Anda di halaman 1dari 21

BATASAN PARTAI POLITIK DALAM MENGGUNAKAN

HAK RECALL TERHADAP ANGGOTA DPR DENGAN


ALASAN DIBERHENTIKAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NO 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD DAN DPRD
(MD3) DAN UNDANG-UNDANG NO.2 TAHUN 2011
TENTANG PARTAI POLITIK

SKRIPSI
Program Studi Ilmu Hukum

Diajukan oleh:
MUHAMMAD HISYAM RAMADHAN
Nomor Pokok : 2019200082

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2023

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH

Negara Indonesia memiliki kedaulatan, yakni kedualatan rakyat hal tersebut

secara eksplisit ditulis pada Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 yang berbunyi “kedaulatan berada di tangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945”. Hal tersebut bermaksud

bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang secara

kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Artinya rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara1.

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang berbunyi “negara Indonesia adalah negara hukum”2. Artinya bahwa segala

sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara harus

berdasarkan pada hukum, maka demikian Indonesia merupakan negara hukum.

Negara pada dasarnya merupakan konstruksi yang diciptakan oleh umat manusia

tentang pola hubungan antar manusia dalam pola kehidupan bermasyarakat yang

diorganisasikan sedemikian rupa untuk maksud memenuhi kepentingan dan tujuan

bersama3.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai bagian dari lembaga perwakilan

rakyat yang hadir pada sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan perwujudan

1
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet-
kelima (Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), hlm.
328.
2
Mirza Nasition, Hukum Tata Negara (Medan: FH USU Press, 2011), hlm. 11.
3
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Rajawali Pers, 2019), hlm. 11.

1
2

dari amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk

dapat diangkat menjadi anggota DPR, seseorang harus dipilih secara langsung

melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur dan adil yang dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun sekali

sebagaimana ketentuan Pasal 19 ayat (1) junto Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD

Negara RI Tahun 1945.

Pada prakteknya untuk memilih anggota DPR, partai politik diletakan

sebagai pengusung anggota DPR tersebut. Proposisi ini secara tegas dinyatakan

dalam Pasal 22 E Ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “peserta

pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”4. Jika melihat hal tersebut

menunjukan bahwa anggota DPR merupakan mandat dari sebuah partai politik,

sehingga dengan kata lain tanpa partai politik mustahil seseorang untuk

mencalonkan sebagai anggota DPR. Pada dasarnya partai politik merupakan sebuah

kendaraan untuk menyatukan orang-orang yang memiliki visi-misi sama dalam

penyelenggaraan negara. Menurut Soedarsono, partai politik merupakan sebuah

kelembagaan dari kebebasan negara untuk berserikat dan berkumpul yangtelah

dijamin oleh konstitusi pada pada Pasal 28E Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Hal itu berarti partai politik memiliki peran

sebagai pemberi wadah dari hak yang dimiliki oleh setiap warga negara untuk

4
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah Konstitusi negara
Indonesia yang merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara di Indonesia.
3

berserikat dan berkumpul5.

Setiap anggota DPR tergabung dalam “fraksi” yang merupakan representasi

dari eksistensi partai politik di (DPR), sehingga terdapat konteks

pertanggungjawaban antar keduanya. Di satu sisi anggota DPR bertanggungjawab

atas penegakan AD/ART partai politik dan sisi lainnya partai politik memiliki

tanggungjawab untuk melakukan kontrol terhadap kinerja para anggotanya di DPR

dan bentuk kontrol (pertanggungjawaban parpol) tersebut adalah dalam bentuk

mekanisme hak recall parpol.

Konsep menganai hak recall ini terdapat beberapa pendapat ahli. Menurut

Tomassen (sarjana dari Belanda) mengatakan bahwa “recall recht, het recht van een

politieke partij oom een via haar kandidaten lijstgekozen parlement lidterug te

reopen” (hak recall merupakan hak suatu partai untuk menarik kembali anggota

parlemen yang terpilih daftar anggota calon yangdiajukannya)6. Menurut pendapat

Prof. Mahfud MD “recall adalah hak untuk mengganti anggota lembaga

permusyawaratan/perwakilan dari kedudukannya sehingga tidak memiliki status

keanggotaan dilembaga tersebut”. Berdasarkan uraian definisi menurut para ahli

yang telah dijelaskan diatas dapat di simpulkan bahwa recall merupakan proses

penggantian wakil rakyat yang menduduki jabatan di parlemensebagai anggota

parlemen, proses penggantian tersebut didahului dengan proses pemberhentian.

