASI:
Indikator Prolegnas dalam jangka panjang tidak boleh sekadar merespons kondisi “darurat” yang cenderung
pragmatis.

RENCANA AKSI:
Menyusun politik hukum nasional untuk jangka panjang, yang kemudian dijabarkan menjadi politik hukum jangka
menengah dan jangka pendek. Di dalamnya secara jelas terlihat penekanan-penekanan indikator Prolegnas menurut
kebutuhan tiap-tiap periode.

C. Penetapan Prioritas Prolegnas dalam Berbagai Bidang

Tabel yang disajikan dalam subbab ini akan menunjukkan data tentang bidang-
bidang Prolegnas, yaitu: (1) hukum, (2) ekonomi, (3) politik, (4) agama, (5) pendidikan,
(6) sosial dan budaya, (7) pembangunan daerah, (8) sumber daya alam dan lingkungan
hidup, serta (9) pertahanan dan keamanan. Dilihat dari prioritas undang-undang per
bidang yang dikemukakan, tampak posisinya sebagai berikut:

No. Bidang yang disebutkan dalam Propenas Jumlah UU


1 Hukum 35
2 Ekonomi 48
3 Politik 29
4 Agama 4
5 Pendidikan 1
6 Sosial dan Budaya 42
7 Pembangunan Daerah 3
8 Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 18
9 Pertahanan dan Keamanan 5
Jumlah 185
Untuk melihat lebih jauh rincian prioritas tersebut, perhatikan tabel pada
Lampiran VII dan VIII. Jumlah RUU yang dijadikan prioritas oleh keempat sumber
dengan demikian berarti berjumlah sekitar 185 buah. Penggunaan kata “sekitar” di sini
perlu digarisbawahi karena angka sebenarnya memang tidak mudah diketahui.
Penelitian ini hanya mampu memperoleh judul sementara atau area RUU tersebut,
padahal dari judul tersebut belum dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang isinya.
Salah satu alasannya adalah karena RUU yang dicantumkan judul-judulnya ini sebagian
besar masih dalam tataran gagasan, bahkan belum terwujud dalam naskah akademik
sekalipun. Dapat saja terjadi BPHN dan Baleg DPR, misalnya, mengajukan judul yang
sama, tetapi setelah dikaji di kemudian hari ternyata substansinya berbeda, sehingga
akhirnya kedua RUU itu diproses sebagai dua judul undang-undang yang berbeda.
Pengklasifikasian inipun masih dapat diperdebatkan karena satu judul RUU
dapat saja masuk ke dalam beberapa bidang sekaligus. RUU tentang guru, misalnya,
dapat masuk ke dalam sektor pendidikan, tetapi juga dapat terkait dengan sosial
budaya. Demikian juga dengan RUU ketenagakerjaan, yang dapat masuk ke dalam
sektor ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Uraian di bawah adalah penafsiran berdasarkan data yang muncul dalam tabel
pada Lampiran VII dan VIII. Urutan penyebutan bidang-bidang ditentukan
berdasarkan kuantitas undang-undang yang diprioritaskan akan dibuat pada masing-
masing bidang menurut Propenas 2000—2004.

1. Bida ng Ekonomi
Rapuhnya fundamen ekonomi Indonesia sudah disuarakan sejak lama oleh para
ahli, sejak rejim Orde Baru menjadikan hutang luar negeri sebagai andalan
pembangunan. Sektor perbankan juga tidak kunjung sehat, yang berakibat menjadi
beban anggaran yang sangat berat bagi Pemerintah. Di sisi lain, sektor riil juga tidak
dapat bergerak optimal selama sektor moneter belum terbenahi. Efek dominonya adalah
menurunnya minat investasi, meningkatnya jumlah pengangguran, dan dengan
sendirinya menurunkan tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat.
Dari tabel di atas, tampak bahwa dominasi RUU yang diprioritaskan berada
dalam wilayah ekonomi. Hal ini dapat dipahami, karena keempat sumber (Propenas,
BPHN, Baleg DPR, dan LoI) memang memberi penekanan pada sudut ini. Rupanya
sangat kuat melekat pada benak para pengusul RUU itu, bahwa kemunduran sektor
ekonomi memang perlu segera diatasi sesegera mungkin (jangka pendek). Dan, undang-
undang adalah instrumen penting untuk mengatasi kemelut ekonomi ini.
Sayangnya, perumusan undang-undang di bidang ekonomi ini seringkali tidak
dilakukan secara hati-hati dengan pendekatan sistemik. Dalam diskusi kelompok tatkala
Lokakarya II Kelompok Kerja C-3 diadakan, terdapat keluhan dari seorang peserta dari
Departemen Kehakiman dan HAM, bahwa departemen-departemen teknis seringkali
terlalu “memaksakan kehendak” atas suatu klausula, padahal tidak mereka sadari
bahwa pencantuman klausula yang tidak dikaji secara sistematis itu akan mencederai
sistem hukum Indonesia.
Apa yang dikeluhkan ini cukup beralasan karena terbukti beberapa undang-
undang yang dihasilkan lima tahun terakhir ini di sektor ekonomi, ternyata
mengandung kontradiksi mendasar dengan produk hukum lainnya. Hal ini tanpa
disadari telah berpeluang menciptakan celah-celah hukum untuk dimanfaatkan pihak-
pihak yang beritikad tidak baik. Undang-Undang Yayasan yang belum sempat berlaku
efektif, misalnya, terpaksa harus ditinjau ulang. Demikian juga dengan tuntutan untuk
mengubah Undang-Undang tentang Kepailitan, Pengadilan Niaga, Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Perlindungan Konsumen, dan seterusnya.
Artinya, alih-alih ingin memproduksi peraturan yang menggairahkan bidang ekonomi,
yang terjadi justru melahirkan bumerang ketidakpastian hukum di sektor ekonomi.

2. Bidang Sosial Budaya


Sektor kedua yang dijadikan prioritas adalah sosial budaya. Bidang sosial
budaya terkait erat dengan bidang kesejahteraan rakyat, yang rupanya tidak dikategori
secara tersendiri. Dari sektor ini hadir problema sekitar menurunnya indeks harapan
hidup dan kualitas sumber daya manusia. Jumlah penduduk miskin menggelembung
secara drastis.
Apabila diamati, RUU yang diajukan dalam bidang ini lebih banyak diinspirasi
dari penyakit (patologi) sosial yang sedang melanda masyarakat Indonesia. Undang-
Undang yang diprogramkan mencakup masalah psikotropika, hak perempuan,
perdagangan perempuan dan anak, penanggulangan tuna susila, fakir miskin, undian,
cagar budaya, ketenagakerjaan (pengangguran), karantina kesehatan, pengungsi, dan
sebagainya.

3. Bidang Hukum
Bidang hukum ditempatkan pada sektor prioritas nomor tiga. Wajah buruk
hukum Indonesia menjadi hiasan media massa hampir setiap hari. Premanisme,
anarkisme, vandalisme, ketidakdisiplinan lalu lintas, pungutan liar, adalah wujud-
wujud konkret ketidakpercayaan masyarakat kepada hukum. Aparat penegak hukum
yang tidak profesional dan korup, yang terang-terangan melanggar etika luhur
profesinya, telah menambah kelabunya kondisi sektor hukum.
Ada keinginan kuat untuk mengubah keadaan ini dengan menciptakan produk
hukum seperti Undang-Undang Advokat, Notaris, dan profesi lainnya. Bahkan,
diusulkan tentang Undang-Undang Kode Etik Hakim, yang oleh banyak pengamat
dipandang berpotensi akan mengaburkan kekuatan mengikat profesi itu secara legal
dan moral. Muncul pertanyaan, misalnya, apakah akibat pelanggaran etika, seseorang
dapat dipidana?
Ketidakpercayaan terhadap lembaga -lembaga pengadilan memunculkan pula
badan-badan semiyudikatif, dengan nama komisi atau badan penyelesaian sengketa.
Keberadaan badan-badan ini juga direkomendasikan dalam Prolegnas, seperti dalam
Undang-Undang Komisi Anti Korupsi. Untuk profesi seperti dokter, akuntan, dan
pengacara/advokat, disarankan juga untuk membentuk badan-badan penyelesaian
sengketa internal profesi tersebut.
Jika diperhatikan judul-judul yang muncul dari daftar Lampiran VII dan VIII,
tampak bahwa sektor ini didominasi oleh pembangunan sectoral laws, dan hanya sedikit
yang mengarah ke basic laws. Pembangunan hukum dasar biasanya mengarah kepada
kodifikasi-kodifikasi hukum. Memang benar ada usulan dari Propenas, BPHN, dan
Baleg DPR untuk pembentukan UU tentang hukum acara perdata. Namun, untuk
pembentukan KUH Perdata, sendiri hanya Propenas yang mengusulkan, sementara
BPHN, tidak. Hal ini agak aneh karena kedua kodifikasi ini sebenarnya sudah sejak
lama diperjuangkan oleh figur-figur penting di BPHN (antara lain oleh mantan Kepala
BPHN Teuku Mohammad Radhie). Bahkan tatkala T.M. Radhie memimpin lembaga ini,
ia mengusulkan agar dilengkapi kodifikasi untuk semua basic laws karena sejak
Indonesia merdeka, hanya ada satu kodifikasi produk alam kemerdekaan, yakni UU No.
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam Lokakarya I, diakui oleh narasumber dari P3I DPR RI, bahwa dari pihak
Baleg DPR sendiri ada pemikiran untuk menunda rancangan undang-undang yang
terkait dengan basic laws ini. Alasannya lebih pada keterbatasan waktu, mengingat masa
kerja anggota DPR ini sendiri hanya sampai tahun 2004. Dikhawatirkan pembahasan
RUU ini akan memakan waktu lama dan berlarut-larut. Padahal, dalam Propenas
amanat untuk merancang ulang produk hukum berkualifikasi basic laws ini juga
dicantumkan.
Dalam Propenas memang dicantumkan juga rancangan untuk mengubah
KUHAP dan KUHP. Untuk perubahan terhadap KUHAP, ketiga sumber yakni
Propenas, BPHN, dan Baleg DPR mempunyai satu suara. Sementara untuk KUHP,
Propenas mengusulkan agar dilakukan perubahan, sementara BPHN meminta agar
dibentuk baru.
Dari bidang ekonomi, ada disebutkan judul RUU tentang perdagangan. Memang
tidak jelas di sini, apakah yang dimaksud adalah kodifikasi seperti layaknya KUHD.
Usul pembentukannya dimajukan oleh tiga sumber (Propenas, BPHN, dan Baleg DPR).
Pembangunan aspek basic laws memang membutuhkan pengkajian mendalam,
sehingga mungkin tidak sepenuhnya tepat ditempatkan sebagai prioritas jangka pendek
sampai tahun 2004. Kendati demikian, wacana tentang perlunya basic laws ini harus
didengungkan sejak jauh-jauh hari, mengingat keberadaan hukum-hukum dasar inilah
yang menjadi payung sectoral laws.
Perdebatan tentang mana yang lebih primer antara kodifikasi dan modifikasi
hukum sudah selayaknya ditinggalkan karena sesungguhnya keduanya sama
pentingnya. Persoalannya memang, dalam keterbatasan sumber daya dan dana
sekarang ini, gerakan modifikasi hukum (yang biasanya lebih diarahkan kepada
pembentukan hukum sektoral) akan lebih diprioritaskan. Penundaan pembangunan
basic laws sebaiknya tidak boleh lebih lama dari lima tahun ke depan. Sebab,
pertumbuhan hukum-hukum sektoral yang tidak didasari oleh pilar-pilar basic laws
yang kuat akan berpotensi merusak sistem hukum nasional Indonesia.
4. Bidang Politik
Bidang politik selanjutnya menempati prioritas keempat. Kisaran areal RUU
yang diajukan di bidang ini ternyata sangat bervariasi. Aroma “reformasi politik”
sangat kuat berhembus dari sektor ini, sebagaimana tampak dari keinginan untuk
mengubah peraturan di bidang partai politik, susduk MPR, DPR, dan DPRD. Lalu, juga
muncul keinginan untuk mengatur lebih jauh lembaga kepresidenan, contempt of
parliament, dan tindakan kepolisian terhadap anggota DPR/DPRD. Hampir dapat
dipastikan, jenis-jenis RUU seperti ini tidak mungkin muncul sebagai prioritas pada era
Orde Baru.
Sangat menarik, bahwa pembentukan dan perubahan terhadap RUU di bidang
politik justru lebih banyak datang dari Propenas dan BPHN, dan sedikit saja dari Baleg
DPR. Pada sektor ini sumber di Baleg DPR hanya mengusulkan pembentukan RUU
tentang susdik MPR, DPR, DPRD, lalu tentang peran serta masyarakat (dalam
berpolitik), tentang hubungan antar-lembaga tinggi negara, dan tentang diskriminasi
terhadap hak-hak minoritas. Makin menguatnya gejala politik aliran dan semangat
kedaerahan, membuat muncul usulan-usulan agar dibuat undang-undang tentang
peran serta masyarakat, hubungan wakil rakyat dan rakyat, dan sebagainya.
Fenomena penempatan aturan-aturan di bidang politik pada prioritas keempat
dapat dipandang sebagai pergeseran yang signifikan. Namun, jika dilihat dari segi
jumlah RUU antara prioritas ketiga (sektor hukum) dan prioritas keempat (politik) tidak
terpaut jumlah RUU yang cukup banyak. Artinya, pembangunan sektor politik
sebenarnya tetap mendapat perhatian penting, dan mungkin sekali akan menemukan
momentum urgensinya untuk didahulukan daripada sektor-sektor lain, mengingat
tahun 2004 nanti berlangsung pemilihan umum.

5. Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup


Sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup ditempatkan pada prioritas
kelima. Jumlah RUU dari sektor ini terpaut angka cukup jauh dari sektor politik.
Masalah konservasi alam masih mendominasi usulan-usulan RUU di bidang ini. Dilihat
dari sumber pengusul, hampir seluruh RUU di sektor ini diajukan usulan
pembentukannya oleh BPHN. Sumber LoI hanya meminta dilakukan perubahan
terhadap satu undang-undang saja di bidang ini, yakni tentang energi. Kurangnya
perhatian sumber-sumber selain BPHN terhadap sektor ini “agak mengejutkan” karena
isu-isu lingkungan seharusnya sudah menjadi wacana global. Lembaga -lembaga
internasional, termasuk IMF seharusnya memberi penekanan juga pada pembangunan
pranata hukum sektor ini.

6. Bidang Pertahanan dan Keamanan


Prioritas keenam menurut hasil penelitian ini diduduki oleh sektor pertahanan
keamanan. Sekalipun menduduki tempat prioritas keenam, RUU sektor hankam
ternyata sangat jauh di bawah jumlah RUU sektor sumber daya alam. Ancaman
disintegrasi bangsa dan gangguan keamanan tampaknya menjadi inspirasi munculnya
sejumlah RUU dari sektor ini.

7. Bidang Lain-lain (Agama, Pembangunan Daerah, Pendidikan)


Prioritas ketujuh dan seterusnya masing-masing ditempati sektor agama,
pembangunan daerah, dan pendidikan. Jumlah RUU yang diusulkan pada sektor-sektor
ini sangat minim. Usulan sebagian besar datang dari Propenas. Ini berarti, ada
kecenderungan dari banyak pihak untuk melihat persoalan pembangunan sektor
agama, kedaerahan, dan pendidikan sebagai persoalan makro. Besar kemungkinan
karena sektor-sektor ini dinilai merupakan investasi jangka panjang dengan output yang
tidak terlalu konkret.

8. Konvensi Internasional
Tuntutan regional dan global dalam penyusunan Prolegnas juga diakomodasi
secara luas, sebagaimana terlihat dari amanat untuk meratifikasi sejumlah konvensi
internasional. Dalam Propenas, misalnya, tercatat beberapa konvensi yang sebenarnya
sudah ada lebih dari sepuluh tahun lalu. Bahkan, konvensi tentang perbudakan telah
dibuat tahun 1926. Desakan agar Indonesia membuka diri untuk bergabung dengan
negara-negara peratifikasi lainnya, terutama datang dari masyarakat internasional, atau
melalui mitra mereka di Indonesia dari unsur LSM.
Di luar konvensi, undang-undang yang bersifat sektoral juga banyak yang
“wajib” segera dibuat demi memenuhi desakan pihak-pihak luar negeri. Undang-
Undang Anti Terorisme, misalnya, adalah salah satu bentuk undang-undang yang
didesakkan untuk segera diwujudkan. Dalam Lokakarya II Kelompok Kerja C-3,
memang ada bantahan seorang peserta dari Departemen Kehakiman dan HAM, bahwa
undang-undang ini sebenarnya sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelum peristiwa “11
September 2001”. Namun, ia mengakui bahwa tekanan Amerika Serikat memang cukup
besar agar Indonesia segera menelurkan undang-undang tersebut.
Pembagian per bidang menurut kategorisasi Propenas tersebut sebenarnya tidak
cukup sistematis untuk membagi sektor-sektor yang ada. Seharusnya bidang-bidang
tersebut cukup dibagi menjadi: (1) hukum, (2) ekonomi, (3) sosial politik, (4)
kesejahteraan rakyat, dan (5) pertahanan dan keamanan. Dari kategori Propenas,
sebaiknya sosial budaya dapat digolongkan menjadi kesra, demikian juga dengan
agama dan pendidikan. Sementara itu, sektor pembangunan daerah dapat masuk ke
berbagai bidang, seperti sosial politik, hukum, ekonomi, dan kesra.
REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang Rekomendasi
No. 4
PRIORITAS BIDANG-BIDANG PROLEGNAS

DIAGNOSIS:
Prolegnas memberikan prioritas yang sebaran bidangnya tidak merata, dan sangat didominasi oleh RUU sektor
ekonomi dengan pendekatan kebutuhan jangka pendek dan pragmatis.

REKOMENDASI:
Walaupun tidak harus dicantumkan dalam produk hukum berbentuk undang-undang, perhatian harus diberikan
secara lebih merata untuk bidang-bidang lain di luar ekonomi. Sebaran bidang dan alokasi anggaran untuk penyiapan
RUU dibuat lebih merata, dengan juga memperhatikan kepentingan jangka menengah dan jangka panjang.

RENCANA AKSI:
Memberi tugas kepada institusi independen (komisi di bidang peraturan perudang-undangan) untuk menyusun
Prolegnas yang lebih merata, sehingga tidak didominasi bidang ekonomi dengan pendekatan kebutuhan jangka pendek
dan pragmatis.
BAB V

KESIMPULAN

1. Penyusunan Prolegnas masih dalam taraf mencatat daftar keinginan, bukan daftar
kebutuhan, karena daftar undang-undang yang dituangkan melalui Propenas
tersebut terbukti belum mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan riil
masyarakat (para stakeholders). Proses pembentukan, perubahan (revisi), dan
pencabutan suatu undang-undang dalam kenyatakaan belum memberikan akses
yang seimbang kepada setiap stakeholder dalam menyuarakan kepentingannya. Di
samping itu, Mekanisme penyusunan sampai dengan tahap pengesahan suatu
undang-undang, baik menurut Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 maupun
menurut Peraturan Tatib DPR tidak menjamin pemberian akses yang memadai bagi
masyarakat (stakeholders) dalam rangka menyampaikan aspirasi mereka. Penelitian
hukum sebagai kunci untuk menyerap aspirasi dan memahami hukum yang hidup
di masyarakat (living law), belum diorganisasi secara baik, sehingga tidak banyak
memberi kontribusi bagi penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu substansi
undang-undang.
2. Prolegnas yang dicantumkan dalam Propenas, BPHN, Baleg DPR, dan LoI berangkat
dari sejumlah indikator yang berbeda penekanannya, namun pada dasarnya
bermuara kepada tiga faktor utama, yaitu adanya: (a) desakan untuk memberi
respons terhadap tuntutan reformasi di bidang hukum, (b) anggapan bahwa
pemulihan ekonomi tidak mungkin berjalan tanpa didukung oleh pembenahan
perangkat hukum positif, (c) urgensi untuk menyikapi perkembangan regional dan
global. Bervariasinya indikator yang digunakan menunjukkan ketidakjelasan politik
hukum Indonesia, khususnya yang terkait dengan politik pembentukan hukum.
Penerapan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000—
2004 ternyata juga tidak efektif. Indikator ketidakefektifan itu dapat diamati dari
beberapa hal. Pertama, jumlah undang-undang yang diproduksi kurun waktu
2000—2002 ternyata hanya sekitar seperempat dari jumlah keseluruhan produk
yang direkomendasikan Propenas. Untuk kurun waktu 2003—2004, dipastikan
bahwa pemenuhan dari target Propenas juga tidak akan tercapai. Kedua,
berdasarkan data yang diperoleh dari depa rtemen/LPND, diketahui bahwa
sebagian dari rancangan undang-undang yang diprogram untuk periode 2003—2004
sebagian besar tidak sesuai dengan rekomendasi Propenas. Kondisi demikian terjadi
karena memang ada kebutuhan mendesak yang diserap oleh departemen/LPND,
yang sebelumnya tidak terakomodasikan oleh Propenas. Di luar itu, terdapat
tekanan eksternal (pihak internasional) yang cukup berperan dalam pergantian
prioritas pembentukan, perubahan, dan pencabutan suatu undang-undang.
3. Prolegnas memberikan prioritas yang sebaran bidangnya tidak merata, dan sangat
didominasi oleh RUU sektor ekonomi dengan pendekatan kebutuhan jangka
pendek. Kepentingan kelompok dan tekanan internasional mempunyai peran yang
signifikan dalam penetapan prioritas dalam Prolegnas, sehingga daftar RUU yang
diprogramkan tidak secara utuh mencerminkan kebutuhan riil masyarakat
Indonesia secara luas. Dasar untuk menentukan apakah suatu undang-undang
harus dibentuk baru, direvisi, atau dicabut, tidak didasarkan pada kajian mendalam.
Juga terda pat kecenderungan untuk sangat menitikberatkan pembangunan hukum
di sektor ekonomi dengan pola pembentukan sebagai pilihan utama dibandingkan
dengan pola perubahan. Bahkan pola pencabutan sama sekali tidak ikut
diperhitungkan, padahal diakui bahwa keberadaan produk hukum warisan kolonial
adalah salah satu indikator (alasan) diluncurkannya Prolegnas. Hal ini menunjukkan
bahwa pendekatan sistemik untuk menjalankan Prolegnas belum secara sungguh-
sungguh diperhatikan. Produk hukum baru terus dibentuk, tanpa menyadari
apakah telah terjadi inkonsistensi secara vertikal maupun horisontal dalam tata
hukum Indonesia.
BAB VI

