Anda di halaman 1dari 11

Jumlah Kasus Aborsi di Indonesia

Posted by admin under: Bahan Kuliah Umum; Bahan Kuliah Umum Semester I .

Tiap Tahun Terjadi 2,6 Juta Kasus Aborsi di Indonesia

JAKARTA - Setiap tahun terdapat sekitar 2,6 juta kasus aborsi di Indonesia, yang berarti
setiap jam terjadi 300 tindakan pengguguran janin dengan resiko kematian ibu.
“Sedikitnya 700 ribu diantaranya dilakukan oleh remaja atau perempuan berusia di
bawah 20 tahun,” kata Deputi Bidang Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Siswanto
Agus Wilopo, di Jakarta, Kamis (23/11). Menurut Ketua Minat Kesehatan Ibu dan
Anak/Reproduksi Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
(UGM) itu, data aborsi tersebut meliputi kasus aborsi yang terjadi secara spontan
maupun dengan induksi. Sebanyak 11,13% dari semua kasus aborsi di Indonesia,
tambah Siswanto, dilakukan karena kehamilan yang tidak diinginkan ( unwanted
pregnanc
http://blogs.unpad.ac.id/ati_ksfisip/?p=7

Kekejaman terhadap anak-anak pelaku kejahatan (kasus


maling pupuk pekanbaru)
 Februari 26, 2009 – 9:27 am
 Ditulis dalam Uncategorized

Entah hinaan apa yang mesti diucapkan ketika saya melihat berita penyiksaan atau lebih tepatnya
penghakiman terhadap anak 17 tahun yang bernama Mario Marbun. Mario seperti saya baca di
beberapa situs berita elektronik dan liputan berita di TV di tengarai melakukan pencurian 2 Kg
pupuk milik seorang warga di kabupaten siak.

MIRIS,MIRIS,MIRIS.. ketika saya menyaksikan seorang bocah dengan tangan terikat,


ditelanjangi sampai hanya tinggal celana dalam dan kemeja yang dipakai untuk mengikat kedua
tangan anak itu. LEBIH MIRIS,MIRIS,MIRIS.. Ketika saya melihat para bapak-bapak
mengayunkan balok kayu ke wajah, jari kaki, tulang kering kaki, perut, dan punggung.
BAYANGKAN!!!!!!!!!!! para penonton kejadian itu menertawakan peristiwa yang tengah
berlangsung!!!!!!!!!!!!!!!

Dalam video tersebut pun nampak para ALGOJO itu menyundutkan puntung rokok ke wajah
Mario Marbun. Darah sudah mengucur memenuhi wajah anak tersebut. Kemudian lagi tindakan
itu dilakukan di sebuah lapangan badminton yang ramai dipenuhi massa yang menyaksikan
seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa. Kaki Mario Marbun diseret kemudian dipiting dan dinjak
bagian lututnya dari depan seolah ingin dipatahkan. BAYANGKAN BAGAIMANA
RASANYA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Informasi yang saya baca menuliskan bahwa video itu berdurasi 18 menit, 18 menit yang
mengandung derita seorang anak yang disiksa oleh orang-orang dewasa yang memiliki OTAK
BINATANG, B*NGS*T!!!!!!!!!!. 18 menit menghakimi seolah-olah mereka yang paling benar.

Tidak setitik pun saya membenarkan anak tersebut mencuri, ada proses hukum yang bisa
berbicara walau saat ini kepercayaan terhadap kepastian hukum kita masih sangan rendah.

KUTIPAN DETIK NEWS :

Dalam keadaan terikat, silih berganti tubuhnya digebukin dengan kayu. Serta sebagian warga
menendang wajahnya dengan kaki. Wajah Mario terlihat jontor. Hidungnya mengeluarkan
darah segar. Dia menjerit minta ampun, namun warga tetap menganiayanya.

Tak puas menggebukti, warga yang terdengar berbahasa jawa itu, menyeret Mario sambil
menyiramkan air. Tak sampai disitu, beberap bagian badan dan wajahnya disudut rokok. Dan
lebih sadis lagi, Mario disuruh berdiri, kaki kananya diluruskan lantas diterjang dari depan.
Bocah malang inipun tersungkur karena kakinya patah.

Kalau saya boleh bertanya kemana ya hati nurani masyarakat saat ini, begitu banyak penyiksaan
dan perbuatan bengis yang menunjukan peri”kebinatangan” manusia yang dianggap ciptaan yang
paling mulia dan berakhlak serta meliki akal budi bukan akal bengis.

