Anda di halaman 1dari 29

BEBERAPA PANDANGAN TENTANG HUKUMAN MATI

(DEATH PENALTY) DAN RELEVANSINYA DENGAN


PERDEBATAN HUKUM DI INDONESIA
22 10 2007

Pengantar

Wacana tentang perapan dan penghapusan hukuman mati (death penalty) dalam konteks
hukum Indonesia tampaknya masih akan menghangat dalam beberapa dekade kedepan.
Perdebatan ini sejalan dengan dinamika hukum nasional dan internasional yang sangat pesat
dalam setengah abad terakhir serta munculnya pendekatan-pendekatan baru dalam melihat dan
menilai relevansi hukuman mati dalam konteks sistem hukum, bentuk dan asas negara, serta
perubahan sosial, termasuk teknologi.

Sebagai ilustrasi, dahulu hukuman mati dipandang relevan, sah dan dilakukan secara
terbuka didepan umum, dengan cara dipancung, dibakar, atau bahkan disiksa hingga mati. Di
hampir seluruh dunia, hukuman mati dilakukan untuk kejahatan-kejahatan subversif berupa
penghinaan terhadap Raja atau Pimpinan Agama, kejahatan perang dan pemberontakan,
kriminalitas yang disertai dengan kekejaman, dan lain-lain. Kekuasaan untuk menjatuhkan
hukuman mati ada pada Raja, Panglima Perang, Pimpinan Agama, atau Hakim yang ditunjuk
oleh Raja. Seringkali keputusan untuk menjatuhkan hukuman mati tidak mengacu pada sandaran
Undang-undang, namun hanya berdasarkan titah Raja. Seiring dengan perubahan sistem
kenegaraan dan masyarakat, muncul pandangan baru terhadap hukuman mati. Tindak kejahatan
yang dapat dikenai sangsi hukuman mati dibatasi, antara lain untuk tindak pembunuhan
berencana dan kejam serta prosedur pelaksanaannya dilakukan tertutup. Pedang, goulatine,
hukuman bakar dan siksa digantikan dengan peluru atau kursi listrik yang dipandang tidak
menyebabkan sakaratul maut yang lama dan menyakitkan. Keputusan untuk menjatuhkan
hukuman diambil melalui mekanisme peradilan, bukan berdasarkan perintah penguasa semata-
mata.

Dalam perkembangan terakhir, keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan. Gugatan


ini terkait dengan pandangan “Hukum Kodrat” yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah
hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-
derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh
negara, atas nama hukum atau dalam situasi darurat. Sebagai hak yang dianugerahkan Tuhan,
hak hidup tidak bisa diambil oleh manusia manapun meski atasnama Tuhan sekalipun.
Pandangan lain adalah adanya perubahan konsep dari hukuman sebagai pembalasan menjadi
hukuman sebagai pendidikan dan permasyarakat. Penjara tidak disebut sebagai rumah tahanan,
tapi lembaga permasyarakatan dengan asumsi para tahanan akan dididik untuk dapat kembali ke
masyarakat, termasuk mereka yang melakukan kejahatan yang dipandang ‘layak’ dijatuhi
hukuman mati. Termasuk beberapa kasus kesalahan dalam penjatuhan hukuman mati terhadap
mereka yang tidak bersalah atau menjadi tumbal/kambing hitam hukum atau penghukuman
terhadap mereka yang bertobat yang seharusnya bisa diganti dengan hukuman seumur hidup juga
menjadi pertimbangan.
Pendeknya, para pihak yang muncul dalam perdebatan ini baik yang pro maupun kontra
bukan saja memperkaya khazanah pengetahuan hukum, namun juga mengandaikan adanya
fenomena tuntutan agar hukum bukan saja mengedepankan asas penghukuman semata-mata,
namun juga tidak terpisahkan dari konteks sosial dimana hukum tersebut tumbuh. Paling tidak,
relevansi penerapan dan penghapusan hukuman mati kedepan tidak semata-mata
mengedepankan gagasan keadilan dari sudut pandang negara, tapi juga merupakan aspirasi dan
kehendak masyarakat dengan tetap memperhatikan perubahan pandangan hukum nasional dan
internasional seperti UUD 1945, Kovenan/konvensi Internasional yang telahi diratifikan
Pemerintah Indonesia, serta nilai-nilai yang dianut masyarakat secara umum.

Hukuman Mati Dari Sudut Pandang Konstitusi dan Perundang-undangan

Amandemen kedua UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Berikutnya UUD
menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Mengacu pada kedua ayat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pandangan tentang
hak-hak individu yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui apa yang
dikenal oleh para filsuf dengan “Hukum Kodrat”, sebagaimana dijelaskan di atas, yang
menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak
dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun
dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum, agama atau dalam situasi
darurat.

Perubahan nilai dasar hukum di atas seharusnya membawa konsekuensi adanya


amandemen terhadap seluruh undang-undang yang masih memasukkan hukuman mati sebagai
salah satu bentuk hukuman karena sudah bertentangan dengan Konstitusi. Beberapa Undang-
undang yang masih memasukkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal dan harus
diamandemen karena bertentangan dengan Konstitusi tersebut di antaranya adalah:

1. Undang-undang (UU) No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang. UU ini masih
mengadopsi pemberlakuan hukuman mati, terlihat pada pasal 6, pasal 8, pasal 10, pasal 14,
pasal 15, dan pasal 16.

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 104 tentang Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara dan pasal 340 tentang pembunuhan berencana masih mencantumkan
hukuman mati sebagai hukuman maksimum. Saat ini sedang dilakukan proses penyusunan
amandemen KUHP tersebut, yang diharapkan kedepan lebih maju dan tidak lagi
menempatkan hukuman mati sebagai hukuman maksimum.

3. Undang-undang No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Pasal 59 Tentang Tindak Pidana juga
menetapkan hukuman mati sebagi hukuman maksimal.
4. Undang-undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal 36, 37 dan
41 undang-undang tersebut menyatakan adanya hukuman mati bagi pelanggarnya. Dalam
kasus ini, banyak pihak menyesalkan munculnya pasal-pasal ini bertentanga dengan seluruh
instrumen hukum HAM internasional yang menjadi rujukannya yang menghapuskan
hukuman mati.

