PEMBAHASAN
Bentuk Hukum Pokok-Pokok Haluan Negara dan Penegakan Sanksi
Hukum
maka dalam bagian ini peneliti akan menguraikan kedudukan haluan negara
yang dikonstruksikan dalam UUD 1945, ditempatkan dalam TAP MPR, maupun
tetap dalam posisi yang diuraikan dalam suatu Undang-Undang. Pilihan dalam
bentuk hukum ini selain akan dibandingkan dengan praktek di beberapa negara,
destruktif dalam sistem Presidensial yang dianut oleh Indonesia saat ini.
dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945) tidak dapat dilepaskan dalam lintasan
sejarah antara wewenang MPR yang diberikan oleh UUD 1945 (sebelum
1
terkait pilihan terhadap dasar dan kebijakan apa yang akan dipilih oleh
posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara saat itu. Akan tetapi, setelah
dengan lembaga tinggi negara lainnya, seperti DPR, dan Presiden. Perubahan
UUD 1945 ini berakibat fundamental dengan dihapusnya GBHN dalam sistem
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya dipilih oleh MPR
dengan dipilih langsung oleh rakyat, maka tidak dibutuhkan lagi keberadaan
dukungan dari anggota MPR itu sendiri untuk menghapuskan GBHN dalam
2
Presiden sudah tdiak dipilih lagi oleh MPR. Realitas GBHN yang mendukung
salah satu bagian yang sangat terikat dengan kedudukan seorang Presiden.
Pendapat ini sebagaimana disampaikan oleh Ahmad Zacky Siradj dari Fraksi
kekuasaan Presiden dalam sistem Presidensil. Berkaitan dengan itu jika di tarik
fundamental, yaitu: Pancasila sebagai falsafah dasar, UUD sebagai hukum atau
norma dasar, dan Haluan Negara sebagai kebijakan dasar. Apabila Pancasila
3
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2001 Buku Dua, Sekretariat Jenderal MPR
RI, Jakarta, 2009, Hlm. 382.
3
normatif, maka haluan negara mengandung prinsip-prinsip direktif. 4 Adanya
umum yang memandu pemerintah dalam tindakannya saat ini dan arah masa
haluan negara sebagai cita-cita yang harus dipertimbangkan oleh negara dalam
“keadilan sosial, ekonomi dan politik” bagi semua orang, juga mengandung
prinsip yang menghidupkan aspirasi rakyat dan bangsa. Dalam hal ini Chinnapa
menyatakan bahwa “directive principles specify the programs and the mechanics
of the state to attain the constitutional goals set out in the preamble”. 6 Selanjutnya
ditegaskan bahwa DPSP adalah core and living constitutional principles.7 Hal
provisions that require a state to carry out certain obligations in fulfilment of its
4
Yudi Latif, “Rancang Bangun GBHN”, Kompas, Edisi 30 Agustus 2016
5
Berihun Adugna Gebeye, The Potential of Directive Principles of State Policy for the Judicial
Enforcement of Socio-Economic Rights: A Comparative Study of Ethiopia and India, ICL
Journal, Verlag Ö sterreich, hlm. 3-4.
6
Ibid, hlm. 4
7
Ibid.
4
mandate for the citizenry”.8 Dalam bahasa serupa dikatakan oleh Ceazar bahwa
DPSP adalah “blue-prints for good governance and social justice for all” yang
agar penyelenggara negara dalam hal ini eksekutif (Presiden) tidak secara
Posisi negara yang menganut prinsip konstitusi sebagai hukum dasar dan
keterkaitan erat satu sama lain. Dapat dikatakan bahwa salah satu unsur negara
8
Ibid.
9
Ibid.
10
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung:
Alumni, 1993. h. 104-105.
5
dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang
pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk
memerintah.11
Lebih lanjut menurut Sri Soemantri, bahwa ruang lingkup kajian dalam
kekuasaan ada tiga (3) materi muatan dalam sebuah konstitusi, antara lain: 13
11
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008. h. 171.
12
Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia
1999-2002, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004. h. 37-38.
13
Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia pemikiran dan Pandangan, Bandung: PT Remaja
Posdakarya, 2015, h. 10.
6
Sementara itu, menurut Dahlan Thaib ruang lingkup konstitusionalime
terdiri dari:14
secara jelas bahwa konstitusi bukan hanya memberikan ruang bagi cabang
sebab itu, adanya pembatasan ini senafas dengan maksud dari adanya haluan
negara yang menjadi pembatas dalam segi positif, yakni untuk menjadi ‘early
pembatas dalam arti negatif, yakni untuk melakukan intervensi ke dalam cabang
kekuasaan lain.
dihadirkan kembali, maka prinsip pembatasan yang menjadi maksud asli dari
dua bentuk hukum ini dipadupadankan dalam bentuk norma di UUD 1945.
14
Dahlan Thaib, et.al, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2017. h. 1-2.
7
Aktualisasi dari gagasan tersebut dilakukan dengan merumuskan pokok-
pokok haluan negara dalam bab tersendiri dalam UUD 1945. hal ini
dalam bab tersendiri sebenarya bukan praktek baru jika melihat penerapan
GBHN di beberapa Negara hal ini merupakan hal yang lazim dilakukan,
intervensi negara dan lain-lain. Sejak itu, banyak negara yang mengikuti seperti
Contoh dari negara yang terdekat dari Indonesia yang memasukan haluan
negaranya dalam Konstitusi adalah Filipina. Negara ini menarik karena sama
15
Mengenai pelaksanakan DPSP di India S.M Mehta berpandangan terkait DPSP, menurutnya “DPSP
are the ideals which the state must consider in the formulation of policies and making laws in order to
secure ‘social, economic and political justice’ to all”. Lihat, SM Mehta, A Commentary on Indian
Constitutional law New Delhi: Deep & Deep Publications, 1990, Hlm. 215
16
Bambang Sadono dan Lintang Ratri Rahmiaji, Reformulasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (Gbhn)
Dan Amandemen Ulang Undang-Undang Dasar, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 49 No.2, April 2020,
Hlm. 4
8
State Policies. Filipina membedakan secara tegas antara principles and state
policies.
dalam bab khusus yang kekuatan mengikatnya akan lebih kuat. Haluan negara
yang secara umum akan selaras dengan posisi konstitusi yang pada dasarnya
juga memuat norma hukum secara umum, namun dengan tidak mengurangi
tertinggi sekaligus juga sebagai norma hukum dasar yang menjadi rujukan
Oleh sebab itu, memasukan haluan negara model DPSP dalam konstitusi
menjadi relevan untuk mewujudkan pembangunan yang lebih jelas, terarah dan
terencana serta berkelanjutan, terlebih konstitusi sebagai the supreme law of the
land maka konsekuensinya tidak boleh ada suatu peraturan atau tindakan yang
dinamika dan perubahan sejak NKRI berdiri. Dinamika dan perubahan itu terjadi
sebagai sebuah hasil proses belajar bangsa ini untuk terus berkembang
9
zamannya. Dinamika politik yang terjadi itu menuntut juga perubahan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, sebelum menentukan layak
atau tidak layaknya haluan negara diatur dalam bentuk hukum TAP MPR,
penting untuk merefleksikan kembali kedudukan TAP MPR dalam sistem hukum
di Indonesia.
