Anda di halaman 1dari 36

MODUL

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

RA PIDANA

Oleh :
Laboratorium Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BALITAR
2009
MODUL ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

1
Daftar Isi..............................................................................................................
Kata Pengantar....................................................................................................
BAB I
PENGANTAR MATERI
A. Pengertian Ilmu Perundang-Undangan...............................................
B. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan....................................
C. Proses Pembentukan Rancangan Undang-Undang............................
D. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan........................
E. Landasan Peraturan Perundang-Undangan.........................................
F. Bahasa Peraturan Perundang-Undangan.............................................
G. Penjelasan Peraturan Perundang-Undangan.......................................
BAB II
NASKAH AKADEMIK
A. Pendahuluan.......................................................................................
B. Telaah Akademik...............................................................................
C. Ruang Lingkup Pengaturan.............................................................
D. Penutup...............................................................................................
BAB III
TEKNIK PEMBUATAN, PERUBAHAN DAN PENJELASAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
A. Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan………….
B. Teknik Perubahan Peraturan Perundang-Undangan..................
C. Teknik Pembuatan Penjelasan
Peraturan Perundang-Undangan…………………………………
Lampiran-Lampiran
Contoh Naskah Akademik...............................................................................
Contoh Undang-Undang.…………………………………………………….
Contoh Perpu…………………………………………………………………..
Contoh Peraturan Daerah…………………………………………………….

KATA PENGANTAR

2
Assalamu’alikum Wr. Wb.

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Dzat Yang Maha Berkendak, Dzat
Yang Maha Menguasai langit dan bumi atas limpahan rahmat dan taufiq-Nya sehingga
modul praktikum perundang-undangan ini dapat selesai tanpa halangan suatu apapun.
Shalawat dan Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabiullah, Muhammad
saw., kepada keluarganya, kepada sahabatnya, dan kita semua sebagai ummatnya yang
dituntut untuk konsisten dalam memperjuangkan risalah-Nya sampai akhir zaman.
Modul praktikum hukum ilmu perundang-undangan ini merupakan buku pedoman
yang disiapkan bagi terselenggaranya mata kuliah praktikum Ilmu Perundang-Undangan.
Adapun penyelenggaraan praktikum ini dirangkai menjadi satu dengan perkuliahan Ilmu
Perundang-Undangan dan dilaksanakan pada akhir perkuliahan.
Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam praktikum ilmu perundang-
undangan diciptakan untuk menjadi salah satu wadah bagi civitas akademik di Fakultas
Hukum untuk mewujudkan gagasaan profesional-school. Praktikum ini merupakan langkah
maju untuk mendekatkan perhatian mahasiswa dan dosen pada masalah-masalah praktis
nyata yang terjadi di masyarakat yang belum sempat diketahui.
Oleh karenanya dalam perbaikan dan penyempurnaan kedepan, kami selalu
membuka ruang saran dan kritik membangun dari para pihak yang interest/berkompeten
dalam bidang ini. Akhir kata kami ucapkan terima kasih banyak kepada pihak-pihak
yang selalu mendukung terselenggarakannya modul praktikum ilmu perundang-
undangan ini. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Amin.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Malang, 30 April 2009


Lab. Hukum Fak. Hukum UMM

Tim Penyusun

BAB I
PENGANTAR MATERI

3
A. Pengertian ilmu Perundang-Undangan
Ilmu Perundang-Undangan adalah ilmu yang berkembang di negara-negara yang
menganut sistem hukum civil law, terutama di Jerman sebagai negara yang pertama kali
mengembangkan. Secara konsepsional Ilmu Perundang-Undangan menurut Burkhardt
Krems adalah ilmu pengetahuan yang interdisipliner tentang pembentukan hukum
negara (die interdisziplinare wissenschaft vonder staatlichen rechtssetzung). Lebih lanjut
Burkhardt Krems membagi Ilmu Perundang-Undangan dalam tiga wilayah:1
1. proses perundang-undangan.
2. metode perundang-undangan.
3. teknik perundang-undangan.
Burkhardt Krems mengatakan perundang-undangan mempunyai dua pengertian:2
1. teori perundang-undangan yang berorientasi pada mencari kejelasan dan
kejernihan makna atau pengertian-pengertian dan bersifat kognitif.
2. Ilmu perundang-undangan yang berorientasi melakukan perbuatan dalam hal
pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.
Dalam hal ini Ilmu perundang-undangan memberikan pengertian sebagai berikut:3
A. norma hukum dan tata urutan atau hirarki.
B. lembaga-lembaga negara yang berwenang membuat peraturan perundang-
undangan.
C. lembaga-lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang di bidang peratura
perundang-undangan.
D. tata susunan norma-norma hukum negara.
E. jenis-Jenis perundang-undangan beserta dasar hukumnya.
F. asas-asas dan syarat-syarat serta landasan-landasannya.
G. pengundangan dan pengumumannya.
H. teknik perundang-undangan dan proses pembentukannya.
Menurut Hans Nawiasky memperinci urutan norma hukum yang terdiri dari:4
1. Grundnorm.
2. Aturan-aturan dasar negara.
3. aturan formal, undang-undang.
4. peraturan di bawah undang-undang.

B. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan


Negara Indonesia dalam tata urutan peraturan perundang-undangan pada masa
Orde Lama diatur lewat Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang sumber tertib
hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia, dengan tata urutannya sebagi berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan MPR

1
Maria Farida Indrati Soeprapto, “Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar Dan Pembentukannya”,
Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal. 3.
2
Ibid. hal. 2.
3
Amiroeddin Syarif, “Perundang-Undangan Dasar, Jenis, Dan Teknik Membuatnya” , PT Rineka Cipta,
Jakarta, 1997, hal. 1-2.
4
Op.Cit. hal. 39.

4
3.
Undang-Undang/Perpu
4.
Peraturan Pemerintah
5.
Keputusan Presiden
6.
Peraturan Menteri
7.
Peraturan pelaksana
Dalam era reformasi tata urutan perundang-undangan diatur dalam Tap MPR No.
III/MPR/2000 yang menggantikan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, dengan urutan
sebagai berikut:5
A. Undang-Undang Dasar 1945.
B. Ketetapan MPR
C. Undang-Undang.
D. PERPU
E. Peraturan Pemerintah
F. Peraturan Daerah
Beberapa problematika dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 membuat pemerintah
dan DPR menelurkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang tata urutan perundang-undangan
sebagai pengganti Tap MPR No. III/MPR/2000, yang terdiri atas:
a. UUD 1945
b. Undang-Undang/PERPU
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan daerah

C. Proses Pembentukan RUU


1. Lahirnya Undang-undang
Proses pembuatan undang-undang adalah rentetan kejadian yang bermula
dari perencanaan, pengusulan, pembahasan, dan pengesahan. Semua proses
tersebut dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem demokrasi modern disebut
eksekutif (Presiden beserta jajaran kementriannya) dan legislatif (DPR). Tentang
bagaimana DPR itu, kewenangan serta strukturnya tidak perlu lagi kita bahas lagi
karena telah dibahas pada bab terdahulu. Yang akan dibahas pada bagian ini
adalah bagaimana proses pembentukan sebuah undang-undang.
2. Perencanaan
Kita tentu bertanya dasar apa yang digunakan oleh DPR dan presiden
untuk menentukan Rancangan Undang-undang (RUU) apa saja yang akan dibahas
pada suatu periode tertentu. Sejak tahun 2000, DPR dan pemerintah telah
menuangkan indikator program mereka dalam apa yang disebut dengan Program
Pembangunan Nasional (Undang-undang N0. 25 tahun 2000). Di dalam Program
Pembangunan Nasional (Propenas) itu terdapat indikator pembangunan bidang
hukum, salah satu indikatornya adalah ditetapkannya sekitar 120 butir peraturan
perundang-undangan.
Dari butir-butir Propenas tersebut disusun apa yang disebut dengan Program
Legislasi Nasional (Prolegnas), di mana di dalamnnya terdapat kurang lebih 200
undang-undang yang rencananya akan diselesaikan dalam lima tahun. Kemudian

5
Lihat Tap MPR No. III Tahun 2000 Tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan

5
dari Prolegnas dibuat prioritas tahunan RUU yang akan dibahas oleh pemerintah
dan DPR, yang disebut Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta).
Prolegnas sendiri disusun melalui koordinasi antara DPR yang diwakili
Badan Legislasi dan pemerintah yang diwakili oleh Bappenas. Kemudian proses
pembahasannya sama dengan proses pembahasan undang-undang, hanya saja
melibatkan seluruh perwakilan komisi yang ada di DPR Penyusunan Repeta
dilakukan oleh pemerintah (yang diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM)
dan Badan Legislasi setelah mendapatkan masukan dari fraksi dan komisi serta
dari Sekretariat Jenderal. Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menyusun
daftar RUU yang akan dimasukan dalam Repeta: (1) adalah yang diperintahkan
langsung oleh undang-undang, (2) yang ditetapkan oleh Ketetapan MPR, (3) yang
terkait dengan perekonomian nasional, dan yang (4) yang terkait dengan
perlindungan terhadap ekonomi sosial. Untuk merespon atas kondisi sosial yang
terjadi di masyarakat, ada batas toleransi 10-20 % untuk membahas RUU di luar
yang ditetapkan dalam Repeta. Pengajuan suatu RUU oleh DPR ataupun
pemerintah selanjutnya berpedoman pada Repeta yang bersangkutan.
3. Usulan Rancangan Undang-Undang
Sebuah RUU dapat berasal dari DPR (usul inisiatif DPR) atau dari
pemerintah. Di dalam DPR sendiri ada beberapa badan yang berhak mengajukan
RUU, yaitu komisi, gabungan komisi, gabungan fraksi atau badan legislasi.
Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya
melakukan proses penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti
Korupsi dipersiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (TCP3) dipersiapkan oleh tim
asistensi Baleg (Badan Legislasi).
Di samping itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki
kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif
DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (PPPI)
yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan tim perancang
sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah
rancangan undang-undang.
Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun
tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di
samping melakukan sendiri penelitian atas beberapa rancangan undang-undang,
juga bekerjasama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia.
Untuk satu RUU biasanya Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan
penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut.
Baleg juga banyak mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya
RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for
Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti
Diskriminasi) dan RUU Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil,
pintu masuk suatu usulan mungkin lebih terlihat "netral" bila melalui Baleg
ketimbang melalui fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun.
Sedangkan PPPI yang memiliki 43 orang peneliti, lebih banyak berfungsi
membantu pihak Baleg maupun sekretariat guna mempersiapkan sebuah
rancangan peraturan perundang-undangan maupun dalam memberikan

