Anda di halaman 1dari 43

PENGERTIAN KONSEP-KONSEP BESCHIKING ATAU K-TUN DAN

REGELING ATAU PERATURAN KEBIJAKAN

MAKALAH

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Administrasi
Negara yang diampu oleh:

Dr. H. Tatang Astarudin, S.H., M.Si


Nanang Koyim, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

Lina Budiarti 1173050059

Mohamad Gio Mufti 1173050067

Neneng Tia Monika 1173050085

Fitri Sukma Jauhari 1173050134

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
2018
Kata Pengantar

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan begitu banyak nikmat. Baik nikmat Iman maupun nikmat Islam. Tak
lupa kami menyampaikan sholawat serta salam kepada nabi Muhammad SAW.

Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan makalah


ini, dalam mata kuliah Hukum Administrasi Negara dengan topik Pengertian
Konsep-Konsep Beschiking atau K-TUN dan Regeling atau Peraturan
Kebujaksanaan. Kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak Dr. H. Tatang Astarudin, S.H., M.Si dan Bapak Nanang Koyim, S.H,
M.H . selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Administrasi Negara serta
semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih begitu banyak kekurangan dan


kesalahan baik isinya maupun struktur penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca, umumnya untuk pengembangan di Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

Bandung, Oktober 2018

Penyusun

i
Daftar Isi

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar
Isi...................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 Permulaan Kata


Beschikking..................................................................3

2.2 Freies Ermessen.....................................................................................4

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Definisi Keputusan (Beschikking) dan Tindakan Beschikking Pejabat


TUN
A. Definisi Keputusan (Beschikking)........................................5
B. Tindakan Beschikking Pejabat TUN Indonesia....................7
3.2 Unsur-Unsur dan Macam-Macam Keputusan (Beschikking)
A. Unsur – Unsur Keputusan (Beschikking).............................7
B. Macam – Macam Keputusan (Beschikking).......................14
3.3 Syarat – Syarat Pembuatan Keputusan (Beschikking).........................18
3.4 Definisi Peraturan Kebijakan (Regeling) dan Peran Pejabat TUN
A. Pengertian Peraturan Kebijakan (Regeling).......................23
B. Tindakan Regeling Pejabat TUN Indonesia.......................24
3.5 Ciri-Ciri dan Fungsi Peraturan Kebijakan (Regeling)
A. Ciri – Ciri Peraturan Kebijakan (Regeling)........................24
B. Fungsi Peraturan Kebijakan (Regeling).............................25

ii
3.6 Penormaan Peraturan Kebijakan (Regeling)........................................26

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan.........................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Untuk mencegah penyalahgunaan jabatan dan wewenang atau lebih tepat


untuk mencapai dan memelihara adanya pemerintahan dan administrasi yang baik,
yang bersih (behoorlijk bestuur), maka da beberapa asas kebonafidean pemerintah
atau administrasi negara, yang dapat dibagi menjadi dua golongan atau kategori,
yaitu (a) asas-asas mengenai proseur dan atau proses pengambilan keputusan,
yang bilamana dilanggar secara otomatis membuat keputusan yang bersangkutan
batal karena hukum tanpa memeriksa lagi kasusnya, (b) asas- asas mengenai
kebenaran dari fakta-faktanya yang dipakai sebagai dasar untuk pembuatan
keputusannya. 1

Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam bidang hukum publik


bersifat unilateral. Unilateral adalah doktrin atau agenda apapun yang mendukung
tindakan sepihak. Tindakan seperti itu bisa saja muncul karena tidak suka dengan
pihak lawan atau sebagai bentuk komitmen mencapai tujuan yang disepakati
semua pihak. Dan dalam hal ini pemerintah memiliki hak untuk membuat
Beschikking.

Menurut UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,


Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata
Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.

Dengan adanya bestuurszorg, menjadi tuga pemerintah suatu negara hukum


modern membawa suatu konsekuensi khusus bagi administrasi negara atau
penguasa. Sebagaimana kita lihat dalam negara Republik Indonesia, dalam rangka

1
Prajudi Atmosuirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 90

1
mencapai tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 Alinea keempat, yaitu “....untuk memajukan kesejahteraan umum......serta
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.2

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari Beschikking ?
2. Apa saja unsur-unsur dan macam-macam dari Beschikking ?
3. Bagaimana syarat-syarat dalam pembuatan Beschikking ?
4. Apa definisi dari Regeling ?
5. Apa saja ciri-ciri dan fungsi dari Regeling ?
6. Bagaimana penormaan dalam pembuatan Regeling ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui definisi dari Beschikking.
2. Untuk mengetahui unsur-unsur dan macam-macam dari Beschikking.
3. Untuk memahami syarat-syarat dalam pembuatan Beschikking.
4. Untuk mengetahui definisi dari Regeling.
5. Untuk mengetahui ciri-ciri dan fungsi dari Regeling.
6. Untuk memahami penormaan dalam pembuatan Regeling.

2
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 40

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Kewenangan Beschikking


Menurut Ridwan H.R (2014), instrumen pemerintah adalah alat
atau sarana yang digunakan pemerintah atau administrasi negara dalam
melaksanakan tugasnya. Dalam menjalankan tugas-tugasnya tersebut,
pemerintah atau administrasi negara melakukan tindakan hukum dengan
menggunakan sarana, seperti alat tulis menulis, sarana transportasi dan
kompleks gedung perkantoran, dan sebagainya yang termasuk dalam
publik domain atau kepunyaan publik. Disamping itu pemerintah juga
menggunakan berbagai instrumen dalam menjalankan kegiatan mengatur
dan menjelaskan urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, misalnya
peraturan perundang-undangan, keputusan, peraturan, perizinan, instrumen
hukum keperdataan dan sebagainya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (4) UU No. 5 Tahun 1986,
bahwa sengketa Tata Usaha Negara adalah adalah sengketa yang timbul
dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di
daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian KTUN merupakan
dasar lahirnya sengketa Tata Usaha Negara. Pasal 1 ayat (3) merumuskan
KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.3
2.2 Freies Ermessen

3
Philipus M. Hadjon dan kawan-kawan, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta,2015, hlm. 132

3
Keberadaan peraturan kebijakan tidak dapat dilepaskan dengan
kewenangan bebas (vrije bevoegdheid) dari pemerintah yang sering
disebut Freies Ermessen. Secara bahasa Freies Ermessen berasal dari kata
frei artinya bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka. Sedangkan Ermessen
artinya mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan.
Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai,
menduga dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini kemudian secara
khas digunakan dalam bidan pemerintahan, sehingga Freies Ermessen
diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi
pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan
tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. 4

BAB III

PEMBAHASAN
4
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 169-
170

4
3.1 Definisi Keputusan (Beschikking) dan Tindakan Beschikking Pejabat
TUN

A. Definisi Keputusan (Beschikking)

Ketetapan Tata Usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang


sarjana Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt. Istilah ini
diperkenalkan di Negeri Belanda Beschikking oleh Van Vollenhoven dan C.
W Van Der Vot, yang oleh beberapa penulis, seperti A. M Donner, H. D Van
Wijk / Willemkonijnenbelt dianggap sebagai “de vader van het modern
beschikkingsbegrip” (bapak dari konsep beschikking modern).