5
Soedarsono, Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Demokrasi: Penyelesaian Sengketa
Hasil Pemilu 2004 oleh Mahkamah Konstitusi RI (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2005), hlm. 9.
6
Ni’matul Huda dan M. Imam Nasef, Penataan demokrasi & pemilu di Indonesia pasca-
Reformasi (Yogyakarta: Kanisius, 2017) hlm. 177.
4

Ketentuan peraturan mengenai partai politik dan hak recall nya dalam

konteks Indonesia telah diatur pada Pasal 16 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang- Undang

No.2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik yang menyebutkan bahwa:

1. Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya apabila:

a. Meninggal dunia

b. Mengundurkan diri secara tertulis

c. Menjadi anggota partai politik lain

d. Melanggar AD dan ART.

2. Tata cara pemberhentian keanggotaan partai politik sebagaimana dimaksud

pada Ayat (1) diatur dalam AD dan ART.

Adapun ketentuan peraturan mengenai hak recall oleh partai politik diatur

juga dalam Undang-Undang MD3, bagian kelima belas yang memuat

pemberhentian antar waktu dan pemberhentian sementara, hal tersebut dimulai dari

pasal 239 sampai 241 UU MD3. Mengenai alasan pemberhentian antar waktu

anggota DPR telah diatur pada pasal 239 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang

MD3, yang menyebutkan:

1. Anggota DPR berhenti antar waktu karena:

a. Meninggal dunia

b. Mengundurkan diri

c. Diberhentikan

2. Anggota DPR diberhentikan antar waktu sebagaiamana dimaksud pada Ayat (1)

huruf c, apabila:
5

a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap

sebagai anggota DPR selam 3 (bulan) berturut-turut tanpa keterangan apapun.

b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR.

c. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan

pidana penajara 5 (lima) tahan atau lebih.

d. Diusulkan oleh partai politiknya sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.

e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum

anggota DPR, DPD dan DPRD.

f. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

g. Diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang undangan.

h. Menjadi anggota partai politik lain.

Pada praktek ketatangeraan seringkali penggunaan hak recall ini rentan

untuk disalahgunakan oleh partai yang mengusung kadernya yang terpilih sebagai

anggota DPR, karena jika melihat pada UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai

Politik (parpol) Pasal 16 Ayat (1) huruf d dan UU No.17 Tahun 2014 Tentang MD3

Pasal 239 Ayat (2) Huruf d. Hal tersebut sangat rentan. Hanya berlatarkan konflik

internal secara personalitas dimana terjadi pemecatan dari partai politik sehingga

berdampak pada keanggotaanya yang sebagai pemegang jabatan menjadi anggota

DPR yang diperoleh dari pemilihan dengan suara terbanyak. Konflik adalah
6

masalah yang memiliki dampak buruk karena diantaranya mengganggu pada

rekrutmen partai serta kerja elektoralnya. Oleh karena itu, untuk mencegah dan

mengatasi konflik adalah suatu kepatutan7.

Salah satu contoh penggunaan hak recall oleh partai PKS (Partai

Kesejahteraan Sosial). Pada tahun 2016, Fahri Hamzah secara resmi menjadi Wakil

Ketua DPR. Pada masa jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah sering

memberikan pendapat yang kontroversial. PKS sebagai partai pengusung nya

merasa keberatan dengan sikap Fahri Hamzah. Oleh karena itu, PKS memanggil

Fahri Hamzah untuk diberikan arahan oleh PKS dalam hal kedisiplinan dan

kesantunan sesuai dengan karakteristik partai8. Namun, setelah diadakan pertemuan

tersebut Fahri Hamzah memberikan pernyataan kontroversial. Maka dari itu PKS

secara tegas memberhentikan Fahri Hamzah sebagai kader/anggota PKS. Implikasi

dari pemecatan itu terancamnya jabatan Fahri Hamzah sebagai Wakil Ketua DPR.

