Anda di halaman 1dari 24

HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP ANGGOTA DEWAN

PERWAKILAN RAKYAT: TINJAUAN CONSTITUENT RECALL DAN


PUBLIC RECALL

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah:


SOSIOLOGI POLITIK
Dosen Pengampu:

Oleh:
FAZRURRAHMAN # NURUL FATMAH AZZAHRA # AHMAD SAIFULLAH #
ABDUL RAZAK # INDARMAWAN SYAPAR # PUTRI MILNA # ASRI
ALWAKIAH # M. ILHAM AINUN YAQIN # NURUL FADILAH # ANISA PUTRI
# NIRWANA # WARDAH ANWAR # AHMAD FARIZAL # KHAERIL ASWAD #
SYAIFUL
HTN D
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ALAUDDIN MAKASSAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara dengan proses politik yang demokratis, Indonesia
menempatkan rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan. Hal ini terlihat jelas
dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) yang menyatakan bahwa “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Implementasi kedaulatan dilaksanakan melalui sistem perwakilan rakyat.1
Di Indonesia, implementasi perwakilan tersebut melalui lembaga
legislasi yaitu Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai bentuk dari sistem
demokrasi, pengisian anggota Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan melalui
pemilihan umum (pemilu). Dengan kata lain pemilu ini menjadi penentu dari
implementasi kedaulatan rakyat.
Terkait teori negara hukum, Dewan Perwakilan Rakyat adalah
lembaga yang sah mewakili rakyat di bidang hukum dengan menampung
aspirasi rakyat dan mengaplikasikannya dalam penerapan hukum yang
nantinya akan mengikat rakyat. Pada makalah ini akan dibahas mengenai
hak Recall dan urgensi pengaturan Constituent Recall dan Public Recall.
Untuk dapat melihat bagaimana praktek Recall di Indonesia serta melihat hal-
hal yang menjadi urgensitas penerapan hak Recall di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah praktik hak recall partai politik terhadap anggota dewan
perwakilan rakyat di Indonesia?
b. Bagaimanakah urgensi pengaturan Constituent Recall dan Public

1
Malicia Evendia, Implikasi Hak Recall Partai Politik Terhadap Sistem Kedaulatan Rakyat,
fiat justitia jurnal ilmu hukum vol. 6 No. 3, Lampung, 2012, h. 1
Recall Partai Politik di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Praktik Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan


Perwakilan Rakyat di Indonesia
Dalam perjalanannya, Dewan Perwakilan Rakyat kerap kali menuai
kritik dari rakyat, terkait aspirasi rakyat yang kurang ditanggapi dan berbagai
macam kontrofersi lainnya yang menjadikan Dewan Perwakilan Rakyat
dianggap tidak dapat melaksanakan tugas perwakilan dengan baik oleh
rakyat. Sebagai mana dalam ketentuan Pasal 213 ayat (1) dan (2) serta
Pasal 383 ayat (1) dan (2) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyatakan
bahwa anggota DPR dan DPRD selain dipilih juga dapat diberhentikan dari
jabatannya (pemberhentian antar waktu).
Pemberhentian antar waktu atau biasa disebut dengan Recall memiliki
pengertian sebagaimana dalam Black’s Law Dictionary mendefiniskan Recall
yaitu Removal of a public official from office by popular vote.2 Pemberhentian
anggota DPR dalam perjalanan sejarah di Indonesia telah mengalami
dinamika. Pada zaman orde baru, praktek Recall sangat jarang dilakukan, hal
ini dipengaruhi penerapan kenegaraan yang sangat homogen satu komando
dibawah presiden, yakni Soeharto. Praktek Recall pada saat itu hanya
digunakan sebagai alat untuk memeberhentikan anggota DPR apabila
terdapat anggota yang tidak sejalan dengan presiden Soeharto.
Di beberapa negara tidak menggunakan istilah recall, begitu juga di
Indonesia. Di Indonesia istilah Recall dikenal dengan istilah pengganti antar
waktu (PAW), adapun Amerika menggunakan istilah remove from office
sesuai yang diatur dalam Article II Section 4 The Constitution of The United
States of America yang menyatakan, “The President, Vice President and all
2
Bryan A.Garner, Black’s Law Dictionary: Seventh Edition, West Group ST. Paul Minn,
United Staties of America, 2000, h. 1019.
civil Officers of the United States, shall be removed from Office on
Impeachment for, and Conviction of, Treason, Bribery, or other high Crimes
and Misdemeanors.
Kembali pada histori mekanisme Recall di Indonesia bahwa dengan
adanya sistem Recall pada masa orde baru ini mejadikan anggota Dewa
Perwakilan Rakyat bungkam dan tidak banyak melaksanakan aspirasi
masyarakat. Namun kondisi berubah setelah presiden Soeharto
mengundurkan diri pada tahun 1998.3 Pada era reformasi, recall berhasil
ditiadakan, recall kecuali dengan alasan yang tak bisa dihindari yakni
meninggal, mengundurkan diri, atau dijatuhi hukuman pidana dengan
kualifikasi tertentu.4
Hingga saat ini, pengaturan Recall terdapat dalam pasal 213 ayat (1)
dan (2) UU MD3. Serta dipertegas pada pasal 16 ayat (1) UU Partai Politik.
Peraturan tersebut memberikan kewenangan bagi patai politik untuk
melakukan Recall kepada anggota partainya yang menjabat sebagai anggota
DPR. Dengan demikian partai politik dapat me-recall anggotanya dengan
alasan apabila anggota partainya melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan keinginan partai.
Melihat hal tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa praktek
Recall di Indonesia mempunyai sejarah yang dinamis. Pada mulanya, Recall
digunakan sebagai alat untuk menertibkan anggota DPR yang tidak seirama
dengan presiden. Hingga pada masa reformasi praktek Recall kini dimiliki
dan dikuasai penuh oleh Partai Politik.
Lantas bagaimana dengan “Kedaulatan Berada di tangan rakyat...”?,
yang berarti seharusnya hak Recall tersebut berada pada wilayah kekuasaan

