Anda di halaman 1dari 14

Eskalasi Kekerasan terhadap Pembela HAM Meningkat

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0511/26/Politikhukum/2242110.htm

Jakarta, kompas - Lembaga monitoring hak asasi manusia Imparsial mengingatkan, Indonesia
tergolong negara yang sangat rawan dan berisiko tinggi bagi para pembela HAM.

”Dalam tiga tahun terakhir, eskalasi kekerasan terhadap pembela HAM meningkat. Pelakunya
didominasi aparat penegak hukum,” kata Direktur Operasional Imparsial Rusdi Marpaung,
didampingi Koordinator Penelitian Imparsial Al Araf, Jumat (25/11).

Rusdi menjelaskan, peningkatan tersebut dari tahun ke tahun cukup signifikan. Berdasarkan catatan
Imparsial, tahun 2003 terdapat 30 kasus kekerasan, seperti penahanan sewenang-wenang (16
kasus), penganiayaan (2 kasus), penghilangan (3 kasus), dan pembunuhan tanpa proses hukum (2
kasus). Jumlah itu melonjak pada tahun 2004 menjadi 152 kasus, antara lain penahanan sewenang-
wenang (26 kasus), penganiayaan (113 kasus), penghilangan (4 kasus), pembunuhan di luar proses
hukum (6 kasus), dan teror tempat tinggal (1 kasus).

”Kekerasan itu dilakukan oleh berbagai unsur, seperti polisi, Brimob, TNI, gerakan separatis,
menteri, dan aktor nonnegara seperti preman,” kata Rusdi.

Khusus tahun 2004, pelaku kekerasan didominasi oleh polisi, yakni sejumlah 125 kasus. Korban
yang paling banyak mengalami kekerasan itu adalah mahasiswa.

Menurut Araf, kekerasan tersebut terjadi akibat perangkat hukum yang belum kondusif dan bahkan
dapat digunakan sebagai legitimasi tindak kekerasan. Beberapa pasal Kitab Undang-undang Hukum
Pidana sering diberlakukan kepada pembela HAM. Pasal-pasal itu antara lain Pasal 134 hingga 137
tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, Pasal 154, 155, 156, dan 160 tentang
penghasutan dan menyebarkan kebencian terhadap pemerintah, Pasal 214 tentang melawan
petugas. Selain KUHP, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum juga sering dimanfaatkan. (ana)

<td widt
Hari Perempuan Sedunia
Pemerintah Belum Identifikasi Kekerasan pada Perempuan

Jakarta – Pemerintah gagal memberikan perlindungan hukum terhadap hak asasi kaum perempuan. Padahal, kekerasan terhadap

perempuan terus berlangsung. Sejak tahun 2006 terjadi 22.521 kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 16.709 kasus (76%)

terjadi dalam rumah tangga, 5.240 kasus terjadi di ranah komunitas, dan 43 kasus dilakukan negara.

Hal itu mengemuka dalam seminar memperingati Hari Perempuan Sedunia di Kantor Penerangan PBB di Jakarta, Kamis (8/3).

Seminar “Mengakhiri Situasi Bebas Hukuman Pelaku Kekerasan terhadap Perempuan” itu menghadirkan pembicara Kepala

Program Kajian Wanita Universitas Indonesia Dr Kristi Poerwandari, Komisioner Komnas Perempuan Arimbi Heroepoetri, dan Dirjen

HAM Departemen Hukum dan HAM Baldwin Simatupang.

Menurut Arimbi Heroepoetri, hingga saat ini masih banyak kekerasan terhadap perempuan yang belum diakui sebagai pelanggaran

HAM oleh pemerintah. Pelanggaran itu misalnya terjadi di barak pengungsian di Aceh dan di daerah pengungsian akibat konflik

bersenjata di Poso.

Kekerasan terhadap perempuan, kata Arimbi, sering muncul akibat penanganan pengungsi yang tidak peka gender dan tidak

menghiraukan kebutuhan khusus bagi perempuan pengungsi. “Pelanggaran HAM terhadap perempuan akibat pemerintah belum

mengidentifikasi bentuk-bentuk, korban, dan pelaku kekersan.”


Dia menyebutkan, Komnas HAM mencatat selama 2006-2007 terjadi terjadi 22.512 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.

Di antara kasus-kasus itu terdapat tindakan kekerasan dalam rumah tangga 16.709 (76%), kekerasan di ranah komunitas 5.240

kasus, dan 43 kasus kekerasan yang dilakukan negara.

Dengan masih banyaknya kekerasan terhadap perempuan, kata Arimbi, pemerintah harus mengampanyekan kepada masyarakat

umum mengenai ragam dan pola kekerasan. Diharapkan masyarakat mengetahui hal itu dan mendorong mereka menuntut

pelanggar dan pelaku kekerasan HAM terhadap perempuan.

Namun, Dirjen HAM Dephukham Baldwin Simatupang menampik anggapan bahwa pemerintah tidak melindungi hukum dan HAM

perempuan. Menurut dia, kasus pelangaran HAM terhadap perempuan di daerah-daerah muncul akibat kebijakan yang tidak

sinergis dengan kebijakan pemerintah pusat. Misalnya perda syariah yang membatasi ruang interaksi perempuan. Padahal,

pemerintah telah mendesak daerah untuk membekukan perda syariah yang mendiskreditkan kaum perempuan.

“Tidak benar pemerintah tidak melindungi perempuan. Kekerasan itu terjadi karena munculnya kebijakan yang tidak sinergis.

Pemerintah tidak bisa membekukan regulasi di daerah. Kami tidak bisa mengintervensi daerah,” kata Baldwin. (E1)

[Send to Friends] [Printer Friendly Page] http://www.vhrmedia.net/home/index.php?id=view&aid=4139&lang=

PENDIDIKAN DAN KEKERASAN

Irasionalitas dalam dunia pendidikan kita kian merajalela. Mari bertanya, apa makna tendangan
bebas ke dada mahasiswa dan pukulan bertubi-tubi ke ulu hati yang terjadi dalam pendidikan
para calon pemimpin di Institut Pemerintahan Dalam Negeri?