Sampai saya menyelesaikan tulisan ini saya belum menemukan link yang mengupload video
kekerasan ini. Bangsa Indonesia ini mau dikenal sebagai bangsa apa??? Bangsa yang suka
menenteng kepala manusia? atau bangsa yang suka menyiksa manusia atas manusia?? atau
bangsa yang seperti apa?????

anggana bunawanhttp://angganabunawan.wordpress.com/2009/02/26/kekejaman-terhadap-anak-
anak-pelaku-kejahatan-kasus-maling-pupuk-pekanbaru/

Insinyur Sipil Cabuli Anak Lima Tahun


Kamis, 25 Juni 2009 | 05:06 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Yn (53), seorang insinyur teknik sipil, mencabuli bocah perempuan,
Rg (5), di Jalan AA, Kelurahan Kebun Jeruk, Kecamatan Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Setelah
diserahkan warga yang geram, Yn pun ditahan polisi di Polres Jakarta Barat, Rabu (24/6).

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Barat Komisaris Suyudi Ario Seto yang ditemui
menjelaskan, Rg mengadu kepada orangtuanya setelah dicabuli Yn ketika bocah itu bermain
sepeda.

"Peristiwa terjadi pada Selasa pagi. Yn yang tinggal di rumah kontrakan sekitar 50 meter dari
rumah korban mendatangi Rg yang sedang bermain sepeda. Dia pun memeluk Rg dari belakang,
kemudia dia (maaf) memasukan jari-jemarinya ke kemaluan Rg. Rg pun ketakutan dan minta
dilepaskan," kata Suyudi.
Setelah itu, Yn pergi ke warung di dekat rumah. Sekembali dari warung, dia kembali mendatangi
Rg dan merayu untuk kembali meraba-raba Rg.

Menurut Suyudi, Rg menolak dan memilih pulang ke rumah. Rg pun mengadukan perbuatan Yn
kepada orangtuanya.

Tidak terima atas perlakuan Yn, keluarga Rg meminta tanggung jawab insinyur alumni PTN
ternama di Bandung, Jawa Barat, itu.

Yn bersikukuh tidak mencabuli Rg. Ternyata ada beberapa tetangga yang menyaksikan
perbuatan Yn. Keluarga Rg pun menggelandang Yn ke Polsek Kebun Jeruk lalu diteruskan ke
Polres Jakarta Barat yang memiliki Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

Yn yang ditemui di ruang pemeriksaan Unit PPA Polres Jakarta Barat mengaku khilaf saat
mencabuli Rg. "Saya sebelumnya tidak pernah suka secara seksual kepada anak kecil," kata Yn.

Yn tinggal di rumah kontrakan dekat tempat tinggal Rg sejak dua bulan terakhir untuk
mengawasi sebuah proyek konstruksi struktur baja sebuah stasiun televisi swasta.

Kepala Unit PPA Polres Jakarta Barat Ajun Komisaris Budi Setiadi menambahkan, pihaknya
belum menemukan adanya materi pornografi anak di sarana kerja, seperti komputer yang
digunakan Yn. "Dia dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman tujuh tahun hingga 15 tahun
penjara. Berdasarkan visum, luka yang dialami korban terjadi di bagian luar kemaluan," kata
Budi.

Menurut Budi, korban berhak mendapat pelayanan konseling kejiwaan. Rg yang dibawa ke
Polres Jakarta Barat terlihat sudah kembali bercanda dengan anak-anak sebaya dan para polwan
yang berada di unit PPA.

http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/25/05064437/insinyur.sipil.cabuli.anak.lima.tahun

ABG Dicabuli Pacar Mamanya


http://www.kompas.com/read/xml/2009/05/19/0853305/abg.dicabuli.pacar.mamanya

MALANG, KOMPAS.com — Kejadian tragis ini bisa menjadi pelajaran bagi para janda yang
tengah dekat dengan pria. Kencana (nama samaran), seorang bocah SMP, mengaku dicabuli oleh
pacar ibunya. Ironisnya, aksi tak senonoh ini telah dilakukan sejak tahun lalu saat si ibu bekerja.

Pria berperilaku tak senonoh itu bernama Rocky (35), warga Jl Panglima Sudirman Gang
Manunggal, RT 4/7, Klojen, Malang. Karyawan di sebuah perusahaan ritel itu kini meringkuk di
tahanan Mapolresta Malang. Kencana (14) adalah anak dari Permata (nama samarang) yang
berusia 35 tahun.

Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Malang Inspektur Satu Polisi
Ketut Mariati mengatakan, tindakan bejat Rocky terbongkar setelah korban terbangun karena
merasa tubuhnya diraba-raba.

“Korban terbangun saat pelaku melakukan pencabulan. Ketika itu, Rocky langsung berpura-pura
tertidur di samping calon anak tirinya itu. Merasa diperlakukan tidak benar, Kencana kemudian
melapor ke pamannya. Dan si paman melapor ke polisi,” ucapnya.

Dari pengakuan Rocky, tindakan pencabulan yang dilakukannya sudah terjadi sejak tahun lalu.
Dirinya melakukan tindakan tak senonoh itu saat Kencana tertidur. Pencabulan terakhir yang
dilakukan Rocky terjadi Kamis (14/5) pekan lalu. “Saya sudah pacaran (dengan ibunya) selama
dua tahun. Karena sudah akrab, saya sering berada di rumah pacar saya itu. Saya juga sering
tidur di rumah itu,” kata Rocky.

Rocky mengatakan, dirinya memanfaatkan situasi rumah yang sepi pada siang hari ketika
Permata bekerja. Di saat Kencana tidur pulas karena capai sepulang sekolah, Rocky melakukan
tindakan bejatnya itu dengan meraba-raba tubuh gadis yang masih duduk di kelas III SMP itu.
“Merabanya pelan-pelan biar tidak terbangun.” ucapnya

Yang membuat keluarga Kencana semakin geram, Rocky melakukan pencabulan dengan cara
memberikan obat tidur dalam dosis besar hingga Kencana tertidur pulas.