REKOMENDASI

A. Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan dalam Prolegnas mengharuskan adanya penetapan
rentang waktu yang agak panjang (5 s.d. 10 tahun). Dalam rekomendasi disebutkan
perlunya ada sebuah institusi independen (komisi) di bidang perarturan perundang-
undangan. Pembentukan komisi ini, mengingat masih dalam tataran konsep, tentu
memerlukan landasan kebijakan terlebih dulu, sebelum akihirnya sampai pada tahap
teknis. Kebijakan tersebut dalam arti perlunya persiapan yang matang. Landasan
hukum pendiriannya harus jelas, dalam hal ini berupa undang-undang, yang dengan
sendirinya memerlukan waktu cukup lama. Belum lagi proses penunjukan
keanggotaan, yang melibatkan lembaga DPR dan Pemerintah.
DPR dan Pemerintah sebagai dua lembaga pembentuk undang-undang
menetapkan politik hukum nasional. Untuk menetapkan politik hukum ini, DPR dan
Pemerintah dibantu oleh institusi independen (komisi di bidang peraturan perundang-
undangan) yang secara khusus diberi tugas menjabarkannya menjadi daftar kebutuhan
undang-undang (baca: Prolegnas) untuk dijadikan pedoman penyusunan Repeta.
Walaupun tidak harus dicantumkan dalam produk hukum berbentuk undang-
undang, perhatian harus diberikan secara lebih merata untuk bidang-bidang lain di luar
ekonomi. Sebaran bidang dan alokasi anggaran untuk penyiapan RUU dibuat lebih
merata, dengan juga memperhatikan kepentingan jangka menengah dan jangka
panjang.
Salah satu tugas dari institusi independen yang disinggung di atas adalah
mengkoordinasikan penetapan Prolegnas, termasuk pemerataan bidang-bidang dan
penyebaran alokasi anggarannya. Demikian juga penyelarasan kepentingan-
kepentingan para stakeholders yang terlibat, serta antara dimensi domestik, regional, dan
internasional.
Dasar penetapan untuk membentuk, merevisi, dan mencabut suatu undang-
undang dijadikan sebagai bagian penting penelitian yang dimasukkan ke dalam naskah
akademik yang mendampingi pengajuan suatu RUU.

B. Rekomendasi Teknis
Selain terkait masalah substansi, penyusunan dan perumusan suatu undang-
undang juga harus memperhatikan aspek teknis. Di sini berperan para tenaga
perancang undang-undang (legal drafters). Kuantitas dan kualitas tenaga perancang di
Indonesia saat ini masih sangat kurang. Di sisi lain, standar kualitas perancangan inipun
harus ditetapkan pula. Untuk keperluan standarisasi tersebut, perlu ada sertifikasi
khusus yang diberikan oleh asosiasi tenaga perancang undang-undang.
Mekanisme sosialisasi suatu undang-undang juga perlu diberi perhatian dalam
mengoptimalkan efektivitas keberlakuan suatu undang-undang. Biasanya, ada
ketidakjelasan kepada siapa beban sosialisasit tersebut harus diletakkan. Akan jauh
lebih baik apabila dalam undang-undang tersebut, disebutkan secara eksplisit
pihak/instansi yang diberi tugas sosialisasi ini.
Penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu undang-undang wajib ditunjang
oleh hasil penelitian hukum yang sungguh-sungguh komprehensif dan mendalam, baik
dari sudut subtansi maupun metodologinya. Hasil penelitian ini merupakan salah satu
dasar untuk penyusunan naskah akademik, dan keberadaan naskah akademik ini
dinyatakan sebagai prasyarat wajib (bukan sekadar anjuran) untuk pembuatan sebuah
undang-undang.
Mekanisme penyusunan undang-undang dituangkan dalam sebuah produk
hukum yang berlaku baik untuk undang-undang yang berasal dari hak inisiatif DPR
maupun dari hak inisiatif Pemerintah. Dalam undang-undang yang menggantikan
Algemene Bepalingen (AB) ini dicantumkan secara eksplisit hak setiap stakeholder untuk
didengar aspirasinya, dan mekanisme penyampaiannya sebagai bagian dari pengaturan
“hak inisiatif” masyarakat untuk mengajukan suatu rancangan undang-undang.
Undang-undang pengganti AB ini direkomendasikan untuk dapat diberlakukan paling
lambat tahun 2004.
Rekomendasi kebijakan dan rekomendasi teknis di atas secara lebih rinci
dicantumkan dalam tabel-tabel di bawah ini dengan rentang waktu jangka panjang (5
– 10 tahun) dan pendek (1–2 tahun).
MEKANISME KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI

Menghimpun Menyusun Membahas dan Meminta Konsep prioritas


konsep masukan
perencanaan dari komisi
masukan dari dan program
mengevaluasi konsep 5 tahunan dan 1
RUU

Rekomendasi Prioritas 5 Dikonsultasikan


Prioritas 1 tahun
ke Komisi / tahunan / 1 dengan pemerintah /

RUU dari Pemerintah RUU Usul Inisiatif

PROSES DALAM
Membantu menyususn RUU Usul Inisiatif BADAN LEGISLASI

Proses Menjadi Usul Inisiatif DPR RI PROSES DILUAR


BADAN LEGISLASI

Dibahas oleh DPR dengan Pemerintah

Mengawasi pelaksanaan UU Rekomendasi ke


dengan berkoordinasi dengan
komisi
Bamus dan Komisi
UNDANG-
UNDANG Inventarisasi Masalah Hukum dan Perundang -
undangan
MEKANISME INVENTARISASI RUU DALAM PERENCANAAN DAN PENYUSUNAN PROGRAM LIMA TAHUNAN

RUU TIM BADAN LEGISLASI INVENTARISASI


LIMA
ASISTENSI KEBUTUHAN RUU DPR
TAHUNAN

MEKANISME PENETAPAN PRIORITAS RUU

JUMLAH DAN
RUU TIM PRIORITAS RUU
TAHAPAN RUU
DPR
ASISTENSI BADAN LEGISLASI DPR

REKOMENDASI
PRIORITAS
BAMUS DAN RUU KONSULTASI PIMPINAN DPR
KOMISI NASIONAL DAN PEMERINTAH
MEKANISME PENYIAPAN RUU INISIATIF DI BADAN LEGISLASI DPR RI

Tim Asistensi menyusun / Tim asistensi presentasi di depan rapat Tanggapan anggota Baleg dan
menyempurnakan konsep RUU Usul Baleg/bidang yang bersangkutan + pembentukan Tim Perumus
Adanya Usul Inisiatif Inisiatif pengusul

Diskusi dengan: TIMUS + Tim Asistensi menyusun draf II 1. TIMUS + TIM ASISTENSI
1. Pakar dan disampaikan kepada anggota Baleg menjelaskan draf dalam rapat Tim Perumus dan Tim Asistensi
2. Pejabat Pemerintah Baleg Menyusun Draf I
3. Non Pemerintah 2. Tanggapan anggota Baleg

TIMUS + Tim Asistensi TIMUS + Tim Asistensi Laporkan ke TIMUS + Tim Asistensi menyusun draf IV Draf IV diputuskan Baleg dan
menyusun draf III Baleg dan tanggapan dari Baleg disetujui draf final RUU Usul
Inisiatif

Pengusul memberi penjelasan di Pengusul memberikan penjelasan di Masuknya Usul RUU Inisiatif Dengan pengantar yang
dalam rapat Paripurna dalam rapat Badan Musyawarah diumumkan di dalam Rapat ditandatangani para pengusul,
disampaikan kepada pimpinan
Paripurna DPR RI DPR RI

Kata akhir fraksi-fraksi Disempurnakan oleh Komisi / Disampaikan kepada Presiden


dan pengambilan Gabungan komisi / Pansus dengan surat Pengantar dari Ketua
keputusan DPR RI DIBAHAS DI DPR RI
PROSEDUR PENGAJUAN RUU DARI
Disampaikan oleh Presiden berupa RUU disertai keterangan Pemerintah dapat

Disampaikan secara tertulis Dalam rapat Paripurna

kepada Pimp. DPR DPR


Dalam rapat komisi, Baleg, panitia Dalam rapat Paripurna Terbuka
anggaran, atau rapat pansus DPR-RI
RUU RUU Ketua Rapat memberitahukan
bersama Pemerintah Ditandatangani sekurang-
DARI DARI Dengan acara:
Dengan acara: kepada anggota mengenai
PEME- DPR-RI kurangnya 10 orang anggota
1. Pengambilan keputusan yang
RINTAH 1. Pemandangan Umum fraksi- didahului oleh :
fraksi terhadap RUU 1) Laporan Hasil DPR dan dapat pula diajukan
2. Jawaban pemerintah atas Pembicaraan TK I
pemandangan umum fraksi- Rapat Badan Musyawarah
DUA 2) Pendapat akhir fraksi-fraksi
fraksi yang disampaikan
TINGKAT Disetujui Dengan Perubahan,
PEMBICA- 3. Pembahasan RUU oleh DPR anggotanya, apabila Menentukan Waktu
dan Pemerintah dalam rapat dipandang perlu dapat pula
RAAN DI kerja berdasarkan daftar disertai dengan catatan DPR menugaskan Komisi
DPR-RI inventaris masalah tentang sikap fraksinya. Rapat Paripurna DPR-RI
2. Penyampaian sambutan BALEG, atau PANSUS untuk
DISETUJUI Memutus kan apakah usul
membahas dan menyempur- RUU tersebut dapat
DPR-RI diterima secara prinsip
Disetujui tanpa perubahan atau ditolak setelah
memberikan kesempatan
DISAHKAN kepada:
OLEH
Dalam rapat komisi, Baleg, Dalam Rapat Paripurna a. Penjelasan para
PRESIDEN Ditolak pengusul
panitia anggaran, atau rapat Dengan acara: b. Pendapat fraksi-fraksi
Dengan acara: Tanggapan pemerintah terhadap
UNDANG- 1. Pengambilan keputusan yang Disampaikan kepada Pres. Keputusan dapat berupa:
UNDANG 1. Tanggapan Pemerintah
terhadap RUU Inisiatif DPR-RI didahului oleh: 1. Persetujuan tanpa
2. Jawaban Pimpinan Komisi, a. Laporan Hasil Pembicaraan Tk .I Oleh Pimpinan DPR perubahan.
Baleg, panitia anggaran atau b. Pendapat akhir Fraksi-fraksi yang 2. Persetujuan dengan
pimpinan disampaikan anggota, apabila Dengan permintaan agar Pres. perubahan.
3. Pembahasan RUU oleh DPR dipandang perlu dapat pula 3. Penolakan
disertai dengan catatan tentang
dan Pemerintah dalam rapat sikap fraksinya.
kerja berdasarkan Daftar Dua tingkat pembicaraan
2. Penyampaian sambutan
Inventaris Masalah (DIM) Pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

Altman, Andrew. 2001. Arguing about Law: An Introduction to Legal Philosophy. Edition 2.
Belmont: Wadsworth Publishing Co.

