Anda di halaman 1dari 4

Apr 6, '09

MERABA POLITIK HUKUM


2:37 PM
PIDANA INDONESIA DALAM
for
KETENTUAN UNDANG-UNDANG
everyone
(Catatan Atas Pidato Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H. Pada Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana )
Segenap warga Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FHUA) patut bersedih karena mereka telah
kehilangan “guru kecil”nya, namun kesedihan itu akan segera terhapus dan berganti dengan ucap syukur dan rasa suka-
cita karena “guru kecil” yang hilang itu ternyata bermetamorfosa menjadi Guru Besar. Setidaknya, gairah kesuka-citaan
itu tergambar jelas melalui deretan rangkaian bunga di lobi FHUA yang berisikan ucapan selamat atas dikukuhkannya
Bapak Didik Endro Purwoleksono sebagai Profesor baru dalam bidang Ilmu Hukum Pidana. Di tengah kemandegan
teori dalam ilmu hukum pidana sebagaimana dideskripsikan oleh Jefferson, hal ini tentu saja menjadi semacam tetesan
air di padang gersang.
Dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar, Pak Didik (panggilan yang disematkan oleh mahasiswa kepada
beliau) memberikan pidato yang cukup merepresentasikan kedalaman pemahaman akan ilmu yang menjadi spesifikasi
keahliannya.
Pidato dengan judul “Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Ketentuan Undang-Undang” diakuinya sebagai
refleksi atas kekritisan seorang mahasiswa dalam suatu acara yang membahas tentang rancangan undang-undang
(RUU). Dalam acara tersebut, sang mahasiswa mempertanyakan tentang efektifitas pemberlakuan suatu UU tanpa
muatan sanksi pidana didalamnya. Peristiwa inilah yang menginspirasi pengajar mata kuliah hukum pidana ini untuk
menjadikan pertanyaan dari mahasiswa tersebut sebagai bahasan pokok dalam pidatonya.
Sebelum membahas tentang urgensi sanksi pidana dalam penegakan hukum, beliau membahas tentang konsep Undang-
Undang (UU) yang terdapat dalam judul pidatonya. Disini, UU dibedakan dengan (peraturan)perundang-undangan. UU
adalah bagian dari peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. Namun, tidak dijelaskan lebih lanjut kenapa yang
dibahas disini terbatas pada ketentuan UU saja, bagaimana dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lainnya? padahal dalam ketentuan semacam peraturan daerah (PERDA) juga memuat tentang sanksi pidana.
Kemudian, bahasan dilanjutkan dengan mengurai karakteristik dari hukum pidana. Bahwa kararakter esensial
dari hukum pidana adalah terletak pada sanksi pidana. Sanksi pidana inilah yang menjadi ciri pembeda antara hukum
pidana dengan bidang hukum yang lain. Sanksi pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) dari rangkaian
tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat terakhir” ini merupakan jurus pamungkas jika mekanisme penegakan
pada bidang hukum lain tidak bekerja efektif. Namun, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, sanksi pidana
dalam beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai
primum remedium (obat yang utama). Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium ini
dapat dilihat dalam UU mengenai terorisme dan tindak pidana korupsi. Dari perspektif sosiologis hal ini dikarenakan
perbuatan yang diatur dalam dua UU tersebut merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi
masyarakat.
Persoalan penerapan norma yang terdapat dalam hukum pidana juga menjadi masalah ketika terdapat kerancuan
tentang kaidah penormaan. Hukum pidana memiliki 2 pengertian dilihat dari subtansi yang diaturnya. Yang pertama
adalah hukum pidana materiil yang berisikan rumusan hal-hal yang dilarang beserta ancaman sanksinya, serta dalam
hal apa dan kapan sanksi tersebut dapat dikenakan. Pengertian Hukum pidana yang kedua adalah hukum pidana formil.
Hukum pidana formil berisikan prosedur-prosedur yang harus dilakukan manakala terjadi pelanggaran terhadap hukum
pidana materiil. Kaedah norma yang melandasi hukum pidana dalam artian yang materiil adalah norma perilaku,
sehingga konsekuensi terhadap penormaan tersebut adalah selama suatu perbuatan tidak dilarang dalam ketentuan
hukum maka perbuatan tersebut diperbolehkan. Yang dituju oleh asas ini adalah pembatasan kebebasan oleh individu.
Hal ini akan berbeda dengan kaedah norma yang melandasi hukum pidana formil, yaitu berupa norma kewenangan.
Aturan main didalam norma kewenangan adalah jika suatu kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan tidak diatur
dalam aturan hukum maka dilarang. Hal ini dimaksudkan supaya penguasa tidak berlaku sewenang-wenang. Bahwa inti
dari kaedah penormaan diatas adalah pembatasan terhadap perilaku baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga
masyarakat. Jika kaedah penormaan tersebut dilanggar, hasilnya pasti terjadi kekarut-marutan dalam dunia hukum.
Lebih jauh lagi, pria yang menghabiskan masa kecilnya di Mojoagung-Jombang ini, menguraikan jenis-jenis
pidana beserta implikasi yang ada pada hukum pidana Indonesia. Terdapat 4 macam jenis pembedaan tindak pidana.
Yang pertama, tindak pidana yang bercorak kejahatan(misdrijven) dan tindak pidana pelanggaran (overtredingen),
pembedaan kedua tindak pidana ini terletak implikasi penegakan hukumnya, namun kriteria pembedanya tidak
diuraikan lebih lanjut. Kedua, tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan. Letak pembeda tindak pidana tersebut
terletak pada pemrosesan tindak pidananya. Kalau delik aduan hanya dapat diproses jika ada pengaduan. Untuk delik
biasa, tidak memerlukan adanya pengaduan terlebih dahulu. Ketiga, tindak pidana formil dan tindak pidana materiil.
Pembedaan ini lebih terkait dengan pembuktian di depan persidangan. Untuk dapat dipidana menurut kacamata hukum
pidana formil, seseorang cukup mencocoki rumusan tindak pidana dalam UU. Sedangkan, untuk tindak pidana materiil
mensyaratkan adanya akibat dari tindak pidana tersebut. Klasifikasi terakhir adalah tindak pidana kesengajaan dan
tindak pidana kealpaan jika dilihat dari kondisi batin dari pelaku tindak pidana.
Pengaturan sanksi pidana dalam ketentuan UU meliputi sistem pemidanaan yang terdiri dari pilihan sistem
pemidanaan, serta limitasi waktu ancaman pidana. Pilihan sistem pemidanaan dapat memakai model alternatif,
kumulatif, maupun alternatif kumulatif. Sedangkan limitasi waktu ancaman pidana dapat menggunakan model ancaman
pidana “paling lama”, “paling singkat”, ataupun “ancaman paling lama paling singkat”.