Hukuman Mati Dari Sudut Pandang Hukum HAM Internasional

Hukuman mati merupakan salah satu isu yang paling kontroversial dalam Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
(International Covenant on Civil and Political Rights). Meski diakui hak hidup sebagai non-
derogable rights (hak yang tidak dapat dikurang-kurangi), pada Pasal 6 (ayat 2, 4, dan 5) secara
tekstual dinyatakan bahwa hukuman mati masih diperbolehkan. Sementara itu pada Pasal 6 (ayat
6) kembali ditegaskan adanya semangat Kovenan ini untuk secara bertahap dan progresif
menghapuskan praktek hukuman mati. Baru pada Protokol Tambahan Kedua Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Second Optional Protocol to the International Covenant
on Civil and Political Rights; aiming at the abolition of the death penalty) yang diadopsi oleh
Resolusi Mejelis Umum PBB pada 15 Desember 1989, secara tegas praktek hukuman mati tidak
diperkenankan. Tafsir progresifnya secara implisit menunjukkan bahwa sebenarnya Kovenan
Hak-hak Sipil dan Politik bukan membenarkan praktek hukuman mati, namun lebih menegaskan
bahwa Kovenan ini berusaha semakin memperketat dan memperkecil lingkup praktek hukuman
mati. Hal ini didasari pada argumen bahwa pada waktu penyusunan Kovenan ini, mayoritas
negara di dunia masih mempraktekan hukuman mati, namun semakin hari negara yang
memberlakukan abolisi (penghapusan) hukuman mati semakin bertambah dan bahkan hingga
hari ini justru mayoritas negara di dunia adalah kelompok abolisionis. Sebelumnya pada tahun
1950 Konvensi HAM Eropa, European Convention on Human Rights/Convention for The
Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms pada Pasal 2-nya menegaskan larangan
hukuman mati. Konvensi regional Eropa ini merupakan treaty HAM tertua dan ide penghapusan
hukuman mati berangkat dari Konvensi ini. Ketentuan hukuman mati kemudian juga dihapuskan
diberbagai mekanisme pengadilan HAM internasional meskipun juridiksinya mencakup
kejahatan paling berat dan serius di bawah hukum internasional. Statuta Tribunal HAM
Internasional ad hoc untuk Negara-Negara Bekas Yugoslavia (Statute of International Criminal
Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (Statue of International Criminal
Tribunal for Rwanda/ICTR). Demikian pula ketentuan ini ditiadakan pada Statua Roma
Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court), yang
merupakan Pengadilan HAM Internasional yang permanen.

Untuk memahami teks pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang
hukuman mati, PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi
Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of
Those Facing the Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50,
tertanggal 25 Mei 1984). Panduan ini memperjelas pembatasan praktek hukuman mati menurut
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik . Pembatasan praktek hukuman mati tersebut
antara lain:
1). Di negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi
‘kejahatan yang paling serius’, yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekwensi yang
sangat keji.

2). Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum
tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif (berlaku surut) pada saat kejahatan tersebut dilakukan.
Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang
terakhir ini yang harus diterapkan.

3). Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat ia
melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang
sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang
yang cacat mental atau gila.

4). Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan
sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian.

5). Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat
sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial, paling tidak sesuai
dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus
yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang
memadai.

6). Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan
yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib.

7). Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atau
perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan.

8). Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan
atau perubahan hukuman.

9). Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan
penderitaan.

Meskipun kontroversi hukuman mati pada Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil
dan Politik masih terus diperdebatkan, namun ada interpretasi lainnya yang menganggap
hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap Pasal 7 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil
dan Politik tentang praktek-praktek yang merendahkan dan tidak manusiawi. Ketentuan
tambahan lain adalah berlakunya prinsip non-refoulement –baik untuk negara yang sudah
menghapus dan yang masih menerapkan hukuman mati- untuk isu ini. Prinsip non-refoulement
ini adalah prinsip keharusan suatu negara untuk menolak permintaan ekstradisi dari negara lain
bila orang tersebut bisa mendapat ancaman hukuman mati di negeri peminta.

Hukuman Mati dari Sudut Pandang Syariat Islam


Dalam kitab-kitab fikih, pembahasan tentang hukuman mati menjadi bagian dari
pebahasan tentang kriminalitas (al-jinayah) seperti pencurian (al-sariqah), minuman keras (al-
khamr), perzinaan (al-zina), hukum balas/timbal balik (al-qishas), pemberontakan (al-bughat),
dan perampokan (qutta’u tariq).

Dalam wilayah lain, hukuman mati juga dijatuhkan kepada pelaku perzinaan dalam
bentuk dilempar batu hingga mati (al-rajam) untuk pelaku perzinaan yang sudah menikah. Juga
hukuman mati dilakukan dalam kasus pemberontakan (al-bughat) dan pindah agama (al-riddah)
yang dikenal sebagai hukuman (al-had/al-hudud) atas pengingkaran terhadap Islam. Termasuk
dalam kasus meninggalkan ibadah salat, beberapa ulama mempersamakannya dengan murtad
(al-riddah). Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Orang yang meninggalkan shalat adalah
kafir, kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati,
jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.” Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan
Syafi’i mengatakan, “Orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka
berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman
mati (al-hadd/al-hudud)”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan
hukuman mati”.

Hukuman mati merupakan hukuman puncak, terutama untuk tindak pidana yang
dinyatakan sangat berbahaya seperti pembunuhan (al-qital) dimana jika tidak ada pengampunan
dari pihak keluarga dengan membayar denda pengganti (al-diyat), maka pelakunya dapat dijatuhi
hukuman mati sebagai bentuk hukum balas/timbal balik (al-qishas). Dalam konsepsi ini, maka
kejahatan dibalas dengan hukuman yang serupa. Dalam kasus penetapan hukuman mati (al-
qishas), ditetapkan beberapa syarat antara lain: bahwa yang bersangkutan telah melakukan
pembunuhan terhadap yang tak “boleh” (haq) dibunuh, atau orang yang “boleh” (haq) dibunuh,
akan tetapi belum diputuskan oleh hakim. Pelaku bisa dihukum mati dengan ketentuan bahwa
pada saat melakukan kejahatan telah cukup umur (baligh) dan berakal (aqil).