Perilaku kekerasan dalam pendidikan pamong praja merupakan tindakan melecehkan martabat
manusia dan bangsa Indonesia. Itu adalah tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang
dilegalisasi melalui sistem pendidikan.

Gunung Es

Perilaku kekerasan terhadap para calon pamong praja dalam Institut Pemerintahan Dalam Negeri
(IPDN) merupakan gunung es kekerasan yang menggerogoti dunia pendidikan kita. Kematian
Cliff Muntu bukan yang pertama, pun bukan satu-satunya korban kekerasan dalam pendidikan.
Sejak lama lembaga pendidikan kita telah melahirkan dan mereproduksi kekerasan dalam
masyarakat.

Maraknya tawuran pelajar, pengguguran kandungan, pelecehan seksual oleh guru, pemerkosaan
dan pembunuhan terhadap pelajar dan oleh pelajar lain merupakan lampu merah bagi
pemerintah dan tiap insan pendidikan untuk segera menyehatkan kinerja sistem pendidikan kita.

Adanya tindak kekerasan di sekolah merupakan masalah kita semua. Masyarakat, negara, guru,
orangtua, dan siswa harus bekerja sama menciptakan lingkungan yang aman dalam lembaga
pendidikan. Jika tidak, segala usaha pencegahan dan hukuman tidak akan efektif.

Kekerasan di lembaga pendidikan bisa terjadi karena banyak alasan. Tetapi, di Indonesia,
kekerasan pelajar terjadi karena perselingkuhan antara sistem pendidikan dan kultur sosial yang
menghasilkan generasi muda sakit jiwa.

Sistem pendidikan kita telah meminggirkan orang miskin atas akses pendidikan. Sedangkan
kultur sosial mengajarkan gaya hidup yang mendasarkan diri pada kekayaan dan kekuasaan.

Perselingkuhan itu membuat mereka yang terlempar keluar tidak berdaya karena sistem
pendidikan dan kultur sosial menyingkirkan mereka dari derap masyarakat. Mereka adalah
orang-orang terluka yang di masa lalu selalu dihina, dilecehkan, dipukuli. Karena itu, tindak
kekerasan dilakukan sebagai balas dendam atas pengalaman masa lalu. Perilaku kekerasan
akan melahirkan kekerasan lain. Lingkaran balas dendam inilah yang terjadi dalam kasus
kekerasan di IPDN.

Masuknya perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan tidak hanya terjadi di IPDN saja, tetapi
juga dalam kegiatan masa orientasi sekolah (MOS) dan orientasi pengenalan kampus (OPK).
Kesalahan fatal dalam setiap MOS dan OPK adalah lepasnya campur tangan sekolah sebagai
pengarah kegiatan. Menyerahkan seluruh program kepada OSIS atau senat mahasiswa tanpa
kendali dari staf pendidik memungkinkan menelusupnya perilaku kekerasan dalam lembaga
pendidikan. Masuknya perilaku kekerasan akan mereproduksi perilaku kekerasan secara
berkelanjutan dari tahun ke tahun. Maka, yang paling bertanggung jawab jika ada perilaku
kekerasan dalam lembaga pendidikan adalah pimpinan lembaga itu sebab ia tidak becus
menciptakan kebijakan yang kondusif bagi keberhasilan visi pendidikan kelembagaannya.

Bisa jadi sistem akan membelenggu individu sehingga proses pembaruan tidak bisa terjadi, pun
jika telah terjadi pergantian pucuk pimpinan lembaga pendidikan seperti IPDN. Kasus di IPDN
menunjukkan kelemahan sistem pendidikan. Tetapi, kelemahan sistem ini terjadi karena
lemahnya kepemimpinan. Lemahnya kepemimpinan terjadi karena tidak adanya visi pendidikan.
Tidak adanya visi pendidikan membuat lembaga pendidikan hanya mereproduksi perilaku
tradisional dari tahun ke tahun dalam proses rekrutmen anggota-anggotanya.

Budaya kolusi, uang semir, pendaftaran lewat orang dalam, pemesanan tempat atas nama
orang-orang tertentu yang berkuasa hampir menjadi pemandangan harian rekrutmen orang-
orang pemerintahan dan lembaga militer. Situasi ini mengakibatkan visi lembaga pendidikan kian
kabur. Visi pendidikan tidak akan jelas jika lembaga pendidikan menjadi tempat di mana berbagai
macam kepentingan beradu. Akhirnya hanya mereka yang berkuasa saja yang bisa lolos dalam
proses rekrutmen ini.

Jika situasi ini terus terjadi di IPDN, kesalahan utama pada Menteri Dalam Negeri yang tidak
berani merombak sistem rekrutmen para pamong praja di lingkungannya. Akibatnya, cita-cita
perbaikan pelayanan terhadap masyarakat melalui aparat negara yang bersih, berwibawa, dan
memiliki pelayanan tidak terjadi.

Perilaku kekerasan di lembaga pendidikan dapat diretas jika ada visi pendidikan yang jelas dan
sistem pendidikan yang terbuka atas kontrol publik. Rakyat berhak tahu informasi tentang
bagaimana pendidikan dan pembinaan para calon praja yang akan menjadi pelayan masyarakat.

Menurunkan tim investigasi dan polisi untuk menyelidiki tidak akan memperbaiki sistem
pendidikan di IPDN jika struktur dan kultur yang melingkupinya tidak dirombak. Untuk
merombaknya, dibutuhkan dua syarat.