Akan tetapi, Fahri Hamzah berhasil melakukan upaya hukum perdata ke Pengadilan

Negeri dengan putusan 214/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel.. Kita bisa melihat bahwa

dalam aturan mengenai hak recall oleh partai politik pada UU No. 2 Tahun 2011

Tentang Partai Politik (parpol) Pasal 16 Ayat (1) huruf d dan UU No.17 Tahun 2014

Tentang MD3 Pasal239 Ayat (2) Huruf d dan huruf g.

Oleh karena itu, penulis secara spesifik membahas batasan partai politik

dalam melakukan recall.

7
Budiarti dan Aisyah Putri, Faksi dan Konflik Internal Partai-Partai Politik di
Indonesia EraReformasi, Jurnal Penelitian Politik, Vol.14, No. 2 (Desember 2017), hlm. 265-
279.
8https://nasional.kompas.com/read/2018/08/03/06340021/kisah-fahri-hamzah-vs-pks- dari-
pemecatan-hingga- penolakan-kasasi. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2022 pukul 15.57WIB.
7

Maka dari itu, penulis tertarik mengambil sebuah penelitian hukum yang berjudul

“BATASAN PARTAI POLITIK DALAM MENGGUNAKAN HAK RECALL

TERHADAP ANGGOTA DPR DENGAN ALASAN DIBERHENTIKAN

MENURUT UNDANG-UNDANG NO.17 TAHUN 2014 TENTANG MPR,

DPR, DPD DAN DPRD (MD3) DAN UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2011

TENTANG PARTAI POLITIK”.

B. IDENTIFIKASI MALASAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka identifikasi masalah pada

penelitian ini yaitu:

1. Perselisihan antara partai politik dan anggota partai politik yang sedang

menjabat sebagai anggota DPR adalah persoalan yang biasa terjadi pasca era

reformasi. Konflik tidak bisa dihindarkan meskipun Undang-Undang partai

politik telah mengatur secara khusus mengenai mekanisme penyelesaian

walaupun dalam pelaksanaannya Undang-Undang tersebut rentan untuk

disalahgunakan.

2. Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat” hal ini menjadi acuan

bahwasanya sengketa antara partai politik dan anggota partai politik harus juga

melibatkan rakyat/konstituen.

3. Undang-Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik dan Undang-Undang

No.17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPD, DPR, DAN DPRD (MD3). Mengatur

hal-hal pokok terkhusus dalam batasan hak recall atau pergantian antar waktu

oleh partai politik terhadap anggotanya di DPR. Namun, dalam Undang-Undang


8

tentang partai politik dan Undang-Undang MD3 tersebut tidak diatur mengenai

upaya hukum apabila anggota partai politik yang menjabat di DPR keberatan

atas keputusan yang diambil oleh partai politik.

C. PEMBATASAN MASALAH

Pembatasan masalah dimaksudkan sebagai upaya didalam menganalisis

masalah sesuai dengan judul skripsi yang dibuat penulis agar tidak meluas dan

fokus pada masalah yang diteliti. Permasalahan penelitian ini dibatasi dengan

Undang-Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik dan Undang-Undang

No.17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD (MD3).

D. RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dibuat untuk memudahkan penulis dalam

mengumpulkan data, menyusun data dan menganalisis data sehingga sasaran yang

hendak dicapai jelas sesuai dengan apa yang diharapkan. Berdasarkan uraian latar

belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti dan

dibahas lebih lanjut sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta

memperoleh jawaban sesuai yang diharapkan. Adapun perumusan masalahnya

adalah sebagai berikut:

1. Apa batasan hak recall oleh partai politik yang menjabat sebagai anggota DPR

dengan alasan diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan

ketentuan UU.No.17 Tahun 2014 Tentang MD3 dan UU No.2 Tahun 2011

Tentang Partai Politik?