Dalam Islam hukuman mati hanya bisa ditegakkan oleh pemerintahan Islam, dimana
konstitusi dan undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam. Itu pun harus melalui
mekanisme peradilan, bukan semata-mata bersandar pada fatwa seorang ulama. Hukuman mati
pun hanya berlaku berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sangat ketat, seperti konteks
yang melatarbelakangi terjadinya suatu tindakan pidana yang diancam hukuman mati. Hukum
Islam (al-fiqh) membedakan antara mereka yang sengaja, tidak disengaja, terpaksa atau bahkan
dipaksa untuk melakukan suatu tindak pidana yang membawa konsekuensi jatuhnyah hukuman
mati. Dalam kondisi-kondisi demikian, putusan untuk menjatuhkan hukuman mati dapat
dipertimbangkan kembali.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan catatan Amnesty Internasional, sampai dengan tahun 2002 tercatat 111
negara telah menentang penerapan hukuman mati, melebihi 84 negara yang masih
mempertahankannya. Ini mencerminkan bahwa hukuman mati sudah dianggap tidak manusiawi
dan relevan dalam perkembangan hukum global.
Dalam banyak perdebatan kontemporer, isu hukuman bukan saja tekait dengan
argumentasi hukum an sich, namun juga dipengaruhi oleh konteks hukum internasional,
pandangan filosofis yang berkembang dan perubahan sosial yang terjadi. Sehingga perbincangan
tentang pemberlakuan hukuman mati di suatu negara paling tidak akan memperbincangkan tiga
aspek yang saling terkait, yaitu 1). Konstitusi atau Undang-undang tertinggi yang dianut suatu
negara dan bentuk pemerintahan yang dianutnya; 2). Dinamika Sosial, politik dan hukum
internasional yang mempengaruhi corak berpikir dan hubungan-hubungan sosial di masyarakat;
dan 3). Relevansi nilai-nilai lama dalam perkembangan zaman yang jauh sudah lebih maju.

Artinya, perdebatan ini bukan saja pertarungan antara keyakinan, cara pandang dan
pengalaman seseorang, namun juga relevansinya dengan konteks dimana hukuman mati tersebut
akan diberlakukan.

Dalam konteks Hukum Nasional kita, perdebatan ini tetap relevan dan memperkaya
khazanah pandangan hukum kita. Namun yang harus diperhatikan adalah, bahwa kepastian
hukum menjadi penting, dalam artian hukum yang konsisten dengan Konstitusi, Perundang-
undangan yang berlaku dan tuntutan masyarakat. Karenanya, diharapkan bahwa perdebatan ini
akan berakhir pada suatu rumusan hukum yang sesuai dengan konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia kedepan.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Jakarta, 23 November 2006

Bab XA Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28A Amandemen kedua UUD 1945.

Pasal 28I Ayat 1 Amandemen Kedua UUD 1945

Lebih lengkap terkait dengan masalah seputar Undang-undang ini lihat Mufti Makarimalahlaq, ”DILEMA
LEGISLASI ANTI TERORISME DAN HUMAN SECURITY; Analisa Implementasi UU N0 15/2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Propatria Institute 2005 atau lihat di http://makaarim.blogsource.com

Pada pasal 6 dinyatakan, ‘Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.’ Pada Pasal 8 dan Pasal 10 disebutkan jenis-jenis
kejahatan yang “Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6. Sedangkan pada pasal 14 dinyatakan “Setiap orang yang merencanakan dan/atau
menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.”
Pasal 15 menyatakan, ‘Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk
melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.’ Dan Pasal 16
menyatakan, Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan,
sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai
pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal, 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan
Pasal 12.’
Pasal 104 menyatakan, “Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan
kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.” Pasal 340 menyatakan, “Barang siapa dengan
sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.”

Pasal 59 menyatakan “(1) Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan 1 selain dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2); atau b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan 1 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6; atau c. mengedarkan psikotropika golongan 1 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau d. mengimpor psikotropika golongan 1 selain untuk kepentingan llmu
Pengetahuan; atau e. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan 1 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.750.000 000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (3) Jika tindak pidana dalam
pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan
pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 36 menyatakan “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c,
d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua
puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.” Pasal 37, “Setiap orang yang melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (duapuluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.” Dan
Pasal 41, “Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.”

Lihat Papang Hidayat, “HAK ATAS KESELAMATAN PRIBADI; Hak atas Hidup, Bebas dari Penyiksaan, dan
Bebas dari Penangkapan atau Penahanan secara Sewenang-wenang” Makalah Terbatas untuk diskusi Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) h. 4-7

Pasal enam ayat (1) menyatakan “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini
wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.”

Pasal 6 menyatakan “(2). Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya
dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat
dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang
Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir
yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang. (4) Setiap orang yang telah dijatuhi hukum mati berhak
untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati
dapat diberikan dalam semua kasus. (5). Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah
mengandung.

Pasal 6 ayat (6) menyatakan “Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah
penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini.

Protokol Tambahan Kedua masih memungkinkan Negara Pihak-nya untuk mereservasi Pasal 2
(paragraf 1) yang artinya masih membenarkan penerapan hukuman mati pada masa perang atas
suatu kategori kejahatan militer paling serius.
Hingga kurun waktu sekitar penyusunan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik ini,
masih banyak negara yang menerapkan hukuman mati yang cakupan kejahatannya sangat luas
dari kriminal biasa hingga kejahatan politik, yang sering kali digunakan oleh rezim otoriter untuk
menumpas oposisi politiknya. Hukuman mati juga sering digunakan justru untuk melawan upaya
penegakan normatif HAM. Untuk bahasan ini lihat William A. Schabas, The Abolition of The
Death Penalty in International Law, Cambridge University Press, 1997.

Keseluruhan Pasal 6 Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik ini selesai disusun pada
tahun 1957.

Pada dekade 1950-an negara-negara yang menghapus hukuman mati untuk seluruh jenis
kejahatan baru berjumlah 10 atau sekitar 12,4%. Negara-negara yang menghapus hukuman mati
hanya untuk jenis kejahatan biasa baru berjumlah 19 atau sekitar 23,6%. Sementara itu hingga
Juni 2006, total negara yang sudah melakukan penghapusan (abolisi) hukuman mati dengan
berbagai bentuk adalah 129 atau sekitar 65%. Sementara jumlah negara yang masih menerapkan
hukuman mati adalah 68 atau 35%.

Kedua Statuta ICTY dan ICTR memiliki ketentuan mengenai penghukuman/penalties yang
sama, yaitu ”The penalty imposed by the Trial Chamber shall be limited to imprisonment”. Lihat
Statuta ICTY di http://ohchr.org/english/law/itfy.htm dan Statuta ICTR di
http://ohchr.org/english/law/itr.htm.

Hukuman dalam mekanisme ICC juga hanya berupa hukuman penjara yang terdiri dari hukuman
penjara seumur hidup untuk kejahatan yang sangat ekstrim dan hukuman penjara maksimum 30
tahun. Untuk Statuta Roma lihat di http://ohchr.org/english/law/criminalcourt.htm.

