Anda di halaman 1dari 70

BAB IV

PEMBAHASAN
Bentuk Hukum Pokok-Pokok Haluan Negara dan Penegakan Sanksi

Hukum

Mendudukkan rekomendasi terhadap pentingnya haluan negara dalam

berbagai argumentasi terhadap bentuk hukumnya apabila dihadirkan kembali,

maka dalam bagian ini peneliti akan menguraikan kedudukan haluan negara

yang dikonstruksikan dalam UUD 1945, ditempatkan dalam TAP MPR, maupun

tetap dalam posisi yang diuraikan dalam suatu Undang-Undang. Pilihan dalam

bentuk hukum ini selain akan dibandingkan dengan praktek di beberapa negara,

juga akan melihat keberlakuannya apakah akan memberikan konsekuensi

destruktif dalam sistem Presidensial yang dianut oleh Indonesia saat ini.

4.1. Bentuk Hukum Pokok-Pokok Haluan Negara

4.1.1. Pokok-Pokok Haluan Negara Dalam UUD 1945

Pilihan bentuk hukum terhadap pengaturan pokok-pokok haluan negara

dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945) tidak dapat dilepaskan dalam lintasan

sejarah antara wewenang MPR yang diberikan oleh UUD 1945 (sebelum

perubahan) untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). 1

Dengan demikian, MPR sebagai penjelmaan dari seluruh kepentingan dan

aspirasi rakyat Indonesia memegang kedaulatan negara sekaligus memiliki

posisi paling vital dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, khususnya


1
Selain menetapkan UUD 1945, MPR juga berwenang untuk menentapkan Garis-Garis Besar
Daripada Haluan Negara. Lihat Pasal 3 UUD 1945 sebelum perubahan.

1
terkait pilihan terhadap dasar dan kebijakan apa yang akan dipilih oleh

penyelenggara negara, khususnya Presiden sebagai pihak eksekutif.

Konstruksi yuridis dari adanya kewenangan tersebut tidak terlepas dari

posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara saat itu. Akan tetapi, setelah

dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, MPR tidak lagi ditempatkan

sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan memiliki kedudukan yang sama

dengan lembaga tinggi negara lainnya, seperti DPR, dan Presiden. Perubahan

UUD 1945 ini berakibat fundamental dengan dihapusnya GBHN dalam sistem

hukum dan ketatanegaraan di Indonesia.

Apabila mencermati perdebatan dalam sidang perubahan UUD oleh Badan

Pekerja MPR, nampak penghapusan GBHN berkaitan dengan perubahan model

pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya dipilih oleh MPR

dirubah dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Sehingga muncul pandangan

dengan dipilih langsung oleh rakyat, maka tidak dibutuhkan lagi keberadaan

GBHN dikarenakan Presiden bukan lagi mandataris MPR. Pilihan ini

memberikan ruang bagi Presiden terpilih untuk menentukan rencana dan

mekanisme pembangunan yang dikehendakinya.2

Lahirnya pilihan tersebut, ternyata tidak serta merta mendapatkan

dukungan dari anggota MPR itu sendiri untuk menghapuskan GBHN dalam

posisi penting dalam mendukung pelaksanaan program Presiden, meskipun


2
Lutfil Ansori, Haluan Negara Sebagai Pedoman Kebijakan Dasar Negara Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat Kenegaraan, Justicia Islamica: Jurnal Kajian
Hukum dan Sosial, Vol. 16, No.1, Juni 2019, Hlm. 88

2
Presiden sudah tdiak dipilih lagi oleh MPR. Realitas GBHN yang mendukung

pembangunan pada masa sebelum dilakukannya perubahan UUD 1945 menjadi

salah satu bagian yang sangat terikat dengan kedudukan seorang Presiden.

Pendapat ini sebagaimana disampaikan oleh Ahmad Zacky Siradj dari Fraksi

Utusan Golongan yang menyatakan bahwa:3

“Kenapa kami di dalam Fraksi Utusan Golongan masih mementingkan


pandangan tentang GBHN, saya kira Garis-garis Besar Haluan Negara? Ini
pada dasarnya karena paket calon itu digodok oleh partai-partai politik
yang akan dilempar kepada masyarakat umum. Saya kira partai-partai
politik juga sudah mendasarkan diri kepada visi dan misi yang akan
dirumuskan. Dan kalau ini diperjuangkan sebagai satu ikatan di dalam
Majelis maka kelembagaan itu akan menjadi semacam memiliki wewenang
untuk menilai seberapa jauh visi dan misi dari pada Presiden itu sendiri”

Berdasarkan hal tersebut, adanya upaya mempertahankan GBHN

merupakan upaya mempertahankan sebagai eksistensi MPR dalam mendukung

setiap kebijakan yang dipilih Presiden, bukan semata-mata mempengaruhi

kekuasaan Presiden dalam sistem Presidensil. Berkaitan dengan itu jika di tarik

benang merah kebelakang, bahwa dalam perspektif pemikiran pendiri bangsa,

usaha bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan negara seperti tertuang

dalam pembukaan UUD 1945, harus bersandar pada tiga konsensus

fundamental, yaitu: Pancasila sebagai falsafah dasar, UUD sebagai hukum atau

norma dasar, dan Haluan Negara sebagai kebijakan dasar. Apabila Pancasila

mengandung prinsip-prinsip filosofis, Konstitusi mengandung prinsip-prinsip

3
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2001 Buku Dua, Sekretariat Jenderal MPR
RI, Jakarta, 2009, Hlm. 382.

3
normatif, maka haluan negara mengandung prinsip-prinsip direktif. 4 Adanya

kesepakatan ini menunjukkan bahwa haluan negara diciptakan sebagai

perangkat guna menuntun penyelenggara pemerintahan negara dalam upaya

mewujudkan tujuan bernegara.

Secara khusus tentang haluan negara yang mengandung prinsi-prinsip

direktif atau directive principle of state policy (DPSP) merupakan prinsip-prinsip

umum yang memandu pemerintah dalam tindakannya saat ini dan arah masa

depan mengenai bangsa dan rakyatnya. Prinsip ini selain menggambarkan

haluan negara sebagai cita-cita yang harus dipertimbangkan oleh negara dalam

perumusan kebijakan dan membuat undang-undang untuk mengamankan

“keadilan sosial, ekonomi dan politik” bagi semua orang, juga mengandung

“maksud dan tujuan negara” dibawah konstitusi. 5 DPSP adalah seperangkat

prinsip yang menghidupkan aspirasi rakyat dan bangsa. Dalam hal ini Chinnapa

menyatakan bahwa “directive principles specify the programs and the mechanics

of the state to attain the constitutional goals set out in the preamble”. 6 Selanjutnya

ditegaskan bahwa DPSP adalah core and living constitutional principles.7 Hal

senada juga dapat menggambarkan DPSP sebagai “collection of constitutional

provisions that require a state to carry out certain obligations in fulfilment of its

4
Yudi Latif, “Rancang Bangun GBHN”, Kompas, Edisi 30 Agustus 2016
5
Berihun Adugna Gebeye, The Potential of Directive Principles of State Policy for the Judicial
Enforcement of Socio-Economic Rights: A Comparative Study of Ethiopia and India, ICL
Journal, Verlag Ö sterreich, hlm. 3-4.
6
Ibid, hlm. 4
7
Ibid.

4
mandate for the citizenry”.8 Dalam bahasa serupa dikatakan oleh Ceazar bahwa

DPSP adalah “blue-prints for good governance and social justice for all” yang

memandu bangsa untuk mewujudkan cita-cita nasionalnya.9

Haluan negara sebagai tuntunan maupun panduan dalam kehidupan

kenegaraan Indonesia secara tidak langsung juga dapat memberikan batasan

agar penyelenggara negara dalam hal ini eksekutif (Presiden) tidak secara

‘serampangan’ menggunakan kekuasaannya untuk menjalankan program

pemerintahannya. Prinsip seperti ini sama halnya dengan prinsip

konstitusionalisme yang membatasi kekuasaan dalam konstitusi.

Posisi negara yang menganut prinsip konstitusi sebagai hukum dasar dan

sekaligus hukum tertinggi seperti di Indonesia membawa efek pada kepatuhan

seluruh elemen negara pada batasan-batasan yang telah ditentukan oleh

konstitusi. Adanya ruang untuk menghadirkan batasan-batasan kekuasaan

negara tersebut pada pemahaman teori konstitusi kontemporer disebut dengan

paham konstitusionalisme. Konstitusi dan konstitusionalisme memiliki

keterkaitan erat satu sama lain. Dapat dikatakan bahwa salah satu unsur negara

berdasarkan hukum adalah adanya konstitusi atau UUD.10

Menurut Carl J. Friedrich, konstitusionalisme adalah gagasan bahwa

pemerintahan merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh

8
Ibid.
9
Ibid.
10
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung:
Alumni, 1993. h. 104-105.

5
dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang

diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yan diperlukan untuk

pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk

memerintah.11

Secara khusus di Indonesia, hal-hal pokok yang menjadi dasar sendi

konstitusionalime menurut Taufiqurrohman Syahuri adalah konstitusi atau UUD

dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi khusus, yaitu

menentukan dan membatasi kekuasaan disatu pihak dengan melakukan

perimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di pihak lain,

menjamin hak-hak asasi dan hak-hak politik dari warga negaranya. 12

Lebih lanjut menurut Sri Soemantri, bahwa ruang lingkup kajian dalam

materi muatan konstitusi sebagai pengejawantahan paham pembatasan

kekuasaan ada tiga (3) materi muatan dalam sebuah konstitusi, antara lain: 13

1) Adanya pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan


warganya
2) Adanya pengaturan tentang susunan ketatanegaraan Negara yang
mendasar.
3) Adanya pengaturan tentang pembagian dan pembatasan tugas-tugas
ketatanegaraan yang juga mendasar

11
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008. h. 171.
12
Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia
1999-2002, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004. h. 37-38.
13
Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia pemikiran dan Pandangan, Bandung: PT Remaja
Posdakarya, 2015, h. 10.

6
Sementara itu, menurut Dahlan Thaib ruang lingkup konstitusionalime

terdiri dari:14

1) Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.


2) Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
3) Peradilan yang bebas dan mandiri.
4) Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi
utama dari asas kedaulatan rakyat.
Merujuk pendapat tentang pokok-pokok konstitusionalime diatas, agaknya

secara jelas bahwa konstitusi bukan hanya memberikan ruang bagi cabang

kekuasaan untuk melaksanakan tugas kenegaraannya, namun konstitusi juga

memberikan proteksi dalam bentuk pembatasan agar setiap cabang kekuasaan

negara tidak menyelahgunakan setiap kewenangan dan kekuasannya. Oleh

sebab itu, adanya pembatasan ini senafas dengan maksud dari adanya haluan

negara yang menjadi pembatas dalam segi positif, yakni untuk menjadi ‘early

warning’ dalam menuntun atau memandu penyelenggara negara. Bukan

pembatas dalam arti negatif, yakni untuk melakukan intervensi ke dalam cabang

kekuasaan lain.

Konkritnya, adanya prinsip persamaan antara UUD 1945 sebagai konstitusi

negara dan pokok-pokok haluan negara yakni dalam memberikan batasan.

Untuk meneguhkan prinsip tersebut, apabila pokok-pokok haluan negara

dihadirkan kembali, maka prinsip pembatasan yang menjadi maksud asli dari

dua bentuk hukum ini dipadupadankan dalam bentuk norma di UUD 1945.

14
Dahlan Thaib, et.al, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2017. h. 1-2.

7
Aktualisasi dari gagasan tersebut dilakukan dengan merumuskan pokok-

pokok haluan negara dalam bab tersendiri dalam UUD 1945. hal ini

dimaksudkan agar GBHN mendapatkan landasan hukum dan pengakuan secara

konstitusional dalam system ketatanegaraan di Indonesia. Penempatan GBHN

dalam bab tersendiri sebenarya bukan praktek baru jika melihat penerapan

GBHN di beberapa Negara hal ini merupakan hal yang lazim dilakukan,

sebagaimana mencerminkan praktek tersebut dengan India yang menempatkan


15
haluan negara secara khusus dalam bab khusus di Konstitusi India. Selain itu,

Konstitusi Irlandia sejak 1937 telah mencantumkan Directive Principle of State

Policy yang berisikan panduan kebijakan ekonomi, mekanisme pasar bebas,

intervensi negara dan lain-lain. Sejak itu, banyak negara yang mengikuti seperti

Belgia, India, Nepal, Pakistan, Filipina, Afrika Selatan. 16

Contoh dari negara yang terdekat dari Indonesia yang memasukan haluan

negaranya dalam Konstitusi adalah Filipina. Negara ini menarik karena sama

dengan Indonesia menganut system pemerintahan presidensial. Filipina

mencatumkan prinsip-prinsip pembangunan dan kebijakan bahkan dalam bab

tertentu konstitusi nya yang dinamakan dengan Declaration of Principles and

15
Mengenai pelaksanakan DPSP di India S.M Mehta berpandangan terkait DPSP, menurutnya “DPSP
are the ideals which the state must consider in the formulation of policies and making laws in order to
secure ‘social, economic and political justice’ to all”. Lihat, SM Mehta, A Commentary on Indian
Constitutional law New Delhi: Deep & Deep Publications, 1990, Hlm. 215
16
Bambang Sadono dan Lintang Ratri Rahmiaji, Reformulasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (Gbhn)
Dan Amandemen Ulang Undang-Undang Dasar, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 49 No.2, April 2020,
Hlm. 4

8
State Policies. Filipina membedakan secara tegas antara principles and state

policies.

Berkenaan dengan hal tersebut, Indonesia dapat menjadikan praktik

ketatanegaraan di beberapa negara tersebut untuk selanjutnya diterapkan

dalam Konstitusi UUD 1945 dengan memasukkan pokok-pokok haluan negara

dalam bab khusus yang kekuatan mengikatnya akan lebih kuat. Haluan negara

yang secara umum akan selaras dengan posisi konstitusi yang pada dasarnya

juga memuat norma hukum secara umum, namun dengan tidak mengurangi

kekuatan mengikatnya sebagai hierarki peraturan perundang-undangan yang

tertinggi sekaligus juga sebagai norma hukum dasar yang menjadi rujukan

peraturan perundang-undangan lainnya.