Pertama, butuh pemimpin berkarakter yang memiliki visi pendidikan yang jelas bagi pendidikan
calon pelayan rakyat. Pemimpin ini harus dapat menciptakan struktur dan kultur baru di IPDN
agar perilaku kekerasan terpotong dari tradisi pendidikan yang selama ini ada.

Kedua, tiap lembaga pendidikan harus mempertanggungjawabkan kinerjanya terhadap


pemangku kepentingan, yaitu orangtua dan masyarakat. Karena itu, sistem pendidikan, baik
proses, materi pendidikan, kurikulum, praksis di lapangan harus bersifat terbuka dan dapat
dikontrol publik. Untuk inilah pers berperan mengomunikasikan kinerja pendidikan tiap lembaga
pendidikan kepada masyarakat.

"Homo Violens"
Bahwa para praja yang masuk IPDN ternyata diam saja diperlakukan secara sewenang-wenang
oleh seniornya menunjukkan kematian rasionalitas dalam diri para praja. Homo violens memang
bagian kodrat manusia yang merupakan homo sapiens. Namun, homo violens terjadi karena
kebutuhan dasar untuk mempertahankan kehidupan. Dalam kasus IPDN, kehadiran homo
violens bukan karena kebutuhan dasar untuk mempertahankan hidup, tetapi karena matinya
rasionalitas.

Tidak ada satu jiwa merdeka pun yang mau ditendang, dipukuli, dan dianiaya secara sistematis
seperti terjadi di IPDN. Kematian rasionalitas menandai matinya kemerdekaan dan penghargaan
terhadap kemartabatan sendiri. Menolak adalah sikap merdeka yang harus hadir dalam jiwa
setiap individu saat diperlakukan secara sewenang-wenang sebab tidak ada kaitan antara
tendangan bebas ke dada atau pukulan bertubi-tubi ke ulu hati untuk menciptakan pamong praja
pengabdi rakyat.

Kekejaman dalam dunia pendidikan harus dihentikan!

(Adapted from Opini-KOMPAS, April 11, 2007. An opinion by Doni Koesoema A Mahasiswa
Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Kepausan Salesian, Roma)

[yap/mpr-04/2007] http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=3588

Kejahatan Dalam Berpasangan

Dalam tradisi filsafat, dikenal apa yang disebut sebagai ‘dilema kejahatan’. Dari mana
asal kejahatan? Apakah hubungan Tuhan dengan kejahatan? Apa dialektikanya terhadap
kebaikan? Mari kita simak bersama.

DALAM tradisi agama-agama semitik, terutama Kristen dan Yahudi, Tuhan dicirikan
memiliki tiga sifat paling fundamental, yakni Maha Kuasa (Omni Potent), Maha Tahu
(Omni Scient), dan Maha Kasih (Omni Benevolent). Beberapa orang menambahkan
bahwa Tuhan itu juga Maha Hadir (Omni Present), ada dimana saja. Mengenai Omni
Present, sebenarnya masih sangat diperselisihkan. Ketika sejumlah teolog memahami
bahwa Tuhan ada di semua tempat dan di setiap waktu atau imanen dalam ciptaannya,
yang lain menganggap Tuhan ada entah bagaimanapun juga di luar makhluk-Nya atau
transenden.

Tuhan Maha Kuasa, artinya bisa melakukan segalanya. Jika Ia ingin menghacurkan
segalanya dalam sekejap atau menciptakan yang tak berhingga dari yang tidak ada, maka
tidak ada kesulitan apapun bagiNya. Tetapi bisakah Tuhan menciptakan pintu yang
terbuka sekaligus tertutup, atau sebuah lingkaran yang sekaligus bujur sangkar? Bisakah
Tuhan membuat 1+1=37? Ini kelihatan absurd dan banyak kaum teolog yang tidak suka
menerima bahwa Tuhan tidak bisa menciptakan hal ini yang secara logika tidak mungkin,
karena itu akan membatasi kekuasaanNya.

Tuhan juga Maha Tahu, artinya tidak seorang pun atau sesuatu pun yang bisa
bersembunyi dari Tuhan, karena Ia bisa melihat dan mengetahui segalanya, termasuk
pikiran yang paling mendalam sekalipun. Beberapa orang khawatir akan kenyataan
kemahatahuan ini, karena tampaknya menghadirkan masalah bagi kehendak bebas
manusia. Misalnya jika Tuhan tahu bahwa saya kira-kira memilih kopi daripada teh,
apakah berarti pilihan saya tidak sungguh-sungguh bebas, karena telah ditakdirkan begitu
adanya di luar pengawasan saya. Kekhawatiran ini hanyalah kesalahpahaman. Fakta
bahwa Tuhan mengetahui apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi kemudian tidak
harus bermakna bahwa masa depan telah ditentukan. Kenyataan bahwa Ia bisa melihat
masa depan tidak berarti bahwa masa depan itu bukanlah hasil pilihan bebas kita. Tuhan
mengetahui apa yang akan dilakukan dengan bebas tanpa maksud mencurigai kebebasan
tersebut.

Tuhan juga lazim diterima sebagai Maha Kasih. Dalam kalimat pujian yang sangat
terkenal “Tuhan adalah cinta”, yang berarti tidak ada batas bagi kasihNya. Tuhan tidak
akan mengizinkan siapapun menderita, karena itu di luar cinta. Satu masalah yang jauh
lebih serius mengenai konsep ini membuat keprihatinan banyak orang dalam hal
mengapa ada kejahatan dan penderitaan di dunia. Ini biasa disebut sebagai masalah
kejahatan.

Masalah kejahatan dibagi menjadi dua tipe. Ada kejahatan moral, yakni hal-hal jahat
yang merupakan tindakan manusia, seperti penyiksaan, kekejaman, penindasan, dan
sebagainya. Ada juga yang disebut kejahatan alamiah, seperti banjir, penyakit, gempa
bumi, kecelakaan, dan lain-lain.

