Anda di halaman 1dari 24

PROPOSAL SKRIPSI

Nilai Demokratis Hak Recall oleh Partai Politik dalam Sistem


KetatanegaraanRepublik Indonesia (Studi Terhadap
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014)

Oleh:

ADREVI PUTRA PURNAMA

04020190099

Skripsi ini Disusun Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Gelar


Sarjana Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

2022
A. Judul : Nilai Demokratis Hak Recall Oleh Partai Politik Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi Terhadap Undang-Undang
No. 17 Tahun 2014)
B. Latar Belakang

Partai politik merupakan salah satu bentuk perwujudan kebebasan berserikat


sebagai salah satu prasyarat berjalannya demokrasi. Kebebasan berserikat lahir
dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi
baik secara formal maupun informal. Kecenderungan demikian itu merupakan
suatu keniscayaan. Kecenderungan bermasyarakat yang pada perinsipnya adalah
kehidupan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-
kepentingan yang sama dari individu-individu serta untuk mencapai tujuan
bersama berdasarkan persamaan pikiran dan hati nurani (Muchamad,201: 4-5).
Kata Partai politik sendiri berasal dari dua suku kata yaitu partai dan politik.
Kata partai sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu “Partire” yang berarti
membagi. Awalnya kehadiran partai dalam kehidupan politik banyak dinilai
negative. Orator dan agitator revolusi Perancis, Rebespierre, “Menganggap partai
hanyalah organisasi yang hanya mementingkan kepentingan pemimpin”.
Sedangkan George Washington meyakini partai sebagai penyebar bibit-bibit
permusuhan dan ketidakpuasan terhadap masyarakat umum (Efriza, 2012: 213).
Menurut UU No. 31 Tahun 2002, bahwa yang diamaksud partai politik
adalah organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik
Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui
pemilihan umum (Hendrarto,2006: 310-318).
Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat
penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung
yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara.
Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya
menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattcheider, “political parties
created democracy”. Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat
penting untuk memperkuat derajat perlembagaanya (the degree of
institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh
Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms
of the parties” (Schattscheider, E.E,1975: 120).
Partai politik membentuk landasan masyarakat demokratis. Mereka
mengumpulkan kepentingan publik, mengartikulasikannya dalam bentuk pilihan
kebijakan dan memberikan struktur untuk berpartisipasi dalam politik. Selain itu,
mereka melatih para pemimpin politik dan melakukan pemilihan umum untuk
mencari ukuran kontrol atas lembaga pemerintah. Ketika menjadi mayoritas,
partai memberikan basis organisasi untuk membentuk pemerintah, dan ketika
menjadi minoritas, partai menjadi oposisi, atau alternatif terhadap pemerintah.
Ketika terpilih, kandidat berusaha untuk memajukan kepentingan partai mereka di
badan legislatif, mewakili agenda kebijakan tertentu yang memiliki legitimasi dari
mandat pemilihan yang popular dalam parlemen dan anggota parlemen (AP)
(Ashagbor, 2011:23).
Konsekuensi logis yang akan terjadi bila masalah itu terus berlangsung
adalah makin merenggangnya jarak antara partai politik dan rnasyarakat. Dengan
hanya memposisikan diri sebagai mesin pendulang suara partai politik akan
dipandang menjadi sesuatu institusi yang asing ketimbang sebagai media bagi
rakyat dalam mewujudkan cita citanya. Padahal kegagalan partai politik dalam
menjelmakan dirinya sebagai lembaga politik yang dapat dipercaya oleh rakyat
tidak saja akan menyebabkan terganggunya kehidupan pemerintahan mengingat
partai politik merupakan institusi yang menentukan jalannya pelaksanaan tugas
DPR dan pemerintah namun pula membahayakan kehidupan demokrasi itu sendiri
(Noor,2016: 10).
DPR sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang hadir dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan perwujudan dari pelaksanaan amanat
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya untuk dapat diangkat
menjadi anggota DPR, seseorang harus dipilih melalui suatu pemilihan umum
yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang
dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun sekali sebagaimana ketentuan
Pasal 19 ayat (1) juncto Pasal 22 E ayat (1) dan (2) UUD Negara RI Tahun 1945
(Shubhan,2006: 31).
Dalam praktek untuk memilih anggota DPR, partai politik diletakkan
sebagai peserta dalam suatu pemilihan umum yang memilih anggota DPR.
Proposisi ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945
menyebutkan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik. Pasal tersebut menunjukkan bahwa penempatan seorang anggota DPR
adalah merupakan pemberian mandat dari sebuah partai politik. Dengan kata lain
“tanpa partai politik mustahil seseorang dapat menjadi anggota DPR”, selain itu
setiap anggota DPR tergabung dalam “Fraksi” yang merupakan representasi dari
eksistensi partai politik di (DPR), sehingga terdapat konteks pertanggungjawaban
antar keduanya. Di satu sisi anggota DPR bertanggungjawab atas penegakan
AD/ART partai politik dan sisi lainnya partai politik memiliki tanggungjawab
untuk melakukan kontrol terhadap kinerja para anggotanya di DPR dan bentuk
kontrol (pertanggungjawaban parpol) tersebut adalah dalam bentuk mekanisme
hak recall partai politik (Shubhan,2006: 31).
Konstruksi hukum antara partai politik dan anggota DPR yang seperti itu
menimbulkan persoalan lebih lanjut, yakni apakah keanggotaan seseorang sebagai
anggota DPR merupakan kewenangan mutlak dari partai politik yang notabene
sebagai peserta pemilu ataukah masing-masing anggota DPR memliki
