Latar Belakang
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) secara sempit dapat diartikan
sebagai penyusunan suatu daftar materi perundang-undangan atau daftar judul
RUU yang telah disepakati. Daftar urutan tersebut dibuat oleh DPR/Pemerintah
berdasarkan urgensi dan prioritas pembentukannya. Prolegnas dalam arti luas
mencakup program pembinaan hukum, pengembangan yurisprudensi,
pembinaan program perjanjian (termasuk ratifikasi konvensi internasional).
Maka telah ditetapkan Propenas sebagai lampiran Tap MPR No.
V/MPR/2000. Namun, dalam kenyataannya Propenas belum berhasil
mengarahkan Prolegnas ke arah yang diinginkan. Hal ini antara lain sebagai
konsekuensi dan konfigurasi politik Orde Baru yang tidak kondusif, yang
sampai saat ini masih kuat berakar.
Hasil Studi
Beberapa Kelemahan
Rekomendasi
Ringkasan Eksekutif
Daftar Isi
Latar Belakang
Sasaran
(1) Manata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu sesuai
dengan amanat reformasi.
(2) Menegakkan reformasi hukum dan perundang-undangan secara
konsisten dan bertanggungjawab.
Metode
(1) Desain
a. Wawancara
c. Workshop
d. Konsultasi Publik
Akademisi 20
Usahawan 5
Pengawas/Pemerhati 10
Organisasi Profesi 10
Jumlah 100
Kelompok Jumlah
Akademisi 4
Usahawan 2
Pengawas/Pemerhati 4
Organisasi Profesi 4
Jumlah 40
TINJAUAN PUSTAKA
Sekalipun berarti banyak, namun bentuk akhir dari proses legislasi itu adalah
undang-undang. Dalam konteks Prolegnas, proses ini berupa penyusunan suatu daftar
materi perundang-undangan atau daftar judul RUU yang telah disepakati (oleh semua
unsur terkait), diurut berdasarkan urgensi dan prioritas pembentukannya oleh
Pemerintah atau pembahasaannya di DPR. Daftar tersebut bukan hanya menampung
keinginan departemen/LPND atau Pemerintah, atau komisi-komisi di DPR, melainkan
hasil kesepakatan bersama sebagai suatu rencana strategis, dan oleh karena itu telah
pasti akan dan harus mendapatkan dukungan penganggarannya dalam RAPBN
(Wargakusumah, 1999).
Pengertian Prolegnas di atas adalah batasan dalam arti sempit. Sebab, dalam
pendekatan yang terintegrasi, Prolegnas ini sebenarnya tidak sekadar program
pembentukan hukum, sekalipun aspek ini memang yang menjadi perhatian utama.
Menurut Hasan Wargakusumah (1999), Prolegnas tersebut juga mencakup program
pembinaan hukum tidak tertulis (termasuk program pembinaan hukum adat), program
pengembangan yurisprudensi (keputusan-keputusan hakim), dan program pembinaan
perjanjian (termasuk ratifikasi konvensi-konvensi badan-badan PBB dan traktat dengan
negara-negara tetangga).
Pentingnya arti Program Legislasi Nasional sendiri telah disadari sejak lama di
Tanah Air. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah beberapa kali
menggulirkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) ini, namun biasanya terbentur
pada persoalan-persoalan teknis yang berujung pada pencapaian hasil kajian yang tidak
optimal.
Untuk dapat mengakomodasikan pendekatan filsafati, yuridis, dan sosiologis,
sebagaimana akan diungkapkan pada paparan di bawah, suksesnya Program Legislasi
Nasional memutlakkan kerja sama dengan peneliti-peneliti hukum independen.
Kelemahan terbesar dari perjalanan sistem hukum Indonesia, khususnya pada era Orde
Baru adalah kurangnya dukungan penelitian sebelum suatu produk hukum
dimunculkan. Kajian-kajian akademik memang dibuat, tetapi harus diakui sangat
kering dengan analisis filsafati dan antropologis-sosiologis.
Ketika gerakan reformasi dicetuskan tahun 1998, Bank Dunia memberikan suatu
grant untuk membuat “diagnostic assessment of legal development in Indonesia ”. Proyek ini
telah selesai dilakukan, dan hasilnya diterbitkan dalam sebuah buku yang disusun oleh
Kantor Hukum Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR) bekerja sama dengan
Kantor Hukum Mochtar, Karuwin, Komar (MKK). Rekomendasi yang diberikan oleh
pengkajian ini juga senada, yakni menggarisbawahi pentingnya pembangunan hukum
itu membuka diri pada aspirasi masyarakat. Kemudian, diga riskan pula perlunya
reformasi menyentuh pendidikan hukum yang didukung oleh penelitian hukum (Gaffar
& Kasim, 2000).
Uraian tinjauan pustaka berisi konsep-konsep penting tentang Prolegnas.
Pertama, dijelaskan tentang tujuan hukum sebagai nilai terpenting dalam suatu produk
hukum. Tujuan hukum ini terkait dengan keberlakuan filosofis yang selayaknya
dijadikan acuan dalam Prolegnas. Peletakan dasar pijakan filosofis tadi berhubungan
dengan aliran-aliran filsafat hukum. Dalam tinjauan ini sekaligus akan diintroduksi satu
pendekatan aliran filsafat hukum yang dianggap paling sesuai dengan konteks
Indonesia, namun tetap menjamin bahwa proses pembentukan hukum tersebut
berlangsung demokratis. Rangkuman tentang aliran filsafat hukum yang
direkomendasikan tersebut selanjutnya mendapat penekanan pada bagian akhir bab ini,
yakni tatkala dibahas tentang keterkaitan antara kerangka orientasi berpikir yuridik dan
Prolegnas di Indonesia. Proses pembentukan hukum yang demokratis dijadikan uraian
berikutnya. Tinjauan ini sangat berguna untuk melihat apakah mekanisme Prolegnas itu
sendiri telah memenuhi indikator-indikator pembentukan hukum yang demokratis
sebagaimana diamanatkan oleh reformasi hukum. Pada bagian akhir, disinggung
tentang kerangka orientasi berpikir yuridik dalam kaitannya dengan Prolegnas.
Kerangka orientasi berpikir yuridik
B. Tujuan Hukum
Seorang filsuf era Zaman Antik (Yunani Kuno) bernama Cicero, pernah
mengatakan, “Ubi societas, ibi ius.” Maknanya, “Di mana ada masyarakat, di situ ada
hukum.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa hukum pada dasarnya selalu muncul sejak
pertama kali masyarakat itu ada, yang ditandai oleh pembenturan kepentingan-
kepentingan.
Pengertian “ius” (hukum) itu sendiri dalam perkembangannya menjadi
demikian variatif. Ada yang mengartikannya sebagai nilai-nilai yang menuntun sikap
dan perilaku manusia. Ada pula yang lebih konkret daripada itu, yakni sebagai norma.
Lebih jauh lagi, ada yang secara spesifik menunjuk kepada norma tertentu yang secara
formal dibuat oleh penguasa negara.
Perbedaan pandangan tentang hukum tersebut diejawantahkan dalam
konfigurasi aliran-aliran berpikir dalam dunia hukum. Pada tataran grand theories dalam
disiplin hukum, kecenderungan berpikir tadi disebut aliran filsafat hukum. Ada banyak
aliran filsafat hukum, yang pengelompokkannya dapat didasarkan pada sejumlah
asumsi. Salah satu asumsi yang paling sering digunakan adalah dengan berpijak pada
tujuan hukum yang dipersepsikan setiap aliran.
Salah satu isu sentral yang dijadikan diskursus aliran-aliran di atas adalah
eksistensi hukum alam dan hukum positif. Di sini terkait persoalan keberadaan
program legislasi. Uraian di bawah ini akan memfokuskan pada isu sentral ini,
sekaligus ingin mengaitkannya dengan pandangan-pandangan sejumlah aliran filsafat
hukum.
Ada dua kelompok pendekatan yang esktrem dalam melihat arti penting suatu
legislasi. Kubu ekstrem pertama diwakili oleh Aliran Hukum Kodrat (sering juga
disebut Aliran Hukum Alam). Sedangkan kubu ekstrem kedua adalah Positivisme
Hukum, yang justru sebaliknya, sangat memutlakkan legislasi sebagai sumber hukum
satu-satunya. Di antara keduanya muncul aliran-aliran lain, seperti Utilitarianisme,
Mazhab Sejarah, Sociological Jurisprudence, Realisme, atau Critical Legal Studies.
Pemetaan terhadap aliran-aliran filsafat hukum di atas akan lebih mudah
dilakukan dengan menarik garis berdasarkan tujuan hukum yang diwakili masing-
masing. Tujuan hukum tersebut diinspirasi dari pertanyaan fundamental tentang
keterkaitan antara “hukum” dan “moral”. Untuk memudahkan pembahasan ini,
“hukum” di sini akan diartikan sama dengan “hukum positif” sebagai produk
penguasa. Aturan hukum positif (rule of law) yang paling konkret adalah perundang-
undangan (legislasi). Perdebatan antara dua kubu ekstrem di atas, berawal dari
persoalan penempatan hukum dan moral ini. Andrew Altman (2001)
mengilustrasikannya sebagai berikut:
1. Is the rule of law best understood as (a) the rule of law alone, or (b) the rule of natural law
and of positive law only insofar as it is consistent with natural law?
2. Is any rule of positive law that is in conflict with natural law invalid and incapable of
imposing any obligation on us?
3. Are acts contrary to natural law crimes even if there is no specific positive law that makes
them criminal?
Dalam bahasa yang lebih sederhana, Andrew Altman (2001) lalu meringkaskan
kembali ketiga pertanyaan tadi menjadi:
1. Does the concept of rule of law necessarily include the idea of natural law?
2. Are positive laws necessarily lacking in validity whenever they conflict with natural law?
3. Are acts that violate the obligations of natural law necessarily crimes, regardless of how the
positive law regards them?
Penganut Aliran Hukum Kodrat, khususnya yang berada dalam perspektif
tradisional (dengan Thomas Aquinas sebagai figur sentral), selalu berkeyakinan bahwa
tujuan hukum yang hakiki adalah keadilan. Legislasi (lex positivis) sebagai produk
hukum buatan manusia, ditempatkan pada kategori paling bawah setelah lex aeterna, lex
naturalis, dan lex divina. Posisi lex positivis ditentukan sepenuhnya oleh hukum-hukum
di atasnya, sehingga apabila terdapat kontradiksi, hukum positif itu menjadi batal
dengan sendirinya.
Lex divina sebagai guidance to the ultimate good selalu berlaku universal dan
abadi. Sebagai pedoman, muatan keseluruhannya adalah moralitas. Moralitas ini pula
yang menentukan segalanya. Tiada hukum tanpa moral. Bahkan, lebih jauh lagi, hukum
itu identik dengan moral. Sebab, hanya hukum yang bermoral yang dapat membimbing
manusia kepada pencapaian keadilan sebagai tujuan hukum.
Persoalannya adalah, bagaimana jika hukum itu sampai tidak memuat muatan
moral? Haruskah hukum itu menjadi batal?
Ada versi lain dari aliran ini yang mencoba untuk memodifikasi pandangan
kaum tradisional ini yang belakangan muncul tersebut diwakili oleh Lon Fuller dan
Dworkin.
