Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN NORMA LEGAL

STANDING PERMOHONAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH


PEMERINTAH
(Analisis Problematika Pasal 68 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas


Tugas Makalah Mata Kuliah Politik Hukum

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Sudarsono S.H., M.S.

Oleh:

ACHMAD HAEKAL

NIM. 226010100111054

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, DAN KEBUDAYAAN,


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
MALANG
2022
A. Latar belakang
Konstitusi formal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945) memberikan posisi strategis terhadap
partai politik dalam konstelasi ketatanegaraan sebagai upaya
menegakkan pilar demokrasi di Indonesia. Berangkat pada tiga hal yang
saling berkelindan dalam dinamika ketatanegaran Indonesia, yakni civil
society, partai politik, dan kekuasaan negara. Civil society dibangun atas
dasar solidaritas manusia yang berhimpun dalam ikatan kemasyarakatan
madani, hasrat naluriah untuk bertemu dan berkumpul, mendorong setiap
manusia untuk meramu visi dan misi. Konstruksi visi dan misi itulah yang
kemudian dipandu dan dihimpun oleh partai politik sebagai perkumpulan
sipil yang paling istimewa dalam jagad kebangsaan. Partai politik, diikat
dalam identitas ideologi, lalu bergerak bersama menuju kekuasaan, dalam
rangka mewujudkan tujuan terbaik bangsa, yang tercantum dalam
Preaumble UUD NRI 1945.

Partai Politik memang merupakan sarana menuju kekuasaan, namun


kekuasaan itu secara holistik harus dimaknai sebagaimana postulat dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bahkan kekuasaan hendaklah
diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat. Karena dalam unsur
negara terdapat beberapa elemen penting, yaitu meliputi Pemerintah,
Rakyat, Wilayah dan Kedaulatan. Pembentukan Partai Politik tentu
merupakan manifestasi dari kebebasan berserikat dengan konstruksi
ideologi yang dibangun secara kolektif tentu bertujuan pada penguatan
kedaulatan rakyat secara esensial. Dalam negara yang menganut
kedaulatan rakyat, sumber legitimasi konstitusi adalah rakyat yang disebut
sebagai constituent power.
Untuk mewujudkan kedaulatan dan keterlibatan rakyat tersebut, maka
dari itu dituangkanlah dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang
mengatur mengenai jaminan kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat di Indonesia. Model pemerintahan yang berdasar
kedaulatan rakyat adalah model pemerintahan demokrasi karena
menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Dalam rangka menjamin
pelaksanaan pemerintahan demokrasi UUD NRI 1945 menegaskan jaminan
dan pengakuan atas hak-hak asasi manusia yang dirumuskan secara jelas
dan tegas dalam UUD NRI 1945 itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan
rakyat sebagai subyek hukum dan juga stakeholder negara jelas memiliki
hak maupun kewajiban secara konstitusional yang diatur dalam konstitusi
UUD NRI 1945.
Partai politik tentu mempunyai posisi (status) dan peranan (role)
sebagai penghubung yang sangat strategis antara proses-proses
pemerintahan dengan warga negara. Bahkan sistem kepartaian yang baik
akan menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip
check and balances dalam arti yang luas. Dalam konteks politik, terutama
pada relasi kekuasaan, partai politik telah mengubah relasi antara rakyat
dengan penguasa dari semula mendiskualifikasi rakyat dari panggung
kekuasaan politik, menjadi memposisikan rakyat sebagai aktor dan poros
penting dalam relasi itu, partai politik telah menjadi instrumen utama
rakyat untuk berkompetisi dan mendapatkan kendali atas institusi-institusi
politik.
Sehingga demikian partai politik merupakan cermin kebebasan
berserikat (freedom of association) dan berkumpul (freedom of assembly)
sebagai wujud adanya kemerdekaan berfikir ( freedom of thought) serta
kebebasan berekspresi (freedom of expression), yang keberadaannya
sangat dilindungi melalui konstitusi dalam negara demokrasi
konstitusional. Namun demikian, kebebasan berserikat memiliki batasan
yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional
dan keselamatan negara, untuk mencegah kejahatan, serta untuk
melindungi hak dan kebebasan. Bentuk kebebasan tersebut
diimplementasikan melalui pengawasan terhadap partai politik sebagai
konsekuensi atas prinsip negara hukum yang dianut oleh suatu negara,
termasuk oleh negara Indonesia. Dalam praktiknya di Indonesia,
pengawasan terhadap partai politik dilakukan melalui dua cara, yakni
melalui Pemilihan Umum dan melalui pembubaran partai politik. Berkenaan
dengan pembubaran partai politik, Mahkamah Konstitusi (MK) yang lahir
pada Tahun 2003 berdasar Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 telah diberi
wewenang atribusi oleh konstitusi untuk membubarkan partai politik. 1
Secara umum alasan pembubaran partai politik oleh MK adalah karena
partai politik telah melakukan kegiatan yang bertentangan dengan
Pancasila, UUD NRI 1945, menggangggu Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan terbukti menyebarkan paham komunisme dan
leninisme.2 Sesuai dengan Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang MK, pemohon dalam pembubaran partai politik
adalah pemerintah dan termohonnya adalah partai politik. Sejak MK berdiri
dan diberi kewenangan untuk membubarkan partai politik, belum pernah
ada partai politik yang dibubarkan oleh MK. Hal ini merefleksikan dua
sebab, yaitu alasannya terbatas pada hal yang terkait dengan melawan
ideologi, konstitusi dan NKRI serta pemohonnya hanya terbatas pada
pemerintah.
Hal yang lebih mendasar lagi adalah tentu dengan pemberian peran
tunggal kepada pemerintah sebagai pemegang legal standing permohonan
pembubaran partai politik sejatinya bermasalah normatif jika dibenturkan
dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan persamaan kedudukan dalam
hukum (Equality Before The Law) sebagaimana termaktub didalam Pasal
27 ayat (1) Konstitusi UUD NRI 1945.3
Oleh karena itu, merefleksikan permasalahan di atas tentu wajah dan
iklim dari negara demokrasi yang diharapkan masih belum sesuai,
pemerintah yang diberikan mandat atas nama rakyat, sampai saat ini juga
masih belum mampu menggaransi penyelenggaraan pemerintah secara
optimal dalam mewujudkan prinsip negara hukum yang demokratis yang
memberikan kesejahteraan kepada rakyat, kini yang terjadi justru
masyarakat telah mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan
partai politik. Di sisi lain juga terdapat kerugian secara potensial yang bisa
saja terjadi dengan pemberian legal standing terbatas hanya kepada
pemerintah, yaitu partai politik yang bertendensi dengan pemerintah dan

