Anda di halaman 1dari 62

1

2
Kata Pengantar

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan atas terbitnya buku

Implementasi Hukum Adminstrasi Pelayanan Publik dalam OSS

RBA. Buku ini adalah jawaban atas dasar implementasi pelayanan

perijinan berusaha melalui Lembaga Online Single Submission Risk

Based Analisys. Buku ini adalah catatan penulis selama terlibat

dalam penyusunan peraturan turunan penunjang OSS RBA di

Instansinya berada. Pada perkembangannya Penulis ingin

memberikan karya ini untuk mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Kartini Surabaya agar dapat digunakan saat Kembali

kemasyarakat saat menjadi sarjana hukum.

Diakhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang mendukung terbitnya buku ini. Semoga buku ini

bermanfaat untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Surabaya, 27 Juli 2022

Deddy Rusdiana, S.Si, MH, C.Ht

DR. Poernomowati, SH, MM, MH

3
DAFTAR ISI

BAB I Sumber Hukum Kebijakan Publik ................................... 5


I.1. Hierarki Peraturan dan Strata Kebijakan Publik ........... 10
I.2. Sistem Hukum dan Sistem Kebijakan Publik ................ 16
BAB II Pelayanan Publik .......................................................... 20
II.2. Pengertian Pelayanan Publik ........................................ 20
II.2. Kelompok Pelayanan Administratif ............................... 21
II.3. Kelompok Pelayanan Barang ........................................ 21
II.4. Kelompok Pelayanan Jasa ............................................ 21
II.5. Asas-asas Pelayanan Publik ......................................... 24
II.6 Prinsip penyelenggaraan Pelayanan publik ................... 28
II.7. Standar Pelayanan Publik ............................................ 30
BAB III Perizinan Sebagai Implementasi Pelayanan Publik ...... 37
III.1. Mekanisme Perizinan di indonesia .............................. 41
BAB IV ONLINE SINGLE SUBMISSION .................................... 42
IV.1. Tahapan Akses OSS .................................................... 43
IV.2. OSS RBA (Berbasis Resiko) ......................................... 45
IV.3. Kategori Pelaku Usaha ................................................ 46
IV.4. Skala Usaha ................................................................ 47
IV.5. Tingkat Risiko ............................................................. 47
BAB V USAHA MIKRO KECIL (UMK)........................................ 49
V.1. Kategori UMK ............................................................... 49
V.2. Skala Usaha UMK ........................................................ 49
V.3. Tingkat Risiko UMK ..................................................... 50
BAB VI USAHA NON MIKRO KECIL (NON UMK) ...................... 52
VI.1. Kategori Non UMK....................................................... 52
VI.2. Skala Usaha Non UMK ................................................ 53
VI.3. Tingkat Risiko Non UMK ............................................. 53
BAB VII KBLI 2020 DALAM OSS RBA ......................................... 56
DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 56

4
BAB I

SUMBER HUKUM KEBIJAKAN PUBLIK

Istilah sumber hukum mengandung banyak pengertian. Hal

ini disebabkan berkenaan dengan sudut pandang mana sumber

hukum itu diartikan. Misalnya sumber hukum dilihat dari sisi

filsafat tidak sama dengan sumber hukum dari sisi sejarah atau

historis. Demikian pula pengertian sumber hukum dari sisi

ekonomi tidak sama dengan pengertian sumber hukum dari sisi

sosiologis.

Para ahli hukum menggunakan istilah sumber hukum dalam

dua arti yaitu sumber hukum tempat orang- orang untuk

mengetahui hukum dan sumber hukum bagi pembentuk

undang-undang menggali bahan-bahan dalam penyusunan

undang- undang. Sumber hukum dalam arti tempat orang-orang

mengetahui hukum adalah semua sumber-sumber hukum

tertulis dan sumber-sumber hukum lainnya yang dapat

diketahui sebagai hukum pada saat, tempat dan berlaku bagi

orang-orang tertentu. Untuk mencari sumber hukum berupa

undang-undang, putusan hakim di pengadilan, akta, buku

literatur hukum, jurnal. Sementara sumber hukum bagi

pembentuk undang-undang untuk menggali bahan-bahan

dalam penyusunan undang-undang berkaitan dengan

5
penyiapan rancangan undang-undang.

Dalam sistem hukum baik Eropa Kontinental maupun sistem

hukum Angloxason, sumber hukum dibedakan atas dua yakni

sumber hukum dalam arti materil dan sumber hukum dalam arti

formal. Khusus dalam sistem hukum Eropa Kontinental lebih

fokus pada sumber hukum dalam arti formal. Alasanya adalah

sumber hukum formal berkaitan dengan proses terjadinya

hukum dan mengikat masyarakat. Selain itu sumber hukum

formal dibutuhkan untuk keperluan praktis yaitu aspek

bekerjanya hukum.

Dalam sistem hukum baik Eropa Kontinental maupun sistem

hukum Angloxason sumber hukum dibedakan atas dua yakni

sumber hukum dalam arti materil dan sumber hukum dalam arti

formal. Khusus dalam sistem hukum Eropa Kontinental lebih

fokus pada sumber hukum dalam arti formal. Alasanya adalah

sumber hukum formal berkaitan dengan proses terjadinya

hukum dan mengikat masyarakat. Selain itu sumber hukum

formal dibutuhkan untuk keperluan praktis yaitu aspek

bekerjanya hukum. Sementara dalam sistem hukum Angloxason

tetap melihat sumber hukum dalam dua pengetian di atas yakni

materil dan formal. Dalam sistem hukum Angloxason, sumber

hukum materil diartikan sumber berasalnya substansi hukum,

sedangkan sumber hukum formal diartikan sebagai sumber

6
berasalnya kekuatan mengikat.

Hukum diperlukan agar kebijakan-kebijakan kenegaraan dan

pemerintahan dapat memperoleh bentuk resmi yang bersifat

mengikat dan dapat dipaksakan berlakunya untuk umum.

Karena hukum yang baik diperlukan dalam rangka pembuatan

kebijakan (policy making) yang diperlukan merekayasa,

mendinamisasi, mendorong, dan bahkan mengarahkan guna

mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan

tersebut (policy executing), hukum juga harus difungsikan

sebagai sarana pengendali dan sebagai sumber rujukan yang

mengikat dalam menjalankan segala roda pemerintahan dan

kegiatan penyelenggaraan Negara.

Dalam kenyataan praktik, baik dalam konteks pembuatan

kebijakan (policy making) maupun dalam konteks pelaksanaan

kebijakan (policy executing), masih terlihat adanya gejala anomi

dan anomali yang belum dapat diselesaikan dengan baik selama

11 tahun pasca reformasi ini. Dari segi sistem norma,

perubahan-perubahan telah terjadi dimulai dari norma-norma

dasar dalam konstitusi negara yang mengalami perubahan

mendasar. Dari segi materinya dapat dikatakan bahwa UUD

1945 telah mengalami perubahan 300 persen dari isi aslinya

7
sebagaimana diwarisi dari tahun 1945. Sebagai akibat

lanjutannya maka keseluruhan sistem norma hukum

sebagaimana tercermin dalam pelbagai peraturan perundang-

undangan harus pula diubah dan diperbarui.

Bentuk Hukum Kebijakan Publik

1. Kebijakan publik yang terkodifikasi adalah segenap

peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan

daerah.