Fuller berpendapat bahwa sistem hukum yang genuine selalu terikat pada
prinsip-prinsip moral tertentu. Ia menyebut prinsip moral ini dengan istilah “the inner
morality of law”. Prinsip hukum inilah yang menjadi prima facie peletakan kewajiban
kepada setiap warganegara untuk menghormati hukum. Ia mengakui bahwa dalam
kenyataannya, tidak semua produk hukum penguasa (legislasi) konsisten dengan
prinsip-prinsip moral itu. Produk hukum itu jelas tidak baik secara moral, tetapi ia tidak
lalu kehilangan validitasnya, seperti yang selalu ditegaskan kaum tradisional. Di
samping itu Fuller juga membuka kemungkinan lain, bahwa suatu produk hukum
mungkin tidak memiliki keabsahan secara “inner morality”, tetapi dapat dibenarkan
demi tujuan-tujuan sosial.
Dworkin berpendapat sedikit berbeda. Baginya, setiap produk hukum (legislasi)
dengan sendirinya harus dapat diinterpretasi dan diterapkan dengan pendekatan moral.
Baginya, hukum positif harus memiliki integritas moral. Integritas mungkin tidak
menjamin pencapaian keadilan, tetapi integritas tadi akan menjamin adanya derajat
moralitas tertentu (yang cukup) dalam setiap produk hukum, sehingga terhindarilah
legislasi sekadar menjadi produk kekuasaan politik.
Keragu-raguan Aliran Hukum Kodrat untuk mengklaim bahwa hukum positif
(legislasi) sebagai murni produk politik, dijawab secara tegas oleh Positivisme Hukum.
Bagi aliran Positivisme Hukum, hukum adalah benar produk politik. Tujuan hukum
semata-mata adalah untuk memberikan kepastian.
Lebih jauh lagi, menurut aliran ini, hukum adalah perintah dari penguasa (law is
a command of lawgivers). Raymond Wacks (1995) menuliskan tentang pendapat John
Austin, tokoh Positivisme Hukum, tentang hakikat hukum adalah: “…the notion of law as
a command of the sovereign. Anything that is not a command is not law. Only general
commands counts as law. And only commands emanating from the sovereign are ‘positive law’.”
Sebagai konsekuensinya, sumber satu-satunya hukum adalah undang-undang
(dalam arti material). Tugas aparatur hukum, khususnya hakim, adalah menjadi
“corong” dari undang-undang. Tugas hakim adalah menerapkan logika deduktif
(silogisme) untuk menyelesaikan setiap persoalan hukum. Premis mayor yang
digunakan wajib berasal dari undang-undang. Semua dilakukan dalam sistem yang
tertutup.
Tentu saja gagasan Positivisme Hukum baru dapat berjalan baik apabila
diasumsikan kodifikasi-kodifikasi hukum sudah lengkap mengatur segala hal.
Pembentukan undang-undang juga wajib berjalan lancar agar tidak terjadi kevakuman
hukum.
Dalam kenyataannya, asumsi bahwa undang-undang itu lengkap memang tidak
mungkin terjadi. Di sini diperlukan kreativitas penegak hukum, terutama hakim, dalam
melakukan terobosan-terobosan. Apa yang disebut dengan penemuan hukum
(rechtsvinding) adalah salah satu bentuk terobosan yang dimaksud. Namun, jelas
penemuan hukum seperti ini sesungguhnya sudah menyalahi “pakem” Positivisme
Hukum karena telah menjadikan hukum bergerak dalam sistem terbuka.
Rupanya kepastian hukum yang diperjuangkan sebagai satu-satunya tujuan
hukum oleh Positivisme Hukum itu dalam berbagai kesempatan justru menjadi
bumerang bagi masyarakat kebanyakan. Karena penguasa diberi kewenangan untuk
menetapkan hukum, maka dengan sendirinya kepentingan penguasa pula yang lebih
banyak ditonjolkan. Cita-cita untuk berdiri sama tinggi di hadapan hukum, sering lebih
terkesan sebagai utopia.
Lalu, seperti apakah hukum yang baik itu? Utilitarianisme memberikan alternatif
jawabannya. Menurutnya, hukum yang baik adalah hukum yang dapat memberikan
kemanfaatan untuk sebesar-besar jumlah orang. Basis aliran ini sebenarnya masih dalam
satu atap dengan Positivisme Hukum. Artinya, mereka masih mengandalkan kepada
penguasa untuk menetapkan hukum, namun dengan catatan, bahwa hukum produk
penguasa itu bisa baik dan bisa pula buruk.
Baik buruk suatu hukum tentu tidak dapat begitu saja disimpulkan hanya
dengan melihat rumusan normanya. Untuk itu diperlukan serangkaian peristiwa
hukum yang konkret sebagai test-cases. Dari pengalaman (empirik) itulah dapat
diketahui, bahwa suatu produk hukum itu baik atau buruk.
Jika indikator baik buruk suatu hukum baru dapat ditentukan setelah ada
pengalaman, tentu menjadi pertanyaan besar: berapa banyak peristiwa empirik
demikian harus terjadi sebelum berhasil dibuatkan kesimpulan baik dan buruk?
Bagaimana kalau peristiwa-peristiwa itu tidak cukup menggugah kita untuk mengubah
hukum yang buruk itu? Bagaimana jika masih ada keberatan penguasa untuk
mengubahnya?
Cara berpikir yang diperagakan oleh Mazhab Sejarah agaknya mampu
mengantisipasi sebagian pertanyaan di atas. Menurutnya, hukum tidak perlu dibuat
oleh penguasa. Hukum itu tumbuh sendiri bersama dengan masyarakat. Artinya,
biarkan masyarakat itu sendirilah yang menentukan mana hukum yang baik dan yang
buruk. Dalam perjalanan hidup bermasyarakat, proses seleksi itu pastilah sudah
berjalan dengan alamiah.
Dari titik ini sebenarnya kita dapat melihat betapa Mazhab Sejarah mulai
mendekati pemikiran Aliran Hukum Kodrat. Bedanya adalah, pada Aliran Hukum
Kodrat, nilai-nilai dalam hukum itu diproyeksikan secara universal, sementara pada
Mazhab Sejarah, lebih bersifat lokal. Pelopornya, yaitu von Savigny, menggunakan satu
istilah yang menunjukkan adanya jiwa rakyat (Volksgeist) pada setiap bangsa. Di sini
jelas bahwa konsep universalitas hukum, dalam kaca mata von Savigny, sangat tidak
masuk akal, dan sebagai gantinya ia perkenalkan konsep nasionalitas.
Sumber hukum yang utama, menurut Mazhab Sejarah, adalah kebiasaan.
Sumber hukum ini jelas tidak memerlukan pengujian lagi karena telah menjalani proses
sosialisasi yang panjang. Ia adalah hukum yang hidup (living law) dan telah berlaku
secara sosiologis.
Dalam lingkup masyarakat yang susunannya sederhana, barangkali konsep
Mazhab Sejarah dapat diterima baik. Persoalan muncul tatkala konsep ini akan
diterapkan untuk masyarakat yang pluralistis dengan pola kebiasaan yang berbeda.
Penentuan Volksgeist-nya saja mungkin akan memeras energi yang besar, sehingga pada
ujung-ujungnya akan diserahkan pada kepentingan pihak yang paling berkuasa pula.
Jika demikian halnya, hasil akhir Mazhab Sejarah mungkin tidak berbeda jauh dengan
Positivisme Hukum.
Apabila kita mengalami kesulitan untuk menentukan pola -pola umum
(kebiasaan) dari sikap dan perilaku masyarakat, mengapa kita tidak melihat langsung
ke peristiwa konkret yang terjadi? Bukankah setiap peristiwa konkret itu memiliki
nuansa tersendiri, yang tidak begitu saja dapat digeneralisasi?
Pertanyaan tersebut mengilhami munculnya aliran baru dalam filsafat hukum,
yaitu Realisme Hukum. Aliran ini melihat setiap kasus hukum sebagai sesuatu yang
berdiri sendiri. Peristiwa konkret itulah yang menentukan hukumnya, bukan oleh
hukum kodrat, undang-undang, atau kebiasaan.
Dalam derajat yang lebih tinggi, Realisme Hukum lalu berpuncak pada
penolakan sama sekali terhadap otoritas undang-undang yang selama ini dipandang
melebihi sumber-sumber formal hukum lainnya. Tidak ada kedudukan yang lebih
tinggi daripada yang lain. Semua diserahkan kepada keyakinan hakim. Sebab,
kepadanyalah peristiwa konkret itu dipercayakan, dan keputusannya harus
diasumsikan sebagai hukum yang terbaik untuk kasus tersebut. Mungkin keputusan itu
belum mencerminkan keadilan yang diharapkan masyarakat, atau bahkan menyimpang
dari kepastian hukum yang diletakkan undang-undang, namun bagi hakim
keputusannya adalah bermanfaat, khususnya kepada para pihak yang berperkara.
Dari uraian yang sedikit panjang lebar tentang aliran-aliran filsafat hukum dan
tujuan-tujuan hukum yang menyertai masing-masing, dapat diperoleh kesimpulan
bahwa program legislasi yang secara substansial bermutu tinggi dan secara prosedural
sangat aspiratif (dalam arti didesain melalui pendekatan demokratis) adalah suatu
kemutlakan bagi setiap negara modern. Terbukti, semua aliran filsafat hukum, bahkan
yang semula sangat menentang program demikian (antara lain Mazhab Sejarah), pada
akhirnya harus mengakui kenyataan pentingnya produk hukum tertulis, yang bernama
perundang-undangan (legislation). Spirit yang dibawa oleh penentang program legislasi
sebenarnya adalah keinginan agar produk hukum tidak sekadar menjadi produk politik
yang antidemokrasi. Undang-undang harus merekam dan mengakomodasikan
kepentingan masyarakat, sehingga proses produksi hukum itu haruslah sedemokratis
mungkin. Hal-hal yang dikemukakan terakhir ini akan dikupas lebih jauh pada subbab
di bawah ini.
Tipe Responsif
Tujuan hukum Kompetensi
Legitimasi Keadilan subtantif
Peraturan Tunduk kepada prinsip dan kebijaksanaan
Penalaran, alasan Bertujuan; perluasan kompetensi kognitif
(reasoning)
Diskresi (kebijakan) Banyak sekali dipakai; tetapi demi tujuan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Pemaksaan Pencarian alternatif secara positif, misalnya insentif, sistem-sistem
kewajiban swasembada
Moralitas Moralitas rakyat; “moralitas kerja sama”
Kaitan politik Aspirasi-aspirasi hukum dan politik berintegrasi; pembauran
kekuasaan
Harapan terhadap Tidak taat dilihat sebagai kerugian substantif; dipandang sebagai
Kepatuhan pengajuan isu tentang legitimasi
Partisipasi Kemungkinan diperluas oleh integrasi kepengacaraan hukum dan
sosial (bantuan hukum struktural)
Tipe hukum menindas (represif) adalah hukum yang mengabdi kepada
kekuasaan yang represif. Tipe hukum ini praktis tanpa legitimasi sama sekali. Orang
menaatinya karena dibayang-bayangi oleh ketakutan terhadap penguasa yang keras
dan kasar. Sifat represif dari hukum itu semata-mata bertujuan untuk memelihara
stabilitas sosial.
Tipe kedua, yaitu hukum otonom jelas lebih baik daripada tipe pertama karena
ia mampu menjinakkan sifat represif dari kekuasaan itu demi melindungi integritas
hukum itu sendiri. Tipe hukum otonom sudah memiliki legitimasi sebagai hukum.
