Uraian terakhir beliau membahas tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh (ilmu)
hukum pidana dalam tataran teoritis. Bahwa seringkali hukum pidana terlihat ke-ponthal-
ponthal (kesulitan mengikuti ritme) dalam menghadapi dinamika masyarakat yang begitu
ritmik. Asas legalitas sebagai tiang utama dalam penegakan hukum pidana mengandaikan
adanya kemampuan untuk memprediksi para pembentuk hukum terhadap perbuatan-
perbuatan yang berpotensi sebagai tindak pidana sehingga penegakan hukumnya akan
lebih efektif. Kreatifitas dari para pengadil juga dibutuhkan untuk mencari kebenaran
dengan segala keterbatasan. Kemampuan memprediksi dan kreatifitas tersebut hanya bisa
dicapai dengan pemahaman serta pendalaman tentang keilmuan hukum secara
komprehensif serta memiliki kemauan membuka diri terhadap keilmuan yang lain.
Dari uraian panjang pidatonya, Pak Didik menggaris bawahi tentang betapa pentingnya membangun pondasi-
pondasi keilmuan hukum melalui pemahaman akan asas-asas hukum pidana, penguatan penalaran serta latihan
kemahiran untuk mengaplikasikan ilmu hukum yag telah dipelajari. Bahwa usaha kearah itu bukanlah tugas dari para
pengajar saja melainkan juga mahasiswa.
Sebagai rekomendasi atas keterbatasan-keterbatasan yang terdapat dalam hukum pidana, beliau menyarankan
bagi pembentuk UU supaya mengkaji secara komprehensif tentang urgensi pengaturan sanksi pidana dalam UU.
Sehingga memudahkan penegakannya.
Membaca uraian pidato beliau, serasa kita diajak untuk mengarungi kembali pemikiran-pemikiran
Moelyatno, Andi Aziz, dan buku-buku “wajib” pidana lainnya. Sejatinya, pidato beliau mengajak kita untuk meraba
tentang arah kebijakan dari hukum pidana baik dari sisi substansi pengaturannya dalam UU maupun sistem pendidikan
hukumnya.
Yang patut di apresiasi dari harapan-harapan beliau adalah komitmen untuk memprioritaskan pendampingan
kepada mahasiswa S1 yang masih butuh cucuran ilmu dari sumber yang kompeten. Dan pernyataan tersebut haruslah
kita dukung mengingat banyak dongeng yang konon kabarnya mengisahkan tentang sang Bangau yang terbang tinggi
dan jarang kembali. (HAIDAR ADAM)
http://nebilshinta.multiply.com/journal/item/38
Belajar dari Kegagalan TGPTPK
[27/7/01]
Walaupun sudah almarhum, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
masih bisa mengajarkan kita untuk mengantisipasi berbagai kesukaran yang dihadapinya dalam
melaksanakan tugas. Apalagi, Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang akan
dibentuk embrionya adalah TGPTPK.
Niat dibentuknya TGPTPK pada mulanya memang baik, yaitu sebagai salah satu upaya untuk menangani berbagai
masalah yang bergolak dalam pemberantasan tindak pidana korupsi selama ini.
Pakar hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo yang berbicara dalam seminar bertajuk "Performance Review dan
Pengembangan Diskursus TGPTPK dalam Rangka Pembentukan Komisi Anti Korupsi" mengidentifkasi dua masalah
besar yang melatarbelakangi pembentukan TGPTPK.
Pertama, mekanisme hukum yang ada dianggap kurang mampu untuk menangani pemberantasan tindak pidana korupsi
secara tuntas. Pasalnya, terjadi dualisme dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, yaitu antara
polisi dan kejaksaan.
Di satu sisi, UU Nomor 3 Tahun 1971 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan Jaksa Agung
sebagai koordinator dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Sementara di sisi lain, KUHAP
menentukan kepolisian sebagai koordinator penyelidikan dan penyidikan. Buntutnya, dalam praktek, kepolisian memiliki
unit khusus untuk penanganan tindak pidana korupsi.
Kedua, efisiensi dan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi sangat rendah. Sekalipun telah dilaporkan sebagai
negara ketiga terkorup di dunia, tidak satu pun koruptor yang dipenjara. Akibatnya, masyarakat selalu mempunyai
kecurigaan dan apatisme terhadap kemampuan sistem hukum, aparat hukum, dan budaya yang ada untuk memberantas
korupsi.
Dalam perjalanannya, TGPTPK dihadang berbagai keterbatasan dan kendala interen maupun ekstern. Hal ini
diungkapkan oleh Kamanto Sunarto, salah satu anggota tim performance review atas TGPTPK. Menurutnya,
keterbatasan dan kendala tersebut dapat dibagi dalam tiga lingkup, yaitu kewenangan dan kemandirian TGPTPK, serta
resistensi dari lembaga lainnya.