Attamimi, A. Hamid S. 1990. “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam


Penyelenggaraan Pemerintah Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan
Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita V.” Disertasi
Doktor Ilmu Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.

Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 1996. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem
Hukum Indonesia . Jakarta: Raja Grafindo Persada (Rajawali Pers).

Fuller. Lon F. 1964. The Morality of Law. New Haven: Yale University Press.

Giddens, Anthony. The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. Terjemahan
Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000).

Gaffar, Firoz & Ifdhal Kasim, Eds. 2000. Diagnostic Assessment of Legal Development in
Indonesia. Cet. 4. Jakarta: Cyberconsult.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1975. Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional.


Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH Unpad.

_________. 1976. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional : Suatu Uraian
tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia.
Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH Unpad.

Manan, Bagir. 1993. “Politik Perundang-undangan.” Makalah disajikan dalam Penataran


Dosen FH/STH se Indonesia, FH Universitas Andalas, Padang, 26 September s.d.
16 Oktober.

_________. 1994. “Asas, Tata Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang -undangan
dan Peraturan Kebijakan.” Makalah disajikan dalam ceramah di Departemen
Perdagangan dan Energi, Jakarta, 8 April.

_________. 1994a. “Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan Perundang -


undangan dalam Pembangunan Hukum Nasional.” Makalah disajikan dalam
pertemuan ilmiah tentang kedudukan biro-biro hukum/unit kerja
departemen/LPND dalam pembangunan hukum, BPHN, Jakarta, 19 s.d. 20
Oktober.
Nonet, Philippe & Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition: toward Responsive
Law. New York: Harper & Row.

Peters, A.A.G. & Koesriani Siswosoebroto. 1988. Hukum dan Perkembangan Sosial: Buku
Teks Sosiologi Hukum (Buku I-III). Jakarta: Sinar Harapan.

Rahardjo, Satjipto. 1985. Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam


pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Sinar Baru.

Rasjidi, Lili & I.B. Wyasa Putra. 1993. Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Shidarta. 1999. Dasar-dasar Filsafat: Pengantar Mempelajari Filsafat Hukum. Jakarta: UPT
Penerbitan Universitas Tarumanagara.

_________. 2000. “Quo Vadis Aliran Filsafat Hukum Indonesia?” dalam: Sekretariat
Laboratorium Pancasila. Ed. Menyambut HUT 80 Tahun Prof. Darji Darmodiharjo:
Pemikiran, Karya dan Pengabdiannya (dalam Lintasan Wawasan dan Kesan Sejawat dan
Sahabat). Malang: Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang, hlm. 331-
365.

Soekanto, Soerjono. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta:
Rajawali Pers.

Wacks, Raymond. 1995. Jurisprudence. Edition 4. London: Blackstone Press Ltd.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika


Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia . Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Lampiran 1
PROGRAM LEGISLASI NASIONAL BPHN

Status Jumla
Bidan Dep/
No Nama RUU Bentu Uba Cab h
g LPND
k h ut RUU
1. Organisasi kemasyarakatan √ Polka Depdagri 14
m
2. Linmas √
3. Perubahan Undang-Undang No. 2 √
tahun 1999 tentang Partai Politik
4. Perubahan UU No. 4 tahun 2000 √
tentang Pemilu
5. Perubahan UU No. 4 tahun 1999 √
tentang susunan dan kedudukan
MPR, DPR, DPRD.
6. Otonomi bagi propinsi Papua √
7. Badan Usaha Milik Daerah √
(BUMD)
8. Batas Wilayah Negara Kesatuan √
R.I.
9. Pembentukan Kabupaten dan 3 √
Kota
10. Rekonsiliasi nasional √
11. Hubungan etnisitas dengan negara √
12. Diskriminasi dan perlindungan hak- √
hak asasi minoritas
13. Perubahan UU No. 27 tahun 1999 √
tentang Pemerintah Daerah
14. Perubahan UU No. 25 tentang √ Polka Deparlu 4
perimbangan keuangan pemerintah m
dan daerah
15. Pengesahan “Viena convention of √
the law of treaties 1969 (konvensi
Wina tentang hukum perjanjian
internasional 1969)
16. Ratifikasi teks of 1951 convention √
relating to the status of refugees.
17. Pengesahan international economic, √
social and cultural rights.
18. Pengesahan international convenant √
on civil and political rights.
19. Keadaan bahaya √ Polka Dephan 8
m
Status Jumla
Bidan Dep/
No Nama RUU Bentu Uba Cab h
g LPND
k h ut RUU
20. Pertahanan negara √
21. Prajurit TNI √
22. Peradilan militer √
23. Hukum pidana militer √
24. Hukum disiplin prajurit TNI √
25. Rahasia negara √
26. Batas wilayah negara RI √
27. KUHAP √ Polka Depkeh 39
m
28. Komisi pemberantasan tindak √
pidana korupsi

29. Ketentuan pokok peraturan √


perundang-undangan
30. Perlindungan saksi dan korban √
31. Perubahan undang-undang nomor 1 √
tahun 1995 tentang perseroan
terbatas
32. Komisi kebenaran dan rekonsiliasi √
33. Perubahan UU No. 11 Tahun 1954 √
tentang amnesti, abolisi dan
rehabilitasi
34. Sekuritas √
35. Keimigrasian (perubahan undang- √
undang nomor 9 tahun 1992
tentang keimigrasian)
36. Daktilaskopi √
37. Pengesahan perjanjian ekstradisi
antara pemerintah RI dengan √
Korea.
38. Perubahan jenis instrumen hukum
ratifikasi konvensi hak-hak anak
Keppres No. 1990 tentang √
pengesahan konvensi hak-hak anak.
39. Perubahan atas undang-undang √
nomor 3 tahun 1997 tentang
pengadilan anak
40. Hak cipta √
41. Advokat √
42. Grasi √
43. Pemberantasan tindak pidana √
pencucian uang
Status Jumla
Bidan Dep/
No Nama RUU Bentu Uba Cab h
g LPND
k h ut RUU
44. Perubahan UU No. 31 tahun 1999 √
tentang tindak pidana korupsi
45. Kepailitan √
46. Jabatan notaris √
47. Perubahan UU No. 14 tahun 1970 √
tentang ketentuan Pokok
Kehakiman
48. Ekstradisi √
49. Balai harta peninggalan √
50. Penggunaan dan perlindungan √
terbatas palang merah
51. Badan usaha diluar perseroan √
terbatas dan koperasi
52. Perubahan UU No. 5 tahun 1991 √
tentang kejaksanaan
53. Perubahan UU No. 39 tahun 1999 √
tentang hak asasi manusia
54. Pengesahan convention againts √
transnational crime (TOC)
55. Pembentukan pengadilan tinggi √
propinsi Maluku Utara, Banten,
Gorontalo, serta Bangka dan
Belitung
56. KUHAP √
57. Pencegahan penanggulangan √
teorisme
58. Pemberantasan tindak suap √
59. Hukum acara perdata √
60. Kewarganegaraan RI √
61. Perubahan UU No. 2 tahun 1986 √
tentang peradilan umum
62. Perubahan UU No. 14 tahun 1985 √
tentang Mahkamh Agung
63. Perubahan UU No. 5 tahun 1986 √
tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
64. Perubahan UU No. 22 tahun 1997 √
tentang narkotika.
65. Pemanfaatan perairan Indonesia √
dan Zona Tambahan serta
penegakan hukum di perairan
Indonesia dan zona tambahan
Status Jumla
Bidan Dep/
No Nama RUU Bentu Uba Cab h
g LPND
k h ut RUU
66. Pemerintahan pusat (tata √ Polka PAN/LA 4
pemerintahan) m N
67. RUU tentang etika pemerintahan √
68. Perubahan UU No. 43 tahun 1999 √
tentang pokok-pokok kepegawaian
69. Pemerintahan umum
70. Perubahan UU No. 4/PNPS 1963 √ Polka Jakgung 2
tentang pengamanan terhadap m
barang cetakan yang dapat
mengganggu ketertiban
71. Kejaksaan Republik Indonesia √

72. Kepolisian negara Republik √ Polka Kepolisia 1


Indonesia m n
73. Kepegawaian dan pensiun √ Polka BAKN 1
m
74. Kebebasan memperoleh informasi 1 Polka Kom&Inf 2
m o
75. Penyiaran √
76. Tata informasi geografi nasional √ Polka Bakor- 1
m Sutanal
77. Penyempurnaan UU No. 7 tahun √ Polka Arsip 2
1971 tentang ketentuan pokok m Nasional
kearsipan
78. Wajib serah arsip √
79. Perbendaharaan negara (pengganti √ Ekuin DepKeu 21
ICW)
80. Pengurusan piutang negara √
(pengganti UU No. 49/Prp/1960)
81. Lelang (pengganti √
Vendureglement)
82. Akuntan publik √
83. Keuangan negara √
84. Pemeriksaan tanggung jawab √
keuangan negara
85. Pengelolaan kekayaan negara √
86. Perubahan APBN tahun 2001 √
87. APBN tahun 2002 √
88. Usaha perasuransian √
89. Perbankan √
90. Dana pensiun √
91. Pengampunan pajak √
Status Jumla
Bidan Dep/
No Nama RUU Bentu Uba Cab h
g LPND
k h ut RUU
92. Pinjaman dan hibah luar negeri √
93. Bank Indonesia √
94. Badan Peradilan Pajak √
95. Bank Ekspor Indonesia √
96. Lembaga penilai jasa keuangan √
97. Surat utang negara √
98. Pasar modal √
99. Badan usaha milik negara (BUMN) √
100. Minyak dan gas bumi √ Ekuin DepEnerg 5
i
101. Pertambangan umum √
102. Energi √
103. Geologi √
104. Ketenagalistrikan √
105. Kawasan perdagangan bebas dan √ Ekuin Deperind 6
pelabuhan bebas Batam ag
106. Perdagangan √
107. Perindustrian √
108. Penyempurnaan UU No. 3 tahun √
1982 tentang wajib daftar
perusahaan
109. Penyempurnaan UU No. 2 tahun √
1981 tentang metrologi legal
110. Peternakan dan kesehatan hewan √ Ekuin Deptan 1
111. Pokok-pokok konservasi tanah dan √ Ekuin Dephutan 2
air
112. Konservasi sumber daya alam √
hayati dan ekosistemnya
113. Pengangkutan udara √ Ekuin Dephub 7
114. Perubahan Undang-Undang Nomor √
13 tahun 1992 tentang perkereta
apian
115. Perubahan undang-undang nomor √
14 tahun 1992 tentang LLAJ
116. Pos √
117. Teknologi informasi (cyber law) √
118. Perubahan Undang-Undang Nomor √
15 tahun 1992 tentang penerbangan
119. Perubahan Undang- undang Nomor √
21 tahun 1992 tentang pelayaran
120. Perubahan UU no. 9 tahun 1985 √ Ekuin Deplaut 5
Status Jumla
Bidan Dep/
No Nama RUU Bentu Uba Cab h
g LPND
k h ut RUU
tentang perikanan
121. Pokok maritim √
122. Pengelolaan pesisir perikanan di √
wilayah RI