2. Bagaimana upaya hukum bagi anggota DPR terhadap penjatuhan hak recall oleh

partai politik ?
9

E. LANDASAN TEORI

1. Teori Kedaulatan Rakyat

Adapun berbagai literatur politik dan teori kenegaraan pada masa

kontemporer ini, terminologi mengenai kedaulatan (souvereignty) diakui sebagai

konsep yang berasal dari bahasa latin yaitu souverain dan superanus yang

kemudian menjadi souvereign dan souvereignty dalam literatur bahasa inggris

menjadi penguasa dan kekuasaan tertinggi9. Menurut Moh.Kusnardi dan Harmaily

Ibrahim mengatakan bahwa dalam kedaualan rakyat (demcracy), rakyatlah yang

dianggap sebagai pemilik dan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu

negara10.

Sehubungan dengan subjek kedaulatan dalam perkembangan pemikiran

hukum dan politik, dikenal ada lima (5) teori, yaitu:

a. Teori kedaulatan tuhan

b. Teori kedaulatan raja

c. Teori kedaulautan negara

d. Teori kedaulatan rakyat

e. Teori kedaulatan hokum

Kelima ajaran tersebut telah berkembang, baik secara teoritis ataupun secara

praktik dalam sejarah pemikiran hukum dan negara. Pada era kontemporer ini

konsepsi dan praktik kedaulatan rakyat digunakan sebagai dasar konsep negara

9
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cet-2 (Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2011), hlm. 98.
10
Haposan Siallagan dan Janpatar Simamora, Hukum Tata Negara Indonesia (UD. Sabar
Medan, 2011), hlm. 73.
10

demokrasi. Demokrasi secara etimologis berasal dari bahasa yunani, yakni demos

dan cratos artinya demos berarti rakyat dan cratos/cratein yang berarti

kekuasaan/berkuasa11. Oleh karena itu, kekuasaan pada pokoknya diakui berasal

dari rakyat, maka rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah

sesungguhnya untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada hakikatnya dalam ide kedaulatan rakyat harus dijamin bahwa rakyatlah

sesungguhnya pemilik kedaulatan dalam bernegara dengan segala kewenangannya

menjalankan segala fungsi kekuasaan negara, baik di bidang eksekutif, yudikatif,

dan legislatif. Konsepsi mengenai trias politica yang sudah dijabarkan merupakan

hasil dari sebuah teori Montesquieu yang diilhami oleh John Locke. Menurut

Montesquieu, ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang atau

badan yang sama, tidak akan ada lagi kebebasan, sebab terdapat bahaya apabila raja

atau legislatif yang sama akan memberlakukan undang-undang tirani dan

menjalankan sebagai tiran pula12.

Menurut Imanuel Kant berkaitan dengan teori kedaulatan rakyat, tujuan

negara adalah untuk menegakan hukum dan menjamin kebebasan peraturan

perundang-undangan dan aturan tersebut yang berhak membuatnya adalah rakyat.

Oleh karena itu, Undang-Undang merupakan sebuah ekspresi dari kemauan dan

kehendak rakyat. Rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi atau kedaulatan13.

Berdasarkan deskripsi diatas, menjelaskan bahwa terdapat korelasi antara

konsepsi kedaulatan rakyat dengan konsepsi demokrasi. Adapun Bagir Manan

11
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005) hlm. 246.
12
CF. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm.330.
13
Soehino, Ilmu …, Op cit., hlm. 161.
11

mengatakan bahwa negara yang demokratis adalah negara yang menempatkan

kekuasaan tertinggi pada rakyat14. Adanya pernyataan tersebut mengindikasikan

bahwa ada keterkaitan atau korelasi yang sangat erat antara teori kedaulatan rakyat

dengan konsepsi demokrasi. Kedaulatan rakyat memposisikan sebagai salah satu

syarat untuk sebuah negara yang menganut negara demokrasi.

Pada konteks positif Indonesia, konsep yang dianut yakni demokrasi

perwakilan. Artinya kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau bisa saja

disebut dengan demokrasi perwakilan (representative democracy). Berdasarkan hal

tersebut, partai politik memiliki peran yang sangat sentral karena partai politiklah

yang mendesain kebijakan-kebijakan publik termasuk rekrutmen kepemimpinan.

Pada praktiknya, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil rakyat

yang duduk di parlemen (dalam teori trias politica disebut dengan legislatif). Wakil

rakyat tersebut sebagai representasi dari rakyat dan wakil rakyat itulah yang

menentukan kebijakan/roda pemerintahan.