kemandirian yang terlepas dari partai politiknya?. Dan apakah seorang anggota
DPR dapat ditarik kembali (recall) oleh partai oleh partai politik yang telah
mengendorsenya sebagai anggota parlemen? (Shubhan,2006: 31).
Recall adalah suatu penarikan anggota parlemen dari anggota MPR, dan
anggota parlemen tersebut diganti oleh anggota lainnya sebelum masa jabatan
sebagai anggota parlemen berakhir. Menurut M. Hadi Shubhan, hak recall ialah
hak suatu partai politik untuk menarik kembali anggota parlemen terpilih melalui
daftar calon yang diajukan. Adanya system recall yang menjadi kewenangan
partai politik dalam merecall anggota DPR di parlemen secara tidak langsung
telah mencenderai hak-hak rakyat yang telah memberikan mandate terhadap
wakilnya. Sebab dengan adanya system proposional terbuka, seharusnya
kewenangan mekanisme recall juga melibatkan rakyat sebagai konstituen yang
telah memberikan mandate kepercayaan kepada wakilnya di parlemen. (shubhan,
2006: 46).
Hak Recall Partai Politik yang secara jelas tercantum dalam Pasal 213 ayat
(2) huruf (e),(f),(h), Undang-Undang No. 27 Tahun 2009, tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 85
ayat (1) UU N0.22 Tahun 2003, tentang susunan dan kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Pasal 12 huruf b UU No.31 Tahun
2002 tentang Partai Politik (Wahid, 2011: 1).
Recall telah hadir dan dikenal secara formal di bumi Indonesia sejak Orde
Baru berkuasa di pemerintahan, yakni tahun 1966 melalui UU No. 10 Tahun 1966
yang mengatur tentang kedudukan MPRS dan DPR-GR. UU ini lahir beberapa
bulan setelah Orde Baru naik ke pentas politik menggantikan Orde Lama.
Pencantuman Hak Recall dalam UU No. 10 Tahun 1966 dalam rangka
pembersihan anggota parlemen (DPR-GR) yang masih loyal pada Orde Lama
pimpinan Soekarno. Itulah mengapa Hak Recall ini diatur dalam suatu UU bukan
dalam peraturan Tata Tertib DPR-GR, didasarkan atas pertimbangan bahwa
peraturan Tatib hanya mengikat secara intern sedangkan UU akan mengikat juga
secara ekstern Parpol atau Organisasi Politik yang mempunyai kursi di DPR-GR.
(huda,2011: 2).
Recall dipahami secara umum sebagai penarikan kembali anggota Dewan
Perwakilan Rakyat untuk diberhentikan dan karenanya digantikan dengan anggota
lainnya sebelum berakhir masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
ditarik tersebut. Ketentuan dasar dari pemberhentian anggota DPR tertuang dalam
Pasal 22 B UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang
berbunyi “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”
yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwaklan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) dan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. (Huda,2011: 2).
Recall bagi anggota parlemen seringkali menjadi ‘momok’ yang
menakutkan, baik yang ‘vokal’ menyuarakan jeritan rakyat maupun yang
berperilaku ‘menyimpang’ dari garis partai, sekaligus juga bagi anggota parlemen
yang berperangai ‘buruk’ di mata rakyat. Sejak pemerintahan Orde Baru hingga
saat ini (pasca reformasi), recall terhadap anggota DPR selalu menarik dikaji baik
dalam perspektif politik maupun hukum. Kebijakan recall pernah menghilang dari
perpolitikan Indonesia pasca reformasi yakni dalam UU No. 4 Tahun 1999
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Hilangnya wacana
recall dari panggung politik pasca reformasi 1998 tampaknya memang menjadi
bagian dari tuntutan reformasi di era transisi demokrasi saat itu. Ketika tahap
konsolidasi demokrasi mulai dilakukan, justru recall anggota DPR dan DPRD
muncul kembali dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR dan DPRD (Huda, 2011: 460).
Istilah recall dalam ketatanegaraan di Indonesia, juga dikenal sebagai
penggantian antar waktu. Terdapat beberapa alasan, mengapa pergantian antar
waktu diperbolehkan. Hal ini diatur dalam Pasal 213 ayat (1) dan dijabarkan lebih
lanjut mengenai alasan-alasannya dalam Pasal 213 ayat (2) UU No. 27 tahun
2009. Salah satu alasan yang menimbulkan problematik adalah alasan pada Pasal
213 ayat (2) huruf e, dimana pemberhentian antar waktu dilaksanakan atas usul
partai politik. Regulasi inilah yang menimbulkan permasalahan, karena seorang
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, duduk sebagai anggota Parlemen dengan
legitimasi dari suara rakyat (kedaulatan rakyat, mengacu Pasal 1 ayat (2) UUD
1945), dan bukan dari suara Partai Politik. Tidak dapat dipungkiri bahwa partai
politik adalah salah satu unsur penting dinamika ketatanegaraan Indonesia, namun
sebagai negara penganut Separation Of Power with Checks and Balances
Principle maka perlu juga adanya pembatasan terhadap kekuasaan partai politik,
terutama partai politik yang memegang pucuk pimpinan tertinggi, baik di ranah
kekuasaan legislatif, maupun di ranah kekuasaan eksekutif (N.K, 2012: 1).
Dalam literatur hukum di Indonesia yang mengatur tentang pemberhentian
dan penggantian antar waktu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, partai politik
memiliki peran yang begitu besar di dalamnya. Dimana aturan tersebut termuat
dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyebutkan bahwa partai
politik dapat mengusulkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berasal dari
partai politik itu sendiri untuk diberhentikan. Terhadap regulasi hukum seperti ini,
dapat dikatakan bahwa partai politik memiliki peran aktif dalam hal pengawasan
terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Sari, 2011: 10).
Pengertian pergantian antarwaktu sering disebut dengan recall, pengertian
recall sendiri di Indonesia berbeda dengan pengertian recall yang ada di Amerika
istilah ini lebih merupakan hak yang dimiliki oleh pemilih (konstituen) untuk
melengserkan wakil rakyat sebelum masa jabatannya berakhir. Dalam prakteknya,
walaupun recall election di Amerika telah berkembang sejak tahun 1903, dari 117