1966 hingga saat ini, tercatat telah ada empat (4) peraturan yang mengatur
berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya sehingga nampak belum adanya
Salah satu contoh dari dinamika itu ialah soal pasang surutnya status dan
kedudukan Ketetapan MPR (selanjutnya akan disebut TAP MPR). Dinamika yang
17
Ketetapan MPR Yang Dimaksud Adalah TAP MPR No. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum
DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum RI Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
18
Dalam Soal Merumuskan Jenis Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, Maria Farida
Indrati Menyebut Dinamika Ini Sebagai Permasalahan Yang Belum Berakhir Dari Sejak
Diterbitkannya TAP MPR No. XX/MPRS/1966 Hingga Saat Ini. Lihat Dalam Maria Farida Indrati,
Ilmu Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi, Dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarata, 2007, Hlm.
108.
10
menyangkut status dan kedudukan TAP MPR itu dapat digambarkan dalam fase-
kita menjadikan TAP MPR ini menjadi salah satu topik perdebatan yang tidak
19
Lampiran Bagian II Huruf A Angka 1 TAP MPR No. XX/MPRS/1966 Tentang Sumber Tertib
Hukum RI Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
20
Pasal 2 TAP MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan
Perundang Undangan
21
Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
22
Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
11
Tahun 2011, setelah sebelumnya sempat “menghilang” dibawah rezim UU No. 10
Tahun 2004.23
Dalam UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR tidak lagi dimasukan dalam jenis
berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 (tepatnya Pasal 1 dan Pasal 3) MPR
tidak lagi diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara dan tidak lagi berwenang
(regelend) dan menjadi tempat penuangan GBHN, tidak diperlukan lagi. Alasan
lain yang sebenarnya sudah disuarakan sejak lama ialah karena TAP MPR, sesuai
undang-undang, bukan TAP MPR. Ketetapan MPR boleh saja ada, tetapi bukan
penetapan yang bersifat individual dan konkret saja. Misal, TAP MPR tentang
23
Penting Untuk Diketahui Bahwa Dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) Huruf B Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Dinyatakan Bahwa
Yang Dimaksud Dengan TAP MPR Menurut Pasal Tersebut Hanyalah TAP MPR Yang Masih
Berlaku Menurut Pasal 2 Dan Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap
Materi Dan Status Hukum Ketetapan MPRS Dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan
Tahun 2002.
12
pengangkatan Presiden, pemberhentian Presiden, dan lain sebagainya yang
Sebab, UUD sendiri tidak pernah menyebutkan soal adanya TAP MPR dan
Indonesia dewasa ini, maka TAP MPR yang bersifat mengatur apalagi yang isinya
menugasi Presiden untuk menjalankan GBHN, jelas tidak relevan lagi dengan
1945 tidak boleh lagi ada TAP MPR yang bersifat mengatur (regelend). Sebab
GBHN, begitu juga Presiden bukan lagi mandataris MPR. Jika masih juga
diproduksi TAP MPR yang sifatnya mengatur umum, maka demi hukum, TAP
MPR oleh UU No. 12 Tahun 2011. Pasal 7 ayat (1) huruf b undang-undang
24
Lihat Harun Alrasyid Dalam Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, Hlm. 32-35.
25
Lutfil Ansori, Op. cit, Hlm. 95
26
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009,
Hlm. 170.
13
tersebut memasukan kembali TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan
14
b. MPR tidak lagi berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Begitu
MPR menetapkan GBHN.28 Karena di masa lalu TAP MPR itu lah yang
menjadi tempat penuangan GBHN. Itulah sebabnya di masa lalu TAP MPR
UUD.
27
Perpaduan Antara Proses Politik Dan Proses Hukum Dalam Upaya Pemberhentian Presiden
Dan/Atau Wakil Presiden Ini Dalam Teori Disebut Juga Sebagai Forum Prive Legiatum. Proses
Atau Forum Impeachment Yang Demikian Dikembangkan Oleh Amerika Serikat, Meskipun
Dengan Cara Yang Berbeda Dengan Yang Dipakai Di Indonesia. Berdasakan Article I Section 3
Konstitusi AS, Sidang Dakwaan Pemberhentian Presiden Dilaksanakan Oleh Senat Yang
Persidangannya Itu Sendiri Dipimpin Oleh Ketua Mahkamah Agung AS (US Supreme Court).
Mengenai Hal Ini Dapat Dilihat Lebih Lanjut Dalam Charles L. Black, Impeachment, A
Handbook, Yale University Press, New Haven And London, 1998.
28
Pendapat Yang Sama Akan Hal Ini, Yaitu Yang Menyatakan Bahwa Ke Depan (Setelah
Perubahan UUD 1945) MPR Tidak Dapat Lagi Mengelurakan Ketetapan MPR Yang Bersifat
Mengatur Dan Mengikat Umum, Salah Satunya Dikemukakan Oleh Maria Farida Indrati. Lihat
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi, Dan Materi Muatan, Kanisius,
Yogyakarata, 2007, Hlm. 50.
15
Berkaitan dengan hal tersebut paling tidak terdapat dua hal yang semakin
menutup ruang diakomodirnya GBHN dalam bentuk TAP MPR, yakni: 29 Pertama,
nasional dengan TAP MPR adalah kurang tepat dan hanya bersifat parktis.
merujuk kepada tujuan negara, maka kembali ke GBHN harus sejalan dengan
UU No 12 Tahun 2011.