Pemberian obat tidur memang tidak sering dan hanya dilakukan ketika korban sedang sakit.
Namun, tindakan ini jelas sangat berbahaya karena memungkinkan over dosis yang
menyebabkan kematian. “Waktu dia sakit pilek atau saat asmanya kambuh, saya beri dia obat
tidur bersama obat-obat yang harus diminumnya, biar dia tidur pulas dan tidak terbangun saat
saya raba-raba tubuhnya,” kata Rocky. Atas tindakan yang dilakukannya, Rocky dijerat Pasal 82
UU 23/2002 tentang perlindungan kepada anak di bawah umur dengan acaman hukuman
maksimal 15 tahun penjara. (why)
Sanksi Sosial dan
Hukum Korupsi
Jumat, 11 Juni 2004 http://antikorupsi.org/indo/content/view/391/6/
AKHIR-AKHIR ini muncul kecenderungan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan sanksi sosial
di samping sanksi hukum seperti yang selama ini berjalan, terutama untuk kasus yang berkaitan
dengan usaha pemberantasan korupsi. Tampak misalnya, baru-baru ini Kadin mengadakan
gerakan moral untuk memerangi praktik suap sebagai bagian dari korupsi yang ditujukan kepada
seluruh dunia usaha yaitu dengan mengadakan kampanye nasional antisuap dan gerakan nasional
antisuap. Sebelumnya, NU bekerja sama dengan Muhammadiyah untuk bersama melakukan
gerakan moral untuk memberantas korupsi dan selanjutnya diharapkan kegiatan tersebut dapat
diikuti oleh organisasi keagamaan yang lain. Dari perkembangan itu, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pemberantasan korupsi tidak mungkin hanya mengandalkan pendekatan hukum tetapi juga
diperlukan pendekatan sosial yang berbasiskan pada moral dan budaya. Pendekatan ini sangat
beralasan mengingat korupsi berkaitan erat dengan naluri manusia yang cenderung berkeinginan
mengumpulkan harta kekayaan secara tidak terbatas. Gerakan moral yang bertujuan mencegah
dan memberantas korupsi sebenarnya bukan suatu gerakan baru. Gerakan semacam ini sudah
dikenal sebelumnya dengan tidak terlalu banyak hasil yang dapat diperoleh. Tahun 1967
misalnya, dalam rangka memerangi korupsi dibentuk Komisi Empat dengan ketua Wilopo, S.H.,
dan anggota I.J. Kasimo, Prof. Johanes, dan Anwar Cokroaminoto dengan Bung Hatta sebagai
penasihatnya. Pada 1971 dikeluarkan ketentuan tentang wajib daftar kekayaan bagi para pejabat
tinggi dan para perwira ABRI. Pada tahun 1974 dalam rangka pendayagunaan aparatur negara
dan hidup sederhana dikeluarkan ketentuan tentang pembatasan kegiatan pribadi pegawai negeri.
Kecuali itu, masih banyak gerakan moral lainnya, baik yang langsung maupun tidak mengenai
korupsi seperti gerakan disiplin nasional dan terbaru tentang pelayanan umum. Berbagai kegiatan
tersebut bukan semata bersifat normatif. Tetapi, juga sebagai gerakan moral dengan maksud agar
dapat berlaku sanksi sosial yang berperanan baik prepentif maupun represif. Meski harus diakui
segala usaha tersebut belum beroleh hasil seperti yang diharapkan namun perkembangan terakhir
menunjukkan adanya kemajuan dari sikap masyarakat, yakni telah makin berkembangnya
keyakinan di kalangan masyarakat luas tentang bahaya korupsi dan ini merupakan bahan penting
dalam mendorong lahir dan berkembangnya sanksi sosial. Permasalahan selanjutnya adalah
bagaimana perkembangan tersebut dapat membangun suatu sanksi sosial yang efektif dan
bagaimana peranannya dengan sanksi hukum yang berjalan selama ini. Sanksi sosial berkaitan
erat dengan sikap sosial dan sikap sosial ini berkaitan dengan penilaian sosial. Terdapat
keterbatasan masyarakat untuk dapat memahami makna korupsi sebagai suatu perbuatan yang
tidak bermoral, terutama yang berkaitan dengan akibat yang ditimbulkan pelaku berupa kerugian
negara. Sementara itu, penikmat korupsi sesungguhnya bisa tidak diri sendiri, melainkan bersama
orang atau kelompok lain dan bahkan ada koruptor yang secara materiil ternyata sama sekali
tidak menikmati hasil korupsinya. Hal tersebut dapat memengaruhi lahirnya suatu penilaian sosial
dengan dasar ukuran moral secara umum. Mungkin dari situlah gerakan moral memulai misinya.
Bukan hanya dengan meyakinkan bahwa korupsi dapat melahirkan kerusakan terhadap semua
sistem dan sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tetapi juga usaha perluasan ukuran
moral menjadi sedemikan rupa sehingga dapat menjangkau pengertian tindak pidana korupsi
yang begitu luas dan cukup rumit. Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terbaru (UU
No. 20/2001) disebutkan bahwa gratifikasi termasuk tindak pidana suap yang mungkin secara
moral dengan ukuran yang berjalan selama ini belum terjangkau menjadi sasaran sanksi sosial
seperti yang diharapkan. Gerakan moral untuk membangun sanksi sosial harus sejalan dengan
sanksi hukum yaitu dengan mendorong lebih dapat berperannya sanksi hukum. Sanksi sosial
tidak boleh mengabaikan hukum. Sebaliknya, hukum dan pelaksanaannya harus mampu
menyerap aspirasi dan nilai sosial. Lahirnya gerakan moral didorong oleh ketidakpuasan terhadap
pelaksanaan sanksi hukum yang belum maksimal dan dinilai sebagai terapi yang setengah-
setengah sehingga tanpa solusi tambahan yang lain sulit memberantas korupsi yang sudah begitu
akut. Selain itu, gerakan moral ditempuh karena sikap dan penilaian sosial terhadap korupsi
sebagai perbuatan yang tidak patut dan tercela ternyata selama ini masih acak dan belum
mengkristal untuk dapat dipergunakan sebagai suatu kekuatan penekan dalam pencegahan
maupun penindakan. Berbeda dengan tindak pidana umum misalnya pencurian, penipuan dan
sebagainya yang dengan cepat langsung melahirkan sanksi sosial dan lansung diberlakukan.
Untuk tindakan-tindakan itu, ajaran moral dan keyakinan agama telah begitu tegas menilai
perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang tidak patut dan harus dilawan dan dibasmi, siapa pun
pelakunya. Dengan demikian, dapat saja berdasarkan ukuran moral secara umum perbuatan
merampok, mencuri, menipu, di mata masyarakat dapat lebih tercela dan tidak patut serta harus
dibenci dan dijauhi dari pada perbuatan korupsi. Pada tindak pidana korupsi, penilaian dan sikap
sosial harus dibangun dahulu. Sering pelaku korupsi dengan tingkat intelektualnya dan
kemampuannya yang tinggi, membangun sikap sosial yang menjadikan dirinya justru menjadi
yang paling bermoral. Sanksi sosial dan hukum Melihat keadaan saat ini, seiring menguatnya
keyakinan masyarakat terhadap bahaya korupsi, usaha untuk menumbuhkan sanksi sosial sebagai
suatu tindakan yang lebih konkret menjadi lebih mudah. Permasalahannya adalah
mengindentifikasi kasusnya yang tidak dapat cepat dan mudah bila dibandingkan tindak pidana
umum. Kondisi yang demikian membuat proses sanksi sosial berjalan lambat dan selanjutnya
dapat memengaruhi dukungan dan emosi yang sudah ada sehingga yang tampak adalah menjadi
lemahnya kembali sanksi sosial dan selanjutnya menjadi cair dan lama-kelamaan menghilang.
Memang, kita tidak dapat mengharapkan pelaksanaan sanksi sosial yang bersifat spontan seperti
pada pelanggaran tindak pidana umum. Tetapi, kecepatan bereaksi tetap diperlukan agar tujuan
dari pelaksanaan sanksi sosial dapat terlihat dan dirasakan segera sehingga ancaman maupun
putusan sanksi hukum berjalan bersamaan dengan berlakunya sanksi sosial. Kehadiran sanksi
sosial yang demikian akan dapat memberi makna pada sanksi hukum yang lebih adil dan
maksimal sebagaimana yang diharapkan oleh gerakan moral pemberantasan korupsi. Idealnya
adalah sanksi hukum sebagai bagian dari hukum positif dilahirkan mengimbangi hadirnya sanksi
sosial. Begitu seseorang diduga dan disangka melakukan tindak pidana, masyarakat sekitarnya
sudah memproses lahirnya suatu sanksi sosial yang langsung dapat terlihat dan dirasakan. Sanksi
tersebut tidak perlu harus dibangun dahulu tetapi sudah berjalan dengan sendirinya disertai
pertimbangan moral yang sudah umum dan baku. Namun, tidak begitu mudah untuk tindak
pidana khusus seperti korupsi yang merupakan extra ordinary crimes dengan rumusan delik yang
begitu luas dan pembuktian yang tidak mudah. Meskipun demikian, bila sanksi sosial sudah
terbiasa berjalan efektif terhadap pelaku korupsi dan kelompoknya, pelaksanaan kedua sanksi
dapat merupakan pasangan yang harmonis dan saling menyempurnakan. Bila hukum positif yang
berlaku tidak mampu berperanan lebih luas secara drastis memberantas korupsi, yang tidak
terjangkau oleh sanksi hukum dapat dihadapkan pada jangkauan sanksi sosial yang, bila benar-
benar dapat berjalan, dapat dirasakan lebih efektif. Dengan demikian, sanksi sosial bukan hanya
bersifat preventif guna menciptakan masyarakat yang secara sadar menolak segala bentuk korupsi
dan mendorong pelaksanaan sanksi hukum yang setimpal dan adil. Tetapi, juga mampu
memberikan sanksi yang belum terjangkau oleh hukum positif tetapi masyarakat menilai patut
juga diberikan suatu sanksi. Seperti kita maklumi korupsi sudah diidentikkan dengan kolusi dan
nepotisme yang belum semua sanksi hukumnya mampu menjaring dan memberikan sanksi,
misalnya pada kelompok nepotisme seperti keluarga dan famili yang justru telah mendorong dan
ikut menikmati hasil korupsi. Mereka inilah yang dari segi pembuktian sulit terjangkau
diharapkan dapat dihadapkan pada pelaksanaan sanksi sosial yang sering dapat berlangsung lebih
cepat dan keras. Jalan bersama antara sanksi sosial dan sanksi hukum juga bermanfaat agar
pelaksanaan sanksi sosial tidak berlangsung anarkis dan apriori. Lebih-lebih sudah disampaikan
terdahulu tentang tidak mudahnya mengidentifikasi suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi.
Arah keberhasilan gerakan moral dan sanksi sosial utamanya bersifat pencegahan bukan hanya
dari sisi masyarakat tetapi juga aparat penegak hukum termasuk bagi mereka yang karena
tugasnya terbuka mudah untuk terlibat korupsi (suap dan gratifikasi). Termasuk istri, anak, dan
keluarganya yang sepatutnya merasa malu kalau sampai disangka terlibat korupsi. Dari uraian di
atas, dapatlah disimpulkan, sanksi sosial sebetulnya sudah berjalan dengan sendirinya dan
bersamaan dengan pelaksanaan sanksi hukum. Bahkan, kadang berlangsung lebih awal dan keras.
Tetapi, itu untuk pelanggaran suatu tindak pidana umum. Sementara itu, untuk tindak pidana
khusus seperti tindak pidana korupsi diperlukan suatu proses untuk membangun keyakinan sosial
yang menempatkan secara tepat bahwa kejahatan korupsi bertentangan dengan nilai moral dan
budaya. Harus diakui, dengan ukuran moral yang berlaku, tidaklah mudah bagi masyarakat luas
menempatkan perbuatan korupsi sebagai perbuatan yang bertentangan dengan moral. Mengingat
rumusan tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes cukup luas dengan proses
pembuktian yang berlangsung cukup sulit. Keberhasilan gerakan moral memerangi korupsi
seperti yang berlangsung santer akhir-akhir ini -- antara lain mengharapkan dapat berlakunya
sanksi sosial yang lebih efektif -- terletak bukan hanya pada masuknya nilai moral pada
berlakunya sanksi sosial. Tetapi, juga pada masuknya nilai moral ke dalam hati mereka yang
menjadi baik calon maupun tersangka korupsi dan keluarganya sehingga ancaman dan pengenaan
sanksi sosial benar-benar dirasakan sebagai nestapa yang menimbulkan aib dan rasa malu yang
panjang.(Rusalan, mantan jaksa, pemerhati masalah sosial dan hukum, tinggal di Bandung)
Tulisan ini diambil dari.....Rabu, 05 Nopember 2003