Uraian terakhir beliau membahas tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh (ilmu)
hukum pidana dalam tataran teoritis. Bahwa seringkali hukum pidana terlihat ke-ponthal-
ponthal (kesulitan mengikuti ritme) dalam menghadapi dinamika masyarakat yang begitu
ritmik. Asas legalitas sebagai tiang utama dalam penegakan hukum pidana mengandaikan
adanya kemampuan untuk memprediksi para pembentuk hukum terhadap perbuatan-
perbuatan yang berpotensi sebagai tindak pidana sehingga penegakan hukumnya akan
lebih efektif. Kreatifitas dari para pengadil juga dibutuhkan untuk mencari kebenaran
dengan segala keterbatasan. Kemampuan memprediksi dan kreatifitas tersebut hanya bisa
dicapai dengan pemahaman serta pendalaman tentang keilmuan hukum secara
komprehensif serta memiliki kemauan membuka diri terhadap keilmuan yang lain.
Dari uraian panjang pidatonya, Pak Didik menggaris bawahi tentang betapa pentingnya membangun pondasi-
pondasi keilmuan hukum melalui pemahaman akan asas-asas hukum pidana, penguatan penalaran serta latihan
kemahiran untuk mengaplikasikan ilmu hukum yag telah dipelajari. Bahwa usaha kearah itu bukanlah tugas dari para
pengajar saja melainkan juga mahasiswa.
Sebagai rekomendasi atas keterbatasan-keterbatasan yang terdapat dalam hukum pidana, beliau menyarankan
bagi pembentuk UU supaya mengkaji secara komprehensif tentang urgensi pengaturan sanksi pidana dalam UU.
Sehingga memudahkan penegakannya.
Membaca uraian pidato beliau, serasa kita diajak untuk mengarungi kembali pemikiran-pemikiran
Moelyatno, Andi Aziz, dan buku-buku “wajib” pidana lainnya. Sejatinya, pidato beliau mengajak kita untuk meraba
tentang arah kebijakan dari hukum pidana baik dari sisi substansi pengaturannya dalam UU maupun sistem pendidikan
hukumnya.
Yang patut di apresiasi dari harapan-harapan beliau adalah komitmen untuk memprioritaskan pendampingan
kepada mahasiswa S1 yang masih butuh cucuran ilmu dari sumber yang kompeten. Dan pernyataan tersebut haruslah
kita dukung mengingat banyak dongeng yang konon kabarnya mengisahkan tentang sang Bangau yang terbang tinggi
dan jarang kembali. (HAIDAR ADAM)