Di Indonesia istilah beschikking diperkenalkan pertama kali oleh WF


Prins, ada yang menerjemahkan istilah beschikking ini dengan “ketetapan”,
seperti E. Utrecht, Bagir Manan, Sjachran Basah, dan lain-lain, dan dengan
“keputusan” seperti WF Prins dan SF Marbun, dan lain-lain. Djenal Hoesen
dan Muchsan mengatakan bahwa penggunaan istilah keputusan barang kali
akan lebih tepat untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian dengan istilah
ketetapan. Menurutnya, di Indonesia istilah ketetapan sudah memiliki
pengertian teknis yuridis, yaitu sebagai ketetapan MPR yang berlaku ke luar
dan ke dalam. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, istilah beschikking itu
diterjemahkan dengan keputusan.

Istilah beschikking sudah sangat tua dan dari segi kebahasaan digunakan
dalam berbagai arti. Meskipun demikian, dalam pembahasan ini istilah
beschikking hanya dibatasi dalam pengertian yuridis, khususnya Hukum
Administrasi Negara. Menurut H. D Van Wijk / Willem Konijnenbelt,
beschikking merupakan keputusan pemerintah untuk hal yang bersifat konkret
dan individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak dulu sudah dijadikan
instrumen yuridis pemerintahan yang utama. Menurut P. Dee Haan dan
kawan-kawan, “De administratieve beschikking is de meest voorkomende en
ook meest bestudeerde betuurshandeling” (keputusan administrasi merupakan

5
bagian dari tindakan pemerintah yang paling banyak muncul dan paling
banyak dipelajari). Oleh karena itu, tidak berlebihan jika F.A.M Stroik dan J.
G Steenbeek menganggapnya sebagai konsep inti dalam Hukum Administrasi
Negara (een kernbegrip in her administratief recht).5

Definisi Ketetapan (Beschikking) menurut para ahli, diantaranya :

a. W. F PRINS
Beschikking adalah suatu tindakan hukum sepihak di bidang
pemerintahan, dilakukan oleh penguasa berdasarkan kewenangan
khusus.
b. E. UTRECHT
Beschikking adalah suatu perbuatan berdasarkan hukum publik
yang bersegi satu, ialah dilakukan oleh alat-alat pemerintah
berdasarkan suatu kekuasaan istimewa.
c. VAN DER POT
Beschikking adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh alat-alat
pemerintahan itu dalam menyelenggarakan hal khusus, dengan maksud
mengadakan perubahan dalam lapangan bidang hukum.

Sedangkan Definisi UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha


Negara adalah sebagai berikut :

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang


dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseoorang atau badan hukum perdata.6

B. Tindakan Beschikking Pejabat TUN Indonesia

Dalam buku Prajudi Atmosudirjo, Hakim pengadilan juga dapat


mengambil penetapan, misalnya apabila mengangkat wali bagi seorang anak,
Sahya Anggara, Hukum Administrasi Negara, Pustaka Setia, Bandung, 2018, hlm. 191-192
5

6
http://www.academia.edu/27677068/KETETAPAN_BESCHIKKING (Diakses pada tanggal 02
Oktober 2018 Pukul 19:36 WIB)

6
akan tetapi menetapannya diberi bentuk Putusan Hakim (vonis). Badan
legislatif pun dapat mengambil penetapan misalnya, ratifikasi dari pada suatu
perjanjian internasional dan penetapannya diberi bentuk Undang-Undang.

Semua penetapan yang diambil oleh Administrasi Negara dimuat atau


dituangkan dalam suatu keputusan, pada umumnya keputusan dilakukan
secara tertulis misalnya SK (surat keputusan), surat biasa, surat edaran,
ataupun berupa disposisi di bagian samping surat permohonan yang
bersangkutan. Penetapan atau keputusan Administrasi Negara bersifat negatif
bilamana terdapat penolakan terhadap permohonan dari warga masyarakat
yang bersangkutan.7

3.2 Unsur-Unsur dan Macam-Macam Keputusan (Beschikking)

A. Unsur-Unsur Keputusan
Berdasarkan beberapa definisi beberapa sarjana tersebut, tampak
ada beberapa unsur yang terdapat dalam beschikking yaitu, 1) pernyataan
kehendak sepihak (enjizdige schriftelijke wilsverklaring); 2) dikeluarkan
oleh organ pemerintahan (bestuursorgaan); 3) didasarkan pada
kewenangan hukum yang bersifat publik (publiekbevoegdheid); 4)
ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa konkret dan individual; 5)
dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang
administrasi.
Sebelum menguraikan unsur-unsur keputusan ini, terlebih dahulu
dikemukakkan pengertian keputusan berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang
Administrasi Belanda (AwB) dan menurut Pasal 1 angka (3) Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN yang sekarang menjadi Undang-
Undang No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN, yaitu sebagai berikut :

“Van de een bestaande rechtsverhounding of het scheppen van een nieuwe


rechtsverhouding, dan wel inhoudende de weigering tot zodanig
vaststellen, wijzigen, opheffen of scheppen”.

7
Prajudi Atmosuirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 94-95

7
(pernyataan kehendak tertulis secara sepihak dari organ pemerintahan
pusat, yang diberikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari
Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara, yang dimaksudkan
untuk penentuan, penghapusan atau pengakhiran hubungan hukum yang
sudah ada, atau menciptakan hubungan hukum baru, yang memuat
penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan, penghapusan atau
penciptaan).

Berdasarkan Pasal 1 angka (3) Undang Undang No. 5 Tahun 1986,


keputusan didefinisikan sebagai; “Suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata”.

Berikut ini akan dijelaskan unsur-unsur keputusan tersebut secara


teoretik dan berdasarkan hukum positif.

1. Pernyataan Kehendak Sepihak Secara Tertulis


Secara teoretik, hubungan hukum publik (publiekrechtsbetrekkin)
senantiasa bersifat sepihak atau bersegi satu ,
“Administratiefrechtelijke rechtshandelingen zijn enzijdige
rechtshandelingen” (tindakan Hukum Administrasi adalah tindakan
hukum sepihak). Oleh karena itu, hubungan hukum publik berbeda
halnya dengan hubungan hukum dalam bidang perdata yang selalu
bersifat dua pihak (tweejizdige) atau lebih, karena dalam hukum
perdata di samping ada kesamaan kedudukan juga ada asas otonomi
yang berupa kebebasan pihak yang bersangkutan untuk mengadakan
hubungan hukum atau tidak serta menentukan apa isi hubungan hukum
itu. Sebagai wujud dari pernyataan kehendak sepihak, pembuatan dan
penerbitan keputusan hanya berasal dari pihak pemerintah, tidak
tergantung kepada pihak lain.

8
Ketika pemerintah dihadapkan pada peristiwa konkret dan
pemerintah memiliki motivasi dan keinginan untuk menyelesaikan
peristiwa tersebut, pemerintah diberi wewenang untuk mengambil
tindakan hukum secara sepihak dengan menuangkan motivasi dan
keinginannya itu dalam bentuk keputusan. Artinya keputusan
merupakan hasil dari tindakan hukum yang dituangkan dalam bentuk
tertulis, sebagai wujud dari motivasi da keinginan pemerintah.
Menurut F. C. M. A. Michiels, keputusan adalah sebagai tindakan
hukum, yang merupakan wujud dari; motieven-wil-keuze-
gedrag/handeling 9alasan-alasan-kehendak-pilihan-tindakan). Telah
disebutkan bahwa tindakan hukum publik itu selalu bersifat sepihak,
sehingga keputusan merupakan hasil dari tindakan sepihak pemerintah
yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Dengan demikian, jelaslah
bahwa keputusan merupakan pernyataan kehendak sepihak secara
tertulis. Menurut Soeharjo, keputusan TUN adalah keputusan sepihak
dari organ pemerintah. Ini tidak berarti bahwa kepada pihak siapa
keputusan itu ditujukan sebelumnya sama sekali tidak mengetahui
akan adanya keputusan itu, dengan kata lain bahwa inisiatif
sepenuhnya ada pada pihak pemerintah. Pada umumnya para ahli
berpendapat bahwa keputusan ini adalah keputusan sepihak, karena
bagaimanapun keputusan itu tergantung dari pemerintah, yang dapat
memberikan atau menolaknya. Dengan kata lain, sepihak karena
pemerintah memutuskan untuk melakukan tindakan hukum itu
sepihak, artinya tanpa persetujuan kehendak pihak lainnya.
Pernyataan kehendak sepihak yang dituangkan dalam bentuk
tertulis itu muncul dalam dua kemungkinan, yaitu :
a. Ditujukan ke dalam (naar binnen gericht)
Yaitu keputusan berlaku ke dalam lingkungan administrasi
negara sendiri.
b. Ditujukan ke luar (naar buiten gericht)