kali percobaan untuk melengserkan para Anggota legislatif di California, hanya
tujuh kali yang sampai pada pemungutan suara pemilih, dan tidak ada satupun
yang berhasil melengserkan anggota badan perwakilan rakyat tersebut. Hal ini
dikarenakan masa jabatan wakil rakyat yang relatif singkat yaitu hanya dua tahun.
Oleh karena itu apabila dalam dua tahun tersebut wakil rakyat yang bersangkutan
tidak memberikan kinerja yang baik maka cukuplah masa jabatannya dan dia tidak
akan dipilih kembali pada masa pemilihan berikutnya (Sari, 2011: 10).
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD Tahun 1945) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat
dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar.” Implementasi ketentuan
tersebut, dilaksanakan melalui sistem perwakilan (representation). Pengisian
lembaga perwakilan dilaksanakan melalui pemilihan umum (pemilu). Dengan
demikian, pemilu adalah salah satu instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat
yang bermaksud membentuk pemerintahan yang sah serta sarana mengartikulasi
aspirasi dan kepentingan rakyat. Rekrutmen keanggotaan lembaga perwakilan
rakyat (DPR) berbasis partai politik, sehingga tidak ada satupun anggota
perwakilan rakyat yang tidak terikat pada suatu partai politik (Evendita, 2012:
01).
Sebagaimana tercermin dalam Pasal 22E ayat (3) UUD Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa “peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik.” Dalam Pasal 213 ayat (1) dan (2) serta Pasal 383 ayat (1) dan (2) UU
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menentukan bahwa anggota DPR selain
dipilih, dapat diberhentikan dari jabatannya (Pemberhentian Antar Waktu) yang
salah satu alasannya yaitu apabila diusulkan oleh partai politiknya untuk
diberhentikan sebagai anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Evendita, 2012: 01).
Undang-undang Dasar Republik Indonesia memang mengatur
pemberhentian Anggota Dewan khususnya pada pasal 22B yang menyatakan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat di berhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan tata caranya di atur dalam undang-undang. Inilah selanjutnya
yang menjadi dasar dalam pengaturan tentang Hak Recall Partai Politik yang
secara jelas tercantum dalam Pasal 213 ayat (2) huruf (e),(f),(h), Undang-Undang
No. 27 Tahun 2009, tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang
sebelumnya diatur dalam Pasal 85 ayat (1) UU N0.22 Tahun 2003, tentang
susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
Pasal 12 huruf b UU No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Evendita, 2012:
01)
Melihat beberapa kasus pemberhentian anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang di recall oleh partai politiknya seperti kasus Lily Wahid dan Effendy Choirie
yang pada tahun 2011 di recall oleh partai politiknya yaitu Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) karena telah bertentangan dengan keputusan/kebijakan partai
dalam hal pengambilan keputusan terkait kasus Bank Century dan kasus mafia
pajak. Pada tahun 2016 baru-baru ini wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah
direcall dari keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Dewan Pimpinan Pusat
PKS karena telah melanggar disiplin partai. Di tingkat daerah Sulaiman Abda
yang menjabat Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sempat diusulkan
oleh kendaraan partai politiknya yaitu partai Golongan Karya (Golkar) untuk
direcall karena diberhentikan dari keanggotaan partai. Ini menandakan bahwa
terdapat suatu hal permasalahan yang mengganjal dalam pelaksanaan kekuasaan
negara, dimana para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dituntut untuk tunduk dan
loyal kepada partai politiknya sebagaimana partai politik yang memiliki
kewenangan untuk merecall anggotanya yang dianggap tidak patuh kepada
pimpinan partai atau partai politik secara umumnya (Akmal dkk, 2018: 358).
Mekanisme pemberhentian atau dalam hal ini recall diatur dalam Undang-
Undang No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pada pasal 88,
148, 149, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242. Dalam pasal tersebut secara garis
memperkenalkan adanya mahkamah partai sebagai lembaga internal partai yang
akan sedikit mengikis keputusan politis. meskipun ada kelemahan Mahkamah
Partai, yakni Partai politik tetap melakukan pemberhentian recall anggota DPR
tanpa persetujuan Mahkamah Partai (pasal 243,244,245). sehingga penulis
berasumsi perlu rekonseptualisasi recall dengan memberikan syarat bahwa sah
demi hukum pemberhentian angota DPR sepanjang disetujui oleh mahkamah
partai melalui mekanisme hukum yang berlaku.
Begitu problematiknya keberadaan konsep recall DPR yang dianut oleh
Indonesia sehingga penulis merasa perlu melakukan kajian dan analisis terhadap
konsep recall yang dianut di Indonesia ini. Olehnya itu penulis tertarik melakukan
penelitian skripsi dengan judul: “Nilai Demokratis Hak Recall Oleh Partai
Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi Terhadap
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014)”.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat di rumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Pelaksanaan Hak Recall Oleh Partai Politik Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi Terhadap Undang-Undang
No. 17 Tahun 2014)?
2. Bagaimanakah problematika Hak Recall Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat di Indonesia?
D. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini untuk mengetahui:
1. Mengetahui Pelaksanaan Hak Recall Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan
Daerah, dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah.
2. Mengetahui konsep Recall Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di
Indonesia.