2. Pernyataan pejabat publik adalah pernyataan-pernyataan

dari pejabat publik di depan publik, baik dalam bentuk

pidato tertulis, pidato lisan, termasuk pernyataan kepada

media massa.

Bentuk Kebijakan publik yang terkodifikasi (yang berupa

peraturan perundang-undangan) sebagaimanadimaksud dalam

Permenpan tersebut merupakan bentuk kebijakan publik yang

positif atau dalam kategori kebijakan publik menurut Andersen

adalah keputusan-keputusan kebijakan (policy decicions).

1. Bentuk Kebijakan publik berupa pernyataan pejabat publik

sebagaimana dimaksud dalam Permenpan tersebut dalam

kategori kebijakan publik menurut Andersen adalah sebagai

pernyataan kebijakan (policy statements).

2. Menurut James Anderson, sifat kebijakan publik sebagai

arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep

8
ini dirinci menjadi beberapa kategori.

a. Tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), berupa

desakan agar pemerintah mengambil tindakan atau

tidak mengambil tindakan.

b. Keputusan kebijakan (policy decicions), keputusan-

keputusan yang dibuat oleh pemerintah yang

mengesahkan atau memberi arah dan substansi

kepada tindakan-tindakan kebijakan publik, termasuk

dalam kegiatan ini adalah antara lain menetapkan

undang-undang dan mengumumkan peraturan-

peraturan administratif.

c. Pernyataan kebijakan (policy statements), pernyataan-

pernyataan resmi yakni undang-undang, dekrit

presiden, peraturan administratif, maupun pidato-

pidato pejabat pemerintah yang menunjukan maksud

dan tujuan pemerintah dan apa yang akan dilakukan

untuk mencapai tujuan tersebut.

d. Hasil-hasil kebijakan (policy outputs), manifestasi

nyata kebijakan ublik atau apa yang telah dilakukan

oleh pemerintah.

e. Dampak kebijakan (outcomes), akibat-akibat kebijakan

publik bagi masyarakat, baik yang

diinginkan atau yang tidak diinginkan yang berasal dari

9
tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah. (Anderson

dalam Budi Winarno: 2002)

I.1. Hierarki Peraturan dan Strata Kebijakan Publik

Norma hukum dapat lahir dan berlaku dalam

masyarakat. Dalam norma hukum akan sangat berkaitan

dengan hierarki norma hukum, baik yang dinyatakan oleh

Hans Nawiasky ataupun Hans Kelsen. Juga teori norma

„berwajah ganda‟ yang dikemukakan oleh Adolf Merkel untuk

menjelaskan keterkaitan antara satu norma dengan norma

yang lain. Untuk memperkuat pemahaman tentang norma

hukum, akan dipelajari pula teori-teori yang berkaitan

dengannya, misalnya, pemahaman tentang jenis norma

ditinjau dari sifat muatannya (abstrak atau konkret), dari

subjek yang diatur (umum atau khusus), dan sebagainya.

Sebelumnya, perlu dipahami bahwa menurut Hans Kelsen

dalam bukunya General Theory of Law and State, terdapat dua

sistem norma yang meliputi:

1. Sistem norma statik adalah sistem yang melihat pada „isi‟

norma. Menurut sistem norma yang statik, norma umum

dapat ditarik menjadi norma yang lebih khusus, atau norma-

norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma yang

umum.

10
2. Sistem norma yang dinamik adalah sistem norma yang

melihat pada berlakunya suatu norma dari cara

„pembentukannya‟ atau „penghapusannya‟.

Dalam ilmu Perundang-undangan yang dibicarakan adalah

norma hukum sebagai salah satu norma yang dinamik, yaitu

norma yang diterapkan berdasarkan siapa pembuatnya dan

bagaimana penerapannya dikaitkan dengan norma-norma

lainnya. Dalam konteks ini, norma hukum bersifat heteronom,

yaitu muncul dari luar diri seseorang. Norma hukum dibuat oleh

pihak penguasa, yaitu bidang legislatif. Hal ini berbeda dengan

norma-norma lainnya yang cenderung merupakan kaedah

otonom, yaitu berasal dari dalam diri seseorang. Selain itu,

norma hukum dapat dilekati sanksi dalam rangka menjamin

pemenuhannya. Sanksi ini dipaksakan dan dilaksanakan

keberlakuannya oleh aparat negara. Norma hukum juga dibagi

menjadi norma hukum tunggal, dan norma hukum

berpasangan. Norma hukum tunggal adalah norma yang berdiri

sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya,

sedangkan norma hukum berpasangan adalah norma yang

terdiri dari dua norma hukum, yaitu norma hukum primer dan

norma hukum sekunder. Norma hukum primer adalah norma

hukum yang berisi suruhan, sedangkan norma hukum sekunder

adalah norma hukum yang berisi sanksi untuk memastikan

11
supaya norma hukum primer dipenuhi.

Jika membicarakan tentang norma hukum dalam negara,

akan ditemui teori norma hukum yang memiliki dua wajah dari

Adolf Merkel. Teori dua wajah ini memiliki arti bahwa norma

hukum ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di

atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi

dasar bagi norma hukum di bawahnya. Hal ini berakibat pada

kondisi bahwa suatu norma hukum masa berlakunya

tergantung pada norma hukum yang ada di atasnya. Apabila

norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus,

pada dasarnya norma-norma hukum yang berada di bawahnya

akan tercabut dan terhapus pula. Teori ini berkaitan dengan

teori hierarki peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan

oleh Hans Nawiasky dan Hans Kelsen.

Hans Kelsen menyatakan bahwa norma itu berjenjang dan

berlapis dalam suatu hierarki, dalam arti norma yang lebih

rendah bersumber dan berlaku berdasarkan norma yang lebih

tinggi. Norma tersebut akan terus membentuk suatu tingkatan

hingga norma teratas yang sudah tidak dapat ditelusuri lebih

lanjut, berisfat hipotesis, fiktif, yang disebut sebagai norma

dasar atau grundnorm. Norma ini bersifat presupposed artinya

ditetapkan oleh masyarakat secara bersama-sama. Selain Hans

Kelsen, Hans Nawiasky juga mengeluarkan teori tentang jenjang

12
norma dalam negara yang terbagi dalam kelompok-kelompok

sebagai berikut:

1. Kelompok I : Staatsfundamnetalnorm atau norma

fundamental negara;

2. Kelompok II : Staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara

atau aturan pokok negara;

3. Kelompok III : Formell Gesetz atau undang-undang formal;

4. Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung atau aturan

pelaksana dan aturan otonom.

Gambar Piramida Jenjang Norma

Terdapat beberapa hal yang membedakan teori jenjang norma

menurut Hans Kelsen dan Hans Nawiasky meliputi:

1. Teori Hans Kelsen berlaku untuk segala jenis norma,

sedangkan Hans Nawiasky lebih berfokus pada norma

13
hukum negara.

2. Norma tertingggi menurut Hans Kelsen adalah

grundnorm yang tidak akan pernah bisa berubah,

sedangkan norma tertinggi menurut Hans Nawiasky

adalah Staatsfundamentalnorm yang dapat berubah

sesuai dengan kondisi dan situasi dari negara yang

bersangkutan.

3. Hans Kelsen hanya membagi norma dalam jenjang-

jenjang saja, sedangkan Hans Nawiasky juga

melakukan terhadap norma tersebut, tidak hanya

membaginya dalam jenjang.