9
Yaitu yang berlaku bagi warga negara atau badan hukum
perdata.

Atas dasar pembagian tersebut lalu dikenal dua jenis keputusan :

a. Keputusan intern (interne beschikking)


b. Keputusan ekstern (rxterne beschikking)

Keputusan yang relevan dengan pembahasan ini hanyalah keputusan


ekstern, yang ditujukan ke luar dari administrasi.

Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka (3) UU No. 5 Tahun 1986,


istilah “penetapan tertulis” menunjuk kepada isi dan bukan kepada
bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan
tertulis bukanlah bentuk formatnya seperti surat keputusan
pengangkatan dan sebagainya. Pernyataan tertulis itu diharuskan untuk
kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu, sebuah memo atau nota
dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut undang-
undang ini apabila sudah jelas :

a. Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarjannya;


b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu;
c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di
dalamnya.

Berdasarkan kriteria ini, dua contoh kasus di bawah ini akan


memperjelas bahwa kualifikasi penetapan tertulis, tidak dalam bentuk
formalnya, tetapi dari segi isi atau materinya, yaitu kasus
"surat”undangan” dan kasus “plank” atau papan nama bertuliskan
“tanah sengketa”, yaitu :

a. Paulus Djaja Santosa Tabeta yang beralamat di Cengkareng,


Jakarta Barat, memiliki sebidang tanah. Suatu ketika ada pihak lain

10
(Ny. Sriyanti) mengklaim bahwa tanah tersebut adalah miliknya.
Paulus merasa memiliki tanah tersebut karena mempunyai
selembar sertifikat hak pakai tertanggal 23 November 1987,
sedangkan Sriyanti memiliki bukti sertifikat hak pakai atas
namanya yang telah berakhir sejak 1982. Karena ada perselisihan
antara Paulus dan Sriyanti ini, kemudian Walikota turun tangan
dengan mengirimkan surat undangan kepada Paulus untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Akan tetapi, Paulus yang merasa
tidak perlu ada pihak lain yang ikut campur, tidak dapat menerima
adanya surat undangan Walikota tersebut, bahkan Paulus merasa
telah dirugikan dengan surat undangan itu, yakni Paulus tidak
dapat memperoleh IMB atas tanahnya dan Paulus juga tidak dapat
menjual tanah miliknya itu. Karena itu Paulus mengajukan gugatan
terhadap Walikota melalui PTUN Jakarta. Dan dugatan Paulus itu
diterima di PTUN.
b. Seseorang menggugat Kepala Desa sebagai tergugat I dan Camat
sebagai tergugat II. Alasan gugatan adalah bahwa penggugat
merasa keberatan atas pemasangan papan nama (plank) yang
bertuliskan “Tanah Sengketa” di atas tanah miliki penggugat.
Putusan PTUN Medan No. 06/G/1992/PTUN Mdn menyatakan
bahwa gugatan seorang warga terhadap Kepala Desa sebagai
tergugat I dan Camat sebagai tergugat II, diterima dan dikabulkan
sebagian.
Berdasarkan putusan PTUN, “Surat Undangan” dan
“Plank” tersebut dapat dikualifikasikan sebagai keputusan untuk
unsur penetapan tertulis. Unsur penetapan tertulis ini tidak harus
berbentuk surat keputusan formal. Unsur penetapan tertulis ini ada
pula pengecualiannya, yaitu Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 yang
dikenal dengan KTUN fiktif/negatif.8

8
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 143-
150

11
2. Dikeluarkan Oleh Pemerintah

Hampir semua bagian pemerintahan berwenang untuk


mengeluarkan keputusan atau keputusan. Dalam praktik kita mengenal
keputusan yang dikeluarkan oleh organ-organ kenegaraan, seperti
keputusan MPR, keputusan kedua DPR, keputusan Presiden sebagai
kepala negara dan sebagainya. Meskipun demikian, keputusan yang
dimaksud di sini hanyalah keputusan yang dikeluarkan oleh
pemerintah selaku administrasi negara. Keputusan yang dikeluarkan
oleh organ-organ kenegaraan tidak termasuk dalam pengertian
beschikking berdarkan Hukum Administrasi Negara.

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) No. 5 Tahun 1986, tata usaha


negara adalah administrasi yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintah baik di pusat ataupun di daerah.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“urusan pemerintah” adalah kegiatan yang bersifat eksekutif.
Beragamnya lembaga atau organ pemerintahan dan yang dipersamakan
engan organ pemerintah menunjukkan bahwa pengertian Badan atau
Pejabat TUN memiliki cakupan yang cukup luas, yang berarti luas
pula pihak-pihak yang dapat diberikan wewenang pemerintahan untuk
membuat dan mengeluarkan keputusan.9

3. Berdasarkan Peraturan Perundang Undangan yang Berlaku

Dalam negara hukum, setiap tindakan hukum pemerintah harus


didasarkan pada asas legalitas, berarti pemerintah tunduk pada undang-
undang. Esensi dari asas legalitas adalah wewenang, yaitu kemampuan
untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu.

Pembuatan dan penerbitan keputusan harus didasarkan pada


peraturan perundang-undangan yang berlaku atau harus didasarkan
pada wewenang pemerintah yang diberikan oleh peraturan perundang-
9
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 150-
151

12
undangan. Tanpa dasar kewenangan, pemerintah atau tata usaha negara
tidak dapat membuat dan menerbitkan keputusan atau keputusan itu
menjadi tidak sah. Organ pemerintah dapat memperoleh kewenangan
untuk membuat keputusan tersebut melalui tiga cara yaitu atribusi,
delegasi dan mandat.10

4. Bersifat Konkret, Individual dan Final


Berdasarkan Pasal 1 angka (3) UU No. 5 Tahun 1986, sebagaimana
disebutkan diatas, keputusan memiliki sifat konkret, individual dan
final. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa, konkret artinya objek
yang diputuskan oleh KTUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu
atau dapat ditentukan. Individual artinya KTUN itu tidak ditujukan
untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Jika
yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena
keputusan itu disebutkan. Final artinya sudah definitif dan karenanya
dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan
persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final
karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada
pihak yang bersangkutan.11
5. Menimbulkan Akibat Hukum
Tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan hukum yang
dilakukan oleh organ pemerintah untuk menimbulkan akibat-akibat
hukum tertentu khususnya di bidang pemerintahan atau administrasi
negara. Meskipun pemerintah dapat melakukan tindakan hukum privat,
dalam hal ini hanya dibatasi pada tindakan pemerintah yang bersifat
publik. Tindakan hukum ini terbagi dalam dua jenis, yaitu tindakan
hukum publik yang bersifat sepihak (eenzijdig) dan dua pihak atau
lebih (meerzijdig). Berdasarkan paparan tersebut tampak bahwa
keputusan merupakan instrumen yang digunakan oleh organ

10
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 151-
152
11
Ibid.