3
Yulius P. Hermawan, Demokrasi di Indonesia: Teori dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta,
2010, h. 99
4
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (pasca amandemen konstitusi), PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, h. 1 65
rakyat. Hal ini karena DPR adalah perwakilan dari rakyat dan yang akan
merasakan langsung kinerja dari DPR adalah rakyat. Maka apakah tidak adil
memberikan hak penuh kepada partai politik untuk me-Recall anggotanya?
Sebagaimana dalam analisa sejarah di atas, Recall dijadikan pranata
untuk membungkam anggota dewan yang kritis dan tidak sesuai dengan
kebijakan partai politik. Sehingga pada masa awal reformasi, ketika
semangat perubahan untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat,
recall ditiadakan. Dengan begitu, recall partai politik saat ini tidak selaras
dengan semangat demokrasi, karena menempatkan kewenangan partai
politik lebih besar daripada rakyat melalui hak recall partai politik.5
Hak Recall itu sendiri, sebenarnya adalah untuk memperjelas bentuk
kedaulatan di Indonesia. Sebagaimana dalam UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “Kedaulatan berada di tangan Rakyat...”. Dengan demikian praktek
Recall di Indonesia masih belum menggambarkan bentuk kedaulatan yang
ditentukan dalam UUD 1945. Dimana hak Recall sepenuhnya dilakukan oleh
partai politik terhadap anggotanya yang menjabat sebagai anggota DPR.
Praktek Recall dengan memberikan kewenangan penuh kepada partai
politik akan memeberikan dampak negatif bagi kehidupan politik di Indonesia.
Hal-hal yang menjadi permasalahannya adalah:6
a. mengekang dan mengikat nalar dari anggota DPR yang kritis dan ingin
menyuarakan suara konstituennya.
b. membentuk mentalitas anggota DPR untuk takut kepada oraganisasi
induknya (Partai Politik), yang dapat menyebabkan anggota DPR lebih
mengutamakan dan mementingkan kepentingan parpolnya, bukan lagi
menyuarakan aspirasi konstituennya.