E. Manfaat Penelitian
1. Partai Politik
Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan kajian baik secara teoritis
maupun praktis bagi partai politik dalam melaksanakan hak Recall Oleh
Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi
Terhadap Undang-Undang No. 17 Tahun 2014).
2. Masyarakat
Memberikan tambahan wawasan ilmu pengetahuan kepada
masyarakat, khususnya mengenai Hak Recall Oleh Partai Politik Dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi Terhadap Undang-
Undang No. 17 Tahun 2014).
3. Penulis
Menambah wawasan berpikir dan pengetahuan, khususnya
mengenai Hak Recall Oleh Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia (Studi Terhadap Undang-Undang No. 17 Tahun
2014).
F. Tinjauan Pustaka
1. Penelitian Terdahulu
a) Penelitian oleh Ni’matul Huda dengan Judul “Recall Anggota DPR
dan DPRD Dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia” dalam Jurnal
Mimbar Hukum Vol 23 tahun 2011. Hasil penelitiannya ialah
memfokuskan pada penelitian wewenang untuk me-recall anggotanya
dari parlemen, bahkan mencabut keanggotaan seseorang dari partainya
apabila anggota tersebut melanggar kebijakan partai. Hal ini
dikarenakan pencalonan anggota parlemen diusulkan oleh partai
politik. Namun, putusan Mahkamah Konstitusi telah mengubah
mekanisme nomor urut menjadi suara terbanyak dalam menentukan
siapa yang duduk di parlemen. Perbedaan penelitian oleh Ni’matul
Huda dengan skripsi saya ialah terletak pada objek yang tidak
mengkaji DPRD. Penelitian oleh Ni’matul Huda tidak memberikan
konsep seperti apa yang bias menghadirkan nilai demokratis dalam
rebuah Recall DPR.
b) Hasil penelitian Skripsi Galuh Nur Aprilia dengan Judul “HAK Recall
Partai Politik Terhadap Anggota Parlemen Dalam Sistem
Ketatanegaraan Di Indonesia (Kajian Mengenaikasus Fahri Hamzah)”
Fakultas hukum Universitas Sriwijaya tahun 2017. Hasil penelitiannya
ialah memfokuskan pada penelitian yang mengkaji kasus Fahri
Hamzah yang di recall oleh partai KPS di tahun 2016. Penelitian ini
difokuskan pada mekanisme perecallan yang dilakukan partai politik
terhadap fahri hamzah. Perbedaan penelitian oleh Galuh Nur Aprilia
dengan skripsi saya ialah terletak pada objek yang tidak menjadikan
Fahri Hamzah Sebagai studi kasus utama. Sehingga pendalaman kasus
terhadap Recall Fahri Hamzah hanyalah sebagai contoh kasus yang
akan memperkuat kebenaran riset penelitian skripsi saya.
c) Hasil penelitian Skripsi oleh Moh. Khalilullah A. Razaq dengan Judul
“Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Parlemen Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia (Studi Kasus Lily Chodidjah Wahid Dan
Achmad Effendy Choirie)” pada tahun 2015. Hasil penelitian dari
Skripsi Moh. Khalilullah ialah bahwa menurut proses recall atas lily
chodidjah wahid dan achmad effendy choirie adalah konstitusional.
Namun recall atas keduanya masih menjadi kewenangan partai untuk
mengusulkan recall. Perbedaan penelitian oleh Moh. Khailullah
dengan skripsi saya ialah terletak pada objek penelitian. Kholilullah
menjadikan kasus Lily Chodidjah Wahid dan Achmad Effendy
Choirie sebagai basis pembahasan utama. Sedangkan penulis tidak
membahas dan menyinggung kedua kasus yang menjadi objek
pembahasan Kholilullah.
2. Kerangka Teori
A. Konsep pemisahan kekuasaan
Terkait dengan teori pemisahan, Montesquieu membuat analisis atas
pemerintahan Inggris dan ia menyatakan; ketika kekuasaan legislatif dan
eksekutif disatukan pada orang yang sama, atau pada lembaga tinggi yang
sama, maka tidak ada kebebasan. Sekali lagi tidak akan ada kebebasan,
jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan
eksekutif (Montesquieu,2000: 421).
Pada akhirnya akan menjadi hal yang sangat menyedihkan bila orang
yang sama atau lembaga yang sama menjalankan ketiga kekuasaan itu,
yaitu menetapkan hukum, manjalankan keputusankeputusan publik dan
mengadili kejahatan atau perselisihan para individu. Adanya pemisahan
kekuasaan dalam negara diatur dalam hukum dasar dari suatu negara yaitu
Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Konstitusi atau UUD merupakan
dokumen negara yang memuat hal-hal pokok penyelenggaraan negara.
Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa pada dasarnya konstitusi
mengandung hal-hal sebagai berikut; Pertama, public authority hanya
dapat dilegitimasi menurut ketentuan konstitusi; Kedua, pelaksanaan
kedaulatan rakyat (melalui perwakilan) harus dilakukan dengan
menggunakan prinsip universal and equal suffrage dan pengangkatan
eksekutif harus melalui pemilihan yang demokratis; Ketiga, adanya
pemisahan atau pembagian kekuasaan serta pembatasan wewenang;
Keempat, adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri yang dapat
menegakkan hukum dan keadilan baik terhadap rakyat maupun terhadap
penguasa; Kelima, adanya sistem kontrol terhadap militer dan kepolisian
untuk menegakkan hukum dan menghormati hak-hak rakyat; Keenam,
adanya jaminan perlindungan atas HAM. (Montesquieu,2000: 421).
Kedaulatan tertinggi bangsa Indonesia dijelaskan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, berada di tangan
rakyat Indonesia. Dengan demikian rakyat yang memiliki kedaulatan atas
unsur kekuasaan negara, yang kemudian oleh konstitusi, legitimasi
kewenangannya diberikan pada lembaga negara selaku pemegang
kekuasaan yang anggotanya dipilih melalui cara yang demokratis oleh
rakyat. Pada akhirnya, pertanggungjawaban penerima mandat pelaksana
kekuasaan negara kembali lagi kepada rakyat selaku pemberi mandat.
Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan
kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-
lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat
Sistem pemisahan kekuasaan bermula ketika John Locke dalam bukunya
Two Treatises on Civil Government (1690) memisahkan kekuasaan dari
tiap-tiap negara dalam 3 kekuasaan, yaitu:
a) Kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk membuat Undang-Undang;
b) Kekuasaan eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan Undang-
Undang;
c) Kekuasaan federative.
Kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan
dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri. Setelah itu sistem
tersebut dikembangkan oleh ahli politik dan filsafat perancis yang