13
pemerintah dalam bidang publik dan digunakan untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum tertentu.
Dengan kata lain, akibat hukum yang dimaksudkan adalah muncul
atau lenyapnya hak atau kewajiban bagi subjek hukum tertentu.
Sebagai contoh mengenai akibat hukum yang muncul dari
dikeluarkannya keputusan atau pengangkatan atau pemberhentian
seorang pegawai negeri berdasarkan surat keputusan dari pejabat yang
berwenang.12
6. Seseorang atau Badan Hukum Perdata
Badan hukum keperdataan dalam keadaan dan alasan tertentu dapat
dikualifikasi sebagai jabatan pemerintah khususnya ketika sedang
menjalankan salah satu fungsi pemerintahan. 13
B. Macam – Macam Keputusan

Secara teoritis dalam Hukum Administrasi Negara , di kenal ada beberapa


macam dan sifat keputusan, yaitu sebagai berikut :

1. Keputusan Deklaratoir dan Keputusan Konstitutif


Keputusan Deklaratoir adalah keputusan yang tidak
mengubah hak dan kewajiban yang telah ada, tetapi sekedar
menyatakan hak dan kewajiban tersebut (rechtsvaststellende
beschikking). Contoh : pemberian izin cuti tahunan bagi PNS (PP
24/1996), Surat Cuti bersalin atau melahirkan bagi PNS,
pengunduran diri bagi PNS yang mengikuti partai. Keputusan ini
hanya mempunyai sifat menerangkan dan tidak mempunyai akibat
hukum.
Keputusan ini maksudnya mengakui hak yang sudah ada,
keputusan itu menimbulkan suatu hak baru yang sebelumnya tidak
di punyai seseorang yang haknya tidak tercantum dalam keputusan
itu, maka ia dinamakan keputusan konstitutif (rechtscheppend

12
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 154-
155
13
Ibid.

14
beschikking). Contoh : pemberian cuti karena alasan penting, IMB
dan AMDAL. Keputusan yang membuat hak, keputusan yang membuat
hubungan hukum, dan mempunyai akibat hukum.
Keputusan yang bersifat konstitutif dapat berupa hal – hal sebagai
berikut:
a. Beschikkingen die een verplichting opleggen om iets te doen, te
leaveof the dulden, (keputusan-keputusan yang meletakan
kewajiban untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau
memperkenalkan sesuatu),
b. Beschikking welke aan een persoon, een instelling of een zaak een
status verlenen, waardoor op die persoon of die zaak belpade
rechstregel van toepassing worden, (keputusan – keputusan yang
memberikan status pada seseorang atau perusahaan itu dapat
menerapkan aturan hukum tertentu).
c. Beschikkingen welke een prestatie van de overheid in het
vooruitzicht stelle, (keputusan – keputusan yang meletakan prestasi
atau harapan pada perbuatan pemerintah = subsidi atau bantuan).
d. Beschikking welke iets toestaan wat teroven niet geoorloofd was,
(keputusan yang mengijinkan sesuatu yang tadinya tidak diijinkan).
e. Besichikking welke aan besichikinngen van large organen werking
verlenen of bestaande werking ontnemen, ( keputusan – keputusan
yang menyetujui atau membatalkan berlakunya keoutusan organ
yang lebih rendah = pengesahan [goedkeuring] atau pembatalan
[ vernietiging].
2. Keputusan yang Menguntungkan dan yang Memberi Beban
Keputusan yang menguntungkan (begunstigende beschikking)
artinya keputusan itu memberikan hak - hak atau memberikan
kemungkinan untuk memperoleh sesuatu yang tanpa adanya
keputusan itu memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin
ada. Contoh : Subsidi, Raskin dan BLT.

15
Keputusan yang memberikan beban (belastende basichikking)
adalah keputusan yang meletakan kewajiban yang sebelumnya tidak
ada atau keputusan mengenai penolakan terhadap permohonan untuk
memperoleh keringanan. Contoh : Pajak.
Pemilihan jenis keputusan yang menguntungkan dan memberi
beban ini penting terutama dalam kaitanya pencabutan keputusan.
Dalam hal KTUN itu menguntungkan, gugatan bakal muncul pada
pihak ke III, sedangkan dalam hal KTUN memberi beban (misalnya
penetapan pajak), gugatan berasal dari pihak ke II.
3. Keputusan Eenmalig dan Keputusan yang Permanen

Keputusan Eenmalig adalah keputusan yang berlaku sekali atau


keputusan sepintas lalu, yang dalam istilah lain disebut keputusan yang
bersifat kilat (vluctige basichikking) seperti IMB atau ijin untuk
mengadakan rapat umum.

Keputusan permanen adalah keputusan yang memiliki masa waktu


berlaku yang relatif lama. Contoh : Pemerintah memberi lisensi,
Pemerintah memberi kosensi. AWF Prins menyebutkan keputusan
yang dianggap keputusan “sepintas lalu”, yaitu:

a. Keputusan yang dimaksud untuk mengubah teks keputusan yang


terdahulu
b. Keputusan negatif
c. Penarikan kembali atau pembatalan
d. Pernyataan yang dapat di laksanakan

4. Keputusan yang Bebas dan yang Terikat

Keputusan yang bersifat bebas adalah keputusan yang didasarkan


pada kewenangan bebas (vrije bevoegheid) atau kebebasan bertindak
yang dimiliki penjabat tata usaha negara baik dalam keputusan
bijaksana maupun kebebasan interpretasi. Misalnya : Bupati

16
berwenang melarang reklame dalam Bahasa Asing dalam demi
ketertiban umum.

Keputusan terikat adalah (gebondes bevoegdheid), artinya


keputusan ituhanya melakukan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya
ruang kebebasan bagi pejabat yang bersangkutan. Misalnya : Undang-
Undang Lalu lintas menyatakan, untuk memperoleh SIM A usia
minimal 17 tahun. Ketentuan tersebut harus dilaksanakan.

5. Keputusan Positif dan Negatif

Keputusan positif adalah keputusan yang menimbulkan hak dan


kewajiban bagi yang dikenakan putusan. Misalnya : keputusan tentang
pengangkatan seseorang menjadi PNS.

Keputusan negatif adalah keputusan yang tidak menimbulkan


Perubahan keadaan hukum yang telah ada. Misalnya : Penolakan atas
IMB.

Keputusan positif terdiri dari lima golongan, yaitu :

a. Keputusan, yang pada umumnya melahirkan keadaan hukum baru


b. Keputusan, yang melahirkan keadaan hukum baru bagi obyek
tertentu
c. Keputusan, yang menyebabkan berdirinya atau bubarnya badan
hukum
d. Keputusan, yang membebankan kewajiban baru kepada seseorang
atau kepada orang (perintah)
e. Keputusan, yang memberikan hak baru kepada seseorang atau
kepada beberapa orang (keputusan yang menguntungkan )

Keputusan negatif dapat berbentuk pernyataan tidak berkuasa


(onbevoegd verklaring), lernyataan tidak diterima (nietontvankelijk
verklaring) atau seusuatu penolakan (afwijzing). Keoutusan negatif yanh
di maksud disini adalah keputusan yang ditinjau dari keoutusan yang di

17
tinjau dari akibat hukumnya yakni tidak menimbulkan lerubahan hukun
yang ada. Bukan keptusan negatif atau fiktif aebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 UU no.5 tahu. 1986 tentang PTUN jo. UU No.9 tahun 2004
tentang perubahan UU PTUN tersebut.