Oleh sebab itu, memasukan haluan negara model DPSP dalam konstitusi

menjadi relevan untuk mewujudkan pembangunan yang lebih jelas, terarah dan

terencana serta berkelanjutan, terlebih konstitusi sebagai the supreme law of the

land maka konsekuensinya tidak boleh ada suatu peraturan atau tindakan yang

bertentangan dengan UUD 1945.

4.1.2. Pokok-Pokok Haluan Negara Dalam TAP MPR

Politik hukum dan perundang-undangan Indonesia telah mengalami

dinamika dan perubahan sejak NKRI berdiri. Dinamika dan perubahan itu terjadi

sebagai sebuah hasil proses belajar bangsa ini untuk terus berkembang

mengikuti dinamika kehidupan berbangsa yang juga berubah sesuai tuntutan

9
zamannya. Dinamika politik yang terjadi itu menuntut juga perubahan dalam

jenis, sistematika dan hirarki peraturan perundangan-undangan yang mengatur

kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, sebelum menentukan layak

atau tidak layaknya haluan negara diatur dalam bentuk hukum TAP MPR,

penting untuk merefleksikan kembali kedudukan TAP MPR dalam sistem hukum

di Indonesia.

Dalam catatan sejarah, dinamika produk hukum untuk pertama kalinya

dilakukan perumusan dan sistematisasi terhadap jenis dan hierarki peraturan

perundang-undangan melalui TAP MPR No. XX/MPRS/1966. 17 Dari sejak tahun

1966 hingga saat ini, tercatat telah ada empat (4) peraturan yang mengatur

mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia dari waktu ke waktu. Dari keempat peraturan tersebut, masing-

masing merumuskan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang

berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya sehingga nampak belum adanya

keajegan dalam soal itu.18

Salah satu contoh dari dinamika itu ialah soal pasang surutnya status dan

kedudukan Ketetapan MPR (selanjutnya akan disebut TAP MPR). Dinamika yang

17
Ketetapan MPR Yang Dimaksud Adalah TAP MPR No. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum
DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum RI Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
18
Dalam Soal Merumuskan Jenis Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, Maria Farida
Indrati Menyebut Dinamika Ini Sebagai Permasalahan Yang Belum Berakhir Dari Sejak
Diterbitkannya TAP MPR No. XX/MPRS/1966 Hingga Saat Ini. Lihat Dalam Maria Farida Indrati,
Ilmu Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi, Dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarata, 2007, Hlm.
108.

10
menyangkut status dan kedudukan TAP MPR itu dapat digambarkan dalam fase-

fase berikut ini:

1) Berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966


TAP MPR diakui sebagai salah salah satu jenis peraturan perundang-
undangan dan menempati urutan kedua dalam hierarki, yakni dibawah
Undang-Undang Dasar 1945.19
2) Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000
TAP MPR pada periode ini diakui sebagai salah salah satu jenis
peraturan perundang-undangan dan menempati urutan kedua dalam
hierarki, yaitu dibawah Undang-Undang Dasar 1945. 20
3) Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004
TAP MPR tidak lagi dimasukan ke dalam jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan.21
4) Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011
Melalui UU No. 12 Tahun 2011 ini TAP MPR kembali “dihidupkan” dan
diakui sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan
menempati urutan kedua dalam hierarki (di bawah UUD 1945). 22
Timbul dan tenggelamnya TAP MPR dalam sistem perundang-undangan

kita menjadikan TAP MPR ini menjadi salah satu topik perdebatan yang tidak

habisnya untuk diperbincangkan. Lebih-lebih setelah diakuinya kembali TAP

MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan oleh UU No. 12

19
Lampiran Bagian II Huruf A Angka 1 TAP MPR No. XX/MPRS/1966 Tentang Sumber Tertib
Hukum RI Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
20
Pasal 2 TAP MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan
Perundang Undangan
21
Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
22
Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.

11
Tahun 2011, setelah sebelumnya sempat “menghilang” dibawah rezim UU No. 10

Tahun 2004.23

Dalam UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR tidak lagi dimasukan dalam jenis

dan hierarki peraturan perundang-undangan. Alasannya pada saat itu,

berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 (tepatnya Pasal 1 dan Pasal 3) MPR

tidak lagi diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara dan tidak lagi berwenang

menetapkan GBHN. Karenanya, TAP MPR yang sifatnya mengatur umum

(regelend) dan menjadi tempat penuangan GBHN, tidak diperlukan lagi. Alasan

lain yang sebenarnya sudah disuarakan sejak lama ialah karena TAP MPR, sesuai

dengan nomenklaturnya yakni “ketetapan”, seharusnya berisi norma yang

sifatnya hanya penetapan (beschikking) bukan pengaturan (regeling).

Harun Alrasid mengkritik penggunaan TAP MPR sebagai peraturan

perundang-undangan. Menurutnya, TAP MPR tidak bisa memuat hal-hal yang

sifatnya mengatur (regeling). Lebih lanjut dijelaskan bahwa seharusnya

peraturan perundang-undangan yang langsung berada dibawah UUD adalah

undang-undang, bukan TAP MPR. Ketetapan MPR boleh saja ada, tetapi bukan

untuk diperankan sebagai peraturan perundang-undangan, melainkan sebatas

penetapan yang bersifat individual dan konkret saja. Misal, TAP MPR tentang

23
Penting Untuk Diketahui Bahwa Dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) Huruf B Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Dinyatakan Bahwa
Yang Dimaksud Dengan TAP MPR Menurut Pasal Tersebut Hanyalah TAP MPR Yang Masih
Berlaku Menurut Pasal 2 Dan Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap
Materi Dan Status Hukum Ketetapan MPRS Dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan
Tahun 2002.

12
pengangkatan Presiden, pemberhentian Presiden, dan lain sebagainya yang

sifatnya hanya beschikking.24

Sependapat dengan Harun Alrasid, Mahfud MD. menyatakan bahwa

memposisikan TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang berada di

bawah UUD sebenarnya hanyalah tafsiran MPRS saja, yang menganggapnya

sebagai konsekuensi dari adanya kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN.

Sebab, UUD sendiri tidak pernah menyebutkan soal adanya TAP MPR dan

bagaimana materi muatannya.25

Dari pendapat diatas dan dikaitkan dengan keadaan ketatanegaraan

Indonesia dewasa ini, maka TAP MPR yang bersifat mengatur apalagi yang isinya

menugasi Presiden untuk menjalankan GBHN, jelas tidak relevan lagi dengan

paradigma UUD 1945 hasil amandemen. Karenanya setelah amandemen UUD

1945 tidak boleh lagi ada TAP MPR yang bersifat mengatur (regelend). Sebab

berdasarkan UUD hasil amandemen, MPR tidak lagi berwenang menetapkan

GBHN, begitu juga Presiden bukan lagi mandataris MPR. Jika masih juga

diproduksi TAP MPR yang sifatnya mengatur umum, maka demi hukum, TAP

MPR itu tidak mempunyai dasar konstitusional.26

Kerancuan itulah yang kemudian menjadi alasan “diakuinya” kembali TAP

MPR oleh UU No. 12 Tahun 2011. Pasal 7 ayat (1) huruf b undang-undang
24
Lihat Harun Alrasyid Dalam Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, Hlm. 32-35.
25
Lutfil Ansori, Op. cit, Hlm. 95
26
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009,
Hlm. 170.

13
tersebut memasukan kembali TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan

perundang-undangan yang kedudukannya berada dibawah UUD 1945. Untuk

lebih jelasnya, berikut adalah jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan

menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Salah satu implikasi dari amandemen UUD 1945 ialah berubahnya

kedudukan dan kewenangan MPR. Setidaknya terdapat 3 (tiga) implikasi

mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan

MPR, antara lain :

a. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara sebagai akibat

perubahan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UUD

hasil amandemen, kedaulatan diserahkan dan berada langsung di tangan

rakyat yang pelaksanaannya disalurkan melalui cara-cara yang

konstitusional berdasarkan UUD. Dengan demikian MPR tidak lagi

menjadi lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang mengatasi (superior

terhadap) lembaga-lembaga negara lain.

14
b. MPR tidak lagi berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Begitu

juga MPR tidak dapat serta merta memberhentikan Presiden dan/atau

Wakil Presiden seperti yang terjadi di masa lalu. Pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden oleh MPR hanya dapat dilakukan setelah

melalui proses politik di DPR yang kemudian dilanjutkan dengan proses

hukum di Mahkamah Konstitusi.27

c. MPR tidak lagi berwenang membuat ketetapan yang bersifat mengatur

(regelend). Hal ini merupakan konsekuensi dari dihapusnya kewenangan

MPR menetapkan GBHN.28 Karena di masa lalu TAP MPR itu lah yang

menjadi tempat penuangan GBHN. Itulah sebabnya di masa lalu TAP MPR

yang seharusnya hanya bersifat beschikking itu disalahartikan sebagai

peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada dibawah

UUD.

27
Perpaduan Antara Proses Politik Dan Proses Hukum Dalam Upaya Pemberhentian Presiden
Dan/Atau Wakil Presiden Ini Dalam Teori Disebut Juga Sebagai Forum Prive Legiatum. Proses
Atau Forum Impeachment Yang Demikian Dikembangkan Oleh Amerika Serikat, Meskipun
Dengan Cara Yang Berbeda Dengan Yang Dipakai Di Indonesia. Berdasakan Article I Section 3
Konstitusi AS, Sidang Dakwaan Pemberhentian Presiden Dilaksanakan Oleh Senat Yang
Persidangannya Itu Sendiri Dipimpin Oleh Ketua Mahkamah Agung AS (US Supreme Court).
Mengenai Hal Ini Dapat Dilihat Lebih Lanjut Dalam Charles L. Black, Impeachment, A
Handbook, Yale University Press, New Haven And London, 1998.
28
Pendapat Yang Sama Akan Hal Ini, Yaitu Yang Menyatakan Bahwa Ke Depan (Setelah
Perubahan UUD 1945) MPR Tidak Dapat Lagi Mengelurakan Ketetapan MPR Yang Bersifat
Mengatur Dan Mengikat Umum, Salah Satunya Dikemukakan Oleh Maria Farida Indrati. Lihat
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi, Dan Materi Muatan, Kanisius,
Yogyakarata, 2007, Hlm. 50.

15
Berkaitan dengan hal tersebut paling tidak terdapat dua hal yang semakin

menutup ruang diakomodirnya GBHN dalam bentuk TAP MPR, yakni: 29 Pertama,

upaya mengembalikan GBHN sebagai sistem perencanaan pembangunan

nasional dengan TAP MPR adalah kurang tepat dan hanya bersifat parktis.

Mengembalikan GBHN sebagai sistem perencanaan pembangunan nasional yang

merujuk kepada tujuan negara, maka kembali ke GBHN harus sejalan dengan

pengembalian wewenang MPR untuk menyusun dan menetapkan GBHN.

Artinya, kewenangan suatu lemabaga negara haruslah dimuat dalam konstitusi

dan tidak cukup merujuk kepada peraturan perundang-undangan berdasarkan

UU No 12 Tahun 2011.

Kedua, kembali kepada GBHN dan ditetapkan dengan TAP MPR lebih

menjamin kosistensi pelaksanaan rencana pembangunan dan pencapaian tujuan

negara. Meskipun MPR tetap dalam kedudukannya sebagai lembaga tinggi

negara, tidak berarti MPR tidak dapat melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan GBHN. Dalam hubungan ini, pengawasan sebenarnya ada dalam

beberapa bentuk dan perspektif. Artinya, pengawasan MPR terhadap

pelaksanaan GBHN tidak melulu dilihat dalam arti hirarki kelembagaan, atau

pun dilihat dalam perspektif sistem presidensial. MPR dapat melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan GBHN dalam pemahaman bahwa GBHN

adalah penjabaran dari tujuan negara yang termuat dalam UUD 1945. Dalam

29
Mizaj, Nalar Konstitusi Dalam Wacana Reformulasi GBHN, Dalam artikel oleh Prodi Ilmu
Hukum Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tanpa tahun, Hlm. 7-8

16
kaitan ini, lembaga-lembaga negara adalah pengemban amanah UUD 1945, maka

pelaksanaan GBHN menjadi keharusan bagi setiap lembaga negara untuk

melaksanakannya. Bahkan dalam perspektif presidensial sekalipun, presiden

dalam sumpahnya akan melaksanakan amanah UUD 1945.

Meskipun pada praktiknya menunjukkan bahwa TAP MPR telah kehilangan

‘ruh’ nya sebagai suatu produk hukum, namun kemungkinan untuk

menempatkan haluan negara dalam TAP MPR dapat diwujudkan kembali

dengan syarat utama membuka kewenangan MPR untuk menetapkan TAP MPR

yang diatur dalam UUD sebagaimana praktik yang pernah terjadi sebelum

dilakukan prubahan terhadap UUD 1945.

Oleh sebab itu, dalam pandangan peneliti tidak hanya membatasi ruang

untuk diaturnya haluan negara dalam produk hukum TAP MPR, namun peneliti

juga melakukan reposisi haluan negara dalam TAP MPR dilakukan dengan

alasan bahwa MPR merupakan lembaga dengan representasi paling tinggi

diantar semua lembaga Negara dengan gabungan antara anggota DPR dan DPD.

Kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN merupakan alasan yang paling

rasional, karena jika kewenangan menetapkan GBHN diberikan kepada DPR,

maka tidak akan jauh berbeda nasibnya dengan RPJP saat ini yang merupakan

representative visi dan misi serta platform partai politik yang berada di DPR,

dengan keterbatasan berbagai kelemahannya. Di sisi lain, DPR bukanlah

merupakan penjelmaan kehendak seluruh rakyat melainkan wakil Parpol di

17
parlemen.30 Artinya dibutuhkan keterwakilan rakyat secara langsung yang

tercermin dalam DPD. Namun, juga tidak tepat jika kewenangan menetapkan

GBHN diberikan kepada DPD, karena keterwakilan Parpol tidak terakomodir.

Oleh karena itu, akan lebih tepat jika kewenangan menetapkan GBHN terletak di

tangan MPR yang merupakan lembaga afiliasi antara DPR dan DPD. Sehingga

keterwakilan rakyat dan Parpol dapat diakomodir.