Norma hukum juga mengalami pembagian berdasarkan

beberapa indikator. Jika dilihat dari subjek yang dituju norma

hukum terdiri dari norma hukum umum dan norma hukum

khusus. Norma hukum umum adalah norma hukum ditujukan

untuk orang banyak dan tidak tentu. Hal ini memiliki

konsekuensi bahwa semua orang harus menerapkan norma

hukum tersebut tanpa terkecuali, sedangkan norma hukum

individual adalah norma hukum yang ditujukan atau

dialamatkan pada seseorang, beberapa orang, atau banyak

orang yang telah ditentukan. Biasanya, dalam norma hukum

tersebut telah disebutkan siapa saja subjek yang menjadi

tujuannya. Jika dilihat dari hal yang diatur atau perbuatannya,

14
norma hukum terbagi menjadi norma hukum abstrak dan norma

hukum konkret. Norma hukum abstrak adalah norma hukum

yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya

dalam arti tidak konkret, sedangkan norma hukum konkret

adalah norma hukum yang melihat perbuatan seseorang secara

lebih nyata (konkret). Dalam praktiknya, norma-norma hukum

tersebut dapat dikombinasikan sebagai berikut:

1. Norma hukum umum-abstrak;

2. Norma hukum umum-konkret;

3. Norma hukum individual-abstrak;

4. Norma hukum individual-konkret.

Selain itu, berdasarkan masa berlakunya, norma hukum

dapat dibagi menjadi norma hukum yang berlaku

terus menerus dan norma hukum yang sekali selesai. Norma

hukum yang berlaku terus-menerus keberlakuannya tidak

dibatasi oleh waktu, jadi dapat berlaku kapan saja secara terus

menerus sampai peraturan itu dicabut dan diganti dengan

peraturan yang baru, sedangkan norma hukum yang berlaku

sekali selesai adalah norma hukum yang berlakunya hanya

sekali saja, setelahnya selesai. Jadi sifatnya hanya menetapkan

saja.

15
I.2. Sistem Hukum dan Sistem Kebijakan Publik

Schrode & Voich sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo,29

menyatakan istilah sistem mempunyai dua pengertian penting

untuk dikenali, sekalipun dalam pembicaraan-pembicaraan

keduanya sering dipakai secara tercampur begitu saja.

Pengertian pertama, sistem sebagai jenis aturan yang

mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu di sini menunjuk

kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian.

Kedua, sistem sebagai suatu rencana, metode, prosedur untuk

mengerjakan sesuatu.

Sudikno Mertokusumo menyatakan sistem hukum bersifat

lengkap yaitu melengkapi kekosongan, kekurangan dan ketidak

jelasan hukum. Peraturan perundang-undangan itu sifatnya

tidak lengkap. Peraturan perundang-undangan tidak ada dan

tidak mungkin sudah selengkap-lengkapnya atau sejelas-

jelasnya. Ketidak lengkapan dan ketidakjelasan atau bahkan

kekosongan hukum diatasi oleh sistem hukum itu sendiri

dengan penemuan hukum. Menurut Lawrence M fungsi sistem

hukum adalah menjaga atau mengesahkan keseimbangan

tatanan dalam masyarakat atau restitutio in integrum.

Dalam teori klasiknya Friedman menguraikan sistem hukum

adalah kumpulan dari sub-sistem:

1. Struktur hukum. Struktur adalah salah satu dasar dan

16
elemen nyata dari sistem hukum. Struktur sebuah

sistem adalah kerangka badannya; ia adalah bentuk

permanennya, tubuh institusional dari sistem tersebut,

tulang-tulang keras yang kaku yang menjaga agar

proses mengalir dalam batas-batasnya. Struktur

sebuah sistem yudisial terbayang ketika berbicara

tentang jumlah para hakim, yurisdiksi pengadilan,

bagaimana pengadilan yang lebih tinggi berada di atas

pengadilan yang lebih rendah, dan orang-orang yang

terkait dengan berbegai jenis pengadilan.

2. Substansi hukum. Substansi tersusun dari peraturan-

peraturan dan ketentuan-ketentuan mengenai

bagaimana institusi itu harus berperilaku. H.L.A. Hart

berpendapat bahwa ciri khas suatu sistem hukum

adalah kumpulan ganda dari peraturan- peraturan.

Suatu sistem hukum adalah kesatuan dari “peraturan-

peraturan primer” dan “peraturan-peraturan

sekunder”. Peraturan primer adalah norma- norma

perilaku; peraturan sekunder adalah norma mengenai

norma-norma ini bagaimana memutuskan apakah

semua itu valid, bagaimana memberlakukannya, dan

lain-lain. Tentu saja, baik peraturan primer maupun

peraturan sekunder adalah sama-sama output dari

17
sebuah sistem hukum.

3. Budaya hukum. Kekuatan-kekuatan sosial terus-

menerus menggerakkan hukum merusak di sini,

memperbarui di sana; menghidupkan di sini,

mematikan di sana; memilih bagian mana dari

“hukum” yang akan beroperasi, bagian mana yang

tidak; mengganti, memintas, dan melewati apa yang

muncul; perubahan-perubahan apa yang akan terjadi

secara terbuka atau diam-diam. Karena tiada istilah

lain, sebagian dari kekuatan-kekuatan ini sebagian

dinamakan kultur hukum. Kultur hukum adalah

elemen sikap dan nilai sosial. Kultur hukum mengacu

pada bagian-bagian yang ada pada kultur umum-adat

kebiasaan, opini, cara bertindak dan berpikir yang

mengarahkan kekuatan-kekuatan social menuju atau

menjauh dari hukum dengan cara-cara tertentu.

Secara garis besar istilah tersebut menggambarkan

sikap-sikap mengenai hukum.

Lawrence Friedman, menyatakan bahwa fungsi hukum terdiri

sebagai berikut, Pertama, untuk mendistribusikan dan menjaga

alokasi nilai-nilai yang benar menurut masyarakat. Pemahaman

yang tertanam dalam masyarakat dan dianggap benar adalah

yang disebut dengan keadilan. Kedua, fungsi sistem hukum

18
yakni penyelesaian sengkata. Konflik dalam masyarakat setiap

saat selau muncul, untuk itu sistem hukum menyediakan mesin

dan tempat yang bisa dituju oleh orang untuk menyelesaikan

konflik mereka dan merampungkan sengketa mereka. Ketiga,

fungsi sistem hukum yakni sebagao kontrol sosial, yang pada

dasarnya berupa pemberlakuan peraturan mengenai perilaku

yang benar. Keempat, fungsi sistem hukum yakni menciptakan

norma-norma itu sendiri, bahan-bahan mentah bagi kontrol

sosial. Sistem hukum bertindak sebagai instrumen perubahan

yang tertata, rekayasa sosial.

19
BAB II

PELAYANAN PUBLIK

II.2. Pengertian Pelayanan Publik

Pelayanan adalah cara melayani, membantu, menyiapkan,

dan mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang

atau sekelompok orang, artinya obyek yang dilayani adalah

individu, pribadi, dan kelompok organisasi sedangkan menurut

publik dapat diartikan sebagai masyarakat atau rakyat. Aktivitas

pelayanan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

dalam kehidupan manusia. Manusia membutuhkan layanan

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Senada dengan pernyataan

Lijan Poltak Sinambela bahwa “Pada dasarnya setiap manusia

membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat

dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan

kehidupan manusia”. Keputusan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan

Pelayanan Publik Nomor 63 Tahun 2003 mendefinisikan bahwa

“Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang

dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai

upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Pelayanan publik merupakan aktivitas yang dilakukan oleh

penyelenggara pelayanan publik untuk memberikan kepuasan

20
kepada masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan mereka.

