Anda di halaman 1dari 5

Pergeseran Paradigma (Hukuman Mati dan Sistem Pembenarannya)

http://www.pbhi.or.id/artikel10/Pergeseran+Paradigma+
(Hukuman+Mati+dan+Sistem+Pembenarannya).html

Hukuman mati merupakan kejahatan negara prameditation – pemikiran dan perencanaan


terhadap suatu pembunuhan yang dilakukan dan dipersiapkan secara sistematis dan
matang terlebih dahulu – dan/atau pembunuhan yang dilegalisir dan diadministrasikan
oleh negara.

Pidana mati merupakan salah satu jenis pidana yang tertua dalam usianya, setua usia
kehidupan manusia dan paling kontroversial dari semua system pidana, baik di negara-
negara anglosaxon dengan aliran hukumnya common law system, maupun di negara-
negara Eropa kontinental yang system hukumnya civil law. Penelusuran histories
terhadap hukuman mati, telah berhasil membuktikan bahwa dewasa ini, di negara-negara
dipelbagai belahan dunia ini selalu saja mempermasalahkan penerapan hukuman mati itu.

Ada beberapa negara yang masih mempertahankan hukuman mati dalam stelsel hukum
pidana nasional. Salah satu diantaranya, yaitu Indonesia sebagai negara retensionis yang
teguh mempertahankan hukuman mati dalam stelsel hukum pidananya. Pidana mati mulai
berlaku di Indonesia, pada 1 Januari 1918 yang telah tercantum dalam Wetboek Van
strafrecht (KUHP) yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda berdasarkan K.B.v.
15 Oktober 1915, No. 33. S. 15-732 jis. 17-497, 645 yakni W.v.S yang sudah berlaku di
Hindia Belanda. Peninjauan pidana mati telah dinasionalisasikan dengan UU 1 Tahun
1946 yang delik-deliknya itu ada di KUHP dan ada pula delik yang tersebar diluar KUHP
dalam wujud UU. Ketentuan itu telah ditransformasikan dalam memori penjelasan
(Memorie van Toelichting), bahwa negara berhak untuk menjalankan semua peraturan ini,
termasuk pidana mati sebagai “kriterium keharusan” dengan maksud negara dapat
memenuhi kewajibannya untuk menjaga ketertiban hukum dan kepentingan umum.

Aliran Retensionis dan Abolisionis Ada dua aliran pemikiran dalam hukuman mati yang
berseberangan satu sama lainnya, yaitu aliran pemikiran retensionis (pro) dan abolisionis
(kontra). Secara teoritis kontroversial pro dan kontra pidana mati dimulai sejak
dipublikasikannya buku ”Dei Dellitti E Delle Pene” Cesare Beccaria (1764), dan
pengaruh tulisannya itu terasa kembali berkibar dan berpengaruh besar antara masa
perang dunia I dan II yang mendorong bangkitnya aliran humanisme. Intinya, pengakuan
eksistensi kemartabatan manusia akan tuntutan penghargaan hak asasi manusia, terutama
hak atas hidup (rights to life) dan hak-hak sosial lainnya. Kaum retensionis merumuskan
pidana mati lazimnya itu bersifat transcendental, dibangun dari conceptual abstraction,
yang mencoba melihat pidana mati hanya dari segi teori absolut, dengan aspek
pembalasannya dan unsur membinasakan. Dalam pengertian khusus teori absolut, bahwa
pidana mati bukanlah pembalasan melainkan refleksi dan manifestasi sikap muak
masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan, maka nestapa yuridis berupa hukuman mati
harus didayagunakan demi menjaga keseimbangan dalam tertib hukum. Bahkan secara
ekstrim dan kejam teori pembalasan tetap mempertahankan sloganisme Kant, “andaikata
besok dunia akan kiamat, penjahat yang terakhirpun tetap dipidana mati pada hari ini.”
Tesis ini dikategorikan sebagai tindakan pembinasaan dari teori pembalasan (the
vindictive theory of punishment).