2. Teori Lembaga Perwakilan

Adanya konsep mengenai lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan

demokrasi berwal dari J.J Rousseau, yang mengutarakan gagasannya terkait

demokrasi sebagai sistem yang paling cocok untuk dijadikan sebagai dasar dalam

pengelolaan negara. Gagasan J.J Rousseau ini bermula pada pemahamannya yang

sederhana akan demokrasi secara langsung. Pada prinsipnya dalam demokrasi

secara langsung menghendaki bahwa rakyat untuk turut serta dalam penyelengaraan

14
Bagir Manan, Pers, Hukum, dan Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum (Jakarta: Dewan
Pres, 2016) hlm. 195.
12

juga secara langsung dapat memutuskan jalan mana yang akan diambil dan

dianggap paling tepat15.

Berdasarkan pernyataan Montesquieu, lembaga perwakilan rakyat adalah

salah satu lembaga negara yang mandiri dan terpisah dari lembaga lainnya16.

Sementara menurut Prof.Jimly Asshidiqie lembaga legislatif (perwakilan) adalah

cabang kekuasan negara yang merefleksikan kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu,

segala peraturan yang menyangkut hidup rakyat atau mengatur hajat hidup orang

banyak harus dimandatkan pada lembaga perwakilan rakyat atau lembaga legislatif

atau lembaga parlemen17.

Senada dengan apa yang dikatan oleh Prof Jimly Asshidiqie, Annne Maria

Camissa dan Paul Christopher juga berpendapat bahwa lembaga perwakilan adalah

lembaga yang dibebankan pada fungsi pembuatan hukum, dari mulai tahap

perencanaan, pembahasan, hingga pengawasan dalam tahap penerapannya terhadap

undang-undang. Selain itu, tak hanya berfungsi sebagai pembentuk peraturan

perundang-undangan, Anne Camissa dan Paul Christopher juga berpendapat

mengenai fungsi-fungsi dari lembaga perwakilan diantaranya adalah:

a. Fungsi Pengaturan (Regelende Functie)

b. Fungsi Pengawasan (Control)

c. Fungsi Perwakilan (Representative)

15
Wahidin Samsul, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (Jakarta: Pustaka Belajar, 2011), hlm. 37.
16
Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Menurut Uundang-Uundang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Penerapan Sistem Bikameral dalam Lembaga Perwakilan
Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 45.
17
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009), hlm. 298.
13

d. Fungsi Resolusi Konflik dan Liberatif

Berdasarkan uraian diatas telah memberikan penjelasan bahwa konsep

mengenai lembaga perwakilan merupakan sebuah peruwujudan pada negara yang

memiliki karakteristik yang beragam. Pada konteks positif Indonesia, konsep yang

dianut adalah lembaga perwakilan. Artinya pengisian jabatan pada lembaga

tersebut ditunjuk secara langsung oleh rakyat dan lembaga tersebutlah yang

mengawakilkan suara dari keseluruhan masyarakat Indonesia. Pada proses

mekanisme penunjukan atau pemilihan untuk mengisi jabatan dalam lembaga

tersebut posisi partai politik memiliki peranan yang sangat besar.

F. DEFINISI OPERASIONAL

1. Hak Recall

Hak recall dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia dikenal juga sebagai

penggantian antar waktu18. Hak recall secara terminologis dalam kamus politik

karangan B.N. Marbun diartikan sebagai suatu proses penarikan kembali atau

penggantian antar waktu anggota DPR oleh induknya yakni partai politik19.

Pada tinjauan peraturan positif Indonesia, tidak memberikan definisi secara

eksplisit mengenai hak recall atau Penggantian Antar Waktu (PAW). Akan tetapi,

diberikan definisi secara implistit yakni menurut Pasal 22B Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang bebunyi “anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya yang syarat-syarat dan ketentuannya

diatur dalam Undang-Undang”.