Masalah bagi konsep Tuhan tradisional adalah adanya banyak macam kejahatan. Ada
begitu banyak hal yang membawa banyak orang untuk menanyakan bagaimana eksistensi
penderitaan seperti itu cocok dengan eksistensi bahwa Tuhan Maha Kasih. Bahkan
masalah ini bisa dinyatakan secara lebih tegas. Jika Tuhan ada, bagaimana Dia bisa
menjelaskan kejahatan ini? Tampaknya ada tiga jawaban yang mungkin. Bisa jadi Dia
tidak mengetahuinya, tetapi itu berarti Tuhan tidaklah Maha Tahu. Bisa jadi Dia
mengetahuinya tapi tidak peduli terhadapnya, tetapi itu akan menandakan bahwa Tuhan
tidaklah Maha Kasih. Bisa juga Dia tidak bisa menghentikannya, tetapi itu akan berarti
Tuhan tidaklah Maha Kuasa. Sehingga keberadaan kejahatan benar-benar mengubah
dengan sangat radikal pikiran kita bahwa Tuhan tidak bisa Maha Tahu, Maha Kuasa, dan
Maha Kasih.

Beberapa orang menegaskan bahwa cukuplah mengatakan Tuhan itu tidak ada. Namun
beberapa orang menawarkan solusi bahwa Tuhan bisa tahu tentang penderitaan, peduli
pada penderitaan, dan mampu melakukan sesuatu mengenai penderitaan, tetapi dengan
tetap mengizinkan kejahatan berjalan terus. Solusi ini biasa disebut teodisi.

Beberapa teodisi terlihat tidak masuk akal sama sekali. Misalnya, beberapa menyangkal
kenyataan bahwa ada kejahatan apa saja di dunia ini. Sesuatu mungkin kelihatan buruk
dari mana kita berdiri, tetapi itu karena kita tidak bisa melihat gambar secara
keseluruhan. Dari tempat mana Tuhan berada, segala sesuatu kelihatan baik. Sulit melihat
bagaimana siapa saja bisa menerima ini, paling tidak ketika untuk menjaga agar
perikemanusiaan tetap utuh. Menyaksikan pembantaian oleh Nazi misalnya, dan kita
menyatakan bahwa itu hanya kelihatan buruk karena kita tidak bisa menyaksikan
gambarannya secara keseluruhan, bisa jadi menjadikan kita tidak punya perasaan sama
sekali.

Ada juga teodisi yang lebih dipercaya tidak menyangkal realitas kejahatan, tetapi
berusaha menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kejahatan itu lebih baik ada
daripada tidak ada. Seperti seorang tukang gigi yang meminta Anda untuk bertahan
dengan rasa sakit karena Anda akan mengambil manfaatnya dalam jangka panjang. Jadi
dalam pandangan ini Tuhan mengizinkan kita untuk menderita karena itu penting untuk
jangka panjang.*

Apa yang membuat mungkin semua penderitaan di dunia ini menjadi bermanfaat? Satu
jawaban yang cukup memuaskan adalah adanya kehendak bebas yang berkaitan dengan
berlakunya Prinsip Keberpasangan. Bahwa Tuhan menciptakan semuanya berpasang-
pasangan, dan bahwa di dunia ini ada kebaikan dan tentu harus ada pula keburukan,
kejahatan, penderitaan, atau apapun namanya. Makhluk cerdas seperti manusia diberikan
suatu kehendak bebas dan berkesempatan untuk memilih diantara keduanya. Apabila
manusia memilih jalan kebaikan, maka kebaikan pula yang akan mereka terima kelak di
kemudian hari. Namun apabila mereka memilih jalan keburukan, maka keburukan
pulalah yang akan diterimanya. Inilah pilihan hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada
manusia. Sebab itu, baik kejahatan maupun kebaikan sangat diperlukan eksistensinya
dalam kehidupan. Dua hal tersebut hanyalah bagian dari keteraturan alam yang didesain
berdasar Prinsip Keberpasangan.

Tuhan itu Maha Kasih, adanya kejahatan tentu juga menandakan kasihNya. Rasa nikmat
dan kesenangan tidak akan pernah kita rasakan tanpa adanya rasa sakit dan kesengsaraan.
Apabila tidak ada penderitaan di dunia ini, maka tidak akan ada pula yang namanya
kebahagiaan. Kebahagiaan muncul ketika penderitaan juga muncul. Salah satu diantara
mereka adalah pembanding daripada salah satu yang lain.

Orang bijak sering mengatakan lauk yang terlezat adalah rasa lapar, minuman yang
tersegar adalah rasa haus, istirahat yang ternikmat adalah saat lelah, dan tidur yang paling
pulas adalah saat kantuk menyerang. Bagaimana mungkin kita akan menikmati lezatnya
makanan kalau kita makan sepanjang hari. Bagaimana mungkin kita akan menikmati
istirahat jika sepanjang hari kita tidur dan duduk-duduk. Nikmati hidup ini dengan
kesulitan dan penderitaan, maka kita akan tahu apa artinya kebahagiaan. Jadi,
mengatakan bahwa Tuhan tidak tahu, tidak berkuasa, dan tidak welas asih terhadap
adanya kejahatan jelas sesuatu yang tidak beralasan, jika dihadapkan pada keberlakuan
Prinsip Keberpasangan yang telah ditetapkan sebagai pondasi semesta.
http://netsains.com/2009/02/kejahatan-dalam-keberpasangan/
http://saungwali.wordpress.com/2007/06/05/fasisme-dalam-dunia-pendidikan/

Fasisme Dalam Dunia Pendidikan


{ June 5, 2007 @ 11:10 am } · { Forum }

1. Pendahuluan

Hadiah apa yang lebih besar dan lebih baik yangbisa kita berikan kepada negara kalau
bukan mengajar dan mendidik orang-orang muda kita.Cicero

Pesan dari Cicero mengingatkan kita kembali akan pentingnya pendidikan bagi
kehidupan bangsa dan negara. Andaikan suatu negara tidak memiliki pendidikan, itu
mungkin akan menjadi neraka ke dua bagi kita. Sebuah bangsa berkembang karena
memang memiliki tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusia yang tinggi.