Telah tergambar implikasi GBHN terhadap perubahan kewenangan organ-

organ kenegaraan, khususnya MPR yang memperoleh kembali kewenangan

menetapkan GBHN. Di samping itu, keterbatasan fungsi-fungsi DPD dalam

hubungannya dengan DPR dalam sistem parlemen akan dapat direduksi dengan

peran strategis DPD sebagai anggota MPR yang berwenang menetapkan GBHN.

Dengan demikian, kedudukan DPD dalam MPR akan menjadi counterpart DPR

yang diharapkan mampu menjadi pengimbang dan mengurangi arogansi DPR

dalam parlemen (MPR). Di samping itu, selain fungsi dan peran DPD yang

menguat, fungsi dan peran MPR pun semakin strategis karena mengalami

penambahan kewenangan. Jika kewenangan menetapkan GBHN dimiliki kembali

oleh MPR, maka GBHN tersebut akan dituangkan dalam produk hukum yang
30
Menurut hemat penulis dengan model sekarang, maka arah pembangunan hanya berdasarkan
pada idiologi partai. Setiap pergantian presiden, maka arah pembangunan juga akan berubah.
Pemerintah dalam menyelesaikan persoalan sifatnya hanya sementara, dan tidak adanya
istrumen tentang pembangunan jangka panjang karena setiap pembangunan lebih berorientasi
kepada subjektif eksekutif walaupun secara filosofis presiden bertanggu gjawab langsung
terhadap rakyat tetapi rakyat tidak mempunyai mekanisme yang kuat dalam mengawasi
konsitensi pembangunan dalam jangka waktu yang lama. GBHN sudah menjadi kebutuhan,
sehingga siapa pun presiden ke depan agar menjadikan prioritas untuk mengembalikan,
sehingga bukan hanya sekadar visi dan misi kepala negara yang jadi arah pembangunan. Tanpa
kehadiran GBHN, kita tidak punya visi dalam menentukan arah pembangunan bangsa

18
berbentuk Ketetapan MPR (Tap-MPR). Artinya, kewenangan MPR dalam

membentuk Tap-MPR secara otomatis akan dipulihkan kembali. Di samping itu,

kedudukan Tap-MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan akan

semakin jelas eksistensinya. Selama ini kedudukan Tap-MPR di satu sisi masih

diakui, walaupun hanya tinggal 14 buah lagi. Namun di sisi lain MPR tidak

berwenang lagi membentuk Tap MPR yang baru. Dengan adanya GBHN ini, maka

akan ada lagi Tap MPR yang baru.31

Meskipun saat ini tidak terdapat lagi kewenangan MPR dalam menetapkan

Ketetapan yang mengikat keluar, namun dalam pandangan peneliti hal tersebut

merupakan reposisi terhadap kewenangan MPR kedepan yang apabila

dimungkinkan kembali adanya haluan negara, maka kewenangan MPR dalam

menetapkan TAP-MPR harus diberikan kembali, dengan catatan pentingnya

adalah ketetapan tersebut hanya terbatas pada TAP-MPR tentang Haluan

Negara. Dalam mengukung kerangka tersebut, paling tidak terdapat dua hal

yang mendukung praktek semacam itu dapat dihadirkan kembali, yakni:

1. Ketetapan MPR dalam hirarki perundang-undang Indonesia tetap

diakui sebagai salah satu sumber hukum. Oleh karena itu konsekuensi

pengaturan haluan negara dalam Tap MPR pada prinsipnya bukan suatu

permasalahan mendasar karena haluan negara sendiri dalam TAP MPR

yang akan dikeluarkan oleh MPR secara peraturan perundang-


31
Ade Kosasih, Reformulasi Perencanaan Pembangunan Nasional Model Garis-Garis Besar
Haluan Negara, MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan Volume 5, No. 2, 2018,
Hlm. 6

19
undangan diakomodir dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Dengan hal tersebut, maka kedudukan TAP-MPR akan menjadi sumber

hukum. sumber hukum yang dimaksud adalah sumber hukum tata

negara dalam arti materiil yang menurut Utrecht meliputi perasaan

hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (publik

opinion) yang menjadi determinan materiil membentuk hukum dan

menentukan isi hukum.32 Sedangkan sumber hukum tata negara dalam

arti formal adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya, karena

disinilah suatu kaidah hukum berlaku umum, diketahui, dan ditaati. 33

2. Akan lahir pertanggungjawaban Presiden terhadap haluan negara

yang diatur secara kelembagaan oleh MPR. Terhadap

pertanggungjawaban presiden ini harus dilihat secara kontemporer

bukan pertanggungjawaban seperti halnya praktek ketatanegaraan

pada orde lama dan orde baru. Pertanggungjawaban yang dilakukan

oleh presiden adalah berbentuk laporan pelaksanaan dan

perkembangan haluan negara. Hal ini tidak menjadikan presiden

bertanggungjawab langsung terhadap MPR sebagaimana praktek

dimasa lampau dan presiden bukan mandataris MPR. Bentuk

pertanggungjawaban presiden sendiri sebagai konsikuensi

ketatanegaraan dalam menjalankan dan melaksanakan haluan negara.


32
Widodo Ekatjahjana, Totok Sudaryanto, Sumber Hukum Tata Negara Formal Indonesia,
Banudng: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 8.
33
Ibid.

20
4.1.3. Pokok-Pokok Haluan Negara Dalam Bentuk Undang-Undang

Pembangunan merupakan suatu keniscayaan yang terdapat dalam suatu

negara. Pembangunan harus diwujudkan dan dijalankan untuk merubah dari

yang tidak baik menjadi lebih baik. Pembangunan selalu dilakukan agar mampu

menjawab kebutuhan dan perubahan setiap zaman. Dalam pembangunan tentu

terdapat keterlibatan baik dari pemerintah maupun masyarakat, tanpa adanya

keterlibatan diantara keduanya maka pembangunan tidak akan dapat berjalan

dengan baik. Di samping terdapat keterlibatan dalam pembangunan antara

pemerintah dan masyarakat, pembangunan juga harus dapat menjiwai arti dari

sebuah pembangunan. Pembangunan yang dijalankan harus sesuai dengan ciri

khas, karakter, dan budaya yang hidup dalam suatu bangsa, negara, dan

masyarakat.

Pembangunan terus diusahakan untuk dibentuk lebih baik dalam suatu

dokumen atau panduan, yang digunakan sebagai pedoman atau acuan untuk

melaksanakan suatu perencanaan pembangunan nasional, Sampai pada

akhirnya Dokumen perencanaan pembangunan nasional (GBHN) benar-benar

terbentuk untuk pertama kalinya yakni pada tahun 1960 yang ditetapkan

melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 1 Tahun 1960 Tentang Garis-Garis

Besar Haluan Negara. Dalam Perpres Pasal 1 disebutkan bahwa sebelum Majelis

Permusyawaratan Rakyat terbentuk, maka manifesto politik Republik Indonesia

yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus oleh Presiden Soekarno adalah Garis-

21
Garis Besar daripada Haluan Negara. Dengan demikian haluan perencanaan

program pembangunan nasional saat itu lebih pada dipengaruhi oleh orasi

Soekarno. Setiap orasi atau pidato Soekarno yang diselenggarakan setiap tanggal

17 agustus akan dibuat sebagai acuan dalam pembuatan rancangan program

perencanaan pembangunan nasional. Setelah itu pada tahun 1963 melalui

Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1963, Dewan Perancangan Nasional

(Depernas) dirubah menjadi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(Bappenas).34

Setelah jatuhnya rezim Soekarno sebagai presiden yang kemudian diganti

oleh Presiden Soeharto, Presiden Soeharto bertanggung jawab untuk

memulihkan kondisi perekonomian yang telah lumpuh. Langkah yang diambil

oleh Soeharto saat itu adalah dengan membuat dan menyusun berbagai strategi

rencana pembangunan untuk memulihkan kondisi perekonomian saat itu. Pada

tahun 1967 Soeharto mengeluarkan Instruksi presidium Kabinet No.

15/EK/IN/1967 yang menugaskan Bappenas untuk membuat rencana

pemulihan ekonomi. Kemudian setelah itu Bappenas mampu menghasilkan

dokumen yang dinamakan dengan rencana pembangunan lima tahunan 1

(repelita 1) untuk kurun waktu tahun 1969 sampai dengan tahun 1973. 35

34
Bahaudin, Menghidupkan Kembali GBHN, Komparasi GBHN Dan RPJPN Sebagai Kebijakan
Politik Hukum Nasional Dalam Bidang Pembangunan, Jurnal Keamanan Nasional Vol. III No. 1
Mei 2017, Hlm. 90.
35
Ibid, Hlm. 137

22
Di era repelita ini telah berlangsung dan berjalan sampai pada tahun

1998. Pada kurun waktu 1969-1998 bangsa indonesia berhasil menyusun

rencana pembangunan nasional secara sistematis melalui tahapan lima tahunan.

Pembangunan tersebut memberikan arah dan pedoman bagi pembangunan

negara untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam

pembukaan UUD 1945.

Setelah perubahan UUD 1945 perencanaan pembangunan atau strategi

program pembangunan nasional tidak lagi disandarkan pada GBHN, melainkan

disandarkan pada SPPN dengan dirumuskan ke dalam RPJPN untuk jangka

waktu dua puluh tahun, dirumuskan ke dalam RPJMN untuk jangka waktu lima

tahunan, dan dirumuskan dalam RPJPN atau RKP untuk jangka waktu setiap

tahun atau tahunan. Adapun rumusan untuk rancangan program pembangunan

jangka panjang dimulai dari tahun 2005 sampai pada tahun 2025, untuk

rumusan dalam program pembangunan jangka menengah dimulai dari awal atau

pertama kali menjabat sebagai kepala pemerintahan sampai jangka waktu lima

tahun, atau selama ia menjabat pemerintahan dalam satu periode. Untuk

rumusan program pembangunan jangka pendek dilakukan setiap satu tahun

sebagai penjabaran dari RPJMN, pemerintah harus memiliki standar atau target

yang harus dilaksanakan dan dicapai. Untuk perencanaan program

pembangunan jangka panjang nasional masih menyisakan waktu kurang lebih

delapan tahun.

23
Dalam jangka waktu kurang lebih delapan tahun kedepan, diharapkan

pemerintah mampu mewujudkan program perencanaan pembangunan yang

sesuai dengan RPJPN yang telah diatur UU No. 17 Tahun 2007. Dengan demikian

program ini akan berlanjut lagi untuk dua puluh tahun kedepan setelahnya,

dengan rancangan pembangunan jangka panjang nasional yang disesuaikan

dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang dimulai dari tahun

2026.36

Pada era reformasi dan pasca reformasi, negara dan pemerintahan

Indonesia menjalani roda pemerintahan dengan nuansa yang baru, berbeda

dengan era sebelumnya. Banyak terjadi perubahan yang fundamental dalam

konstitusi Indonesia, termasuk perubahan terhadap sistem politik dan hukum

tata negara Indonesia. Dalam bidang politik presiden dan wakil presiden tidak

lagi dipilih dan bertanggung jawab pada MPR, melainkan presiden dipilih secara

langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dan presiden bertanggungjawab

kepada rakyat. Sebagai konsekuensi dari reformasi, maka presiden dalam

menjalankan perencanaan pembangunan nasional tidak lagi bersandar pada

GBHN, melainkan bersandar pada undang-undang SPPN No. 25 Tahun 2004.

Jika diperhatikan dalam undang-undang tersebut, presiden diberikan

legitimasi yang lebih besar untuk menjalankan program perencanaan

pembangunan nasional. Undang-undang SPPN tersebut digunakan sebagai acuan

36
Simamora, Janpatar, Urgensi Keberadaan GBHN Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia, Litigasi, Vol. 17, (2), 2016. Hlm. 7

24
dasar dalam menjalankan program pembangunan nasional, dari undang-undang

SPPN tersebut dirumuskan dalam bentuk RPJPN sebagai acuan perencanaan

pembangunan jangka panjang nasional, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) undang-

undang SPPN yang menyebutkan bahwa RPJPN merupakan penjabaran dari

tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia yang tercantum dalam

pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah

pembangunan nasional.

Cara penyusunan RPJPN telah diatur dalam Pasal 9 ayat (1) yakni

Penyusunan melalui urutan: Penyiapan rancangan awal rencana pembangunan,

Musyawarah perencanaan pembangunan, serta Penyusunan rancangan akhir

rencana pembangunan. Kemudian RPJMN untuk jangka waktu lima tahunan

yang dibuat oleh menteri sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program

Presiden yang mengacu pada RPJPN, selaras dengan Undang-undang SPPN Pasal

4 ayat (2) menjelaskan bahwa RPJMN merupakan penjabaran dari visi, misi, dan

program presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJPN yang memuat

strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program

kementerian/lembaga dan lintas kementerian/lembaga, kewilayahan dan lintas

kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mancakup gambaran

perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam

rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang

bersifat indikatif.

25
Cara penyusunan RPJMN diatur dalam Pasal 9 ayat (2) yakni melalui

urutan: a) penyiapan rancangan awal rencana pembangunan, b) penyiapan

rancangan rencana kerja, c) musyawarah perencanaan pembangunan, dan d)

penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.

Selanjutnya yakni RPJPN atau RKP untuk jangka waktu satu tahun atau

tahunan, dalam rancangan perencanan pembangunan tahunan ini dibuat sesuai

dengan visi, misi, dan program presiden, atau bisa disebut sebagai penjabaran

dari RPJMN, sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) yang menyebutkan bahwa RKP

merupakan penjabaran dari RPJMN,memuat prioritas pembangunan,

perencanaan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran

perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta

program kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga, kewilayahan

dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat

indikatif.