bernama Montesquieu. Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan
dalam tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Menurutnya,
ketiga jenis kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai
tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang
menyelenggarakannya. Menurut montesquieu, kekuasaan legislatif adalah
kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi
penyelenggaraan undang-undang (oleh Montesquieu diutamakan tindakan
di bidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan
mengadili atas pelanggaran undang-undang. (Kansil,1985: 10-19).
Prinsip pemisahan kekuasaan dikembangkan oleh dua pemikir besar
dari Inggris dan Perancis, John Locke dan Montesquieu. Konsep
pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh dua pemikir besar tersebut
kemudian dikenal dengan teori Trias Politica. Menurut John Locke
kekuasaan itu dibagi dalam tiga kekuasaan, yaitu : 1) Kekuasaan legislatif,
bertugas untuk membuat peraturan dan undang-undang. 2) Kekuasaan
eksekutif, bertugas untuk melaksanakan undang-undang yang ada di
dalamnya termasuk kekuasaan untuk mengadili. 3) Kekuasaan federatif,
tugasnya meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam
hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya
(dewasa ini disebut hubungan luar negeri). (Budiardjo, 2022: 150).
Konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) membagi
kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif
tidak boleh dijadikan satu dengan kekuasaan eksekutif untuk menghindari
terjadinya tirani. Kekuasaan legislatif juga sebagai kekuasaan yang
memberikan dasar penyelenggaraan negara melalui pembentukan undang-
undang. Keberadaan lembaga legislatif diawali dengan adanya keinginan
masyarakat untuk mengambil alih kekuasaan negara yang mulai terpusat
pada seseorang raja atau kepala negara. Keinginan tersebut yang akhirnya
memunculkan pusat kekuasaan masyarakat yang mendapat legitimasi dan
melembaga dalam lembaga legislatif. Dalam DPRD terdapat kursi untuk
partai politik, fraksi-fraksi dan alat kelengkapan DPRD yang memiliki
fungsi sangat penting dalam terselanggaranya otonomi daerah. Fungsi
legislasi adalah bagian dari proses fungsi yang dimiliki DPRD dan
mempunyai peranan penting dalam pelaksaan peran DPRD sebagai
lembaga legislatif daerah dan penelitian kali ini akan juga membahas
substansi tentang hak inisiatif yang dimiliki anggota DPRD. Sebagai
lembaga legislatif DPRD berfungsi juga sebagai badan pembuat peran.
Melalui fungsi ini DPRD mengaktualisasikan diri sebagai wakil
rakyat, Undang-Undang Dasar dan undang-undang mengatur hak prakarsa
atas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dan hak atas perubahan
(Raperda). Kemampuan lembaga legislatif melaksanakan fungsi
perwakilan dan fungsi legislasi dapat dilihat dari persepsi para anggota
dalam mengangkat berbagai persoalan dalam masyarakat untuk
dibicarakan dalam forum legislatif atau kemampuan lembaga legislatif
melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan dari rakyat yang diwakili.
(Subarjo, 2006: 24).
Montesquieu dalam ajaran trias politica telah menegaskan mengenai
teori pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti bahwa
kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, naik mengenai
orangnya maupun mengenai fungsinya. Dengan demikian kekuasaan
negara itu wajib untuk memberikan jaminan kebaikan dan kesejahteraan
berdasarkan atas hukum kepada rakyat suatu negara. Dengan adanya
konsep pemisahan kekuasaan memiliki sinkronisasi terhadap penelitian
karya ilmiah ini yang menekankan bahwa dalam menjalankan kekuasaan
suatu negara itu harus dipisahkan scara utuh dan menyeluruh atau absolut.
Sehingga tiap-tiap organ kekuasaan negara itu memiliki bagian dalam
kekuasaan atau cabang kekuasaan itu tidak boleh turut campur atau
melakukan intervensi terhadap kegiatan organ atau cabang kekuasaan
lainnya. (Asshidique, 2010: 299).
Gagasan pemisahan kekuasaan John Locke kemudian dikem-bangkan
oleh Montesquieu yang terkenal dengan teori Trias Politika (Tiga Cabang
Kekuasaan). Dalam teori Trias Politika, kekuasaan j udisial sebagai cabang
kekuasaan negara untuk pertama kali diperkenalkan oleh Montesquieu.
Menurut Montesquieu, kekuasaan negara didistribusikan secara horisontal
kepada organ-organ negara menurut fungsinya masing-masing yakni (a)
kekuasaan legislatif bertugas membuat undang-undang, (b) kekuasaan
eksekutif bertugas menjalankan undang-undang dan (c) kekuasaan judisial
bertugas menindak perbuatan yang melanggar undang-undang. Masing-
masing cabang kekuasaan dijalankan oleh organ negara yang berbeda dan
terpisah. Kekuasaan membuat undang-undang dijalankan Badan Legislatif.
Kekuasan menjalankan undang-undang dilakukan Badan Eksekutif.
Kekuasaan menindak perbuatan yang melanggar undang-undang
dijalankan Badan Judisial (Budiardjo, 1998: 23).
Adapun definisi dari Trias Politica adalah suatu ajaran yang
mempunyai anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari 3 (tiga) macam
kekuasaan, yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Kekuasaan Legislatif
adalah membuat undang-undang, kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan
melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan
mengadili atas pelanggaran undang-undang. Konsep Trias Politica adalah
suatu prinsip normatif bahwa kekuasaankekuasaan yang sebaiknya tidak
diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Artinya bahwa konsep Trias Politica
dari Montesquieu yang ditulis dalam bukunya L’esprit des lois (The Spirit
of Laws) menawarkan suatu konsep mengenai kehidupan bernegara
dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan akan saling
lepas dalam kedudukan yang sederajat, sehingga dapat saling
mengendalikan dan saling mengimbangi satu sama lain (check and
balances), selain itu harapannya dapat membatasi kekuasaan agar tidak
terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang nantinya akan
melahirkan kesewenangwenangan. Ditinjau dari segi pembagian
kekuasaannya, lembaga negara atau lembaga pemerintah dapat dibedakan
ke dalam 2 (dua) bagian yaitu:
1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatannya.
Maksudnya adalah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat
pemerintahan misalnya antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah dalam Negara kesatuan;
2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya.
Maksudnya pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan
antara fungsi pemerintahan yang bersifat Legislatif, Eksekutif dan
Yudikatif.
Pembagian kekuasaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pembagian kekuasaan secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan yang
didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenis dan fungsinya yang
menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara (Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif). Hampir di seluruh negara yang ada di dunia
menerapkan konsep Trias Politica dari Montesquieu ini. Bagaimanakah
dengan negara Indonesia?. Untuk melihat apakah sistem pemerintahan
Indonesia menerapkan konsep Trias Politica atau tidak, maka dapat di
lihat dalam konstitusi negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam konstitusi tersebut
dapat diketahui apakah terjadi pembagian kekuasaan yang didasarkan atas
jenis dan fungsi-fungsi negara, yaitu baik Legislatif, Eksekutif, maupun
Yudikatif ke dalam lembaga negara atau lembaga pemerintah.
(Budiardjo,2005: 152).
B. Teori kedaulatan rakyat
Khusus mengenai teori kedaulatan rakyat, teori ini memandang dan
memaknai bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam
melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpegang pada kehendak
rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi. Jadi keberadaan konsep
kedaulatan rakyat sebagai suatu kajian filsafat kemudian berkembang
menjadi teori kedaulatan rakyat dalam kajian keilmuan. Demokrasi
merupakan praksis dari teori kedaulatan rakyat dalam suatu sistem politik
atau maupun pula bila menyamakan kedaulatan rakyat degan demokrasi.
Sebagai negara yang berkedaulatan rakyat sebagaimana ketentuan Pasal
1 ayat (2) UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa: “Kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang -Undang Dasar”.
Maka Indonesia menyelenggarakan demokrasi secara langsung maupun
dengan tidak langsung (Asshiddiqie, 2007: 144).
Kedaulatan rakyat yang menganggap bahwa kehendak rakyat adalah
satu-satunya sumber kekuasaan bagi pemerintah. Maka dari itu legitimasi
kekuasaan pemerintah adalah berasal dari rakyat. Sehingga segala aspek
penyelenggaraan pemerintahan seyogyanya melibatkan rakyat atau
setidak-tidaknya tidak menciderai kepentingan dan nurani rakyat.
Apabila ditilik lebih dalam lagi, sesungguhnya konsep kedaulatan rakyat
berhubungan erat dengan doktrin kontrak sosial Thomas Hobbess, Jeans
Jacoub Resseau, dan John Locke. Secara gradual doktrin kontrak sosial
menganggap bahwa antara rakyat dan penguasa telah terjadi kontrak baik
secara terang-terangan atau secara diamdiam. Kontrak tersebut berupa
pengakuan mengenai siapa yang diberi hak untuk memerintah siapa dan
siapa yang mempunyai kewajiban diperintah oleh siapa.18 Lebih lanjut,
konsekuensi dari doktrin kedaulatan ini ialah bahwa rakyat mempunyai
peran sentral dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
(Busroh,2011: 72-74).
Kedaulatan rakyat berarti bahwa kekuasaan untuk mengatur
pemerintahan dan negara ada pada rakyat, rakyat yang berdaulat,
berkuasa untuk menentukan cara bagaimana ia harus diperintah. Tetapi
putusan rakyat yang menjadi peraturan pemerintah bagi orang semuanya
ialah keputusan yang ditetapkan dengan cara mufakat dalam suatu
perundingan yang teratur bentuk dan jalannya. (Suleman, 2010: 12-13).
Secara umum sebenarnya prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi
hendak mengatakan bahwa rakyat sendiri yang berwenang bagaimana ia
mau dipimpin dan oleh siapa. Karena semua anggota masyarakat sama
kedudukannya sebagai manusia dan warga Negara, dan berdasarkan
keyakinan bahwa tidak ada orang atau kelompok orang yang begitu saja
berhak untuk memerintah orang lain, wewenang untuk memerintah
masyarakat harus berdasarkan penugasan dan persetujuan para warga
masyarakat sendiri. Prinsip ini berdasarkan hak setiap orang untuk
menentukan dirinya sendiri dan untuk turut serta dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut seluruh masyarakat.
Berdasarkan pribsip kedaulatan rakyat, pemerintahan oleh satu orang
(dictator, monarki absolut) dan oleh beberapa orang (sebuah elit
ideologis atau teknokratis dan lain sebagainya) tidak memiliki legitimasi
etis. (Fuady,2013: 92).
Kedaulatan rakyat yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 mempunyai maksud, yaitu menempatkan rakyat mempunyai
kekuasaan tertinggi dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. Rakyat
berdaulat dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan yang
berarti semua kekuasaan bermuara pada rakyat. 1 Salah satu perwujudan
dari pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan yaitu diberikan pengakuan kepada rakyat untuk berperan
serta secara aktif dalam menentukan wujud penyelenggaraan
pemerintahan tersebut. Sarana yang diberikan untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat tersebut yaitu diantaranya dilakukan melalui kegiatan
pemilihan umum. (Sodikin,2014: 11).
Menurut pendapat Abraham Lincoln, Guru Besar Hukum Tata
Negara Moh. Mahfud mengatakan bahwa kedaulatan rakyat mengandung
pengertian adanya pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, hal tersebut
menunjukkan bahwa pemerintahan dari rakyat mengandung pengertian
yang berhubungan dengan pemerintahan yang sah dan diakui (legitimate
government) di mata rakyat. Pemerintahan dari rakyat memberikan
gambaran bahwa pemerintah yang sedang memegang kekuasaan dituntut
kesadarannya bahwa pemerintahan tersebut diperoleh melalui pemilihan
dari rakyat bukan dari pemberian wangsit atau kekuasaan supranatural.
Pemilu yang adil dan bebas adalah pemilu yang kompetitif dan sebagai
piranti utama membuat pejabat-pejabat pemerintah bertanggung jawab
dan tunduk pada pengawasan rakyat. Pemilu juga merupakan arena
penting untuk menjamin kesetaraan politis antara warga Negara, baik
dalam akses terhadap jabatan pemerintahan maupun dalam nilai suara
serta kebebasan dalam hak politik (Prasetyoningsih, 2014: 242).