Legitimasi ini didasarkan pada gagasan bahwa stabilitas sosial itu baru memiliki
keabsahan secara hukum apabila penggunaan kekuasaan diawasi menurut prinsip-
prinsip konstitusional, prosedur-prosedur formal, dan institusi peradilan yang bebas.
Tipe kedua di atas sudah baik, namun dikhawatirkan apabila hukum hanya
dijalankan secara formalitas demikian, maka keadilan yang dicapai juga hanya keadilan
formal belaka. Untuk itu perlu ada tipe hukum ketiga yang bertujuan melayani
kebutuhan riil masyarakat, atau dengan perkataan lain ia lebih sebagai “problem
solver”. Keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan material (substantif).
Nonet dan Selznick mengatakan, bahwa tipe hukum menindas tidak mungkin
dapat lepas dari permasalahan “legitimasi” yang dihadapinya, kecuali ia bergerak
mengubah dirinya menuju hukum otonom. Selanjutnya, tipe hukum otonom juga tidak
akan mampu mengatasi problema “formalitas hukum” yang dihadapinya dan menuju
ke arah tipe hukum responsif.
D. Kerangka Orientasi Berpikir Yuridik dalam Prolegnas
Sumber hukum, baik dalam arti material maupun formal, memiliki peran
penting dalam kelangsungan suatu sistem hukum yang modern. Sumber hukum dalam
arti material memberikan dukungan substansial bagi eksistensi sistem hukum. Nilai-
nilai yang bermuatan filosofis dan sosiologis, termasuk di dalamnya aspek historis,
ekonomi, budaya, politis, merupakan kontributor utamanya. Sementara itu, sumber
hukum dalam arti formal merupakan wadah yang sistematis dalam rangka konkretisasi
nilai-nilai itu. Konkretisasi tersebut mengubah nilai-nilai yang masih abstrak itu ke
dalam wujud norma-norma agar dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat, bangsa,
dan negara. Mengingat nilai-nilai yang merupakan sumber hukum dalam arti material
itu masih terlalu abstrak, maka tidak mudah untuk ditetapkan. Hal ini berbeda dengan
sumber hukum dalam arti formal.
Setelah jaman Hindia Belanda, sebenarnya pedoman penyusunan sumber hukum dalam arti formal (sumber formal hukum) itu
telah dibuat, tetapi konsistensinya belum dapat berjalan dengan baik. Bahkan, situasinya menjadi lebih buruk pada era 1960-an,
tatkala bermunculan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih. Ada peraturan presiden, penetapan
presiden, keputusan presiden, instruksi presiden, dan berbagai penamaan lainnya di tingkat lebih bawah, yang satu sama lain
tidak jelas batas-batas pembedaannya.
Bab III akan memaparkan hasil penelitian program legislasi nasional pada
instansi-instansi yang telah mempunyai dan mempengaruhi program legislasi
nasional secara keseluruhan. Instansi-instansi yang dimaksud adalah BPHN dari sisi
lembaga eksekutif, Baleg DPR dari sisi lembaga legislatif, Letter of Intent sebagai
kekuatan asing yang dapat mempengaruhi program legislasi nasional tersebut, dan
Propenas (UU No. 25 Tahun 2000) sebagai perwujudan kompromi dari berbagai
kepentingan di atas.
1. Mekanisme Pembentukan
Mekanisme pembentukan progral legislasi nasional yang dilakukan oleh
BPHN adalah sebagai berikut:
1. Setiap Departemen/LPND mengajukan prolegnas,
2. BPHN menerima semua usulan prolegnas dari Departemen/LPND.
3. BPHN mengadakan seleksi dari prolegnas yang diajukan oleh Departemen/LPND
dengan mempertimbangkan secara teknis sebagai berikut:
a. RUU yang telah disampaikan ke Sekneg.
b. RUU yang telah mendapat izin prakarsa dari Prersiden.
c. RUU yang telah duilakukan pembahasannya di tingkat Departemen/LPND.
d. RUU yang telah ada naskah akademiknya.
e. RUU yang telah menjadi program prioritas dari masing-masing instansi/
lembaga.
4. Pada akhir tahun BPHN melakukan rapat pembahasan tahunan prolegnas dengan
melibatkan seluruh biro-biro hukum departemen dan LPND, DPR RI, dan LSM
(organisasi profesi dan kemasyarakat) untuk mendiskusikan dan mengkaji
prolegnas yang diusulkan oleh Departemen/LPND.
5. Rapat pembahasan tahunan yang dilaksanakan oleh BPHN menghasilkan
prolegnas tahunan dengan mempertimbangkan secara substansi sebagai berikut:
a. Keterkaitan substansi RUU dengan ketentuan UU lainnya (yang sudah
dibentuk)
b. Substansi RUU yang mendukung pemulihan ekonomi.
c. Substansi RUU yang mendukung proses demokratisasi.
d. Substansi RUU yang berasal dari zaman Hindia Belanda.
e. Substansi RUU yang berhubungan dengan masalah gender.
f. Substansi RUU yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
6. Hasil prolegnas tahunan BPHN selanjutnya diserahkan ke Bappenas sebagai
masukan bagi penyempurnaan rancangan REPETA.
Departemen/LPND
BPHN Bappenas
1. Adanya usul inisiatif dari anggota DPR, komisi atau gabungan komisi;
2. Tim Asistensi menyusun dan menyempurnakan konsep RUU usul inisiatif, dan
mempresentasikan di depan rapat Badan Legislasi dan bidang yang bersangkutan
serta pengusul.
3. Tanggapan anggota Baleg atas hasil tim asistensi yang dilanjutkan dengan
pembentukan tim perumus.
4. Tim Perumus dan Tim Asistensi kemudian menyusun draf pertama
5. Tim Perumus dan tim Asistensi menjelaskan draft pertama tersebut untuk di
tanggapi oleh anggota Baleg.
6. Tim Perumus dan tim Asistensi meyusun draft kedua dan disampaikan kepada
anggota Baleg untuk di diskusikan dengan para pakar, pejabat pemerintah terkait
dan masyarakat.
7. Tim Perumus dan tim Asistensi menyusun draft ketiga dan dilaporkan kepada Baleg
untuk mendapat tanggapan selanjutnya Tim Perumus dan Tim Asistensi membuat
draft keempat.
8. Draft keempat diputuskan badan legislasi dan di setujui draft final RUU usul
inisiatif.
9. RUU tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR RI dengan pengantar yang
ditandatangani para pengusul, untuk selanjutnya masuknya usul RUU inisiatif
tersebut diumumkan di dalam Rapat Paripurna, kemudian membagikan RUU
kepada seluruh anggota.
10. Pengusul kemudian memberikan penjelasan di dalam rapat Badan Musyawarah dan
rapat paripurna.
11. Fraksi-fraksi memberikan tanggapan yang dilanjutkan dengan pengambilan
keputusan.
12. RUU usul inisiatif tersebut kemudian di sempurnakan oleh Komisi atau Komisi
Gabungan atau Pansus.
13. Hasil penyempurnaan tersebut, oleh pimpinan DPR RI di sampaikan kepada
Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan meawkili
pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR.
14. RUU yang disusun DPR dan disampaikan kepada Presiden, dilaporkan oleh
Sekretariat Negara disertai saran mengenai Menteri yang akan ditugasi untuk
mengkoordinasikan pembahasannya dengan Menteri terkait dan mengikut sertakan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
15. Pembicaraan RUU usul inisiatif di DPR RI antara DPR dengan Pemerintah.
16. RUU usul inisiatif kemudian disetujui oleh DPR dan disahkan menjadi undang-
undang oleh Presiden.
1. Mekanisme Pembentukan
IMF Pemerintah
Departemen
LoI
Teknis
(10%) dan sisanya 13 RUU (65%) belum masuk DPR untuk dibahas. Dari sudut
Propenas, sebanyak 14 RUU (70%) ternyata juga menjadi program legislasi Propenas.
Dari data di atas, ada satu hal yang menarik, yaitu UU Anti Korupsi yang
telah menjadi Undang-Undang Nomor 20/2001. RUU Anti Korupsi tidak terdapat
dalam Propenas, tetapi merupakan rekomendasi dari LoI, namun ternyata pada
kenyataannya RUU ini telah menjadi UU pada tahun 2001.
D. Program Pembangunan Nasional (Propenas)
Sebelum tahun 2000 program pembangunan nasional dituangkan dalam Repelita
yang tidak membutuhkan Undang-Undang sebagai bentuk hukum formalnya.
Perubahan ini membawa dampak positif sekaligus negatif. Dampak positifnya adalah
program pembangunan nasional tersebut diharapkan merupakan hasil musyawarah
antara pemerintah – yang memegang amanat untuk menyelenggarakan pemerintahan –
di satu pihak dengan DPR – yang merupakan wakil rakya; pemberi amanat tersebut – di
lain pihak. Dengan dibentuknya dalam Undang-Undang, maka landasan hukum
penyelenggaraan pemerintahan menjadi kuat. Sebaliknya, dikarenakan bentuk
formalnya undang-undang, maka program pembangunan nasional ini tidak lagi
fleksibel, karena setiap perubahannya tentu harus dilakukan melalui paling rendah
setingkat undang-undang pula.
Adapun prioritas Propenas 2000-2004 adalah sebagai berikut:
1. Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan persatuan dan
kesatuan;
2. Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik;
3. Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan
berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem Ekonomi Kerakyatan;
4. Membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama, dan
ketahanan budaya; dan
5. Meningkatkan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Program legislasi nasional telah menjadi bagian dari
Propenas. Lebih khusus lagi program legislasi nasional dicantumkan dalam program
bidang hukum yang meliputi: program pembentukan peraturan perundang-undangan,
program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya,
program penuntasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pelanggaran hak asasi
manusia, serta program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya
hukum.
1. Mekanisme Pembentukan
Program legislasi nasional sesungguhnya telah dilaksanakan mendahului
pembahasan Propenas. Menurut mekanisme sebelum tahun 2000, pembentukan itu
dimulai dari usulan dari departemen/lembaga pemerintah non departemen terhadap
RUU yang diajukan. BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) bersama-sama
dengan Direktorat Hukum dan Perundang-undangan- Departemen Kehakiman-
mengakomodasi semua usulan tersebut dan menindaklanjutinya, kemudian hasil
kajian, penelitian dan rumusan RUU yang telah siap dibicarakan di DPR. Semua itu
dilaksanakan berdasarkan Keppres No. 188/1999 dan Keppres No. 44/1999 tentang
Teknik Penyusunan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah serta Rancangan Keputusan Presiden.
BPHN
Ditjen PP
Depkeh
Pengkajia Naskah
RUU Sekretari
n/ Akademis
at
Departemem
DPR
/
-BPHN -BPHN
- -
Dept/LPN Dept/LPN
D D
Khusus untuk Propenas, hal yang pertama dilakukan oleh Pemerintah adalah
mencoba menangkap saripati dari amanat GBHN. Selanjutnya Pemerintah meminta
masukan dari seluruh lembaga baik dari Pemerintah, dunia usaha, maupun
masyarakat luas mengani prioritas pembangunan yang penting, mendasar dan
mendesak. Dari masukan-masukan ini, kemudian disusun konsep awal Propenas.