Penyelenggara pelayanan publik adalah instansi pemerintah

yang secara langsung memberikan pelayanan kepada publik.

Kegiatan pelayanan publik harus mengikuti ketentuan

peraturan perundang-undangan untuk melindungi hak

masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik sesuai

dengan kebutuhannya. Untuk lebih jelas pelayanan publik

dibagi dalam kelompok- kelompok

II.2. Kelompok Pelayanan Administratif

Kelompok Pelayanan Administratif adalah pelayanan yang

menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang

dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan,

sertifikat kompetensi, kepemilikan, atau penguasaan

terhadap suatu barang dan sebagainya;

II.3. Kelompok Pelayanan Barang

yaitu pelayaanan yang menghasilkan berbagai bentuk/

jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan

telepon, penyediaan tenaga listrik,air bersih dan sebagainya;

II.4. Kelompok Pelayanan Jasa

yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa

21
yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan,

pemeliharaan, kesehatan, penyelenggaraan, transportasi, pos,

dan sebagainya.

Lalu Seorang ahli juga mengemukakan bahwa pelayanan

itu adalah:

a. Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan

yakni pelayanan yang cepat dalam arti tanpa hambatan.

b. Memperoleh pelayanan secara wajar, yaitu pelayanan

tanpa disertai kata-kata yang bernada meminta sesuatu

kepada pihak yang dilayani dengan alasan apapun.

c. Memperoleh perlakuan yang sama dalam pelayanan,

yaitu tanpa pilih kasih dimana aturan dan prosedur

diterapkan sama.

d. Memperoleh perlakuan yang jujur dan terus terang. Ini

menyangkut keterbukaan pihak yang melayani, seperti

jika ada masalah yang dihadapi dalam pemberian

pelayanan sebaiknya dikemukakan terus terang.

Pelayanan publik adalah pengabdian serta pelayanan kepada

masyarakat berupa usaha yang dijalankan dan pelayanan itu

diberikan dengan memegang teguh syarat- syarat efesiensi,

efektifitas, ekonomi serta manajemen yang baik dalam pelayanan

kepada masyarakat dengan baik dan memuaskan.

Menurut pasal 1 ayat (1) UU No 25 Tahun 2009 Tentang

22
Pelayanan Publik, Pelayanan publik adalah kegiatan atau

rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan

pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi

setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau

pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara

pelayanan publik.

Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan

keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara

negara, dalam hal ini negara didirikan oleh publik (masyarakat)

tentu saja dengan tujuan dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah

(birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Kebutuhan ini harus dipahami bukanlah kebutuhan secara

individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya

diharapkan masyarakat

Pengertian pelayanan publik yang dikemukakan oleh Pandji

Santosa adalah “pemberian jasa, baik oleh pemerintah, pihak

swasta atas nama pemerintah, atau pihak swasta kepada

masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi

kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat”. Pengertian ini

menunjukkan bahwa kegiatan pelayanan publik tidak hanya

dilaksanakan oleh pemerintah, namun ada pihak swasta yang

juga memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pengertian

23
pelayanan publik juga dikemukakan oleh Kurniawan

sebagaimana dikutip oleh Lijan Poltak Sinambela “Pelayanan

publik diartikan pemberian layanan (melayani) keperluan orang

atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi

itu sesuai dengan aturan pokok atau tata cara yang telah

ditetapkan”

II.5. Asas-asas Pelayanan Publik

Asas-asas yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan

pelayanan publik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pasal 4 antara lain:

1. kepentingan umum;

2. kepastian hukum;

3. kesamaan hak;

4. keseimbangan hak dan kewajiban;

5. keprofesionalan; partisipatif;

6. persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif;

7. keterbukaan; akuntabilitas;

8. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;

9. ketepatan waktu;

10. dan kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

24
Asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik perlu

diterapkan agar tercipta pelayanan publik yang prima. Asas-asas

dalam pelayanan publik meliputi asas keterbukaan, asas

integritas, asas akuntabilitas, asas legalitas, asas non-

diskriminasi dan perlakuan yang sama, asas proporsionalitas,

asas konsistensi, asas kondisional, asas partisipatif, serta asas

keseimbangan hak dan kewajiban, dan keprofesionalan. Asas-

asas utama dalam pelayanan publik sebagaimana di kemukakan

oleh Adrian Sutedi adalah sebagai berikut:

1) Asas keterbukaan (openness)

Keterbukaan merupakan salah satu asas utama untuk

menjamin para stakeholders dapat mengandalkan proses

pengambilan keputusan, berbagai tindakan yang

dilakukan oleh institusi publik, dan pengelolaan

aktivitas serta pengelolaan sumber daya manusia di dalam

institusi pelayanan publik. Stakeholders di sini yaitu warga

masyarakat pengguna jasa layanan publik, masyarakat

pembayar pajak, institusi administrasi negara lain ataupun

institusi swasta, yang secara langsung maupun tidak

langsung berkepentingan dalam memperoleh layanan

publik. Transparansi dapat diwujudkan melalui pembinaan

komunikasi secara penuh, terinci dan jelas dengan para

stakeholders. Asas ini menjadi salah satu prinsip utama

25
untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik,

termasuk dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

2) Asas integritas

Integritas mengandung makna berurusan secara

langsung dan ketuntasan dalam pelaksanaan fungsi-fungsi

pelayanan publik. Asas integritas didasari oleh beberapa

asas moral, terutama adalah kejujuran, objektivitas dan

standar kesantunan yang tinggi, serta tanggung jawab atas

penggunaan dana dan sumber daya publik.

3) Asas akuntabilitas

Akuntabilitas berkenaan dengan tanggung jawab unit-

unit pelayanan publik dan orang-orang yang berfungsi

dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik terhadap

segala keputusan dan tindakan yang telah diambil, serta

bersedia menjalani proses pengawasan secara eksternal

(dari masyarakat) dan/atau internal (dari atasan). Asas ini

melahirkan kewajiban untuk bertanggung jawab atas

fungsi dan kewenangan yang secara sah dipercayakan

kepada setiap penyelenggara pelayanan publik.

4) Asas legalitas

Asas legalitas berarti bahwa setiap tindakan,

pengambilan keputusan, dan pelaksanaan fungsi suatu

institusi pelayanan publik harus sesuai dengan peraturan

26
perundang-undangan yang berlaku, serta dilaksanakan

sesuai dengan aturan dan prosedur yang telah ditetapkan

berdasarkan peraturan perundangundangan.

5) Asas non-diskriminasi dan perlakuan yang sama

Asas non-diskriminasi dan perlakuan yang sama

artinya bahwa setiap institusi penyelenggara pelayanan

publik dalam bekerja harus memberikan pelayanan yang

sama dan setara kepada setiap warga masyarakat, tanpa

membedakan gender, ras, agama atau kepercayaan,

kemampuan fisik, aspirasi politik, dan sebagainya.