Sedangkan teori relatif dengan aspek menakutkan (menjerakan) bertujuan melindungi


masyarakat umum dan menakuti niat jahat calon penjahat yang secara potensial dapat
berbuat jahat. Teori relatif mengandung aspek menakutkan, tetapi lebih cenderung ke segi
proses paksaan psikologis, dengan maskud agar si penjahat menjadi jera, atau upaya
menakuti bagi mereka yang secara potensial dapat berbuat jahat. Sementara kaum
abolisionis melihat teori absolut dan teori relatif tidak mempunyai daya pengaruh kuat
dan efektif untuk menekan statistik kriminalitas. Pendekatan aliran kriminologi cukup
efektif, mencoba melihat pidana mati dari segi “conceptual concritization” yakni pidana
mati harus disesuaikan dengan pola perubahan zaman dan kondisi strukturasi sosial
kehidupan masyarakat. Kajian ini berusaha meneropong kejahatan dari pengaruh faktor-
faktor perkembangan psikologis, sosiologis, ekonomi, politik, dan nilai nilai budaya yang
tetap hidup dalam masyarakat. Selain aliran kriminologi, ada juga dua aliran hukum baru
yaitu aliran Penologi, bertujuan untuk mengukur derajat keberhasilan membina dan
memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik dan berguna bagi masyarakat,
juga bagi narapidana itu sendiri. Teori pembinaan ini cukup efektif, karena memasukan
elemen-element masyarakat sendiri sebagai pusat pembinaan (community oriented) yang
mengutamakan pembinaan terhadap narapidana, walaupun konteksnya masih bersifat
individual centered dan individual oriented. Sedangkan aliran Victimologi lebih
menekankan pemberian reparasi, rehabilitasi, dan kompensasi bagi pihak korban yang
mendapat musibah dari perbuatan jahat yang dilakukan oleh penjahat dan memberikan
perhatian pada penderitaan dan hak hak si korban.

Perdebatan hukuman mati, tetap saja terjebak pada aliran positivisme legis, lahir lahir
dari aliran pemikiran hukum murni, yang selalu berpegang teguh bahwa hukum adalah
Undang-Undang, selain Undang-Undang bukan hukum. Sehingga para yuris dalam
memutuskan setiap perkara selalu berpedoman pada ketentuan ini. Hakim hanya sebagai
mulut yang membunyikan Undang-Undang, tidak mengambil tindakan proaktif untuk
menggali nilai-nilai hukum baru yang terus berkembang dalam masyarakat. Secara
prinsipil aliran pemikiran hukum murni, selalu manafikan diskusi-diskusi yang bertautan
dengan pembicaraan tentang filsafat moral, etika, hak asasi manusia apalagi berbicara
sosiologi hukum.

Tradisi positivisme legis seperti Indonesia, temanifestasi dari civil law system yang
meletakan sistim hukum terutama pada peraturan perundang-undangan, sedangkan pada
negara dengan common law system menekankan system hukum pada sociological
yurisprudensi bersifat analitis dan evaluatif yang terdiri dari norma yang tidak tertulis
yang berperan penting. Dalam system hukum ini termaktub azas stare decisis atau the
binding force of precedents, asas keterikatan hakim pada putusan hakim sebelumnya
sebagai precedent Pergeseran Paradigma Untuk mengukur derajat-derajat perubahan
paradigmatik hukuman mati pada perspektif positivisme dengan doktrin-doktrinnya yang
kaku dan statis berikut penjustifikasiannya, apakah legitimasinya masih relevan sehingga
tetap dipertahankan? Pertanyaan ini perlu dikaji dari dua aliran pemikiraan, pertama,
aliran sosiologi hukum yang mempelopori lahirnya mazhab “the realitic
jurisprudence”atau sering disebut legal realism, dalam perwujudannya berhasil
membangun aliran pemikiran hukum kritis, yang berguna untuk mendedah nilai-nilai
hukum baru, dengan upaya khusus merumuskan sistem pergeseran paradigma positivisme
formalisme ke system pemikiran realisme. Konsep hukum dari paham realisme ini,
merumuskan bahwa hukum merupakan kristalisasi dari unsure-unsur nilai sosial yang
diyakini oleh masyarakat sebagai norma atau kaidah penopang keberlangsungan hidup
mereka. Aktivitas penthakrifan realisme hukum itu, dimaksud menegasikan
pengkhianatan kaum professional hukum, yang acapkali bersembunyi dibalik doktrin
legisme yakni hukum yang telah dipositifkan menjadi lege itu adalah konsensus rakyat,
dan karena itu hukum merupakan objectifield subjectivities yang telah dinetralkan sebagai
“rule of law.”