Kedua, kembali kepada GBHN dan ditetapkan dengan TAP MPR lebih
pelaksanaan GBHN tidak melulu dilihat dalam arti hirarki kelembagaan, atau
adalah penjabaran dari tujuan negara yang termuat dalam UUD 1945. Dalam
29
Mizaj, Nalar Konstitusi Dalam Wacana Reformulasi GBHN, Dalam artikel oleh Prodi Ilmu
Hukum Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tanpa tahun, Hlm. 7-8
16
kaitan ini, lembaga-lembaga negara adalah pengemban amanah UUD 1945, maka
dengan syarat utama membuka kewenangan MPR untuk menetapkan TAP MPR
yang diatur dalam UUD sebagaimana praktik yang pernah terjadi sebelum
Oleh sebab itu, dalam pandangan peneliti tidak hanya membatasi ruang
untuk diaturnya haluan negara dalam produk hukum TAP MPR, namun peneliti
juga melakukan reposisi haluan negara dalam TAP MPR dilakukan dengan
diantar semua lembaga Negara dengan gabungan antara anggota DPR dan DPD.
maka tidak akan jauh berbeda nasibnya dengan RPJP saat ini yang merupakan
representative visi dan misi serta platform partai politik yang berada di DPR,
17
parlemen.30 Artinya dibutuhkan keterwakilan rakyat secara langsung yang
tercermin dalam DPD. Namun, juga tidak tepat jika kewenangan menetapkan
Oleh karena itu, akan lebih tepat jika kewenangan menetapkan GBHN terletak di
tangan MPR yang merupakan lembaga afiliasi antara DPR dan DPD. Sehingga
hubungannya dengan DPR dalam sistem parlemen akan dapat direduksi dengan
peran strategis DPD sebagai anggota MPR yang berwenang menetapkan GBHN.
Dengan demikian, kedudukan DPD dalam MPR akan menjadi counterpart DPR
dalam parlemen (MPR). Di samping itu, selain fungsi dan peran DPD yang
menguat, fungsi dan peran MPR pun semakin strategis karena mengalami
oleh MPR, maka GBHN tersebut akan dituangkan dalam produk hukum yang
30
Menurut hemat penulis dengan model sekarang, maka arah pembangunan hanya berdasarkan
pada idiologi partai. Setiap pergantian presiden, maka arah pembangunan juga akan berubah.
Pemerintah dalam menyelesaikan persoalan sifatnya hanya sementara, dan tidak adanya
istrumen tentang pembangunan jangka panjang karena setiap pembangunan lebih berorientasi
kepada subjektif eksekutif walaupun secara filosofis presiden bertanggu gjawab langsung
terhadap rakyat tetapi rakyat tidak mempunyai mekanisme yang kuat dalam mengawasi
konsitensi pembangunan dalam jangka waktu yang lama. GBHN sudah menjadi kebutuhan,
sehingga siapa pun presiden ke depan agar menjadikan prioritas untuk mengembalikan,
sehingga bukan hanya sekadar visi dan misi kepala negara yang jadi arah pembangunan. Tanpa
kehadiran GBHN, kita tidak punya visi dalam menentukan arah pembangunan bangsa
18
berbentuk Ketetapan MPR (Tap-MPR). Artinya, kewenangan MPR dalam
semakin jelas eksistensinya. Selama ini kedudukan Tap-MPR di satu sisi masih
diakui, walaupun hanya tinggal 14 buah lagi. Namun di sisi lain MPR tidak
berwenang lagi membentuk Tap MPR yang baru. Dengan adanya GBHN ini, maka
Meskipun saat ini tidak terdapat lagi kewenangan MPR dalam menetapkan
Ketetapan yang mengikat keluar, namun dalam pandangan peneliti hal tersebut
Negara. Dalam mengukung kerangka tersebut, paling tidak terdapat dua hal
diakui sebagai salah satu sumber hukum. Oleh karena itu konsekuensi
pengaturan haluan negara dalam Tap MPR pada prinsipnya bukan suatu
19
undangan diakomodir dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
arti formal adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya, karena
20
4.1.3. Pokok-Pokok Haluan Negara Dalam Bentuk Undang-Undang
yang tidak baik menjadi lebih baik. Pembangunan selalu dilakukan agar mampu
pemerintah dan masyarakat, pembangunan juga harus dapat menjiwai arti dari
khas, karakter, dan budaya yang hidup dalam suatu bangsa, negara, dan
masyarakat.
dokumen atau panduan, yang digunakan sebagai pedoman atau acuan untuk
terbentuk untuk pertama kalinya yakni pada tahun 1960 yang ditetapkan
Besar Haluan Negara. Dalam Perpres Pasal 1 disebutkan bahwa sebelum Majelis
yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus oleh Presiden Soekarno adalah Garis-
21
Garis Besar daripada Haluan Negara. Dengan demikian haluan perencanaan
program pembangunan nasional saat itu lebih pada dipengaruhi oleh orasi
Soekarno. Setiap orasi atau pidato Soekarno yang diselenggarakan setiap tanggal
(Bappenas).34
oleh Soeharto saat itu adalah dengan membuat dan menyusun berbagai strategi
(repelita 1) untuk kurun waktu tahun 1969 sampai dengan tahun 1973. 35
34
Bahaudin, Menghidupkan Kembali GBHN, Komparasi GBHN Dan RPJPN Sebagai Kebijakan
Politik Hukum Nasional Dalam Bidang Pembangunan, Jurnal Keamanan Nasional Vol. III No. 1
Mei 2017, Hlm. 90.
35
Ibid, Hlm. 137
22
Di era repelita ini telah berlangsung dan berjalan sampai pada tahun
waktu dua puluh tahun, dirumuskan ke dalam RPJMN untuk jangka waktu lima
tahunan, dan dirumuskan dalam RPJPN atau RKP untuk jangka waktu setiap
jangka panjang dimulai dari tahun 2005 sampai pada tahun 2025, untuk
rumusan dalam program pembangunan jangka menengah dimulai dari awal atau
pertama kali menjabat sebagai kepala pemerintahan sampai jangka waktu lima
sebagai penjabaran dari RPJMN, pemerintah harus memiliki standar atau target
delapan tahun.
23
Dalam jangka waktu kurang lebih delapan tahun kedepan, diharapkan
sesuai dengan RPJPN yang telah diatur UU No. 17 Tahun 2007. Dengan demikian
program ini akan berlanjut lagi untuk dua puluh tahun kedepan setelahnya,
2026.36
tata negara Indonesia. Dalam bidang politik presiden dan wakil presiden tidak
lagi dipilih dan bertanggung jawab pada MPR, melainkan presiden dipilih secara
36
Simamora, Janpatar, Urgensi Keberadaan GBHN Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia, Litigasi, Vol. 17, (2), 2016. Hlm. 7
24
dasar dalam menjalankan program pembangunan nasional, dari undang-undang
pembangunan jangka panjang nasional, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) undang-
pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah
pembangunan nasional.