5
Malicia Evendia, Implikasi Hak Recall Partai Politik Terhadap Sistem Kedaulatan Rakyat,
fiat justitia jurnal ilmu hukum vol.6 No.3, Lampung, 2012, h. 6
6
Nike K. Rumokoy, Kajian Yuridis Tentang Hak Recall Partai Politik
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Vol.XX/No.1, 2012, h. 5
Dengan demikian dapat dilihat bahwa sebenarnya praktek Recall yang
seperti ini dapat menggeser kedaulatan yang ada ditangan rakyat
sebagaimana dalam UUD 1945. Jadi mekanisme yang seperti ini dapat
mecederai hak-hak konstituen yang telah memilih anggota perwakilannya
untuk menyuarakan aspirasinya.

B. Urgensi Pengaturan Constituent Recall dan Public Recall Partai


Politik di Indonesia
Secara konstitusional hak Pergantian Antar Waktu (PAW) diatur dalam
Pasal 22B UUD 1945 yang menyatakan bahwa anggota DPR dapat
diberhentikan dari jabatannya, dengan syarat-syarat dan tata cara yang diatur
dalam Undang-Undang. Landasan konstitusional ini termaktub dalam
amandemen kedua UUD 1945. Dari landasan ini dapat dirangkum bahwa
Penggantian Antar Waktu (PAW) dapat diterapkan kepada anggota Dewan.

1. Pemberhentian Antar Waktu


Mulai tahun 2009 Pengaturan Penggantian Antar Waktu (PAW) kembali
muncul dalam Pasal 213 ayat (1) yang menentukan bahwa anggota DPR
berhenti antar waktu karena: 7
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
Kemudian pada ayat (2) ditegaskan Anggota DPR diberhentikan Antar
Waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan
berturutturut tanpa keterangan apa pun;
b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
7
Lihat Pasal 213 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
c. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. Tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan
DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
f. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
g. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini;
h. Diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan; atau
i. Menjadi anggota partai politik lain.
Di dalam Pasal 214 ditentukan bahwa pemberhentian anggota DPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) huruf a dan b serta pada
ayat (2) huruf c, e, h dan i yakni:
a. diusulkan oleh pimpinan parpol kepada pimpinan DPR dengan
tembusan kepada Presiden. Paling lama 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
b. Pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR
kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
c. Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul
pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.
2. Penggantian Antar waktu
Bahwa Anggota DPR yang Berhenti Antar Waktu akan digantikan oleh
calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya,
yang berada dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik
yang sama. Masa jabatan yang diperoleh oleh anggota DPR pengganti
antar waktu ini yakni melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang
digantikannya. 8
Tata cara penggantian antar waktu yakni:
a. Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan
antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada
KPU.
b. KPU menyampaikan nama calon Pengganti Antar Waktu kepada
pimpinan DPR paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat
pimpinan DPR.
c. Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon Pengganti
Antar Waktu dari KPU. Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota
DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu
kepada Presiden.
d. Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama anggota
DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari
pimpinan DPR. Presiden meresmikan pemberhentian dan
pengangkatannya dengan keputusan Presiden.
e. Sebelum memangku jabatannya, anggota DPR pengganti antarwaktu
mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPR, dengan
tata cara dan teks sumpah/janji.

8
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Tata Tertib
f. Penggantian antarwaktu anggota DPR tidak dilaksanakan apabila sisa
masa jabatan anggota DPR yang digantikan kurang dari 6 (enam)
bulan.

3. Pemberhentian Sementara
Seorang anggota DPR diberhentikan sementara apabila:
a. Menjadi terdakwa dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,
b. menjadi terdakwa dalam tindak pidana khusus. Jika dalam Putusan
Pengadilan anggota DPR tersebut dinyatakan terbukti bersalah maka
yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR. Apabila
anggota DPR tersebut terbukti tidak melakukan tindak pidana atau
tidak terbukti bersalah, sesuai dengan putusan pengadilan yang
bersangkutan akan diaktifkan kembali masa jabatannya.9
Tata Cara Pemberhentian Sementara:
 Pimpinan DPR mengirimkan surat untuk meminta status seorang
Anggota yang menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana dari
pejabat yang berwenang.
 Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling
lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak diterimanya surat dari pimpinan
DPR wajib menyampaikan surat kepada pimpinan DPR mengenai
status Anggota.
 pimpinan DPR setelah menerima surat keterangan mengenai status
diteruskan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan.
 Mahkamah Kehormatan Dewan melakukan verifikasi mengenai status
Anggota dan diambil keputusan.
 keputusan dilaporkan kepada rapat paripurna DPR untuk mendapat
penetapan pemberhentian sementara.
9
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996,
hlm. 151.
 keputusan rapat paripurna DPR disampaikan dengan surat pimpinan
DPR kepada partai politik Anggota yang bersangkutan.
Pimpinan DPR, dilihat dari sudut hukum adalah pelaksana tugas-
tugas. Pimpinan DPR bukan juga atasan atau pimpinan dari anggota DPR.
Peresmian pergantian anggota DPR oleh Presiden juga harus dilihat sebagai
bersifat protokoler dalam kedudukan Presiden sebagai kepala negara.
Presiden sebagai kepala eksekutif tidak dapat ikut campur tangan masalah
intern DPR. Dengan demikian, menurut hukum, meskipun pelaksanaan
Penggantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR dan peresmiannya dilakukan
oleh Presiden, kedua tata cara prosedural tersebut adalah formalitas
belaka.14 Di dalam Pasal 215 ditegaskan:10

a. Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal


213 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan
setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan
dalam keputusan Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari
pimpinan DPR, masyarakat, dan/atau pemilih.
b. Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian
anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh
Badan Kehormatan kepada rapat paripurna. Paling lama 7 (tujuh) hari
sejak keputusan Badan Kehormatan DPR yang telah dilaporkan dalam
rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPR
menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPR kepada pimpinan
partai politik yang bersangkutan.
c. Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputuan
tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPR, paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan

10
Lihat Pasal 215 UU No. 27 Tahun 2007 tentang MPR, DPR, DPD dan DPR
Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan
DPR.
d. Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPR meneruskan keputusan Badan
Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada
Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
e. Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
keputusan Badan Kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai
politik tentang pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR.11
Kewenangan Penggantian Antar Waktu (PAW) juga disinggung dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Bahkan siapa
yang berwenang ditegaskan dalam pasal ini, yaitu partai politik. Pasal 8
menyebutkan bahwa partai politik berhak mengusulkan penggantian antar
waktu anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dinamika politik yang terus berkembang dalam
lembaga-lembaga politik di Indonesia merupakan proses alamiah (natural
process) yang senantiasa muncul di era reformasi. Begitu pula halnya
dengan Penggantian Antar Waktu (PAW), khususnya di lembaga legislatif
adalah sesuatu yang wajar terjadi pada negara demokrasi.12
Namun demikian, persoalan Penggantian Antar Waktu (PAW) seorang
anggota DPR menjadi urusan partai politik masing-masing. Proses tetap
dimulai dari partai politik yang bersangkutan sebagai calon legislatif, hal ini
tak bisa dipungkiri kalaupun Penggantian Antar Waktu (PAW) tersebut ada
desakan dari masyarakat dan tidak serta merta langsung dapat digantikan
11
FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, FORMAPPI, Jakarta, 2005, hlm.90.
12
Firman Subagyo, Menata Partai Politik dalam Arus Demokratisasi Indonesia, Wahana
Semesta Intermedia, Jakarta, hlm.6.
tanpa melalui proses dan aturan yang telah ditetapkan. Selain itu, mekanisme
PAW juga diatur dalam Keputusan Mendagri yang tertuang dalam SK
No.161.74-55/2008 tanggal 8 Februari Tahun 2008 tentang Peresmian
Pemberhentian dan Pengangkatan Penggantian Antar Waktu (PAW).
Partai politik yang menjadi pilar demokrasi tidak sekedar harus ada,
melainkan juga kuat dan berakar pada legitimasi sosial. Partai politik harus
benar-benar menjadi wadah penampung aspirasi masyarakat. Sistem
demokrasi modern memang bertumpu pada sistem perwakilan yang
terpresentasikan dalam partai politik.13
Fungsi yang lain dari partai politik adalah menciptakan mekanisme
artikulasi kepentingan masyarakat, agar kepentingan-kepentingan tersebut
dapat diakomodir secara luas oleh pemerintah yang pada gilirannya akan
menjadi pola yang sinergis antara pemerintah dengan masyarakat. Dengan
demikian diharapkan partai politik mempunyai rasa tanggung jawab yang
tinggi kepada para pemilihnya, oleh karenanya harus menyesuaikan dengan
keinginan serta kebutuhan masyarakat. Bahkan harus rela berkorban demi
kepentingan pendukungnya.18 Walaupun demikian, dalam perjalanannya
seorang anggota dewan dapat diberhentikan oleh partai yang menjadi
induknya dengan alasan tertentu sesuai Undang-Undang meskipun
keberadaan anggota dewan tersebut merupakan representasi dari rakyat. Hal
ini sesuai dengan Pasal 213 ayat (2) huruf e UU Susduk menyatakan bahwa,
“Anggota DPR berhenti Antar Waktu karena: e. diusulkan oleh partai
politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Sedangkan Pasal
12 huruf b UU Parpol menyatakan bahwa, “Anggota partai politik yang
menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat dapat diberhentikan
keanggotaannya dari lembaga perwakilan rakyat apabila: b. diberhentikan
dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan karena melanggar
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.”
13
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2000, hlm. 21
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, mekanisme Penggantian
Antar Waktu (PAW) menjadi hak prerogatif partai politik. Sehingga
memungkinkan seorang anggota parlemen yang merupakan wakil
(representation) rakyat yang dipilih melalui mekanisme demokratis yaitu
pemilihan umum yang berdasarkan kekuasaan atau kedaulatan rakyat dapat
diberhentikan oleh partai politiknya.
Keberadaan seorang anggota partai politik di parlemen merupakan
pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai wujud pelaksanaan demokrasi tidak