123. Pelaksanaan kegiatan riset bidang √


kelautan dan perikanan di wilayah
RI
124. Pengangkatan dan pemanfaatan √
hasil muatan kapal yang tenggelam
125. Perubahan UU No. 25 tahun 1992 √ Ekuin MenKop/ 4
tentang perkoperasian UKM
126. Lembaga penjamin bagi usaha √
menengah dan koperasi
127. Sub kontrak √
128. Lembaga keuangan mikro non bank √
129. Kepariwisataan perubahan UU No. √ Ekuin Depbud 5
9 tahun 1990
130. Pemanfaatan seni dan budaya √
131. Perubahan UU No. 5 tahun 1992 √
tentang benda cagar budaya
132. Perubahan UU No. 8 tahun 1992 √
tentang perfilman
133. Kebudayaan √
134. Perubahan atas UU no. 14 tahun √ Ekuin Depmuki 7
1992 tentang penataan ruang m
135. Perubahan atas UU No. 13 tahun √
1980 tentang jalan
136. Air √
137. Air bersih √
138. Bangunan gedung √
139. Perumahan dan pemukiman √
(penggabungan UU No. 4 tahun
1992 dan sebagian UU no. 16 tahun
1985)
140. Pemilikan tanah bersama √
(penyempurnaan UU No. 16 tahun
1985)
141. Pengelolaan sumber daya alam √ Ekuin KLH 4
142. Perubahan UU No. 23 tahun 1997 √
tentang pengelolaan lingkungan
hidup
Status Jumla
Bidan Dep/
No Nama RUU Bentu Uba Cab h
g LPND
k h ut RUU
143. Pengesahan cartagena protocol √
144. Pengelolaan sumber daya genetika √
145. Sistem ilmu pengetahuan dan √ Ekuin Ristek 1
teknologi nasional (Sisteknas)
146. Perubahan UU no. 5 tahun 1960 √ Ekuin BPN 4
tentang UUPA
147. Pengambilan alihan lahan √
(pengadaan tanah) untuk
kepentingan umum
148. Hak milik atas tanah √
149. Penyempurnaan UU No. 56/ √
Prp/1960 tentang penetapan luas
tanah pertanian
150. Transfer dana secara elektronik √ Ekuin BI 2
(electronic funds transfer – EFT)
151. Perkreditan √
152. Pengesahan treaty on principles √ Ekuin Lapan/De 2
governing the activities of states in panri
the exploration and use of the outer
space including the moon and other
celestial bodies 1967 (pengesahan
mengenai prinsip-prinsip yang
mengatur kegiatan)
153. Keantariksaan nasional √
154. Penanaman modal √ Ekuin (BKPM) 1
155. Pembinaan dan perlindungan √ Kesra Depnaker 8
ketenaga kerjaan
156. Penyelesaian perselisihan hubungan √
industrial
157. Organisasi pengusaha √
158. Penyempurnaan UU No. 3 tahun √
1992 tentang Jamsostek
159. Ratifikasi konvensi ILO No. 81 √
tentang Labour Inspection
Convention, 1947
160. Ratifikasi konvensi ILO No. 88 √
tentang lembaga pelayanan
penempatan tenaga kerja (The
Organization of the employment
service)
161. Ratifikasi konvensi ILO No. 150 √
tentang Labour Administration
Status Jumla
Bidan Dep/
No Nama RUU Bentu Uba Cab h
g LPND
k h ut RUU
Convention, 1978
162. Administrasi kependudukan √
163. Jaminan pemeliharaan kesehatan √ Kesra Depkes 5
masyarakat (JKPM)
164. Karantina kesehatan √
165. Bahan berbahaya √
166. RUU tentang praktik kedokteran √
167. RUU tentang penyempurnaan UU √
no. 5 tahun 1997 tentang
psikotropika
168. Perlindungan anak √ Kesra Depsos 7
169. Penanggulangan bencana √
170. Pahlawan √
171. Penanggulangan tuna susila √
172. Peran serta masyarakat √
173. Fakir miskin √
174. Undian √
175. Perubahan UU no. 2 tahun 1989 √ Kesra Depdikna 2
tentang pendidikan nasional s
176. Guru √
177. Hukum terapan peradilan agama √ Kesra Depag 3
178. Kerukunan √
179. Penyempurnaan UU No. 1 tahun √
1974 tentang perkawinan
180. Keolahragaan √ Kesra Kmudaor 1
181. Pembaruan beberapa ketentuan √ Kesra Kberdaya 8
dalam KUHP perempua
n
182. Pembaruan beberapa ketentuan √
dalam UU perkawinan (UU No. 1
tahun 1974)
183. Pembaruan beberapa ketentuan √
dalam UU ketenagakerjaan
184. Kewarganegaraan √
185. Pajak √
186. Kesehatan √
187. Kependudukan dan Pembangunan √
Kesejahteraan Keluarga
188. Pembaharuan Beberapa Ketentuan √
Dalam KUHP
189. Sistem Nasional Perpustakaan √ Kesra Perpus 2
Status Jumla
Bidan Dep/
No Nama RUU Bentu Uba Cab h
g LPND
k h ut RUU
Nasional
190. Perubahan UU No. 4 Th 1990 √
Tentang Serah Simpan Karya Cetak
dan Karya Rekam
191. Administrasi Kependudukan √ Kesra BAKNA 1
S
Lampiran 2

PROGRAM PRIORITAS PEMBAHASAN RUU DI BADAN LEGISLASI DPR

BIDANG POLITIK

NO JUDUL RUU DEP/ LPND STATUS UU


KETERANGA
Bentuk Ubah Cabut N
1. Otonomi Khusus Propinsi Istimewa Aceh DEP DAGRI v UU No. 18/2001
2. Otonomi Khusus Propinsi Irian Jaya s.d.a v UU No. 21/2001
3. Perubahan UU No. 4/1999 ttg Susunan dan s.d.a v Usul Inisiatif
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD
4. Peradilan HAM DEPKEH & HAM v UU No. 26/2000
5. Advokat s.d.a v Masih dibahas Usul Inisiatif
6. Perubahan UU No. 28/1997 Ttg Kepolisian Negara DEPHAN, MABES v UU No. 2/2002
RI TNI & POLRI
7. Perubahan UU No. 5/1991 Ttg Kejaksaan KEJAGUNG v
8. Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 Ttg DEPKEH & HAM v
Mahkamah Agung
9. Perubahan UU No. 1 Tahun 1988 Ttg Perubahan atas DEPHAN, MABES v UU No. 3/2002
UU No. 20/1982 Ttg Ketentuan-ketentuan Pokok TNI DAN POLRI
Pertahanan Keamanan Negara
10. Pembetukan 27 Kotip Menjadi Daerah Otonom DEPDAGRI Baru v
11. Pembetukan Kabupaten Sula Kepulauan, Kabupaten s.d.a Baru v
Halmahera utara dan Kabupaten Halmahera Selatan
di Maluku
12. Pembetukan Kabupaten Seram Barat, Kabupaten s.d.a Baru v
Seram Timur, Kabupaten Uliase dan Kotamadya
Masohi di maluku
13. Perubahan UU No. 22 /1988 ttg. Prajurit ABRI DEPHAN MABES v
TNI dan POLRI
14. Penaggulangan Keadaan Bahaya s.d.a v Inventaris
1997-1999
15. Perubahan UU No. 31/1997 ttg. Peradilan Militer s.d.a v
16. Perubahan UU Nomor 2 Tahun 1986 Ttg Peradilan DEP KUMDANG v
Umum
17. Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 Ttg Peradilan s.d.a v
Agama
18. Perubahan Atas UU No. 5/1986 Ttg Peradilan s.d.a v
Tatausaha Negara.
19. Perubahan atas UU No. 8 tahun1981 s.d.a v
20. Perubahan UU No. 24 Tahun 1997 Ttg Penyiaran v Masih dibahas Usul inisiatif
21. Perubahan UU No. 5 / 1960 Ttg Pokok-Pokok BPN v
Agraria
22. Kode Etik DPR RI DPR v
23. Tata Tertib DPR RI DPR v UU No. 4/2000
24. Perubahan UU No. 2/1999 Ttg Partai Politik DEPDAGRI v
25. Perubahan UU No. 3/1999 Ttg PEMILU s.d.a v
26. Perubahan UU No. 8 Tahun 1985 Ttg Organisasi s.d.a v
Kemasyarakatan
27. Hubungan Antar Lembaga Tertinggi /Tinggi Negara s.d.a v
28. Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Perundang- DEP. KUMDANG v
undangan
29. Perubahan UU No. 2 Tahun 1950 Ttg Penerbitan s.d.a v
Lembaran Negara dan Berita Negara
30. Pembuatan dan Ratifikasi Perjanjian Internasional DEPLU v UU No. 24/2000
31. Perlindungan Masyarakat DEP. HAN v
32. SISHANKAMRATA s.d.a v

33. Senjata Api s.d.a v


34. Veteran R.I s.d.a v
35. Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Sumber s.d.a v
Daya Buatan
36. Survei dan Pemetaan Nasional DEP.HAN/ v
KUMDANG
37. Hukum Pidana s.d.a v
38. Anti Diskriminasi s.d.a v
39. Perubahan UU No. 8 tahun 1992 Ttg Perfilman DEPPEN v
40. Pengesahan Konvensi Nice Tahun 1992 DEPLU / PARKES v
41. Pengesahan Treaty On Principle Governing The DEPLU / LAPAN v Sudah
Activities of state in The Exploration and Use Of diundangkan
Outer Space, Including The Moon and Other belum LN
Celestial Bodies, 1967
42. Ratifikasi Liability Convention 1972 DEPLU / LAPAN Baru
43. Pengesahan Vienna Convention on The law of s.d.a v
Treaties 1967 (Konvensi Wina Tentang Hukum
perjajian internasional 1969)
44. Ratifikasi Registration Convention s.d.a v
45. Ratifikasi CTBT (Pelarangan Uji Coba Nuklir s.d.a v
Komprehensif, Tahun 1996)
46. Batas Wilayah Negara Kesatuan RI DEPLU DAN v
DEPDAGRI
47. Pengesahan Persetujuaan Antara Pemerintah RI DEPLU v
Dengan Pemerintah Hongkong Tentang S.F.O
48. Pengesahan Protokol Tambahan II Tahun 1949 s.d.a v
(Protocol Additional to the Geneva Convention Of 12
August 1949 of Non Internasional Armed Cobnflict
49. Pemanfaatan dan Penegakan Hukum di Perairan s.d.a v
Indonesia dan Zone Tambahan
50. Hukum Perdata Internasional s.d.a v
51. Hukum Udara dan Angkasa DEP KEH & HAM v
52. Rahasia Negara DEPKEH & HAM, v
DEPDAGRI, BIA
53. Perubahan UU No. 4/PNPS 1963 Tentang KEJAGUNG v
Pengamanan Terhadap Barang Cetakan yang Dapat
Mengganggu Ketertiban
54. Pemberian Gelaran, Tanda Jasa Dan Lain-lain Tanda DEPKEH & HAM v
Kehormatan
55. Perubahan UU No.11/Drt/1954 Ttg Amnesti dan s.d.a v
Abolisi
56. Grasi s.d.a v Masih dibahas
57. Contempt of Court s.d.a v
58. Kepaniteraan s.d.a Baru
59. Perlindungan Saksi s.d.a v
60. Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan s.d.a v
61. Lembaga Kepresidenan s.d.a v
62. Perubahan atas UU No.9/1992 Ttg Keimigrasian s.d.a v
63. Perubahan UU No.4/1946 Ttg KUHP s.d.a v
64. Hukum Acara Perdata s.d.a v