Meskipun istilah ‘kejahatan paling serius’ masih kabur, dalam beberapa studi Komite HAM di
beberapa laporan Negara Pihak yang masuk, ditetapkan bahwa kategori ‘kejahatan paling serius’
tidak boleh mencakup kategori kejahatan politik, kejahatan ekonomi, kejahatan perdata, atau
segala tindak kriminal yang tidak melibatkan penggunaan kekerasan. Komite HAM juga
melarang penggunaan hukuman mati sebagai suatu hukuman wajib/mandatory punishment. Lihat
Manfred Nowak, “U.N. Covenant on Civil and Political Rights; CCPR Commentary”, 2nd
Revised Edition, N.P. Engel, Publisher, 2005.

Ketentuan ini juga sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak/Convention on the Rights of the Child, Pasal 37 (a) yang
menyatakan “Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak
manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa
kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang
di bawah umur delapan belas tahun;”

Pasal 14 menyatakan:

(1). Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam
menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu
gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang
berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk
mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu
masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan
khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil
dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan
anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan
atau perwalian anak-anak.

(2). Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya
dibuktikan menurut hukum.

(3). Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal
berikut ini, dalam persamaan yang penuh:

a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan
tuduhan yang dikenakan terhadapnya;

b) Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan
pengacara yang dipilihnya sendiri;

c) Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya;

d) Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang
dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan
bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk
membayarnya;

e) Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan
diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang
memberatkannya;

f) Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara
dalam bahasa yang digunakan di pengadilan;

g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.

(4). Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan
untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.

(5). Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya
oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum. 6. Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan
keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan
sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara
meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman
sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak
terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri.

(7). Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana
ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara.

Pembelaan hukum yang memadai termasuk keharusan seorang terdakwa didampingi pengacara
dan penterjemah bila ia disidang dalam bahasa yang ia tidak mengerti. Terdakwa juga harus
disediakan akses terhadap informasi yang lengkap atas persidangan tersebut.
Termasuk pula Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam atau Penghukuman Lain
yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia/Convention Against Torture
and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, diadopsi oleh Resolusi
Majelis Umum PBB 39/46 tertanggal 10 Desember 1984. Interpretasi ini didasari pada argumen
bahwa seorang terpidana mati yang sedang menghadapi eksekusi akan mengalami tekanan
mental/psikis yang luar biasa yang menjadi cakupan Konvensi Anti Penyiksaan ini.

Boleh dalam pengertian dalam situasi perang atau membela diri. Orang yang tidak boleh dibunuh
adalah orang yang dilindungi oleh hukum pemerintahan negara Islam.

Di Indonesia, pernah muncul perdebatan seputar fatwa hukuman mati sekelompok orang terhadap Ulil Abshar-
Abdala, berkaitan dengan artikelnya, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam di Harian Kompas. Siapa pun bisa
tidak sependapat dengan isi atau metode tulisan Ulil. Namun, bila sampai mengarah fatwa penghilangan nyawa, ini
sudah melampaui kepantasan akal sehat manusia. Tokoh Islam seperti Yusuf Qardhawi dalam buku Fiqh Al-Ikhtilaf
tidak menganjurkan fatwa-fatwa semacam itu ketika terjadi beda pendapat. Dia bahkan memperkuat argumen,
perbedaan pendapat adalah rahmat.

Lihat M. Hasibullah Satrawi, ”Fikih Hukuman Mati”, Koran Tempo 11 April 2006

Lihat Usman Hamid, “Kontra Terorisme; Menghukum Teroris dan Melindungi Hak Asasi
Manusia” http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-
mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia/

PROBLEMATIKA ASAS RETRO-AKTIF

DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

Oleh: Agus Raharjo, S.H., M.Hum

Abstrak

Salah satu asas yang fundamental dalam hukum pidana adalah asas legalitas. Asas ini mengandung
konsekuensi larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pidana. Dalam
perkembangannya, asas ini ternyata disimpangi terutama terhadap kejahatan yang masuk dalam
kategori pelanggaran HAM berat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pemberlakuan
surut Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 menutup kemungkinan dibuatnya peraturan
pidana lain yang berlaku surut. Ketentuan tentang berlaku surut (retroaktif) di Indonesia hanya
dimungkinkan untuk pelanggaran HAM berat sebagaimana ditentukan dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo
UU No. 26 Tahun 2000. Persoalan ini menjadi rumit manakala terjadi tindak pidana jenis baru yang
menimbulkan banyak korban akan tetapi belum ada peraturan pidana yang mengaturnya. Akankan
pembatasan pemberlakuan asas retroaktif itu sedemikian ketat hingga membiarkan korban berjatuhan.

Kata Kunci: asas legalitas, asas retroaktif, asas non-retroaktif.

A. Pendahuluan

Masyarakat selalu mengalami perubahan, dan hukum selalu mengikuti perkembangan

masyarakat. Dalam konteks yang demikian, hukum seharusnya tidak perlu tertinggal dengan

perkembangan masyarakat. Akan tetapi kondisi yang tercipta adalah hukum selalu tertinggal

dari perkembangan masyarakat sehingga peristiwa-peristiwa yang sebenarnya merupakan

perbuatan melawan hukum tak dapat diatasi hanya karena hukumnya tidak atau belum ada.

Kondisi ini tercipta karena hukum yang dikembangkan lebih ditekankan kepada hukum

tertulis, yang pembuatan dan pemberlakuannya dilakukan melalui prosedur tertentu dan

memakan waktu yang tidak pendek.

Perkembangan masyarakat memiliki dampak yang positif – berupa meningkatnya

kualitas hidup, tercapainya tujuan kemasyarakatan dan kemanusiaan – dan dampak negatif –

berupa munculnya kejahatan yang mengancam kehidupan kemasyarakatan dan

kemanusiaan. Meski demikian tidak semua perkembangan masyarakat memiliki dampak

negatif. Ini bukan logika biner. Tak dapat ditentukan secara pasti bahwa perubahan

masyarakat itu akan menimbulkan kejahatan sebagaimana ditetapkan dalam Forth United

Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offender ataupun

sebaliknya perubahan masyarakat mencegah terjadinya kejahatan, akan tetapi Konggres PBB
tersebut mengakui bahwa beberapa aspek penting dari perkembangan masyarakat dianggap

potensial sebagai kriminogen, artinya mempunyai kemungkinan untuk menimbulkan

kejahatan. Aspek-aspek ini adalah urbanisasi, industrialisasi, pertambahan penduduk,

perpindahan penduduk setempat, mobilitas sosial dan perubahan teknologi.