Kita mungkin masih ingat bagaimana Jepang harus menyerah pada sekutu saat
perang dunia ke dua. Kerugian besar melanda Jepang, politik, ekonomi, serta tata
kehidupan sosial luluh lantah. Pada saat itu kaisar Jepang tidak menanyakan berapa
jumlah pasukan yang masih tersisa?, berapa amunisi yang masih tersedia?, tetapi dia
menanyakan berapa guru yang masih tersisa?. Kaisar Jepang tahu betul akan manfaat
keberadaan guru sebagi tombak untuk kembali membangun Jepang yang sudah hancur.
Dan terbukti secara bertahap, Jepang mulai menunjukkan diri sebagai bangsa yang maju
dan berkembang, malah sekarang Jepang mungkin menjadi raja asia seperti yang mereka
kumandangkan (Nipon cahaya Asia, Nipon pelindung Asia, Nipon pemimpin
Asia).
Pendidikan memang merupakan suatu motor penggerak bagi perubahan bangsa
dan Negara. Winston Churchill mengatakan bahwa usaha perbaikan merupakan
perubahan, untuk menjadi sempurna membutuhkan perubahan yang lebih sering. Kita
memang tidak bisa melepaskan peran yang lain untuk melakukan perubahan seperti
politik, ekonomi, budaya dan yang lainnya. Tetapi, tak ada perubahan tanpa pendidikan
yang matang. Dengan pendidikan, manusia dibentuk untuk sadar akan peranannya
sebagai manusia, ia dituntut untuk berperan serta aktif dalam segala bidang sesuai dengan
potensi yang mereka miliki. Sejarah memberikan gambaran yang cukup banyak
bagaimana orang-orang besar ditempa, digembleng dengan pendidikan yang matang
untuk merubah dunia ini, bahkan Muhammad pun dididik untuk menjadi nabi – dalam
rentang waktu yang cukup lama mulai dari fase gua hira atau denga fase madinah.
Sehubungan dengan pentingnya pendidikan sebagai alat perubahan, tentunya kita
harus memiliki sebuah sistem yang menjadi rancang bangun bagi terciptanya sebuah
pembelajaran yang produktif. Kita juga harus memiliki pola belajar dalam pendidikan
yang sesuai dengan kodrat kita sebagai manusia. Ingat yang dikatakan oleh Immanuel
Kant bahwa sistem dibuat oleh manusia, dan untuk memanusiakan manusia. Bagaimana
dengan pendidikan di negara kita, apakah sudah dapat memanusiakan manusia?. Untuk
menjadikan pendidikan sebagai pabrik manusia, landasan-landasan filosofis kita
mengenai manusia harus tetap kita pegang. Apakah hal itu berkaitan dengan potensi,
prilaku, sifat, ataupun karakteristik manusia pada umumnya.
Namun sayangnya, di dalam dunia pendidikan masih terjadi pola penyimpangan
yang tidak memperhatikan asas-asas manusia. Dalam makalah ini, penulis akan
membahas satu pola penyimpangan dalam dunia pendidikan tersebut, terutama hal yang
berkaitan dengan kekerasan dalam dunia pendidikan.
Kekerasan atau yang sering diidentikkan dengan fascisme masih sering terjadi di
dalam dunia pendidikan. Kita sering mendengar dalam berita bagaimana seorang guru
memperlakukan murid dengan tidak wajar. Misalnya, seorang murid dipukul karena satu
kesalahan, dihukum dengan hukuman yang tidak mendidik, bahkan kita sempat ngeri
ketika mendengar ada murid yang mati karena gurunya. Seorang anak memiliki
kemampuan yang sangat peka terhadap apa yang mereka rasakan dan alami. Jika
perlakuan fasis ini melekat pada otak serta hati si anak, tentunya akan berdampak pada
kehidupan sosial yang akan datang, pada sebuah masa yang akan mereka hadapi, dan
pada sebuah zaman yang tidak bisa mereka hindarkan.
Contoh tersebut hanyalah sebagian kecil yang sering kita lihat dan dengar, tidak
menutup kemungkinan masih banyak tindakan fascisime di dunia pendidikan, yang
sayangnya tidak kita sadari. Jika pendidikan dikatakan sebagai aktifitas khas manusia,
apakah lalu kita akan mengatakan bahwa kekerasan (fascisme) juga merupakan aktifitas
khas manusia?, dengan berpegang pada klausul bahwa manusia adalah serigala bagi
manusia yang lain?.
Seperti yang sudah disebutkan di awal, karena pendidikan sebagai alat perubahan,
tentunya kita harus menjauhkan pendidikan dari fascisme. Fascisme bukanlah teman
yang baik sebagai pendamping pendidikan dalam cita-cita perubahan. Dunia pendidikan
harus mampu menanamkan nilai-nilai, norma, serta kaidah yang sesuai dengan kodrat
manusia, hanya dengan itulah manusia akan sadar akan terciptanya sebuah perubahan.