Kewenangan TGPTPK mencakup dua hal, yaitu koordinasi penyidikan dan koordinasi penuntutan. Namun dalam hal
penyelidikan, Kejaksaan Agung lah yang harus memulai berdasarkan laporan warga masyarakat maupun temuan
kejaksaan sendiri.
Menurut Harkristuti yang juga anggota tim seperti Kamanto, dengan demikian TGPTPK menjadi semacam tim asistensi
belaka bagi Jaksa Agung. "Laporan harus disampaikan ke lembaga kejaksaan dulu. Jika oleh Jaksa Agung dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, baru kasus tersebut diserahkan ke tim gabungan," jelas
Harkristuti.
Dengan demikian, kewenangan TGPTPK ini sangat terbatas karena penentuan kasus yang akan ditangani olehnya
berada di tangan Jaksa Agung. "Tanpa adanya pelimpahan kasus semacam ini dari kejaksaan, Tim Gabungan tidak
mempunyai landasan kewenangan untuk mulai bekerja," tegas Harkristuti.
Resistensi
Menurut Kamanto, dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tersangka yang berstatus hakim, TGPTPK
mengalami berbagai masalah dengan pihak pengadilan.
Contohnya, prosedur proses perizinan untuk penyitaan dan penggeledahan kasus tersangka berstatus hakim yang
dipersulit; putusan praperadilan PN Jaksel yang menyatakan TGPTPK tidak berwenang melakukan penyidikan; dan
putusan judicial review MA yang menyatakan PP No. 19/2000 tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.
Sedangkan resistensi dari pihak Kejaksaan berbentuk tidak diperolehnya dukungan dan adanya perbedaan pendapat
dengan Jaksa Agung dalam beberapa hal, seperti pencabutan SP3 tiga konglomerat. Selain itu, ide TGPTPK untuk
menyatakan keadaan darurat perang terhadap korupsi dan menjadikan korupsi sebagai extraordinary crime yang
memerlukan extraordinary measures.
Para pengacara pun sepertinya tak ingin kalah berpartisipasi dalam melakukan resistensi, baik secara langsung maupun
tidak langsung. "Umpamanya saja, terjadi kedatangan tim penasehat hukum ke kantor TGPTPK pada 24 Agustus 2000
yang diikuti peristiwa perang mulut dan tindakan gebrak meja oleh Ketua TGPTPK dan tim pengacara itu," ujar Kamanto.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator ICW, Teten Masduki mengungkapkan nada yang cukup berbeda tentang
kinerja TGPTPK. Menurutnya, kasus yang dilimpahkan ke TGPTPK tidak dapat di-follow-up secara efektif karena
kapasitas tim itu yang terlalu kecil. "Seharusnya TGPTPK hanya dikhususkan untuk memberantas atau membersihkan
korupsi di kalangan aparat penegak hukum dulu, harus ada prioritas," kata Teten.
Selain itu, Teten juga mengatakan bahwa transparansi dan akuntabilitas TGPTPK dalam penanganan kasus tidak ada,
sehingga menimbulkan kecurigaan masyarakat. "Sebaiknya, ada semacam advisory court seperti di Hong Kong di mana
kasus yang akan diajukan ke pengadilan diteliti dulu, sehingga masyarakat tidak curiga jika kasus tersebut tidak
diteruskan ke pengadilan," papar Teten.
Rekomendasi
Menilik berbagai keterbatasan dan kendala yang dihadapi TGPTPK, tim performance review TGTPK menyampaikan
beberapa rekomendasi, baik untuk perbaikan RUU tentang KPTPK maupun untuk perumusan ketentuan lain dalam
pertautan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi.
Secara umum, tim peneliti menyarankan agar kesejahteraan polisi, jaksa, dan hakim ditingkatkan. Selain itu, adanya
pendidikan polisi, jaksa, dan hakim baru yang relatif masih jujur dan berintegritas moral, serta prosedur untuk memanggil,
memeriksa, menangkap dan menahan seseorang lebih disederhanakan.
Khusus menyangkut hakim, tim peneliti menyarankan agar dissenting opinion yang transparan perlu diatur, teori
pembuktian negatif ditinjau kembali, ada sanksi hukum bagi hakim yang tidak mampu atau tidak ingin menuntaskan
perkara yang ditangani, dan kemungkinan adanya hakim ad hoc pada pengadilan khusus korupsi.
Bagi KPTPK yang masih dalam tahap penggodokan, tim peneliti menyarankan agar ketentuan dalam UU-nya berlaku
juga bagi anggota dan mantan anggota TNI dan Polri. Selain itu, perlu dipikirkan berbagai kemungkinan, seperti adanya
penyelidik, penyidik dan penuntut ad hoc dari luar, serta penasehat komisi berstatus ad hoc.
Ada pepatah mengatakan, hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali. Maksudnya, kita harus belajar dari
pengalaman agar tidak melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Dalam konteks ini, kita perlu belajar dari
kegagalan TGPTPK. Kalau tidak, bisa-bisa kita disamakan dengan keledai, siapa yang mau?
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=