6
pandangan atas RUU yang sedang dibahas. Selain itu PPPI sering juga melakukan
riset untuk membantu para anggota DPR dalam melakukan tugas mereka, baik itu
untuk fungsi legislasi, pengawasan, maupun budgeter.
Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dari adanya amanat
dari mukatamar partai. Kemudian fraksi tersebut membentuk tim pakar yang
merancang RUU tersebut berdasarkan masukan masyarakat melalui DPP maupun
DPD partai. Sementara itu, pada RUU usulan pemerintah, tata cara perumusannya
diatur dalam Keppres 188 tahun 1998. Prosesnya dimulai dengan penyusunan
konsep dan naskah akademis yang diikuti oleh permohonan prakarsa yang
dilakukan oleh departemen teknis atau lembaga non departemen yang terkait.
Setelah mendapatkan persetujuan dari presiden barulah dibentuk panitia
perancang RUU. Ada model yang hampir sama dalam setiap pembentukan tim
perancang undang-undang ini. Ketuanya adalah menteri dari departemen teknis
terkait, kemudian tim intinya terdiri dari pejabat eselon I (setingkat dirjen), pejabat
dari instansi lain yang akan terkait dengan substansi RUU, serta tokoh atau
akademisi yang dianggap memiliki keahlian di bidang tersebut. Sedangkan tim
asistensi biasanya melibatkan banyak masyarakat sipil seperti kalangan LSM. Tim
perancang ini kemudian akan merumuskan sekaligus mengonsultasikan
rancangan tersebut kepada publik.
DPR maupun pemerintah tidak mengkavling-kavling RUU mana saja yang
akan diusulkan oleh pemerintah dan RUU mana yang akan diusulkan oleh DPR.
Bisa saja sebuah RUU dikerjakan oleh berbagai pihak, misalnya saja kasus yang
pernah terjadi pada paket undang-undang politik. Pada September 2000,
pemerintah (Departemen dalam Negeri) telah membentuk tim untuk menyusun
paket RUU politik tersebut. RUU tersebut juga telah disosialisasikan ke beberapa
daerah di Indonesia. Paralel dengan proses itu, DPR bekerjasama dengan RIDEP
juga telah menyusun Paket Undang-undang politik tersebut. Ironisnya pada saat
pemerintah mengajukan RUU tersebut ke DPR pada 29 Mei 2002 dengan Amanat
Presiden No. R.06/PU/V/2002 (untuk RUU Partai Politik) dan No.
R.07/PU/V/2002 (untuk RUU Pemilu) tidak satupun dari dua konsep tersebut
yang diajukan. Depdagri malah mengajukan konsep baru yang dibentuk oleh tim
yang berbeda.
A. Pengusulan RUU Dari Pemerintah
RUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis
yang berasal dari Pemerintah disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan
DPR dengan Surat Pengantar Presiden dengan menyebut juga Menteri yang
mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut. Dalam
Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, ketua
rapat memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian
membagikannya kepada seluruh Anggota. Pimpinan DPR menyampaikan
RUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis dari pengusul
kepada media massa dan Kantor Berita Nasional untuk disiarkan kepada
masyarakat. RUU yang berasal dari Pemerintah dapat ditarik kembali sebelum
pembicaraan Tingkat I berakhir.
b. Pengusulan RUU Dari DPR

7
Sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang anggota dapat mengajukan
usul rancangan undang-undang. Usul RUU dapat juga diajukan oleh Komisi,
Gabungan Komisi, atau Badan Legislasi dengan memperhatikan program
legislasi nasional. Usul RUU beserta keterangan pengusul disampaikan secara
tertulis kepada pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul
serta nama fraksinya.
Dalam rapat paripurna berikutnya setelah usul RUU tersebut diterima
oleh pimpinan DPR, ketua rapat memberitahukan kepada anggota masuknya
usul RUU tersebut, kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota. setelah RUU
didesiminasikan kepada anggota, rapat paripurna akan mengamanatkan
kepada Badan Musyawarah (Bamus) untuk mengagendakan waktu
pembahasan untuk menentukan apakah RUU tersebut diterima atau tidak.

Pengusul berhak mengajukan perubahan selama usul RUU belum


dibicarakan dalam Bamus. Pengusul berhak menarik usulnya kembali, selama
usul RUU tersebut belum diputuskan menjadi RUU oleh rapat paripurna.
Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali usul, harus
ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan secara tertulis kepada
Pimpinan DPR, kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota.
Selanjutnya, rapat paripurna memutuskan apakah usul RUU tersebut
secara prinsip dapat diterima menjadi RUU usul DPR atau tidak. Keputusan
diambil setelah diberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan
penjelasan dan kepada fraksi untuk memberikan pendapatnya.
Keputusan dapat berupa:
a. Persetujuan tanpa perubahan
b. Persetujuan tanpa perubahan;
c. persetujuan dengan perubahan; atau
d. penolakan
Dari tiga kemungkinan keputusan penerimaan RUU usul DPR,
keputusan pertama relatif dapat dimengerti. Namun demikian dapat
ditambahkan penjelasan pada dua keputusan lain, sebagai berikut:
(1). RUU Disetujui dengan Perubahan
Apabila RUU disetujui dengan perubahan, DPR menugaskan
kepada Komisi, Badan Legislasi, atau Panitia Khusus untuk membahas
dan menyempurnakan RUU tersebut. Setelah disetujui menjadi RUU usul
dari DPR, Pimpinan DPR menyampaikan kepada Presiden dengan
permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili
Pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama-sama
dengan DPR.
(2). RUU ditolak
Nah, bagaimana jika RUU ditolak? Pada kenyataannya, apabila
suatu RUU ditolak oleh DPR untuk menjadi usul inisiatif, tidak ada
pengaturan apakah RUU tersebut dapat diajukan lagi pada masa
persidangan tersebut.
4. Tingkat Pembahasan dan Persetujuan

8
Dalam pembahasan dan persetujuan harus melalui beberapa tahapan
sebagai berikut:
B. Pembahasan Tingkat Pertama
Pembicaraan Tingkat Pertama terjadi dalam arena rapat komisi,
gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat panitia anggaran atau rapat
panitia khusus bersama-sama dengan pemerintah.

Tatib tidak menjelaskan proses dan kriteria penentuan badan atau


alat kelengkapan DPR mana (apakah komisi, gabungan komisi ataukah
pansus) yang akan membahas suatu rancangan undang-undang bersama
pemerintah. Menurut keterangan Zein Badjeber, proses tersebut
dilaksanakan sepenuhnya oleh Bamus. Bamus juga menetapkan sendiri
kriteria penentuan apakah suatu RUU dibahas oleh Komisi, Gabungan
Komisi atau Pansus, antara lain berdasarkan pertimbangan:
(1). Substansi dari undang-undang
Apabila substansi undang-undang tersebut merupakan gabungan
dari berbagai bidang-bidang yang ada di komisi maka dibentuk Pansus
atau gabungan komisi. Sedangkan bila hanya mencakup satu bidang
saja maka akan dibahas oleh komisi.
(2). Beban kerja masing-masing komisi
Apabila jadual suatu komisi terlalu padat maka dibentuklah
pansus, akan tetapi bila terlalu banyak pansus dan orang habis dalam
pansus-pansus maka dibahas di komisi.
Dalam pembahasan rancangan, Komisi dibantu oleh Sekretaris
Komisi untuk merekam, mencatat dan mendokumentasi persidangan
atau data, lain dan mengelola dokumentasi korespondensi (termasuk
aspirasi masyarakat) yang berhubungan dengan Komisi tersebut.
Permohonan untuk melakukan dengar pendapat dengan Komisi
diajukan kepada sekretaris Komisi yang meneruskan kepada rapat
pimpinan Komisi untuk mengagendakan rapat. Seharusnya Sekretaris
Komisi mengelola dan menyerahkan seluruh dokumentasi kepada
Bidang Dokumentasi Sekretariat Jendral DPR yang menyimpan seluruh
dokumen kelembagaan. Namun sayangnya seringkali dokumen itu
tidak sampai ke Bidang Dokumentasi.
Selanjutanya, penting bagi kita untuk memahami proses
pembicaraan tingkat pertama. Ada tiga kegiatan yang ada dalam proses
ini, yakni:
1. Pemandangan umum masing-masing fraksi terhadap RUU yang
berasal dari Pemerintah, atau tanggapan pemerintah terhadap
RUU yang berasal dari DPR. Tatib tidak mewajibkan
penyampaian dokumen pemandangan secara tertulis sebelum
agenda rapat, tetapi biasanya dokumen tersebut dibagikan pada
saat rapat.
2. Jawaban Pemerintah atas pemandangan umum Fraksi atau
jawaban pimpinan Komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan
Panitia Anggaran, atau pimpinan Panitia Khusus atas tanggapan

9
Pemerintah. Tatib tidak mewajibkan penyampaian dokumen
pemandangan secara tertulis sebelum agenda rapat seperti halnya
di atas. Biasanya dokumen tersebut juga dibagikan pada saat
rapat.
3. Pembahasan dan persetujuan bersama atas RUU oleh DPR dan
Pemerintah dalam rapat kerja berdasarkan Daftar Inventarisasi
Masalah (DIM).
b. Pembicaraan Tingkat Dua
Pembicaraan tingkat dua adalah pengambilan keputusan dalam
Rapat Paripurna. Dalam rapat, Komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan
Panitia Anggaran, atau pimpinan Panitia Khusus melaporkan hasil
pembicaraan tingkat pertama; lazimnya laporan ini dituangkan secara
tertulis dan dibacakan dalam rapat. Jika dipandang perlu (dan lazimnya
dilakukan), masing-masing Fraksi melalui anggotanya dapat menyertai
catatan sikap Fraksinya.
Tidak jelas apakah masing-masing anggota (bukan Fraksinya) dapat
menyampaikan catatan sikap mereka, namun tetap ada peluang untuk
menyampaikan catatan individual berisikan catatan penting, keberatan dan
perbedaan pendapat yang lazim disebut [mijnderheadsnota]. Terakhir,
Pemerintah dapat menyampaikan sambutan Persetujuan DPR dituangkan
dalam surat keputusan DPR dan disampaikan oleh Pimpinan DPR pada
Presiden untuk disahkan menjadi Undang-undang] dengan tembusan pada
Menteri terkait.

D. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


Asas hukum merupakan tiang utama bagi pembentuk Peraturan Perundang-
Undangan, asas adalah suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum sebagai basic
truth , sebab melalui asas hukum pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke
dalam hukum, dan menjadi sumber menghidupi nilai-nilai etis, moral dan sosial
masyarakatnya. Menurut I. C. Van Der Vlies dalam pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan ada beberapa asas formal dan material yang harus perhatikan antara lain
sebagai berikut:
1. Asas Formal
A. asas tujuan yang jelas.
B. asas lembaga yang tepat.
C. asas perlunya pengaturan.
D. asas dapat dilaksanakan.
E. asas konsensus.
2. Asas Material
a. asas terminologi dan sistematika yang benar.
b. asas dapat dikenali
c. asas perlakuan yang sama di depan hukum.
d. asas kepastian hukum.
e. asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu.
Berbeda lagi dengan A. Hamid S Attamimi menurutnya asas material
terdiri:

10
1. asas sesuai dengan cita hukum dan norma fundmental negara.
2. asas sesuai dengan hukum dasar negara.
3. asas sesuai dengan prinsip negara hukum.
4. asas sesuai dengan prinsip negara berdasar konstitusi.
5. asas keadilan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
6. asas ketertiban, perdamaian, pengayoman dan perikemanusiaan.