2. Akar Fascisme Kata Fascisme berasal dari kata Fascio. Dalam bahasa Latin disebut
dengan fasces yang artinya seikat tangkai atau tongkat yang dililitkan pada sebuah kapak.
Benda tersebut digunakan sebagai lambang dari sebuah kekuasaan politik yang didukung
oleh persatuan bangsa dan pertama kali digunakan oleh bangsa Romawi Kuno (Elson,
1986:25). Kata inilah yang digunakan Mussolini untuk partai yang didirikannya yaitu
fascio dicombattimento pada tahun 1921. Oleh sebab itu, bila berbicara mengenai
fascisme maka kita akan selalu ingat kepada nama orang satu ini (Mussolini).Semenetara
itu dalam Kamus Filsafat disebutkan fascis adalah sebuah sistem pemerintahan di mana
semua kekuasaan berada pada tangan seorang diktator absolut. Sistem pemerintahan ini
ditandai dengan pengawasan sosial dan ekonomi yang ketat, kebijakan nasionalistik yang
seringkali disertai rasisme dan penindasan terhadap terhadap kritik dan oposisi. Walupun
fascisme selalu diidentikkan dengan sistem pemerintahan dan politik, namun kita dapat
mengambil sebuah identifikasi baru – dari dua pengertian fascis di atas – tentang
facsisme dalam dunia pendidikan. Adapun kata kunci yang bisa kita ambil sebagai gejala
fascisme dalam dunia pendidikan diantaranya: kekuasaan diktator absolut, rasisme, serta
yang terakhir penindasan terhadap kritik dan oposisi. Dari tiga indikasi ini, kita akan
mencoba mengupas apakah hal ini terjadi di dunia pendidikan atau tidak.

3. Dasar PendidikanBagaimana kita mendidik anak agar menjadi sumber daya manusia
yang berkualitas, tentunya kita harus memiliki landasan filosofis dalam cara mendidik
anak. Ada sebuah puisi yang sangat sederhana namun begitu besar maknanya dari
Dorothy yang bisa kita jadikan sebagai landasan cara mendidik seorang anak.

Children Learn What They Live

If a child lives with criticism, He learns to condemn.If a child live with hostility, He
learns to fight.If a child live with ridicule, He learns to be shy.If a child live with
shame, He learns to feel gulity.If a child live with tolerance, He learns to be
patient.If a child live with encouragement, He learns to be confident.If a child live with
praise, He learns to appreciate.If a child live with fairness, He learns justice.If a
child live with security, He learns to have faith.If a child live with approval, He
learns to like himself.If a child live with acceptance and friendship, He learns to find
love in the world.

Anak belajar dari kehidupannya kata Dorothy, karenanya anak harus dididik
sebaik mungkin. Pola asuh dan didik yang salah pada anak akan menjadi fatal, baik bagi
kognisi anak maupun mentalnya, dan itu mungkin akan menjadi ladang dosa bagi kita.
“Anak yang salah didik adalah anak yang hilang”, begitulah kata John K. Kennedy.
Terlebih lagi anak yang didik dengan kekerasan, entah akan menjadi seperti apa dia
kelak. Setiap manusia memang bisa untuk dididik, namun tentunya tidak semua pola
didikan untuk anak sama, kita harus memiliki pola yang sesuai dengan tujuan pendidikan
itu sendiri.
Pada dasarnya setiap guru atau mungkin setiap orang mengetahui cara yang baik
dalam mendidik anak. Setiap buku menyajikan berbagai teori dan praktik mengenai
pendidikan, pola mengajar, cara mendidik yang begitu lengkap. Namun, sangat sulit bagi
kita untuk melakukannya. Betul apa yang dikatakan oleh Wolfgang van Goethe: “Semua
pemikiran yang bijaksana sebenarnya telah terpikirkan ribuah kali, namun untuk
menjadikannya sepenuhnya sebagai milik kita, kita harus memikirkannya secara tulus
berulang kali, sampai hal itu mengakar di dalam pengalaman pribadi kita”.

4. Gejala Fasis Dalam Dunia Pendidikan

4.1 Penanaman Idiologi Yang Dipaksakan


Penanaman idiologi yang dipaksakan adalah contoh pertama dari gejala fascis di
dunia pendidikan. Idiologi secara sederhana adalah suatu gagasan atau ide yang dipegang
teguh dalam menjalankan kehidupan. Idiologi memang sangat diperlukan dan penting
bagi setiap orang, bahkan orang yang tidak memiliki idiologi mungkin dianggap tidak
memiliki pegangan hidup. Dalam persoalan idiologi, guru memang memiliki tugas untuk
menanamkan nilai kepada seorang murid untuk mereka jadikan pegangan. Namun,
seorang guru pun tidak boleh lupa bahwa murid mempunyai hak untuk memilih satu
idiologi yang mereka yakini.