Kenyataannya, aparatus pemerintah dengan polarisasi hukum positifnya yang “ignoratio


juris” menuntut kepatuhan mutlak masyarakat tanpa kompromi dan tanpa kecuali, tidak
bisa mengelak dari hukuman. Konfigurasi perubahan paradigma hokum dengan konsep
postivisme legis digunakan untuk membangun kesadaran dan mengayomi hak-hak sipil,
bukan untuk menjustifikasikan kewenangan rekayasa kekuasaan negara. Sehingga dalam
penetrasi rekayasa sosial menunjukkan adanya korelasi yang sistemik antara hukum dan
bidang lain dalam masyarakat seperti kebudayaan, politik, ekonomi yang mendorong
proses perubahan sosial itu terjadi.

Hukuman mati dengan kadar represifnya yang tinggi (teori pembalasan) dan selalu dalam
wujud delik (pidana) lebih dominan dalam kehidupan masyarakat dengan solidaritas
mekanis untuk menanggulangi berbagai ancaman dan pelanggaran-pelanggaran terhadap
keutuhan kesadaran nurani kolektif. Sedangkan hukum represif tidak berfungsi secara
efektif dalam suatu masyarakat yang telah berkembang menjadi modern, heterogen dan
penuh diferensisasi. Kedua, dari hasil catatan perjuangan filsafat kemanusiaan abad 18
tentang eksekusi hukuman mati melalui Quillotine, maupun ke tiang gantungan bernoda
darah manusia, merupakan fitnahan terhadap fitrah hidup manusia dewasa ini.

Hanya demi keuntungan suatu masa depan historis, menuntut orang percaya bahwa
hukuman mati dilegitimasikan demi penundukkan mutlak rakyat kepada otoritas
penguasa. “Bukankah obat akan ditemukan pada sifat dan karakter dari penyakitnya.”
Tetapi, lazimnya para penguasa, demikian juga hakim tidak terlalu minat membicarakan
tujuan hukuman mati karena dianggap memasuki dunia filsafat sehingga “discovery of
penal aims” diserahkan kedunia intelektual sebagai diskusi imajiner “as doctor regard
discussion of the ethics of euthanasia or abortion something that they ought not to think
about while on dutyI.” Sungguh, manusia terlempar dalam naluri primordial yang
irasional maka manfaat dan kerugian hukuman mati sepanjang berabad-abad sampai
sekarang, merupakan suatu proses kevakuman intelektual, penghinaan terhadap
kemartabatan manusia, dihimpit pesimisme rasional yang naif. Bahkan hati nurani pun
tak punya andil dalam gerakan dinamis kehidupan manusia, dari suatu filsafat
kemanusiaan dengan hal-ikhwal hukum keseimbangannya yang menantang nurani dan
nalar manusia, bukan dengan cara merilis konsepsi maupun doktrin-doktrin teoritis masa
lalu, bukan juga harapan dan janji teoritis masa datang, melainkan mengusung pemikiran
kritis, ide-ide, fakta-fakta yang diakui demi kepentingan manusia dewasa ini. Bukankah
manusia mempunyai akal budi dan hati nurani untuk berubah? Manusia mempunyai
persepsi dan jangkauan penglihatan yang sangat jauh kedepan?.Emilianus Afandi
Laggut,SH

Abolisi De Facto bagi Terpidana Mati


J.E. Sahetapy
· Guru Besar Emeritus
http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2005/01/03/KL/mbm.20050103.KL97349.id.html

Masalah pidana mati sudah muncul setua peradaban manusia. Jadi, tidak mengherankan jika terhadap masalah
ini selalu ada sikap pro dan kontra. Kini masalah tersebut tampaknya sudah dapat diatasi oleh sebagian besar
negara-negara Barat yang bergabung dalam European Union.

Dalam European Union News edisi ke-3 tahun 2004, Uni Eropa mendesak Indonesia supaya berhenti melakukan
eksekusi pidana mati. Mereka kecewa (dismay) karena moratorium secara de facto bertalian dengan abolisi
pidana mati tidak dipertahankan lagi di Indonesia. Jadi, dapatlah dimengerti kalau kemudian Uni Eropa (mencari)
bekerja sama dengan Fakultas Filsafat, bukan dengan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

Pada 14 Desember 2004, bertempat di Hotel Mandarin di Jakarta, diselenggarakan diskusi tentang pidana mati. Di
sini berbicara sejumlah duta besar negara-negara Barat, termasuk Charge d'Affaires European Commission.