E. Landasan Peraturan Perundang-Undangan


Peraturan perundang-undangan sekurang-kurangnya memuat:
A. Landasan Filosofis
Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan folosofis (
filisofische grondslag ) apabila rumusannya atau normanya mendapatkan
pembenaran dikaji secara filosofis. Jadi mendapatkan alasan sesuai dengan cita-cita
dan pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan sesuai
dengan cita-cita kebenaran, keadilan, jalan kehidupan ( way of life ), filsafat hidup
bangsa, serta kesusilaan.
B. Landasan Sosiologis
Suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis
( sociologische groundslag ) apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan
keyakinan umum, kesadaran hukum masyarakat., tata nilai, dan hukum yang
hidup di masyarakat agar peraturan yang dibuat dapat dijalankan.
C. Landasan Yudiris
Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan yuridis
( rechtsground ) apabila mempunyai dasar hukum, legalitas atau landasan yang
terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Disamping itu
landasan yuridis mempertanyakan apakah peraturan yang dibuat sudah dilakukan
oleh atas dasar kewenganannya.

F. Bahasa Peraturan Perundang-Undangan


Menurut C.K. Allen untuk menyusun suatu peraturan perundang-undangan ada
baiknya memperhatikan:
1. gaya bahasa ringkas dan sederhana.
2. istilah yang digunakan bersifat absolut.
3. menghindari dari kiasan dan dugaan.
4. menggunakan bahasa yang sederhana.
5. bahasa tidak menimbulkan perdebatan dan pertentangan.
6. bahasa yang digunakan mempunyai ketepatan pengertian.
Bahasa yang digunakan dewasa ini dalam peraturan perundang-undangan:
1. jika, kata ini digunakan jika menyatakan hubungan syarat.
2. Apabila, kata ini digunakan menunjukkan uraian atau penegasan waktu
terjadinya suatu peristiwa.
3. dan/atau, kata ini berarti bisa digabungkan keduanya ( kumulatif ) atau
dapat pula memilih ( alternatif ) salah satu.
BAB II
NASKAH AKADEMIK
A. UMUM

11
Keberadaan Naskah Akademik dalam proses penyusunan peraturan perundang-
undangan di Indonesia masih bersifat fakultatif (bukan keharusan). Keputusan Presiden
No. 188 tahun 1998 pasal 3 menyebut istilah Naskah Akademik dengan istilah Rancangan
Akademik untuk penyusunan undang-undang. Di dalam ayat (1) pasal 3 Kepres tersebut
diatur bahwa: “Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa penyusunan rancangan
Undang-undang dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai
Rancangan Undang-undang yang akan disusun”. Naskah Akademik dikenal dalam ilmu
peraturan perundang-undangan sebagai salah satu prasyarat sebelum penyusunan
rancangan peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks ilmu perundang-undangan, Naskah Akademik memegang
peranan yang sangat penting untuk memberikan kajian yang mendalam substansi
masalah yang akan diatur. Maka dari itu untuk menyusun Naskah Akademik dibutuhkan
penelitian kepustakaan dan penelitian empiris sebagai data dasarnya. Artinya proses
penyusunan peraturan perundang-undangan tidak boleh dilakukan secara pragmatis
dengan langsung menuju pada penyusunan pasal per pasal tanpa kajian yang mendalam
terlebih dahulu.
Perkembangan ketatanegaraan kita yang sedang dalam masa transisi demokrasi ini
tentunya secara yuridis masih belum banyak aturan hukum yang lengkap untuk
mengatur segala hal. Sementara itu arus perubahan yang diinginkan oleh masyarakat
sangat kuat terutama terhadap produk peraturan perundang-undangan yang responsif
dan aspiratif. Masyarakat lebih banyak menuntut keberadaan suatu peraturan
perundang-undangan bukanlah kehendak penguasa (legislatif dan/atau eksekutif)
belaka. Namun perlu adanya ruang-ruang publik yang memungkinkan suara rakyat
tertampung dalam penyusunan substansi peraturan perundang-undangan. Dengan
adanya Naskah Akademik maka ruang-ruang publik tersebut sangat terbuka dan
masyarakat bebas mengeluarkan aspirasi serta melakukan apresiasi terhadap substansi
peraturan perundang-undangan yang sedang diatur.
Otonomi daerah berdasarkan Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah telah memberikan keleluasaan yang besar pada daerah untuk
mengatur rumah tangganya sendiri. Amandemen UUD 1945 juga memberikan peluang
yuridis bagi daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Kewenangan yang luas tersebut
tentunya harus dipahami untuk menuju kesejahteraan dan keadilan sosial bersama
sehingga produk perundang-undangan daerah yang dihasilkan adalah produk
perundang-undangan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Karena untuk
kepentingan masyarakat maka masyarakat harus diajak bersama-sama dalam
merumuskan rancangan perundang-undangan di daerah.
Hal ini tentunya tidak mengenyampingkan keberadaan wakil-wakil rakyat di
DPRD. Perlu adanya kesinambungan peran antara masyarakat dengan DPRD karena pada
kenyataannya wakil-wakil rakyat yang berada di dewan tidak mampu mewakili seluruh
aspirasi masyarakat yang sangat dinamis itu. Disinilah dibutuhkan kearifan bersama
antara Pemerintah Daerah, DPRD, dan masyarakat dalam membuat peraturan
perundang-undangan di daerah. Hambatan yuridis dengan tidak adanya dasar hukum
pembuatan Naskah Akademik dalam penyusunan rancangan peraturan daerah, bukanlah
dasar penghalang untuk dibuatnya Naskah Akademik tersebut.

12
B. Konsepsi Naskah Akademik
Secara mudah Naskah Akademik dapat diartikan sebagai konsepsi pengaturan
suatu masalah (objek peraturan perundang-undangan) secara teoritis dan sosiologis.
Naskah Akademik secara teoritik mengkaji dasar filosofis, dasar yuridis, dan dasar politis
suatu masalah yang akan diatur sehingga mempunyai landasan pengaturan yang kuat.
Dasar filosofis merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita
sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Dasar
filosofis sangat penting untuk mengehindari pertentangan peraturan perundang-
undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur ditengah-tengah
masyarakat, misalnya nilai etika, adat, agama dan lainnya.
Dasar yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum
(rechtsgrond ) bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Dasar yuridis ini terdiri
dari dasar yuridis dari segi formil dan dasar yuris dari segi materiil. Dasar yuridis dari
segi formil adalah landasan yang berasal dari peraturan perundang-undangan lain untuk
memberi kewenangan ( bevoegdheid ) bagi suatu instansi membuat aturan tertentu.
Sedangkan dasar yuridis dari segi materiil yaitu dasar hukum untuk mengatur
permasalahan (objek) yang akan diatur. Dengan demikian dasar yuridis ini sangat
penting untuk memberikan pijakan pengaturan suatu peraturan perundang-undangan
agar tidak terjadi konflik hukum atau pertentangan hukum dengan peraturan perundang-
undangan di atasnya.
Dasar politis merupakan kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya
bagi kebijakan-kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan (Lubis; 1995:8).
Diharapkan dengan adanya dasar politis ini maka produk hukum yang diterbitkan dapat
berjalan sesuai dengan tujuan tanpa menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Secara
sosiologis Naskah Akademik disusun dengan mengkaji realitas masyarakat yang meliputi
kebutuhan hukum masyarakat, aspek sosial ekonomi, dan nilai-nilai yang hidup dan
berkembang (rasa keadilan masyarakat). Tujuan kajian sosiologis ini adalah untuk
menghindari tercerabutnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dari akar-akar
sosialnya di masyarakat. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang setelah
diundangkan kemudian ditolak oleh masyarakat lewat aksi-aksi demonstrasi merupakan
cerminan peraturan perundangundangan yang tidak memiliki akar sosial kuat.

C. Sistematika
Sistematika Naskah Akademik pada dasarnya terdiri dari :
1. BAB I: Pendahuluan
a. Latar Belakang
Latar belakang penyusunan berisi tentang hal-hal yang mendorong
disusunnya suatu masalah atau urusan sehingga sangat penting dan mendesak
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Aspek yang perlu diperhatikan
dalam latar belakang ini adalah aspek ideologis, politis, budaya, sosial, ekonomi,
pertahanan dan keamanan (ekspoleksosbud hankam).
b. Tujuan
Tujuan penyusunan merupakan hasil yang diharapkan dengan diaturnya
suatu masalah atau urusan dalam peraturan perundang-undangan.

13
c. Metode
Bagaimana cara penyusunan naskah akademik ini (riset, seminar,
lokakarya, dll).
2. BAB II ASAS Dan TUJUAN
Asas dan Tujuan peraturan perundangan yang akan dibuat merupakan nilai-nilai
dasar yang akan mengilhami norma pengaturan selanjutnya. Dengan demikian ruang
lingkup pengaturan peraturan perundang-undangan yang akan disusun tidak terlepas
dari asas dan tujuan dari peraturan perundang-undangan itu sendiri. Misalnya di dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan hidup maka dipakai asas:
Sustainability (keberlanjutan), Responsibility (pertanggung-jawaban), dan utility
(manfaat).
3. BAB III MATERI Dan RUANG LINGKUP
Pembahasan gambaran umum Materi dan Ruang Lingkup peraturan perundangan
yang akan dibuat. Pada umumnya materi atau ruang lingkup peraturan perundang-
undangan terdiri dari:
1. Pengaturan Kewenangan dan Kelembagaan;
2. Pengaturan Hak dan Kewajiban;
3. Pengaturan Mekanisme;
4. Pengaturan Larangan-larangan;
5. Pengaturan Sanksi (jika perlu).
4. BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
5. Daftar Pustaka

PENYUSUNAN
Di dalam menyusun Naskah Akademik, tentunya sangat diperlukan data yang
akurat baik data yang bersifat kepustakaan maupun data empiris atau sosiologisnya.
Metode penggalian data ini harus dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan
sehingga validitasnya tidak diragukan lagi, misalnya:
1. Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya dapat dibagai dua berdasarkan tujuannya.
Pertama, penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk
menemukan dasar yuridis, filosofis dan politis suatu peraturan perundang-
undangan yang akan disusun dengan menggali bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Kedua, penelitian sosiologis yang bertujuan untuk menggali
kebutuhan hukum masyarakat terhadap substansi peraturan perundang-
undangan yang akan diatur.
2. Pooling
Metode pooling atau jajak pendapat dilakukan untuk mengetahui dan
mengukur pandangan masyarakat terhadap persoalan-persoalan krusial yang
akan diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
3. Seminar dan Lokakarya
Seminar dan Lokakarya sangat berguna untuk melontarkan wacana
pengaturan suatu substansi peraturan perundang-undangan sekaligus

14
merumuskannya secara partisipatif oleh peserta lokakarya tentang pokok-pokok
pikiran pengaturannya.
4. Focus Group Disscussion (FGD)
FGD diselenggarakan untuk merumuskan dan menyelesaiakan persoalan-
persoalan krusial dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga
memperoleh kesepahaman diantara stakeholder yang kepentingannya terkait
dengan substansi pengaturan.
5. Public hearing; dll
Public hearing dilakukan untuk menyerap sebanyak-banyaknya masukan
dari masyarakat dengan mendengarkan pendapat-pendapat mereka.
Beberapa metode penggalian data di atas dilakukan berdasarkan
kebutuhan dan kemampuan sehingga tidak menutup kemungkinan digunakan
beberapa metode sekaligus atas satu Naskah Akademik yang akan dibuat. Setelah
data yang dbutuhkan terkumpul maka perlu dilakukan klasifikasi data dan
analisis data. Berdasarkan analisis data tersebut maka hasilnya dituangkan dalam
kerangka atau sistematika Naskah Akademik:
a. Pendahuluan
Sistematika pada bab pendahuluan adalah sebagai berikut:
1. Dasar Pemikiran
2. Tujuan
3. Metode Penulisan yang terdiri dari bahan, teknik penelusuran, teknik
analisis bahan.
4. Jenis Penelitian yang terdiri dari data, sumber data, teknik pengambilan
data dan teknik analisa data.
b. Telaah Akademik
Sistematika pada bab pendahuluan adalah sebagai berikut:
4. Kajian folosofis.
5. Kajian Politis
6. kajian historis.
7. Kajian Normatif/Normatif
c. Ruang Lingkup Pengaturan
Dalam bab tentang ruang lingkup pengaturan akan dibahas dan dikaji
tentang muatan dalam rancangan peraturan perundang-undangan yang dibuat,
disamping itu akan dipaparkan pula pengertian-pengertian yang bersifat umum
dalam rancangan peraturan perundang-undangan yang dibuat.
d. Penutup
Pada bab penutup berisi tentang kesimpulan dari kajian bab sebelumnya
tentang perlunya peraturan perundang-undangan yang baru atau perubahan
yang demokratis, keadilan dan kesejajaran, penegakan hukum dan hak asasi
manusia, dan rekomendasi hal yang prinsipil yang perlu diatur.