Setelah konsep awal Propenas terbentuk, kemudian diseminarkan secara
terbuka di pusat dan di daerah, seperti Yogyakarta, Banjarmasin, Surabaya Padang
dan Makassar, dengan mengundang masyarakat luas untuk perbaikan dan
penyempurnaan. Setelah diperbaiki, konsep itu disampaikan kepada masyarakat dan
DPR untuk mendapatkan tanggapan, masukan dan kritik. Selain itu, konsep ini juga
telah diperiksa oleh tim independen yang terdiri dari pakar dan pemerhati untuk
memastikan bahwa apa yang diaspirasikan oleh masyarakat luas telah benar-benar
terakomodasi.
GBH
N
Masukan:
-Lembaga Perbaikan: DPR
BPHN Konsep
Pemerintah -Pakar
Awal
-Dunia usaha -Pemerhati
-Masyarakat luas
Seminar di: Paniti
- a
Yogyakarta
-
Banjarmasi
n
UU 25 Th.
Forum 2000
NASKAH Konsultasi
LoI PROPENAS
DPR & (Bidang
DPR
BALEG UU ttg APBN
REPETA
(Prolegnas)
Non. Propenas
DIAGNOSIS:
Penelitian hukum sebagai kunci menyerap aspirasi dan hukum yang hidup di masyarakat (living law) belum
diorganisasi secara baik, sehingga tidak banyak memberi kontribusi bagi penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu
substansi undang-undang.
REKOMENDASI:
Penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu undang-undang wajib ditunjang oleh hasil penelitian hukum yang
sungguh-sungguh komprehensif dan mendalam, baik dari sudut subtansi maupun metodologinya. Hasil penelitian ini
merupakan salah satu dasar untuk penyusunan naskah akademik, dan keberadaan naskah akademik ini dinyatakan
sebagai prasyarat wajib (bukan sekadar anjuran) untuk pembuatan sebuah undang-undang.
RENCANA AKSI:
Memuat ketentuan yang mengikat secara normatif bahwa naskah akademik merupakan persyaratan yang harus
disertakan dalam setiap pengajuan RUU. Rumusan ini dituangkan dalam UU tentang Penyusunan UU (pengganti
AB).
*) Penulisan nomor rekomendasi ini disesuaikan dengan urutan dalam Bab Rekomendasi.
Dalam uraian Bab III disebutkan bahwa Prolegnas sendiri pada dasarnya
merupakan pengejawantahan politik hukum nasional. Dua lingkup utama dari
politik hukum ini adalah: (1) politik pembentukan hukum, dan (2) politik penegakan
hukum. Politik pembentukan hukum yang aspiratif tentu tidak harus berhenti pada
penggunaan hasil-hasil penelitian tentang living law itu saja. Politik pembentukan
hukum harus juga berlanjut sampai taraf perumusannya dalam bentuk (format)
yuridis formal undang-undang itu.
Politik hukum nasional dalam kedua lingkup utama di atas, sampai sekarang
tidak pernah jelas. Seharusnya ada suatu forum resmi dan terbuka, yang secara
berkala diadakan untuk mendiskusikan politik hukum nasional ini. Forum seperti
yang dilakukan oleh BPHN berupa Seminar Hukum Nasional, sebenarnya adalah
wahana yang tepat untuk keperluan ini. Sayangnya, seminar yang cukup besar
seperti itu tidak dimanfaatkan secara optimal, bahkan sering tanpa target yang jelas.
Seandainya, DPR dan Pemerintah dapat mengorganisasikan seminar demikian
menjadi lebih terfokus, yakni untuk mendiskusikan (mengkritisi) rancangan politik
hukum nasional, maka tentu seminar tadi akan menjadi forum yang bernas dan
sangat bermanfaat.
REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang Rekomendasi
No. 2
PENETAPAN POLITIK HUKUM NASIONAL
DIAGNOSIS:
Bervariasinya indikator yang digunakan menunjukkan ketidakjelasan politik hukum Indonesia, khususnya yang terkait
dengan politik pembentukan hukum.
REKOMENDASI:
Penetapan politik hukum nasional oleh DPR dan Pemerintah sebagai dua lembaga pembentuk undang-undang. Politik
hukum ini, sebagai suatu arahan kebijakan, dikonsultasikan secara berkala kepada semua lapisan masyarakat
(stakeholders) dalam suatu forum resmi dan terbuka.
RENCANA AKSI:
Menyelenggarakan suatu seminar hukum nasional secara berkala (tahunan) yang diorganisasikan oleh DPR dan
Pemerintah, dengan target untuk menetapkan politik hukum nasional.
Dalam lokakarya yang diadakan oleh Kelompok Kerja C-3, muncul sejumlah
keluhan dari narasumber dan peserta tentang sikap anggota-anggota DPR (tentunya
hal ini juga terjadi di DPRD), yang terlalu banyak membuang waktu
memperbincangkan terminologi hukum. Padahal, menurut narasumber tadi,
terminologi hukum ini sudah sangat baku dalam kosa kata ilmu hukum. Akibat
perdebatan demikian, tidak jarang akhirnya muncul kompromi dalam bentuk
perumusan yang lain, dengan menggunakan kata-kata yang justru tidak lazim dari
kaca mata hukum karena bernuansa multi-interpretable.
Kekhawatiran ini cukup beralasan. Artinya, dapat saja secara substansial
suatu undang-undang sudah sangat aspiratif karena berangkat dari penelitian dan
kajian mendalam di masyarakat, namun karena perumusannya tidak sempurna,
mengakibatkan terjadi deviasi makna yang bermuara ke arah berlawanan dari
aspirasi masyarakat. Untuk itulah, keterampilan para perancang undang-undang
(legal drafters) menjadi signifikan untuk ditingkatkan. Tidak tertutup kemungkinan,
jika secara kuantitas sudah cukup memadai, para tenaga perancang undang-undang
ini kemudian disertifikasi. Hanya mereka yang memiliki pengakuan (sertifikat)
tertentu itulah yang layak merancang suatu undang-undang atau peraturan tertentu.
Lebih ideal lagi jika tenaga perancang ini dapat membentuk asosiasi di antara
mereka. Sertifikasi dapat saja dilakukan oleh asosiasi independen ini. Melalui kerja
sama dengan para ahi bahasa Indonesia, asosiasi perancang undang-undang ini
dapat menyusun suatu standar peristilahan hukum. Dengan standar ini diharapkan
kontradiksi pemaknaan istilah-istilah hukum yang seringkali menjadi celah
kelemahan perundang-undangan di Indonesia dapat diminimalisasi.
REKOMENDASI TEKNIS Jangka Panjang Rekomendasi
No. 7
PENINGKATAN KUANTITAS DAN KUALITAS LEGAL DRAFTER
DIAGNOSIS:
Perumusan suatu ketentuan normatif dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan keterampilan yang
dimiliki oleh tenaga perancang (legal drafters), yang dalam kenyataannya masih kurang secara kuantitas maupun
kualitas.
REKOMENDASI:
Jumlah dan keterampilan tenaga perancang ditingkatkan.
RENCANA AKSI:
Menetapkan sertifikasi untuk para tenaga perancang. Sertifikasi diberikan oleh asosiasi tenaga perancang undang-
undang.
DIAGNOSIS:
Masyarakat (stakeholders) sering tidak diberi akses yang cukup untuk memahami hak dan kewajibannya setelah suatu
UU berlaku. Kondisi ini menyebabkan banyak UU yang memiliki daya berlaku yuridis, tetapi tidak berdaya laku
sosiologis.
REKOMENDASI:
Mensosialisasikan secara intensif keberlakuan suatu UU, dengan melibatkan semua potensi yang ada di lingkup
pemeirntahan dan masyarakat.
RENCANA AKSI:
Menetapkan suatu pihak (badan/instansi) yang bertanggung jawab untuk sosialisasi UU tersebut. Pelaksanaan
tanggung jawab ini kemudian dievaluasi secara berkala (sebagai bagian evaluasi kinerja badan/instansi tersebut).
DIAGNOSIS:
Penyusunan Prolegnas masih dalam taraf mencatat daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan, karena daftar undang -undang yang
dituangkan melalui Propenas tersebut terbukti belum mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat (para
stakeholders).
REKOMENDASI:
Penyusunan Prolegnas dilakukan oleh sebuah institusi independen (komisi), yang salah satu tugasnya adalah secara intensif
menjaring masukan dari semua elemen masyarakat, untuk kemudian menyusunnya dalam sebuah daftar kebutuhan undang-undang.
Daftar ini hanya menjadi pedoman, tidak mengikat secara normatif sebagai hukum positif, dan secara reguler dan kontinyu
dimutakhirkan. Dengan mengacu pada daftar kebutuhan ini, selanjutnya DPR dan Pemerintah mengeluarkan Undang -Undang
APBN yang di dalamnya tercantum Repeta di bidang hukum.
RENCANA AKSI:
DPR/Presiden mengajukan usul pembentukan institusi independen (komisi) di bidang peraturan perundang -undangan.
DIAGNOSIS:
Mekanisme penyusunan sampai dengan tahap pengesahan suatu undang-undang, baik menurut Keputusan Presiden
Nomor 188 Tahun 1998 maupun menurut Peraturan Tatib DPR tidak menjamin pemberian akses yang memadai bagi
masyarakat (stakeholders) untuk dalam rangka menyampaikan aspirasi mereka.
REKOMENDASI:
Mekanisme penyusunan undang-undang dituangkan dalam sebuah produk hukum yang berlaku baik untuk undang-
undang yang berasal dari hak inisiatif DPR maupun dari hak inisiatif Pemerintah. Dalam undang-undang yang
menggantikan Algemene Bepalingen (AB) ini dicantumkan secara eksplisit hak setiap stakeholder untuk didengar
aspirasinya, dan mekanisme penyampaiannya sebagai bagian dari pengaturan “hak inisiatif” masyarakat untuk
mengajukan suatu rancangan undang-undang.
RENCANA AKSI:
DPR memprioritaskan penyusunan dan pemberlakuan UU pengganti AB (selesai 2004).
B. Indikator Penetapan Prioritas Prolegnas
Dari empat sumber program legislasi yang diteliti (Propenas, BPHN, Baleg DPR,
dan LoI), tampak bahwa prioritas perancangan undang-undang dari masing-masing
sumber didasarkan pada sudut pandang yang berbeda. Sekalipun demikian, harus
diakui bahwa kondisi objektif yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini senantiasa
mewarnai setiap usulan, seperti terlihat pada tabel di bawah:
Indikator Pemberian Prioritas Menurut Masing-Masing Sumber
Propenas BPHN Baleg DPR LoI
1. Membangun sistem 1. Keterkaitan 1. Pelaksanaan UUD Percepatan pemulihan
politik yang demokratis dengan UU lainnya 1945. ekonomi, dengan
serta mempertahankan yang sudah cara:
persatuan dan dibentuk.
kesatuan.
2. Mewujudkan 2. Mendukung 2. Pelaksanaan TAP 1. Mengontrol inflasi.
supremasi hukum dan pemulihan MPR No.
pemerintahan yang ekonomi. IV/MPR/1999
baik. tentang GBHN.
3. Mempercepat 3. Mendukung 3. Persyaratan IMF – 2. Amandemen UU
pemulihan ekonomi. demokrasi. LoI. Bank Sentral.