65. Jabatan Notaris s.d.a v


66. Yayasan s.d.a v UU No. 16/2001
67. Perubahan UU No. 11/1980 Tentang Tindak Pidana s.d.a v
Suap
68. Perubahan UU No. 7/1955 Tentang Pemberatasan s.d.a v
Tindak Pidana Ekonomi
69. Perubahan UU No. 7/Drt/1955 Tentang s.d.a v
Penimbunan Barang
70. Kejahatan Komputer s.d.a v
71. Kewarisan s.d.a v
72. Balai Harta Peninggalan s.d.a v
73. Daktiloskopi s.d.a v
74. Pendidikan Politik DEPDAGRI v
75. Tata cara Kepolisian Terhadap Anggota DPRD s.d.a v
76. Kedudukan, Susunan, Wewenang, Hak, s.d.a v
Keanggotaan, Pimpinan dan Alat Kelengkapan
DPRD
77. Perubahan UU No. 24 Tahun 1999 Tentang s.d.a v
Pemerintah Daerah
78. Pemerintah Kota s.d.a v
79. Pembetukan, Nama, Batas dan Ibu Kota Daerah s.d.a v
80. Pengapusan, Penggabungan dan Pemekaran Daerah s.d.a v
81. Pembetukan Kabupaten Aceh Barat Daya, di s.d.a v
Propinsi Daerah Istimewa Aceh
82. Pembetukan Kabupaten Talaud, Kota Tomohon, s.d.a v
Kota Amurang dan Kota Mubagu di Propinsi
Sulawesi Utara
83. Pemekaran Bangka, Belitung Menjadi Propinsi s.d.a v UU No. 27/2000
84. Pencatatan dan Pendaftaran Penduduk s.d.a v
85. Perubahan UU No. 62 Tahun 1958 Ttg Kewarga s.d.a v
negaraan
86. Catatan Sipil s.d.a v
87. Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah s.d.a v UU No. 25/1999
88. Perubahan UU No. 11/1969 Ttg Pensiun Pegawai MENEG. PAN v
Negeri Sipil
89. Kepegawaian Daerah (PNS di Daerah dan PNS s.d.a + BKN v
Daerah)
90. Hak Milik BPN v
91. Perubahan UU No. 11/1969 Ttg Pensiun Pegawai MENEG. PAN v
Negeri Sipil
92. Kepegawaian Daerah (PNS di Daerah dan PNS s.d.a +BKN v
Daerah )
BIDANG KESRA

No. JUDUL RUU DEP/ LPND STATUS UU KETERANGAN


Bentuk Ubah Cabut
1. Perubahan UU No. 6/1974 Ttg Ketentuan-Ketentuan KMMK v
Pokok Kesejahteraan Sosial
2. Perubahan UU No. 2/1989 Ttg Pendidikan Nasional DEPDIKNAS v
3. Perubahan UU No. 5/1997 Ttg Psiikotropika DEPKES v
4. Perubahan UU No. 22/1997 Ttg Narkotika S.d.a v
5. Perubahan UU 23/1992 Tentang Kesehatan DEPKES v
6. Perlindungan Anak NAKER, TAMBEN, v
KMMK
7. Tindakan Medis DEPKES v
8. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat DEPKES v
(JPKM)
9. Perlindungan Perempuan Terhadap Kekerasan KMPP v
10. Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional KMRT Masih dibahas
(SISTEKNAS)
11. Keolahragaan. Kantor Menpora v
12. Bahan Berbahaya DEPKES v
13. Serikat Pekerja. NAKER v UU No. 21/2000
14. Perubahan UU No. 8/1961 Ttg Wajib Kerja Sarjana NAKER DIKNAS v
15. Penanggulangan Bencana s.d.a v
16. Perlindungan Sosial Masyarakat s.d.a v
17. Perubahan UU No. 10/1992 Ttg Perkembangan s.d.a v
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera
18. Penanggulangan Tuna Susila s.d.a v
19. Peran Serta Masyarakat s.d.a v
20. Fakir Miskin s.d.a v
21. Budaya Nasional DIKNAS v
22. Kepustakaan Nasional s.d.a v
23. Perubahan UU No. 38/1947 Ttg Undian Uang DEPSOS v
Negara dan UU No. 22/1954 Ttg Undian
24. Pahlawan DEPSOS
25. Penyempurnaan Beberapa Ketentuan Peraturan UU DAGRI/ DEPAG v
Perkawinan
26. Karantina DEPKES v
27. Aborsi s.d.a v
28. ASKES s.d.a v
29. Kerukunan Hidup Beragama DEPAG v
30. Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan s.d.a v
31. Perlindungan Tempat Ibadah s.d.a v
32. Perubahan UU No.23/1997 Ttg Pengelolaan MENEG LH v
Lingkungan Hidup

BIDANG EKKUINBANG

NO. JUDUL RUU DEP / LPND STATUS UU


KETERANGAN
Bentuk Ubah Cabut

I. PERBANKAN
1. Obligasi DEPKEU v
2. Perubahan UU No. 10 /1998 Ttg Perbankan BI v
3. Perkreditan Perbakan BI v
4. Lemabaga Pengawas Jasa Keuangan DEPKEU v
5. Money Laundering DEPKEH & HAM v UU No. 15/2002

II. BPK
6. Badan Pemeriksa Keuangan BPK v
7. Tata Cara Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan S.d.a v
8. Perbendaharaan Negara/Keuangan Negara DEPKEU v Masih dibahas

III. APBN
9. Pedoman Tata Cara Penyusunan APBN DEPKEU v
10 Pinjamam Luar Negeri S.d.a v
11. Perubahan terhadap UU No. 9/1994 Ttg Perubahan v
UU No. 6/1983 Ttg Ketentuan Umum dan Tata Cara UU No.
Perpajakan
16/2000
12. Perubahan UU No. 10/1994 Ttg Perubahan UU No. Sd.a v
7/1983 Ttg Pajak Penghasilan. UU No.
17/2000
13. Perubahan UU No. 11/1994 Ttg PerubahanUU S.d.a v
No.8/1983 Ttg Pajak Pertambahan Nilai atas Barang UU No.
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
18/2000
14. Perubahan UU No. 17/1997 Ttg Badan Penyelesaian S.d.a v
Sengketa Perpajakan Masih
dibahas
15. Rahasia Dagang S.d.a v UU No. 30/2000
16. Perubahan UU Ttg Kepailitan S.d.a v Perintah letter of
intent IMF
17. Perubahan UU No. 12/1997 Ttg Perubahan UU Ttg S.d.a v Perintah letter of
Hak Cipta intent IMF
18. Perubahan UU No. 13/1997 Ttg Perubahan UU No. S.d.a v UU No. 14/2001 S.d.a
6/1989 Ttg Paten
19. Perubahan UU No. 14/1997 Ttg Perubahan UU No. S.d.a v UU No. 15/2001 S.d.a
19/1992 Ttg Merek
20. Desain Tata Letak Sirkit Terpadu S.d.a v UU No. 32/2000 S.d.a
21. Desain Produk Industri S.d.a v UU No. 31/2000 S.d.a
22. Kelautan DEPLAUT v
23. Perubahan UU No.18/1987 Ttg Pajak dan Retribusi DEPKEU +DAGRI v UU No. 34/2000
Daerah
24. Perusahaan Daerah INDAG v
25. Perubahan UU No. 9/1995 Ttg Usaha Kecil DEPKOP v
26. Inventasi/ Penanaman Modal MINVES v
27. BKPM S.d.a v
28. Pertenakan DEPTAN v Usulan Komisi III
29. Perikanan S.d.a v s.d.a
30. Perkebunan S.d.a v s.d.a
31. Perubahan UU No. 8/1995 Ttg Pasar Modal DEPKEU v
32. Air Minum dan Penyehatan Lingkungan MUKIM v
Pemukiman
33. Perubahan UU No. 5/1984 Ttg Perindustrian INDAG v
34. Perdagangan S.d.a v
35. Pos DEPHUB v
36. Ketentuan Pelaksanaan Pembuangan Limbah ke MENLH v
Media Lingkungan dan Pembuangan Limbah dari
Luar Wilayah Indonesia ke Media Lingkungan
Hidup Indonesia
37. Minyak dan Gas Bumi DEP TAMBEN v UU No. 22/2001
38. Perubahan UU No./111967 Ttg Pokok-Pokok S.d.a v
Pertambangan
39. Pengelolaaan dan Pemanfaatan Energi S.d.a v
40. Pengelolaaan dan Pemanfaatan Energi S.d.a v
41 Geologi S.d.a v
42. Perubahan UU No. 1/1995 Ttg Perseroan Terbatas KUMDANG v
43. Bentuk Badan Usaha di Luar Perseroan Terbatas s.d.a v
dan Koperasi
44. Holding Company DEPKEH & HAM v
45. Surat Beharga s.d.a v
46. Pengurusan Piutang Negara s.d.a v
47. Akuntan Publik s.d.a v
48. Lelang sebagai pengganti Vendureglement s.d.a v
49. Pengusutan Piutang Negara sebagai pengganti UU s.d.a v
No. 49 Prp tahun 1960
50. Mata Uang s.d.a v
51. Likuidasi Bank s.d.a v
52. Perubahan UU No. 25/1992 Ttg Perkoperasian DEPKOP & PKM v
53. Keperantaraan dalam Perniagaan DEPKEH & HAM v
54. Badan Urusan Logistik INDAG v
55. Pembangunan Kota dan Desa DEP. PU v
56. Sub Kontrakting DEP. PU v
57. Bangunan Gedung s.d.a v Masih dibahas
58. Perubahan UU No. 11/1974 Ttg Pengairan s.d.a v
59. Pengelolaan Bangunan Negara dan Rumah Tangga s.d.a v
60. Perubahan UU No.13/ 1980 Ttg Jalan s.d.a v
61. RUU Tanggung Jawab Pengangkutan Udara DEP. HUB v
62. Keantariksaan Nasional POSTEL v
63. Badan Penyelesaian Perselisihan Industrial NAKER v Masih dibahas
64. Penyempurnaan UU No. 25/1997 Ttg Ketenaga s.d.a v UU No. 28/2000
kerjaan
65. Penyempurnaan UU No 3/1992 Ttg Jamsostek s.d.a v
66. Pokok-pokok Konservasi Tanah dan Air DEPHUT v
67. Ketentuan Mengenai Pelimpahan Wewenang MENEG LH v
Pengelolaan Lingkungan Hidup Tertentu Pada
Wilayah dan Mengikutsertakan Pemda
68. Revisi terhadapUU yang terkait erat dengan MENEG LH v
pengelolaan/pemanfaatan kawasan konservasi
69. Perlindungan Varietas tanaman DEPTAN v v UU No. 29/2000
70. Penyempurnaan UU No 6/1967 Ttg Ketentuan s.d.a v
Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan
71. Jaminan Hak Hipotek Sekunder s.d.a v
72. Multi Level Marketing v
Lampiran 3