Perlakuan yang berbeda dalam kasus yang sama harus

ditindak tegas agar terwujud kebenaran dan keadilan.

6) Asas proporsionalitas

Asas ini untuk menjamin bahwa segala beban yang

harus ditanggung oleh masyarakat pengguna jasa layanan

publik sesuai dengan tujuan dan manfaat yang diperoleh

oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Asas

proporsionalitas berkaitan erat dengan beban-beban

administratif, biaya dan waktu pelayanan yang harus

ditanggung atau dikelurkan oleh masyarakat apabila

mereka memperoleh pelayanan publik.

7) Asas konsistensi

Asas konsistensi merupakan jaminan bahwa institusi

27
pelayanan publik akan bekerja secara konsisten sesuai pola

kerjanya yang normal dalam pemberian layanan kepada

warga masyarakat atau stakeholders layanan publik.

Penyimpangan terhadap asas ini, misalnya dispensasi,

perlakuan khusus, dan sebagainya harus memperoleh

pembenaran yang sah.

II.6 Prinsip penyelenggaraan Pelayanan publik

Kegiatan pelayanan publik dapat dilaksanakan dengan baik

apabila sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan

pelayanan publik. Pemerintah melalui Keputusan Menteri

Negara Pendayagunaan Aparatur Negara mengeluarkan suatu

Penyelenggaraan Pelayanan Publik menjelaskan prinsip-prinsip

pelayanan publik adalah sebagai berikut:

1. Kesederhanan Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-

belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.

2. Kejelasan

a) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik,

b) Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan

bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan

penyelesaian keluhan atau persoalan atau sengketa

dalam pelaksanaan pelayanan publik.

28
c) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara

pembayarannya.

3. Kepastian Waktu Pelaksanaan pelayanan publik dapat

diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

4. Akurasi Produk pelayanan publik diterima dengan benar,

tepat, dan sah.

5. Keamanan Proses dan produk pelayanan publik memberikan

rasa aman dan kepastian hukum.

6. Tanggung jawab Pimpinan penyelenggara pelayanan publik

atau pejabat yang ditunjuk bertanggung

jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan

penyelesaian

7. Kelengkapan sarana dan prasarana Tersedianya sarana dan

prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya

yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi

telekomunikasi dan informatika (telematika).

8. Kemudahan Akses Tempat dan lokasi serta sarana

pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh

masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi

telekomunikasi dan informatika.

9. Kedisiplinan, Kesopanan, dan Keramahan Pemberi

pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun,

29
ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.

10. Kenyamanan Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur,

disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi,

lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan

fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat

ibadah dan lain-lain.

II.7. Standar Pelayanan Publik

Setiap instansi/lembaga penyedia pelayanan publik harus

memiliki standar pelayanan. Standar pelayanan yaitu sebagai

jaminan adanya kepastian bagi pemberi layanan dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya, sedangkan bagi penerima

pelayanan yaitu untuk memperoleh kepastian dalam proses

pengajuan permohonan sesuai dengan kebutuhan setiap

penerima pelayanan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009

tentang pelayanan publik menjelaskan: Standar pelayanan

adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas

pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada

masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat,

mudah, terjangkau, dan terukur.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia

melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

30
Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 bahwa “Standar pelayanan

merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan

pelayanan publik dan wajib ditaati oleh pemberi atau penerima

layanan”. Komponen standar pelayanan dalam UU Nomor 25

Tahun 2009 Pasal 21 sekurang-kurangnya meliputi:

a. Dasar hukum;

b. Persyaratan;

c. Sistem, mekanisme, dan prosedur;

d. Jangka waktu penyelesaian;

e. Biaya atau tarif;

f. Produk pelayanan;

g. Sarana, prasarana, atau fasilitas;

h. Kompetensi pelaksana;

i. Pengawasan internal;

j. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan;

k. Jumlah pelaksana;

l. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan

dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan;

m. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam

bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari

bahaya, dan risiko keragu-raguan; dan

n. Evaluasi kinerja pelaksana.

31
PERMENPAN Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman

Standar Pelayanan membagi komponen standar pelayanan

menjadi dua bagian. Komponen standar pelayanan yang terkait

dengan proses penyampaian pelayanan (service delivery)

meliputi:

1. Persyaratan

2. Sistem, mekanisme, dan prosedur

3. Jangka waktu pelayanan

4. Biaya/tarif

5. Produk pelayanan

6. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan

Sedangkan komponen standar pelayanan yang terkait dengan

proses pengelolaan pelayanan di internal organisasi

(manufacturing) meliputi:

1. Dasar hukum

2. Sarana dan prasarana, dan/atau fasilitas

3. Kompetensi pelaksana

4. Pengawasan internal

5. Jumlah pelaksana

6. Jaminan pelayanan.

7. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan.

8. Evaluasi kinerja pelaksana.

32
Nina Rahmayanty mengemukakan bahwa setiap

penyelenggara pelayanan publik harus memiliki standar

pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya

kepastian bagi penerima pelayanan, standar pelayanan tersebut

sekurang- kurangnya meliputi:

a. Prosedur pelayanan

Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan

penerima pelayanan termasuk pengaduan.

b. Waktu penyelesaian

Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat

pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian

pelayanan termasuk pengaduan.

c. Biaya pelayanan

Biaya atau tarif pelayanan termasuk rinciannya yang

ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan

d. Produk pelayanan

Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan.

e. Sarana dan prasarana

Penyedian sarana dan prasarana pelayanan yang

memadai oleh penyelenggara pelayanan publik.

f. Kompentensi petugas pemberi pelayanan

33
Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus

ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan,

keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang

dibutuhkan.

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penyusunan,

penetapan, dan penerapan Standar Pelayanan sesuai dengan

PERMENPAN Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar

Pelayanan meliputi:

1. Sederhana

Standar pelayanan mudah dimengerti, mudah diikuti,

mudah dilaksanakan, mudah diukur, prosedur jelas, dan

biaya terjangkau bagi masyarakat maupun penyelenggara.

2. Partisipatif

Standar pelayanan yang partisipatif mengadung arti

bahwa dalam penyusunan standar pelayanan melibatkan

masyarakat dan pihak terkait untuk membahas bersama

dan mendapatkan keselarasan atas dasar komitmen atau

hasil kesepakatan.

3. Akuntabel Akuntabel

Artinya segala sesuatu yang diatur dalam standar

pelayanan harus dapat dilaksanakan dan

dipertanggungjawabkan kepada pihak yang

berkepentingan.

34
4. Berkelanjutan

Berkelanjutan atinya standar pelayanan harus terus-

menerus dilakukan perbaikan sebagai upaya untuk

meningkatkan kualitas pelayanan dan melakukan inovasi

pelayanan.

5. Transparansi

Transparansi artinya standar pelayanan harus dapat

dengan mudah diakses oleh masyarakat

6. Keadilan

Keadilan artinya standar pelayanan harus menjamin

bahwa pelayanan yang diberikan dapat menjangkau

semua masyarakat tanpa membeda-bedakan status

ekonomi, jarak lokasi geografis, dan perbedaan kapabilitas

fisik dan mental.