Sayangnya faktor kriminogen dari perkembangan masyarakat itu muncul dalam

bentuk kejahatan yang tiada bandingannya dalam KUHP atau dengan kata lain merupakan

kejahatan jenis baru. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan sekaligus. Pertama, pertanyaan

mengenai kemampuan hukum pidana dalam menangani kejahatan-kejahatan sedemikian.

Hukum pidana sebagai sebuah bidang kajian memiliki keterbatasan, keterbatasan mana

menyebabkan hukum pidana tak mampu menjangkau sebab-sebab kejahatan yang kompleks

dan berada di luar jangkauan hukum pidana, lagi pula hukum pidana hanyalah bagian kecil

dari sarana kontrol sosial masyarakat yang tak dapat menjadi obat mujarab bagi keseluruhan

persoalan kejahatan.

Selain persoalan keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi

kejahatan, hukum pidana kita juga kurang bersikap adaptif dalam merespon perkembangan

yang terjadi di masyarakat, baik masyarakat nasional maupun internasional. Romli

Atmasasmita menyebut sikap hukum pidana yang demikian, termasuk asas-asas hukum dan

norma-norma serta lembaga-lembaga pranata yang mendukungnya masih bersifat

konservatif. Sikap konservatif ini terlihat dari masih dipertahankannya tanpa kecuali asas

legalitas, asas neb is in idem, asas non retroaktif dan asas kesalahan. Sikap ini menyebabkan

kajian tentang hukum pidana tidak mengalami perkembangan yang signifikan.


Pertanyaan kedua berkaitan dengan nasib dari pelaku dan perbuatan melanggar

hukum yang dilakukan sebelum undang-undang yang berkaitan hadir. Pertanyaan kedua ini

berkaitan dengan salah satu asas yang fundamental dalam hukum pidana, yaitu asas

legalitas. Jika kita berpegang secara teguh terhadap asas legalitas sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP maka pertanyaan kedua ini tak akan muncul, karena

konsekuensinya sudah jelas, yaitu terhadap perbuatan yang demikian tak akan ada

hukumannya dan pelakunya bebas dari jerat hukum. Pertanyaan ini menjadi lebih tajam jika

dikaitkan dengan persoalan keadilan bagi para korban kejahatan, apakah hukum akan

mengabaikan salah satu fungsinya dengan membiarkan ketidakadilan bagi para korban

dengan menguntungkan pelaku kejahatan.

Pada tulisan ini akan diuraikan mengenai perkembangan salah satu konsekuensi dari

asas fundamental dalam hukum pidana yang berkaitan dengan berlakunya hukum pidana

berdasarkan waktu (lex temporis delicti) atau yang biasa dikenal dengan asas legalitas,

khususnya yang berkaitan dengan asas retroaktif (berlaku surut). Pembicaraan asas ini

menjadi penting oleh karena adanya tuntutan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

di masa lalu yang menuntut keadilan dan tuntutan dunia internasional mengenai kejahatan

terorisme, serta perbuatan lain yang tiada bandingannya dalam perundang-undangan pidana

padahal perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela. Apalagi dengan adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003

yang banyak menimbulkan kontroversi.

B. Asas Non Retroaktif dan Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Internasional
Pembicaraan asas retroaktif akan berhenti jika kita hanya berpedoman pada ketentuan

dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (2) KUHP, karena pasal tersebut membatasi

pengertian retroaktif hanya pada keadaan transitoir atau menjadi hukum transitoir (hukum

dalam masa peralihan). Ini mengandung arti bahwa jika sebelumnya tidak ada peraturan

pidana, kemudian dibuat peraturan pidana yang baru dan berlaku untuk kejahatan yang telah

lalu, berarti bukan persoalan retroaktif, dan ini oleh Barda Nawawi Arief termasuk dalam

persoalan sumber hukum. Akan tetapi jika kita mengartikan secara lebih luas, retroaktif

berarti berlaku surut dan ini berarti berlaku untuk pembicaraan ada – yang berarti hukum

transitoir – atau tidak ada peraturan pidana sebelum perbuatan dilakukan.

Persoalan retroaktif sendiri muncul sebagai konsekuensi diterapkannya asas legalitas.

Asas legalitas sendiri dapat dikaji berdasarkan berbagai aspek, seperti aspek historis, aspek

sosio kriminologis, aspek pembaharuan hukum dalam kaitannya dengan pandangan secara

iteratif dan linier, aspek yang terkait dengan politik kriminal serta kajian dari perspektif

weltanschaung kita yaitu Pancasila. Kajian dari masing-masing aspek ini memberi implikasi

yang berbeda mengenai asas legalitas yang mana dalam pandangan ilmu pengetahuan

perbedaan itu justru akan memperkaya khasanah ilmu hukum pidana itu sendiri.

Dilihat dari aspek historis, munculnya asas legalitas sebenarnya telah lama ada

sebelum Anselm von Feurebach menggunakannya dalam pandangannya mengenai hukum

pidana. Banyak yang mengira dialah orang yang pertama menggunakan istilah asas legalitas,

akan tetapi pandangan ini tak bisa disalahkan begitu saja karena buku-buku yang dibaca oleh

sarjana hukum kita kebanyakan ditulis oleh orang-orang Belanda. Adalah benar bahwa

Anselm von Feurerbah merupakan orang yang merumuskan asas legalitas dengan istilah
nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh

berdasarkan pendapat Oppenheimer, Samuel von Pufendorf pernah mengemukakan

gagasan serupa. Kedua orang tersebut – Anselm von Feurebah dan Samuel von Pufendorf

– bukanlah orang yang memiliki gagasan tersebut. Jauh sebelum mereka berdua

mengemukakan gagasannya itu, embrio asas legalitas sudah ada dalam ilmu hukum orang

Yahudi (Talmudic Jurisprudence).

Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP

yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana

dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Asas ini terbagi

dalam tiga hal, yaitu Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan undang-

undang), Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa kejahatan) dan Nullum crimen

sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang).

Menurut Sudarto, pasal ini berisi 2 (dua) hal, pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan

atau disebutkan dalam peraturan perundang-undangan; kedua, peraturan perundang-

undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.

Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan

memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana (non retroaktif). Pemberlakuan

surut diijinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Larangan

pemberlakuan asas retroaktif ini didasarkan pada pemikiran:

a. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa


b. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm von

Feurebach). Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak

pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat.