Oleh Didik Endro Purwoleksono

Pengantar redaksi:
Artikel ini cuplikan pidato pengukuhan Prof Dr H Didik Endro Purwoleksono SH MH sebagai
guru besar ilmu hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Sabtu 12 April
2008. Media online GagasanHukum.WordPress.Com memuatnya secara bersambung. Bagian
I, edisi Senin 1 Desember 2008. Bagian II, edisi Senin 8 Desember 2008. Bagian III, edisi Senin
15 Desember 2008.

Pengaturan Sanksi Pidana dan Implikasinya


Model pengaturan sanksi pidana dalam pelbagai ketentuan UU dapat dilihat dari beberapa segi
yaitu :

1. Stelsel pemidanaannya
a. Stelsel Alternatif
Ciri khas suatu UU mengatur stelsel pemidanaan yang alternatif yaitu norma dalam UU
ditandai dengan kata “atau”. Misalnya ada norma dalam UU yang berbunyi “… diancam
dengan pidana penjara atau pidana denda …”. Contoh UU yang menganut stelsel ini
yaitu KUHP, UU Merek.

b. Stelsel Kumulatif
Stelsel kumulatif ini ditandai dengan cirri khas adanya kata “dan”. UU Tindak Pidana
Korupsi merupakan salah satu contoh UU yang menganut stelsel ini. Dengan adanya kata
“dan”, maka hakim harus menjatuhkan pidana dua-duanya.

c. Stelsel Alternatif Kumulatif


Berbeda halnya dengan dua stelsel di atas, berdasarkan stelsel alternatif kumulatif ini,
ditandai dengan ciri “dan/atau”. Suatu UU yang menganut stelsel ini, memberikan
kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana apakah alternatif (memilih) ataukah
kumulatif (menggabungkan). UU yang menganut stelsel ini antara lain UU Merek.

2. Lamanya Sanksi Pidana yang Diancamkan


a. Ancaman Pidana Paling Lama
Ciri suatu UU mengatur sanksi pidana dengan ancaman pidana paling lama, hal ini
nampak dari normanya yang berbunyi “Setiap orang yang … diancam dengan pidana
penjara paling lama …”. Berdasarkan ketentuan UU yang mengatur dengan ancaman
pidana paling lama ini, maka salah satu kelemahannya yakni memberikan peluang bagi
hakim untuk menjatuhkan pidana yang berbeda kepada pelaku yang melakukan tindak
pidana yang sama. Misalnya, sama-sama melakukan tindak pidana pencurian, yang satu
dijatuhi pidana 2 tahun dan yang lainnya dijatuhi pidana selama 10 bulan. Ada A dan B
yang sama-sama diduga mengedarkan psikotropika dan didakwa melanggar Pasal 60 UU
Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika karena ancaman pidananya paling lama 15
tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta , maka tidak menutup kemungkinan A
dijatuhi pidana penjara 10 tahun dan B dijatuhi pidana 10 bulan.
Putusan yang demikian ini sah-sah saja, sebab sudah di atas 1 hari dan kurang dari
ancaman paling lama. Inilh yang disebut dengan adanya disparitas pidana (adanya
perbedaan pidana terhadap pelaku tindak pidana yang sama).
Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) KUHP, lamanya pidana penjara di Indonesia dikenal :
1) Algemeene Straf Minima
Artinya, secara umum pidana penjara paling singkat 1 hari.
2) Algemeene Straf Maxima
Artinya, secara umum pidana penjara paling lama 15 tahun.