Standar pelayanan diperlukan untuk mengetahui kualitas

pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dan untuk

melakukan perbaikan dan penyempurnaan secara terus

menerus dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dan

memuaskan masyarakat. Standar pelayanan antara lain adanya

dasar hukum dalam kegiatan pelayanan, prosedur pelayanan

yang jelas, jangka waktu penyelesaian pelayanan yang jelas,

prasarana, atau fasilitas pelayanan yang mendukung kegiatan

pelayanan, kompetensi petugas pelayanan, pengawasan

35
internal, penanganan pengaduan, saran, dan masukan dalam

kegiatan pelayanan, jaminan pelayanan yang memberikan

kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar

pelayanan, jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan

dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas

dari bahaya, dan resiko keragu-raguan, dan evaluasi kinerja

pelaksana kegiatan pelayanan.

36
BAB III

PERIZINAN SEBAGAI IMPLEMENTASI PELAYANAN PUBLIK

perizinan adalah suatu bentuk pelaksaanaan fungsi

pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh

pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh

masyarakat. Perizinan ini dapat berbentuk pendaftaran,

rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk

melakukan suatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau

diperoleh oleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang

sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan

atau tindakan.

Dalam hal perizinan, yang berwenang mengeluarkan izin

adalah pejabat administratif, kaitannya adalah dengan tugas

pemerintah dalam hal memberikan pelayanan umum kepada

masyarakat. Dalam hal pelayanan publik, izin merupakan

bentuk pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat

dalam bentuk pelayanan administratif, yaitu pelayanan yang

menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan

oleh publik.

Izin dapat berbentuk tertulis dan atau tidak tertulis, namun

dalam Hukum Administrasi Negara izin harus tertulis, kaitannya

apabila terjadi sesuatu hal yang tidak diingikan, maka izin yang

37
berbentuk suatu keputusan adminstrasi negara (beschicking)

dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam pengadilan.

Izin yang berbentuk beschiking, sudah tentu mempunyai sifat

konkrit (objeknya tidak abstrak, melainkan berwujud, tertentu

dan ditentukan), individual (siapa yang diberikan izin), final

(seseorang yang telah mempunyai hak untuk melakukan suatu

perbuatan hukum sesuai dengan isinya yang secara definitif

dapat menimbulkan akibat hukum tertentu).

Selain itu aspek yang perlu dikedepankan dalam pemberian

perizinan yaitu Praktik good governance dalam pelayanan publik

agar mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan

masyarakat. Pemerintah dalam rangka meningkatkan pelayanan

publik dan perekonomian daerah perlu meningkatkan

profesionalisme, termasuk penataan bidang perizinan guna

meningkatkan pelayanan publik karena perizinan adalah elemen

yang sangat diperhatikan para pelaku bisnis dalam

menanamkan investasinya didaerah.

Dalam pelayanan dan pengurusan perizinan harus pula

sejalan dengan Standar pelayanan publik. Menurut Pasal 1 Ayat

7 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009, Pelayanan Publik

adalah tolak ukur yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas

pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada

38
masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas.

Terdapat beberapa hambatan sistem perizinan di Indonesia

pada awal dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara

lain belum adanya sistem perizinan yang baku, integratif dan

komprehensif, banyaknya berbagai instansi yang mengeluarkan

izin, tumpang tindihnya peraturan tentang perizinan dalam

berbagai peraturan perundang-undangan, perizinan hanya

semata-mata dengan tujuan pemasukan bagi pendapatan

daerah, serta masih banyaknya celah Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme dalam pengurusan perizinan di daerah.

Namun, sejak berlakunya Peraturan Presiden (Perpres) No. 97

Tahun 2014, Perizinan di integrasikan kedalam satu dinas yang

terdiri dari berbagai dinas teknis dalam satu pintu yang sering

disebut Pelayanan Terpadu Satu Pintu. PTSP adalah pelayanan

secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses, dimulai dari

tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk

pelayanan melalui satu pintu. Pada awalnya PTSP dibentuk

untuk mempermudah izin usaha (easy doing bussiness) di

Indonesia. Pada tingkat pemerintah daerah, dibuat berbagai

peraturan yang lebih teknis yang memuat standar pelayanan

dan standar operasional baik berupa peraturan

walikota/peraturan bupati atau peraturan kepala dinas

penanaman modal untuk memperlancar pelayanan izin-izin

39
teknis bagi masyarakat yang membutuhkan.

Adapun tujuan Perizinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari

sisi pemerintah dan dari sisi masyarakat. Dari sisi pemerintah,

tujuan pemberian izin itu adalah Untuk melaksanakan

peraturan, apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam

peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam praktiknya

atau tidak, dan sekaligus untuk mengatur ketertiban. Selain itu

juga sebagai sumber pendapatan daerah, dengan adanya

permohonan izin , maka secara langsung pendapatan

pemerintah akan bertambah, karena setiap izin yang

dikeluarkan, pemohon harus membayar retribusi lebih dahulu.

Dampaknya semakin banyak pula pendapatan dibidang retribusi

yang tujuan akhirnya akhirnya adalah untuk biaya

pembangunan.

Sedangkan dari sisi masyarakat tujuan pemberian izin itu

adalah untuk adanya kepastian hukum, adanya kepastian hak

dan untuk mudahnya mendapatkan fasilitas. Misalnya dalam

hal Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tujuan dari Izin Mendirikan

Bangunan (IMB) ini adalah untuk melindungi kepentingan

pemerintah maupun kepentingan masyarakat yang ditujukan

atas kepentingan hak atas tanah.

Jadi, sebenarnya perizinan merupakan upaya pemerintah

dalam menjalankan fungsi negara sebagai regulator (pengatur)

40
sekaligus upaya perlindungan warga negara terhadap hak

individu, sehingga membutuhkan satu kesamaan kehendak

dalam proses pelaksanaannya agar esensi pelayanan publik

dapat diwujudkan. Jika terdapat kendala dan hambatan dalam

proses pelaksanaannya maka tentu harus kembali berpedoman

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Semoga

pelayanan publik dibidang perizinan dapat terus berbenah agar

masyarakat yang dilayani dapat merasakan peran pemerintah

dalam melayani kebutuhan rakyatnya.

III.1. Mekanisme Perizinan di indonesia

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 24 tahun

2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara

Elektronik (PP 24/2014) terdapat banyak perubahan

fundamental baik proses dan syarat untuk mendirikan

perusahaan maupun untuk mendapatkan izin usaha.

Sebelumnya pemerintah membuat sistem Pelayanan Terpadu

Satu Pintu (PTSP) untuk pengurusan izin usaha, namun hal

tersebut menurut pemerintah masih kurang optimal.

Kemudian Indonesia melalui Kementerian Koordinator bidang

Perekonomian meresmikan Online Single Submission (OSS)

sebagai sistem yang mempermudah para pelaku bisnis dalam

melakukan pengurusan perizinan usahanya.

41
BAB IV

ONLINE SINGLE SUBMISSION

OSS adalah sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara

Elektronik atau Online Single Submission (OSS) merupakan

Perizinan Berusaha yang diterbitkan Lembaga OSS untuk dan

atas nama Menteri, pimpinan lembaga, Gubernur, atau

Bupati/Walikota kepada pelaku bisnis melalui sistem elektronik

yang terintegrasi. Saat ini, perizinan di Indonesia harus

diurus dan diterbitkan melalui sistem OSS.

Dengan berlakunya OSS versi 1.0 ini diharapkan memberikan

kemudahan kepada para pelaku usaha dalam mengurus

perizinan usaha.

Hal penting dalam OSS diantaranya adalah :

1. Kemudahan pengurusan perizinan usaha untuk melakukan

izin usaha.