26
Setelah berlakunya RPJPN selama kurang lebih 1 dekade ini sejak

undang-undang tersebut diberlakukan, masih banyak yang pro 37 kontra38

terhadap pemberlakuan RPJPN yang mengacu pada SPPN, diantara kalangan

menganggap bahwa SPPN tidak sebandig dengan GBHN yang pernah

diberlakukan sebelum perubahan UUD 1945. Dengan dihapusnya GBHN sebagai

haluan perencanaan pembangunan nasional, pembangunan tidak dapat lagi

berjalan secara keberlanjutan atau kontinuitas. Undang-undang SPPN yang

digunakan sebagai landasan hukum untuk menjalankan suatu perencanaan

pembangunan nasional dianggap belum mampu berjalan secara stabil dan

efektif untuk dijalankan oleh pemerintah. Terlebih lagi saat ini prosedur SPPN

yang termuat dalam RPJP berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 17

37
Menurut Ravik Karsidi, Kebutuhan Akan GBHN Itu Paling Tidak Karena Empat Alasan:
Historis, Hukum, Politik, Dan Sosioekonomis. Pertama, Alasan Historis. Upaya Menyusun
GBHN Pada Dasarnya Telah Dilakukan Sejak Awal Kemerdekaan Sebagai Bagian Dari Model
Perencanaan Ekonomi Yang Diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Alasan Kedua, Menurut Kasidi,
Alasan Hukum. Sistem Yang Dibuat Untuk Menggantikan Peran GBHN, Yakni Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, Seperti Berjalan Tidak Efektif. Ketiga, Alasan Politik.
Solusi Atas Segala Persoalan Yang Dialami Indonesia Tidak Bisa Dicari-Cari Dari Luar. Bangsa
Ini Hanya Bisa Bergerak Maju Jika Mengenal Dirinya Sendiri. Adanya GBHN Menjadikan
Pengawasan Jalannya Pembangunan Juga Semestinya Lebih Kuat. Keempat, Alasan
Sosioekonomi. Setiap Pembangunan Harus Berkelanjutan Terutama Menyangkut
Infrastruktur Dalam Skala Nasional. Di Era Reformasi Ini, Pembangunan Dianggap
Inkonsisten Karena Selalu Berubah-Ubah. Lihat, Sobirin Malian, Pro Dan Kontra GBHN:
Amandemen Sebagai Jalan Tengah, Cakrawala Hukum Vol. XIII No. 02 Tahun 2016, Hlm. 5-6
38
Pertama, Dari Sisi Sistem Pemerintahan Wacana Ini Akan Berimplikasi Serius Pada Sistem
Presidensial Dimana Pertanggungjawaban Presiden Tidak Lagi Di Tangan Rakyat Melainkan
Di Tangan MPR. Kedua Dan Ketiga, Dari Segi Hubungan Antar Lembaga Negara Serta Tugas
Dan Fungsi Dari Lembaga Negara Tersebut Wacana Reformulasi GBHN Dapat Menimbulkan
Masalah. Hal Itu Dikarenakan Selain Merancang GBHN, DPR Juga Lah Yang Mengawasi
Pelaksaan GBHN Tersebut. “Adalah Kesalahan Fatal Menempatkan Dua Fungsi Utama Di Satu
Lembaga. Itu Kesalahan Fatal Ketatanegaraan, Itu Menjadikan Leviathan, Menjadikan
Monster Kekuasaan,” Lihat, Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan
Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, Cet. I, 2007, Hlm. 37. Lebih Lanjut Dalam A.M. Fatwa, Potret
Konstitusi: Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kompas Publishing, Cet. II, 2009, Hlm. 17.

27
Tahun 2007 sama sekali tidak merefleksikan semangat checks and balances

karena mulai dari pembuatan, pelaksanaan, pengendalian dan bahkan proses

evaluasi semuanya dilakukan oleh Presiden seseorang tanpa adanya

keterlibatan dari lembaga lain.

Tidak adanya kesinambungan tersebut karena dilatarbelakangai oleh

masa kepemimpinan yang diberikan oleh konstitusi maksimal selama sepuluh

tahun untuk dua periode. Sedangkan jika periode kedua tidak terpilih kembali,

maka hanya memimpin selama lima tahun. Hal tersebut yang menjadi faktor

program perencanaan pembangunan tidak dapat berjalan secara

kesinambungan, belum lagi setelah pergantian kepemimpinan yang pemimpin

tersebut tidak memiliki ide, visi, misi dan program perencanaan pembangunan

yang sama, maka program perencanaan pembangunan tersebut tidak dapat

dijalankan secara kesinambungan. Meskipun program perencanaan

pembangunan yang dilakukan oleh pemimpin sebelumnya termasuk program

pembangunan yang baik, namun tidak ada jaminan program pembangunan

tersebut dapat diteruskan atau dijalankan lagi oleh pemimpin selanjutnya.

Pemberlakuan SPPN dianggap terdapat kesenjangan antara pusat dan

daerah, di mana hal tersebut sering terjadi kebijakan daerah yang tidak sesuai

dengan kebijakan pusat, akhirnya pembangunan pusat dan daerah tidak dapat

berjalan secara simetris, sehingga hasilnya pembangunan tidak dapat berjalan

dengan baik, karena adanya perbedaan dan benturan kebijakan antara pusat dan

28
daerah. Kepala daerah yang juga memiliki visi misi yang bisa jadi berbeda

dengan visi-misi presiden, dengan demikian lagi-lagi pembangunan antara pusat

dan daerah tidak dapat berjalan selaras.

Sejak reformasi telah disahkan banyak undang-undang sektor

perekonomian, yang telah diuji materi oleh Mahkamah Konstitusi, terbukti tidak

konstitusional. Seperti UU Minyak dan Gas (Migas), UU Sumber Daya Air, UU

Perkebunan, dan UU Penanaman Modal. Kebijakan fiskal dalam bentuk APBN

juga belum mencerminkan spirit memajukan kesejahteraan umum. Postur APBN

seringkali terkesan memelihara terjadinya “gap” baik desa-kota, tradisional-

modern, kaya miskin maupun yang lain. Untuk mencapai sasaran jangka panjang

suatu negara, urutan kepentingan harus diprioritaskan. Sebuah haluan negara

diharapkan menjadi kiblat dan pedoman pembangunan yang memanfaatkan

modal sosial berdasarkan pengalaman Indonesia sebagai negara demokrasi dan

menerapkan spirit Asia dalam pembangunan nasional.39

Berkaitan dengan penjelasan diatas banyak undang-undang yang di uji

MK menegaskan secara implisit bahwa sistem pembangunan nasional yang

diterapkan pasca reformasi cenderung mengalami kegagalan akibat

ketidakharmonisan pembangunan baik baik secara vertikal maupun horizontal.

Adanya perencanaan pembangunan kepada pemerintah seperti pada RPJPN,

perencanaan pembangunan nasional berpotensi menjauh dari tujuan negara.

39
Ibid, Hlm. 8

29
Dengan demikian, reformulasi perencanaan pembangunan nasional tentulah

bukan persoalan kesenjangan dan pemerataan pembangunan, adanya deviasi

antara perencanaan dengan pelaksanaan, kesenjangan kewenangan antara pusat

dan daerah dan lain sebagainya. Persoalan-persoalan itu, pada dasarnya

bukanlah mengenai esensi perencanaan pembangunan itu sendiri, sebagai

sebuah sistem ketatanegaraan. Bertolak dari eksistensi perencanaan

pembangunan nasional itu sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan, maka

sistem perencanaan pembangunan model GBHN sudah tepat. 40 Akan tetapi,

penentuan haluan negara yang disebar secara terpusat dalam UU SPPN belum

menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pembangunan nasional yang

berkesinambungan. Oleh sebab itu, melakukan pembaharuan terhadap haluan

negara yang saat ini dijabarkan dalam UU SPPN merupakan hal penting untuk

dilakukan.

Penjelasan poin dalam pembahasan ini yakni keterkaitan haluan negara

dalam suatu UU dapat dilakukan dengan menjabarkan haluan negara secara

lebih rinci dalam UU Haluan Negara. Konstruksi semacam ini menjadi besar

kemungkinannya untuk dilaksanakan ketika berpijak pada pembahasan pertama

yang diuraikan dengan menempatkan haluan negara pada bagian khusus dalam

UUD 1945.

40
Jimli Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Cet, II,
2007, Hlm. 76

30
Dengan adanya bab tentang haluan negara dalam konstitusi maka hal

tersebut akan mendorong proses legislasi yang akan menguraikan secara lebih

khusus terkait haluan negara. Seperti diketahui bahwa meskipun DPR memiliki

kekuasaan penuh terhadap pembentukan suatu UU, namun proses legislasi di

Indonesia dijalankan secara bersama oleh DPR selaku legislatif dan Presiden

selaku eksekutif sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945.

Pembentukan UU haluan negara yang akan menggantikan UU SPPN adalah

suatu keniscayaan dalam menghidupkan kembali haluan negara sebagaimana

diatur dalam Konstitusi. Proses pembentukan UU yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada pasal 10

menguraikan bahwa materi muatan yang diatur oleh suatu UU terdiri atas:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945;

b. perintah suatu UU untuk diatur dengan UU;

c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat

Mekanisme pembentuakan suatu UU juga diatur lebih khusus dalam Pasal

162 UU MD3 hingga Pasal 173 UU UU MD3. Secara singkat, mekanisme

31
pembentukan suatu UU sebagaimana diuraikan tersebut menghadirkan ruang

akan lahirnya UU Haluan Negara yang merupakan pengaturan lebih lanjut

mengenai ketentuan yang telah diatur sebelumnya dalam UUD 1945.

Sejalan dengan hal tersebut, usaha untuk membentuk suatu UU Haluan

Negara yang merupakan derivasi dari UUD 1945 juga akan menghadirkan

partisipasi publik secara langsung melalui proses legislasi yang terjadi. Proses

penyiapan suatu RUU tidak terlepas dari diskusi dan penyerapan aspirasi

masyarakat, karena pada dasarnya pembentukan undang-undang merupakan

suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga negara untuk pemenuhan

kebutuhan masyarakat terhadap pengaturan dalam hal bertindak laku dalam

suatu negara. Apabila penyusunan RUU tersebut dilakukan melalui penyerapan

aspirasi masyarakat dari bawah, maka undang-undang yang dibentuk tersebut

akan berlaku sesuai dengan kehendak masyarakat dan masa berlakunya pun

akan lebih lama.41

Representasi rakyat Indonesia yang diwakili oleh DPR dalam cabang

kekuasaan legislatif yang juga sekaligus penerima atribusi kekuasaan secara

langsung dari UUD 1945 untuk menjalankan proses legislasi menunjukkan akan

adanya peran serta masyarakat baik secara langsung maupun secara

keterwakilan dalam upaya menentukan atau menguraikan secara lebih lanjut

terhadap haluan negara yang akan dijalankan oleh Pemerintah selaku cabang

41
Patiniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pasca Amandemen UUD 1945,
Jakarta: Konpress, 2012, hlm. 394.

32
kekuasaan ekskutif. Selain itu, reeksistensi haluan negara dalam bentuk UU ini

juga akan menjaga menjaga sistem presidensial tetap kuat lebih.

4.2. Perbandingan Haluan Negara Di Beberapa Negara Dalam Sistem

Presidensial

Posisi haluan negara berkaitan erat dengan model perencanaan

pembangunan banyak dianut oleh negara-negara sosialis karena adanya

dominasi negara dalam persoalan ekonomi dibandingkan negara-negara liberal

yang lebih menyerahkan persoalan pembangunan ke mekanisme pasar. Hal

tersebut memang menjadi diskursus mengenai hubungan antara peran negara

dengan kondisi politik, ekonomi dan sosial. Namun demikian, menurut Bagir

Manan, dalam perkembangan perbedaan tersebut tidak bersifat fundamental,

karena di negara-negara baik dengan paham liberal maupun sosialis,

perencanaan (planning) menjadi subsistem pengelolaan negara dan

pemerintahan.42

Banyak negara yang mengikuti pencantuman Haluan Negara atau DPSP

dalam konstitusinya, seperti Belgia, India, Filipina, Afrika Selatan dan lain-lain.

Menurut Asshiddiqie, terjadi tren perumusan DPSP dalam konstitusi negara-

negara di dunia saat ini yang berisikan konstitusi ekonomi sekaligus konstitusi

sosial.43 Yang menarik adalah model Filipina, mengingat Filipina menganut

sistem presidensil yang artinya dapat menjadi contoh bagi Indonesia yang juga
42
Bagir Manan, Politik Perundang- Undangan, Makalah, Jakarta, November 1993, Hlm. 2
43
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, Hlm. 107

33
menganut sistem presidensil. Dalam Kontitusi Filipina 1987, ketentuan DPSP

diatur dalam Pasal II dengan judul Declaration of Principles and State Policies,

antara lain berisikan mengenai national economy and patrimony, persoalan

reformasi agraria dan kekayaan sumber daya alam, land reform perkotaan dan

perumahan, perburuhan, dan lain-lain. Konstitusi Filipina sendiri membedakan

secara tegas antara prinsip-prinsip (principles) dan kebijakan-kebijakan

(policies). Prinsip-prinsip dimaksudkan sebagai sebuah aturan yang mengikat

(bindingrules) yang harus dipatuhi oleh pemerintah dalam melaksanakan

berbagai tindakan, termasuk pembentukan aturan, sedangkan kebijakan-

kebijakan merupakan petunjuk (guidelines) bagi orientasi negara. Dalam

praktiknya, perbedaan antara keduanya menjadi sumir karena tidak seluruh

prinsip bersifat self-executor dan justru beberapa kebijakan menjadikan

beberapa hak sebagai justiciablerights.44

Negara Brazil yang juga menerapkan sistem presidensil, memiliki

ketentuan yang berisikan DPSP walaupun tidak diberikan judul DPSP. Dalam

Konstitusi Brazil disebutkan beberapa bab penting misalnya mengenai prinsip-

prinsip fundamental, hak-hak fundamental dan jaminannya, hak sosial,

kewarganegaraan, hak politik dan lain-lain yang banyak berisikan prinsip-

prinsip haluan negara. Hal sama terdapat di Korea Selatan yang juga menganut

sistem presidensil, dalam konstitusinya mengatur mengenai hal-hal yang

44
Harijanti, Susi Dwi, Merumuskan Ulang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Jurnal Majelis, MPR
RI, Edisi 4 Tahun 2016, Hlm. 20

34
bersifat haluan negara berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara serta

pembangunan dalam bidang ekonomi 45

Adapun rincian perbandingan penerapan GBHN di negara lain sebagai

berikut:46

Negara Sistem Haluan


Pemerintahan Negara
Irlandia Sistem Parlementer Disebutkan secara tegas dalam Pasal 45
Konstitusi Irlandia 2015 yang berjudul
Directive Principles of Social Policy.