BAB III
TEKNIK PEMBUATAN, PERUBAHAN, PENJELASAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

15
A. Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan
1. Penamaan
Penamaan adalah uraian singkat tentang isi peraturan perundang-
undangan yang didahului dengan penyebutan jenis, nomor dan tahun
pembentukanya, serta kalimat singkat yang mencerminkan isi peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.
Penamaan suatu peraturan perundang-undangan selalu dicamtumkan
dalam setiap peraturan perundang-undangan, dan juga dalam setiap rancangan
peraturan perundang-undangan. Penamaan suatu peraturan perundang-undangan
selalu dituliskan dalam huruf besar ( kapital ), dan bagi suatu rancangan peraturan
perundang-undangan nomor dan tahun pembentukannya dikosongkan.
2. Pembukaan
Pembukaan dalam suatu peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a lembaga yang membentuk, adalah lembaga yang berwenang membentuk,
mengesahkan, atau menetapkan peraturan perundang-undangan yang ditulis
dengan huruf kapital.
b Konsiderans atau menimbang, berisi tentang, pertama alasan atau dasar
pertimbangan mengapa peraturan perundang-undangan perlu dibentuk,
kedua memuat pokok-pokok pikiran yang merupakan konstatasi fakta secara
singkat yang menggerakkan pembentuk peraturan perundang-undangan
untuk membentuk peraturan perundang-undangan, ketiga konsiderans
dituliskan dengan kata “Menimbang” yang apabila konsiderans terdiri lebih
dari satu pertimbangan maka tiap pertimbangan didahului dengan huruf kecil
a, b, c dan seterusnyua, didahuli kata bahwa, serta diakhiri dengan tanda baca
titik koma ( ; ).
c Mengingat atau dasar hukum ditulis dengan urutan sebagai berikut, pertama
peraturan yang memberikan kewenangan bagi terbentuknya peraturan
perundang-undangan, kedua peraturan yang setingkat, ketiga dasar hukum
dituliskan dengan kalimat “ Mengingat” dan apabila dasar hukum itu terdiri
lebih dari satu maka tiap-tiap peraturan perundang-undangan ditulis dengan
urutan angka diakhiri dengan tanda baca titik koma. Dasar hukum
dirumuskan secara kronologis sesuai dengan hierarki peraturan perundang-
undangan, atau apabila sama tingkatannya maka dituliskan berdasarkan
urutan tahun pembentukannya atau apabila tahun pembentukannya sama,
maka didasarkan nomor urutan pembentukan peraturan perundang-
undangan.
3. Judul
Judul peraturan perundang-undangan ditulis dengan urutan sebagai
berikut,
1. kalimat yang diletakkan sesudah perkataan memutuskan dan menetapkan
2. Judul suatu peraturan perundang-undangan dituliskan dengan huruf besar.
4. Batang Tubuh
Dalam suatu batang tubuh peraturan perundang-undangan biasanya
dirumuskan dalam pasal-pasal, dan disamping itu apabila materi peraturan
perundang-undangan terlalu luas akan dibagi paragraf dan bab. Dalam pasal juga
dirumuskan dalam bentuk ayat-ayat, yang mana satu ayat hanya mengatur satu

16
hal saja dan dirumuskan dalam satu kalimat, serta kalimat dalam pasal pendek-
pendek.
Batang tubuh peraturan perundang-undangan disusun sebagai berikut:
a. Ketentuan Umum
Ketentuan umum diletakan di dalam bab pertama atau dalam pasal-
pasal yang pertama, ketentuan umum berisi tentang defenisi-defenisi,
ketentuan pengertian-pengertian, singkatan-singkatan.
b. Ketentuan Materi yang diatur
Kelompok ketentuan materi yang diatur diletakan setelah ketentuan
umum. Ketentuan materi yang diatur tersebut pembagiannya tergantung pada
luas atau tidaknya materi peraturan perundang-undangan.
c. Ketentuan Pidana
Ketentuan pidana merupakan ketentuanyang tidak mutlak ada, kadang
ketentuan pidana diperlukan dan juga kadang tidak diperlukan, tergantung
materi yang diatur untuk efektifitas pemberlakuan peraturan perundang-
undangan. Namun apabila ketentuan pidana dimusukan maka harus
memperhatikan:
(1) Ketentuan dalam pasal 103 KUHP yang menegaskan bahwa dalam delapan
titel yang pertama dari buku I KUHP berlaku juga terhadap perbuatan-
perbuatan yang dalam peraturan perundang-undangan yang diancam
pidana, kecuali ditentukan lain.
(2) Dirumuskan secara jelas, tegas, dan cermat karena berkaitan dengan
kepastian hukum, dan perumusan sanksi tersebut bersifat kumulatif,
alternatif atau kumulatif/alternatif.
d. Ketentuan Peralihan
Ketentuan peralihan adalah ketentuan yang bersifat transito, yaitu
ketentuan yang mengatur mengenai penyesuaian keadaan yang sudah ada
pada saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan yang baru itu
sehingga tidak membawa dampak yang tidak dikehendaki dan untuk
efektifitas berlakunya peraturan perundang-undangan.
Ketentuan peralihan secara garis besar meliputi:
(1) ketentuan tentang penerapan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan keadaan sewaktu mulai berlakunya, yang sifatnya tetap.
(2) Ketentuan tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan baru
secara berangsur-angsur.
(3) Ketentuan tentang penyimpangan untuk sementara waktu dari peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan-ketentuan khusus bagi keadaan atau hubungan yang sudah ada
pada saat berlakunya peraturan perundang-undangan.

e. Ketentuan Penutup
Ketentuan penutup merupakan bagian terakhir dari batang tubuh
peraturan perundang-undangan yang berisi:
(1) penunjukan organ atau alat kelengkapan yang diikutsertakan dalam
melaksanakan peraturan perundang-undangan, penunjukkan yang

17
diikutsertakan dapat berupa pejabat yang diberi kewenangan untuk
memberikan izin, mengangkat pegawai.
(2) ketentuan pemberian nama singkat ( citeer titel ) atau judul kutipan pada
peraturan perundang-undangan yang apabila judul peraturan perundang-
undangan terlalu panjang.
(3) Ketentuan tentang saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan
yang mana dapat dirumuskan pertama, bila ditentukan lain peraturan
perundang-undangan mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. kedua
ditentukan mulai bgerlakunya pada tanggal tertentu, diserahkan kepada
instansi lain atau hanya berlaku beberapa bagian.
(4) Ketentuan tentang pengaruh peraturan perundang-undangan yang baru
dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
f. Penutup
Peraturan perundang-undangan dalam bagian penutup memuat:
1. rumusan tentang perintah pengundangan.
2. Kedua, keterangan tentang tanggal pengesahan dan
penetapan dan penandatanganan pejabat. Sesudah penutup
dicamtumkan keterangan tentang pengundangan dan lembaran negara
yang mengudangkan peraturan perundang-undangan.

B. Teknik Perubahan Peraturan Perundang-Undangan


Dalam suatu perubahan peraturan perundang-undangan meliputi:
a. menambah atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan, menghapus
ketentuan yang sudah ada yang berbentuk bab, bagian, paragraf, pasal, ayat,
perkataan, angka, huruf, tanda baca, dan lain-lain.
b. mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan yang lain baik yang berbentuk bab,
bagian, paragraf, pasal, ayat, perkataan, angka, huruf, tanda baca, dan lain-lain.
Sedangkan dalam mengadakan perubahan peraturan perundang-undangan hal-
hal yang harus diperhatikan:
a. perubahan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan tidak mengubah
sistematika.
b. dalam penamaan jika terjadi beberapa kali perubahan hendaknya perumusan
penamaan disebut peraturan perundang-undangan yang diubah dan perubahan
yang diadakan itu adalah perubahan yang keberapa kalinya.
c. dalam konsiderans peraturan perundang-undangan yang diubah dikemukakan
alasan perubahan dan mengapa peraturan yang lama perlu diadakan perubahan.
d. batang tubuh dalam perubahan peraturan perundang-undangan terdiri dari dua
pasal yang ditulis dengan angka romawi, yang mana pasal I memuat segala
sesuatu perubahan dengan diawali penyebutan peraturan perundang-undangan
yang diubah, dan urutan perubahan tersebut hendaknya ditandai dengan huruf
besar, pasal II memuat ketentuan mengenai mulai berlakunya peraturan
perubahan tersebut.
e. disamping adanya perubahan juga dikenal adanya pencabutan peraturan
perundang-undangan yang disertai dengan penggantian dan pencabutan tanpa
penggantian.
C. Teknik Penjelasan Peraturan Perundang-Undangan

18
Penjelasan merupakan suatu kesatuan penjelasan resmi dari pembentuk peraturan
perundang-undangan yang dimaksudkan untuk membantu mengetahui maksud latar
belakang peraturan perundang-undangan diadakan, dan dimaksudkan menjelaskan yang
perlu dijelaskan. Dalam naskah penjelasan terdiri dari pertama penjelasan umum yang
berisi tentang latar belakang pemikiran secara sosiologis, politis, budaya, dan sebagainya
dibentuknya peraturan perundang-undangan , kedua penjelasan pasal demi pasal.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perubahan peraturan perundang-
undangan:
a. isi penjelasan tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan
itu sendiri.
b. penjelasan tidak merupakan pengulangan dari naskahnya atau dalam pasal-pasal.
c. penjelasan defenisi atau pengertian yang tidak dijelaskan dalam ketentuan umum.
d. penjelasan tidak berisi penambahan norma baru dan apabila suatu pasal ayat tidak
memerlukan penjelasan, hendaknya diberikan keterangan cukup jelas.
e. penjelasan dimuat dalam tambahan lembaran negara.