http://nebilshinta.multiply.com/journal/item/38
Belajar dari Kegagalan TGPTPK
[27/7/01]

Walaupun sudah almarhum, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
masih bisa mengajarkan kita untuk mengantisipasi berbagai kesukaran yang dihadapinya dalam
melaksanakan tugas. Apalagi, Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang akan
dibentuk embrionya adalah TGPTPK.

Niat dibentuknya TGPTPK pada mulanya memang baik, yaitu sebagai salah satu upaya untuk menangani berbagai
masalah yang bergolak dalam pemberantasan tindak pidana korupsi selama ini.

Pakar hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo yang berbicara dalam seminar bertajuk "Performance Review dan
Pengembangan Diskursus TGPTPK dalam Rangka Pembentukan Komisi Anti Korupsi" mengidentifkasi dua masalah
besar yang melatarbelakangi pembentukan TGPTPK.

Pertama, mekanisme hukum yang ada dianggap kurang mampu untuk menangani pemberantasan tindak pidana korupsi
secara tuntas. Pasalnya, terjadi dualisme dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, yaitu antara
polisi dan kejaksaan.

Di satu sisi, UU Nomor 3 Tahun 1971 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan Jaksa Agung
sebagai koordinator dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Sementara di sisi lain, KUHAP
menentukan kepolisian sebagai koordinator penyelidikan dan penyidikan. Buntutnya, dalam praktek, kepolisian memiliki
unit khusus untuk penanganan tindak pidana korupsi.

Kedua, efisiensi dan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi sangat rendah. Sekalipun telah dilaporkan sebagai
negara ketiga terkorup di dunia, tidak satu pun koruptor yang dipenjara. Akibatnya, masyarakat selalu mempunyai
kecurigaan dan apatisme terhadap kemampuan sistem hukum, aparat hukum, dan budaya yang ada untuk memberantas
korupsi.

Tim asistensi Jaksa Agung

Dalam perjalanannya, TGPTPK dihadang berbagai keterbatasan dan kendala interen maupun ekstern. Hal ini
diungkapkan oleh Kamanto Sunarto, salah satu anggota tim performance review atas TGPTPK. Menurutnya,
keterbatasan dan kendala tersebut dapat dibagi dalam tiga lingkup, yaitu kewenangan dan kemandirian TGPTPK, serta
resistensi dari lembaga lainnya.

Kewenangan TGPTPK mencakup dua hal, yaitu koordinasi penyidikan dan koordinasi penuntutan. Namun dalam hal
penyelidikan, Kejaksaan Agung lah yang harus memulai berdasarkan laporan warga masyarakat maupun temuan
kejaksaan sendiri.

Menurut Harkristuti yang juga anggota tim seperti Kamanto, dengan demikian TGPTPK menjadi semacam tim asistensi
belaka bagi Jaksa Agung. "Laporan harus disampaikan ke lembaga kejaksaan dulu. Jika oleh Jaksa Agung dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, baru kasus tersebut diserahkan ke tim gabungan," jelas
Harkristuti.

Dengan demikian, kewenangan TGPTPK ini sangat terbatas karena penentuan kasus yang akan ditangani olehnya
berada di tangan Jaksa Agung. "Tanpa adanya pelimpahan kasus semacam ini dari kejaksaan, Tim Gabungan tidak
mempunyai landasan kewenangan untuk mulai bekerja," tegas Harkristuti.