4. Memperkuat 4. Berasal dari 4. Perjanjian Int. 3. Pengurangan utang
landasan pembangun- zaman Hindia tentang HAM. publik.
an yang berkelanjutan Belanda.
dan berkeadilan
berdasarkan Ekonomi
Kerakyatan.
5. Membangun 5. Masalah gender. 5. Warisan Kolonial. 4. Mengurangi
kesejahteraan rakyat. Subsidi.
6. Meningkatkan 6. Sesuai dengan 6. Diskrimatif 5. Meningkatkan
kualitas kehidupan aspirasi dan (gender). pendapatan pajak.
beragama. kebutuhan rakyat.
7. Meningkatkan 7. Tidak reformis. 6. Otonomi daerah.
ketahanan budaya.
8. Meningkatkan 8. Kebutuhan rakyat 7. Menurunkan arus
pembangunan daerah. yang mendesak. modal swasta ke luar
negeri.
9. Menjaga keutuhan 8. Restrukturisasi
bangsa. Bank Pem.
10. Pemulihan 9. Privatisasi.
ekonomi,
keuangan/perbankan
dan pembangunan.
11. Kesiapan pem. 10. Keamanan
DPR dalam investasi.
mengajukan RUU.
12. Kesiapan 11. Memastikan
masyarakat untuk pengembalian aset.
melaksanakan UU.
DIAGNOSIS:
Kepentingan kelompok dan tekanan regional dan internasional mempunyai peran yang signifikan dalam penetapan
prioritas dalam Prolegnas, sehingga daftar RUU yang diprogramkan tidak secara utuh mencerminkan kebutuhan riil
masyarakat Indonesia secara luas.
REKOMENDASI:
Mengkoordinasikan penetapan Prolegnas, dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan dari para stakeholders,
termasuk desakan regional dan internasional.
RENCANA AKSI:
Memberi tugas kepada institusi independen (komisi di bidang peraturan perundang-undangan) untuk menetapkan
Prolegnas secara aspiratif dan responsif sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat Indonesia (sejalan arahan politik
hukum nasional).
DIAGNOSIS:
Prolegnas yang dicantumkan dalam Propenas, BPHN, Baleg DPR, dan LoI berangkat dari sejumlah indikator yang
berbeda penekanannya, namun pada dasarnya bermuara kepada tiga faktor utama, yaitu adanya: (a) desakan untuk
memberi respons terhadap tuntutan reformasi di bidang hukum, (b) anggapan bahwa pemulihan ekonomi tidak
mungkin berjalan tanpa didukung oleh pembenahan perangkat hukum positif, (c) urgensi untuk menyikapi
perkembangan regional dan global.
REKOMENDASI:
Indikator Prolegnas dalam jangka panjang tidak boleh sekadar merespons kondisi “darurat” yang cenderung
pragmatis.
RENCANA AKSI:
Menyusun politik hukum nasional untuk jangka panjang, yang kemudian dijabarkan menjadi politik hukum jangka
menengah dan jangka pendek. Di dalamnya secara jelas terlihat penekanan-penekanan indikator Prolegnas menurut
kebutuhan tiap-tiap periode.
Tabel yang disajikan dalam subbab ini akan menunjukkan data tentang bidang-
bidang Prolegnas, yaitu: (1) hukum, (2) ekonomi, (3) politik, (4) agama, (5) pendidikan,
(6) sosial dan budaya, (7) pembangunan daerah, (8) sumber daya alam dan lingkungan
hidup, serta (9) pertahanan dan keamanan. Dilihat dari prioritas undang-undang per
bidang yang dikemukakan, tampak posisinya sebagai berikut:
1. Bida ng Ekonomi
Rapuhnya fundamen ekonomi Indonesia sudah disuarakan sejak lama oleh para
ahli, sejak rejim Orde Baru menjadikan hutang luar negeri sebagai andalan
pembangunan. Sektor perbankan juga tidak kunjung sehat, yang berakibat menjadi
beban anggaran yang sangat berat bagi Pemerintah. Di sisi lain, sektor riil juga tidak
dapat bergerak optimal selama sektor moneter belum terbenahi. Efek dominonya adalah
menurunnya minat investasi, meningkatnya jumlah pengangguran, dan dengan
sendirinya menurunkan tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat.
Dari tabel di atas, tampak bahwa dominasi RUU yang diprioritaskan berada
dalam wilayah ekonomi. Hal ini dapat dipahami, karena keempat sumber (Propenas,
BPHN, Baleg DPR, dan LoI) memang memberi penekanan pada sudut ini. Rupanya
sangat kuat melekat pada benak para pengusul RUU itu, bahwa kemunduran sektor
ekonomi memang perlu segera diatasi sesegera mungkin (jangka pendek). Dan, undang-
undang adalah instrumen penting untuk mengatasi kemelut ekonomi ini.
Sayangnya, perumusan undang-undang di bidang ekonomi ini seringkali tidak
dilakukan secara hati-hati dengan pendekatan sistemik. Dalam diskusi kelompok tatkala
Lokakarya II Kelompok Kerja C-3 diadakan, terdapat keluhan dari seorang peserta dari
Departemen Kehakiman dan HAM, bahwa departemen-departemen teknis seringkali
terlalu “memaksakan kehendak” atas suatu klausula, padahal tidak mereka sadari
bahwa pencantuman klausula yang tidak dikaji secara sistematis itu akan mencederai
sistem hukum Indonesia.
Apa yang dikeluhkan ini cukup beralasan karena terbukti beberapa undang-
undang yang dihasilkan lima tahun terakhir ini di sektor ekonomi, ternyata
mengandung kontradiksi mendasar dengan produk hukum lainnya. Hal ini tanpa
disadari telah berpeluang menciptakan celah-celah hukum untuk dimanfaatkan pihak-
pihak yang beritikad tidak baik. Undang-Undang Yayasan yang belum sempat berlaku
efektif, misalnya, terpaksa harus ditinjau ulang. Demikian juga dengan tuntutan untuk
mengubah Undang-Undang tentang Kepailitan, Pengadilan Niaga, Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Perlindungan Konsumen, dan seterusnya.
Artinya, alih-alih ingin memproduksi peraturan yang menggairahkan bidang ekonomi,
yang terjadi justru melahirkan bumerang ketidakpastian hukum di sektor ekonomi.
3. Bidang Hukum
Bidang hukum ditempatkan pada sektor prioritas nomor tiga. Wajah buruk
hukum Indonesia menjadi hiasan media massa hampir setiap hari. Premanisme,
anarkisme, vandalisme, ketidakdisiplinan lalu lintas, pungutan liar, adalah wujud-
wujud konkret ketidakpercayaan masyarakat kepada hukum. Aparat penegak hukum
yang tidak profesional dan korup, yang terang-terangan melanggar etika luhur
profesinya, telah menambah kelabunya kondisi sektor hukum.
Ada keinginan kuat untuk mengubah keadaan ini dengan menciptakan produk
hukum seperti Undang-Undang Advokat, Notaris, dan profesi lainnya. Bahkan,
diusulkan tentang Undang-Undang Kode Etik Hakim, yang oleh banyak pengamat
dipandang berpotensi akan mengaburkan kekuatan mengikat profesi itu secara legal
dan moral. Muncul pertanyaan, misalnya, apakah akibat pelanggaran etika, seseorang
dapat dipidana?
Ketidakpercayaan terhadap lembaga -lembaga pengadilan memunculkan pula
badan-badan semiyudikatif, dengan nama komisi atau badan penyelesaian sengketa.
Keberadaan badan-badan ini juga direkomendasikan dalam Prolegnas, seperti dalam
Undang-Undang Komisi Anti Korupsi. Untuk profesi seperti dokter, akuntan, dan
pengacara/advokat, disarankan juga untuk membentuk badan-badan penyelesaian
sengketa internal profesi tersebut.
Jika diperhatikan judul-judul yang muncul dari daftar Lampiran VII dan VIII,
tampak bahwa sektor ini didominasi oleh pembangunan sectoral laws, dan hanya sedikit
yang mengarah ke basic laws. Pembangunan hukum dasar biasanya mengarah kepada
kodifikasi-kodifikasi hukum. Memang benar ada usulan dari Propenas, BPHN, dan
Baleg DPR untuk pembentukan UU tentang hukum acara perdata. Namun, untuk
pembentukan KUH Perdata, sendiri hanya Propenas yang mengusulkan, sementara
BPHN, tidak. Hal ini agak aneh karena kedua kodifikasi ini sebenarnya sudah sejak
lama diperjuangkan oleh figur-figur penting di BPHN (antara lain oleh mantan Kepala
BPHN Teuku Mohammad Radhie). Bahkan tatkala T.M. Radhie memimpin lembaga ini,
ia mengusulkan agar dilengkapi kodifikasi untuk semua basic laws karena sejak
Indonesia merdeka, hanya ada satu kodifikasi produk alam kemerdekaan, yakni UU No.
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam Lokakarya I, diakui oleh narasumber dari P3I DPR RI, bahwa dari pihak
Baleg DPR sendiri ada pemikiran untuk menunda rancangan undang-undang yang
terkait dengan basic laws ini. Alasannya lebih pada keterbatasan waktu, mengingat masa
kerja anggota DPR ini sendiri hanya sampai tahun 2004. Dikhawatirkan pembahasan
RUU ini akan memakan waktu lama dan berlarut-larut. Padahal, dalam Propenas
amanat untuk merancang ulang produk hukum berkualifikasi basic laws ini juga
dicantumkan.
Dalam Propenas memang dicantumkan juga rancangan untuk mengubah
KUHAP dan KUHP. Untuk perubahan terhadap KUHAP, ketiga sumber yakni
Propenas, BPHN, dan Baleg DPR mempunyai satu suara. Sementara untuk KUHP,
Propenas mengusulkan agar dilakukan perubahan, sementara BPHN meminta agar
dibentuk baru.
Dari bidang ekonomi, ada disebutkan judul RUU tentang perdagangan. Memang
tidak jelas di sini, apakah yang dimaksud adalah kodifikasi seperti layaknya KUHD.
Usul pembentukannya dimajukan oleh tiga sumber (Propenas, BPHN, dan Baleg DPR).
Pembangunan aspek basic laws memang membutuhkan pengkajian mendalam,
sehingga mungkin tidak sepenuhnya tepat ditempatkan sebagai prioritas jangka pendek
sampai tahun 2004. Kendati demikian, wacana tentang perlunya basic laws ini harus
didengungkan sejak jauh-jauh hari, mengingat keberadaan hukum-hukum dasar inilah
yang menjadi payung sectoral laws.
Perdebatan tentang mana yang lebih primer antara kodifikasi dan modifikasi
hukum sudah selayaknya ditinggalkan karena sesungguhnya keduanya sama
pentingnya. Persoalannya memang, dalam keterbatasan sumber daya dan dana
sekarang ini, gerakan modifikasi hukum (yang biasanya lebih diarahkan kepada
pembentukan hukum sektoral) akan lebih diprioritaskan. Penundaan pembangunan
basic laws sebaiknya tidak boleh lebih lama dari lima tahun ke depan. Sebab,
pertumbuhan hukum-hukum sektoral yang tidak didasari oleh pilar-pilar basic laws
yang kuat akan berpotensi merusak sistem hukum nasional Indonesia.