Pada saat ini larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pidana

sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya dalam Artikel 99 Konvensi

Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (Vienna

Convention on the Law and Treaties) yang mengatur perjanjian antara negara dan negara dan

Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties

between States and International Organizations or between International Organizations).

Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) Universal Declaration of Human Right

1948, Pasal 15 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights 1966/ICCPR,

Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental

Freedoms and Its Eight Protocols, Pasal 9 American Convention on Human Rights dan Rome

Statute of the International Criminal Court (1998) yang tetap mempertahankan prinsip-

prinsip asas legalitas, terutama dalam Pasal 22-24.

Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan demikian, bukan berarti

tidak ada kecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka.

Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan

untuk melakukan penyimpangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi

Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian

Pasal 64 dan Pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas
retroaktif. Ketentuan lain dapat kita lihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2)

ICCPR yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1).

Dari praktek hukum pidana internasional, dapat kita lihat bahwa asas retroaktif ini

diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini

mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non

retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah pidana internasional Nuremberg

1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, International

Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for

Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif.

C. Eksistensi Asas Retroaktif Di Indonesia

Dalam sejarah dan praktek perkembangan hukum pidana di Indonesia, asas retroaktif

masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Hal ini menunjukkan

bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlakuan asas retroaktif sebagaimana tersebut di atas

relatif dan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan

jaman menuntut peranan hukum – khususnya hukum pidana – semakin diperluas. Selain itu

pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta

konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya.

Barda Nawawi Arief melihat pelemahan atau pergeseran asas legalitas dengan

menekankan pada perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiil dengan

mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR dan KUHP Kanada, padahal

ketentuan dalam ICCPR merupakan pengecualian terhadap ketentuan non retroaktif dari
kovensi tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah asas legalitas materiil sama

dengan asas retroaktif. Asas legalitas materiil dalam penerapannya di Indonesia telah

mempunyai dasar hukum, yaitu Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No. 1 Tahun 1951 dan

kemudian direspon dalam Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP 2004 yang menghargai hukum yang

hidup dalam masyarakat. Asas legalitas materiil menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan

atau perundang-undangan pidana yang tertulis sebenarnya telah ada hukumnya, yaitu hukum

tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, sedangkan dalam asas retroaktif lebih

menekankan pada pemberlakuan hukum tertulis yang diberlakukan bagi perbuatan atau

kejahatan yang terjadi sebelum hukum tertulis itu muncul. Arti asas legalitas materiil bisa

menjadi sama dengan asas retroaktif, jika perbuatan yang diatur dalam hukum tertulis yang

terjadi terbit kemudian setelah terjadinya kejahatan, sebenarnya merupakan hukum yang

hidup dalam masyarakat, dengan demikian terjadi penulisan hukum atau mengundangkan

hukum yang sudah ada. Persoalannya menjadi semakin rumit karena untuk memberlakukan

surut suatu peraturan pidana tidak semudah membalik telapak tangan, ada kriteria yang

cukup berat yang harus dipenuhi.

Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam

Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23 dan

Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht (KUHP). Kemudian larangan itu muncul dalam

Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Seiring dengan dicabutnya UUDS 1950 dan

diberlakukannya kembali UUD 1945, ketentuan tentang asas non retroaktif ini hanya tersirat

dari konsekuensi dianutnya asas legalitas formal yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1)

KUHP. Masalah pemberlakuan asas retroaktif ini kembali muncul setelah dikeluarkannya
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No. 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Secara historis sejak pemberlakuan WvS di Indonesia (1915) belum pernah asas

retroaktif diberlakukan, kecuali pada saat pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan di

Australia sebagai akibat pendudukan Jepang. Setelah tentara Sekutu menang perang,

Pemerintah Hindia Belanda di pengasingan mengeluarkan Brisbane Ordonantie 1945

mengenai penerapan delik terhadap keamanan negara terhadap pihak yang kalah perang yaitu

Jepang. Kuatnya keinginan menerapkan asas retroaktif ini ternyata dilakukan untuk

menunjukkan dominasi politis secara luas terhadap pihak lain yang dianggap sebagai oposan

serta untuk menunjukkan eksistensi dari asas Lex Talionis (pembalasan).

Ketentuan tentang pemberlakuan asas retroaktif ini muncul kembali dalam Penjelasan

Pasal 4, Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum

pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000. Tentang pemberlakuan asas retroaktif ini

menimbulkan beberapa masalah, yaitu:

1. Penempatan dan pemberlakuan asas retroaktif dalam Penjelasan Pasal 4 dalam UU No.

39 Tahun 1999 merupakan hal yang kontradiktif dengan pasal yang dijelaskan, yaitu

Pasal 4. Ketentuan dalam Pasal 4 menentukan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas

dasar hukum yang berlaku surut, termasuk salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Ketentuan untuk

tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) menurut Barda Nawawi

Arief merupakan Hak Absolut. Dari hal tersebut ada dua hal yang mengemuka, pertama,

apakah hak absolut itu dapat dikecualikan atau disimpangi dan kedua apakah dalam
sistem perundang-undangan kita penyimpangan terhadap suatu ketentuan dapat dilakukan

pada bagian “penjelasan”.

Hal yang kontradiktif dari ketentuan itu adalah pada Pasal 4 ditetapkan tentang hak

absolut dan pada penjelasannya justru membatasi hak absolut tersebut. Ini berarti hak

absolut itu telah digerogoti dan tidak menjadi hak absolut lagi dan menjadi hak relatif.

Kemudian tentang penjelasan kata “siapa pun”, sebenarnya hanya negara yang dapat

menerapkan asas retroaktif ini, sedangkan perorangan atau anggota masyarakat tidak

dapat melakukannya. Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang

dapat menjalankan sistem itu adalah aparat penegak hukum yang melakukan tugas atas

nama negara, sehingga kecil kemungkinan individu/perorangan atau anggota masyarakat

terlibat dalam sistem itu.