langsung atau demokrasi perwakilan karena keberadaan parlemen sebagai
perlembagaan kedaulatan rakyat. Eksistensi seorang anggota parlemen
khususnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berada dalam lembaga
perwakilan rakyat.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwasanya peraturan
mengenai Penggantian Antar Waktu (PAW) diatur dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Ada beberapa
tahapan Penggantian Antar Waktu (PAW), yaitu;
1. Tahapan Pengajuan
Pemberhentian anggota DPR dengan alasan meninggal dunia,
mengundurkan diri, dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
 Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
 diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan,
 menjadi anggota partai politik lain diusulkan oleh pimpinan partai
politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.
Tujuh hari sejak diterimanya usulan pemberhentian, pimpinan DPR
akan menyampaikan usulan tersebut kepada Presiden untuk
memperoleh peresmian pemberhentian. Jika disetujui, Presiden
akan meresmikannya paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.
2. Tahapan Penyelidikan dan Verifikasi
Pemberhentian Anggota DPR dengan alasan tidak dapat
melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturutturut tanpa
keterangan apa pun, melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR,
tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR
yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali
berturutturut tanpa alasan yang sah, tidak lagi memenuhi syarat sebagai
calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD,
dan DPRD, melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam
UndangUndang, Dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan
verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPR
atas pengaduan dari pimpinan DPR, masyarakat, dan/atau pemilih.
Selanjutnya, Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai
pemberhentian anggota DPR dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada
rapat paripurna.
Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan
DPR yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna, pimpinan DPR
menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPR kepada pimpinan
partai politik yang bersangkutan. Pimpinan partai politik yang
bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian
anggotanya kepada pimpinan DPR, paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPR. Pimpinan partai politik tidak
memberikan keputusan pemberhentian, pimpinan DPR meneruskan
keputusan Badan Kehormatan DPR kepada Presiden untuk memperoleh
peresmian pemberhentian. Kemudian Presiden meresmikan
pemberhentian paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
keputusan Badan Kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai
politik tentang pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR.

3. Pelaksanaan Penyelidikan dan Verifikasi


Pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi, Badan Kehormatan DPR
dapat meminta bantuan dari ahli independen. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan
oleh Badan Kehormatan DPR diatur dengan peraturan DPR tentang tata
beracara Badan Kehormatan.
4. Reposisi Anggota DPR Pasca Penggantian Antar Waktu (PAW)
Adapun ketentuan Penggantian Antar Waktu (PAW) yaitu anggota
DPR yang berhenti Antar Waktu digantikan oleh calon anggota DPR yang
memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat
perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang
sama. Calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan
berikutnya (meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR), anggota DPR digantikan
oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan
berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang
sama. Sedang ketentuan masa jabatan anggota DPR pengganti Antar
Waktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya.
5. Penyampaian Penggantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR.
Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang
diberhentikan Antar Waktu dan meminta nama calon pengganti Antar
Waktu kepada KPU, kemudian KPU menyampaikan nama calon
pengganti Antar Waktu kepada pimpinan DPR paling lambat 5 (lima) hari
sejak diterimanya surat pimpinan DPR. Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
menerima nama calon pengganti Antar Waktu dari KPU, Pimpinan DPR
menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon
pengganti Antar Waktu kepada Presiden dan Paling lambat 14 (empat
belas) hari sejak menerima nama anggota DPR yang diberhentikan dan
nama calon pengganti Antar Waktu dari pimpinan DPR, Presiden
meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan
Presiden. Sebelum memangku jabatannya, anggota DPR pengganti Antar
Waktu mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPR,
dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal
75 dan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD. Penggantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR
tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPR yang
digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.