Cara penyusunan RPJPN telah diatur dalam Pasal 9 ayat (1) yakni
yang dibuat oleh menteri sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program
Presiden yang mengacu pada RPJPN, selaras dengan Undang-undang SPPN Pasal
4 ayat (2) menjelaskan bahwa RPJMN merupakan penjabaran dari visi, misi, dan
rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang
bersifat indikatif.
25
Cara penyusunan RPJMN diatur dalam Pasal 9 ayat (2) yakni melalui
Selanjutnya yakni RPJPN atau RKP untuk jangka waktu satu tahun atau
dengan visi, misi, dan program presiden, atau bisa disebut sebagai penjabaran
dari RPJMN, sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) yang menyebutkan bahwa RKP
indikatif.
26
Setelah berlakunya RPJPN selama kurang lebih 1 dekade ini sejak
efektif untuk dijalankan oleh pemerintah. Terlebih lagi saat ini prosedur SPPN
yang termuat dalam RPJP berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 17
37
Menurut Ravik Karsidi, Kebutuhan Akan GBHN Itu Paling Tidak Karena Empat Alasan:
Historis, Hukum, Politik, Dan Sosioekonomis. Pertama, Alasan Historis. Upaya Menyusun
GBHN Pada Dasarnya Telah Dilakukan Sejak Awal Kemerdekaan Sebagai Bagian Dari Model
Perencanaan Ekonomi Yang Diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Alasan Kedua, Menurut Kasidi,
Alasan Hukum. Sistem Yang Dibuat Untuk Menggantikan Peran GBHN, Yakni Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, Seperti Berjalan Tidak Efektif. Ketiga, Alasan Politik.
Solusi Atas Segala Persoalan Yang Dialami Indonesia Tidak Bisa Dicari-Cari Dari Luar. Bangsa
Ini Hanya Bisa Bergerak Maju Jika Mengenal Dirinya Sendiri. Adanya GBHN Menjadikan
Pengawasan Jalannya Pembangunan Juga Semestinya Lebih Kuat. Keempat, Alasan
Sosioekonomi. Setiap Pembangunan Harus Berkelanjutan Terutama Menyangkut
Infrastruktur Dalam Skala Nasional. Di Era Reformasi Ini, Pembangunan Dianggap
Inkonsisten Karena Selalu Berubah-Ubah. Lihat, Sobirin Malian, Pro Dan Kontra GBHN:
Amandemen Sebagai Jalan Tengah, Cakrawala Hukum Vol. XIII No. 02 Tahun 2016, Hlm. 5-6
38
Pertama, Dari Sisi Sistem Pemerintahan Wacana Ini Akan Berimplikasi Serius Pada Sistem
Presidensial Dimana Pertanggungjawaban Presiden Tidak Lagi Di Tangan Rakyat Melainkan
Di Tangan MPR. Kedua Dan Ketiga, Dari Segi Hubungan Antar Lembaga Negara Serta Tugas
Dan Fungsi Dari Lembaga Negara Tersebut Wacana Reformulasi GBHN Dapat Menimbulkan
Masalah. Hal Itu Dikarenakan Selain Merancang GBHN, DPR Juga Lah Yang Mengawasi
Pelaksaan GBHN Tersebut. “Adalah Kesalahan Fatal Menempatkan Dua Fungsi Utama Di Satu
Lembaga. Itu Kesalahan Fatal Ketatanegaraan, Itu Menjadikan Leviathan, Menjadikan
Monster Kekuasaan,” Lihat, Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan
Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, Cet. I, 2007, Hlm. 37. Lebih Lanjut Dalam A.M. Fatwa, Potret
Konstitusi: Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kompas Publishing, Cet. II, 2009, Hlm. 17.
27
Tahun 2007 sama sekali tidak merefleksikan semangat checks and balances
tahun untuk dua periode. Sedangkan jika periode kedua tidak terpilih kembali,
maka hanya memimpin selama lima tahun. Hal tersebut yang menjadi faktor
tersebut tidak memiliki ide, visi, misi dan program perencanaan pembangunan
daerah, di mana hal tersebut sering terjadi kebijakan daerah yang tidak sesuai
dengan kebijakan pusat, akhirnya pembangunan pusat dan daerah tidak dapat
dengan baik, karena adanya perbedaan dan benturan kebijakan antara pusat dan
28
daerah. Kepala daerah yang juga memiliki visi misi yang bisa jadi berbeda
perekonomian, yang telah diuji materi oleh Mahkamah Konstitusi, terbukti tidak
modern, kaya miskin maupun yang lain. Untuk mencapai sasaran jangka panjang
39
Ibid, Hlm. 8
29
Dengan demikian, reformulasi perencanaan pembangunan nasional tentulah
penentuan haluan negara yang disebar secara terpusat dalam UU SPPN belum
negara yang saat ini dijabarkan dalam UU SPPN merupakan hal penting untuk
dilakukan.
lebih rinci dalam UU Haluan Negara. Konstruksi semacam ini menjadi besar
yang diuraikan dengan menempatkan haluan negara pada bagian khusus dalam
UUD 1945.
40
Jimli Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Cet, II,
2007, Hlm. 76
30
Dengan adanya bab tentang haluan negara dalam konstitusi maka hal
tersebut akan mendorong proses legislasi yang akan menguraikan secara lebih
khusus terkait haluan negara. Seperti diketahui bahwa meskipun DPR memiliki
Indonesia dijalankan secara bersama oleh DPR selaku legislatif dan Presiden
selaku eksekutif sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
menguraikan bahwa materi muatan yang diatur oleh suatu UU terdiri atas:
31
pembentukan suatu UU sebagaimana diuraikan tersebut menghadirkan ruang
Negara yang merupakan derivasi dari UUD 1945 juga akan menghadirkan
partisipasi publik secara langsung melalui proses legislasi yang terjadi. Proses
penyiapan suatu RUU tidak terlepas dari diskusi dan penyerapan aspirasi
akan berlaku sesuai dengan kehendak masyarakat dan masa berlakunya pun
langsung dari UUD 1945 untuk menjalankan proses legislasi menunjukkan akan
terhadap haluan negara yang akan dijalankan oleh Pemerintah selaku cabang
41
Patiniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pasca Amandemen UUD 1945,
Jakarta: Konpress, 2012, hlm. 394.
