PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
menjadi sulit.1
1
Di awal kemerdekaan Indonesia permasalahan utama adalah lemahnya
kontrol Pemerintah Pusat terhadap daerah-daerah di luar pulau jawa. Hal ini
dapat di lihat dari konflik Aceh pada tahun 1953. Pemberontakan Aceh
mengintegrasikan agenda untuk membentuk federasi Negara Islam (Negara
Islam Indonesia). Hal ini di akibatkan atas perlakuan yang tidak adil terhadap
perjuangan anti-kolonial dan penegakan prinsip-prinsip Islam. Selain itu
integrasi Aceh ke provinsi Sumatera Utara sebagai bagian dari reorganisasi
administratif di anggap sebagai penghianatan atas janji Otonomi/Daerah
istimewa Aceh oleh Pemerintah Indonesia. Rasa pengkhianatan yang kuat atas
keputusan ini di Aceh diperburuk oleh masuknya pekerja migran non-Aceh,
non-Muslim, dan pasukan militer ke wilayah tersebut, serta memburuknya
kondisi sosial-ekonomi karena sebagian besar anggaran nasional dialokasikan
ke Jawa daripada ke pulau-pulau terluar. Lihat, Michelle AnnMiller, “Theconflict
in Aceh context, precursors and catalysts”, Conciliation Resources (ACCORD),
International Review Of Peace Initiatives, Issue 20, 2008, hlm. 13
1
(I.G.O) yang berlaku untuk Jawa dan Madura kecuali daerah-
Indonesia.2
2
kemerdekaan, barulah pemerintah indonesia mencari bentuk tata
bersifat istimewa.”
3
Kementrian Dalam Negeri, “(Laporan Utama) Menelisik Sejarah Otonomi
Daerah”, Majalah Dwi Bulan, Volume 2, No 3, juni 2017, hlm. 18
3
Mengomentari hal tersebut menurut Solly Lubis: “Jelaslah
daerah.4
4
M. Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Penerbit Alumni Badung, 1997, hlm.
215
5
Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik dalam
kehidupan yang terikat dalam suatu kesatuan. Pluralistik bukan pluralisme,
suatu paham yang membiarkan keanekaragaman seperti apa adanya.
Membiarkan setiap entitas yang menunjukkan keberbedaan tanpa peduli
adanya common denominator (faktor persekutuan) pada keanekaragaman
tersebut. Dengan paham pluralisme tidak perlu adanya konsep yang
menggantikan keanekaragaman. Lihat, Luh Intan Purnama Dewi dan Nadia
Aurelia Tasya Putu, “Implementasi Konsep Tri Hita Karana Dalam Penguatan
Bhinneka Tunggal Ika Di Lingkungan Perguruan Tinggi”, Jurnal Pacta Sunt
Servanda, Volume 1 Nomor 1, September 2020 hlm. 90-91
4
1945 sampai masa berlakunya Undang-undang Nomor. 23 Tahun
6
Pasal 1 angka 6 undang-undang Nomor 23 tahun 2014, mendefinisikan
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5
menikmati integrasi kondusif di bandingkan pada masa orde lama
6
suatu peraturan daerah merupakan suatu kemajuan demi
dan tantangan pada era otonomi dan globalisasi saat ini serta
7
formal telah ditetapkan serangkaian proses yang harus dilalui
10
Pasal 1 angka angka 11 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa Naskah
Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi
terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
8
dimuat dalam Program Legislasi Daerah11/Program Pembentukan
Peraturan Daerah.
11
Pasal 1 angka angka 10 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa Program
Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen
perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan
sistematis.
12
Bandingkan, Eka N.A.M. Sihombing, “Problematika Penyusunan Program
Pembentukan Peraturan Daerah”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13 No. 03 -
September 2016, hlm. 286. Pada poin 1 dan 2 merupakan pendapat dari Eka
N.A.M. Sihombing, sebagai salah satu Tim yang bertugas sebagai perancang
peraturan perundang-undangan. Untuk poin 3 sampai 5 merupakan analisis
normatif dan empiris yang di miliki penulis sebagai Tim Perancang Peraturan
Daerah.
9
4. Adanya pertentangan antara Peraturan Daerah dan
dalam penormaanya.
10