Constituent Recall dan Public Recall


Melihat mekanisme Recall yang telah dirinci di atas, kita dapat melihat
bahwa praktek tersebut akan sangat mencederai hak konstitusi rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sehingga akan sangat berimplikasi
pada pengabaian kedaulatan rakyat serta benturan antar kepentingan rakyat
dengan partai politik. Di mana kita dapat melihat bahwa partai politik
merupakan kesatuan yang berorientasi pada kekuasaan, sehingga rakyat
tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan interfensi terhadap
perwakilannya di DPR.
Hal ini sangat jelas menggambarkan kedaulatan Indonesia
sebenarnya mengarah kemana dan lebih berat dimana. Dengan demikian
rakyat hanya dibatasi kedaulatannya pada saat pemilu saja, sehingga setelah
anggota partai politik terpilih dan menduduki kekuasaan tidak lagi dapat
mendengarkan aspirasi dari rakyatnya. Para anggota partai politik yang telah
duduk hanya akan terbungkam oleh kehendak partainya karena takut akan
tindakan hak Recall yang dimiliki partai politik sehingga menjadikan anggota
partai politik yang duduk sebagai anggota legislatif hanya tunduk pada partai
bukan mendengarkan kepentingan rakyat.
Mekanisme Recall diluar rakyat sebaiknya dihindari karena akan
menimbulkan oligarki kepartaian.14 Hal ini dikhawatirkan karena partai politik
akan cenderung melakukan penafsiran sendiri terhadap kepentingan rakyat
tanpa melibatkan rakyat. Sehingga partai hanya dipahami sebagai organisasi
yang berorientasi pada kekuasaan tanpa peduli dengan kepentingan rakyat. 15
Sehingga apa yang menjadi aspirasi rakyat menjadi tidak sesuai dengan
tindakan yang dilakukan oleh anggota partai politik yang duduk sebagai
anggota legislatif. Inilah hukum besi kekuasaan yang jika tidak dikendalikan
dan dibatasi menurut konstitusional, dapat menjadi malapetaka.16
Menurut Mada Sukmajati, pengamat politik dari UGM, dalam sistem
pemilihan Indonesia, anggota parleman dan eksekutif yang terpilih bukan
hanya berasal dari partai politik. Sebenarnya, konstituen menentukan siapa
yang akan menduduki jabatan eksekutif atau parlemen. Dengan demikian,
partai politik tidak dapat sembarangan menerapkan hak recall, seperti yang
dinyatakan dalam Konstitusi, "Dalilnya, meski seseorang itu adalah pejabat
parpol belum tentu bisa menjadi anggota dewan jika tidak mendapat suara
terbanyak. Karena itu, parpol pun tidak bisa sembarangan menerapkan hak
14
Malicia Evendia, Implikasi Hak Recall Partai Politik Terhadap Sistem Kedaulatan Rakyat,
fiat justitia jurnal ilmu hukum vol.6 No.3, Lampung, 2012, h.7
15
Sebastian Salang, Parlemen : Antara Kepentingan Politik vs Aspirasi Rakyat, jurnal
konstitusi, h. 115
16
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 37
17
Al Muttaqien. Implikasi Penggantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR/ DPRD Oleh Partai
Politik Terhadap Demokrasi. Jurnal Sosial Humaniora Sigli (JSH). 2020. Hlm 8
recall." Menurut Mada, konsep recall pada dasarnya dianggap sebagai
mekanisme kontrol terhadap anggota DPR/DPRD.17
Menurutnya, mekanisme recall dianggap terlalu sederhana karena
cukup dengan usulan petinggi parpol kepada pimpinan DPR/DPRD. Namun,
mekanisme kontrol tersebut tidak berfungsi dengan baik seperti yang
diharapkan. Yang terjadi adalah bahwa banyak kader yang memiliki masalah
tetap mendapatkan dukungan dari parpol, selama pengabdian kepada parpol
terus berlanjut.
Menurut Syamsuddin Haris, pengamat politik dari LIPI, mekanisme
penggantian atau recall dan Pergantian Antara Waktu (PAW) anggota DPR
harus disesuaikan. PAW seharusnya tidak hanya menjadi otoritas partai
politik, tetapi juga menjadi otoritas publik yang menjadi konstituen anggota
DPR. Jika PAW hanya berasal dari parpol, maka akan rentan
disalahgunakan, dan pemecatan dapat dilakukan atas dasar suka atau tidak
suka. Karena itu, publik harus terlibat dalam proses PAW tersebut, dan
konstituen memiliki hak untuk mengawasi wakil mereka. Jika wakil rakyat
tidak melakukan apa yang diinginkan rakyat, konstituen atau publik dapat
mengambil tindakan untuk mengulangi PAW yang bersangkutan. Ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti menggunakan referendum terbatas
atau petisi yang ditandatangani oleh sejumlah konstituen. Oleh karena itu,
baik publik maupun partai politik mendukung recall dan PAW.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Pemberhentian antar waktu atau biasa disebut dengan Recall memiliki