India Sistem Parlementer Disebutkkan secara tegas dalam Bab IV


Konstitusi India dengan judul Directive
Principles of State Policy,

Filipina Sistem Presidensil Disebutkan secara tegas dalam Pasal II


Konstitusi Filipina 1987 dengan Declaration
of Principles and State Policies Principles.

Afrika Sistem Tidak disebutkan secara tegas dalam


Selatan pemerintahan Konstitusi Afrika Selatan, namun beberapa
campuran pengaturan di dalamnya mengandung
prinsip haluan negara.

Brazil Sistem Presidensil Tidak disebutkan secara tegas dalam


Konstitusi Brazil, namun beberapa
pengaturan memperlihatkan prinsip-
prinsip haluan negara.

45
Ibid
46
Mei Susanto, Wacana Menghidupkan Kembali GBHN Dalam Sistem Presidensil Indonesia, Jurnal
De Jure, Volume 17, Nomor 3, September 2017, Hlm. 9

35
Korea Sistem Presidensil Tidak disebutkan secara tegas dalam
Selatan Konstitusi Korea Selatan, namun beberapa
pengaturan memperlihatkan prinsip-prinsip
haluan negara.

Berdasarkan penjelasan diatas penulis lebih spesifik perbandingan

dengan dua Negara yang menerapkan system presidensial yaitu Filipina dan

Brazil sebagai berikut

1. Perbandingan GBHN Indonesia dan Filipina

Seperti telah disebutkan diatas bahwa Filipina mempunyai suatu

haluan penyelenggaraan negara yang tertuang dalam Pasal II yang

berjudul Declaration of Principles and State Policies (DPSP). DPSP yang

diadopsi Filipina membedakan secara tegas antara principles dan policies.

Pasal II tersebut dibagi menjadi dua judul yaitu “Principles” dan “Policies”,

dalam hal ini “Principles” memuat prinsip-prinsip fundamental

ketatanegaraan Filipina seperti konsep kedaulatan rakyat, bentuk

pemerintahan, demokrasi, supremasi masyarakat sipil diatas militer,

tugas utama negara, pemisahan secara tegas negara dan gereja, dan

lainnya.47 Sedangkan muatan dalam “Policies” mengandung arahan

terhadap kebijakan yang lebih bersifat spesifik, seperti penjaminan hak

asasi manusia, national economy and patrimony, persoalan reformasi

47
Pasal VI Principles, The 1987 Philippine Constitution.

36
agraria dan kekayaan sumber daya alam, land reform perkotaan dan

perumahan, perburuhan,dan lain-lain.48

Pembedaan tersebut memberikan signifikansi dikarenakan principles

yang dijabarkan dalam Konstitusi Filipina bertujuan sebagai sebuah

aturan yang mengikat (bindingrules) yang harus dipatuhi oleh

pemerintah dalam melaksanakan penyelenggaraan negara. Termasuk

pula dalam membentuk perencanaan pembangunan, penganggaran dan

pembentukan aturan dan kebijakan. Beda halnya dengan policies, yang

merupakan petunjuk (guidelines) bagi seluruh orientasi negara.

Guidelines yang terkandung dalam policies ini lebih bersifat spesifi k dan

sudah mengarah pada sektorsektor tertentu.49

2. Brazil

National Congress dalam konstitusi diberikan kewenangan untuk

menentukan haluan penyelenggaraan negara. Hal tersebut dapat dilihat

dalam konstruksi Pasal 48 Konstitusi Brazil, yang mana National

Congress dapat menetapkan haluan penyelenggaraan negara dengan

persetujuan atau dukungan Presiden sebagaimana tertulis “...II.

pluriannual plan, budgetary directives, annual budget, credit transactions,

public debts and issuances of currency’ “50 dan angka 4 “national, regional

48
Pasal VI Policies, The 1987 Philippine Constitution.
49
Mei Susanto, Op.cit.
50
Pasal 48 angka II Constitution of The Federative Republic of Brazil

37
dan sectorial plans and programmes development;”51 Tidak hanya

menetapkan, National Congress kemudian juga mempunyai kuasa untuk

“...consider the reports on the execution of Government plans.”52

Membedah Pasal 48 angka II, kewenangan National Congress tersebut

berkaitan dengan kewajiban Presiden yang termaktub pada Pasal 84

angka XXIII. Pasal a quo menerangkan salah satu kewajiban Presiden

Brazil adalah “submit to the National Congress the pluriannual plan, the

bill of budgetary directives and the budget proposals set forth in this

Constitution.” Pluriannual plan adalah dokumen perencanaan dan juga

dokumen penganggaran yang diajukan Presiden selama periode jabatan 4

tahun, yang mana dokumen-dokumen tersebut sudah disiapkan sejak

masa kampanye sebagai visi-misi Presiden. Presiden dalam hal ini tidak

hanya menyusun dokumen perencanaan saja, akan tetapi juga terkait

pernganggaran yang diejawantahkan dengan budgetary directives and

annual budget proposal.53

Pasal 48 angka IV kemudian ditegaskan National Congress kembali

menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan sektoral. Perlu diketahui

bentuk perencanaan di Brazil bukan merupakan comprehensive planning

seperti pembangunan nasional dengan jangka panjang yang meliputi

seluruh aspek, akan tetapi bersifat kebijakan (policy) yang membidangi


51
Pasal 48 angka IV Constitution of The Federative Republic of Brazil.
52
Pasal 49 angka IX Constitution of The Federative Republic of Brazil
53
Pasal 165 Constitution of The Federative Republic of Brazil.

38
hanya sector tertentu. Ketentuan materi muatan daripada angka II dan

angka IV Pasal 48 tersebut semuanya disusun oleh Presiden, sementara

National Congress mengesahkan dan menetapkan.

Konstitusi Brazil tidak mempunyai bab khusus mengenai haluan

penyelenggaraan negara akan tetapi beberapa bab memuat tentang

prinsip-prinsip yang bersifat directive. Dalam Konstitusi Brazil, diuraikan

principles dan arah kebijakan secara sektoral, yang secara umum dibagi

dalam tiga bagian yaitu; (1) Title VI: Taxation and Budget, (2) Title VII:

The Economic and Financial Order dan (3) Title VIII: The Social Order. 383

Ketiga title tersebut masing-masing memuat general principles atau

general provisions terlebih dahulu, baru kemudian dimuat mengenai arah

kebijakan perencanaan dan penganggaran sektoral. Penganggaran

kemudian menjadi perhatian khusus yang dituangkan dalam Bab

Anggaran,384 sehingga kemudian Presiden memiliki pedoman dalam

menyusun anggarannya. Pengaturan perencanaan sektoral dalam

Konstitusi Brazil termasuk sangat spesifi k apabila kita melihat bab

khusus mengenai sports, health dan lainnya. Konstruksi dalam Konstitusi

Brazil dalam hal ini menjabarkan principles dan policies secara sektoral.

Dengan dimuatnya ketentuan yang sangat spesifi k tersebut membuat

konstitusi Brazil menjadi sering dilakukan amandemen.Terhitung sejak

tahun 1992 sampai dengan sekarang terdapat lebih dari 64 amandemen,

39
yang berdasar amat dari amandemen tersebut kebanyakan

mengamandemen terkait perencanaan kebijakan sektoral.54

Berdasarkan perbandingan atas negara Brazil dan Filipina maka dapat

disimpulkan bahwa perlu adanya perbaikan dalam mekanisme perencanaan

pembangunan dengan adanya pelibatan MPR dalam praktiknya. Hal tersebut

dapat dilihat bagaimana congress di Brazil dan Filipina yang melibatkan congress

dalam menyusun haluan bagi penyelenggaraan negara. Adanya haluan negara di

Filipina ditunjukan dengan pemisahan principles dan policies, yang bahkan

principles dalam konstitusi Filipina lebih luas daripada sekedar perencanaan

pembangunan dan sudah mencakup kaidah prinsipil dalam negara. Kondisi

tersebut idealnya dipraktikan di Indonesia dengan menetapkan haluan

penyelenggaraan negara yang ditetapkan oleh MPR.55

4.3. Konsekuensi Atas Keberlakuan GBHN: Destruktif Sistem

Presidensial?

Sub pembahasan ini didasarkan atas pertimbangan dua argumentasi:

pertama, ada yang berpendapat bahwa ide GBHN bertentangan dengan sistem

pemerintahan presidensil yang sesudah masa reformasi justru dimaksudkan

untuk diperkuat. Dengan adanya GBHN, kedudukan Presiden dikungkung oleh

program kerja yang sudah ditentukan oleh MPR, sehingga dikuatirkan Presiden

54
Universitas Gadjah Mada dan Biro Pengkajian Setjen MPR, Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Cetakan Pertama, Jakarta, Badan
Pengkajian MPR RI 2018, Hlm. 98
55
Ibid, Hlm. 101

40
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan akan dituntut lagi

bertanggungjawab kepada MPR yang tidak lain merupakan ciri sistem

pemerintahan parlementer. Kedua, dalam sistem demokrasi di negara-negara

maju seperti di Amerika Serikat, kehidupan sosial, politik dan ekonomi dapat

berkembang menjadikan Amerika Serikat sangat maju, meskipun tidak

mempunyai GBHN. Yang penting, demokrasi menciptakan ruang bebas untuk

kreatifitas dan inovasi bagi segenap rakyat untuk mengejar kemajuan yang

efektif, efisien, dan partisipatif dengan dikendalikan secara teratur oleh sistem

‘rule of law’ yang efektif dan berkeadilan.56

Untuk keperluan praktis dan akademis, kerangka kerja yang dibangun

dalam Sub pembahasan dengan judul Konsekuesi atas keberlakuan GBHN:

destruktif sistem presidensil? Akan didekati dari dua pendekatan yaitu studi

kasus dan konseptual. Perlu ditegaskan bahwa, sub pembahasan ini

berkesinambungan dengan sub pembahaan sebelumnya sehingga sifatnya

adalah de lege ferenda dan bukan de lega lata. Berangkat dari hal tersebut maka

premis dan konklusi yang dihasilkan bersifat prediksi yang ditunjang oleh basis

teori yang memadai yaitu teori sistem presidential dan teori haluan negara atau

directive principle.

Dalam sub pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan alternatif bentuk

hukum yang akan digunakan oleh GBHN yaitu dapat bersifat regulatif

56
Jimly Asshiddiqie, Konstitusionalisme Haluan Negara Untuk Mewujudkan Tujuan Negara
Berdasarkan Pancasila, 2018, hlm. 3-4.

41
(regulation atau regelingen) dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau

dapat bersifat produk administrasi (beschikking) dalam bentuk aturan kebijakan

atau “beleidsregel” (policy rule) yang bersifat mengatur, tetapi bukan dalam

bentuk peraturan perundang-undangan atau produk regulasi. Mengapa kedua

alternatif itu penting disampaikan? Karena selama ini, dikalangan ahli hukum

masih saja didebatkan tentang bentuk hukum formal dari GBHN, lebih jauh

bentuk hukum itu akan menentukan derajat GBHN sebagaimana prinsip hirarki

norma yang dianut oleh rezim peraturan perundang undangan. Oleh sebab itu,

perlu ditegaskan kembali, bahwa bahwa sistem hierarki norma hukum berlaku

dalam lingkungan norma hukum regulatori atau “regelingen” (regulations),

bukan berkenaan dengan produk administrasi (beschikkings, administrative

decisions) ataupun produk ajudikasi berupa putusan pengadilan (vonnis).57 Jika

Ketetapan MPR yang dimaksud termasuk golongan peraturan perundang-

undangan atau regulasi, maka tentu harus diposisikan dalam sistem hierarki

norma yang bersifat vertikal. Tetapi, jika statusnya bukan sebagai regulasi, tidak

perlu merisaukan mengenai statusnya dalam sistem hierarkis norma hukum.

Meskipun terdapat dua alternatif, argumentasi yang diberikan dalam

tulisan ini adalah bahwa konsekuensi atas keberlakuan GBHN tidak akan

mendestruksikan sistem presidensial. Untuk mendekati argumentasi tersebut,

57
Ibid.

42
perlu dilihat terlebih dahulu desain konstitusional sistem presidensial di

Indonesia.

Konstitusi dalam tulisan ini adalah konstitusi dalam arti sempit yakni

konstitusi yang terdokumentasi yang sering disebut sebagai undang undang

dasar58 yang ditempatkan sebagai peraturan tertinggi atau “high ranking

regulatory law, a statute 'fraugh’ with direct legal consequences”. Namun

demikian, konstitusi tidaklah diartikan sesederhana itu karena konstitusi

mengandung pula makna yang lebih filosofis. Diungkapkan oleh Cheryl

Saunders, sebagaimana dikutip oleh Susi Dwi Harjanti, bahwa “a constitution is

more than a social contract...it rather an expressions of the general will of nation.

it is a reflection of its history, fears, concerns, aspirations and indeed, the soul of

the nation”.59 Dalam pandangan serupa Frank I Michaelman mengungkapkan “a

mirror reflecting the national soul, perhaps and expression of national ideals, and

value expected, as such, to preside and permeate the process of judicial

interpretation and judicial discreation, troughout the lenght and breadth of the

national legal order”. Salah satu materi muatan utama konstitusi adalah jabatan-

jabatan kenegaran yang bersifat fundamental khususnya jabatan Presiden.

Sebagai salah satu refleksi sejarah, perjalanan pengaturan jabatan

Presiden terpampang jelas pada UUD sebelum dan sesudah perubahan yang

58
Lihat C.F. Strong, Modern Political Constitution, London: Sidgwick & Jackson, 1966 dan K.C
Wheare, Modern Constitution, Oxford: Oxford University Press, 1960.
59
Bagir Manan, Susi Dwi Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2015, h. iv

43
menurut Sri Soemantri60 menggambarkan sistem pemerintahan semi

presidential dan sistem presidential atas dasar beberapa alasan, antara lain:

Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD dengan masa

jabatan 5 tahun. Hal ini mencerminkan ciri sistem presidential sebagaimana

diungkapan oleh Giovani Sartori atau Linz dimana sistem presidential memiliki

ciri kepastian atau rigidity.61 Adapun unsur sistem pemerintahan parlementer

dijumpai pada pemberhentian Presiden oleh MPR karena MPR yang memilih

Presiden. Desain ini juga sejalan dengan ciri parlementer menurut Arend Lipjart

yang mengatakan bahwa Setiap saat parlemen dapat memberhentikan

perdana menteri dan membubarkan kabinet yang dipimpinnya melalui mosi

tidak percaya (vote of no confidence).62

Setelah perubahan, sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem

presidential. Selain ketetentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan

bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, karakteristik sistem

presidential secara jelas dapat terlihat dalam perubahan ketiga dimana Presiden

tidak lagi dipilih dan bertanggung jawab kepada MPR. Karakteristik lainnya juga

terlihat dari Pasal 6A UUD 1945 mengatur "Presiden dan wakil presiden dipilih

dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.