Resistensi

Menurut Kamanto, dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tersangka yang berstatus hakim, TGPTPK
mengalami berbagai masalah dengan pihak pengadilan.

Contohnya, prosedur proses perizinan untuk penyitaan dan penggeledahan kasus tersangka berstatus hakim yang
dipersulit; putusan praperadilan PN Jaksel yang menyatakan TGPTPK tidak berwenang melakukan penyidikan; dan
putusan judicial review MA yang menyatakan PP No. 19/2000 tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.
Sedangkan resistensi dari pihak Kejaksaan berbentuk tidak diperolehnya dukungan dan adanya perbedaan pendapat
dengan Jaksa Agung dalam beberapa hal, seperti pencabutan SP3 tiga konglomerat. Selain itu, ide TGPTPK untuk
menyatakan keadaan darurat perang terhadap korupsi dan menjadikan korupsi sebagai extraordinary crime yang
memerlukan extraordinary measures.

Para pengacara pun sepertinya tak ingin kalah berpartisipasi dalam melakukan resistensi, baik secara langsung maupun
tidak langsung. "Umpamanya saja, terjadi kedatangan tim penasehat hukum ke kantor TGPTPK pada 24 Agustus 2000
yang diikuti peristiwa perang mulut dan tindakan gebrak meja oleh Ketua TGPTPK dan tim pengacara itu," ujar Kamanto.

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator ICW, Teten Masduki mengungkapkan nada yang cukup berbeda tentang
kinerja TGPTPK. Menurutnya, kasus yang dilimpahkan ke TGPTPK tidak dapat di-follow-up secara efektif karena
kapasitas tim itu yang terlalu kecil. "Seharusnya TGPTPK hanya dikhususkan untuk memberantas atau membersihkan
korupsi di kalangan aparat penegak hukum dulu, harus ada prioritas," kata Teten.

Selain itu, Teten juga mengatakan bahwa transparansi dan akuntabilitas TGPTPK dalam penanganan kasus tidak ada,
sehingga menimbulkan kecurigaan masyarakat. "Sebaiknya, ada semacam advisory court seperti di Hong Kong di mana
kasus yang akan diajukan ke pengadilan diteliti dulu, sehingga masyarakat tidak curiga jika kasus tersebut tidak
diteruskan ke pengadilan," papar Teten.

Rekomendasi

Menilik berbagai keterbatasan dan kendala yang dihadapi TGPTPK, tim performance review TGTPK menyampaikan
beberapa rekomendasi, baik untuk perbaikan RUU tentang KPTPK maupun untuk perumusan ketentuan lain dalam
pertautan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi.

Secara umum, tim peneliti menyarankan agar kesejahteraan polisi, jaksa, dan hakim ditingkatkan. Selain itu, adanya
pendidikan polisi, jaksa, dan hakim baru yang relatif masih jujur dan berintegritas moral, serta prosedur untuk memanggil,
memeriksa, menangkap dan menahan seseorang lebih disederhanakan.

Khusus menyangkut hakim, tim peneliti menyarankan agar dissenting opinion yang transparan perlu diatur, teori
pembuktian negatif ditinjau kembali, ada sanksi hukum bagi hakim yang tidak mampu atau tidak ingin menuntaskan
perkara yang ditangani, dan kemungkinan adanya hakim ad hoc pada pengadilan khusus korupsi.

Bagi KPTPK yang masih dalam tahap penggodokan, tim peneliti menyarankan agar ketentuan dalam UU-nya berlaku
juga bagi anggota dan mantan anggota TNI dan Polri. Selain itu, perlu dipikirkan berbagai kemungkinan, seperti adanya
penyelidik, penyidik dan penuntut ad hoc dari luar, serta penasehat komisi berstatus ad hoc.

Ada pepatah mengatakan, hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali. Maksudnya, kita harus belajar dari
pengalaman agar tidak melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Dalam konteks ini, kita perlu belajar dari
kegagalan TGPTPK. Kalau tidak, bisa-bisa kita disamakan dengan keledai, siapa yang mau?

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=

Anda mungkin juga menyukai