1
Sri Hastuti Puspitasari et.al Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik di
Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. Volume 23, 4 Oktober 2016 hlm 3
2
Lihat Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
3
Lihat Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
telah terbukti melakukan penyimpangan, maka permohonan pembubaran
partai politik ke dapat dipastikan MK akan mustahil terterjadi.
Sebaliknya juga apabila terdapat partai politik yang bersebrangan dengan
pemerintah yang dalam hal ini adalah oposisi bisa saja dimungkinkan ada
alasan untuk dibubarkan. Tentu ini menjadi persoalan mendalam, sebab
sejatinya kekuasaan tidak selalu murni sebagai representasi rakyat, fakta
yang dapat diterjemahkan saat ini justru kekuasaan hanya berafiliasi
dengan kepentingan yang sifatnya elitis dan jauh dari unsur demokrasi.
Dengan demikian berdasarkan permasalahan yang telah
dipaparkan oleh penulis maka penulis mengkaji secara politik hukum
pembentukan norma legal standing permohonan pembubaran partai
politik oleh pemerintah yang mana mengapa hanya pemerintah sajalah
yang dapat membubarkan partai politik dan tidak melibatkan masyarakat
yang memiliki posisi netral, dan masyarakat juga perlu diberikan ruang
untuk berbartsipasi sebagaimana konstitusi menjaminnya. Permasalahan
yang penulis temui politik hukum apakah yang terdapat didalamnya
sehigga tidak melibatkan masyarakat dalam pembubaran partai politik
tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang Permasalahan yang

1. Bagaimanakah problematika pengaturan mengenai legal standing


(kedudukan hukum) permohonan pembubaran partai politik?
2. Bagaimanakah Politik Hukum pengaturan mengenai legal standing
(kedudukan hukum) permohonan pembubaran partai politik?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui problematika pengaturan mengenai legal standing


(kedudukan hukum) permohonan pembubaran partai politik.
2. Untuk mengetahui Politik Hukum pengaturan mengenai legal standing
(kedudukan hukum) permohonan pembubaran partai politik.
D. Pembahasan

A. Problematika Pengaturan Legal Standing Permohonan pembubaran


Partai Politik saat ini tidak sesuai dengan kerangka negara
demokrasi konstitusional.