LAMPIRAN

1. Contoh Naskah Akademik

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA MALANG
TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Upaya-upaya menuju demokratisasi baik dalam bentuk sistem pemerintahan
maupun peningkatan kesejahteraan rakyat laksana sebuah taktik “coba-coba/trial and
error” dilaksanakan di Indonesia. Upaya menuju demokrasi dalam bentuk sistem

19
pemerintahan misalnya, setelah sukses menggelar Pemilihan Presiden secara langsung,
pengaturan pemilihan kepala daerah dalam konstitusi yang dipilih secara demokratis
menjadi pemilihan kepala daerah secara langsung. Secara fatsoen politik hal ini wajar
ketika presiden dipilih secara langsung maka kepala daerah juga dipilih secara langsung.
Namun secara konstitusional berbeda, menurut UUD 1945 Presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung dan kepala daerah dipilih secara demokratis. Tentunya pemilihan
secara demokratis tidak menunjukkan pada mekanisme atau cara pemilihan, namun lebih
pada menunjuk esensi dan hasil dengan cara apapun dilakukan. Dengan demikian ketika
konstitusi ditafsirkan tunggal dengan melakukan pilkada secara langsung oleh UU 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, resiko politik juga harus dihitung terutama
terkait dengan hubungan eksekutif dan legislatif serta hubungan segi tiga pemerintahan
yaitu rakyat dengan eksekutif maupun legislatif dan sebaliknya.
Jelas dalam posisi kedepan rakyat duduk sebagai pihak dalam hubungan segi tiga
pemerintahan karena rakyat memilih kepala daerah secara langsung. Ketika pasca
pemilihan rakyat “balik kucing” ke bilik rumah masing-masing dan menyerahkan
sepenuhnya kedaulatannya pada eksekutif maka yang terjadi adalah kekuasaan eksekutif
yang sangat besar laksana busur panah yang punya dua kemungkinan. Pertama,
menancap pada dada musuh sehingga mampu mengalahkan masalah-masalah rakyat
berupa kemiskinan, kebodohan, kesenjangan, dan lain sebagainya. Kedua, senjata makan
tuan tatkala mata panah yang buta itu berbalik arah menikam dada rakyat dengan
memeras uang rakyat dan menjalankan kuasa sewenang-wenang karena tidak peduli lagi
dengan DPRD yang tidak punya kuasa memberhentikan kepala daerah, dan pada rakyat
yang tidak ada hubungan struktural pasca pilkada langsung.
Dalam hal peningkatan kesejahteraan rakyat juga demikian. Berbagai strategi
dijalankan agar rakyat sejahtera mulai dari JPS, KUT, Raskin, IDT, BLBI, Subsidi dan
lainnya, namun apa yang terjadi adalah justru rakyat diposisikan sebagai objek kebijakan
yang menerima saja apapun bentuk kebijakan yang menurut pembuatnya dapat
meningkatkan kesejahteraan mereka. Tidak peduli akhirnya rakyat juga harus belajar
korupsi, manipulasi data, ngemplang, dan berkelahi memperrebutkan bantuan beras.
Dalam konteks ini rakyat dalam posisi “narimo ing pandum” (menerima pemberian) bukan
posisi turut menentukan pengambilan kebijakan akibat terputusnya hubungan rakyat
dengan eksekutif dengan legislatif.
Keterputusan hubungan rakyat dengan eksekutif lebih banyak diakibatkan tidak
adanya mekanisme hukum yang menghubungkan dan mengukuhkan hak-hak
konstitusional rakyat dalam pemerintahan. Belum ada mekanisme yang mengatur
bagaimana rakyat berhubungan dengan eksekutif agar eksekutif tidak seperti anak panah
yang tidak terkendali dan melupakan rakyat serta pengakuan hak-hak apasaja sehingga
rakyat menjadi eksis. Keterputusan hubungan rakyat dengan legislatif selama ini
diakibatkan menonjolnya sistem kepartaian dalam pemilu dan masih kuatnya peran fraksi
di gedung parlemen. Representasi rakyat di parlemen menjadi representasi partai dan
konstituen hanya sebagai pihak di luar pagar dewan tanpa merasa gedung dewan sebagai
rumahnya.
Dalam konteks inilah peraturan daerah yang mengatur mekanisme hubungan
antara rakyat dengan eksekutif maupun rakyat dengan legislatif menjadi sangat penting.
Ke depan, sistem pemilu juga penting dirubah untuk lebih mendekatkan pada demokrasi

20
yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai pilar bukan kedaulatan partai sebagaimana
selama ini berjalan.
Peraturan daerah yang perlu dibentuk dalam rangka mendekatkan hubungan
antara rakyat dengan eksekutif maupun legislatif. Maka dari itulah naskah akademik ini
disusun dalam rangka membentuk perda yang memungkinkan rakyat berperanserta
dalam pengambilan kebijakan pembangunan maupun pengelolaan pembangunan agar
posisi rakyat daerah tidak hanya sebagai objek kebijakan, namun lebih pada subjek yang
turut menentukan pembangunan daerahnya.
B. Tujuan
Tujuan penyusunan naskah akademik perda peranserta masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah untuk memberikan landasan hukum
dan akademik serta memperkuat kepastian hukum bagi terjaminnya peranserta
masyarakat yang sebenarnya dalam pemerintahan daerah.
C. Metode
Metode yang dipergunakan dalam menyusun naskah akademik ini adalah review
literatur baik yang berupa textbook maupun hasil penelitian empirik. Literatur yang
dikumpulkan dan dipergunakan dalam penyusunan naskah ini memiliki setting yang
beragam, baik isu maupun lokasinya sehingga mampu menjadi naskah akademik yang
tidak semata bersifat lokal tetapi juga bisa bersifat lebih luas.

21
BAB II
TELAAH AKADEMIK
A. Kajian Filosofis
Jika mengacu pada apa yang diungkapkan oleh Rondinelli (1990: 493-4) bahwa
desentralisasi dan demokrasi tidaklah saling meniadakan tetapi juga tidak terkait.
Keduanya adalah konsep yang berbeda. Di dalam pemerintahan yang sangat
sentralistispun bisa saja terjadi demokrasi bila para pejabatnya dipilih secara berkala oleh
rakyatnya. Kondisi ini menjadi lebih demokratis apabila dibandingkan dengan suatu
negara yang memiliki sistem pemerintahan yang desentralistis tetapi dikendalikan oleh
satu partai politik yang otoriter. Desentralisasi administrasipun dapat dipergunakan
untuk melakukan kontrol negara atas unit-unit wilayahnya guna meningkatkan
peranserta politik yang lebih besar dalam pembuatan keputusan.
Secara umum, meski desentralisasi dan demokrasi adalah konsep yang berbeda
namun desentralisasi memberikan sisi positif jika ia dikaitkan dengan tujuan politik
seperti yang diungkapkan oleh Smith (1985: 4-5). Secara politik, desentralisasi disebut
memperkuat akuntabilitas, keterampilan politik, dan integrasi nasional. Tiga hal tersebut
merupakan sesuatu yang hendak dicapai pula oleh demokrasi. Desentralisasi membawa
pemerintah lebih dekat kepada masyarakat karena ia mampu meningkatkan kebebasan,
persamaan, dan kesejahteraan. Desentralisasi memberikan landasan bagi peranserta
warga dan kepemimpinan politik baik untuk tingkat lokal sendiri maupun nasional.
Selain itu, Smith (1985: 11) menjelaskan pula bahwa biasanya desentralisasi
diasumsikan memerlukan demokrasi. Meski secara logis desentralisasi tidak membawa
implikasi terhadap demokrasi, tetapi desentralisasi untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki (seperti akuntabilitas penyediaan layanan masyarakat, kesejahteraan, dan
peranserta) tetap memerlukan adanya demokrasi. Hal ini dapat dipahami karena dengan
demokrasi maka muncul para pengambil kebijakan yang merupakan wakil terpilih yang
bertanggung jawab pada pemilih dalam kehidupan politik.
Secara filosofis, desentralisasi melahirkan pemerintahan daerah. Demokrasi
bercirikan peran serta masyarakat. Demokrasi dalam desentralisasi berarti jalannya
pemerintahan daerah terfokus pada tanggung jawab masyarakat. Istilah peranserta
masyarakat kini juga berarti citizen engagement (perikatan warga) secara aktif dan
disengaja oleh dewan atau pemerintah tidak hanya dalam proses pemilihan umum, tetapi
juga dalam pembuatan keputusan kebijakan masyarakat atau dalam penyusunan arahan
strategis lainnya. Peran serta masyarakat seyogyanya tidak dilihat hanya dalam sekali
atau serangkaian kejadian, tetapi dilihat dalam penentuan berbagai hal penting secara
bersama-sama antara politisi, administrator, kelompok kepentingan, dan warga (Graham
& Philips, 1998: 4-8). Dengan demikian, secara filosofis peranserta masyarakat merupakan
pengejawantahan prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
B. Kajian Yuridis
Pemerintahan daerah kini telah mempunyai landasan hukum yang lebih kuat karena
telah diatur lebih rinci dalam UUD 1945 yang telah diamandemen ketimbang sebelumnya.
Dalam Bab VI UUD tersebut telah diatur jenjang daerah otonom, azas pemerintahan,
pemerintah daerah dan cara pengisiannya, prinsip otonomi, pengakuan atas tradisi dan
kekhususan serta keragaman daerah, dan yang terpenting adalah penyelenggaraan
pemerintahan daerah tetap berada dalam bingkai Negara Kesatuan Kemasyarakat

22
Indonesia. Rincian pengaturan tentang pemerintahan daerah ini diputuskan dalam
amandemen kedua UUD 1945.
Pengaturan lebih lanjut dari amanat UUD 1945 tersebut terjabarkan dalam UU
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konsideran UU ini dijelaskan
bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diperlukan untuk lebih menekankan
prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Dalam penjelasannya, hal-hal yang
mendasar dalam UU ini adalah mendorong untuk memberdayakan prakarsa dan
kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi
DPRD. Jadi, baik dari konsideran maupun penjelasan UU ini tersurat adanya kehendak
untuk mewujudkan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia melalui penguatan pemerintahan daerah.
C. Kajian Politis
Secara normatif, memang tidak ada mekanisme yang didukung oleh peraturan
perundangan yang mengatur bagaimana peranserta masyarakat dilaksanakan dalam
pemerintahan daerah (Haris, 2001). Selain itu, penelitian yang dilakukan Tim Peneliti
FIKB (2002) menunjukkan hasil bahwa memang ada perbedaan pemahaman mengenai
makna daerah dan otonomi daerah di kalangan masyarakat, serta ada kemajuan
peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dibandingkan pada
waktu masih berlakunya UU nomor 5/1974. Namun kemajuan peranserta ini lebih
disebabkan oleh peran elit daerah sehingga belum ada jaminan terhadap keberlangsungan
peranserta masyarakat.
Dominasi elit daerah dibandingkan dengan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah telah menjadi fenomena umum setelah berlakunya
UU Nomor 22/1999 (Jurnal Otonomi Daerah, 2001). Fenomena ini juga diakui oleh
seorang pakar pemerintahan daerah terkemuka di Indonesia Bhenyamin Hoessein dalam
“Temu Refleksi Politik dan Pemerintahan Dalam Negeri Tahun 2002 dan Proyeksi 2003”
bahwa otonomi daerah yang seharusnya mendorong peranserta masyarakat justeru
dipahami sebagai penyerahan wewenang pemerintahan elit nasional kepada elit lokal.
Akibatnya, keberadaan masyarakat yang berotonomi bersifat pinggiran. Masyarakat
bukan lagi sebagai subyek tetapi obyek dari otonomi daerah. Secara keseluruhan,
kebijakan desentralisasi mengarah pada metamorfosis dari otonomi daerah menjadi quasi
sovereignty dan dari pemerintahan daerah menjadi local state (Kompas, 21-12-2002).
Dominasi elit lokal ini menyebabkan kurang legitimate-nya pemerintah daerah
dan berbagai kebijakan yang dihasilkannya. Selain itu, tampak betul bahwa dukungan
masyarakat terhadap jalannya pemerintahan daerah kurang ideal. Masyarakat cenderung
menjadi apatis dan pemerintahan daerah sekedar menjalankan demokrasi semu.
Peminggiran peran masyarakat ini tentu disebabkan oleh kekurangpahaman akan makna
desentralisasi, otonomi daerah, dan peranserta masyarakat sebagai elemen utamanya.
Oleh karena itu, penguatan peranserta masyarakat merupakan hal yang mutlak agar
penyelenggaraan pemerintahan daerah diseleggarakan secara legitimate dan memperoleh
dukungan nyata dari masyarakat.
D. Kajian Teoritis
1. Asas dan Tujuan Peran serta
1.1. Asas Peran serta masyarakat antara lain:
- asas demokrasi perwakilan,