18
Farida, R. (2013). Mekanisme Penggantian Antar Waktu Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan Implikasinya dalam Konsep Perwakilan Rakyat, Jurnal Cita Hukum, 1(2), h.198.
19
Marbun, B.N, Kamus Politik (Jakarta: Sinar Harapanh, 1996), hlm. 43.
14

2. Partai Politik

Menurut Carl J. Friedrich partai politik adalah sekelompok perkumpulan

manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut dan

mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pimpinan partai, serta berdasarkan

penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat

ideal maupun materil20.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni perkumpulan

(sekolompok orang) yang seasas, sehaluan, dan setujuan terutama dalam bidang

politik21. Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 partai politik adalah

organisasi nasional dan dibentuk oleh sekolompok warga negara Indonesia secara

sukarela atas kesamaan kehendak, cita-cita untuk memperjuangkan dan membela

kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memeliharara

keutuhan negara kesatuan republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Lembaga Legislatif

Secara umum pengertian legislatif adalah lembaga atau dewan yang

merumuskan dan membuat Undang-Undang yang dibutuhkan oleh negara.

Lembaga ini pula disebut sebaga lembaga legislator. Pada dasarnya pengertian

mengenai kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan yang diberikan kepada badan untuk

membentuk suatu Undang-Undang22. Menurut KBBI mendefinisikan lembaga

legislatif sebagai lembaga yang berwenang membuat Undang-Undang.

20
Frederick Julius Stahl, Constitutional Government and Democracy Theory and Practice
in Europe and America, Dalam Miriam Budihardjo, hlm.57-58.
21
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
22
UU Nurul Huda, Hukum Lembaga Negara (Bandung: PT Refka Aditama, 2020),hal. 60.
15

G. METODOLOGI PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini memahami bagaimana:

a. Untuk mengetahui batasan hak recall oleh partai politik yang menjabat sebagai

anggota DPR dengan alasan diberhentikan sebagai anggota partai politik

berdasarkan ketentuan UU.No.17 Tahun 2014 Tentang MD3 dan UU No.2

Tahun 2011 Tentang Partai Politik.

b. Untuk mengetahui upaya hukum bagi anggota DPR yang telah keberatan

terhadap penjatuhan hak recall oleh partai politik.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif

merupakan sebuah prosedur penelitian ilmiah yang menemukan sebuah kebeneran

berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya23.

Penilitian ini bersifat deskriptif analitis, karena dalam penelitian ini penulis

mencoba menjelaskan bagaimana seharusnya penerapan Undang-Undang No.17

Tahun 2014 Tentang MD3 dan UU No.2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik dan

menganalisa upaya hukum bagi anggota DPR yang keberetan dalam penjatuhan hak

recall oleh partai politik.

3. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian dapat dikemukakan dalam hal, yaitu:

a. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat secara mendalam

mengenai proses berbangsa dan bernegara melalui partai politik.

23
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia
Publishing, 2011), hlm 57.
16

b. Sebagai pengetahuan hukum bagi penulis khususnya dan bagi masyarakat pada

umumnya mengenai proses penegakan hukum dan keadilan sesuai yang diatur

dalam konstitusi atau Undang-Undang yang terkait.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian dalam penulisan skripsi menggunakan library research (studi

kepustakaan), menggunakan bahan primer, sekunder dan tersier. Penelitian

kepustakaan dengan mencari dan mengkaji bahan-bahan kepustakaanberdasarkan

kekuatan mengikatnya teridiri dari:

a. Bahan Hukum Primer (primary research/authoritative records)24, yaitu

memiliki kekuatan mengikat seperti norma dasar, peraturan perundang-

undangan dan putusan pengadilan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan primer yang

isinya tidak mengikat seperti buku, jurnal dan hasil penelitian terdahulu yang

berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang menunjang bahan primer dan bahan

sekunder seperti internet, kamus hukum, indeks dan artikel.

5. Teknik Pengolohan Data

Pada penyusunan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis

data kualitatif yaitu dengan cara memaparkan data yang diperoleh dalam bentuk

kalimat-kalimat yang disusun dengan pokok bahasan, sehingga dapat memperoleh

suatu kebenaran untuk memecahkan permasalahan yang dibahas.