pengertian sebagaimana dalam Black’s Law Dictionary mendefiniskan Recall
yaitu Removal of a public official from office by popular vote.17 Pemberhentian
anggota DPR dalam perjalanan sejarah di Indonesia telah mengalami
dinamika. Pada zaman orde baru, praktek Recall sangat jarang dilakukan, hal
ini dipengaruhi penerapan kenegaraan yang sangat homogen satu komando
dibawah presiden, yakni Soeharto. Praktek Recall pada saat itu hanya
digunakan sebagai alat untuk memeberhentikan anggota DPR apabila
terdapat anggota yang tidak sejalan dengan presiden Soeharto.
17
Bryan A.Garner, Black’s Law Dictionary: Seventh Edition, West Group ST. Paul Minn,
United Staties of America, 2000.
Melihat hal tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa praktek
Recall di Indonesia mempunyai sejarah yang dinamis. Pada mulanya, Recall
digunakan sebagai alat untuk menertibkan anggota DPR yang tidak seirama
dengan presiden. Hingga pada masa reformasi praktek Recall kini dimiliki
dan dikuasai penuh oleh Partai Politik.
Keberadaan seorang anggota partai politik di parlemen merupakan
pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai wujud pelaksanaan demokrasi tidak
langsung atau demokrasi perwakilan karena keberadaan parlemen sebagai
perlembagaan kedaulatan rakyat. Eksistensi seorang anggota parlemen
khususnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berada dalam lembaga
perwakilan rakyat.
Hingga saat ini, pengaturan Recall terdapat dalam pasal 213 ayat (1)
dan (2) UU MD3. Serta dipertegas pada pasal 16 ayat (1) UU Partai Politik.
Peraturan tersebut memberikan kewenangan bagi patai politik untuk
melakukan Recall kepada anggota partainya yang menjabat sebagai anggota
DPR. Dengan demikian partai politik dapat me-recall anggotanya dengan
alasan apabila anggota partainya melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan keinginan partai.
Melihat mekanisme Recall yang telah dirinci di atas, kita dapat melihat
bahwa praktek tersebut akan sangat mencederai hak konstitusi rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sehingga akan sangat berimplikasi
pada pengabaian kedaulatan rakyat serta benturan antar kepentingan rakyat
dengan partai politik. Di mana kita dapat melihat bahwa partai politik
merupakan kesatuan yang berorientasi pada kekuasaan, sehingga rakyat
tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan interfensi terhadap
perwakilannya di DPR.
Hak Recall itu sendiri, sebenarnya adalah untuk memperjelas bentuk
kedaulatan di Indonesia. Sebagaimana dalam UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “Kedaulatan berada di tangan Rakyat...”. Dengan demikian praktek
Recall di Indonesia masih belum menggambarkan bentuk kedaulatan yang
ditentukan dalam UUD 1945. Dimana hak Recall sepenuhnya dilakukan oleh
partai politik terhadap anggotanya yang menjabat sebagai anggota DPR.
Hal ini sangat jelas menggambarkan kedaulatan Indonesia
sebenarnya mengarah kemana dan lebih berat dimana. Dengan demikian
rakyat hanya dibatasi kedaulatannya pada saat pemilu saja, sehingga setelah
anggota partai politik terpilih dan menduduki kekuasaan tidak lagi dapat
mendengarkan aspirasi dari rakyatnya. Para anggota partai politik yang telah
duduk hanya akan terbungkam oleh kehendak partainya karena takut akan
tindakan hak Recall yang dimiliki partai politik sehingga menjadikan anggota
partai politik yang duduk sebagai anggota legislatif hanya tunduk pada partai
bukan mendengarkan kepentingan rakyat.
Mekanisme Recall diluar rakyat sebaiknya dihindari karena akan
menimbulkan oligarki kepartaian.18 Hal ini dikhawatirkan karena partai politik
akan cenderung melakukan penafsiran sendiri terhadap kepentingan rakyat
tanpa melibatkan rakyat. Sehingga partai hanya dipahami sebagai organisasi
yang berorientasi pada kekuasaan tanpa peduli dengan kepentingan rakyat. 19
Sehingga apa yang menjadi aspirasi rakyat menjadi tidak sesuai dengan
tindakan yang dilakukan oleh anggota partai politik yang duduk sebagai
anggota legislatif. Inilah hukum besi kekuasaan yang jika tidak dikendalikan
dan dibatasi menurut konstitusional, dapat menjadi malapetaka.20
Hal yang menjadi perhatian saat ini adalah “dimana kedaulatan rakyat
sepenuhnya?” apabila hak Recall ini diberikan penuh kepada partai politik