2. Pemberian fasilitas yang tepat kepada pelaku usaha dalam

melakukan pelaporan.

3. Pemberian fasilitas terhadap para pelaku usaha agar dapat

terhubung dengan pihak terlibat untuk memperoleh izin

secara aman, cepat, dan real time; dan

4. Penyimpanan data perizinan dalam satu identitas yaitu Nomor

Induk Berusaha (NIB).

42
Tampilan OSS Versi 1.0

IV.1. Tahapan Akses OSS

Sebelum dapat mengakses sistem OSS dilakukan pendaftaran

terlebih dahulu dengan membuat dan melakukan aktivasi akun

terlebih dahulu.

Berikut ini persyaratan untuk pendaftaran akun OSS :

1. NIK

2. NPWP

3. Alamat email

4. Memiliki usaha, baik usaha perorangan maupun badan usaha;

Melakukan pendaftaran. Para pelaku usaha wajib memiliki

NIK kemudian email dan informasi lainnya, konfirmasi

pendaftaran dikirimkan ke email.

Melakukan aktivasi. Konfirmasi aktivasi akan dikirimkan

email berisi username dan password untuk mengakses OSS.

43
Kehadiran OSS tentu saja memberikan banyak kemudahan, tapi

pada praktiknya OSS versi 1.0 & 1.1 masih memiliki

kekurangan.

Salah satu masalah yang kerap terjadi adalah pada jenis

pelaku usaha yang kebingungan menentukan Klasifikasi Buku

Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tahun 2017. Karena pra OSS

pelaku usaha bebas mengisi bidang usaha apa yang dijalankan.

Akan tetapi di OSS harus sesuai dengan KBLI 2017.

Bahwa dengan adanya OSS versi 1.0 & 1.1 memaksa para

pelaku usaha untuk mendaftarkan bidang usaha sesuai dengan

format KBLI 2017. Sedangkan tidak semua bidang usaha

terangkum di dalam KBLI 2017, contoh untuk usaha konten

kreatif.

Hal lainnya adalah semua pelaku usaha "dipaksa" melakukan

perubahan anggaran dasar di Notaris sehingga ada extra

cost bagi pelaku usaha.

Fitur DPMPTSP atau Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan

Terpadu Satu Pintu baru bisa memberikan notifikasi

persetujuan pemenuhan komitmen prasarana, sedangkan tidak

semua daerah di Indonesia terdapat DPMPTSP.

Hal lainnya adalah format pengisian legalitas yang

menggunakan format PT sudah terkoneksi dengan data dari

Dirjen AHU sehingga tinggal dilakukan tarik data. Akan tetapi

44
untuk pengisian badan usaha lainnya harus dilakukan dengan

manual.

IV.2. OSS RBA (Berbasis Resiko)

Tampilan OSS RBA

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja, kini

sistem OSS melayani Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sejak

tanggal 2 Juni 2021, Pelaku Usaha dapat mengakses Sistem OSS

berbasis risiko melalui halaman oss.go.id.

Pelaku usaha dapat melakukan permohonan perizinan

berusaha dan pemenuhan komitmen atas Izin Usaha melalui

OSS versi 1.1 hingga tanggal 25 Juni 2021. Bagi pemenuhan

45
komitmen dan permohonan perizinan berusaha yang

disampaikan ke Sistem OSS setelah tanggal 25 Juni 2021 akan

diproses berdasarkan OSS RBA.

Dalam kajian kami ada hal penting yang dapat diketahui

dalam sistem OSS RBA, yaitu:

IV.3. Kategori Pelaku Usaha

Gambar Kategori Usaha OSS RBA

Terdapat 2 (dua) macam kategori pelaku usaha,

yaitu UKM dan non-UKM. Pembagian kategori ini kemudian

di lagi berdasarkan skala usaha dibawah ini.

46
IV.4. Skala Usaha

Gambar Skala Non UMK

Terdapat 6 (enam) jenis skala usaha yang dihitung dengan

parameter yaitu skala usaha mikro, kecil, menengah, besar,

kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri.

Masing-masing skala usaha tersebut kemudian

di breakdown lagi tergantung dengan bidang usaha dan risiko

yang telah diatur dalam sistem OSS RBA yang dibagi

berdasarkan ketentuan dibawah ini.

IV.5. Tingkat Risiko

Terdapat 4 (empat) jenis tingkat risiko yaitu Risiko Rendah (R),

Risiko Menengah Rendah (MR), Risiko Menengah Tinggi (MT) dan

Risiko Tinggi (T).

Dengan dipahaminya parameter;

47
• Kategori Pelaku Usaha

• Skala Usaha

• Pengetahuan KBLI 2020

• Tingkat Risiko

Maka tidak susah bagi kita untuk memahami sistem OSS

RBA. Justru yang menjadi tantangan adalah bagaimana

pengaturan komitmen prasarana dari masing-masing Menteri,

pimpinan lembaga, Gubernur, atau Bupati/Walikota. OSS

berbasis risiko memberikan layanan bagi pelaku usaha yang

terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu, UMK dan Non UMK

Gambar Tabel Tingkat Resiko OSS RBA

48
BAB V

USAHA MIKRO KECIL (UMK)

V.1. Kategori UMK

Berikut ini adalah kriteria usaha UMK:

1. Orang Perseorangan

2. Badan Usaha, yang meliputi :

• Perserikatan atau persekutuan

• Yayasan

• Perseroan Terbatas (PT)

• Persekutuan Komanditer (CV)

• Badan Hukum lainnya

• Persekutuan Firma

• Persekutuan Perdata

• Koperasi

• Perusahaan Umum

V.2. Skala Usaha UMK

Skala UMK adalah usaha milik Warga Negara Indonesia, baik

orang perseorangan maupun badan usaha, dengan modal usaha

maksimal Rp. 5 Miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan

tempat usaha

49
Gambar Syarat Usaha Mikro dan Usaha Kecil

V.3. Tingkat Risiko UMK

Perizinan berusaha berbasis risiko adalah perizinan berusaha

berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha dan tingkat risiko

tersebut menentukan jenis perizinan berusaha.

Pemerintah telah memetakah tingkat risiko sesuai dengan

bidang usaha atau KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha

Indonesia). KBLI yang berlaku saat ini adalah KBLI tahun 2020

dengan angka 5 digit sebagai kode bidang usaha.

Untuk usaha dengan tingkat Risiko Rendah

(R) dan Menengah Rendah (MR), proses perizinan berusaha

cukup diselesaikan melalui system Online Single Submission

(OSS) tanpa membutuhkan verifikasi atau persetujuan dari

Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah.

Sedangkan usaha dengan tingkat Risiko Menengah Tinggi

(MT) dan Risiko Tinggi (T) membutuhkan verifikasi atau

persetujuan dari Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah.