2. Tampaknya penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun

2000 patut dipertanyakan mengingat ketentuan terbaru mengenai penanganan kasus

pelanggaran HAM berat yaitu Statuta Roma 1998 menegaskan penolakan penerapan asas

retroaktif. Apakah ini merupakan suatu kemunduran. Jika dilihat dari aspek kebaruan,

memang demikian, akan tetapi alasan politik praktis lebih mengemuka mengingat

kepentingan negara terhadap para pelanggar HAM di masa lalu cukup besar, misalnya

kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur. Salah satu alasan politik praktis pemberlakuan

asas retroaktif terhadap pelanggar HAM berat di masa lalu adalah upaya untuk

menghindari penerapan asas komplementaris dalam ketentuan ICC. Asas ini menegaskan

bahwa jika lembaga hukum atau peradilan nasional tidak dapat bertindak dan/atau tidak

mau bertindak, maka perkara pelanggaran HAM berat itu akan diambil alih oleh ICC.
Tentu ketentuan ini amat berbahaya mengingat sebagian besar pelanggar HAM berat di

Indonesia adalah pemerintah sehingga sebisa mungkin diadili di dalam negeri.

3. Dilihat dari aspek praktis, penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU

No. 26 Tahun 2000 lebih ditujukan pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur.

Ini terbukti dari beberapa kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang dilakukan

oleh pemerintah sampai sekarang belum satu pun yang masuk ke pengadilan ad hoc

HAM, meskipun terbuka kemungkinan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di

luar pengadilan.

Ketentuan tentang asas retroaktif ini juga muncul pada Pasal 46 Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang

Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16

Tahun 2003.

Ketentuan dalam Pasal 46 UU No. 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa

“Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat


diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai
berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang
penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang tersendiri”.

Ketentuan ini merupakan dasar dikeluarkannya Perpu No. 2 Tahun 2002 yang mengandung

asas retroaktif. Akan tetapi dari kata-kata “…dapat diperlakukan surut untuk tindakan
hukum bagi kasus tertentu sebelum berlakunya perpu ini, …” mengandung indikasi bahwa

selain Perpu No. 2 Tahun 2002 terbuka kemungkinan untuk memberlakukan surut terhadap

tindak pidana terorisme selain peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002. Akankah demikian,

tentunya kita lihat perkembangan dari kedua perpu tersebut.

Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002/UU

No. 16 Tahun 2003 telah dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku

peledakan Bom Bali I, yaitu Amrozi, Ali Imron dan Imam Samudera. Dalam

perkembangannya, eksistensi Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah diajukan

uji materiil oleh Masykur Abdul Kadir pada Mahkamah Konstitusi. Meskipun yang

diajukan uji materiil hanya Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 akan tetapi

keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi akan berdampak pada ketentuan Pasal 46

Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003.

Salah satu dasar hukum dan yang paling relevan dengan persoalan yang dibicarakan

di sini adalah ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua (Amandemen Kedua)

UUD 1945. Argumen yang diajukan adalah bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16

Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Adapun Pasal 28 I ayat (1)

menyatakan bahwa

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”
Terhadap argumen tersebut, pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal ini,

secara ringkas mengajukan dua hal yang dianggap sebagai dasar pemberlakuan surut Perpu

No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Pertama, berdasarkan penafsiran pemerintah,

Pasal 28 I ayat (1) dalam pelaksanaannya dibatasi oleh Pasal 28 J yang menyatakan

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.

Pembatasan dari Pasal 28 J ini memungkinkan untuk dirumuskannya suatu peraturan pidana

yang berlaku surut. Kedua, didasarkan pada pendapat bahwa terorisme merupakan salah satu

bentuk extra ordinary crime, sehingga diperlukan langkah-langkah yang luar biasa termasuk

pemberlakuan surut suatu peraturan pidana.

Berbagai argumen dikemukakan untuk menguatkan agar asas retroaktif dapat

diterapkan untuk tindak pidana terorisme, misalnya asas superioritas keadilan yang dapat

mengesampingkan asas non retroaktif, argumen hukum internasional dapat

mengesampingkan hukum domestik dan sebagainya. Di samping itu, dikemukakan pula

bahaya dari penerapan asas retroaktif, misalnya bahaya pengesampingan asas non-retroaktif

akan membuka peluang bagi rezim penguasa untuk melakukan balas dendam politik

(revenge) dan sebagainya.


Berdasarkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh dua pihak tersebut,

Mahkamah Konstitusi dalam putusan bernomor 013/PUU-I/2003 tanggal 22 Juli 2004

berpendapat bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan

UUD 1945. Tentu saja putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi luas sebagaimana

tercermin dari tanggapan pemerintah atas putusan itu yang secara singkat adalah sebagai

berikut:

1. Pendapat dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa asas non retroaktif

bersifat mutlak karena ia merupakan asas universal dan tidak dapat ditafsirkan lain selain

yang dituliskan dalam UUD dengan frasa “dalam keadaan apapun” (Pasal 28 I), terbukti

inkonsisten dengan pengakuan Mahkamah Konstitusi bahwa asas non-retroaktif hanya

dikecualikan untuk kasus pelanggaran HAM berat;

2. Sejak asas retroaktif diterapkan dalam Mahkamah Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Ad

hoc Tribunal di Rwanda dan Yugoslavia, maka sejak saat itu asas non retroaktif

merupakan asas partikularistik dan bersifat kasuistik, tidak lagi merupakan asas

universal;

3. Penerapan teori Kelsen secara mutlak dalam penerapan asas retroaktif UU No. 15 Tahun

2003 atas peristiwa bom Bali dan mengabaikan sama sekali teori sebab akibat,

mengabaikan keadilan masyarakat yang lebih luas termasuk korban dan menunjukkan

ketertinggalan pemikiran Mahkamah Konstitusi dan juga tidak sejalan dengan

perkembangan paradigma keilmuan dalam pendidikan ilmu hukum di Indonesia sejak

tahun 1970-an sampai saat ini yang mengakui paradigma ilmu-ilmu sosial dalam ilmu

hukum;
4. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mencerminkan keseimbangan perlindungan atas

kepentingan tersangka/terdakwa terorisme dengan perlindungan atas hak suatu negara

yang berdaulat dan korban bom Bali;

5. Pertimbangan dan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang kualifikasi kegiatan terorisme

pada peristiwa bom Bali yang menegaskan bukan kejahatan luar biasa, dan hanya

merupakan kejahatan biasa yang dilakukan secara kejam (ordinary crime) menunjukkan

kerancuan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan hukum ketatanegaraan bukan

pendekatan hukum pidana internasional yang seharusnya digunakan dan dipandang

memiliki kredibilitas akademik dalam membedah peristiwa tersebut. Pendapat

Mahkamah Konstitusi tersebut tersebut terlalu dini dan ceroboh.