60
Susi Dwi Harjanti, “Khazanah: Sri Soemantri”, PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum, volume 3
nomor 1 tahun 2016, hlm. 209.
61
Denny indrayana, Bahan Ajar Hukum Tata Negara: Teori Lembaga Kepresidenan, Fakultas
Hukum Universitas Gaja Mada, tanpa tahun, hlm. 5-6.
62
Ibid. 14.

44
Seorang Presiden Indonesia berada dalam posisi utama kekuasaan

eksekutif. Selain bertindak sebagai kepala negara, Presiden di Indonesia juga

bertanggung jawab terhadap terlaksananya pemerintahan yang baik.

Konsekuensi Presiden dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh

rakyat membuat Presiden sebagai kepala utama kekuasaan eksekutif yang

bersifat tunggal. Berbeda dengan sistem parlemen dimana Presiden diangkat

oleh parlemen dan oleh karenanya bertanggung jawab terhadap parlemen.

Sistem presidensial ini dibentuk sebagai upaya untuk membangun

pemerintahan yang efektif dan efisien, karena eksekutif dianggap dapat

mewujudkan proses pelaksanaan kebijakan tanpa hambatan dari DPR sebagai

legislatif. Pun demikian setelah UUD 1945 diamandemen, jabatan Presiden

merupakan mandat yang diberikan langsung oleh rakyat melalui pemilu dan

buka lagi sebagai mandataris oleh MPR. Sehingga Presiden lebih memiliki ruang

untuk bergerak bebas tanpa harus bertanggungjawab kepada parlemen.

UUD 1945 tidak menyebutkan kekuasaan presiden sebagai pemegang

kekuaaan pemerintahan secara jelas, sehingga kekuasaan terlihat sangat

absolut.63 Kekuasaan ini dapat saja disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

Sehingga diperlukan adanya mekanisme pengawasan oleh lembaga negara yang

lain sebagai bentuk perimbangan kekuasaan. Bahkan jika terbukti Presiden

melakukan tindakan yang melanggar Undang-Undang maka dapat


63
Kukuh Bergas, Dewan Perawakilan Rakyat Dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam
Proses Impeachment President Abdurahman Wahid, Jurnal Hukum Dan Pembangunan 49, no. 4,
tahun 2019, hlm. 850.

45
diberhentikan. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden berhak membentuk

pemerintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan para

menteri serta pejabat lainnya berdasarkan political appointment.64 Pada sistem

ini dikenal concrentasion of governing power and responsibility upon the

president.65 Dengan kata lain Presiden merupakan lembaga paling atas dalam

sistem presidensial, tidak ada lembaga lain yang berada diatas Presiden kecuali

konstitusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Jimly Asshiddiqie yang mengatakan

bahwa Presiden secara politik bertanggung jawab kepada rakyat sebagai

pemegang kedaulatan, sedangkan bila ditinjau secara hukum Presiden

bertanggung jawab kepada konstitusi.66

Impeachment menurut Jimly Asshiddiqie berasal dari bahasa inggris yang

berarti mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban melalui suatu

mekanisme sesuai konstitusi.67 Dalam hubungannya dengan sistem presidensial

dimana Presiden yang bertindak sebagai kepala pemerintahan, impeachment

bukan berarti langsung pemberhentian jabatan, melainkan pemanggilan

presiden untuk diminta pertanggungjawaban atas dugaan pelanggaran hukum

dengan jabatan. Di berbagai negara, Presiden diidentikkan dengan wajah suatu

negara. Sehingga memiliki kedudukan yang vital dalam mengarahkan negara

beserta rakyatnya kedepan. Presiden secara atributif memperoleh kekuasaan

64
Ibid. 851
65
Ibid.
66
Ibid.
67
Ibid.

46
dari konstitusi.68 Bila terjadi impeachment terhadap Presiden suatu negara maka

negara tersebut akan sangat tercoreng namanya. Di Indonesia Presiden

dan/atau wakinya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas

usul DPR, apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat

lainnya, atau perbutaan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi

syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai Pasal 7A UUD 1945.

Impeachment Sebelum Amandemen

Dasar hukum impeachment pada masa ini adalah Pasal 8 yang

menyatakan bahwa Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan

kewajiban dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis

waktunya. Pemberhentian Presiden dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat.

Dalam hal ini adalah MPR yang bertindak sebagai lembaga tertinggi negara.

Lembaga yang terkait dengan pemberhentian presiden pada masa ini adalah

lembaga legislatif yaitu DPR dan MPR. Beberapa penyebab Pemakzulan Presiden

di antaranya:

1. Presiden melakukan kejahatan

2. Penghinaan terhadap negara

3. Serta tidak lagi mampu menjalankan jabatannya.

68
Ibid.

47
Prosesnya diawali kesimpulan dari DPR mengenai pendapat DPR

terhadap presiden yang telah melanggar haluan negara. Pada penjelasan UUD

1945 yaitu angka VII alinea ketiga dijelaskan bahwa: Jika dewan menganggap

adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden terhadap Haluan Negara yang

telah ditetapkan oleh UUD atau MPR, maka Presiden dapat diundang untuk hadir

dalam Sidang Istimewa untuk dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya.

Melanggar haluan negara tidak diartikan dalam peraturan perundang-undangan

yang ada, melainkan dianggap sebagai bentuk pelanggaran pada praktek

ketatanegaraan Indonesia. Seperti pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden

terhadap ketetapan MPR dan UUD.

Presiden dapat dianggap tidak memegang teguh UUD 1945 dan undang-

undang lainnya. Tidak ada penjelasan secara eksplisit mengenai

pertanggungjawaban yang ditolak MPR maka akan berakibat terhadap

pemberhentian Presiden. Pengaturan terkait dengan mekanisme Pemberhentian

Presiden ini diatur pada TAP MPR RI No.VI/MPR/1973 dan TAP MPR RI No.

III/MPR/1978. Pada TAP ini dijelaskan bahwa DPR bertugas mengawasi segala

macam bentuk tindakan yang dilakukan oleh Presiden dalam rangka

pemerintahan dan pelaksanaan haluan negara. Bila ditemukan adanya indikasi

pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden, maka DPR akan menyampaikan

memorandum yang berfungsi sebagai pengingat agar tetap sesuai dengan haluan

negara. Apabila Presiden dalam waktu tiga bulan tidak memperhatikan

48
memorandum yang disampaikan oleh DPR, maka DPR akan memberikan

memorandum kedua. Jika Presiden masih tetap tidak memperhatikan

memorandum kedua tersebut, maka DPR akan meminta MPR untuk

mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden

atas tindakannya.69

Impeachment Sesudah Amandemen

Sesudah amandemen UUD 1945 ke-4 mulai terlihat adanya aturan baru

mengenai mekanisme impeachment. Hal ini dituangkan ke dalam Pasal 7B UUD

1945 yang memiliki nilai yuridis lebih signifikan dibandingan nilai politis.

Karena impeachment sendiri erat kaitannya dengan tindakan politis untuk

sekedar menjatuhkan Presiden saja oleh Lembaga negara lainnya. Aturan

lainnya pada UUD pasca amandemen adalah Presiden dan/atau wakilnya tidak

dipilih oleh MPR. Sehingga DPR tidak dapat mengajukan mosi tidak percaya

terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden.

Pada pasal 80 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi menyatakan bahwa bila DPR ingin mengajukan impeachment

terhadap Presiden dan/atau wakilnya, maka DPR harus menjelaskan secara

detail dalam permohonannya yang diajukan ke MK. 70 Termasuk alasan dugaan

Presiden yang telah melakukan pelanggaran hukum berupa:

69
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden “Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden
Menurut UUD 1945”, Jakarta, Konstitusi Press, 2005, hlm. 91.
70
Harjono dan Maruar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, hlm. 62.

49
1. Penghianatan terhadap negara;

2. Korupsi, penyuapan;

3. Tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;

4. Dan/atau Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau wakil Presiden berdasarkan UUD 1945.

DPR harus mempersiapkan investigasi sebelum mengemukakan

pendapatnya berkenaan pelanggaran yang telah dilakukan oleh Presiden

dan/atau wakilnya.71 DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap jalannya

pemerintahan. DPR akan menyampaikan permohonan kepada Mahkamah

Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus Presiden dan/atau

wakilnya telah melanggar hukum atau tidak. Mahkamah Konstitusi berwenang

untuk memeriksa, mengadili dan memutus usulan DPR terkait dengan

Impeachment paling lama 90 hari kerja setelah perkara diterima. Bila sudah

diputuskan maka putusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat Final and binding

sesuai dengan Pasal 24C UUD 1945. Bila dalam putusan Mahkamah Konstitusi

amar putusannya menyatakan Presiden terbukti bersalah, maka putusan MK ini

akan menjadi dasar bagi DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran

hukum atau inkompetensi. Berikut adalah tahapan-tahapan yang ada pada

sidang pleno hakim yang sekurang-kurangnya dilakukan oleh 7 orang hakim

71
Ibid. 3.

50
konstitusi, sidang yang dipimpin oleh Ketua MK dan sifat sidang yang terbuka

untuk umum sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2):72

1. Tahap I : Sidang Pemeriksaan Pendahuluan

2. Tahap II : Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

3. Tahap III : Pembuktian oleh DPR sebagai pemohon

4. Tahap IV : Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

5. Tahap V : Kesimpulan oleh DPR dan Presiden

6. Tahap VI : Pembacaan Putusan (Pasal 9).

Pada tahap II Presiden berkesempatan untuk menyampaikan tanggapan

terhadap pendapat DPR dengan didampingi oleh kuasa hukumnya. Tanggapan

yang disampaikan dapat berupa:73

1. Sah atau tidaknya proses pengambilan keputusan DPR;

2. Materi muatan pendapat DPR;

3. Perolehan dan penilaian alat-alat bukti tulis yang diajukan DPR kepada

MK (Pasal 12).

Peran DPR pada tahap II adalah untuk memberikan tanggapan balik atas

tanggapan yang telah disampaikan oleh Presiden. Dalam tahap III DPR wajib

membuktikan dalil-dalilnya dengan disertai alat bukti, sebagai berikut: 74 alat

bukti surat, keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk, serta alat bukti lainnya

72
Kukuh Bergas, Op.Cit, hlm. 853.
73
Ibid.
74
Ibid.

51
atau informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara

elektronik dengan alat optik atau alat lainnya.

Pada tahap IV Presiden berhak untuk menyanggah terhadap alat bukti

yang sudah disediakan oleh DPR dalam persidangan. Presiden juga

diperkenankan untuk memberikan bantahan beserta alat bukti. Setelah alat

bukti dibacakan dan dinyatakan cukup oleh Hakim Konstitusi maka diakhir akan

ada pembacaan kesimpulan yang disampaikan oleh DPR sebagai pemohon dan

Presiden sebagai termohon. Kesimpulan harus disampaikan dalam waktu 14

hari setelah sidang tahap ke IV dilaksanakan. Kesimpulan akan dibacakan pada

persidangan tahap ke V.

Berdasarkan salinan putusan MK yang menyatakan bahwa Presiden

terbukti telah melakukan pelanggaran hukum maka DPR akan mengusulkan

kepada MPR terkait pemberhentian presiden. MPR wajib menyelenggarakan

sidang paling lama tiga puluh hari setelah usul diterima. Selanjutnya MPR akan

mengadakan Rapat Paripurna dengan agenda Impeachment terhadap Presiden

itu sendiri. Rapat paripurna ini harus dihadiri sekurang-kurangnya ¾

anggotanya. Persetujuan pemberhentian ini harus disepakati sekurang-

kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir. Sebelum pembacaan ketetapannya,

MPR harus memberikan kesempatan terhadap Presiden dan/atau Wakil

Presiden untuk menyampaikan pidato penjelasan mengenai

52
pertanggungjawaban tentang apa yang sudah dilakukannya. Bila anggota tidak

menerima pertanggungjawaban tersebut maka Presiden akan diberhentikan.

Melihat desain konstitusional impeachment diatas dihubungan dengan

keberlakuan GBHN, maka system impeachment sebelum perubahan UUD

memberikan ruang agar Presiden diberhentikan dari masa jabatannya

disebabkan semata mata dilanggarnya GBHN dan UUD. Untuk menerangkan

maksud tersebut maka perlu dilihat kasus dimakzulkannya Abdurahman Wahid

(Gus Dur) dari jabatan Presiden.75

Gus Dur dilengserkan oleh MPR karena kasus yang dianggap melanggar

UUD 1945. Wacana pemberhentian ini juga sudah mulai terdengar ketika Gus

dur. Hal ini dilatarbelakangi 3 skandal besar. Yaitu Brunei gate, Bullogate, dan

Dekrit Presiden. Pertama, dalam kasus Brunei Gus Dur diduga telah melakukan

penyimpangan penggunaan dana yang diterimanya dari Sultan Brunei kepada

pengusaha yang dekat dengan Presiden Gus Dur. Ditemukan adanya indikasi

tindak pidana korupsi yang turut menyeret namanya. Dana sebesar 2 juta yang

disebut sebagai Bruneigate diterima oleh Ario Wowor yang diserahkan kepada

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melalui H. Masnuh. Alasan untuk

merahasiakan tindakan tersebut justru melahirkan indikasi untuk penggunaan

kepentingan pribadi tanpa adanya informasi ke publik.

75
Ibid. Hlm. 854-857.

53
Kedua, pada kasus Bulog yang melibatkan yayasan Yanatera (Yayasan

Bina Sejahtera) Bulog yang pada saat itu dikelola oleh Wakabulog Sapuan.