Terkadang kita sering mengalami di dunia pendidikan, seorang guru menjejali sebuah
pemahaman sesuai dengan yang diinginkan oleh guru. Pemahaman itu kemudian ia
bangga-banggakan di hadapan murid, bahkan sambil menjelek-jelekan pemahaman yang
lain. Terlebih lagi, idiologi yang diajarkan oleh gurunya itu sesuai dengan idiologi yang ia
pegang. Misalnya, seorang guru mengatakan bahwa idiologi Marxis lebih baik dari
idiologi lain, karena kebetulan si guru berhaluan Marxis. Atau karena gurunya Islam, ia
mengatakan kepada muridnya Islam-lah yang terbaik.
Memberikan penjelasan atau materi tentang satu idiologi memang tidak terlihat
salah. Namun, ketika guru hanya memberikan penjelasan satu idiologi kepada muridnya,
ini sama juga dengan pemaksaan. Walaupun guru tidak menyuruh muridnya untuk
memilih idiologi yang ia ajarkan, tetapi kalau satu idiologi saja yang diajarkan dan itu
terus diulang-ulang, itu sama saja menyuruh murid untuk memilih idiologi yang
diinginkan oleh si guru. Bahkan mungkin ada seorang guru yang menjejali muridnya
dengan satu idiologi yang ia inginkan – itu lebih parah. Hal ini tidak ada bedanya dengan
zaman orde baru. Kebiasaan orde baru adalah selalu memaksakan singularitas, dan yang
berbeda dianggap subpersif.
Idiologi berkaitan dengan kepercayaan. Dalam kitab Bhagavada Gita disebutkan
bahwa manusia dibentuk dari kepercayaan, apa yang ia percaya, itulah dia. Bagaimana
kepercayaan seseorang itu terbentuk, tentu mengalami proses yang panjang. Namun,
kepercayaan itu tumbuh atas kesadaran atau dijejali?. Kita memang sulit untuk milihat
apakah seorang guru menanamkan idiologi secara dipaksakan atau tidak. Mengenai hal
ini, ada satu hal yang bisa kita perhatikan terutama berkaitan dengan wibawa seorang
guru.
Setiap murid diwajibkan untuk menghormati guru. Dari penghormatan inilah
muncul kepatuhan seorang murid kepada gurunya, dan dari kepatuhan ini guru biasanya
dianggap berwibawa. Bagi seorang murid yang kurang pemahaman, setiap ucapan guru
biasanya selalu dianggap benar, guru dianggap sumber kebenaran. Dengan wibawanya,
guru dengan mudah menanamkan pandangan, pendapat, atau idiologi yang ia inginkan
kepada muridnya. Dari sinilah murid dibentuk menjadi sosok dengan satu idiologi sesuai
dengan yang diinginkan gurunya, bukan yang diinginkan muridnya sendiri. Seorang
murid yang ditanamkan idiologi yang dipaksakan sebetulnya mengalami keterasingan
pribadi, ia tidak akan mengenal potensinya – sebagai manusia yang bebas – sendiri.
Dari penanaman idiologi yang dipaksakan ini, akan berdampak pada pribadi si
murid khususnya di masa yang akan datang. Pertama, anak akan menganggap idiologi
yang ia pegang yang paling benar, dengan mengganggap idiologi lain salah. Ini
sebetulnya gejal penjiplakan, sikap murid tidak jauh berbeda dengan sikap gurunya.
Dalam psikologi, Karl Gustav Jung mengatakan hal ini sebagi ketidaksadaran kolektif.
Kedua, anak (murid) cenderung sulit untuk menerima pendapat yang berbeda dengan
dirinya. Ketiga, anak sulit untuk menentukan satu sikap ketika dihadapkan pada suatu
pilihan.
Ketiga dampak tersebut muncul karena pada saat proses belajar – termasuk
belajar tentang idiologi – guru tidak memberikan kesempatan kepada murid untuk
memilih. Humanisme eksistensialis berpendapat bahwa kesempurnaan manusia terletak
pada ikhtiar (choice) dan liberalitas yang ada pada dirinya. Mereka beranggapan bahwa
“Semakin luas wilayah kebebasan pada diri manusia maka semakin sempurnalah ia”,
dalam hal ini termasuk kebebasan seseorang untuk memilih. Seorang guru harus
memberikan kebebasan kepada murid untuk memilih satu idiologi yang mereka yakini.
Guru memberikan beberapa penjelasan mengenai idiologi, lalu murid harus diberi
kesempatan untuk menganalisis, membandingkan, dan pada akhirnya menentukan
idiologi mana yang mau ia pilih. Analoginya, apabila ada seorang ibu yang akan
memberikan pakaian kepada anaknya, tentu si anak itu yang lebih tahu mana pakaian
yang lebih cocok buat dia. Si ibu hanya bisa memberikan saran saja atau mengingatkan si
anak kalau pakaian yang ia pakai itu tidak benar. Begitu pula tentang idiologi, guru hanya
memberikan saran idiologi mana yang baik untuk muridnya, tetapi yang lebih tahu
idiologi mana yang cocok untuk si murid, tentu si murid itu sendiri.
Adapun hal yang dapat dilakukan supaya tidak terjadi pemaksaan terhadap satu
idiologi dalam pendidikan antara lain:

1. Setiap guru harus di beri wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan ini


meliputi berbagai hal yang membentuk Negara
Indonesia seperti agama, budaya, sosial-politik, maupun ekonomi. Selain itu asas
pluralitas harus ditanamkan. Persoalan-persoalan bangsa yang terjadi hari ini
banyak yang diakibatkan karena setiap orang tidak menghargai pluralitas. Dunia
pendidikan haruslah menjadi tempat sebagai penanaman asas pluralitas dalam
membangun kesatuan bangsa.

2. Setiap guru maupun murid harus memiliki pemahaman yang memadai


mengenai hak dan kewajiaban. Dengan pemahaman tersebut, diharapkan setiap
orang tumbuh rasa saling menghargai. Begitu pula penanaman nilai kebebasan
jangan kita lupakan. Walaupun kita tidak perlu menganut kebeasan seperti paham
humanisme eksistensialis, yang menganggap kebebasan sebagai sesuatu yang
mutlak. Kebebasan yang kita perlukan ialah kebebasan yang sejalan dengan nilai-
nilai yang kita pegang.
4.2 Hukuman Yang Tidak Wajar

Hukuman yang diberikan oleh guru kepada murid pada dasarnya untuk
memberikan pelajaran. Biasanya hukuman dilakukan untuk memberikan efek jera.
Misalnya seorang murid tidak mengerjakan tugas yang diberikan gurunya, melanggar
peraturan sekolah, atau hal-hal lain yang membuat murid harus diberi hukuman.
Hukuman di dalam dunia pendidikan mengang tidak jauh berbeda landasannya dengan
hukum pada umumnya. Setiap manusia diberikan hak, namun di samping itu mereka juga
diberi kewajiban. Jika kewajiban yang oleh manusia tidak dijalankan, maka hukum
bertindak.