b. Ancaman Pidana Paling Singkat


Patut dicatat di sini, bahwa hakim terikat dengan ketentuan tersebut yaitu hakim harus
menjatuhkan pidana paling singkat sebagaimana diatur oleh UU tersebut. Dengan
perkataan l,ain, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara kurang dari yang sudah
ditetapkan oleh UU tersebut, yang diperbolehkan adalah menjatuhkan pidana penjara
lebih lama dari pidana paling singkat yang diancamkan.
UU yang mengatur ancaman pidana paling singkat, dapat diketemukan, misalnya dalam
UU Terorisme, dalam Pasal 6 UU ini, ancaman pidananya paling singkat 4 tahun.

c. Ancaman Paling Singkat dan Paling Lama


UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dalam pasal-pasalnya mengancam dengan
ancaman pidana penjara paling singkat … tahun dan paling lama … tahun. Sepertinya
huruf c di atas, maka dengan adanya ketentuan ini, rentang lamanya pidana sudah
ditentukan yaitu diantara paling singkat dan paling lama.
Khusus UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, yang menarik hanya satu pasal saja,
yaitu dalam Pasal 59, yang mengatur pidana paling singkat 4 tahun, paling lama lama 15
tahun dan denda paling sedikit Rp 150 juta, dan paling banyak Rp 750 juta. Pasal-pasal
yang diancam dengan pidana paling lama, dan hal ini dapat menimbulkan disparitas
pidana sebagaimana sudah diuraikan di atas.

Keterbatasan Hukum Pidana


Berdasarkan uraian di atas, pengaturan sanksi pidana dalam UU harus memperhatikan bahwa
hukum pidana mempunyai kemampuan yang terbatas. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Fungsi ULTIMUM REMEDIUM, inilah seperti yang sudah diuraikan di atas, yang meletakkan
sanksi pidana sebagai sanksi terakhir yang diancamkan. Memang, berdasarkan Pasal 1853
BW, maka “perdamaian dalam perkara pidana, tidak menutup perkara pidananya”. UU
perlindungan Konsumen, dengan tegas mengatur sebagaimana bunyi pasal BW tersebut.

2. Menurut BARDA NAWAWI ARIEF


a. Sanksi hukum pidana, pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif;
b. Sifat/fungsi pemidanaan, individual / personal dan bukan struktural/fungsional.
c. Sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan di luar jangkauan hukum pidana;
d. Hukum pidana, bagian kecil dari sistem sosial
e. Sanksi hukum pidana, remedium yang kontradiktif dan mengandung unsur-unsur serta
efek samping yang negatif.
f. Perumusan sanksi pidana, kaku dan imperatif.
g. Berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih berfariasi dan
memerlukan biaya tinggi.
.
3. Menurut MICHAEL JEFFERSON
Crime is big. criminal law was for many years regarded as undeveloped in term of theory.
the jury’s verdict – guilty or not guilty – cannot be explored.

4. Menurut MIKE MOLAN


The law does not criminalise all immoral acts because :
a. difficulties proof;
b. difficulties of difinition;
c. rules of morality are sometimes difficult to enforce without infringing the individual’s
rights to privacy;
d. the civil law sometimes provides an adequat remedy to the parties affected by the
conduct
e. in any event, how do we ascertain prevailing ‘moral opinion’ given the deep divisions
within modern society ?

Lebih tepat lagi apa yang ditulis oleh NIGEL WALKER bahwa “hukum pidana jangan digunakan
untuk” :
a. tujuan pembalasan;
b. terhadap perbuatan yang tidak menimbulkan korban dan/ kerugian;
c. bilamana masih ada sarana lain yang lebih efektif dan dengan kerugian yang lebih sedikit
dalam menanggulangi perbuatan yang dianggap tercela;
d. bila dampak negatif pidana lebih besar daripada tindak pidana;
e. apabila tidak mendapat dukungan publik yang kuat;
f. apabila sudah diperhitungkan tidak akan berhasil / tidak akan dapat dilaksanakan.