24
Bambang Sunggono, Metodologi Peneltian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), hal. 113-114 .
17

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam beberapa bab dan tersusun

secara sistematis. Adapun sistematika penulisan ini sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab I, penulis akan memaparkan mengenai latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, landasan teori,

definisi operasional, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: TINJAUAN UMUM KEDAULATAN DAN KELEMBAGAAN

Pada bab II, Penulis akan mengemukakan secara komprehensif tentang definisi

kedaulatan serta definisi kedaulatan rakyat dan definisi kelembagaan.

BAB III: BATASAN HAK RECALL OLEH PARTAI POLITIK YANG

MENJABAT SEBAGAI ANGGOTA DPR DENGAN ALASAN

DIBERHENTIKAN SEBAGAI ANGGOTA PARTAI POLITIK

BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NO.17 TAHUN 2014

TENTANG MD3 DAN UNDANG-UNDANG NO.2 TAHUN 2011 TENTANG

PARTAI POLITIK

Pada bab III, penulis membahas mengenai batasan hak recall oleh partai politik

dengan alasan diberhentikan sebagai anggota partai politik dengan studi kasus

anggota partai politik yang menjabat sebagai anggota DPR sesuai ketentuan

Undang- Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (MD3) serta Undang-Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Partai

Politik.
18

BAB IV: UPAYA HUKUM BAGI ANGGOTA DPR TERHADAP HAK

RECALL OLEH PARTAI POLITIK

Pada bab IV, penulis membahas mengenai upaya hukum bagi anggota DPR terhadap

keberatannya hak recall oleh partai politik.

BAB V: PENUTUP

Pab V ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi penulis yang terdiri dari

sub bab-sub bab pertama berisi kesimpulan dan sub bab kedua mengenai saran yang

penulis anggap penting dari permasalahan yang diteliti.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sinar


Grafika Offset, 2011.

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2009.

Asshidiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, 2019.

Huda, Ni’matul dan M. Imam Nasef. Penataan demokrasi & pemilu di Indonesia
pasca- Reformasi, Yogyakarta, Kanisius, 2017.

Huda, UU Nurul. Hukum Lembaga Negara, Bandung, PT Refka Aditama, 2020.

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang,


Bayumedia Publishing, 2011.

Kusnardi, Moh dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta, Pusat studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1983.

Manan, Bagir. Pers, Hukum, dan Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Jakarta,
Dewan Pres, 2016.

Marbun, B.N. Kamus Politik, Jakarta, Sinar Harapanh, 1996.

Nasition, Mirza. Hukum Tata Negara, Medan, FH USU Press, 2011.

Samsul, Wahidin. Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat


Republik Indonesia, Jakarta, Pustaka Belajar, 2011.

Siallagan, Haposan dan Janpatar Simamora. Hukum Tata Negara Indonesia, UD.
Sabar Medan, 2011.

Soedarsono. Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Demokrasi: Penyelesaian


Sengketa Hasil Pemilu 2004 oleh Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta,
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005.

Soehino, Ilmu …, Op cit., hlm. 161.

Soehino. Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty, 2005.

Stahl, Frederick Julius. Constitutional Government and Democracy Theory and


Practice in Europe and America dalam Miriam Budihardjo.

Strong, CF. Konstitusi-konstitusi politik modern, Bandung, Nusa Media, 2008.

Subardjo. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Menurut Uundang-Uundang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Penerapan Sistem Bikameral
dalam Lembaga Perwakilan Indonesia, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2012.

Sunggono, Bambang. Metodologi Peneltian Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo


Persada, 2006.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jurnal:

Budiarti, Aisyah Putri, Faksi dan Konflik Internal Partai-Partai Politik di


Indonesia Era Reformasi, Jurnal Penelitian Politik, Vol.14, No. 2, Desember
2017.

Farida, R. Mekanisme Penggantian Antar Waktu Anggota Dewan Perwakilan


Rakyat dan Implikasinya Dalam Konsep Perwakilan Rakyat, Jurnal Cita
Hukum, 1(2), 2013.

Web:

https://nasional.kompas.com/read/2018/08/03/06340021/kisah-fahri-hamzah-vs-
pks-dari-pemecatan-hingga- penolakan-kasasi. Diakses pada tanggal 11
Oktober 2022.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Anda mungkin juga menyukai