6. Keputusan Perorangan atau Kebendaan

Keputusan perorangan (persoonlijk besichikking) adalah keputusan


yang diterbitkan berdasarkan kualitas pribadi irang tertentu atau keputusan
yang berkaitan dengan orang, seperti keputusan tentang pengangkatan atau
pemberihentian seseorang sebagai pegawai negeri atau penjabat negara,
surat ijin mengemudi dll.

Keputusan kebendaan (zakerlijkbesichikking) adalah keputusan yang


diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan atau keputusan yang berkaitan
dengan benda, seperti sertifikat hak atas tanah. Misalnya surat ijin
mendirikan bangunan atau ijin usaha industri (tertuju pada orang ), dan di
sisi lain keputusan itu memberikan keabsahan didirikan bangunan atau
industri (tertuju oada benda.14

3.3 Syarat – Syarat Pembuatan Keputusan

Pembuatan keputusan tata usaha negara harus memerhatikan beberapa


persyaratan agar keputusan itu menjadi sah menurut hukum (rechtsgeldig) dan
memiliki kekuatan hukum (rechtskracht) .Berikut syarat-syarat yang harus
diperhatikan :

1. Syarat-syarat materiil terdiri atas :


a. Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang
b. Karena keputusan suatu pernyataan kehendak,maka krputusan tidak
boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis seperti, penipuan,
paksaan atau suap dan kesesatan.
c. Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu

14
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 157-
161

18
d. Keputusan harus dapat dilaksanakan tanpa melanggar peraturan-
peraturan lain,serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan
isi dan tujuan peraturan dasarnya.
2. Syarat-syarat formal terdiri atas :
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya
keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus
dipenuhi.
b. Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya putusan itu.
c. Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu harus
dipenuhi.
d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu harus
diperhatikan.

Apabila syarat materiil dan formal ini telah terpenuhi maka keputusan itu
sah menurut hukum artinya diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau
sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara prosedural/formal ataupun
materiil.Sebaliknya, bila persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka keputusan
tersebut mengandung kekurangan dan menjadi tidak sah. F.H.Van der Burg dan
kawan-kawan menyebutkan bahwa keputusan dianggap tidak sah jika dibuat oleh
organ yang tidak berwenang,mengandung cacat bentuk,cacat isi dan cacat
kehendak. A.M.Donner mengemukakan akibat-akibat dari keputusan yang tidak
sah yaitu sebagai berikut.

1. Keputusan itu harus dianggap batal sama sekali


2. Berlakunya keputusan itu dapat digugat:
a. Dalam banding
b. Dalam pembatalan oleh jabatan
c. Dalam penarikan kembali oleh kekuasaan yang berhak mengeluarkan
keputusan itu.

19
3. Dalam hal keputusan tersebut,sebelum dapat berlaku, memerlukan
persetujuan suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, persetujuan itu
tidak diberi.
4. Keputusan itu diberi tujuan lain daripada tujuan permulaannya.

Van der Wel menyebutkan enam macam akibat suatu keputusan yang
mengandung kekurangan, yaitu sebagai berikut.

1. Batal karena hukum


2. Kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban untuk
membatalkan keputusan itu untuk sebagiannya atau seluruhnya.
3. Kekurangan itu menyebabkan bahwa alat pemerintah yang lebih tinggi
yang berkompeten untuk menyetujui atau meneguhkannya, tidak sanggup
memberi persetujuan atas peneguhan itu.
4. Kekurangan itu tidak memengaruhi berlakunya keputusan.
5. Karena kekurangan itu,keputusan yang bersangkutan dikonversi ke dalam
keputusan lain.
6. Hakim sipil (biasa) menganggap keputusan yang bersangkutan tidak
mengikat.

Meskipun suatu keputusan itu dianggap sah dan akan menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang itu atau badan hukum perdata, akan tetapi keputusan yang
tidak sah itu dengan sendirinya berlaku karena untuk berlakunya suatu keputusan
itu harus memerhatikan tiga hal berikut ini; pertama jika berdasarkan peraturan
dasarnya terhadap keputusan itu tidak memberi kemungkinan mengajukan
banding bagi yang dikenai keoutusan, maka keputusan itu mulai berlaku sejak
diterbitkan kedua, jika berdasarkan peraturan dasarnya terdapat kemungkinan
untuk mengajukan banding terhadap keputusan yang bersangkutan maka
keberlakuan keputusan itu tergantung dari proses banding itu. Ketiga jika
keputusan itu memerlukan pengesahan dari organ atau instansi pemerintah yang
lebih tinggi maka keputusan itu berlaku setelah mendapatkan pengesahan.

20
Kranenburg dan Vegting menyebutkan empat cara mengajukan permohonan
banding terhadap keputusan yaitu sebagai berikut.

1. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembatalan


keputusan pada tingkat banding, dimana kemungkinan itu ada.
2. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada
pemerintah supaya keputusan itu dibatalkan.
3. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat mengajukan masalahnya kepada
hakim biasa agar keputusan itu dinyatakan batal karena bertentangan
dengan hukum.
4. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat, -apabila karena tidak
memenuhinya keputusan itu- berusaha untuk memperoleh keputusan dari
hakim seperti yang dimaksudkan pada poin c.

Pada umumnya batas waktu mengajukan banding itu ditentukan dalam


peraturan dasar yang terkait dengan keputusan itu.Jika batas eaktu banding telah
berakhir dan tidak digunakan oleh mereka yang dikenai keputusan itu, maka
keputusan itu mulai berlaku sejak saat berakhirnya batas waktu banding itu.

Berkenaan dengan pengesahan terdapat tiga pendapat, yaitu sebagai berikut.

1. Karena berhak untuk memberikan persetujuan, pemerintah menjadi


pembuat serta undang-undang, jadi merupakan hak pengukuhan.
2. Hak memberikan persetujuan adalah hak placet, artinya melepaskan
tanggung jawab (jadi, pernyataan dapat dilaksanakan)
3. Persetujuan merupakan tindakan terus menerus, artinya tidak berakhir
pada saat diberikan, tetapi dapat ditarik kembali selama yang disetujuinya
masih berlaku.

Keputusan yang sah dan dapat berlaku dengan sendirinya akan memiliki
kekuatan hukum formal dan kekuatan hukum materiil. Kekuatan hukum formal
suatu keputusan ialah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena adanya
keputusan itu. Suatu keputusan mempunyai kekuatan hukum formal apabila
keputusan itu tidak lagi dibantah oleh suatu alat hukum. Dengan kata lain, tidak

21
dapat dibantah oleh pihak yang berkepentingan, hakim, organ pemerintahan yang
lebih tinggi, maupun organ yang membuat keputudan itu sendiri. Keputusan tata
usaha negara memiliki kekuatan hukum formal dalam hal :

1. Keputusan itu telah mendapat persetujuan untuk berlaku dari organ


pemerintahan yang lebih tinggi yang berhak menyetujui keputusan
tersebut.
2. Permohonan untuk banding terhadap keputusan tersebut ditolak taau tidak
dapat menggunakan hak banding untuk jangka waktu yang ditentukan oleh
undang-undang.

Adapun yang dimaksud keputusan yang memiliki kekuatan hukum materiil


adalah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi atau materi dari keputudan
itu. E.Utrecht menyebutkan bahwa suatu keputusan memiliki kekuatan hukum
materiil, bilamana keoutusan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang
membuatnya, kecuali peraturan perundang-undangan memberikan kemungkinan
pada pemerintah atau administasi negara untuk meniadakan keputusan tersebut.