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan skipsi ini menggunakan
metode yuridis-normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hokum
positif terhadap kasus-kasus konkrit.
2. Objek Peneltian
Nilai Demokratis Hak Recall Oleh Partai Politik Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi Terhadap Undang-Undang
No. 17 Tahun 2014)
3. Sumber data dan bahan hukum
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini untuk dijadikan fakta
hukum adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh
melalui kepustakaan dalam bentuk bahan hukum, yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Bahan hukum dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-
undangan yaitu:
1.) Undang-Undang dasar 1945
2.) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwaklan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
dalam penelitian ini terdiri dari:
1.) Buku
2.) Jurnal
3.) Artikel
4. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah
studi kepustakaan (library research) yaitu melakukan inventarisasi dan
mempelajari data pustaka berupa peraturan perundang-undangan, buku-
buku literatur, dokumen resmi serta website resmi.
5. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dalam penulisan skripsi ini, bahan-bahan yang terkumpul
akan dianalisis secara kualitatif. Pengolahan data pada hakikatnya
merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-
bahan hukum. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi analisis dan
konstruksi. Data yang berkaitan dengan pokok permasalahan, ruang
lingkup, dan identifikasi masalah sebagaimana yang telah disebutkan di
atas yang telah diperoleh akan disajikan dengan pendekatan dekriptif-
analisis, sehingga kajian yang dilakukan dapat menjadi acuan
komperhensif bagi penulisan skripsi.
Teknik analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
content analisys (analisis isi). Analisis konten ini didasarkan teori-teori
yang ada. Content (isi) yang dimaksud adalah isi dari sumber data baik
primer maupun sekunder yang terdiri dari bahan hukum sekunder dan
tersier.
Melalui analisis semacam ini diharapkan dapat memilah ilmu dan
memilih data dari berbagai bahan pustaka yang ada dan searah dengan
objek kajian yang dimaksud dan dapat menghasilkan deskripsi yang lebih
objektif dan sistematis dalam penulisan skripsi tentang Nilai Demokratis
Hak Recall Oleh Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia (Studi Terhadap Undang-Undang No. 17 Tahun 2014)
6. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan sistematika, guna mempermudah alur
penelitian. Terdiri dari bab I, bab II, bab III, dan bab IV. Dengan uraian
sebagai berikut:
a) Bab, menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan-manfaat penelitian, metode penelitian, dam pengolahan data.
b) Bab II, menguraikan kajian teori yang akan digunakan sebagai
dasar analisa hukum untuk skripsi ini. Terdiri dari teori kedaulatan
rakyat dan konsep pemisahan kekuasaan. Kemudian kajian pustaka,
menguraikan orisinalitas penelitian tentang perbedaan dan
persamaan penelitian terdahulu denga penelitian skripsi ini.
c) Bab III, menguraikan jawaban dari rumusan masalah pertama dan
kedua. Dengan menjelaskan problematika konsep recall Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia. Kemudian menguraikan
Hak Recall Oleh Parai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia (Studi Terhadap Undang-Undang No. 17
Tahun 2014).
d) Bab IV, menguraikan kesimpulan daripada penelitian skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali Safa’at Muchamad, 2011. Pembubaran Partai Politik Pengaturan dan praktik
Pembubaran Partai Politik dalam pergulatan Republik. Rajawali pers. Hal
4-5.
Busroh Daud Abu. 2011. Ilmu Negara. Bumi Aksara. Jakarta. Hal. 72-74
C.S.T. Kansil,1985, Sistem Pemerintahan Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, hlm.
10 & hlm. 19.
Dr. Sodikin, 2014. Hukum Pemilu (Pemilu sebagai praktek ketatanegaraan),
Bekasi, Gramata Publishing, 2014 hlm 11.
Efriza,2012. Political Explore, Bandung, Alfabeta, hlm.213.
Asshiddiqie Jimly, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, Jakarta, BIP, hal 144.
Fajar Laksono Dan Subarjo, 2006, Kontroversi Undang-Undang Tanpa
Pengesahan Presiden, Balai Pustaka. Jakarta.
Wahid Chodijah Lily, 2011. Recall sebagai Penghianatan Kedaulatan Rakyat,
Jogjakarta: Makalah pada diskusi yang di laksanakan oleh LKBH FH UII
Prasetyoningsih Nanik,2014. Dampak Pemilihan Umum bagi Demokrasi
Indonesia, Yogyakarta: Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, hlm
Huda Ni‟matul,2011. Praktek Recall dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia,
Jogjakarta, Makalah pada diskusi yang di laksanakan oleh LKBH FH UII..
Budiardjo Miriam o,2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Budiardjo Miriam, 1998. Dasar-dasar llmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, Cetakan Kesembilan Belas.
Munir Fuady, 2013. Teori-Teori Besar (grand theory) dalam Hukum, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group)
Norm kelly dan sefakor ashagbor. 2011 Partai Politik dan demokrasi dalam
perspektif teoritis dan praktis.
Yustina Sari, 2011. Analisis pemberhentian dan pergantian antarwaktu anggota
dewan perwakilan rakyat RI melalui usulan partai politik. Jakarta
Zulfikri Suleman, 2010. Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung
Hatta, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas).