Berbicara tentang pengalaman negara-negara Barat menyangkut masalah pidana mati secara historis adalah duta
besar dari Prancis, Inggris, dan Jerman, yang dipimpin Duta Besar Hungaria. Sedangkan menyangkut pidana
mati, hak asasi manusia, dan penegakan hukum disampaikan oleh Jaksa Agung RI Abdul Rahman Saleh,
Pengacara Saul Lehrfreund dari "The Caribbean Death Penalty Project", Pengacara Frans Hendra Winata, Prof Dr
Harkristuti Harkrisnowo, dan Pengacara Todung Mulya Lubis.

Pada pokoknya Jaksa Agung mengemukakan bahwa dulu ia menolak pidana mati, tetapi sekarang berbalik
mendukung. "Tanpa pidana mati, negara akan kacau," katanya. Menarik juga sikap beliau, seolah-olah negara
(pasti) kacau kalau tidak dilaksanakan pidana mati—sebuah pandangan yang bertolak belakang dengan
pengalaman negara-negara di Eropa Barat.

Di bagian lain, Prof Dr Harkristuti menjelaskan kondisi perundang-undangan secara legalistik positivistik, juga
menguraikan eksistensi pidana mati secara historis di Indonesia sampai di zaman Majapahit. Sedangkan
Pengacara Frans Winata secara "mutatis mutandis" mengemukakan hal yang senada, meski tanpa mengkaji
aspek historis dari Indonesia sebelum dijajah Belanda. Adapun Pengacara Mulya Lubis menggarisbawahi aspek
hak asasi manusia dari pidana mati.

Wacana pidana mati juga dibahas dari perspektif filsafat dan kultural. Di bagian ini, tampil Kiai Hussein
Mohammad dari Lembaga Fahmina di Cirebon, yang berbicara masalah hukum Islam, dan Prof Dr Mudji Sutrisno,
yang mengkaji pidana mati dari sudut pandang Kristiani. Selain itu, berbicara pula Prof William Schabas dari
Universitas Nasional di Irlandia dan Prof Arbijoto dari Fakultas Filsafat Universitas Indonesia.

Tapi, dari sekian banyak pembicara, ada beberapa aspek yang belum disinggung dan ingin saya kemukakan di
sini. Dengan disetujuinya pidana mati, eksistensi lembaga pemasyarakatan menjadi problematis. Lagi pula, kalau
benar pidana mati dianggap bisa menimbulkan efek ketakutan dan jera pada para (calon) pelaku kejahatan,
pertanyaan yang muncul adalah: mengapa eksekusi selalu dilakukan secara "intra-mural" alias tidak diketahui
masyarakat? Bukankah, agar masyarakat "takut", eksekusi itu seharusnya dilakukan terbuka?

Berdasarkan pengalaman di Amerika, sebetulnya adanya pidana mati tidak akan mempengaruhi angka-angka
statistik kejahatan di beberapa negara bagian yang mempertahankan atau menolak pidana mati. Itulah sebabnya,
secara kriminologis selayaknya diperkenalkan apa yang saya namakan "abolisi de facto".

Dengan abolisi de facto, yang saya maksud adalah terpidana mati tidak segera dieksekusi. Ia masih diberi
kesempatan hidup dan bertobat sampai 10 tahun untuk membersihkan hati nuraninya. Dalam rentang waktu itu,
jika dia sungguh-sungguh bertobat, ancaman mati diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. Ini pun bisa
dievaluasi lagi. Misalnya dalam 10 tahun berikutnya dia berkelakuan baik, pidana penjara seumur hidup bisa
diubah menjadi 20 tahun.
Maka, bayangkan, setelah 20 tahun berada dalam proses menyadari kesalahannya dan hati nuraninya bertobat,
40 tahun kemudian si makhluk ciptaan Tuhan bisa menghirup udara kebebasan. Kalau si terpidana mati
melakukan kejahatannya pada usia 30 tahun, dan kalau Tuhan berkenan, pada usia 70 tahun mungkin ia masih
bermanfaat untuk sesama manusia.

Sesungguhnya, tidak ada yang mustahil. Tuhan mahabesar dan mahakasih, karena selalu ada pengampunan dan
pertobatan.

Anda mungkin juga menyukai