Keputusan yang sah dan sudah dinyatakan berlaku, disamping mempunyai


kekuatan hukum formal dan materiil, juga akan melahirkan prinsip praduga
rechtmatig (het vermoeden van rechtmatigheid atau premsumtio justea causa).
Prinsip ini mengandung arti bahwa “Setiap keputusan yang dikeluarkan oleh
pemerintah atau administrasi negara itu dianggap sah menurut hukum”. Asas
praduga rechtmatig ini membawa konsekuensi bahwa setiap keputusan yang
dibuat pemerintah tidak untuk dicabut kembali kecuaku ada pembatalan dari
pengandilan. Lebih lanjut konsekuensi dari asas ini adalah pada dasarnya
keputusan yang telah dikeluarkan pemerintah tidak dapat ditunda pelaksanaannya
meskipun terdapat keberatan, banding, perlawanan, atau gugatan terhadap suatu
keputusan oleh pihak yang dikenai keputusan tersebut.

Asas praduga rechtmatig ini dianut pula oleh UU. No.5 Tahun 1986 tentang
PTUN jo UU No.9 Tahun 2004 tentang perubahan UU No.5 Tahun 1986 tentang
PTUN, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67 ayat (1) “Gugatan tidak menunda

22
atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang digugat” .Dalam penjelasannya disebutkan “Akan tetapi selama hal
itu belum diputus oleh pengadilan, maka Keputusan Tata Usaha Negara harus
dianggap menurut hukum. Dalam proses dimuka Pengadilan Tata Usaha Negara
memang dimaksudkan untuk menguji apakah dugaan bahwa Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak. Inilah dasar
hukum acara Tata Usaha Negara yang bertolak dari anggapan bahwa Keputusan
Tata Usaha Negara itu selalu menurut hukum. Dari segi perlindungan hukum,
maka Hukum Acara Tata Usaha Negara yang merupakan sarana hukum untuk
dalam keadaan konkret meniadakan anggapan tersebut. Oleh karena itu, pada
asasnya selama hal tersebut belum diputuskan oleh Pengadilan maka Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dianggap menurut hukum dan dapat
dilaksanakan. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, penggugat dapat mengajukan
permohonan agar selama proses berjalan, Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat itu diperintahkan ditundab pelaksanaannya.”

Meskipun asas praduga rechtmatig ini demikian penting dalam melandasi


setiap keputusan, namun asas ini tidak berarti meniadakan sama sekali
kemungkinan perubahan ,pencabutan atau penundaan keputusan tata usaha
negara.15

3.4 Definisi Peraturan Kebijakan (Regeling) dan Tindakan Regeling Pejabat


TUN

A. Definisi Peraturan Kebijakan (Regeling)


Menurut Philipus M. Hadjon, Peraturan Kebijakan pada hakikatnya
merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan untuk
menampakkan keluar suatu kebijakantertulis. Peraturan kebijakan hanya
berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tuga
pemerintah, karenanya tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi
peraturan perundang-undangan. Peraturan ini adalah semacam hukum

15
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 161-
169

23
bayangan dari undang-undang atau hukum. Oleh karena itu peraturan ini
disebut pula dengan istilah psudo-wetgeving (perundang-undangan semu)
atau spigelsrecht (hukum bayangan atau cermin).
B. Tindakan Regeling Pejabat TUN Indonesia

Perbuatan pemerintah yang dilakukan dalam bentuk mengeluarkan


peraturan atau regeling, dimaksudkan dengan tugas hukum yang diemban
pemerintah dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang sifatnya umum.
Maksud perkataan umum dalam pengertian regeling atau peraturan,berarti
bahwa pemerintah atau pejabat tata usaha negara sedang dalam upaya
mengatur semua warga masyarakat tanpa terkecuali, atau dengan perkataan
lain peraturan ini ditujukan kepada semua warga masyarakat tanpa terkecuali,
dan bukan bersifat khusus. Sebagai contoh adalah perbuatan pemerintah
menerbitkan peraturan, tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam upaya
mengajukan permohonan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) ataupun
Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Dalam kedua peraturan tersebut,
pemerintah tidak menyebut nama atau identitas orang perorang, akan tetapi
secara umum kepada setiap orang yang akan melaksanakan permohonan ke
dua akta hukum di atas.16

3.5 Ciri-Ciri dan Fungsi Peraturan Kebijakan (Regeling)

A. Ciri – Ciri Peraturan Kebijakan (Regeling)


J. H. Van Kreveld menyebutkan ciri-ciri peraturan kebijakan
sebagai berikut :
1. peraturan itu langsung atau tidak langsung, tidak didasarkan pada
ketentuan undang-undang formal atau UUD yang memberikan
kewenangan mengatur, dengan kata lain peraturan itu tidak
ditemukan dasarnya dalam undang-undang.
2. Peraturan itu, tidak tertulis dan muncul dalam serangkaian
keputusan-keputusan instansi pemerintahan dalam melaksanakan

16
http://www.academia.edu/27677068/KETETAPAN_BESCHIKKING (Diakses pada tanggal 02
Oktober 2018 Pukul 19:36 WIB)

24
kewenangan pemerintahan yang bebas terhadap warga negara, atau
ditetapkan secara tertulis oleh instansi pemerintah tersebut.
3. Peraturan itu memberikan petunjuk secara umum, dengan kata lain
tanpa pernyataan dari individu warga negara mengenai bagaimana
instansi pemerintahan melaksanakan kewenangan pemerintahannya
yang bebas terhadap setiap individu warga negara yang berada
dalam situasi yang dirumuskan dalam peraturan itu.

Bagir Manan menyebutkan ciri-ciri peraturan kebijakan sebagai


berikut :

1. Peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-


undangan.
2. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan
perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan
kebijakan.
3. Peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena
memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk
membuat keputusan peraturan kebijakan tersebut.
4. Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan Freies Ermessen dan
ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat
peraturan perundang-undangan.
5. Pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih diserahkan pada
doelnatigheid dan karena itu batu ujinya adalah asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
6. Dalam praktik diberi format dala berbagai bentuk dan jenis aturan,
yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman dan lain-
lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.
B. Fungsi dan Penormaan Peraturan Kebijakan

Menurut Marcus Lukman, peraturan kebijakan dapat difungsikan


secara tepatguna dan berdayaguna sebagai berikut :

25
1. Tepatguna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan yang
melengkapi, menyempurnakan dan mengisi kekurangan-
kekurangan yang ada peraturan perundang-undangan.
2. Tapatguna dan berdayaguna sebagai sarana pengaturan bagi
keadaan vacum peraturan perundang-undangan.
3. Tepatguna dan berdayaguna sebagai sarana pengaturan bagi
kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut,
layak, benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan.
4. Tepatguna dan berdayaguna sebagai sarana pengaturan untuk
mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah
ketinggalan zaman.
5. Tepatguna dan berdayaguna bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan
fungsi administrasi di bidang pemerintahan dan pembangunan
yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaharuan sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

3.6 Penormaan Peraturan Kebijakan (Regeling

Menurut Indroharto, pembuatan peraturan kebijakan harus


memerhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Ia tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang


mengandung wewenang diskreasioner yang dijabarkan itu;
2. Ia tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat;
3. Ia harus dipersiapkan dengan cermat; semua kepentingan, keadaan-
keadaan serta alternatif-alternatif yang ada perlu dipertimbangkan;
4. Isi dari kebijakan harus memberikan kejelasan yang cukup
mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari warga yang
terkena peraturan tersebut;
5. Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijakan
yang akan ditempuh harus jelas;
6. Ia harus memenuhi syarat kepastian hukum materiil, artinya hak-
hak yang telah diperoleh dari warga masyarakat yang terkena harus

26
dihormati, kemudian juga harapan-harapan warga yang pantas
telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.