Kita harus ingat manusia berbeda dengan binatang. Kita mungkin pernah mendengar
sebuah pribahasa, “seekor musang tidak akan pernah jatuh pada lubang yang sama”.
Musang tidak akan jatuh pada lubang yang sama karena memiliki insting, dan insting
itulah yang menimbulkan efek jera. Namun apakah musang itu tahu kalau lubang itu
berbahaya bagi dia?. Seorang murid dididik dengan hukuman bukan hanya untuk
menimbulkan efek jera, lebih dari itu, hukuman yang diberikan harus bisa menimbulkan
kesadaran pada diri si murid. Hingga kini, mungkin hukuman konvensional yang
diberikan oleh guru masih banyak dilakukan. Misalnya, ketika murid melakukan
kesalahan ia harus berdiri di tengah lapang, seperti prajurit yang dihukum komandannya,
disuruh lari beberapa keliling di lapangan sekolah, atau biasanya disuruh membersihkan
wc, yang pada dasarnya bukan tugas murid. Rasanya militerisme sudah masuk di dunia
sekolah umum, sebab hukuman ini lazimnya terjadi di dunia militer. Bahkan di negeri
entah berantah ada seorang murid karena satu kesalahan oleh gurunya kemudian
digunduli rambutnya, tidak jauh berbeda seperti maling ayam yang ketangkap basah.

Kita coba mengingat kembali apa yang dikatakan Dorothy, “If a child live with
fairness, He learns justice”. Ketika seorang guru menerapkan hukuman dengan metode
kekerasan, saat itu juga si guru sedang mengajarkan kepada murid ketidak adilan. Kenapa
demikian, karena hukuman kekerasan bukanlah sebaik-baiknya perlakuan. Kita ambil
contoh lagi, misalnya murid yang dihukum oleh gurunya berdiri di tengah lapangan
sekolah, ditotontonlah murid yang dihukum itu oleh ratusan murid yang lain. Cemoohan,
tawaan keluar dari murid yang menonton pertunjukan hukuman ini. Awalnya mungkin si
guru beranggapan dengan cara tersebut murid yang dihukum tidak akan mengulangi
kesalahannya lagi, dan murid yang lain tidak mencontoh. Tetapi kita juga coba bertanya,
apakah hukuman itu dapat membuat murid menjadi sadar atas kesalahannya?, bagaimana
dengan efek bagi psikologi murid tersebut?. Jelaslah hukuman ini kurang pas untuk
seorang murid yang sedang belajar, khususnya belajar hidup.

Ada lagi yang lain, seorang murid karena satu kesalahan lalu oleh gurunya dicaci maki
“bodoh kamu…”, “dasar pemalas…”, “mau jadi apa kamu….”, “sialan kamu…”, dan
mungkin masih banyak kata-kata keras dari guru ketika memarahi muridnya. Bahkan di
kalangan siswa, BP yang dulunya sebagai badan penyuluhan siswa, seringkali dianggap
sebagai badan penyiksaan siswa. Karena di ruang BP-lah biasanya guru memarahi atau
menghukum murid. Bentuk fascis lain yang berkaitan dengan hukuman adalah sikap rasis
seorang guru. Ada beberapa guru yang seringkali bertindak berat sebelah atau tidak adil
dalam memperlakukan muridnya. Misalanya, karena murid dekat dengan guru, ketika ia
melakukan kesalahan, maka si guru tidak menghukumnya. Karena orang tuanya murid
dekat dengan guru, lalu guru tidak menghukum kesalahan murid. Atau karena murid itu
anaknya kepala sekolah atau anak pejabat, guru takut menghukum murid. Gejala
kekerasan/fascis di dunia pendidikan yang berkaitan dengan hukuman tentu akan
menimbulkan efek negatif bagi murid. Minimal ada tiga hal yang dapat saya kemukakan.
Pertama, rasa dendam pada diri murid terhadap guru. Hal ini muncul karena murid tidak
diberi sebaik-baiknya perlakukan oleh gurunya, dan biasanya murid menganggap dirinya
tidak diperlakukan adil. Guru seharusnya menjadi pembimbing ketika murid melakukan
kesalahan, guru menjadi pengingat ketika murid melakukan kekhilafan, bukan malah
menjadi algojo ketika murid melakukan kesalahan dengan hukuman-hukumannya. Rasa
dendam ini juga muncul karena sikap rasis seorang guru, lalu dengan rasa dendam
tersebut muncullah kebencian serta persepsi negatif dari murid tentang gurunya. Jika
murid sudah benci pada gurunya, maka apapun yang baik tentang gurunya ia akan
menolak, sebab ia pernah memiliki pengalaman buruk dengan gurunya. Kedua, ketidak
sadaran akan sebuah nilai yang harus dipegang. Pada mulanya dalam pendidikan, dalam
diri guru harus ada nilai-nilai yang bisa ditanamkan dalam diri murid. Murid dibimbing
oleh guru untuk mematuhi nilai-nilai melalui guru tersebut. Namun karena guru
menerapkan hukuman yang tidak wajar pada murid, hal ini bisa menjadi sesuatu yang
kontraproduktif bagi tujuan pendidikan. Contoh, seorang murid yang tidak mengerjakan
tugas lalu ia dihukum berdiri di depan kelas dihadapan murid yang lain, atau dengan
hukuman tidak boleh masuk kelas. Suatu hari ketika guru tersebut akan memberikan
tugas lagi, maka akan timbul kecemasan pada diri murid. Murid menjadi takut ketika ia
tidak mengerjakan tugas, bernasib seperti temannya yang terdahulu. Pada akhirnya murid
mengerjakan tugas bukan karena ia sadar bahwa hal itu merupakan kewajiban
sebagaimana tertuang dalam nilai-nilai pendidikan, namun karena takut akan hukuman
gurunya.

Ketiga, pengaruh psikologis terutama terbentuknya konsep diri negatif pada


murid. Menurut William D. Brooks konsep diri ialah “those physical, social, and
psychological perceptions of ourselv

Anda mungkin juga menyukai