23
- asas peranserta dalam bingkai NKRI,
- asas peranserta yang bertanggung jawab,
- asas peranserta yang efektif,
- asas keberlanjutan,
- asas supremasi hukum.
1.2. Pada dasarnya tujuan peranserta masyarakat sangatlah beragam, yakni meliputi :
- berbagi informasi (information sharing),
- akuntabilitas,
- legitimasi,
- pendidikan politik,
- pemberdayaan masyarakat,
- berbagi kekuasaan secara nyata (power sharing).
2. Ruang Lingkup Masyarakat
Untuk memahami konsep peranserta masyarakat maka pembahasan sebaiknya
terlebih dahulu diarahkan pada siapa yang berperanserta dan apa yang terkandung dalam
istilah peranserta. Telaah mengenai siapa yang berperanserta akan mengarah pada
pembahasan tentang dua hal, yakni: apa yang dimaksud dengan masyarakat dan
bagaimana posisi masyarakat dalam pemerintahan daerah.
Korten (1986:2) menjelaskan istilah masyarakat yang secara populer merujuk pada
sekelompok orang yang memiliki kepentingan bersama. Namun kemudian ia justeru lebih
memilih pengertian yang berasal dari dunia ekologi dengan menerjemahkan masyarakat
sebagai “an interacting population of organisms (individuals) living in a common location”.
Pengertian terakhir yang diacu oleh Korten tersebut telah menyentuh aspek
spasial dalam kehidupan sekelompok orang. Pendapat ini diperjelas oleh Midgley (1986:
24-5) yang mengungkapkan bahwa konsep masyarakat jarang sekali didefinisikan dalam
literatur meski ia menjadi isu sentral. Pihak yang berwenangpun seringkali tidak
memberikan batasan secara formal meski menggunakan istilah masyarakat untuk
merujuk pada socio-spatial entity.
Dengan mengacu pada apa yang diungkapkan oleh PBB, Midgley kemudian
mengungkap bahwa penekanan pada aspek lokalitas tetap juga membingungkan karena
masyarakat secara bersamaan bisa mengacu pada ketetanggaan, desa, kecamatan, kota
bahkan kota besar. Untuk mengatasi persoalan ini lalu disarankan agar peranserta
masyarakat berlangsung dalam “small communities comprised of individuals at the lowest level
of aggregation at which people organize for common effort”. Penekanan pada pengelompokan
yang terendah ini seringkali oleh banyak penulis diarahkan pada unit organisasi sosio-
spasial yang terendah, yakni desa (village).
Pembatasan pada lingkungan spasial yang terendah tersebut masih menyisakan
persoalan jika unit analisis peranserta masyarakat berada pada tingkatan pemerintahan
daerah, seperti kota atau kabupaten. Pada kenyataannya, masyarakat juga dikelompokkan
pada berbagai tingkatan administrasi yang memiliki konsekuensi batas-batas teritorial
tempat masyarakat tersebut secara bersama-sama menjalankan peranserta dalam
pemerintahan daerah. Menghadapi persoalan ini, Leach & Percy-Smith (2001: 9-12)
menawarkan dua pendekatan untuk mendefinisikan masyarakat.
Pendekatan pertama merumuskan masyarakat dari pola kehidupan dan pekerjaan
orang-orang (effective community). Pendekatan ini menyiratkan adanya pembedaan antara
masyarakat perkotaan atau pedesaan atau kesaling-tergantungan ekonomis antara kota

24
dan desa. Dengan demikian, masyarakat lebih diartikan sebagai sekelompok orang yang
memiliki kesamaan. Ini berarti menunjuk pada penduduk dalam wilayah geografis
tertentu dan diasumsikan mereka tinggal dalam batas-batas teritorial pemerintah daerah
tertentu. Mereka membayar pajak kepada dan menerima layanan masyarakat dari
pemerintah daerah tertentu, dan mereka merasa menjadi bagian daripadanya.
Pendekatan kedua memusatkan perhatian pada cara orang mengidentifikasikan
dirinya dan cara mereka merasakan loyalitas tertentu. Pendekatan ini seringkali disebut
sebagai affective community. Masyarakat tidak dihubungkan dengan wilayah, tetapi lebih
dihubungkan dengan konteks tertentu yang mempengaruhi identitas dan loyalitasnya.
Ada pengaruh budaya dan pola kehidupan yang kompleks. Seringkali terjadi seseorang
yang bertempat tinggal di kota tertentu, bekerja dikota yang lain, berbelanja di kota yang
lain lagi, dan berasal dari kota yang berbeda lagi. Pendekatan ini dipengaruhi oleh
mobilitas sosial dan geografis dari banyak orang yang memiliki beragam identitas dan
loyalitas.
Menghadapi kenyataan ini, Leach & Percy-Smith (2001: 35-36) mengakui bahwa
masyarakat tetap menjadi istilah yang elastis dan tak pasti. Ia masih menjadi istilah yang
problematis karena menyangkut beragam kepentingan dan perasaan orang-orang. Ia bisa
dibatasi berdasarkan area maupun perasaan seseorang. Untuk mengatasi hal ini mereka
berpendapat bahwa masyarakat dalam pemerintahan daerah lebih diarahkan pada
bagaimana orang-orang menyebut dirinya masyarakat, apakah sebagai warga, konsumen,
dan pengguna layanan. Selain itu, masyarakat bisa lebih diarahkan pada cara mereka
dipengaruhi dan mempengaruhi pelayanan masyarakat yang mendukung kualitas
hidupnya. Namun demikian, aspek kewilayahan juga tidak dapat dihindari begitu saja
karena menyangkut proses kebijakan.
3. Ruang Lingkup Peran serta
Dengan mengutip apa yang diungkapkan dalam the Oxford English Dictionary,
Rahnema (1992: 116) memulai pembahasannya mengenai peranserta sebagai “the action or
fact of partaking, having or forming a part of”. Dalam pengertian ini, peranserta bisa bersifat
transitif atau intransitif, bisa pula bermoral atau tak bermoral. Kandungan Pengertian
tersebut juga bisa bersifat dipaksa atau bebas, dan bisa pula bersifat manipulatif maupun
spontan.
Peran serta transitif apabila ia berorientasi pada tujuan tertentu. Sebaliknya,
peranserta bersifat intransitif apabila subyek tertentu berperan serta dengan tanpa tujuan
yang jelas. Peranserta memenuhi sisi moral apabila tujuan yang hendak dicapai sesuai
dengan etika. Dalam pengertian ini peranserta mengandung konotasi positif. Begitu pula
sebaliknya, jika kegiatan berperan serta ditujukan pada tujuan yang tidak sesuai dengan
etika maka ia disebut sebagai tak bermoral. Dalam perspektif yang lain, peran serta juga
berkonotasi positif apabila ia dipersepsi sebagai tindakan bebas yang oleh subyek,
bukannya terpaksa dilakukannya atas nama peranserta.
Akhirnya peranserta juga bisa dibedakan apakah ia bersifat manipulatif atau
spontan. Partipasi yang dimanipulasi mengandung pengertian bahwa partisipan tidak
merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu namun sesungguhnya ia diarahkan untuk
berperan serta oleh kekuatan diluar kendalinya. Oleh karena itu, peranserta bentuk ini
juga sering disebut sebagai teleguided participation. Sementara itu, Midgley (1986: 27)
menjelaskan peranserta spontan sebagai “a voluntary and autonomous action on the part of the
people to organize and deal with their problems unaided by government or other external agents”.

25
Pengertian yang diacu oleh Rahnema di atas tentu masih bersifat terlalu umum,
sehingga diperlukan definisi yang lebih jelas dan khusus bagi studi administrasi negara.
Bryant & White (1988: 268-76) telah menggambarkan pengertian peranserta yang lebih
mendalam pada bidang administrasi pembangunan sebagai peranserta oleh masyarakat
atau oleh penerima manfaat proyek dalam pembuatan rancangan dan pelaksanaan
proyek. Selanjutnya mereka menguraikan kandungan makna yang tersirat dalam
pengertian peranserta ini bahwa ia merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan
perasaan orang lain, perhatian yang mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang
akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat, serta
kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak lain terhadap suatu
kegiatan.
Menurut Bryant & White (1988: 270-2), semula peranserta hanya didefinisikan
secara politis sepenuhnya sebagaimana yang berkembang pada tahun 1950an dan 1960an.
Dalam pengertian ini peranserta diartikan sebagai pemungutan suara, keanggotaan dalam
partai, kegiatan dalam perkumpulan sukarela, gerakan protes, dan lain sebagainya.
Dengan mengutip pendapat Joan Nelson, mereka mengungkap bahwa peranserta politis
ini dapat dibagi dalam dua arena, yakni peranserta horisontal dan vertikal. Yang pertama
melibatkan masyarakat secara kolektif untuk mempengaruhi keputusan kebijakan.
Sementara yang kedua terjadi ketika anggota masyarakat mengembangkan hubungan
tertentu dengan kelompok elit dan pejabat yang bermanfaat bagi kedua-belah pihak.
Pada tahun 1970an, peranserta mulai dihubungkan dengan proses administratif
dengan menambahkan kegiatan peran serta dalam proses implementasi sehingga individu
dan kelompok dapat mengejar kepentingan yang bertentangan dan bersaing
memperebutkan sumber daya yang langka. Dengan mengutip studi yang dilakukan Uma
Lele pada tahun 1975, Bryant & White (1988: 275) menulis bahwa peranserta dalam
perencanaan dan pelaksanaan program dapat mengembangkan kemandirian yang
dibutuhkan oleh anggota masyarakat pedesaan demi akselerasi pembangunan. Selain itu,
mereka mengusulkan pula perluasan konsep peranserta yang tidak hanya mencakup
proses perencanaan dan pelaksanaan tetapi juga peranserta dalam penerimaan manfaat.
Argumen yang disampaikan adalah adanya kemungkinan masyarakat tidak mendapat
manfaat dari kontribusi yang diberikannya. Bryant & White (1988: 276) mengingatkan
pula agar konsep peranserta tidak dipersempit hanya pada aspek penerimaan manfaat
belaka karena akan mengubah pengertian umum peranserta. Aspek penerimaan manfaat
merupakan pelengkap dari cakupan pada proses perencanaan dan pelaksanaan sehingga
membawa manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
Selain peran serta dalam perencanaan, implementasi, dan penerimaan manfaat,
Griesgraber & Gunter (1996: 144-5) menambahkan aspek yang lain yakni evaluasi dengan
mengartikan peranserta sebagai “mechanism for enabling affected people to share in the creation
of a project or program, beginning with identification all the way through to implementation and
evaluation”. Dengan demikian, maka konsep peranserta menjadi sedemikian luas mulai
dari aspek perencanaan, implementasi, evaluasi, sampai penerimaan manfaat.
Pengertian peran serta di atas tentu sudah lebih mendalam dibandingkan definisi
yang diuraikan pertama kali, akan tetapi dari hal tersebut masih belum menunjukkan
sentuhan dimensi spasial dari pemahaman terhadap istilah peranserta. Midgley (1986: 23-
4) telah membantu mengatasi persoalan ini dengan membedakan konsep peranserta
popular dengan peran serta masyarakat. Peranserta popular berkenaan dengan isu yang