Sedangkan dalam penerapan atau penggunaan peraturan kebijakan


harus memerhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Harus sesuai dan serasi dengan tujuan undang-undang yang


memberikan beoordelingsvrijheid (ruang kebebasan bertindak);
2. Serasi dengan asas-asas hukum umum yang berlaku, seperti:
a) Asas perlakuan yang sama menurut hukum;
b) Asas kepatutan dan kewajaran;
c) Asas keseimbangan;
d) Asas pemenuhan kebutuhan dan harapan; dan
e) Asas kelayakan mempertimbangkan segala sesuatu yang
relevan dengan kepentingan publik dan warga masyarakat.
3. Serasi dan tepatguna dengan tujuan yang hendak dicapai.

27
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Menurut W. F PRINS, Beschikking adalah suatu tindakan hukum sepihak di


bidang pemerintahan, dilakukan oleh penguasa berdasarkan kewenangan khusus.
Unsur-unsur dalam Beschikking diantaranya, (a) pernyataan kehendak sepihak
secara tertulis, (b) dikeluarkan oleh pemerintah, (c) berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, (d) bersifat konkret, individual dan final, (e)
menimbulkan akibat hukum, (f) seseorang atau badan hukum perdata.
Beschikking memiliki beberapa jenis atau macam, yaitu (a) keputusan deklaratoir
dan keputusan konstitutif, (b) keputusan yang menguntungkan dan yang memberi
beban, (c) keputusan eenmalig dan keputusan yang permanen,(d) keputusan yang
bebas dan yang terikat, (e) keputusan positif dan negatif, (f) keputusan perorangan
dan kebendaan. Kemudian, syarat-syarat pembuatan Beschikking syarat materil
dan syarat formal.

Menurut Philipus M. Hadjon, Peraturan Kebijakan pada hakikatnya


merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan untuk
menampakkan keluar suatu kebijakantertulis. Bagir Manan menyebutkan ciri-ciri
peraturan kebijakan sebagai berikut : (a) Peraturan kebijakan bukan merupakan
peraturan perundang-undangan., (b) Asas-asas pembatasan dan pengujian
terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan
kebijakan, (c) Peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena
memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat
keputusan peraturan kebijakan tersebut, (d) Peraturan kebijakan dibuat
berdasarkan Freies Ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan
membuat peraturan perundang-undangan, (e) Pengujian terhadap peraturan

28
kebijakan lebih diserahkan pada doelnatigheid dan karena itu batu ujinya adalah
asas-asas umum pemerintahan yang baik, (f) Dalam praktik diberi format dala
berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran,
pengumuman dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.
Menurut Marcus Lukman, peraturan kebijakan dapat difungsikan secara tepatguna
dan berdayaguna sebagai berikut : (a) Tepatguna dan berdaya guna sebagai sarana
pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan dan mengisi kekurangan-
kekurangan yang ada peraturan perundang-undangan, (b) Tepatguna dan
berdayaguna sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vacum peraturan
perundang-undangan, (c) Tepatguna dan berdayaguna sebagai sarana pengaturan
bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak,
benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan, (d) Tepatguna dan
berdayaguna sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan
perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman, (e) Tepatguna dan
berdayaguna bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi di bidang
pemerintahan dan pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan
pembaharuan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

29
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Diana Halim Koentjoro. 2004. Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia :


Bogor.

Miftah Thoha. 2005. Ilmu Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada :


Jakarta.

Philipus M. Hadjon dan kawan-kawan. 2015. Pengantar Hukum Administrasi


Indonesia. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

Prajudi Atmosudirjo. 1994. Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia :


Jakarta.

Ridwan HR. 2014. Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada :


Jakarta.

Sahya Anggara. 2018. Hukum Administrasi Negara. Pustaka Setia : Bandung.

Internet :

http://www.academia.edu/27677068/KETETAPAN_BESCHIKKING

30
LAMPIRAN

1. Kapan Beschikking atau Keputusan Tata Usaha Negara dikeluarkan


dan sebutkan contohnya ?
Jawab :
Penjelasan keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), menurut
Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, didefinisikan
sebagai berikut:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Contoh beschikking:

SURAT KEPUTUSAN

DEKAN FAKULTAS HUKUM

 UNIVERSITAS ISLAM TRUNOJOYO MADURA

NOMOR: 599/ FH-A.1-IV/IX/2012

Bismillahirrahmanirrahim

DEKAN FAKULTAS HUKUM

 UNIVERSITAS ISLAM TRUNOJOYO MADURA

 Menimbang:

31
1. Bahwa untuk mendukung terwujudnya iklim akademik yang Islami  di
lingkungan Fakultas Hukum Universitas Islam Trunojoyo Madura,  perlu
diciptakan suasana kampus yang kondusif, bernuansa akademik, dan Islami.
2. Bahwa untuk  mewujudkan iklim  akademik yang Islami sebagaimana
butir 1 di atas, perlu ditegaskan dengan kebijakan fakultas  khususnya berkaitan
dengan kewajiban mahasiswa berpakaian yang memenuhi ketentuan syari’at
Islam dan norma kesopanan.
3. Bahwa untuk melaksanaan dan mewujudkan tujuan pada butir 1 dan 2 di
atas, diperlukan Surat Keputusan Dekan.
4. Bahwa Passal 21 SK Rektor No. 045/I/2010 tentang Peraturan Tata Tertib
Mahasiswa Universitas Islam Trunojoyo Madura yang selama ini berlaku,
dipandang perlu untuk ditegaskan kembali berlakunya di lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Islam Trunojoyo Madura.

Mengingat:

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi;
3. Surat Keputusan Pimpinan Besar Nahdlatul Ulama Nomor 19/SK-
PP/111.B/1999 tentang Qaidah Perguruan Tinggi Islam
4. Statuta Universitas Islam Trunojoyo Madura.
5. SK Rektor No. 045/I/2010 tentang Peraturan Tata Tertib Mahasiswa
Universitas Islam Trunjoyo Madura.

Memperhatikan:

1. Hasil audensi Pimpinan Fakultas dengan DPM dan Ormawa Fakultas


Hukum UITM lainnya dan Pengelola Mentoring Al-Islam ahlussunnah
waljamaah selama tahun 2011-2012.
2. Hasil Rapat Kerja Fakultas Hukum Universitas Islam Trunojoyo Madura
tahun 2012.

32
MEMUTUSKAN

Menetapkan

KEPUTUSAN DEKAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM TRUNOJOYO MADURA

TENTANG

TATA TERTIB BERBUSANA ISLAMI BAGI MAHASISWA


FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM TRUNOJOYO MADURA

Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:

1)      Fakultas Hukum Universitas Islam Trunojoyo Madura, adalah Fakultas


Hukum Perguruan Tinggi Islam yang mengemban amanat menyelenggarakan
pendidikan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, bersemangat amar
makruf nahi mungkar, dan berusaha menjalankan syari’at Islam.

2)      Tata tertib adalah seperangkat aturan yang mengatur mahasiswa.

3)      Aurat adalah aurat laki-laki dan perempuan seperti lazimnya pendapat ahli
fiqh. Aurat Perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
Aurat Laki-laki adalah antara pusar dan lutut.

4)      Aktivitas adalah segala kegiatan mahasiswa yang bersifat akademik dan non
akademik.