4. Bidang Politik
Bidang politik selanjutnya menempati prioritas keempat. Kisaran areal RUU
yang diajukan di bidang ini ternyata sangat bervariasi. Aroma “reformasi politik”
sangat kuat berhembus dari sektor ini, sebagaimana tampak dari keinginan untuk
mengubah peraturan di bidang partai politik, susduk MPR, DPR, dan DPRD. Lalu, juga
muncul keinginan untuk mengatur lebih jauh lembaga kepresidenan, contempt of
parliament, dan tindakan kepolisian terhadap anggota DPR/DPRD. Hampir dapat
dipastikan, jenis-jenis RUU seperti ini tidak mungkin muncul sebagai prioritas pada era
Orde Baru.
Sangat menarik, bahwa pembentukan dan perubahan terhadap RUU di bidang
politik justru lebih banyak datang dari Propenas dan BPHN, dan sedikit saja dari Baleg
DPR. Pada sektor ini sumber di Baleg DPR hanya mengusulkan pembentukan RUU
tentang susdik MPR, DPR, DPRD, lalu tentang peran serta masyarakat (dalam
berpolitik), tentang hubungan antar-lembaga tinggi negara, dan tentang diskriminasi
terhadap hak-hak minoritas. Makin menguatnya gejala politik aliran dan semangat
kedaerahan, membuat muncul usulan-usulan agar dibuat undang-undang tentang
peran serta masyarakat, hubungan wakil rakyat dan rakyat, dan sebagainya.
Fenomena penempatan aturan-aturan di bidang politik pada prioritas keempat
dapat dipandang sebagai pergeseran yang signifikan. Namun, jika dilihat dari segi
jumlah RUU antara prioritas ketiga (sektor hukum) dan prioritas keempat (politik) tidak
terpaut jumlah RUU yang cukup banyak. Artinya, pembangunan sektor politik
sebenarnya tetap mendapat perhatian penting, dan mungkin sekali akan menemukan
momentum urgensinya untuk didahulukan daripada sektor-sektor lain, mengingat
tahun 2004 nanti berlangsung pemilihan umum.
8. Konvensi Internasional
Tuntutan regional dan global dalam penyusunan Prolegnas juga diakomodasi
secara luas, sebagaimana terlihat dari amanat untuk meratifikasi sejumlah konvensi
internasional. Dalam Propenas, misalnya, tercatat beberapa konvensi yang sebenarnya
sudah ada lebih dari sepuluh tahun lalu. Bahkan, konvensi tentang perbudakan telah
dibuat tahun 1926. Desakan agar Indonesia membuka diri untuk bergabung dengan
negara-negara peratifikasi lainnya, terutama datang dari masyarakat internasional, atau
melalui mitra mereka di Indonesia dari unsur LSM.
Di luar konvensi, undang-undang yang bersifat sektoral juga banyak yang
“wajib” segera dibuat demi memenuhi desakan pihak-pihak luar negeri. Undang-
Undang Anti Terorisme, misalnya, adalah salah satu bentuk undang-undang yang
didesakkan untuk segera diwujudkan. Dalam Lokakarya II Kelompok Kerja C-3,
memang ada bantahan seorang peserta dari Departemen Kehakiman dan HAM, bahwa
undang-undang ini sebenarnya sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelum peristiwa “11
September 2001”. Namun, ia mengakui bahwa tekanan Amerika Serikat memang cukup
besar agar Indonesia segera menelurkan undang-undang tersebut.
Pembagian per bidang menurut kategorisasi Propenas tersebut sebenarnya tidak
cukup sistematis untuk membagi sektor-sektor yang ada. Seharusnya bidang-bidang
tersebut cukup dibagi menjadi: (1) hukum, (2) ekonomi, (3) sosial politik, (4)
kesejahteraan rakyat, dan (5) pertahanan dan keamanan. Dari kategori Propenas,
sebaiknya sosial budaya dapat digolongkan menjadi kesra, demikian juga dengan
agama dan pendidikan. Sementara itu, sektor pembangunan daerah dapat masuk ke
berbagai bidang, seperti sosial politik, hukum, ekonomi, dan kesra.
REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang Rekomendasi
No. 4
PRIORITAS BIDANG-BIDANG PROLEGNAS
DIAGNOSIS:
Prolegnas memberikan prioritas yang sebaran bidangnya tidak merata, dan sangat didominasi oleh RUU sektor
ekonomi dengan pendekatan kebutuhan jangka pendek dan pragmatis.
REKOMENDASI:
Walaupun tidak harus dicantumkan dalam produk hukum berbentuk undang-undang, perhatian harus diberikan
secara lebih merata untuk bidang-bidang lain di luar ekonomi. Sebaran bidang dan alokasi anggaran untuk penyiapan
RUU dibuat lebih merata, dengan juga memperhatikan kepentingan jangka menengah dan jangka panjang.
RENCANA AKSI:
Memberi tugas kepada institusi independen (komisi di bidang peraturan perudang-undangan) untuk menyusun
Prolegnas yang lebih merata, sehingga tidak didominasi bidang ekonomi dengan pendekatan kebutuhan jangka pendek
dan pragmatis.
BAB V
KESIMPULAN
1. Penyusunan Prolegnas masih dalam taraf mencatat daftar keinginan, bukan daftar
kebutuhan, karena daftar undang-undang yang dituangkan melalui Propenas
tersebut terbukti belum mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan riil
masyarakat (para stakeholders). Proses pembentukan, perubahan (revisi), dan
pencabutan suatu undang-undang dalam kenyatakaan belum memberikan akses
yang seimbang kepada setiap stakeholder dalam menyuarakan kepentingannya. Di
samping itu, Mekanisme penyusunan sampai dengan tahap pengesahan suatu
undang-undang, baik menurut Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 maupun
menurut Peraturan Tatib DPR tidak menjamin pemberian akses yang memadai bagi
masyarakat (stakeholders) dalam rangka menyampaikan aspirasi mereka. Penelitian
hukum sebagai kunci untuk menyerap aspirasi dan memahami hukum yang hidup
di masyarakat (living law), belum diorganisasi secara baik, sehingga tidak banyak
memberi kontribusi bagi penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu substansi
undang-undang.
2. Prolegnas yang dicantumkan dalam Propenas, BPHN, Baleg DPR, dan LoI berangkat
dari sejumlah indikator yang berbeda penekanannya, namun pada dasarnya
bermuara kepada tiga faktor utama, yaitu adanya: (a) desakan untuk memberi
respons terhadap tuntutan reformasi di bidang hukum, (b) anggapan bahwa
pemulihan ekonomi tidak mungkin berjalan tanpa didukung oleh pembenahan
perangkat hukum positif, (c) urgensi untuk menyikapi perkembangan regional dan
global. Bervariasinya indikator yang digunakan menunjukkan ketidakjelasan politik
hukum Indonesia, khususnya yang terkait dengan politik pembentukan hukum.
Penerapan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000—
2004 ternyata juga tidak efektif. Indikator ketidakefektifan itu dapat diamati dari
beberapa hal. Pertama, jumlah undang-undang yang diproduksi kurun waktu
2000—2002 ternyata hanya sekitar seperempat dari jumlah keseluruhan produk
yang direkomendasikan Propenas. Untuk kurun waktu 2003—2004, dipastikan
bahwa pemenuhan dari target Propenas juga tidak akan tercapai. Kedua,
berdasarkan data yang diperoleh dari depa rtemen/LPND, diketahui bahwa
sebagian dari rancangan undang-undang yang diprogram untuk periode 2003—2004
sebagian besar tidak sesuai dengan rekomendasi Propenas. Kondisi demikian terjadi
karena memang ada kebutuhan mendesak yang diserap oleh departemen/LPND,
yang sebelumnya tidak terakomodasikan oleh Propenas. Di luar itu, terdapat
tekanan eksternal (pihak internasional) yang cukup berperan dalam pergantian
prioritas pembentukan, perubahan, dan pencabutan suatu undang-undang.
3. Prolegnas memberikan prioritas yang sebaran bidangnya tidak merata, dan sangat
didominasi oleh RUU sektor ekonomi dengan pendekatan kebutuhan jangka
pendek. Kepentingan kelompok dan tekanan internasional mempunyai peran yang
signifikan dalam penetapan prioritas dalam Prolegnas, sehingga daftar RUU yang
diprogramkan tidak secara utuh mencerminkan kebutuhan riil masyarakat
Indonesia secara luas. Dasar untuk menentukan apakah suatu undang-undang
harus dibentuk baru, direvisi, atau dicabut, tidak didasarkan pada kajian mendalam.
Juga terda pat kecenderungan untuk sangat menitikberatkan pembangunan hukum
di sektor ekonomi dengan pola pembentukan sebagai pilihan utama dibandingkan
dengan pola perubahan. Bahkan pola pencabutan sama sekali tidak ikut
diperhitungkan, padahal diakui bahwa keberadaan produk hukum warisan kolonial
adalah salah satu indikator (alasan) diluncurkannya Prolegnas. Hal ini menunjukkan
bahwa pendekatan sistemik untuk menjalankan Prolegnas belum secara sungguh-
sungguh diperhatikan. Produk hukum baru terus dibentuk, tanpa menyadari
apakah telah terjadi inkonsistensi secara vertikal maupun horisontal dalam tata
hukum Indonesia.
BAB VI
REKOMENDASI
A. Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan dalam Prolegnas mengharuskan adanya penetapan
rentang waktu yang agak panjang (5 s.d. 10 tahun). Dalam rekomendasi disebutkan
perlunya ada sebuah institusi independen (komisi) di bidang perarturan perundang-
undangan. Pembentukan komisi ini, mengingat masih dalam tataran konsep, tentu
memerlukan landasan kebijakan terlebih dulu, sebelum akihirnya sampai pada tahap
teknis. Kebijakan tersebut dalam arti perlunya persiapan yang matang. Landasan
hukum pendiriannya harus jelas, dalam hal ini berupa undang-undang, yang dengan
sendirinya memerlukan waktu cukup lama. Belum lagi proses penunjukan
keanggotaan, yang melibatkan lembaga DPR dan Pemerintah.
DPR dan Pemerintah sebagai dua lembaga pembentuk undang-undang
menetapkan politik hukum nasional. Untuk menetapkan politik hukum ini, DPR dan
Pemerintah dibantu oleh institusi independen (komisi di bidang peraturan perundang-
undangan) yang secara khusus diberi tugas menjabarkannya menjadi daftar kebutuhan
undang-undang (baca: Prolegnas) untuk dijadikan pedoman penyusunan Repeta.
Walaupun tidak harus dicantumkan dalam produk hukum berbentuk undang-
undang, perhatian harus diberikan secara lebih merata untuk bidang-bidang lain di luar
ekonomi. Sebaran bidang dan alokasi anggaran untuk penyiapan RUU dibuat lebih
merata, dengan juga memperhatikan kepentingan jangka menengah dan jangka
panjang.
Salah satu tugas dari institusi independen yang disinggung di atas adalah
mengkoordinasikan penetapan Prolegnas, termasuk pemerataan bidang-bidang dan
penyebaran alokasi anggarannya. Demikian juga penyelarasan kepentingan-
kepentingan para stakeholders yang terlibat, serta antara dimensi domestik, regional, dan
internasional.
Dasar penetapan untuk membentuk, merevisi, dan mencabut suatu undang-
undang dijadikan sebagai bagian penting penelitian yang dimasukkan ke dalam naskah
akademik yang mendampingi pengajuan suatu RUU.