32
kekuasaan ekskutif. Selain itu, reeksistensi haluan negara dalam bentuk UU ini
Presidensial
dengan kondisi politik, ekonomi dan sosial. Namun demikian, menurut Bagir
pemerintahan.42
dalam konstitusinya, seperti Belgia, India, Filipina, Afrika Selatan dan lain-lain.
negara di dunia saat ini yang berisikan konstitusi ekonomi sekaligus konstitusi
sistem presidensil yang artinya dapat menjadi contoh bagi Indonesia yang juga
42
Bagir Manan, Politik Perundang- Undangan, Makalah, Jakarta, November 1993, Hlm. 2
43
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, Hlm. 107
33
menganut sistem presidensil. Dalam Kontitusi Filipina 1987, ketentuan DPSP
diatur dalam Pasal II dengan judul Declaration of Principles and State Policies,
reformasi agraria dan kekayaan sumber daya alam, land reform perkotaan dan
ketentuan yang berisikan DPSP walaupun tidak diberikan judul DPSP. Dalam
prinsip haluan negara. Hal sama terdapat di Korea Selatan yang juga menganut
44
Harijanti, Susi Dwi, Merumuskan Ulang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Jurnal Majelis, MPR
RI, Edisi 4 Tahun 2016, Hlm. 20
34
bersifat haluan negara berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara serta
berikut:46
45
Ibid
46
Mei Susanto, Wacana Menghidupkan Kembali GBHN Dalam Sistem Presidensil Indonesia, Jurnal
De Jure, Volume 17, Nomor 3, September 2017, Hlm. 9
35
Korea Sistem Presidensil Tidak disebutkan secara tegas dalam
Selatan Konstitusi Korea Selatan, namun beberapa
pengaturan memperlihatkan prinsip-prinsip
haluan negara.
dengan dua Negara yang menerapkan system presidensial yaitu Filipina dan
Pasal II tersebut dibagi menjadi dua judul yaitu “Principles” dan “Policies”,
tugas utama negara, pemisahan secara tegas negara dan gereja, dan
47
Pasal VI Principles, The 1987 Philippine Constitution.
36
agraria dan kekayaan sumber daya alam, land reform perkotaan dan
Guidelines yang terkandung dalam policies ini lebih bersifat spesifi k dan
2. Brazil
public debts and issuances of currency’ “50 dan angka 4 “national, regional
48
Pasal VI Policies, The 1987 Philippine Constitution.
49
Mei Susanto, Op.cit.
50
Pasal 48 angka II Constitution of The Federative Republic of Brazil
37
dan sectorial plans and programmes development;”51 Tidak hanya
Brazil adalah “submit to the National Congress the pluriannual plan, the
bill of budgetary directives and the budget proposals set forth in this
masa kampanye sebagai visi-misi Presiden. Presiden dalam hal ini tidak
38
hanya sector tertentu. Ketentuan materi muatan daripada angka II dan
principles dan arah kebijakan secara sektoral, yang secara umum dibagi
dalam tiga bagian yaitu; (1) Title VI: Taxation and Budget, (2) Title VII:
The Economic and Financial Order dan (3) Title VIII: The Social Order. 383
Brazil dalam hal ini menjabarkan principles dan policies secara sektoral.
39
yang berdasar amat dari amandemen tersebut kebanyakan
dapat dilihat bagaimana congress di Brazil dan Filipina yang melibatkan congress
Presidensial?
pertama, ada yang berpendapat bahwa ide GBHN bertentangan dengan sistem
program kerja yang sudah ditentukan oleh MPR, sehingga dikuatirkan Presiden
54
Universitas Gadjah Mada dan Biro Pengkajian Setjen MPR, Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Cetakan Pertama, Jakarta, Badan
Pengkajian MPR RI 2018, Hlm. 98
55
Ibid, Hlm. 101
40
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan akan dituntut lagi
maju seperti di Amerika Serikat, kehidupan sosial, politik dan ekonomi dapat
kreatifitas dan inovasi bagi segenap rakyat untuk mengejar kemajuan yang
efektif, efisien, dan partisipatif dengan dikendalikan secara teratur oleh sistem
destruktif sistem presidensil? Akan didekati dari dua pendekatan yaitu studi
adalah de lege ferenda dan bukan de lega lata. Berangkat dari hal tersebut maka
premis dan konklusi yang dihasilkan bersifat prediksi yang ditunjang oleh basis
teori yang memadai yaitu teori sistem presidential dan teori haluan negara atau
directive principle.
hukum yang akan digunakan oleh GBHN yaitu dapat bersifat regulatif
56
Jimly Asshiddiqie, Konstitusionalisme Haluan Negara Untuk Mewujudkan Tujuan Negara
Berdasarkan Pancasila, 2018, hlm. 3-4.
41
(regulation atau regelingen) dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau
atau “beleidsregel” (policy rule) yang bersifat mengatur, tetapi bukan dalam
alternatif itu penting disampaikan? Karena selama ini, dikalangan ahli hukum
masih saja didebatkan tentang bentuk hukum formal dari GBHN, lebih jauh
bentuk hukum itu akan menentukan derajat GBHN sebagaimana prinsip hirarki
norma yang dianut oleh rezim peraturan perundang undangan. Oleh sebab itu,
perlu ditegaskan kembali, bahwa bahwa sistem hierarki norma hukum berlaku
undangan atau regulasi, maka tentu harus diposisikan dalam sistem hierarki
norma yang bersifat vertikal. Tetapi, jika statusnya bukan sebagai regulasi, tidak
tulisan ini adalah bahwa konsekuensi atas keberlakuan GBHN tidak akan
57
Ibid.
42
perlu dilihat terlebih dahulu desain konstitusional sistem presidensial di
Indonesia.
Konstitusi dalam tulisan ini adalah konstitusi dalam arti sempit yakni
more than a social contract...it rather an expressions of the general will of nation.
it is a reflection of its history, fears, concerns, aspirations and indeed, the soul of
mirror reflecting the national soul, perhaps and expression of national ideals, and
interpretation and judicial discreation, troughout the lenght and breadth of the
national legal order”. Salah satu materi muatan utama konstitusi adalah jabatan-
Presiden terpampang jelas pada UUD sebelum dan sesudah perubahan yang
58
Lihat C.F. Strong, Modern Political Constitution, London: Sidgwick & Jackson, 1966 dan K.C
Wheare, Modern Constitution, Oxford: Oxford University Press, 1960.
59
Bagir Manan, Susi Dwi Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2015, h. iv
43
menurut Sri Soemantri60 menggambarkan sistem pemerintahan semi
presidential dan sistem presidential atas dasar beberapa alasan, antara lain:
diungkapan oleh Giovani Sartori atau Linz dimana sistem presidential memiliki
dijumpai pada pemberhentian Presiden oleh MPR karena MPR yang memilih
Presiden. Desain ini juga sejalan dengan ciri parlementer menurut Arend Lipjart
presidential. Selain ketetentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan
presidential secara jelas dapat terlihat dalam perubahan ketiga dimana Presiden
tidak lagi dipilih dan bertanggung jawab kepada MPR. Karakteristik lainnya juga
terlihat dari Pasal 6A UUD 1945 mengatur "Presiden dan wakil presiden dipilih
60
Susi Dwi Harjanti, “Khazanah: Sri Soemantri”, PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum, volume 3
nomor 1 tahun 2016, hlm. 209.