Jurnal
DR. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H. “RECALL”: Antara Hak Partaipolitik Dan
Hak Berpolitik Anggota Parpol, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4,
(Desember 2006).
Hendrarto, Peran dan fungsi partai politik dalam menceta kader pemimpin, Vol
26, No. 2, 15 September 2006 (tahun ke 13).
Ni’matul huda, Recall Anggota DPR dan DPRD dalam Dinamika
Ketatanegaraan Indonesia, Mimbar Hukum Vol 23 Tahun 2011.
M. shubhan, Antara Hak Partai Politik dan Hak Berpolitik Anggota Parpol. Jurnal
konstitusi Vol 3 No. 4 tahun 2006 hal 46.
Maulana Akmal Zikri&M Zahri, Tinjauan yuridis tentang hak recall oleh partai
politik berdasarkan konsep kedaulatan rakyat dalam lembaga perwakilan
di Indonesia, Vol. 2 tahun 2018.
Malicia Evendita, Implikasi Hak Recall Partai Politik terhadap system kedaulatan
rakyat, Fiat Justitia jurnal hukum Vol 06 N0. 03 2012.
M.shubhan, antara hak partai politik dan hak berpolitik anggota parpol. Jurnal
konstitusi Vol 3 No. 4 tahun 2006.
Rumokoy N.K Kajian Yuridis tentang Hak recall partai politik dalam system
ketatanegaraan Indonesia Vol.XX No. 01 tahun 2012.
Yustina Sari, Analisis pemberhentian dan pergantian antarwaktu anggota dewan
perwakilan rakyat RI melalui usulan partai politik, 2011.

Anda mungkin juga menyukai