Paham kedaulatan rakyat ( democracy) rakyatlah yang


dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi suatu
negara. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan
diselenggarakan. Rakyatlah pula yang menentukan tujuan yang
hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu. Partisipasi
politik merupakan inti dari demokrasi. Demokratis tidaknya suatu
sistem politik, ditentukan oleh ada-tidaknya atau tinggi-rendahnya
tingkat partisipasi politik warganya. Namun dalam mekanisme
Pembubaran Partai Politik justru peran serta warga negara tumpul
karena didalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Partai Politik mengatur bahwa pemegang legal standing
pemohon pembubaran partai politik hanya dapat diajukan oleh
pemerintah, regulasi ini jelas bertentangan dengan konstitusi UUD
NRI 1945 yang dengan tegas menyebutkan dalam Pasal 27 ayat (1)
UUD NRI 1945 bahwa “Segala warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.” Bahwa juga hak konstitusional pada Pasal 28C ayat (2)
UUD NRI 1945 ditegaskan sebagai hak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya. Sehingga tentu memaknai
kedaulatan rakyat dalam konstelasi politik harus secara holistik yaitu
rakyat sebagai elemen vital dalam sebuah negara demokrasi.
B. Politik Hukum mengenai legal standing (kedudukan hukum)
permohonan pembubaran partai politik Mahkamah Konstitusi
mencederai hak konstitusional warga negara.

Menurut Mahkamah konstitusi, Pasal 24C UUD NRI 1945 tidak


mengatur mengenai yang berhak mengajukan perkara pembubaran
partai politik ke Mahkamah Konstitusi. Pemerintah sebagai pemohon
dalam perkara pembubaran partai politik merupakan pilihan
pembentuk Undang-Undang dalam menyusun dan membentuk
ketentuan hukum acara Mahkamah Konstitusi dalam Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga
Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan
mengenai kewenangan MK dalam Pasal 24C UUD NRI 1945. Selain
itu, pada petitum permohonannya, para Pemohon memohon
Mahkamah untuk memutuskan frasa “Pemerintah” pada Pasal 68
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi bertentangan dengan UUD NRI 1945, kecuali sepanjang
dimaknai: “tidak hanya pemerintah yang dapat mengajukan
permohonan pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi,
tetapi dapat pula perorangan warga negara Indonesia dan badan
hukum”.

Rumusan yang diinginkan oleh para Pemohon tersebut


merupakan rumusan konstitusional bersyarat yang menambah
norma baru pada Undang-Undang. Menurut Mahkamah konstitusi,
kata-kata “Pemerintah” pada Pasal a quo telah diartikan secara
tegas dalam penjelasannya sebagai “Pemerintah Pusat” dan tidak
dapat diartikan atau ditafsirkan dengan menambah “perorangan
warga negara Indonesia dan badan hukum” sebagai pemohon
pembubaran partai politik, karena hal tersebut menjadi penambahan
norma baru. Apabila Mahkamah menghapus atau menyatakan tidak
memilki kekuatan hukum terhadap frasa “Pemerintah” pada Pasal 68
ayat (1) Undang-Undang a quo, maka norma pada Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengenai yang
dapat menjadi pemohon pada perkara pembubaran partai politik
menjadi tidak jelas sehingga akan menimbulkan kekosongan dan
ketidakpastian hukum.4

Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan


pemohon, sehingga kedudukan hukum (legal standing) pemohon
dalam mengajukan permohonan pembubaran partai politik masih
mutlak menjadi kewenangan pemerintah (Presiden), hal ini tentunya
mengurangi hak-hak konstitusional warga negara dalam persamaan
di depan hukum (Equality before the law) Apabila merujuk pada
asas equality before the law dan ketentuan Pasal 27 dan 28D UUD
1945, ketentuan pembatasan pemohon dengan hanya
menempatkan pemerintah sebagai pemohon tunggal seharusnya
tidak dapat dibenarkan. Diskriminatif karena tidak menempatkan
setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.