61
Denny indrayana, Bahan Ajar Hukum Tata Negara: Teori Lembaga Kepresidenan, Fakultas
Hukum Universitas Gaja Mada, tanpa tahun, hlm. 5-6.
62
Ibid. 14.
44
Seorang Presiden Indonesia berada dalam posisi utama kekuasaan
merupakan mandat yang diberikan langsung oleh rakyat melalui pemilu dan
buka lagi sebagai mandataris oleh MPR. Sehingga Presiden lebih memiliki ruang
45
diberhentikan. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden berhak membentuk
president.65 Dengan kata lain Presiden merupakan lembaga paling atas dalam
sistem presidensial, tidak ada lembaga lain yang berada diatas Presiden kecuali
konstitusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Jimly Asshiddiqie yang mengatakan
64
Ibid. 851
65
Ibid.
66
Ibid.
67
Ibid.
46
dari konstitusi.68 Bila terjadi impeachment terhadap Presiden suatu negara maka
dan/atau wakinya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas
lainnya, atau perbutaan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai Pasal 7A UUD 1945.
menyatakan bahwa Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan
kewajiban dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis
Dalam hal ini adalah MPR yang bertindak sebagai lembaga tertinggi negara.
Lembaga yang terkait dengan pemberhentian presiden pada masa ini adalah
lembaga legislatif yaitu DPR dan MPR. Beberapa penyebab Pemakzulan Presiden
di antaranya:
68
Ibid.
47
Prosesnya diawali kesimpulan dari DPR mengenai pendapat DPR
terhadap presiden yang telah melanggar haluan negara. Pada penjelasan UUD
1945 yaitu angka VII alinea ketiga dijelaskan bahwa: Jika dewan menganggap
adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden terhadap Haluan Negara yang
telah ditetapkan oleh UUD atau MPR, maka Presiden dapat diundang untuk hadir
Presiden dapat dianggap tidak memegang teguh UUD 1945 dan undang-
Presiden ini diatur pada TAP MPR RI No.VI/MPR/1973 dan TAP MPR RI No.
III/MPR/1978. Pada TAP ini dijelaskan bahwa DPR bertugas mengawasi segala
memorandum yang berfungsi sebagai pengingat agar tetap sesuai dengan haluan
48
memorandum yang disampaikan oleh DPR, maka DPR akan memberikan
atas tindakannya.69
Sesudah amandemen UUD 1945 ke-4 mulai terlihat adanya aturan baru
1945 yang memiliki nilai yuridis lebih signifikan dibandingan nilai politis.
lainnya pada UUD pasca amandemen adalah Presiden dan/atau wakilnya tidak
dipilih oleh MPR. Sehingga DPR tidak dapat mengajukan mosi tidak percaya
69
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden “Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden
Menurut UUD 1945”, Jakarta, Konstitusi Press, 2005, hlm. 91.
70
Harjono dan Maruar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, hlm. 62.
49
1. Penghianatan terhadap negara;
2. Korupsi, penyuapan;
Impeachment paling lama 90 hari kerja setelah perkara diterima. Bila sudah
diputuskan maka putusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat Final and binding
sesuai dengan Pasal 24C UUD 1945. Bila dalam putusan Mahkamah Konstitusi
akan menjadi dasar bagi DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran
71
Ibid. 3.
50
konstitusi, sidang yang dipimpin oleh Ketua MK dan sifat sidang yang terbuka
3. Perolehan dan penilaian alat-alat bukti tulis yang diajukan DPR kepada
MK (Pasal 12).
Peran DPR pada tahap II adalah untuk memberikan tanggapan balik atas
tanggapan yang telah disampaikan oleh Presiden. Dalam tahap III DPR wajib
bukti surat, keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk, serta alat bukti lainnya
72
Kukuh Bergas, Op.Cit, hlm. 853.
73
Ibid.
74
Ibid.
51
atau informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara
bukti dibacakan dan dinyatakan cukup oleh Hakim Konstitusi maka diakhir akan
ada pembacaan kesimpulan yang disampaikan oleh DPR sebagai pemohon dan
persidangan tahap ke V.
sidang paling lama tiga puluh hari setelah usul diterima. Selanjutnya MPR akan
52
pertanggungjawaban tentang apa yang sudah dilakukannya. Bila anggota tidak
Gus Dur dilengserkan oleh MPR karena kasus yang dianggap melanggar
UUD 1945. Wacana pemberhentian ini juga sudah mulai terdengar ketika Gus
dur. Hal ini dilatarbelakangi 3 skandal besar. Yaitu Brunei gate, Bullogate, dan
Dekrit Presiden. Pertama, dalam kasus Brunei Gus Dur diduga telah melakukan
pengusaha yang dekat dengan Presiden Gus Dur. Ditemukan adanya indikasi
tindak pidana korupsi yang turut menyeret namanya. Dana sebesar 2 juta yang
disebut sebagai Bruneigate diterima oleh Ario Wowor yang diserahkan kepada
75
Ibid. Hlm. 854-857.
53
Kedua, pada kasus Bulog yang melibatkan yayasan Yanatera (Yayasan
Bina Sejahtera) Bulog yang pada saat itu dikelola oleh Wakabulog Sapuan.
Sapuan dikenakan vonis 2 tahun penjara dan terbukti telah bersalah karena
menggelapkan dana Bulog sebesar 35 Milyar rupiah. Kasus ini terdengar cukup
luas sehingga turut menyeret nama pejabat-pejabat Gus Dur. Para pejabat di
jaman Gus Dur pun beranggapan bahwa Bulog dapat digunakan untuk
menggunakan dana dan materi yang ada pada Bulog dalam menghadapi masalah
yang akan timbul. Namun di kubu DPR menganggap Gus Dur kurang tepat dalam
dikirimkan memorandum oleh DPR pada saat itu. Penyelidikan pada kasus ini
dihentikan kejaksaan karena Gus Dur dinyatakan tidak terlibat. Setelah ada
melakukan penyelidikan terkait kasus Dana Bulog dan Brunei dengan tujuan
untuk:
dengan penggunaan dana milik Yanatera Bulog dan Dana bantuan Sultan
54
2. Mewujudkan mekanisme checks and balances sebagai bentuk upaya
governance)
bekerja dan disampaikan hasil pengawasannya pada Rapat Paripurna DPR pada
penyelidikan pansus dan DPR memiliki pendapat bahwa Gus Dur sangat
55
Lewat memorandum yang dibuat oleh DPR, terdapat dua hal yang
dituduhkan kepada Gus Dur dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap haluan
negara, yaitu:
politis saja, karena isinya membubarkan MPR, DPR dan pembekuan Partai
Golongan Karya. Alasan Gus Dur mengeluarkan Dekrit ini karena perkembangan
dari krisis konstitusional dan bila didiamkan akan menimbulkan kriris ekonomi.