DAFTAR UU LETTER OF INTENT


No Status Keterangan
Letter of Intent 13 Desember 2001

1 UU Pajak Daerah UU No. 34/2000 Propenas


2 UU Penanaman Modal Belum Propenas
3 UU Energi Belum Propenas
4 UU Kepailitan Belum Propenas
5 UU Bank Indonesia (Sentral) Masih dibahas Non Propenas
6 UU Likuidasi Bank Belum Non Propenas
7 UU BUMN Belum Propenas
8 UU Perusahaan Daerah Belum Non Propenas
9 UU Keuangan Negara Masih dibahas Propenas
10 UU Pencucian Uang Sudah disahkan, Propenas
belum LN
11 UU Pinjaman Luar Negeri Belum Propenas
12 UU Perpajakan
a. Tata Cara Perpajakan UU No. 16/2000 Propenas
b. Pajak Pertambahan Nilai UU No. 18/2000 Propenas
13 UU Kepegawaian Belum Propenas
14 UU Anti Korupsi UU No. 20/2001 Non Propenas
15 UU Komisi Anti Korupsi Belum Propenas
16 UU Yayasan UU No. 16/2001 Propenas
17 UU Kompensasi bagi Hakim Ad-hoc Belum Non Propenas
18 Rancangan UU Surat Utang Belum Propenas
19 Rancangan Undang-Undang FSSI (Financial Belum Non Propenas
Sector Supervisory Institution/Lembaga
Pengawasan Sektor Keuangan)
Lampiran 4

Pembentukan, Perubahan, dan Pencabutan UU Propenas


Sifat Status Keterangan
No. RUU-Propenas Bentuk Ubah Cabut
Sudah menjadi UU:
A. Bidang Hukum:
1 Hukum Acara Pidana v
2 KUHP v
3 Mahkamah Agung v
4 Kejaksaan v
5 Kepolisian v UU No. 2/2002
6 Terkait dengan HAKI:
a. Rahasia Dagang v UU No. 30/2000
b. Desain Industri v UU No. 31/2000
c. Sirkuit Terpadu v UU No. 32/2000
d. Paten v UU No. 14/2001
e. Merek v UU No. 15/2001 Inventaris 99 dan masih
f. Hak Cipta v dibahas
7 Narkotika v
8 Grasi v Masih dibahas
9 Peradilan Umum v
10 PTUN v
11 Peradilan Militer v
12 Agraria v
13 Hukum Pidana Militer v
14 Hukum Acara Perdata v
15 KUHPerdata v
16 Contempt of Court v
17 Pembatasan Kasasi v
18 Pengadilan HAM v UU No. 26/2000
19 Kode Etik Hakim v
20 Advokat v Masih dibahas
21 Jabatan Notaris v
22 Balai Harta Peninggalan v
23 Komisi Ombudsman v
24 Mekanisme Pembuatan Undang-Undang antara v
Pem. Dan DPR
25 Perlindungan Anak v
26 Hak Milik Atas Tanah v
27 Pengambilalihan Lahan untuk Kepentingan Umum v
28 Ketentuan Pokok Perundang-undangan (pengganti v
AB)
29 Pengangkatan Harta Karun v
30 Yayasan v UU No. 16/2001
31 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi v Masih dibahas
32 Perlindungan Saksi v

B. Bidang Ekonomi:
33 Usaha Kecil v
34 Perseroan Terbatas v
35 Wajib Daftar Perusahaan v
36 Perbankan v
37 Pajak dan Retribusi Daerah v UU No. 34/2000
38 Pasar Modal v
39 PMDN v
40 Ketenagalistrikan v Masih dibahas
41 Kepailitan v
42 Pariwisata v
43 Perkreditan Perbankan v
44 Surat Utang/Obligasi v
45 Restrukturisasi Perbankan v
46 Likuidasi Bank v
47 BUMN v
48 Perusahaan Daerah v
49 Perdagangan v
50 Keuangan Negara v Masih dibahas
51 APBN 2001-2004 v UU No. 2/2000
52 Tata Cara Penyusunan APBN v
53 Pencucian Uang (Money Laundring) v UU No. 15/2002
54 Pinjaman Luar Negeri v
55 Teknologi Informasi (Cyber Law) v
56 Perbendaharaan Negara (pengganti ICW) v Masih dibahas
57 Badan Pengadilan Pajak v Sudah disahkan
belum LN
58 Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara v Masih dibahas
59 Terkait dengan Perpajakan:
a. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan v UU No. 16/2000
b. Pajak Penghasilan v
c. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan v UU No. 17/2000
Pajak Penjualan atas Barang Mewah v UU No. 18/2000
d. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa v
e. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan v UU No. 19/2000
UU No. 20/2000

C. Bidang Politik:
60 Partai Politik v
61 Keimigrasian v
62 Pemilihan Umum v UU No. 4/2000
63 Susduk MPR, DPR, dan DPRD v
64 Penyiaran v Masih dibahas – inisiatif
DPR
65 Hukum Disiplin Prajurit ABRI v
66 Prajurit ABRI v
67 Ekstradisi v
68 Ketentuan Pokok Kearsipan v
69 Organisasi Kemasyarakatan v
70 Pokok-Pokok Kepegawaian v
71 Pencari Kebenaran dan Rekonsiliasi v
72 Lembaga Kepresidenan v
73 v
Contempt of Parliement
74 v
Tindakan Kepolisian Terhadap Anggota
DPR/DPRD
75 v
Pemerintahan Pusat
76 v
Kepegawaian Daerah
77 v
Etika Pemerintahan
78 v
Peran Serta Masyarakat
79 v
Wajib Serah Arsip/Dokumen
80 v
Transparansi dan Kebebasan Memperoleh
Informasi
81 v
Kepegawaian Polri
82 v
Hubungan Antar-Lembaga Tinggi Negara

D. Bidang Agama:
83 v
Perkawinan
84 v
Pengelolaan Zakat

85 v
Kerukunan Umat Beragama
86 v
Hukum Terapan Peradilan Agama
E. Bidang Pendidikan:
87 v
Sistem Pendidikan Nasional

F. Bidang Sosial dan Budaya:


88 v
Psikotropika
89 v
Kewarganegaraan RI
90 v
Kesehatan
91 v
Perumahan dan Pemukiman
92
Terkait dengan Ketenagakerjaan: v UU No. 21/2000
a. Serikat Pekerja v Masih dibahas
b. Pembinaan dan Perlindungan Ten. Kerja v Masih dibahas
c. Penyelesaian Perselisihan Perindustrian
93 v
Mengatur Hak-hak perempuan
94 v
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
95 v
Praktik Kedokteran
96 v
Ratifikasi Konvensi Internasional yang terkait
dengan Ketenagakerjaan
97 v
Ratifikasi Konvensi Larangan Perdagangan
Perempuan dan Anak
98 v UU No. 24/2000
Ratifikasi Konvensi “Vienna Convention on the
Law of Treaties 1969”
99
Ratifikasi Konvensi-konvensi: v
1. Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) v
2. Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
(ICESCR) v
3. Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide v
4. The Slavery Convention 1926 v
5. Protection of Migrant in workers and Their Families
6. Suppression of Traffic Persons and of Exploitation of v
the Prostitution of Others.
100 v
Ratifikasi Konvensi Means of Prohibiting and
Preventing Illicit Traffic
101 v
Ratifikasi Text of the 1951 Convention Relating to
the Status of Refugees

G. Bidang Pembangunan Daerah:


102 v
Pemerintahan Daerah
103 v
Penataan Ruang
104 v
Penghapusan, Penggabungan, dan Pemekaran
Daerah
105 v UU No. 18/2001 Inisiatif DPR
Otonomi Daerah Aceh
106 v UU No. 21/2001 Inisiatif DPR
Otonomi Khusus Daerah Irian Jaya

H. Sumber Daya Alam dan LH


107 v
Pokok-Pokok Pertambangan
108 v UU No. 23/2001
Minyak dan Gas Bumi
109 v
Pengelolaan Lingkungan Hidup
110 v
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
111 v
Perikanan
112 v
Pengelolaan Sumber Daya Alam
113 v UU No. 29/2000
Perlindungan Varietas Tanaman
114 v
Kelautan
115 v
Peternakan dan Kesehatan Hewan
116 v
Energi
I. Pertahanan dan Keamanan:
117 v UU No. 3/2002
Pertahanan Keamanan RI
118 v
Keadaan Bahaya
119 v
Rahasia Negara
120 v
Batas Wilayah Negara Kesatuan RI

Lampiran 5

Daftar UU Di luar Propenas


No. UU Tentang: Pengusul Keterangan
1 Pengesahan Konvensi ILO No. 182 tentang Pemerintah UU No. 1/2000
Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-bentuk Terburuk Kerja Anak)
2 Perubahan UU No. 45/1999 tentang Pembentukan Pemerintah UU No. 5/2000
Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten
Puncak Jaya, dan Kota Sorong
3 Perubahan UU No. 46/1999 tentang Pembentukan Pemerintah UU No. 6/2000
Propinsi Maluku Utara, Buru, dan Maluku Tenggara
Barat
4 Perubahan UU No. 47/1999 tentang Pembentukan Pemerintah UU No. 7/2000
Kabupaten Nunukan, Malinau, Kutai Barat, Kutai
Timur, dan Kota Bontang
5 Perubahan UU No. 48/1999 tentang Pembentukan Pemerintah UU No. 8/2000
Kabupaten Bireuan dan Simeulue
6 Perubahan UU No. 49/1999 tentang Pembentukan Pemerintah UU No. 9/2000
Kabupaten Kepulauan Mentawai
7 Perubahan UU No. 50/1999 tentang Pembentukan Pemerintah UU No. 10/2000
Kabupaten Boalemo
8 Perubahan UU No. 51/1999 tentang Pembentukan Pemerintah UU No. 11/2000
Kabupaten Buol, Morowali, dan Banggai Kepulauan
9 Perubahan UU No. 52/1999 tentang Pembentukan Pemeritah UU No. 12/2000
Kabupaten Lembata
10 Perubahan UU No. 53/1999 tentang Pembentukan Pemerintah UU No. 13/2000
Kabupaten Pelawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir,
Natuna, Karimun, Kuantan Singingi dan Kota Batam
11 Perubahan UU No. 54/1999 tentang Pembentukan Pemerintah UU No. 14/2000
Kabupaten Sarolangun, Tebo, Muaro Jambi, Tanjung
Jabung Timur
12 Perubahan UU No. 55/1999 tentang Pembentukan Pemerintah UU No. 15/2000
Kabupaten Landak
13 Pembentukan Propinsi Banten DPR UU No. 23/2000
14 Program Pembangunan Nasional (Propenas) Pemerintah UU No. 25/2000
15 Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung DPR UU No. 27/2000
16 Penetapan Perpu No. 3/2000 tentang Perubahan atas Pemerintah UU No. 28/2000
UU No. 11/1998 tentang Perubahan Berlakunya UU
No. 25/1997 tentang Ketenagakerjaan
17 Penetapan Perpu No. 1/2000 tentang Kawasan Pemerintah UU No. 36/2000
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi
UU
18 Penetapan Perpu No. 2/2000 tentang Kawasan Pemerintah UU No. 37/2000
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang
menjadi UU
19 Pembentukan Propinsi Gorontalo DPR UU No. 38/2000
20 Pengesahan Persetujuan RI-Hongkong untuk Pemerintah UU No. 1/2001
Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri
21 Pembentukan Kota Lhokseumawe Pemerintah UU No.2/2001
22 Pembentukan Kota Langsa Pemerintah UU No. 3/2001
23 Pembentukan Kota Padangsidempuan Pemerintah UU No. 4/2001
24 Pembentukan Kota Tanjung Pinang Pemerintah UU No. 5/2001
25 Pembentukan Kota Prabumulih Pemerintah UU No. 6/2001
26 Pembentukan Kota Lubuk Linggau Pemerintah UU No. 7/2001
27 Pembentukan Kota Pagar Alam Pemerintah UU No. 8/2001
28 Pembentukan Kota Cimahi Pemerintah UU No. 9/2001
29 Pembentukan Kota Tasikmalaya Pemerintah UU No. 10/2001
30 Pembentukan Kota Batu Pemerintah UU No. 11/2001
31 Pembentukan Kota Singkawang Pemerintah UU No. 12/2001
32 Pembentukan Kota Bau-Bau Pemerintah UU No. 13/2001
33 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perubahan Pemerintah UU No. 20/2001
UU No. 31/1999)
34 Pengesahan Traktat mengenai Prinsip-prinsip yang Pemerintah Sudah UU
mengatur kegiatan negara-negara dalam eksplorasi
dan penggunaan antariksa, termasuk bulan dan
benda benda langit lainnya
35 10 UU Pembentukan 22 Daerah Otonom Pemerintah UU No. 5-14/2002