Terhadap kritikan pemerintah yang terakhir, adalah menarik untuk mengkaji secara

ilmiah ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah terorisme atau bentuk kejahatan lain

yang menimbulkan korban cukup besar dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan biasa

(ordinary crime) atau luar biasa (extra ordinary crime). Apa yang menjadi dasar penentuan

itu, ada empat argumen yang dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran. Pertama, jumlah

korban yang besar atau relatif besar, kedua, cara melakukan kejahatan yang sangat kejam,

ketiga, dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas dan keempat, penetapan oleh

lembaga internasional (PBB atau lainnya) sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Keempatnya seharusnya merupakan suatu kesatuan, sehingga perbedaan penafsiran

mengenai kriteria penetapan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak berbeda satu dengan yang

lain.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka tamat sudah riwayat asas

retroaktif dalam Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003. Meski yang diputus

bertentangan dengan UUD 1945 adalah Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003,

akan tetapi ini membawa dampak kepada ketentuan dalam Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun

2002/UU No. 15 Tahun 2003. Dampak tersebut adalah tertutupnya kemungkinan untuk

menetapkan peraturan pidana yang berlaku surut bagi tindak pidana terorisme atau tindak

pidana lain yang berkaitan dengan terorisme. Dengan kata lain Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun

2002/UU No. 15 Tahun 2003 merupakan ketentuan yang lahir untuk dimatikan karena tidak

ada fungsinya sama sekali.

Adalah menarik untuk mencermati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terutama

dengan dasar pengambilan keputusan yang menguji taraf sinkronisasi vertikal Perpu No. 1

Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 terhadap UUD 1945. UUD 1945 merupakan konstitusi

atau merupakan hukum tertinggi di bawah apa yang dinamakan grundnorm. Bagaimana jika

UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 diuji materiilkan terhadap UUD 1945.

Berdasarkan tata urutan perundang-undangan, tentunya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No.

26 Tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Pertanyaannya adalah

apakah asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan ketentuan

non derogable rights dalam ketentuan hukum humaniter internasional dapat

mengesampingkan konstitusi suatu negara. Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban

yang logis, rasional agar eksistensi asas retroaktif dalam kedua undang-undang tersebut dapat

dipertanggungjawabkan.

D. Simpulan
Larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana (retroaktif) yang tercantum

dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 Amandemen Kedua menimbulkan implikasi peraturan

di bawah UUD 1945 tidak dapat mengeyampingkan asas tersebut. Kenyataan yang timbul

adalah ada pengecualian terhadap larangan tersebut yang diatur “hanya” dengan undang-

undang yang dalam hirarkis perundang-undangan masih berada di bawah UUD 1945.

Problematika ini menimbulkan persoalan dalam hukum pidana dan hirarki perundang-

undangan. Selain itu larangan penerapan peraturan pidana secara retroaktif ternyata

menimbulkan persoalan yang rumit terutama dalam menghadapi kejahatan jenis baru yang

tidak ada bandingannya dalam KUHP atau peraturan pidana khusus lainnya. Adakah

kejahatan yang sedemikian dibiarkan.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Indriyanto Seno, Catatan Tentang Pengadilan HAM dan Masalahnya, Artikel pada
Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XIX No. 1 Januari 2001, FH UNPAR Bandung;
----------------------------, “Terorisme”, Perpu No. 1 Tahun 2002 Dalam Perspektif Hukum Pidana
dan Hak Asasi Manusia, Artikel dalam Jurnal Hukum Pro Justitia Tahun XX No. 1,
Januari 2003, Bandung: FH UNPAR
Arief, Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti;
-----------------------------, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti;
-----------------------------, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana, Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Bandung: Citra Aditya Bakti;
Atmasasmita, Romli, 1998, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Bagian Kesatu,
Bandung: Putra A Bardin;
------------------------, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum,
Bandung: Mandar Maju;
------------------------, 2004, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Jakarta: Hecca
Mitra Utama;
------------------------, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Jilid Ke-2, Bandung:
CV Utomo;
------------------------, Pengaruh Konvensi Internasional Terhadap Perkembangan Asas-asas
Hukum Pidana Nasional, Makalah pada Seminar Asas-asas Hukum Pidana Nasional,
Kerjasama UNDIP dan BPHN DEPKEH HAM RI, 26 April 2006Budi Prastowo,
Asas Nonretroaktivitas Dalam Perubahan Perundang-undangan Pidana, Artikel
dalam Jurnal Hukum Pro Justitia Vol. 24 No. 2, Bandung: FH Universitas
Parahyangan.
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
2004, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Kitab Undang-
undang Hukum Pidana;
Hamzah, Andi; 1992, Hukum Pidana Politik, Jakarta: Pradnya Paramita;

Jaya, Nyoman Sarikat Putra, 2001, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: BP UNDIP;
---------------------------------, 2002, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional (Studi Kasus Hukum Pidana Adat Bali), Ringkasan Disertasi,
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia;
Lamintang, P.A.F., 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni;
--------, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta:
The Habibie Center;
Parthiana, I Wayan; Beberapa Masalah Hukum Dari Asas Non Retroactive Dalam UU No. 39
Tahun 1999 Tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM,
Artikel dalam Jurnal Hukum Pro Justitia Tahun XX No. 3 Juli 2002, FH UNPAR
Bandung,
-----------------------, 2004, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yrama Widya;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 jo UU No. 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2002 jo UU No. 16 Tahun 2003
Tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme untuk Kasus Peledakan Bom Bali 12 Oktober 2002;
Popple, James, The Right to Protection from Retroactive Criminal Law, Criminal Law Journal
Vol. 12 No. 4, August 1989 dan Australasian Law Students’ Association Journal 1989,
Vol. 2.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013/PUU-I/2003 tanggal 22 Juli 2004.
Sahetapy, J.E., Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Majalah Pro
Justitia FH Universitas Parahyangan, Bandung, No. 3 Tahun VII Juli 1989,
Savitri, Niken, Pengaruh Mahkamah Pidana Internasional ad hoc Terhadap Pembentukan
International Criminal Court, artikel dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XVIII
No. 3 Juli 2000, FH UNPAR Bandung;
Schaffmeister, D.; Keijer, N.; Sitorius, E.PH, 1995, Hukum Pidana, terjemahan J.E. Sahetapy,
Yogyakarta: Liberty;
Siswanto, Ari; 2005, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Jakarta: Ghalia
Indonesia;
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni;
---------, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip;
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
Yudhawiranata, Agung, Menyelesaikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Masa Lalu, dalam
Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I No. 1 Tahun 2003, Jakarta: Elsam.

http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/problem_retroaktif.htm

Anda mungkin juga menyukai