dikeluarkanlah dekrit Presiden pada 23 Juli 2001 waktu dini hari. Berikut adalah
isi Dekrit Presiden yang dikeluarkan Gus Dur untuk menyelamatkan Negara
56
3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari unsur-unsur Order baru
Bimantoro karena telah memiliki rapor merah. Akan tetapi Surojo menolak hal
Kepala Polri dan menyerahkan tugas yang ada pada Surjojo kepada wakilnya.
mendapatkan persetujuan DPR terlebih dahulu sesuai dengan TAP MPR No.
padahal Gus Dur hanya menonaktifkan saja. Jika dilihat dekrit presiden Gus Dur
DPR dan MPR sebagai lembaga legislatif. Bila saat itu sampai terjadi maka DPR
yang terjadi diantara Presiden dan DPR sehingga Ketua MPR pada saat itu
57
mengambil langkah tegas. Amien Rais selaku ketua MPR menolak keras dekrit
Presiden tersebut. Atas usulan DPR, MPR mempercepat sidang istimewa dan
mengikuti Tata Tertib MPR yang diatur pada TAP MPR No. II/MPR/2000. Sidang
rakyat. Pada tanggal 23 Juli 2001 MPR mengeluarkan TAP MPR No.
Dekrit Presiden yang dikeluarkan oleh Gusdur. Padahal, sudah sepatutnya dasar
dari pemberhentian Gus Dur adalah memorandum yang sudah dilayangkan oleh
58
beberapa pihak seperti Hestu Cipto Handoyo. Beliau berpendapat bila Gus Dur
menghadiri sidang istimewa MPR tersebut maka Gus Dur dapat dianggap
melanggar UUD 1945, dengan alasan bahwa UUD 1945 menggunakan sistem
atas usul DPR yang dalam persidangan lebih banyak menghadirkan bukti-bukti
Berpijak pada studi kasus Gus Dur diatas, maka terdapat satu poin
pemberhentian tersebut bernuansa politis semata. Salah satu kritik atas alasan
sifat dari haluan negara adalah bahwa sebelum perubahan UUD 1945 sistem
presiden dapat diberhentikan dari masa jabatannya karena presiden dipilih oleh
presiden dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Disamping itu
ada jaminan kepastian masa jabatan. Serta alasan pemberhentian tidak semata-
59
mata berdasarkan prosedur politik semata melainkan harus didadarkan pada
dasarnya sangat tidak tepat sebab haluan negara semata-mata bersisi arahan
negara tidak dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan Presiden dari masa
jabatannya. Justru, keberadaan haluan negara dapat dijadikan sebagai alat ukur
directive priciples.
these are directives. ketiga, these directives are primarily addressed to the political
organs of the state, especially, the executive and the legislature. Keempat, they are
principles set out a transformative agenda for the state being constituted.
76
Tarunabh Khaitan, Directive Principles and The Expressive Accommodation of Ideological
Dissenters, I•CON (2018), Vol. 16 No. 2, Hlm. 397-398.
60
Lebih singkat dari Tarunabh Khaitan, Lael K Weis mangajukan dua fitur
hukum.77 Fitur kedua ini serupa dengan fitur ke tiga dari directive principles yang
when the political branches fail, there is appeal to the people, who may help
vindicate the consti-tutional right. But, where the majority is the problem, the
vindication of constitutional rights needs a non-majoritarian decision-maker,
such as the courts, to vindicate rights. With the DPSP being non-justiciable,
there is no remedy to the majoritarian problem. If there is no pursuit of the
consti-tutional directive principle by the political branches, then as a practical
matter, the constitutional provision is repealed.78
61
implemented or not”. Tiada permasalahan yang dapat diajukan kepengadilan
apakah ketentuan dalam bagian ini dapat dilaksanakan atau tidak. Dalam
dibentuk kedepan bersifat arahan namun imperatif bagi Presiden dan lembaga
Srinivas Katkuri 79 bahwa GBHN harus dipandang sebagai “bank cheque issued on
Kedepan garis besar haluan negara (dengan huruf kecil tanpa kata ‘dari
2. Presiden tidak dapat lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan harus
kepada rakyat;
79
Srinivas Katkuri, Role of Directive Principles Towards Welfare of The State and Social
Development in India, International Journal of Law, Volume 4; Issue 1; January 2018, hlm. 57.
80
Jimly asshiddiqie, konstitusionalisme haluan..., op.cit hlm. 5.
62
4. Rumusan GHBN demikian rinci dan bersifat operasional, sehingga
Presiden;
haluan negara dapat dijadikan sebagai alat ukur untuk menilai kinerja presiden
melainkan juga oleh pengadilan. Oleh sebab itu, dalam sub pembahasan ini
check and balances sebagai pisau analisis. Prinsip ini dipilih karena politik
63
masyarakat.81 Sedangkan menurut Jimly Asshidiqie, penegakkan hukum adalah
hukum secara nyata sebagai pedoman prilaku dalam lalu lintas atau hubungan
atas pelanggarnya, yang dilakukan oleh Presiden dan lembaga negara lainnya
Ambition must be made to counteract ambition. The interest of the man must
be connected with the constitutional rights of the place. It may be a reflection
on human nature, that such devices should be necessary to control the abuses
of government. But what is government itself, but the greatest of all
reflections on human nature? If men were angels, no government would be
necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal
controls on government would be necessary. In framing a government which
is to be administered by men over men, the great difficulty lies in this: you
must first enable the government to control the governed; and in the next
place oblige it to control itself. A dependence on the people is, no doubt, the
primary control on the government; but experience has taught mankind the
necessity of auxiliary precautions.83
81
Susi Dwi Harjanti Ed, Negara Hukum Yang Berkeadilan: Kumpulan Pemikiran Dalam Rangka
Purna Bakti Prof Dr H Bagir Manan S.H M.CL., PSKN FH Unpad-rosdakarya, Bandung, 2011, hlm.
553.
82
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, Tanpa Tahun Terbit, hlm. 1.
83
Steven G. Calabresi, Mark E. Berghausen & Skylar Albertson, The Rise And Fall Of The Separation
Of Powers, Northwestern University Law Review, Vol. 106, No. 2, Amerika Serikat, hlm. 548.