18
Malicia Evendia, Implikasi Hak Recall Partai Politik Terhadap Sistem Kedaulatan Rakyat,
fiat justitia jurnal ilmu hukum vol.6 No.3, Lampung, 2012, h.7
19
Sebastian Salang, Parlemen : Antara Kepentingan Politik vs Aspirasi Rakyat, jurnal
konstitusi, h. 115
20
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 37
terhadap anggotanya yang secara otomatis akan terjadi benturan antara
kepentingan rakyat dengan kepentingan partai politik. Walaupun partai politik
sebagai penampung aspirasi rakyat akan tetapi sebagai mana yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa partai politik bisa saja menafsirkan
kepentingan rakyat sesuai dengan keingan mereka saja tanpa
memeperhatikan nilai-nilai yang sebenarnya ingin dicapai oleh rakyat.
Dalam makalah ini penulis mengharapkan kepada pemerintah untuk
menerangkan dan memperjelas posisi kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat
yang telahdiberikan oleh konstitusi secara langsung.

DAFTAR PUSTAKA

Al Muttaqien. Implikasi Penggantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR/


DPRD Oleh Partai Politik Terhadap Demokrasi. Jurnal Sosial
Humaniora Sigli (JSH). 2020.
Bryan A.Garner, Black’s Law Dictionary: Seventh Edition, West Group
ST. Paul Minn, United Staties of America, 2000.
FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, FORMAPPI,
Jakarta, 2005, hlm.90.
Firman Subagyo, Menata Partai Politik dalam Arus Demokratisasi
Indonesia, Wahana Semesta Intermedia, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.
Malicia Evendia, Implikasi Hak Recall Partai Politik Terhadap Sistem
Kedaulatan Rakyat, fiat justitia jurnal ilmu hukum vol. 6 No. 3,
Lampung, 2012.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka, Jakarta,
2000.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (pasca
amandemen konstitusi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2010.
Nike K. Rumokoy, Kajian Yuridis Tentang Hak Recall Partai Politik
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Vol.XX/No.1, 2012.
Pasal 213 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Tata Tertib
Yulius P. Hermawan, Demokrasi di Indonesia: Teori dan Praktik, Graha
Ilmu, Yogyakarta, 2010.
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia, Gema Insani
Press, Jakarta, 1996.

Anda mungkin juga menyukai