B. Rekomendasi Teknis
Selain terkait masalah substansi, penyusunan dan perumusan suatu undang-
undang juga harus memperhatikan aspek teknis. Di sini berperan para tenaga
perancang undang-undang (legal drafters). Kuantitas dan kualitas tenaga perancang di
Indonesia saat ini masih sangat kurang. Di sisi lain, standar kualitas perancangan inipun
harus ditetapkan pula. Untuk keperluan standarisasi tersebut, perlu ada sertifikasi
khusus yang diberikan oleh asosiasi tenaga perancang undang-undang.
Mekanisme sosialisasi suatu undang-undang juga perlu diberi perhatian dalam
mengoptimalkan efektivitas keberlakuan suatu undang-undang. Biasanya, ada
ketidakjelasan kepada siapa beban sosialisasit tersebut harus diletakkan. Akan jauh
lebih baik apabila dalam undang-undang tersebut, disebutkan secara eksplisit
pihak/instansi yang diberi tugas sosialisasi ini.
Penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu undang-undang wajib ditunjang
oleh hasil penelitian hukum yang sungguh-sungguh komprehensif dan mendalam, baik
dari sudut subtansi maupun metodologinya. Hasil penelitian ini merupakan salah satu
dasar untuk penyusunan naskah akademik, dan keberadaan naskah akademik ini
dinyatakan sebagai prasyarat wajib (bukan sekadar anjuran) untuk pembuatan sebuah
undang-undang.
Mekanisme penyusunan undang-undang dituangkan dalam sebuah produk
hukum yang berlaku baik untuk undang-undang yang berasal dari hak inisiatif DPR
maupun dari hak inisiatif Pemerintah. Dalam undang-undang yang menggantikan
Algemene Bepalingen (AB) ini dicantumkan secara eksplisit hak setiap stakeholder untuk
didengar aspirasinya, dan mekanisme penyampaiannya sebagai bagian dari pengaturan
“hak inisiatif” masyarakat untuk mengajukan suatu rancangan undang-undang.
Undang-undang pengganti AB ini direkomendasikan untuk dapat diberlakukan paling
lambat tahun 2004.
Rekomendasi kebijakan dan rekomendasi teknis di atas secara lebih rinci
dicantumkan dalam tabel-tabel di bawah ini dengan rentang waktu jangka panjang (5
– 10 tahun) dan pendek (1–2 tahun).
MEKANISME KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI
PROSES DALAM
Membantu menyususn RUU Usul Inisiatif BADAN LEGISLASI
JUMLAH DAN
RUU TIM PRIORITAS RUU
TAHAPAN RUU
DPR
ASISTENSI BADAN LEGISLASI DPR
REKOMENDASI
PRIORITAS
BAMUS DAN RUU KONSULTASI PIMPINAN DPR
KOMISI NASIONAL DAN PEMERINTAH
MEKANISME PENYIAPAN RUU INISIATIF DI BADAN LEGISLASI DPR RI
Tim Asistensi menyusun / Tim asistensi presentasi di depan rapat Tanggapan anggota Baleg dan
menyempurnakan konsep RUU Usul Baleg/bidang yang bersangkutan + pembentukan Tim Perumus
Adanya Usul Inisiatif Inisiatif pengusul
Diskusi dengan: TIMUS + Tim Asistensi menyusun draf II 1. TIMUS + TIM ASISTENSI
1. Pakar dan disampaikan kepada anggota Baleg menjelaskan draf dalam rapat Tim Perumus dan Tim Asistensi
2. Pejabat Pemerintah Baleg Menyusun Draf I
3. Non Pemerintah 2. Tanggapan anggota Baleg
TIMUS + Tim Asistensi TIMUS + Tim Asistensi Laporkan ke TIMUS + Tim Asistensi menyusun draf IV Draf IV diputuskan Baleg dan
menyusun draf III Baleg dan tanggapan dari Baleg disetujui draf final RUU Usul
Inisiatif
Pengusul memberi penjelasan di Pengusul memberikan penjelasan di Masuknya Usul RUU Inisiatif Dengan pengantar yang
dalam rapat Paripurna dalam rapat Badan Musyawarah diumumkan di dalam Rapat ditandatangani para pengusul,
disampaikan kepada pimpinan
Paripurna DPR RI DPR RI
Altman, Andrew. 2001. Arguing about Law: An Introduction to Legal Philosophy. Edition 2.
Belmont: Wadsworth Publishing Co.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 1996. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem
Hukum Indonesia . Jakarta: Raja Grafindo Persada (Rajawali Pers).
Fuller. Lon F. 1964. The Morality of Law. New Haven: Yale University Press.
Giddens, Anthony. The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. Terjemahan
Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000).
Gaffar, Firoz & Ifdhal Kasim, Eds. 2000. Diagnostic Assessment of Legal Development in
Indonesia. Cet. 4. Jakarta: Cyberconsult.
_________. 1976. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional : Suatu Uraian
tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia.
Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH Unpad.
_________. 1994. “Asas, Tata Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang -undangan
dan Peraturan Kebijakan.” Makalah disajikan dalam ceramah di Departemen
Perdagangan dan Energi, Jakarta, 8 April.
Peters, A.A.G. & Koesriani Siswosoebroto. 1988. Hukum dan Perkembangan Sosial: Buku
Teks Sosiologi Hukum (Buku I-III). Jakarta: Sinar Harapan.
Rasjidi, Lili & I.B. Wyasa Putra. 1993. Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Shidarta. 1999. Dasar-dasar Filsafat: Pengantar Mempelajari Filsafat Hukum. Jakarta: UPT
Penerbitan Universitas Tarumanagara.
_________. 2000. “Quo Vadis Aliran Filsafat Hukum Indonesia?” dalam: Sekretariat
Laboratorium Pancasila. Ed. Menyambut HUT 80 Tahun Prof. Darji Darmodiharjo:
Pemikiran, Karya dan Pengabdiannya (dalam Lintasan Wawasan dan Kesan Sejawat dan
Sahabat). Malang: Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang, hlm. 331-
365.
Soekanto, Soerjono. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta:
Rajawali Pers.
Status Jumla
Bidan Dep/
No Nama RUU Bentu Uba Cab h
g LPND
k h ut RUU
1. Organisasi kemasyarakatan √ Polka Depdagri 14
m
2. Linmas √
3. Perubahan Undang-Undang No. 2 √
tahun 1999 tentang Partai Politik
4. Perubahan UU No. 4 tahun 2000 √
tentang Pemilu
5. Perubahan UU No. 4 tahun 1999 √
tentang susunan dan kedudukan
MPR, DPR, DPRD.
6. Otonomi bagi propinsi Papua √
7. Badan Usaha Milik Daerah √
(BUMD)
8. Batas Wilayah Negara Kesatuan √
R.I.
9. Pembentukan Kabupaten dan 3 √
Kota
10. Rekonsiliasi nasional √
11. Hubungan etnisitas dengan negara √
12. Diskriminasi dan perlindungan hak- √
hak asasi minoritas
13. Perubahan UU No. 27 tahun 1999 √
tentang Pemerintah Daerah
14. Perubahan UU No. 25 tentang √ Polka Deparlu 4
perimbangan keuangan pemerintah m
dan daerah
15. Pengesahan “Viena convention of √
the law of treaties 1969 (konvensi
Wina tentang hukum perjanjian
internasional 1969)
16. Ratifikasi teks of 1951 convention √
relating to the status of refugees.
17. Pengesahan international economic, √
social and cultural rights.
18. Pengesahan international convenant √
on civil and political rights.
19. Keadaan bahaya √ Polka Dephan 8
m
Status Jumla
Bidan Dep/
No Nama RUU Bentu Uba Cab h
g LPND
k h ut RUU
20. Pertahanan negara √
21. Prajurit TNI √
22. Peradilan militer √
23. Hukum pidana militer √
24. Hukum disiplin prajurit TNI √
25. Rahasia negara √
26. Batas wilayah negara RI √
27. KUHAP √ Polka Depkeh 39
m
28. Komisi pemberantasan tindak √
pidana korupsi
BIDANG POLITIK
BIDANG EKKUINBANG
I. PERBANKAN
1. Obligasi DEPKEU v
2. Perubahan UU No. 10 /1998 Ttg Perbankan BI v
3. Perkreditan Perbakan BI v
4. Lemabaga Pengawas Jasa Keuangan DEPKEU v
5. Money Laundering DEPKEH & HAM v UU No. 15/2002
II. BPK
6. Badan Pemeriksa Keuangan BPK v
7. Tata Cara Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan S.d.a v
8. Perbendaharaan Negara/Keuangan Negara DEPKEU v Masih dibahas
III. APBN
9. Pedoman Tata Cara Penyusunan APBN DEPKEU v
10 Pinjamam Luar Negeri S.d.a v
11. Perubahan terhadap UU No. 9/1994 Ttg Perubahan v
UU No. 6/1983 Ttg Ketentuan Umum dan Tata Cara UU No.
Perpajakan
16/2000
12. Perubahan UU No. 10/1994 Ttg Perubahan UU No. Sd.a v
7/1983 Ttg Pajak Penghasilan. UU No.
17/2000
13. Perubahan UU No. 11/1994 Ttg PerubahanUU S.d.a v
No.8/1983 Ttg Pajak Pertambahan Nilai atas Barang UU No.