50
Gambar Tabel Perbedaan Resiko Usaha

51
BAB VI

USAHA NON MIKRO KECIL (NON UMK)

VI.1. Kategori Non UMK

Berikut ini adalah kriteria usaha Non UMK:

1. Orang Perseorangan

2. Badan Usaha, yang meliputi :

• Perserikatan atau persekutuan

• Yayasan

• Perseroan Terbatas (PT)

• Persekutuan Komanditer (CV)

• Badan Hukum lainnya

• Persekutuan Firma

• Persekutuan Perdata

• Koperasi

• Perusahaan Umum

3. Kantor Perwakilan

• KPPA (Kantor Perwakilan Perusahaan Asing)

• KPPA (Jasa Penunjang Tenaga Listrik Asing)

• KP3A

• KP3A

• PMSE

• BUJKA

4. Badan Usaha Luar Negeri

52
• Pemberi Waralaba dari Luar Negeri

• Pedagang Berjangka Asing)

• PSE Asing

• Bentuk Usaha Tetap

VI.2. Skala Usaha Non UMK

Skala usaha Non UMK adalah berdasarkan nilai modal dan

unsur kepemilikan asing.

Gambar Tabel Skala Usaha Non UMK

VI.3. Tingkat Risiko Non UMK

Perizinan berusaha berbasis risiko adalah perizinan berusaha

berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha dan tingkat risiko

53
tersebut menentukan jenis perizinan berusaha.

Setelah diketahui KBLI yang dipilih, maka bisa diketahui jenis

risiko beserta perizinan yang harus dipenuhi.

Berikut ini adalah tabel perbedaannya:

Gambar Penjelasan Jenis Risiko

OSS Berbasis Risiko adalah perizinan yang berdasarkan

tingkat risiko yang akan mengakibatkan jenis perizinan yang

harus diperoleh.

Pertama kamu harus mengetahui kode bidang usaha yang

dijalankan, kemudian disesuaikan dengan kode 5 digit KBLI

(Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia

Untuk usaha dengan tingkat Risiko Rendah

(R) dan Menengah Rendah (MR), proses perizinan berusaha

cukup diselesaikan melalui system Online Single Submission

54
(OSS) tanpa membutuhkan verifikasi atau persetujuan dari

Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah.

Sedangkan usaha dengan tingkat Risiko Menengah Tinggi

(MT) dan Risiko Tinggi (T) membutuhkan verifikasi atau

persetujuan dari Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah.

Gambar Tabel Perbedaan Resiko

55
BAB VII

KBLI 2020 DALAM OSS RBA

Pemahaman tentang KBLI 2020 dalam OSS RBA juga menjadi

hal penting. Karena dasar izin usaha yang harus dimiliki adalah

berasal dari jenis usaha yang dijalankan.

VII.1. Studi Kasus: KBLI 63122

Pelaku usaha memiliki usaha perdagangan spring bed via

online. Sesuai dengan KBLI 2020 maka termasuk dalam KBLI 63122

yang memiliki deskripsi seperti dibawah ini:

Gambar Penjelasan KBLI 63122

Berikutnya, pelaku usaha tersebut memiliki modal usaha RP 100

juta, dimana sesuai dengan parameter tersebut diatas, merupakan

usaha mikro. Dan sesuai dengan ketentuan OSS RBA, usaha mikro

atas KBLI 2020 memiliki kewajiban sebagai berikut:

56
Gambar Perjelasan KBLI OSS

VII.2. Migrasi Hak Akses

Migrasi hak akses OSS RBA diperoleh dari OSS versi 1.1. Bahwa

di OSS RBA hak akses diberikan kepada badan usaha, sementara di

OSS versi 1.1 hak akses diberikan kepada individu (direktur,

komisaris serta jabatan lainnya).

A. Updata Data Perusahaan

Updata data perusahaan atau data investasi yang telah disimpan di

dalam OSS versi 1.1 akan secara otomatis tersimpan di sistem OSS

RBA. Akan tetapi dalam pengalaman kami, tidak semua data akan

"muncul" semua. Pelaku usaha perlu melakukan pengecekan apakah

57
data telah terupdate secara lengkap. Apabila belum, pelaku usaha

dapat melakukan penambahan manual.

VII.3. Implementasi KBLI 2020

KBLI 2020 adalah KBLI yang paling terbaru. Dimungkinkan

pelaku usaha yang telah sesuai dengan KBLI 2017 untuk

menggunakan OSS RBA. Sebagai contoh adalah KBLI tentang

perdagangan besar kosmetik. Di KBLI 2017, perdagangan besar

kosmetik adalah kode menggunakan kode 46494, akan tetapi di KBLI

2020 menggunakan kode 46443. Dimana di KBLI 2020, kegiatan

perdagangan kosmetik itu di detailkan lebih lengkap, kosmetik untuk

manusia dan kosmetik untuk hewan.

Gambar Penjelasan KBLI OSS RBA

58
DAFTAR PUSTAKA

Ika Ruwaina. (2019). Efektivitas kebijakan online single submission

dalam pelayanan perizinan berusaha Di dinas penanaman

modal dan pelayanan terpadu Satu pintu jawa tengah ( Skripsi

Fakultas Ekonomi Pembangunan Unnes )

Hisyam Afif Al Fawwaz. (2017). Efektivitas kebijakan online single

submission dalam pelayanan perizinan berusaha Di dinas

Penanaman modal dan pelayanan terpadu Satu pintu jawa

tengah. (Skripsi Jurusan Hukum Bisnis Syariah )

Sri Rahayu Prihatiningsih. (2021). Pengawasan Perizinan Berusaha

Berbasis Risiko Secara Terintegrasi Dan Terkoordinasi (

Laporan Aksi Perubahan Pemda DIY )

Andryan (2021). Hukum dan Kebijakan Publik (Medan, Pustaka

Prima, 2021).

Bewa Ragawino (2006). Hukum Administrasi Negara (Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik)

59
Web Link

http://oss.go.id

http://izinkilat.id/oss-rba

http://advokasi.id

http://henrifayol.di

60
Profil Penulis

Deddy Rusdiana, S.Si, MH, C.Ht : kandidat

Doktor Ilmu Manajemen Strategik Universitas

Dr. Soetomo Surabaya, ini lahir di Surabaya

16 Nopember 1980, beraktifitas sebagai

Pegawai Negeri Sipil dan Dosen di Akademi

Farmasi Mitra Sehat Mandiri Sidoarjo.

Pendidikan Formal di tempuh di S1 Universitas Airlangga, dan S2 di

Universitas Kartini Surabaya. Antusiasme penulis pada bidang

hukum dan bisnis terlibat juga sebagai Staf Ahli Konsultan

Lingkungan dan perijinan pada Startup Advokasi.id dan henri fayol

Indonesia. Penulis memiliki istri Kartika Sari Wijayani, M.Si dan tiga

orang putri ( Anissa Amalia Putri, dan Almeera Lutfiah Rabbani ).

Beberapa karya yang dimiliki dan telah terbit adalah : Hukum

Maritim Pelayaran Niaga, Buku Panduan Koki Kapal, Introduction

ISF Marlins English Language Test for Seafarer, dan Meteorologi dan

Oseanografi. Serta memiliki hak cipta surveymeter radiasi murah.

Penulis dapat dihubungi melalui No whattsapp 085645135069/

087770345518 atau korespondensi melalui email di

deddyrus@gmail.com

61
DR. Poenomowati, SH, MM, MH : adalah

rector Universitas Kartini dan dosen hukum

dagang pada Fakultas Hukum Universitas

Kartini jenjang S1 dan Pasca Sarjana (S2).

Pendidikan formal diselesaikan penulis pada

program Doktoral Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus

Surabaya.

Karya tulis yang telah diterbitkan adalah Hukum Dagang yang

diterbitkan oleh Merdeka Publishing.

62

Anda mungkin juga menyukai