64
Perkataan James Madison diatas, selaras dengan aforisme pedas dari Lord
Acton yang mengatakan bahwa “Power tends to corrupt and absolute power
desain UUD 1945 sebelum perubahan yang melahirkan pemimpin yang diktator
dikarenakan dua sebab pertama, terjadinya executive heavy dan kedua, tidak
Ditinjau dari perspektif check and balances, maka keberadaan haluan negara
84
Bagir manan dan susi dwi harjanti, memahami konstitusi..., op.cit hlm. 89.
85
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid Ii, Sekretariat Jenderal Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 22.
86
Istilah simbolis digunakan oleh Lonneke Poort et.al untuk menunjuk kepada UU yang tidak
efektif atau “tidak bergigi” yang melayani tujuan politik dan sosial tertentu daripada tujuan yang
dinyatakan secara resmi. Lonneke Poort, symbolic legislation theory and development in biolaw,
Switzerland: Springer Nature, 2016, hlm. 5. Sebagai contoh UU No. 3 tahun 1971 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi yang dibentuk di era pemerintahan presiden Soeharto.
65
politik yang merepresentasikan rakyat sedang pengadilan adalah lembaga
lembaga negara, MPR, DPR, dan DPD harus diikutsertakan dalam penegakkan
haluan negara, sebab ketiganya mempunyai fungsi yang dapat mengimbangi dan
mengontrol kekuasaan Presiden. Sedangkan pengadilan dalam hal ini adalah MK,
atau tindakan tanpa wewenang dalam sistem presidensil. Kita tentunya masih
tidaklah ditangan MPR, tetapi ditangan presiden. 87 Dengan perkataan lain, check
and balances antara lembaga negara dalam sistem presidential untuk menjamin
87
Hal ini terjadi karena presiden-lah yang banyak menunjuk seseorang untuk menjadi anggota
MPR melalui unsur utusan golongan. Selain itu presiden juga menseleksi orang-orang melalui
berbagai lembaga formal apabila ingin menjadi calon anggota DPR di mana anggota DPR
tersebut akan juga merangkap menjadi anggota MPR. Kondisi demikian menyebabkan MPR lebih
banyak menjadi “alat kekuasaan” bagi presiden. Patrialis akbar, lembaga-lembaga negara
menurut UUD NRI Tahun1945, sinar grafika, jakarta, 2015, hlm. 83.
66
kelangsungan penyelenggaraan negara dan pemerintahan secara demokratis,
Instrument check and balances tergambarkan pada fungsi yang dimiliki oleh
complaint. Dari fungsi-fungsi tersebut dapat dirumuskan tiga sanksi yang dapat
yang tidak sejalan dengan haluan negara. Kedua, DPR dapat menolak ataupun
moral. Untuk melihat penerapan sanksi tersebut maka perlu diajukan skema
MPR pada sidang tahunan MPR. Selanjutnya, MPR menilai apakah haluan negara
pemberian rekomendasi.
88
Salah satu kritik datang dari Bagir Manan dan Susi Dwi Harjanti, menurut keduanya,
perubahan UUD 1945 tidak taat asas, mencampuradukkan antara hubungan legislatif dan
eksekutif dalam sistem presidential dengan sistem parlementer dengan memasukkan hak-hak
pengawasan parlementer terhadap presiden. Bahkan UUD 1945-baru, dengan tegas
mencantumkan fungsi pengawasan dan berbagai hak parlementer kepada DPR, tidak sejalan
dengan pengertian check and balances, dan bukan lagi sekedar mengurangi executive heavy,
tetapi merupakan bandul menuju legislative heavy yang lazim dalam sistem parlementer. Bagir
manan dan susi dwi harjanti, memahami konstitusi..., op.cit., hlm. 88-89.
67
Rekomendasi tersebut dapat berisi tiga hal, pertama GBHN dijalankan
lembaga negara yang berada dipusat dan daerah melainkan juga diedarkan
Bentuk laporan oleh pemerintah kepada MPR dilakukan dalam masa sidang
tahunan MPR. Pada dasarnya, apabila mengacu pada tata tertib MPR, maka
belum rigid ditentukan.89 Frasa kata ‘dapat’ yang disebutkan dalam tata tertib
dan diakui selama ini di Indonesia, namun menurut Bagir Manan konvensi tidak
mempunyai daya paksa secara hukum, dalam hal ini tidak terdapat sanksi
Dengan demikian, diaturnya haluan negara dalam UUD 1945 yang juga
Sidang tahunan MPR. Sekali lagi, konsekuensi dari pelaksanaan dari kewajiban
89
Pasal 66 ayat ayat (4) Tata Tertib MPR yang berbunyi “MPRdapat menyelenggarakan sidang
tahunan dalam rangka memfasilitasi lembaga-lembaga negara menyampaikan laporan kinerja”
90
Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: Armico, 1987, hlm. 49
68
sidang tahunan ini bukan menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi, namun
sekaligus MPR yang terdiri atas perwakilan DPR dan DPD mencerminkan
kepentingan rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, dengan adanya rekomendasi dari
MPR terhadap kinerja pemerintah, maka rakyat akan secara langsung juga
maupun parpol pendukung) yang pada ujungnya juga akan berdampak pada
Disisi lain, DPR dan DPD dapat mengawal pelaksanaan GBHN melalui
tindakan preventif dan represif. Pertama, DPR dan DPD dapat melakukan
preventif dilakukan oleh DPR atas bantuan DPD untuk melihat apakah RUU yang
diajukan oleh presiden sejalan dengan GBHN. Jika bertentangan maka DPR dapat
RAPBN yang diusulkan oleh presiden kesektor-sektor yang urgen baik dipusat
69
Selain itu, untuk menegakkan haluan negara, penulis juga mengusulkan
dikatakan bahwa karakter haluan negara yang ada dalam konstitusi tidak untuk
Hal tersebut menjadi inspirasi bagi indonesia, dimasa depan jika GBHN telah
dimuat dalam UUD 1945, maka tidak menutup kemungkinan MK akan menerima
judicial review terhadap UU yang tidak sejalan dengan GBHN. Disamping itu,
jikalau pranata constitutional complaint92 diadopsi oleh UUD 1945, maka tidak
SUP
91
Mei Susanto, Loc.cit, hlm. 441.
92
Constitutional complain adalah upaya hukum untuk menjamin tidak dilanggarnya hak
konstitusional warganegara oleh seluruh kebijakan pemerintah maupun putusan peradilan.
Diberberbagai negara, pranata ini merupakan kewenangan dari mk. Ibid. 442.
70