26
luas tentang pembangunan sosial dan penciptaan peluang keterlibatan rakyat dalam
kehidupan politik, ekonomi, dan sosial dari suatu bangsa. Selanjutnya Korten (1986: 9)
menjelaskan lebih jauh bahwa peran serta jenis ini didesain oleh ahli perencanaan dari
pusat dan dijalankan melalui badan pembangunan yang tersentralistis, hierarkis, dan
terikat oleh peraturan yang diikuti dengan wewenang yang kecil dari fungsionaris lokal
untuk menyesuaikan program dengan kebutuhan atau keinginan lokal. Asumsi yang
dipegang adalah pegembangan peranserta pada tingkat nasional bertujuan untuk
menjamin pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan trickle down effect atas manfaat
pembangunan.
Sementara itu, peran serta masyarakat berkonotasi “the direct involvement of
ordinary people in local affairs”. Midgley memperjelas pengertian peranserta masyarakat ini
dengan mengacu pada salah satu definisi yang termuat dalam resolusi PBB pada awal
tahun 1970an. Definisi tersebut adalah: “the creation of opportunities to enable all members of a
community and the larger society to activley contribute to and influence the development process
and to share equitably in the fruits of development”.
Mengenai batasan apa yang tercakup dalam peranserta masyarakat, Midgley
(1986: 25-7) mengungkapkan adanya dua pandangan. Yang pertama berdasar pada United
Nations Economic and Social Council resolution 1929. Resolusi ini menyatakan bahwa
peranserta membutuhkan keterlibatan orang-orang secara suka rela dan demokratis
dalam hal: (a) sumbangsihnya terhadap usaha pembangunan, (b) penerimaan manfaat
secara merata, dan (c) pengambilan keputusan yang menyangkut penentuan tujuan,
perumusan kebijakan dan perencanaan dan penerapan program pembangunan sosial dan
ekonomi. Mengacu pada pandangan ini, peranserta dapat dibedakan menjadi dua hal.
Peranserta otentik (authentic participation) yang merujuk pada terpenuhinya ketiga kriteria
di atas. Jika tidak seluruh kriteria tersebut dapat dipenuhi maka hal ini akan disebut
peranserta semu (pseudo-participation).
Tentu peran serta yang ideal adalah peranserta otentik. Namun jenis peranserta ini
dianggap terlalu ambisius karena memerlukan perubahan struktur sosial yang nyata dan
redistribusi kekuasaan besar-besaran yang tentunya sulit dipenuhi oleh banyak negara
berkembang. Oleh karena itu, PBB pada tahun 1981 mengajukan pandangan yang berbeda
tentang definisi peranserta masyarakat dengan menekankan pada “autonomy and self-
reliance in participation”. Selanjutnya, dibedakan pula berbagai jenis peranserta
berdasarkan pandangan ini, yakni: coerced participation yang sangat dikecam, induced
participation yang dianggap terbaik kedua, dan spontaneous participation sebagai model
ideal peranserta. Midgley (1986: 27) kemudian menegaskan bahwa peranserta masyarakat
disebut tercapai apabila program yang diinginkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat
secara efektif terpelihara oleh mereka setelah semua dukungan eksternal berakhir.
Pandangan ini secara praktek dianggap lebih relevan karena mempertimbangkan
kapasitas masyarakat dan mengakui adanya kebutuhan akan bantuan eksternal dalam
pengembangan peranserta masyarakat.
Dengan mempertimbangkan berbagai uraian di atas maka, peranserta masyarakat
mencakup peran serta dalam proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan penerimaan
manfaat pembangunan dengan mempertimbangkan otonomi dan kemandirian
masyarakat. Tampaknya pandangan terakhir ini sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh
Sjahrir (1988: 320) bahwa : Pengertian peranserta dalam pembangunan bukanlah semata-mata
peranserta dalam pelaksanaan program, rencana, dan kebijaksanaan pembangunan, tetapi juga

27
peranserta yang emansipatif. Artinya sedapat mungkin penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi
semakin mengacu pada motto pembangunan, dari, oleh, dan untuk rakyat.
Dari penjelasan mengenai cakupan makna dari peranserta masyarakat di atas,
maka dapat dipahami bahwa peranserta dalam arti luasnya mencakup pula involvement
dan empowerment. Peranserta berentang mulai dari pembuatan kebijakan,
implementasinya sampai dengan kendali warganegara terhadapnya. Peranserta dapat
terjadi bila ada demokrasi. Terjadi perubahan pandangan masyarakat terhadap
peranserta. Kini, masyarakat tidak lagi memandang peranserta masyarakat sebagai
sebuah kesempatan yang diberikan oleh pemerintah karena kemurahan hatinya.
Peranserta lebih dihargai sebagai suatu layanan dasar dan bagian integral dari local
governance. Dalam citizen-centred government, peranserta masyarakat merupakan alat bagi
good governance (Antoft & Novack: 1998: 81).
4. Area Kebijakan Partisipatif
Peranserta masyarakat dapat berlangsung dalam beberapa area pengambilan
keputusan (Burns, et al., 1994: 160), yakni : pertama, praktek operasional yang
menyangkut perilaku dan kinerja pegawai dalam institusi masyarakat, isu-isu yang
berkaitan dengan aspek lainnya dalam kualitas pelayanan masyarakat, keterandalan dan
keteraturan pelayanan, fasilitas bagi pengguna jasa dengan kebutuhan tertentu dan lain
sebagainya. Kedua, keputusan pembelanjaan yang berkaitan dengan anggaran yang
didelegasikan, anggaran yang menyangkut modal besar, sampai pada anggaran
pendapatan menyeluruh yang mencakup gaji pegawai dan biaya rutin bagi kantor
tertentu dan pemeliharaannya, termasuk peningkatan pendapatan melalui peningkatan
pajak lokal. Ketiga, pembuatan kebijakan yang menyangkut tujuan-tujuan strategis dari
pelayanan tertentu, rencana strategis bagi pembangunan kawasan dan fasilitas tertentu,
dan prioritas pembelanjaan dan keputusan alokasi sumber daya lainnya.
5. Bentuk Peran serta Masyarakat
Antoft dan Novack (1998) juga mengungkapkan berbagai bentuk peranserta
(dalam pengertian lebih sempit) yang bisa dilakukan oleh komunitas untuk
memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya bisa berlangsung secara
simultan untuk memberikan kesempatan bagi penduduk menikmati akses peranserta
yang lebih besar karena tidak semua penduduk pada waktu yang bersamaan, di tempat
yang sama, dengan kepentingan yang sama dapat berperanserta secara langsung dan
bersama-sama. Ada kendala waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya yang membatasi
peranserta masyarakat ini. Bentuk-bentuk peranserta tersebut meliputi : electoral
participation, lobbying, getting on council agenda, special purpose bodies, dan special purpose
participation.
Berbagai bentuk peranserta masyarakat (dalam arti luas) dalam pemerintahan
daerah berdasarkan pengalaman berbagai negara di dunia telah dijelaskan oleh Norton
(1994: 103-9) yang berkisar pada : pertama, referenda bagi isu-isu vital di daerah tersebut,
dan penyediaan peluang inisiatif warga untuk memperluas isu-isu yang terbatas dalam
referenda. Kedua, melakukan decentralization in cities (desentralisasi di dalam kota) kepada
unit-unit yang lebih kecil sehingga kebutuhan, tanggung jawab dan pengambilan
keputusan lebih dekat lagi kepada masyarakat. Ketiga, konsultasi dan kerjasama dengan
masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Dan yang keempat adalah
peranserta dalam bentuk sebagai elected member (anggota yang dipilih). Semakin banyak
anggota dewan yang dipilih secara proporsional jumlah penduduk maka semakin tinggi

28
peransertanya. Semakin kecil rasio anggota dewan dibandingkan dengan jumlah
penduduk maka semakin besar derajat peransertanya. Meski demikian, rasio tersebut
bervariasi antar daerah di seluruh dunia bergantung pada kondisi masing-masing.

29
BAB III
RUANG LINGKUP PENGATURAN
A. Asas dan Tujuan
Peranserta masyarakat dilaksanakan berdasarkan asas persamaan kedudukan
dalam pemerintahan, kebebasan berpendapat dan berserikat, dan keterbukaan.
Peranserta masyarakat bertujuan untuk :
1. Meningkatkan proses pertukaran informasi antara masyarakat, Pemerintah Kota,
dan DPRD;
2. Meningkatkan pertagungjawaban masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah;
3. Menyediakan wahana pendidikan politik bagi masyarakat;
4. Pemberdayaan masyarakat dalam pengambilan kebijakan daerah.
B. Ruang Lingkup dan Bentuk Peranserta
Peranserta masyarakat meliputi:
1. Peranserta dalam pengelolaan pembangunan;
2. Peranserta dalam pembentukan peraturan daerah.
Peranserta masyarakat berbentuk:
1. dengar pendapat umum;
2. korespondensi;
3. audiensi;
4. diskusi masyarakat;
5. terlibat dalam sidang terbuka di eksekutif maupun legislatif;
6. rapat umum;
7. demonstrasi;
8. bentuk-bentuk lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan dan ketertiban umum.
C. Hak dan Kewajiban
Masyarakat berhak:
1. Masyarakat berhak untuk berperanserta di dalam pengambilan keputusan
pengelolaan pembangunan.
2. Masyarakat berhak untuk berperanserta di dalam pengambilan kebijakan
pembentukan peraturan daerah.
3. Hak untuk berperanserta dalam pengelolaan pembangunan maupun dalam
pengambilan kebijakan pembentukan peraturan daerah meliputi:
a. Hak mendapatkan informasi;
b. Hak menyampaikan saran, pendapat, keberatan, dan ikut terlibat dalam
pengambilan keputusan;
c. Hak untuk terlibat dalam persidangan terbuka yang dilakukan eksekutif
maupun legislatif;
d. Hak menolak atas rencana proyek pembangunan dan rancangan peraturan
daerah yang merugikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat serta
lingkungan hidup;
e. Hak gugat masyarakat atas proses pembentukan perda dan keputusan
pengelolaan pembangunan.