MENKUMHAM : TAHANAN TAK PERLU MASUK PENJARA


MENKUMHAM : TAHANAN TAK PERLU MASUK PENJARA

Kondisi penghuni Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara
(Rutan) saat ini di sebagian besar di tanah air telah melampaui batas kapasitas daya tampung
alias over kapasity. Hal ini menjadi salah satu sumber masalah dalam pelayanan akan hak-hak
narapidana (orang yang menjalani hukuman atas putusan perkara yang sudah berkekuatan hukum
tetap) dan tahanan (orang yang menjalani hukuman atas putusan perkara yang belum memiliki
kekuatan hukum tetap), berbagai ekses negatif demikian pula dalam pembinaannya.

Untuk memberi solusi pada kondisi dimaksud, bisa dilakukan melalui pembangunan Lapas dan
Rutan baru. Jika kebijakan ini menjadi pilihan, maka solusi tersebut bukan pilihan yang cerdas,
demikian menurut Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta dalam wawancara Rabu, 27 Juni
2007 di kantor Departemen Hukum dan HAM. Karena orang biasa pun paham akan solusi itu.
Jika hal inipun dilakukan, ada kendala waktu dan keterbatasan anggaran yang tersedia dari
pemerintah.

Solusi lain dan lebih cerdas yakni melakukan keseimbangan antara daya tampung dan jumlah
penghuni. Kongkritnya bagaimana menyeimbangkan antara orang yang masuk dengan kapasitas
ruang yang tersedia. Untuk mengurangi jumlah penghuni yang berlebihan, maka pemberian
kemudahan segala hak-hak napi seperti berbagai jenis remisi, cuti, asimilasi, pembebasan
bersayarat dan lain-lain harus dipermudah dan dilakukan secara transparan.

Menurut Andi Mattalatta, ibarat sekolah, makin cepat siswa lulus maka sekolah itu makin bagus
tetapi dengan syarat mereka yang pergi bukan karena drop out melainkan lulus dan mempunyai
bekal yang baik. Oleh karena itu pembinaan dalam Lapas harus transparan, sehingga bila ada
napi yang bebas tidak banyak menimbulkan kritik. Kebanyakan publik saat ini menilai, hanya
orang-orang tertentu dan berduit yang dapat memperoleh berbagai hak di Lapas. Pembinaan
yang baik dan transparan menyebabkan publik tidak memberi penilaian negatif terhadap Lapas
dan Rutan.

Tetapi jauh lebih penting menurut Andi Mattalatta untuk mengurangi penghuni yang tiap hari
bertambah jumlahnya, aparat Polisi dan Jaksa sebaiknya tidak perlu memasukkan para tersangka
pelanggar hukum ke tahanan. Jika seseorang melakukan tindakan kriminal atau pelanggaran
hukum yang tidak terlalu membahayakan orang banyak, menghilangkan barang bukti dan
melarikan diri cukup dilakukan tahanan rumah atau kota. Hal ini layak menjadi pertimbangan
karena hampir 40 % jumlah penghuni Rumah Tahanan adalah mereka yang yang belum
mendapat keputusan tetap dari pengadilan. Sehingga dengan langkah ini, orang yang mendekam
dalam penjara jumlahnya tidak semakin besar.

Disisi lain, anggaran negara yang harus dikeluarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) untuk Daftar Isian Proyek Anggakaran Departemen Hukum dan HAM dalam
membiayai kehidupan seseorang di penjara juga dapat dikurangi dan dialihkan untuk sektor-
sektor yang lebih prioritas seperti pengembangan SDM, kesehatan atau peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara luas.

Sekedar gambaran kuantitatif, hak makan bagi seorang napi atau tahanan per orang sebesar Rp
8.000 per hari. Total Napi dan Tahanan di seluruh Indonesia yang tercatat pada akhir tahun 2006
adalah 112.744 orang, dengan demikian total biaya untuk menyiapkan makan toh mencapai Rp.
901,952,000.00 perhari . Jadi dalam 1 tahun negara harus menyediakan uang makan bagi
narapidana dan tahanan sebesar Rp 329,2 Milyar suatu jumlah yang tidak sedikit. Ini belum
mencakup sarana dan prasarananya termasuk anggaran untuk aparatnya, sesuatu ide yang layak
mendapat perhatian bersama ditengah keterbatasan anggaran negara saat ini. (Hasbullah)

Keterangan Foto :
Over Kapasitas : Kondisi Penghuni Rumah yang dipadati oleh penghuni yang sudah melebihi
daya kapasitas ruang, bakan untuk tidurpun harus antri merebahkan badan.

http://www.depkumham.go.id/xDepkumhamWeb/xBerita/xUmum/over+kapasitas.htm

Anda mungkin juga menyukai