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
18/2000
14. Perubahan UU No. 17/1997 Ttg Badan Penyelesaian S.d.a v
Sengketa Perpajakan Masih
dibahas
15. Rahasia Dagang S.d.a v UU No. 30/2000
16. Perubahan UU Ttg Kepailitan S.d.a v Perintah letter of
intent IMF
17. Perubahan UU No. 12/1997 Ttg Perubahan UU Ttg S.d.a v Perintah letter of
Hak Cipta intent IMF
18. Perubahan UU No. 13/1997 Ttg Perubahan UU No. S.d.a v UU No. 14/2001 S.d.a
6/1989 Ttg Paten
19. Perubahan UU No. 14/1997 Ttg Perubahan UU No. S.d.a v UU No. 15/2001 S.d.a
19/1992 Ttg Merek
20. Desain Tata Letak Sirkit Terpadu S.d.a v UU No. 32/2000 S.d.a
21. Desain Produk Industri S.d.a v UU No. 31/2000 S.d.a
22. Kelautan DEPLAUT v
23. Perubahan UU No.18/1987 Ttg Pajak dan Retribusi DEPKEU +DAGRI v UU No. 34/2000
Daerah
24. Perusahaan Daerah INDAG v
25. Perubahan UU No. 9/1995 Ttg Usaha Kecil DEPKOP v
26. Inventasi/ Penanaman Modal MINVES v
27. BKPM S.d.a v
28. Pertenakan DEPTAN v Usulan Komisi III
29. Perikanan S.d.a v s.d.a
30. Perkebunan S.d.a v s.d.a
31. Perubahan UU No. 8/1995 Ttg Pasar Modal DEPKEU v
32. Air Minum dan Penyehatan Lingkungan MUKIM v
Pemukiman
33. Perubahan UU No. 5/1984 Ttg Perindustrian INDAG v
34. Perdagangan S.d.a v
35. Pos DEPHUB v
36. Ketentuan Pelaksanaan Pembuangan Limbah ke MENLH v
Media Lingkungan dan Pembuangan Limbah dari
Luar Wilayah Indonesia ke Media Lingkungan
Hidup Indonesia
37. Minyak dan Gas Bumi DEP TAMBEN v UU No. 22/2001
38. Perubahan UU No./111967 Ttg Pokok-Pokok S.d.a v
Pertambangan
39. Pengelolaaan dan Pemanfaatan Energi S.d.a v
40. Pengelolaaan dan Pemanfaatan Energi S.d.a v
41 Geologi S.d.a v
42. Perubahan UU No. 1/1995 Ttg Perseroan Terbatas KUMDANG v
43. Bentuk Badan Usaha di Luar Perseroan Terbatas s.d.a v
dan Koperasi
44. Holding Company DEPKEH & HAM v
45. Surat Beharga s.d.a v
46. Pengurusan Piutang Negara s.d.a v
47. Akuntan Publik s.d.a v
48. Lelang sebagai pengganti Vendureglement s.d.a v
49. Pengusutan Piutang Negara sebagai pengganti UU s.d.a v
No. 49 Prp tahun 1960
50. Mata Uang s.d.a v
51. Likuidasi Bank s.d.a v
52. Perubahan UU No. 25/1992 Ttg Perkoperasian DEPKOP & PKM v
53. Keperantaraan dalam Perniagaan DEPKEH & HAM v
54. Badan Urusan Logistik INDAG v
55. Pembangunan Kota dan Desa DEP. PU v
56. Sub Kontrakting DEP. PU v
57. Bangunan Gedung s.d.a v Masih dibahas
58. Perubahan UU No. 11/1974 Ttg Pengairan s.d.a v
59. Pengelolaan Bangunan Negara dan Rumah Tangga s.d.a v
60. Perubahan UU No.13/ 1980 Ttg Jalan s.d.a v
61. RUU Tanggung Jawab Pengangkutan Udara DEP. HUB v
62. Keantariksaan Nasional POSTEL v
63. Badan Penyelesaian Perselisihan Industrial NAKER v Masih dibahas
64. Penyempurnaan UU No. 25/1997 Ttg Ketenaga s.d.a v UU No. 28/2000
kerjaan
65. Penyempurnaan UU No 3/1992 Ttg Jamsostek s.d.a v
66. Pokok-pokok Konservasi Tanah dan Air DEPHUT v
67. Ketentuan Mengenai Pelimpahan Wewenang MENEG LH v
Pengelolaan Lingkungan Hidup Tertentu Pada
Wilayah dan Mengikutsertakan Pemda
68. Revisi terhadapUU yang terkait erat dengan MENEG LH v
pengelolaan/pemanfaatan kawasan konservasi
69. Perlindungan Varietas tanaman DEPTAN v v UU No. 29/2000
70. Penyempurnaan UU No 6/1967 Ttg Ketentuan s.d.a v
Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan
71. Jaminan Hak Hipotek Sekunder s.d.a v
72. Multi Level Marketing v
Lampiran 3
B. Bidang Ekonomi:
33 Usaha Kecil v
34 Perseroan Terbatas v
35 Wajib Daftar Perusahaan v
36 Perbankan v
37 Pajak dan Retribusi Daerah v UU No. 34/2000
38 Pasar Modal v
39 PMDN v
40 Ketenagalistrikan v Masih dibahas
41 Kepailitan v
42 Pariwisata v
43 Perkreditan Perbankan v
44 Surat Utang/Obligasi v
45 Restrukturisasi Perbankan v
46 Likuidasi Bank v
47 BUMN v
48 Perusahaan Daerah v
49 Perdagangan v
50 Keuangan Negara v Masih dibahas
51 APBN 2001-2004 v UU No. 2/2000
52 Tata Cara Penyusunan APBN v
53 Pencucian Uang (Money Laundring) v UU No. 15/2002
54 Pinjaman Luar Negeri v
55 Teknologi Informasi (Cyber Law) v
56 Perbendaharaan Negara (pengganti ICW) v Masih dibahas
57 Badan Pengadilan Pajak v Sudah disahkan
belum LN
58 Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara v Masih dibahas
59 Terkait dengan Perpajakan:
a. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan v UU No. 16/2000
b. Pajak Penghasilan v
c. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan v UU No. 17/2000
Pajak Penjualan atas Barang Mewah v UU No. 18/2000
d. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa v
e. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan v UU No. 19/2000
UU No. 20/2000
C. Bidang Politik:
60 Partai Politik v
61 Keimigrasian v
62 Pemilihan Umum v UU No. 4/2000
63 Susduk MPR, DPR, dan DPRD v
64 Penyiaran v Masih dibahas – inisiatif
DPR
65 Hukum Disiplin Prajurit ABRI v
66 Prajurit ABRI v
67 Ekstradisi v
68 Ketentuan Pokok Kearsipan v
69 Organisasi Kemasyarakatan v
70 Pokok-Pokok Kepegawaian v
71 Pencari Kebenaran dan Rekonsiliasi v
72 Lembaga Kepresidenan v
73 v
Contempt of Parliement
74 v
Tindakan Kepolisian Terhadap Anggota
DPR/DPRD
75 v
Pemerintahan Pusat
76 v
Kepegawaian Daerah
77 v
Etika Pemerintahan
78 v
Peran Serta Masyarakat
79 v
Wajib Serah Arsip/Dokumen
80 v
Transparansi dan Kebebasan Memperoleh
Informasi
81 v
Kepegawaian Polri
82 v
Hubungan Antar-Lembaga Tinggi Negara
D. Bidang Agama:
83 v
Perkawinan
84 v
Pengelolaan Zakat
85 v
Kerukunan Umat Beragama
86 v
Hukum Terapan Peradilan Agama
E. Bidang Pendidikan:
87 v
Sistem Pendidikan Nasional
Lampiran 5
Sampai dengan awal Juli 2002, ada sebanyak 35 UU telah disahkan yang tidak termasuk dalam daftar Propenas. Dengan demikian presentasi
penyimpangan ini dibandingkan dengan jumlah RUU Propenas yang 120 UU, adalah sebesar 29,2%. Angka ini bisa menjadi lebih besar lagi
apabila dibandingkan dengan Repeta dan prosentasi RUU secara keseluruhan yang masih tersisa 3 tahun ke depan. Sebagai perbandingan, UU
untuk tahun 2000 yang terealisir adalah sebanyak 48 UU, 19 UU diantaranya adalah di luar Propenas (39,6%). Untuk tahun 2001, ada sebanyak 14
UU dari 27 UU yang berada di luar Propenas atau 51,85%. Sedangkan untuk tahun 2002, sampai dengan awal bulan Juli dari 15 UU yang telah
direalisir, 11 diantaranya adalah di luar Propenas (73,33%).
2000 80 48
2001 91 27
2002 33 15 Sampai dengan
bulan Juli
REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang
(5-10 TAHUN)
2 Bervariasinya indikator yang digunakan Penetapan politik hukum nasional oleh Menyelenggarakan suatu seminar
menunjukkan ketidakjelasan politik hukum DPR dan Pemerintah sebagai dua hukum nasional secara berkala
Indonesia, khususnya yang terkait dengan lembaga pembentuk undang-undang. (tahunan) yang diorganisasikan
politik pembentukan hukum. Politik hukum ini, sebagai suatu arahan oleh DPR dan Pemerintah, dengan
kebijakan, dikonsultasikan secara berkala target untuk menetapkan politik
kepada semua lapisan masyarakat hukum nasional.
(stakeholders) dalam suatu forum resmi
dan terbuka.
3 Prolegnas yang dicantumkan dalam Indikator Prolegnas dalam jangka Menyusun politik hukum nasional
Propenas, BPHN, Baleg DPR, dan LoI panjang tidak boleh sekadar merespons untuk jangka panjang, yang
berangkat dari sejumlah indikator yang kondisi “darurat” yang cenderung kemudian dijabarkan menjadi
berbeda penekanannya, namun pada pragmatis. politik hukum jangka menengah
dasarnya bermuara kepada tiga faktor utama, dan jangka pendek. Di dalamnya
yaitu adanya: (a) desakan untuk memberi secara jelas terlihat penekanan-
respons terhadap tuntutan reformasi di penekanan indikator Prolegnas
bidang hukum, (b) anggapan bahwa menurut kebutuhan tiap-tiap
pemulihan ekonomi tidak mungkin berjalan periode.
tanpa didukung oleh pembenahan perangkat
hukum positif, (c) urgensi untuk menyikapi
perkembangan regional dan global.
4 Prolegnas memberikan prioritas yang sebaran Walaupun tidak harus dicantumkan Memberi tugas kepada institusi
bidangnya tidak merata, dan sangat dalam produk hukum berbentuk independen (komisi di bidang
didominasi oleh RUU sektor ekonomi dengan undang-undang, perhatian harus peraturan perundang-undangan)
pendekatan kebutuhan jangka pendek dan diberikan secara lebih merata untuk untuk menyusun Prolegnas yang
pragmatis. bidang-bidang lain di luar ekonomi. lebih merata, sehingga tidak
Sebaran bida ng dan alokasi anggaran didominasi bidang ekonomi
untuk penyiapan RUU dibuat lebih dengan pendekatan kebutuhan
merata, dengan juga memperhatikan jangka pendek dan pragmatis.
kepentingan jangka menengah dan
jangka panjang.
5 Kepentingan kelompok dan tekanan Mengkoordinasikan penetapan Memberi tugas kepada institusi
internasional mempunyai peran yang Prolegnas, dengan menyeimbangkan independen (komisi di bidang
signifikan dalam penetapan prioritas dalam kepentingan-kepentingan dari para peraturan perundang-undangan)
Prolegnas, sehingga daftar RUU yang stakeholders, termasuk desakan regional untuk menetapkan Prolegnas
diprogramkan tidak secara utuh dan internasional. secara aspiratif dan responsif
mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan kebutuhan riil
Indonesia secara luas. masyarakat Indonesia (sejalan
arahan politik hukum nasional).
6 Dasa r untuk menentukan apakah suatu Dasar penetapan untuk membentuk, Memperjelas landasan filosofis
undang-undang harus dibentuk baru, merevisi, dan mencabut suatu undang- suatu peraturan perundang-
direvisi, atau dicabut, tidak didasarkan pada undang dijadikan sebagai bagian penting undangan (dalam konsiderans
kajian mendalam. Akibatnya, korelasi antara penelitian yang dimasukkan ke dalam menimbang dan penjelasan umum
suatu peraturan dengan peraturan lainnya naskah akademik yang mendampingi UU tersebut), sehingga jelas alasan
tidak terjalin secara sistemik, bahkan kerap pengajuan suatu RUU. pembentukan/revisi/pencabutan
kontradiktif. yang terkait dengan UU itu.
REKOMENDASI TEKNIS Jangka Panjang
(5-10 tahun)
Masyarakat (stakeholders) sering tidak diberi Mensosialisasikan secara intensif Menetapkan suatu pihak
8 akses yang cukup untuk memahami hak dan keberlakuan suatu UU, dengan melibatkan (badan/instansi) yang
kewajibannya setelah suatu UU berlaku. Kondisi semua potensi yang ada di lingkup bertanggung jawab untuk
ini menyebabkan banyak UU yang memiliki pemerintahan dan masyarakat. sosialisasi UU tersebut.
daya berlaku yuridis, tetapi tidak berdaya laku Pelaksanaan tanggung jawab
sosiologis. ini kemudian dievaluasi
secara berkala (sebagai
bagian evaluasi kinerja
badan/instansi tersebut).
REKOMENDASI TEKNIS Jangka Pende k
(1-2 tahun)