Sampai dengan awal Juli 2002, ada sebanyak 35 UU telah disahkan yang tidak termasuk dalam daftar Propenas. Dengan demikian presentasi
penyimpangan ini dibandingkan dengan jumlah RUU Propenas yang 120 UU, adalah sebesar 29,2%. Angka ini bisa menjadi lebih besar lagi
apabila dibandingkan dengan Repeta dan prosentasi RUU secara keseluruhan yang masih tersisa 3 tahun ke depan. Sebagai perbandingan, UU
untuk tahun 2000 yang terealisir adalah sebanyak 48 UU, 19 UU diantaranya adalah di luar Propenas (39,6%). Untuk tahun 2001, ada sebanyak 14
UU dari 27 UU yang berada di luar Propenas atau 51,85%. Sedangkan untuk tahun 2002, sampai dengan awal bulan Juli dari 15 UU yang telah
direalisir, 11 diantaranya adalah di luar Propenas (73,33%).

Perbandingan Jumlah RUU dengan UU yang disahkan:


RUU Keterangan
Tahun Terealisir

2000 80 48
2001 91 27
2002 33 15 Sampai dengan
bulan Juli
REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang
(5-10 TAHUN)

No. Rencana Aksi


Diagnosis Rekomendasi
Penyusunan Prolegnas masih dalam taraf Penyusunan Prolegnas dilakukan oleh DPR/Presiden mengajukan usul
1 mencatat daftar keinginan, bukan daftar sebuah institusi independen (komisi), pembentukan institusi
kebutuhan, karena daftar undang-undang yang salah satu tugasnya adalah sec ara independen (komisi) di bidang
yang dituangkan melalui Propenas tersebut intensif menjaring masukan dari semua peraturan perundang-undangan.
terbukti belum mampu secara optimal elemen masyarakat, untuk kemudian
mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat menyusunnya dalam sebuah daftar
(para stakeholders). kebutuhan undang-undang. Daftar ini
hanya menjadi pedoman, tidak mengikat
secara normatif sebagai hukum positif,
dan secara reguler dan kontinyu
dimutakhirkan. Dengan mengacu pada
daftar kebutuhan ini, selanjutnya DPR
dan Pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang APBN yang di dalamnya
tercantum Repeta di bidang hukum.

2 Bervariasinya indikator yang digunakan Penetapan politik hukum nasional oleh Menyelenggarakan suatu seminar
menunjukkan ketidakjelasan politik hukum DPR dan Pemerintah sebagai dua hukum nasional secara berkala
Indonesia, khususnya yang terkait dengan lembaga pembentuk undang-undang. (tahunan) yang diorganisasikan
politik pembentukan hukum. Politik hukum ini, sebagai suatu arahan oleh DPR dan Pemerintah, dengan
kebijakan, dikonsultasikan secara berkala target untuk menetapkan politik
kepada semua lapisan masyarakat hukum nasional.
(stakeholders) dalam suatu forum resmi
dan terbuka.
3 Prolegnas yang dicantumkan dalam Indikator Prolegnas dalam jangka Menyusun politik hukum nasional
Propenas, BPHN, Baleg DPR, dan LoI panjang tidak boleh sekadar merespons untuk jangka panjang, yang
berangkat dari sejumlah indikator yang kondisi “darurat” yang cenderung kemudian dijabarkan menjadi
berbeda penekanannya, namun pada pragmatis. politik hukum jangka menengah
dasarnya bermuara kepada tiga faktor utama, dan jangka pendek. Di dalamnya
yaitu adanya: (a) desakan untuk memberi secara jelas terlihat penekanan-
respons terhadap tuntutan reformasi di penekanan indikator Prolegnas
bidang hukum, (b) anggapan bahwa menurut kebutuhan tiap-tiap
pemulihan ekonomi tidak mungkin berjalan periode.
tanpa didukung oleh pembenahan perangkat
hukum positif, (c) urgensi untuk menyikapi
perkembangan regional dan global.

4 Prolegnas memberikan prioritas yang sebaran Walaupun tidak harus dicantumkan Memberi tugas kepada institusi
bidangnya tidak merata, dan sangat dalam produk hukum berbentuk independen (komisi di bidang
didominasi oleh RUU sektor ekonomi dengan undang-undang, perhatian harus peraturan perundang-undangan)
pendekatan kebutuhan jangka pendek dan diberikan secara lebih merata untuk untuk menyusun Prolegnas yang
pragmatis. bidang-bidang lain di luar ekonomi. lebih merata, sehingga tidak
Sebaran bida ng dan alokasi anggaran didominasi bidang ekonomi
untuk penyiapan RUU dibuat lebih dengan pendekatan kebutuhan
merata, dengan juga memperhatikan jangka pendek dan pragmatis.
kepentingan jangka menengah dan
jangka panjang.
5 Kepentingan kelompok dan tekanan Mengkoordinasikan penetapan Memberi tugas kepada institusi
internasional mempunyai peran yang Prolegnas, dengan menyeimbangkan independen (komisi di bidang
signifikan dalam penetapan prioritas dalam kepentingan-kepentingan dari para peraturan perundang-undangan)
Prolegnas, sehingga daftar RUU yang stakeholders, termasuk desakan regional untuk menetapkan Prolegnas
diprogramkan tidak secara utuh dan internasional. secara aspiratif dan responsif
mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan kebutuhan riil
Indonesia secara luas. masyarakat Indonesia (sejalan
arahan politik hukum nasional).

6 Dasa r untuk menentukan apakah suatu Dasar penetapan untuk membentuk, Memperjelas landasan filosofis
undang-undang harus dibentuk baru, merevisi, dan mencabut suatu undang- suatu peraturan perundang-
direvisi, atau dicabut, tidak didasarkan pada undang dijadikan sebagai bagian penting undangan (dalam konsiderans
kajian mendalam. Akibatnya, korelasi antara penelitian yang dimasukkan ke dalam menimbang dan penjelasan umum
suatu peraturan dengan peraturan lainnya naskah akademik yang mendampingi UU tersebut), sehingga jelas alasan
tidak terjalin secara sistemik, bahkan kerap pengajuan suatu RUU. pembentukan/revisi/pencabutan
kontradiktif. yang terkait dengan UU itu.
REKOMENDASI TEKNIS Jangka Panjang
(5-10 tahun)

No. Rekomendasi Rencana Aksi


Diagnosis
Perumusan suatu ketentuan normatif dalam Jumlah dan keterampilan tenaga perancang Menetapkan sertifikasi
7 peraturan perundang-undangan terkait dengan ditingkatkan. untuk para tenaga
keterampilan yang dimiliki oleh tenaga perancang. Sertifikasi
perancang (legal drafters), yang dalam diberikan oleh asosiasi
kenyataannya masih kurang secara kuantitas tenaga perancang undang-
maupun kualitas. undang.

Masyarakat (stakeholders) sering tidak diberi Mensosialisasikan secara intensif Menetapkan suatu pihak
8 akses yang cukup untuk memahami hak dan keberlakuan suatu UU, dengan melibatkan (badan/instansi) yang
kewajibannya setelah suatu UU berlaku. Kondisi semua potensi yang ada di lingkup bertanggung jawab untuk
ini menyebabkan banyak UU yang memiliki pemerintahan dan masyarakat. sosialisasi UU tersebut.
daya berlaku yuridis, tetapi tidak berdaya laku Pelaksanaan tanggung jawab
sosiologis. ini kemudian dievaluasi
secara berkala (sebagai
bagian evaluasi kinerja
badan/instansi tersebut).
REKOMENDASI TEKNIS Jangka Pende k
(1-2 tahun)

No. Diagnosis Rekomendasi Rencana Aksi


9 Penelitian hukum sebagai kunci menyerap Penyusunan Prolegnas dan perumusan Memuat ketentuan yang
aspirasi dan hukum yang hidup di masyarakat suatu undang-undang wajib ditunjang oleh mengikat secara normatif
(living law) belum diorganisasi secara baik, hasil penelitian hukum yang sungguh- bahwa naskah akademik
sehingga tidak banyak memberi kontribusi bagi sungguh komprehensif dan mendalam, merupakan persyaratan
penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu baik dari sudut substansi maupun yang harus disertakan dalam
substansi undang-undang. metodologinya. Hasil penelitian ini setiap pengajuan RUU.
merupakan salah satu dasar untuk Rumusan ini dituangkan
penyusunan naskah akademik, dan dalam UU tentang
keberadaan naskah akademik ini Penyusunan UU (pengganti
dinyatakan sebagai prasyarat wajib (bukan AB).
sekadar anjuran) untuk pembuatan sebuah
undang-undang.
Mekanisme penyusunan sampai dengan tahap Mekanisme penyusunan undang-undang DPR memprioritaskan
10 pengesahan suatu undang-undang, baik dituangkan dalam sebuah produk hukum penyusunan dan
menurut Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun yang berlaku baik untuk undang-undang pemberlakuan UU
1999 maupun menurut Peraturan Tatib DPR yang berasal dari hak inisiatif DPR maupun pengganti AB (selesai 2004).
tidak menjamin pemberian akses yang memadai dari hak inisiatif Pemerintah. Dalam
bagi masyarakat (stakeholders) untuk dalam undang-undang yang menggantikan
rangka menyampaikan aspirasi mereka. Algemene Bepalingen (AB) ini dicantumkan
secara eksplisit hak setiap stakeholder untuk
didengar aspirasinya, dan mekanisme
penyampaiannya sebagai bagian dari
peraturan “hak inisiatif” masyarakat untuk
mengajukan suatu rancangan undang-
undang.

Anda mungkin juga menyukai