Hak untuk mengajukan permohonan pembubaran partai


politik idealnya diberikan kepada perseorangan, kelompok
masyarakat, dan badan hukum. Dengan begitu, kewenangan MK
dalam memutus pembubaran partai dapat berguna dan kontrol
terhadap partai politik juga akan berjalan lebih baik karena diawasi
oleh seluruh masyarakat Indonesia. Partai politik juga harus
dikembalikan kepada prinsip daulat rakyat bahwa rakyatlah yang
menghidupi, yang memiliki partai politik tersebut sesuai postulat
demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah
partai politik dengan segala eksistensinya, ketika rakyat memang
punya hak untuk menuntut status konstitusional dari sebuah partai
poltik yang dilahirkan hingga dibesarkannya.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai


Politik disebutkan bahwa partai politik merupakan sarana partisipasi
politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi
untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab. Partai
politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
4
Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 53/PUU-
IX/2011
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita, untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota masyarakat bangsa dan
negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.

Bahwa pemenuhan dan jaminan hak konstitusional para Pemohon


dan masyarakat pada umumnya. Dipastikan akan tercipta sistem
demokrasi yang lebih dinamis dan maju yang ditopang oleh pilar
utamanya yaitu partai politik yang jujur dan bersih serta kredibel
sehingga mendapatkan kepercayaan dan dukungan luas dari rakyat
Indonsia, karena rakyat dapat mengontrol langsung terhadap partai
politik, sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan berwibawa di
masa akan datang, guna terwujudnya tujuan negara yaitu menuju
masyarakat adil dan makmur sesuai dengan pembukaan UUD NRI
1945. Sehingga dengan demikian menakar peran serta masyarakat
harus dengan perluasan legal standing masyarakat dalam
permohonan pembubaran partai politik, tidak hanya dimaknai hanya
pemerintah selaku pemilik status legal standing tersebut.

C. Politik hukum pengaturan pasal legal standing dalam permohonan


pembubaran partai politik.

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus


pembubaran partai politik. Kewenangan yang sesungguhnya krusial
karena dapat menjadi kontrol dan pembatas terhadap partai politik agar
tidak melakukan tindakan melanggar hukum yang berpotensi
menyebabkan gaduh dalam kehidupan bernegara.

Seyogyanya dalam konteks pembubaran partai politik rakyat juga


mempunyai kedudukan hukum (legal standing) yang sama sesuai
didalam UUD 1945 pasal 27 akan tetapi pilihan dan keinginan dari si
pembentuk peraturan lah yang dapat memainkan siapa yang dapat
berperan dan andil dalam pembubaran partai politik yang menjadikan
pilihan mereka yang mengatur pemerintah untuk memegang legal
standing tersebut
E. kesimpulan

Dalam pembubaran partai politik Pengaturan Legal Standing


Pemohon pembubaran Partai Politik saat ini tidak sesuai dengan
kerangka negara demokrasi konstitusional yang mana Paham
kedaulatan rakyat (democracy) rakyatlah yang dianggap sebagai
pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi suatu negara. Rakyatlah
yang menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Akan
tetapi dalam mekanisme Pembubaran Partai Politik justru peran serta
warga negara tumpul karena didalam Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Partai Politik mengatur bahwa pemegang legal standing
pemohon pembubaran partai politik hanya dapat diajukan oleh
pemerintah sehingga tentu memaknai kedaulatan rakyat dalam
konstelasi politik harus secara holistik yaitu rakyat sebagai elemen vital
dalam sebuah negara demokrasi, hal ini tentunya mengurangi hak-hak
konstitusional warga negara dalam persamaan di depan hukum
(Equality before the law) Apabila merujuk pada asas equality before the
law dan ketentuan Pasal 27 dan 28D UUD 1945, ketentuan pembatasan
pemohon dengan hanya menempatkan pemerintah sebagai pemohon
tunggal seharusnya tidak dapat dibenarkan. Diskriminatif karena tidak
menempatkan setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan
hukum, maka dengan begitulah partai politik dengan segala
eksistensinya, ketika rakyat memang punya hak untuk menuntut status
konstitusional dari sebuah partai poltik yang dilahirkan hingga
dibesarkannya, dengan demikian perluasan legal standing masyarakat
dalam permohonan pembubaran partai politik, tidak hanya dimaknai
hanya pemerintah selaku pemilik status legal standing tersebut.

Daftar Pustaka
Sri Hastuti Puspitasari et.al Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran
Partai Politik di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. Volume 23, 4 Oktober
2016 hlm 3
Lihat Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
Lihat Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Nomor 53/PUU-IX/2011

Anda mungkin juga menyukai