4. Kewajiban masyarakat:

30
1. Masyarakat yang berperanserta wajib mengemukakan dan memberikan data
dan bahan pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Masyarakat yang berperanserta wajib menyampaikan aspirasi dengan cara-cara
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan ketertiban
umum.
D. Kewenangan dan Kelembagaan
Walikota dan DPRD bertanggung jawab atas pengembangan kelembagaan di
bidang peran serta masyarakat. Komisi Daerah Peranserta Masyarakat melaksanakan
tugas peningkatan, penumbuhkembangan, pemfasilitasian, dan pemotivasian peranserta
masyarakat. Komisi Daerah Peranserta Masyarakat berwenang untuk:
1. memfasilitasi, menyediakan informasi dan mendukung proses perumusan
masalah kebijakan daerah yang diusulkan masyarakat;
2. mengakomodir, menindaklanjuti, dan menyampaikan setiap aspirasi masyarakat
yang berkaitan dengan kebijakan daerah kepada instansi terkait;
3. menguji kebenaran, kelayakan dan ketetapan setiap tahapan pengambilan
kebijakan daerah yang diajukan oleh warga masyarakat berdasarkan peraturan
perundang-undangan, prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, serta kelayakan
teknis dan standar minimal bidang atau sektor yang menjadi tugas dan tanggung
jawab masing-masing instansi;
4. menyelenggarakan Referendum Warga Kota;
5. membuat laporan tentang dugaan adanya tindak pidana peranserta masyarakat
kepada pejabat penyidik pegawai negeri sipil;
6. melaporkan hasil pengujian kebenaran, kelayakan dan ketetapan setiap tahapan
pengambilan kebijakan daerah yang diajukan oleh warga masyarakat kepada
Walikota.
7. Pemda berwenang melakukan pengelolaan dana kelembagaan
Komisi Daerah Peran serta Masyarakat bersifat mandiri dalam melaksanakan
tugasnya serta beranggotakan 5 orang dipimpin oleh seorang koordinator bersifat kolektif
kolegial. Masa jabatan anggota Komisi Daerah Peranserta masyarakat adalah 5 tahun yang
keanggotaannya mewakili unsur LSM, Masyarakat, Organisasi Masyarakat, Akademisi,
dan Pers. Anggota Komisi Daerah Peranserta masyarakat dicalonkan oleh masyarakat
kemudian dipilih oleh DPRD melalui tes kelayakan dan kepatutan. Walikota
mengesahkan anggota Komisi Daerah Peranserta masyarakat sebagaimana yang dipilih
oleh DPRD. Biaya operasional Komisi Daerah Peranserta masyarakat dialokasikan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. KOMDA Peran serta Masyarakat
mempertanggungjawabkan laporan kegiatan dan keuangan kepada DPRD setiap 1(satu)
tahun sekali dan menginformasikan LPJ kepada masyarakat setiap 1(satu) tahun sekali.

E. Bentuk Peran serta dalam Pengelolaan Pembangunan


1. Tahap Perencanaan
Masyarakat di sekitar proyek pembangunan harus dimintai persetujuan atas rencana
pembangunan yang akan dilaksanakan. Masyarakat disekitar proyek pembangunan juga
dapat menolak rencana pembangunan apabila akan merugikan kepentingan pendidikan,
budaya, agama, dan lingkungan. Peranserta masyarakat dalam perencanaan
pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan:

31
a. merumuskan permasalahan diberbagai bidang pembangunan dengan
menganalisis, menentukan dan merumuskan permasalahan pokok yang dihadapi;
b. meminta informasi tentang rencana pembangunan;
c. merumuskan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi dan perlu diatasi oleh
instansi yang berwenang;
d. merumuskan rencana program dan kegiatan sesuai aspirasi dan kebutuhan
masyarakat.
2. Tahap Pelaksanaan
Masyarakat baik lembaga maupun perorangan harus dilibatkan dalam pelaksanaan
pembangunan Daerah. Peranserta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan Daerah
dapat dilaksanakan dengan:
a. ikut melaksanakan pembangunan baik secara swadaya tenaga, pikiran dan materi;
b. meminta informasi tentang perkembangan pelaksanaan pembangunan;
c. melaksanakan pembangunan dari dana Pemerintahan Kota;
d. membantu kelancaraan pelaksanaan pembangunan;
e. berperanserta memberikan kejelasan mengenai maksud dan tujuan pembangunan
kepada masyarakat luas.
3. Tahap Pengawasan
Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan harus diberikan kesempatan
untuk melakukan pengawasan atas setiap pelaksanaan pembangunan didaerahnya.
Peranserta masyarakat dalam pengawasan pembangunan Daerah dapat dilaksanakan
dengan:
a. mengamati secara langsung pelaksanaan pembangunan;
b. meminta informasi tentang perkembangan hasil pelaksanaan pembangunan;
c. melakukan koreksi apabila ada kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan;
4. Tahap Evaluasi
Peranserta masyarakat dalam evaluasi pembangunan Daerah dilaksanakan dengan
mengkuti rapat atau pertemuan evaluasi yang melibatkan Pemerintah Kota, DPRD,
Pelaksana Proyek Pembangunan dan pihak lain yang terkait.
5. Pelaporan
Setiap pelaksanaan pengelolaan pembangunan dapat dilaporkan perkembangannya
oleh masyarakat kepada Walikota dan/atau Komisi Daerah Peranserta Masyarakat.
Pelaporan tersebut meliputi seluruh tahapan pengelolaan pembangunan daerah termasuk
hambatan, kendala dan perkembangan kemajuan serta keberhasilan dilakukan dalam
bentuk lisan maupun tertulis. Setiap laporan yang masuk wajib diteliti kebenarannya dan
ditindaklanjuti oleh Komisi Daerah Peranserta Masyarakat. Pelaksanaan penelitian
tersebut dilakukan dengan:
a. mewawancari secara mendalam pihak-pihak yang terkait;
b. meminta pendapat ahli;
c. melakukan survey atau jajak pendapat;
d. melakukan observasi atau pengamatan;
e. mengkaji aspek hukum, ideologi, politik, sosial, budaya, dan keamanan;
f. cara-cara lain yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan praksis dan teoritis.
6. Tahap Pemeliharaan

32
Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan dapat dilibatkan dalam
pemeliharaan hasil pembangunan didaerahnya. Peranserta masyarakat dalam
pemeliharaan pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan tindakan menjaga,
mempertahankan dan melestarikan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan.
7. Peran serta masyarakat dalam Pembentukan Raperda
Masyarakat baik lembaga maupun perorangan harus dilibatkan dalam pembentukan
rancangan peraturan daerah baik di tingkat Pemerintah Kota maupun di tingkat DPRD
Kota. Bentuk pelibatan tersebut antara lain:
a. konsultasi masyarakat;
b. dengar pendapat umum;
c. jajak pendapat; dan/atau
d. lokakarya lintas pelaku;
Perwakilan masyarakat baik lembaga maupun perorangan diberi kesempatan untuk
mengikuti persidangan pembahasan rancangan peraturan daerah yang dinyatakan
terbuka untuk umum sebagai pengamat. Pemerintah Kota atau alat kelengkapan DPRD
harus menyediakan tempat yang memungkinkan perwakilan masyarakat dengan seksama
mengamati seluruh proses pembahasan rancangan peraturan daerah. Masyarakat baik
lembaga maupun perorangan mengajukan permohonan kepada Komisi Daerah Peranserta
Masyarakat untuk mengamati sidang pembahasan rancangan peraturan daerah. Komisi
Daerah Peranserta masyarakat menentukan perwakilan masyarakat yang akan
mengamati sidang pembahasan rancangan peraturan daerah mengigat keterbatasan ruang
dan tempat yang tersedia. Dalam hal rancangan peraturan daerah dibentuk untuk
mengatur masalah lingkungan hidup daerah, rencana tata ruang dan wilayah, retribusi,
dan pertanahan harus dengan persetujuan masyarakat melalui Referendum Warga Kota.
Referendum Warga Kota diselenggarakan oleh Komisi Daerah Peranserta Masyarakat.
8. Sumber Dana
Sumber dana peranserta masyarakat berasal dari:
a. Swadaya masyarakat;
b. Alokasi dana dari APBD;
c. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9. Mekanisme Gugatan Masyarakat
Masyarakat yang dirugikan karena akibat tidak dilibatkannya dalam pembuatan
kebijakan pembangunan dan atau pengelolaan pembangunan, dapat melakukan gugatan
kepada pemerintah daerah.
10. Ketentuan Penyidikan
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Kota diberi
wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Hukum
Acara Pidana. Wewenang penyidik tersebut adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan agar
keterangan atau laporan menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain;

33
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap
barang bukti;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas;
g. menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada
saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau
dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h. mengambil gambar seseorang yang terkait dengan tindak pidana;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
j. menghentikan penyidikan;
Penyidik harus memberitahukan dimulainya penyidikan (SPDP) dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan
hukum acara pidana.
11. Ketentuan Pidana
Ketentuan pidana dikenakan pada perbuatan:
a. menghalang-halangi masyarakat untuk berperanserta dalam pengelolaan
pembangunan dan pembentukan rancangan peraturan daerah;
b. tidak memberikan kesempatan masyarakat untuk berperanserta dalam
pengelolaan pembangunan dan pembentukan rancangan peraturan daerah.
Instansi pemerintah yang melakukan tindak pidana juga diancam dengan
hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

BAB IV
PENUTUP

34
A. Kesimpulan
Bertolak dari paparan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal
penting sebagai berikut:
1. Sebagai perwujudan esensi demokrasi dan tujuan desentralisasi, maka peranserta
masyarakat dalam pemerintahan daerah merupakan suatu keniscayaan.
2. Untuk merealisasi peranserta masyarakat yang bersifat nyata dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka diperlukan adanya payung hukum
yang kuat dalam bentuk peraturan daerah.
3. Seyogyanya perda tersebut mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat setempat
tentang penyelenggaraan peranserta masyarakat yang efektif.
4. Peraturan daerah tentang peranserta masyarakat ini harus dapat mengakomodasi
segenap aspirasi dan prakarsa masyarakat setempat dalam penyelenggaraan
pelayanan masyarakat dan pembangunan di daerah dalam bingkai Negara
Kesatuan Remasyarakat Indonesia.
B. Saran-Saran
Saran-saran yang penting dalam naskah akademis sebagai berikut:
1. DPRD maupun Pemkot Malang perlu segera membahas raperda peran serta
masyarakat ini sehingga membuka peluang berkembangnya demokratisasi
daerah.
2. Diperlukan adanya kesadaran bersama dari segenap stakeholder pemerintahan
daerah untuk mewujudkan peranserta masyarakat yang nyata dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
3. Diperlukan adanya peluang advokasi masyarakat dalam penyusunan perda
peranserta masyarakat.

2. Contoh Undang-Undang

35
36

Anda mungkin juga menyukai