5)      Mahasiswa adalah seluruh peserta didik yang terdaftar di Biro Administrasi
Akademik.

6)      Kampus adalah fasilitas lembaga pendidikan dengan segenap lingkungan


fisik dan non fisik.

33
7)      Sanksi adalah hukuman akademik dan atau administratif yang dijatuhkan
kepada mahasiswa atas pelanggaran ketentuan dalam surat keputusan ini.

8)      Pelanggaran adalah segala bentuk perbuatan yang bertentangan dengan


ketentuan yang berlaku dalam surat keputusan ini.

9)      Larangan adalah segala perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh
mahasiswa.

Pasal 2
1)      Setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Trunojoyo Madura,
dalam beraktifitas di kampus berkewajiban berpakaian dan berpenampilan yang
sesuai dengan syari’at Islam dan memenuhi norma kesopanan.

2)      Untuk mahasiswa laki-laki, wajib berpakaian yang menutup aurat, sopan
dan pantas,  mengatur rambutnya dengan rapi, tidak bertato, tidak mengenakan
perhiasan (asesoris) sebagaimana dikenakan perempuan, tidak mengenakan sandal
dan atau kaos tanpa krah (oblong).

3)      Untuk mahasiswa perempuan yang beragama Islam, wajib berpakaian


menutup aurat, cukup longgar dan  tidak transparan, tidak memakai make up dan
perhiasan (asesoris) yang berlebihan, tidak memakai anting-anting atau giwang
atau sejenisnya di bagian hidung, bibir, dan atau pada bagian tubuh manapun
selain pada bagian telinga, mengenakan sandal, kaos oblong dan atau pakaian
kurang pantas lainnya.

4)      Bagi mahasiswa  yang tidak beragama Islam, mempunyai kewajiban yang
sama sebagaimana ayat (1), (2), dan (3) di atas, kecuali kewajiban berjilbab
(menutup kepala) bagi perempuan.

Pasal 3
1)      Bagi mahasiswa yang melanggar ketentuan Pasal 2, diberikan sanksi tidak
berhak mendapatkan layanan akademik apapun, seperti:

34
1. Mengikuti perkuliahan di dalam dan di luar kelas.
2. Mengikuti Ujian Tengah Semester, Ujian Akhir Semester, Pembekalan
Akhir, dan Ujian Skripsi/Tugas Akhir.
3. Mengurus surat-menyurat/administrasi (Ijin Penelitian, KRS, KHS, dll).
4. Konsultasi bimbingan Akademik.
5. Konsultasi tugas akhir/skripsi.

2)      Pihak yang menerapkan (sanksi) Ketentuan Pasal 3 adalah pihak yang
berkompeten, seperti Dosen Pengampu mata kuliah, Dosen Pembimbing
Akademik, Dosen pembimbing Skripsi/Tugas Akhir, Karyawan Administrasi, dan
Pimpinan Fakultas.

3)      Pimpinan Fakultas, dosen, karyawan administrasi, dan Ormawa Fakultas


Hukum secara bersama bertanggungjawab untuk  mensosialisasikan dan
menegakkan peraturan ini.

Pasal 4
1)      Surat Keputusan Dekan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

2)      Surat Keputusan Dekan ini akan ditinjau kembali jika terdapat kekeliruan.

Ditetapkan di :      Bangkalan

Tanggal           : 03 Mei  2012

Dekan FH UITM,

Prof. Dr. Helmy Boemiya, S.H., L.L.M

2. Bagaimana pendapat kelompok 3 mengenai Aparatur Sipil Negara


yang tidak memenuhi hak dan kewajibannya sebagai PNS ?
Jawab :

35
Menurut pendapat kelompok kami terkait ASN ( Aparatur Sipil
Negara ) yang tidak memenuhi hak dan kewajibannya selain karena faktor
moral dan attitude yang buruk dari ASN tersebut, pemerintah juga sudah
mengatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Disiplin
Pegawai Negeri Sipil. Hukuman disiplin diberikan tidak lain adalah untuk
memperbaiki serta mendidik Pegawai Negeri Sipil itu sendiri, serta untuk
melancarkan aktifitas penyelenggaraan tugas-tugas kedinasan secara baik.
Hukuman disiplin dapat dibagi menurut tingkat dan jenis, masing-masing.
Di dalam pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor : 53 Tahun 2010
disebutkan bahwa hukuman disiplin terdiri dari :

Tingkatan hukuman disiplin : (1) Hukuman disiplin ringan; (2)


Hukuman disiplin sedang; dan (3) Hukuman disiplin berat. Jenis hukuman
disiplin ringan terdiri dari : (1) Teguran lisan; (2) Teguran tertulis; dan (3)
Pernyataan tidak puas secara tertulis. Jenis hukuman disiplin sedang terdiri
dari : (1) Penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun; (2)
Penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan (3) Penurunan
pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun. Jenis hukuman
disiplin berat terdiri dari : (1) Penurunan pangkat setingkat lebih rendah
selama 3 (tiga) tahun; (2) Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan
setingkat lebih rendah; (3) Pembebasan dari jabatan (4) Pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan (5)
Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

3. Jelaskan perbedaan antara Diskresi dan Beschikking ?


Jawab :
Menurut Pasal 1 Angka 9 UU 30/2014, Diskresi adalah keputusan
dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat
pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan
yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas,
dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

36
Beschikking adalah salah satu bentuk kegiatan pemerintah dalam
menjalankan peranannya yang tergolong dalam perbuatan hukum
pemerintah (Rechtshandelingen).
Perbedaannya :

No Bechikking Diskresi
.
1 Selalu bersifat individual dan Terminologi hukum
concrete
2 Pengujiannya melalui Instrumen kebijakan yang
gugatan di peradilan tata membawa hubungan hukum baru
usaha negara dan atau akibat hukum tertentu
3 Bersifat sekali-selesai Merupakan kebebasan bertindak
(enmahlig) sesuatu (freies ermessen) demi
kepentingan umum

4. Dalam UU ASN, Siapa yang berhak mem-PTUN-kan ASN ?


Jawab :

Dalam UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara


Paragraf 12 tentang Pemberhentian berikut ini :

Pasal 87

(1) PNS diberhentikan dengan hormat karena:

a. meninggal dunia;

b. atas permintaan sendiri;

c. mencapai batas usia pensiun;

d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan


pensiun dini; atau

e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan


tugas dan kewajiban.

37
(2) PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan
karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan
hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang
dilakukan tidak berencana.

(3) PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena
melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat.

(4) PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena:

a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang


telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya
dengan jabatan dan/atau pidana umum;

c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau

d. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki


kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan
berencana.

Pasal 88

(1) PNS diberhentikan sementara, apabila:

a. diangkat menjadi pejabat negara;

b. diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural; atau

c. ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.

(2) Pengaktifan kembali PNS yang diberhentikan sementara sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian.

38
Pasal 89

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian, pemberhentian


sementara, dan pengaktifan kembali PNS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87 dan Pasal 88 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Yang berhak mem ptun kan ASN tersebut adalah instansi atau
pejabat yang berwenang diatas ASN tersebut.

5. Mengapa sengketa Beschikking pengajuannya ke PTUN, berbeda


dengan Regeling yang pengajuannya ke MA ?
Jawab :
Beschikking lebih bersifat individual, bagi orang atau badan hukum
perdata yang merasa dirugikan atas keputusan tersebut, mengajukan
gugatan tertulis ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Regeling pengajuannya ke MA karena Mahkamah Agung dapat
mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup
diatur dalam Undang-undang ini.
 

39

Anda mungkin juga menyukai