Sapuan dikenakan vonis 2 tahun penjara dan terbukti telah bersalah karena

menggelapkan dana Bulog sebesar 35 Milyar rupiah. Kasus ini terdengar cukup

luas sehingga turut menyeret nama pejabat-pejabat Gus Dur. Para pejabat di

jaman Gus Dur pun beranggapan bahwa Bulog dapat digunakan untuk

menanggulangi masalah terkait dengan logistik.

Terdapat anggapan bahwa Gus Dur setuju dengan leluasa dapat

menggunakan dana dan materi yang ada pada Bulog dalam menghadapi masalah

yang akan timbul. Namun di kubu DPR menganggap Gus Dur kurang tepat dalam

mengeluarkan pendapat, karena bisa terjadi korupsi. Sehingga Gus Dur

dikirimkan memorandum oleh DPR pada saat itu. Penyelidikan pada kasus ini

dihentikan kejaksaan karena Gus Dur dinyatakan tidak terlibat. Setelah ada

kasus Bulog, DPR melakukan pengesahan pembentukan Pansus yang berfungsi

melakukan penyelidikan terkait kasus Dana Bulog dan Brunei dengan tujuan

untuk:

1. Melakukan penyelidikan guna mengungkap fakta-fakta yang berkaitan

dengan penggunaan dana milik Yanatera Bulog dan Dana bantuan Sultan

Brunei Darussalam kepada Gus Dur dalam rangka mencari kebenaran

dan akuntabilitas publik, mengingat dana yang digelontorkan dari Brunei

tidak dipublikasikan oleh Gus Dur ke khalayak umum.

54
2. Mewujudkan mekanisme checks and balances sebagai bentuk upaya

tercapainya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik (good

governance)

3. Melaksanakan fungsi pengawasan DPR-RI terhadap jalannya

pemerintahan negara Republik Indonesia.

Kesimpulan yang dapat disampaikan oleh pansus setelah empat bulan

bekerja dan disampaikan hasil pengawasannya pada Rapat Paripurna DPR pada

28 Januari 2001 adalah:

1. Dalam kasus Bulog, Pansus berpendapat bahwa Gusdur diduga memiliki

peran dalam pencairan dan penggunaan dana Bulog;

2. Dalam kasus bantuan dana dari Brunei, pansus berpendapat adanya

inkonsistensi pernyataan Gus Dur tentang masalah bantuan dana dari

Brunei bahwa Gus Dur tidak menyatakan yang sebenar-benarnya kepada

masyarakat. Atas laporan dari Pansus maka DPR menyetujui

penyelidikan pansus dan DPR memiliki pendapat bahwa Gus Dur sangat

melanggar haluan negara, yaitu:

1. Melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang sumpah jabatan, dan

2. Melanggar TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

55
Lewat memorandum yang dibuat oleh DPR, terdapat dua hal yang

dituduhkan kepada Gus Dur dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap haluan

negara, yaitu:

1. Melanggar UUD 1945 mengenai Sumpah jabatan Presiden;

2. Melanggar TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara

yang bersih dari KKN.

Selanjutnya Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden yang menjadi

kontroversial saat itu. Dekrit yang dikeluarkan dianggap hanya bermuatan

politis saja, karena isinya membubarkan MPR, DPR dan pembekuan Partai

Golongan Karya. Alasan Gus Dur mengeluarkan Dekrit ini karena perkembangan

politik jaman tersebut membuat hambatan yang berkepanjangan sebagai akibat

dari krisis konstitusional dan bila didiamkan akan menimbulkan kriris ekonomi.

Parahnya bila berlarut-larut dapat menimbulkan korupsi. Gus Dur beranggapan

hal seperti ini akan menghancurkan Negara Republik Indonesia, sehingga

dikeluarkanlah dekrit Presiden pada 23 Juli 2001 waktu dini hari. Berikut adalah

isi Dekrit Presiden yang dikeluarkan Gus Dur untuk menyelamatkan Negara

Indonesia yang dianggap menuai kontroversi:

1. Membekukan MPR dan DPR.

2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan

serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan

Pemilu dalam waktu satu tahun.

56
3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari unsur-unsur Order baru

dengan membekukan Partai Golong Karya sambil menunggu keputusan

Mahkamah Agung. Untuk itu kami memerintahkan seluruh jajaran TNI

dan Polri untuk mengamankan langkah penyelamatan NKRI dan

menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang serta

menjalankan kehidupan sosial dan ekonomis seperti biasa.

Sebelumnya Gus Dur juga pernah mencopot Jenderal Polisi Surojo

Bimantoro karena telah memiliki rapor merah. Akan tetapi Surojo menolak hal

tersebut, sehingga Gus Dur dengan sendirinya mengeluarkan Keputusan

Presiden No. 40 dan 41/Polri/2001 tentang penonaktifan Bimantoro sebagai

Kepala Polri dan menyerahkan tugas yang ada pada Surjojo kepada wakilnya.

Tindakan ini tidak dapat dibenarkan menurut para ahli mengingat

pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri dan Kepala TNI harus

mendapatkan persetujuan DPR terlebih dahulu sesuai dengan TAP MPR No.

VII/MPR/2000. DPR beranggapan penonaktifkan Surojo sebagai pemberhentian,

padahal Gus Dur hanya menonaktifkan saja. Jika dilihat dekrit presiden Gus Dur

ini sangat kontroversial, karena isinya terdapat pembubaran parlemen yaitu

DPR dan MPR sebagai lembaga legislatif. Bila saat itu sampai terjadi maka DPR

beranggapan bahwa kekuasaan legislatif dapat terpusat sementara oleh

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh eksekutif. Terdapat konflik politis

yang terjadi diantara Presiden dan DPR sehingga Ketua MPR pada saat itu

57
mengambil langkah tegas. Amien Rais selaku ketua MPR menolak keras dekrit

Presiden tersebut. Atas usulan DPR, MPR mempercepat sidang istimewa dan

memutuskan untuk memakzulkan gus dur. Sidang dipercepat dan tidak

mengikuti Tata Tertib MPR yang diatur pada TAP MPR No. II/MPR/2000. Sidang

Istimewa ditetapkan dalam sidang paripurna MPR, padahal sidang paripurna

merupakan bagian dari Sidang Umum atau Sidang Istimewa.

Memang pada saat itu MPR merupakan pemegang kedaulatan rakyat

terbesar dan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, MPR tidak juga

diperbolehkan untuk mengesampingkan hukum yang sudah dibentuknya

sendiri. Dimana ketentuan tersebut merupakan keputusan bersama yang telah

disetujui MPR secara bersama-sama dan merupakan jelmaan dari kedaulatan

rakyat. Pada tanggal 23 Juli 2001 MPR mengeluarkan TAP MPR No.

II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Gus dur yang intinya

memberhentikannya dari kursi Presiden dan mencabut TAP MPR No.

VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. TAP MPR

No. II/MPR/2001 dianggap melanggar Haluan negara oleh beberapa pejabat

Gusdur karena yang dijadikan pertimbangan adalah ketidakhadiran Gusdur

dalam sidang Istimewa dan penolakan terhadap pertanggunjawaban terhadap

Dekrit Presiden yang dikeluarkan oleh Gusdur. Padahal, sudah sepatutnya dasar

dari pemberhentian Gus Dur adalah memorandum yang sudah dilayangkan oleh

DPR. Tindakan ketidakhadiran Gus Dur dalam sidang istimewa dibenarkan

58
beberapa pihak seperti Hestu Cipto Handoyo. Beliau berpendapat bila Gus Dur

menghadiri sidang istimewa MPR tersebut maka Gus Dur dapat dianggap

melanggar UUD 1945, dengan alasan bahwa UUD 1945 menggunakan sistem

Presidensial bukan sistem parlementer. Pemberhentian oleh MPR didasarkan

atas usul DPR yang dalam persidangan lebih banyak menghadirkan bukti-bukti

melalui hasil penyelidikan pansus. Sehingga MPR dalam proses penjatuhan

putusan seharusnya menggunakan dasar pengawasan oleh pansus yang

dibentuk DPR. Pada kasus justru sebaliknya, MPR menggunakan alasan

ketidakhadiran Gus Dur sebagai dasar pemberlakuan impeachment.

Berpijak pada studi kasus Gus Dur diatas, maka terdapat satu poin

penting alasan dimakzulkannya Gus Dur yaitu dikarenakan dia melanggar

sumpah jabatan dan melanggar GBHN. Perlu ditegaskan bahwa prosedur

pemberhentian tersebut bernuansa politis semata. Salah satu kritik atas alasan

diberhentikannya Gus Dur dihubungkan dengan ciri sistem pemerintahan dan

sifat dari haluan negara adalah bahwa sebelum perubahan UUD 1945 sistem

pemerintahan negara didasarkan pada sistem semi presidensial artinya

presiden dapat diberhentikan dari masa jabatannya karena presiden dipilih oleh

MPR sehingga presiden bertanggung jawap kepadanya. Sedangkan UUD 1945

perubahan, memuat politik hukum berupa penguatan sistem presidensil, dimana

presiden dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Disamping itu

ada jaminan kepastian masa jabatan. Serta alasan pemberhentian tidak semata-

59
mata berdasarkan prosedur politik semata melainkan harus didadarkan pada

due procces of law, yang dapat dilihat dari keterlibatan MK.

Alasan pemberhentian dengan menggunakan haluan negara sebagai

dasarnya sangat tidak tepat sebab haluan negara semata-mata bersisi arahan

artinya keberadannya hanya memberikan pedoman moral dan politik

penyelenggara negara untuk menjabarkannya dalam kebijakan yang bersifat

operasional. Untuk itu, penulis berpendapat bahwa ketidakpatuhan akan haluan

negara tidak dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan Presiden dari masa

jabatannya. Justru, keberadaan haluan negara dapat dijadikan sebagai alat ukur

bagi rakyat untuk mengukur kinerja Presiden. Untuk mempertegas argumentasi

tersebut, perlu diajukan kerangka konseptual tentang haluan negara atau

directive priciples.

Tarunabh Khaitan, mengungkapkan bahwa directive principles memiliki

beberapa fitur penting, pertama directive principles are constitutional. Kedua,

these are directives. ketiga, these directives are primarily addressed to the political

organs of the state, especially, the executive and the legislature. Keempat, they are

programmatic rather than being exclusively performative. Kelima, directive

principles set out a transformative agenda for the state being constituted.

Keenam, directives perform an expressive function.76

76
Tarunabh Khaitan, Directive Principles and The Expressive Accommodation of Ideological
Dissenters, I•CON (2018), Vol. 16 No. 2, Hlm. 397-398.

60
Lebih singkat dari Tarunabh Khaitan, Lael K Weis mangajukan dua fitur

utama directive priciples yakni, pertama they are obligatory. Menurutnya,

directive principles menempatkan kewajiban konstitusional yang mengikat pada

negara untuk mempromosikan nilai-nilai tertentu. Dengan perkataan lain,

directive principles bersifat imperatif. Kedua, directive principles are

contrajudicative: they are not designed to be given effect by direct judicial

enforcement. Menurutnya, directive principles tidak dapat ditegakkan secara

hukum.77 Fitur kedua ini serupa dengan fitur ke tiga dari directive principles yang

diungkapkan oleh Tarunabh khaitan. Dua fitur tersebut menunjukan bahwa

meskipun haluan negara bersifat imperatif namun keberadaannya tidak dapat

ditegakan oleh pengadilan.

Menerangkan maksud dari pernyataan tersebut maka ada baiknya

melihat pandangan dari pembentuk konstitusi Irlandia yang menegaskan bahwa

directive principle berada diluar yuridiksi pengadilan:

when the political branches fail, there is appeal to the people, who may help
vindicate the consti-tutional right. But, where the majority is the problem, the
vindication of constitutional rights needs a non-majoritarian decision-maker,
such as the courts, to vindicate rights. With the DPSP being non-justiciable,
there is no remedy to the majoritarian problem. If there is no pursuit of the
consti-tutional directive principle by the political branches, then as a practical
matter, the constitutional provision is repealed.78

Bahkan dalam konstitusi India pasal 36 disebutkan “no questions shall be

raised in any court as to whether provisions contained in this part are


77
Lael K Weis, Constitutional Directive Principles, Oxford Journal Of Legal Studies, Vol. 37, No.
4, tahun 2017, hlm. 920.
78
Berihun Adugna Gebeye, The Potential..,hlm. 5.

61
implemented or not”. Tiada permasalahan yang dapat diajukan kepengadilan

apakah ketentuan dalam bagian ini dapat dilaksanakan atau tidak. Dalam

ketentuan lebih lanjut disebutkan bahwa negara harus memobilisasikan sumber

daya yang diperlukan untuk melaksanakan prinsip-prinsip dan haluan negara.

Sejalan dengan wacana menghidupkan kembali GBHN, maka GBHN yang

dibentuk kedepan bersifat arahan namun imperatif bagi Presiden dan lembaga

politik lainnya untuk menjalankan roda pemerintahan. Namun dalam perspektif

penulis, GBHN dapat ditegakkan oleh pengadilan. Penulis akan menjelaskan

pada sub pembahasan selanjutnya. Sebagai bentuk penegasan, kedepan GBHN

harus dikecualikan dari syarat pemberhentian Presiden. Kepatuhan

terhadapnya bergantung pada kondisi politik yang sehat. Mengutip pandangan

Srinivas Katkuri 79 bahwa GBHN harus dipandang sebagai “bank cheque issued on

bank payable as per bank’s convenience”.

Kedepan garis besar haluan negara (dengan huruf kecil tanpa kata ‘dari

pada’) tidak akan dan tidak boleh ditafsirkan akan menyebabkan: 80

1. MPR menjadi lebih tinggi kedudukannya daripada Presiden;

2. Presiden tidak dapat lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan harus

kembali dipilih oleh MPR;

3. Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR, bukan langsung lagi

kepada rakyat;
79
Srinivas Katkuri, Role of Directive Principles Towards Welfare of The State and Social
Development in India, International Journal of Law, Volume 4; Issue 1; January 2018, hlm. 57.
80
Jimly asshiddiqie, konstitusionalisme haluan..., op.cit hlm. 5.

62
4. Rumusan GHBN demikian rinci dan bersifat operasional, sehingga

Presiden tidak dapat lagi berkreativitas untuk menyusun program

menurut visi dan misi yang diusungnya dalam kampanye pemilihan

Presiden;

5. Ketetapan MPR akan hidup kembali dengan status hirarkies dibawah

UUD tetapi diatas UU

4.4. Penegakan Sanksi Hukum Haluan Negara Dalam Sistem Presidensil:


Perspektif Delege Ferenda

Dalam sub pembahasan sebelumnya, penulis menyatakan bahwa

keberadaan haluan negara tidak akan mendestruksikaan sistem presidential dan

haluan negara dapat dijadikan sebagai alat ukur untuk menilai kinerja presiden

ataupun lembaga negara lainnya. Penulis juga berpendapat bahwa

penegakannya tidak hanya dapat dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat

melainkan juga oleh pengadilan. Oleh sebab itu, dalam sub pembahasan ini

penulis akan menjelaskan tentang penegakan hukum haluan negara dalam

sistem presidensial. Untuk mencapai tujuan tersebut, akan digunakan prinsip

check and balances sebagai pisau analisis. Prinsip ini dipilih karena politik

hukum UUD 1945 dikonstruksikan atas doktrin pemisahan kekuasaan.

Menurut Bagir Manan, penegakkan hukum merupakan suatu bentuk

kongkrit penerapan hukum dalam masyarakat yang akan mempengaruhi

perasaan hukum, kepuasaan hukum, dan kebutuhan atau keadilan hukum

63
masyarakat.81 Sedangkan menurut Jimly Asshidiqie, penegakkan hukum adalah

proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma

hukum secara nyata sebagai pedoman prilaku dalam lalu lintas atau hubungan

hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.82

Membaca pengertian penegakkan hukum menurut kedua ahli diatas, maka

penegakkan hukum dalam penelitian ini adalah penegakkan haluan negara,

dalam hal penerapan, pengawasan, bahkan sampai dengan penjatuhan sanksi

atas pelanggarnya, yang dilakukan oleh Presiden dan lembaga negara lainnya

berdasarkan prinsip check and balances.

Sebelum lebih jauh membahas tentang penegakkan haluan negara, ada

baiknya terlebih dahulu diketahui alasan mengapa pemisahan kekuasaan itu

penting dan patut diperjuangkan? karena:

Ambition must be made to counteract ambition. The interest of the man must
be connected with the constitutional rights of the place. It may be a reflection
on human nature, that such devices should be necessary to control the abuses
of government. But what is government itself, but the greatest of all
reflections on human nature? If men were angels, no government would be
necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal
controls on government would be necessary. In framing a government which
is to be administered by men over men, the great difficulty lies in this: you
must first enable the government to control the governed; and in the next
place oblige it to control itself. A dependence on the people is, no doubt, the
primary control on the government; but experience has taught mankind the
necessity of auxiliary precautions.83
81
Susi Dwi Harjanti Ed, Negara Hukum Yang Berkeadilan: Kumpulan Pemikiran Dalam Rangka
Purna Bakti Prof Dr H Bagir Manan S.H M.CL., PSKN FH Unpad-rosdakarya, Bandung, 2011, hlm.
553.
82
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, Tanpa Tahun Terbit, hlm. 1.
83
Steven G. Calabresi, Mark E. Berghausen & Skylar Albertson, The Rise And Fall Of The Separation
Of Powers, Northwestern University Law Review, Vol. 106, No. 2, Amerika Serikat, hlm. 548.

64
Perkataan James Madison diatas, selaras dengan aforisme pedas dari Lord

Acton yang mengatakan bahwa “Power tends to corrupt and absolute power

corrupts absolutely”. Di Indonesia, aforisme tersebut teruji validitasnya pada

desain UUD 1945 sebelum perubahan yang melahirkan pemimpin yang diktator

dikarenakan dua sebab pertama, terjadinya executive heavy dan kedua, tidak

berjalannya check and balances. 84

Berbicara mengenai check and balances, G Marshal mengatakan bahwa

prinsip tersebut merupakan ciri dari doktrin pemisahan kekuasaan.

Menurutnya, setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi cabang-cabang

kekuasaan yang lain. dengan adanya perimbangan yang saling mengendalikan

tersebut, diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di masing-masing

organ yang bersifat independen.85

Ditinjau dari perspektif check and balances, maka keberadaan haluan negara

dapat ditegakkan untuk mencegah terjadinya haluan negara yang bersifat

simbolic atau tidak bergigi.86 Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa yang

dipilih untuk mengawasinya adalah lembaga perwakilan rakyat dan pengadilan?

Alasannya adalah karena lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga

84
Bagir manan dan susi dwi harjanti, memahami konstitusi..., op.cit hlm. 89.
85
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid Ii, Sekretariat Jenderal Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 22.
86
Istilah simbolis digunakan oleh Lonneke Poort et.al untuk menunjuk kepada UU yang tidak
efektif atau “tidak bergigi” yang melayani tujuan politik dan sosial tertentu daripada tujuan yang
dinyatakan secara resmi. Lonneke Poort, symbolic legislation theory and development in biolaw,
Switzerland: Springer Nature, 2016, hlm. 5. Sebagai contoh UU No. 3 tahun 1971 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi yang dibentuk di era pemerintahan presiden Soeharto.

65
politik yang merepresentasikan rakyat sedang pengadilan adalah lembaga

independen. Lantas, lembaga perwakilan rakyat seperti apa yang dimaksud,

mengingat struktur lembaga lembaga perwakilan rakyat Indonesia adalah

trikameral. Menjawab pertanyaan tersebut, menurut penulis bahwa ketiga

lembaga negara, MPR, DPR, dan DPD harus diikutsertakan dalam penegakkan

haluan negara, sebab ketiganya mempunyai fungsi yang dapat mengimbangi dan

mengontrol kekuasaan Presiden. Sedangkan pengadilan dalam hal ini adalah MK,

dimaksudkan untuk mengimbangi cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Check and balances antar lembaga negara merupakan instrumen menjaga

atau mencegah tindakan sewenang-wenang, tindakan melampaui wewenang,

atau tindakan tanpa wewenang dalam sistem presidensil. Kita tentunya masih

ingat bahwa meskipun UUD 1945 sebelum perubahan menempatkan MPR

sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sekaligus dari penjelmaan

seluruh rakyat Indonesia yang mendistribusikan kekuasaannya ke lembaga

negara lainnya (termasuk presiden) namun pada kenyataan kekuasaan riil

tidaklah ditangan MPR, tetapi ditangan presiden. 87 Dengan perkataan lain, check

and balances antara lembaga negara dalam sistem presidential untuk menjamin

87
Hal ini terjadi karena presiden-lah yang banyak menunjuk seseorang untuk menjadi anggota
MPR melalui unsur utusan golongan. Selain itu presiden juga menseleksi orang-orang melalui
berbagai lembaga formal apabila ingin menjadi calon anggota DPR di mana anggota DPR
tersebut akan juga merangkap menjadi anggota MPR. Kondisi demikian menyebabkan MPR lebih
banyak menjadi “alat kekuasaan” bagi presiden. Patrialis akbar, lembaga-lembaga negara
menurut UUD NRI Tahun1945, sinar grafika, jakarta, 2015, hlm. 83.

66
kelangsungan penyelenggaraan negara dan pemerintahan secara demokratis,

negara hukum, dan paham konstitusionalisme.

Instrument check and balances tergambarkan pada fungsi yang dimiliki oleh

lembaga legislatif yang meliputi fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. 88

Sedangkan MK tergambarkan dari fungsi judicial review atau constitutional

complaint. Dari fungsi-fungsi tersebut dapat dirumuskan tiga sanksi yang dapat

dijatuhkan kepada Presiden pertama, DPR dapat menolak pembentukan UU

yang tidak sejalan dengan haluan negara. Kedua, DPR dapat menolak ataupun

memangkas RAPBN yang diusulkan oleh Presiden. Ketiga, MK dapat

membatalkan UU yang bertentangan dengan UUD. Keempat, adalah sanksi

moral. Untuk melihat penerapan sanksi tersebut maka perlu diajukan skema

hubungan antara lembaga-lembaga tersebut dalam perspektif delege ferenda.

MPR berwenang membuat dan menetapkan haluan negara sebagai pedoman

untuk menjalankan pemerintahan negara. Presiden menjalankan haluan negara

yang ditetapkan oleh MPR sebagaimana mestinya yang dilaporkan dihadapan

MPR pada sidang tahunan MPR. Selanjutnya, MPR menilai apakah haluan negara

yang ditetapkan dijalankan sepenuhnya oleh presiden yang diikuti oleh

pemberian rekomendasi.
88
Salah satu kritik datang dari Bagir Manan dan Susi Dwi Harjanti, menurut keduanya,
perubahan UUD 1945 tidak taat asas, mencampuradukkan antara hubungan legislatif dan
eksekutif dalam sistem presidential dengan sistem parlementer dengan memasukkan hak-hak
pengawasan parlementer terhadap presiden. Bahkan UUD 1945-baru, dengan tegas
mencantumkan fungsi pengawasan dan berbagai hak parlementer kepada DPR, tidak sejalan
dengan pengertian check and balances, dan bukan lagi sekedar mengurangi executive heavy,
tetapi merupakan bandul menuju legislative heavy yang lazim dalam sistem parlementer. Bagir
manan dan susi dwi harjanti, memahami konstitusi..., op.cit., hlm. 88-89.

67
Rekomendasi tersebut dapat berisi tiga hal, pertama GBHN dijalankan

sepenuhnya. Kedua, GBHN dijalankan sebagian. Ketiga, GBHN tidak dijalankan

sama sekali. Selanjutnya, rekomendasi tersebut diedarkan tidak hanya kepada

lembaga negara yang berada dipusat dan daerah melainkan juga diedarkan

kepada seluruh rakyat Indonesia dengan harapan agar rakyat mengetahui

keberhasilan dan kegagalan Presiden atas pelaksanaan GBHN, disinilah letak

sanksi moral yang dimaksud.

Bentuk laporan oleh pemerintah kepada MPR dilakukan dalam masa sidang

tahunan MPR. Pada dasarnya, apabila mengacu pada tata tertib MPR, maka

sidang tahunan menjadi kurang ‘mengikat’ dikarenakan pelaksanaannya yang

belum rigid ditentukan.89 Frasa kata ‘dapat’ yang disebutkan dalam tata tertib

MPR tidak mengandung suatu keharusan untuk melakukannya. Meskipun sidang

tahunan diposisikan sebagai konvensi ketatanegaraan yang telah berlangsung

dan diakui selama ini di Indonesia, namun menurut Bagir Manan konvensi tidak

mempunyai daya paksa secara hukum, dalam hal ini tidak terdapat sanksi

hukum yang dapat mendorong atau memaksa penaatan terhadap konvensi.90

Dengan demikian, diaturnya haluan negara dalam UUD 1945 yang juga

dirumuskan bentuk pertanggungjawabannya, maka hal tersebut akan

melahirkan suatu keharusan bagi pemerintah dalam memberikan laporan di

Sidang tahunan MPR. Sekali lagi, konsekuensi dari pelaksanaan dari kewajiban
89
Pasal 66 ayat ayat (4) Tata Tertib MPR yang berbunyi “MPRdapat menyelenggarakan sidang
tahunan dalam rangka memfasilitasi lembaga-lembaga negara menyampaikan laporan kinerja”
90
Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: Armico, 1987, hlm. 49

68
sidang tahunan ini bukan menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi, namun

semata-mata merepresentasikan amanat konstitusi secara keseluruhan

sekaligus MPR yang terdiri atas perwakilan DPR dan DPD mencerminkan

kepentingan rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, dengan adanya rekomendasi dari

MPR terhadap kinerja pemerintah, maka rakyat akan secara langsung juga

memberikan penilaian dan catatan terhadap kinerja pemerintah. Implikasi nyata

dari hal tersebut adalah akan mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap

Presiden sebagai kepala pemerintahan beserta jajarannya (pemerintahan

maupun parpol pendukung) yang pada ujungnya juga akan berdampak pada

kepercayaan politik warga negara pada pemilu berikutnya.

Disisi lain, DPR dan DPD dapat mengawal pelaksanaan GBHN melalui

tindakan preventif dan represif. Pertama, DPR dan DPD dapat melakukan

tindakan preventif atas penerapan haluan negara oleh Presiden. Tindakan

preventif dilakukan oleh DPR atas bantuan DPD untuk melihat apakah RUU yang

diajukan oleh presiden sejalan dengan GBHN. Jika bertentangan maka DPR dapat

menolak ataupun menarik diri dari pembahasan RUU yang diusulkan.

Kedua, tindakan represif dilakukan berdasarkan fungsi anggaran yang

dimiliki oleh DPR. DPR dapat melakukan pemangkasan ataupun mengarahkan

RAPBN yang diusulkan oleh presiden kesektor-sektor yang urgen baik dipusat

maupun di daerah agar sesuai dengan haluan negara berdasarkan rekomendasi

yang diterbitkan oleh MPR.

69
Selain itu, untuk menegakkan haluan negara, penulis juga mengusulkan

adanya keterlibatan MK. Dalam kerangka teoritik yang dibangun sebelumnya,

dikatakan bahwa karakter haluan negara yang ada dalam konstitusi tidak untuk

ditegakkan oleh pengadilan. Namun dalam perspektif Indonesia, dapat

dikembangkan praktik bahwa pengadilan dapat menegakkan haluan negara

untuk mempromisikan hak ekonomi, sosial dan budayasebagaimana praktik di

pengadilan di MA India dan MK Afrika Selatan. 91

Hal tersebut menjadi inspirasi bagi indonesia, dimasa depan jika GBHN telah

dimuat dalam UUD 1945, maka tidak menutup kemungkinan MK akan menerima

judicial review terhadap UU yang tidak sejalan dengan GBHN. Disamping itu,

jikalau pranata constitutional complaint92 diadopsi oleh UUD 1945, maka tidak

menutup kemungkinan jika prosedur itu akan digunakan untuk mengecek

pelanggaran GBHN oleh presiden dan lembaga negara lainnya.

BEKENG KAMARI KESIMPULAN DAN SARAN

SUP

91
Mei Susanto, Loc.cit, hlm. 441.
92
Constitutional complain adalah upaya hukum untuk menjamin tidak dilanggarnya hak
konstitusional warganegara oleh seluruh kebijakan pemerintah maupun putusan peradilan.
Diberberbagai negara, pranata ini merupakan kewenangan dari mk. Ibid. 442.

70

Anda mungkin juga menyukai