Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM KEPARTAIAN DAN PEMILU

KONFLIK INTERNAL PARTAI GOLKAR TAHUN 2014-2016

DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD HISYAM R (2019200082)
SARLIN WAGOLA (2019200170)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


Jl. KH. A. Dahlan Cirendeu Ciputat Tangerang 15419
Hp. 085719407321 / 089621856276
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat
fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai
tugas dari mata kuliah Hukum Kepartaian dan pemilu dengan judul ‘’ Konflik Internal Partai Golkar
Tahun 2015-2016”
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat
kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Cirendeu, April 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
partai politik adalah kendaraan perjuangan masyarakat untuk menduduki pemerintahan,
atau dengan kata lain alat menuju untuk meraih kekuasaan. dimana anggota-anggotanya
terorganisir dan terbentuk dari pandangan mengenai nilainilai dan cita-cita yang sama. Salah
satu indikator dari negara demokrasi adalah partai politik dan pemilu. Keberadaan partai
politik sangat penting untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat. Hal tersebut karena
sesungguhnya di dalam sebuah partai masih terdapat perbedaan orientasi, cita-cita, nilai dan
kehendak masing-masing individu. Inilah yang menjadi salah satu penyebab munculnya
konflik dalam partai yang saat ini banyak terjadi. Konflik tidak bisa dihindarkan karena
sejauh berdirinya sebuah partai pasti terdapat kepentingan-kepentingan pribadi yang berbeda
satu sama lain.
Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 pasal 1 tentang partai politik, definisi
partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga
negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara,
serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pujriyani dalam Mardihartono (2014: 56) menyatakan konflik adalah salah satu bagian
yang tidak bisa dipisahkan baik dari individu maupun kelompok tertentu. Sebagai wujud dari
gejala sosial, konflik memang akan selalu ada pada setiap kehidupan karena antagonisme atau
perbedaan yang menjadikan ciri penunjang terbentuknya suatu masyarakat sehingga
perbedaan memang tidak bisa dihindari.Hal di atas tersebut menjelaskan konflik menjadi
salah satu karakteristik dalam kehidupan manusia yang sudah ada sejak dahulu sampai era
globalisasi sekarang ini yang tidak mungkin dihindari dalam perubahan sosial.
Konflik internal dalam sebuah partai besar lumrah terjadi. Jika partai terlembagakan
dengan baik, maka akhir dari konflik tersebut justru malah bisa semakin memperkuat partai.
Sayangnya, tidak semua partai terlembagakan dengan baik. Terlebih lagi, hanya sedikit partai
yang memiliki politisi-negarawan yang mampu mencari solusi beyond their interests.
Jika partai tidak terlembagakan dengan baik, konflik internal kepartaian biasanya akan
mengarah pada dua muara. Pertama, terjadinya party split saat faksi-faksi yang tidak puas
mendirikan partai-partai baru.
Akibatnya, tentu kekuatan partai yang tersisa semakin tergerus dan dengan semakin
banyak rival eksternal yang secara emosional tidak friendly, maka sangat mungkin berbagai
akses mobilisasi sumber daya politik dan massa menjadi semakin banyak yang tertutup.
Party split juga terjadi ketika banyak politisi partai yang berkonflik internal tersebut
pindah ke partai-partai lainnya.
Kedua, terjadinya political party decay, di mana pembusukan partai justru dilakukan
oleh elemen-elemen yang merasa menang, yang menjalankan partai sebagaimana layaknya
mengelola usaha dagang.
Atau proses pembusukan kepartaian dilakukan oleh anasir-anasir yang kalah atau
terkalahkan dalam kompetisi internal kepartaian tersebut, yang tidak segan-segan melakukan
sabotase internal untuk menghancurkan kekuatan faksi lawan yang sedang memegang tampuk
kepemimpinan partai.
Golkar, menjadi salah satu partai paling panjang di Republik ini, dengan berbagai
macam konflik sudah dilewati oleh partai Golkar. Sebab, dengan segala sesuatu untuk
mencapai kematangan partai, berbagai konflik harus dihadapi secara dewasa.
Terselenggaranya dua Musyawarah Nasional (Munas) di dalam partai Golkar. Munas
yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 6-8 Desember 2014 yang menetapkan Agung
Laksono sebagai ketua umum, dan Munas yang berlangsung di Bali 30 November-4
Desember 2014 yang menetapkan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum. Munas partai
Golkar terjadi di tempat dan waktu yang berbeda, dan menghasilkan struktur kepengurusan
yang berbeda pula.

1.2 RUANG LINGKUP PENELITIAN


Penelitian ini akan saya jelaskan agar untuk mengetahui pengetahuan tentang konflik internal
partai Golkar Tahun 2015-2016

1.3 RUMASAN MASALAH


Berdasarkan peneliatan diatas, maka penulis merumuskan masalah tersebut,
1) Apa yang dimaksud dengan partai politik?
2) Fungsi dan tujuan partai politik
3) Apa yang mendasari konflik internal partai Golkar pada Munas Tahun 2014
4) Bagaimana penyelesaian konflik partai Golkar Tahun 2016

1.4 TUJUAN PENELITIAN


1) mengetahui dan memahami definisi, fungsi dan tujuan partai politik
2) mengetahui dan memahami konflik internal partai Golkar tahun 2014-2016, dan mengetahui
penyelasaian konfliknya
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 partai politik


Partai politik merukan fenomena umum dalam kehidupan demokrasi dan keberadaannya
memiliki arti yang sangat penting, sekaligus krusial. Partai politik berangkat dari anggapan
bahwa dengan membentuk wardah organisasi mereka dapat menyatukan orang-orang yang
memounyai pikiran serupa, sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan.
Dengan begitu pengaruh mereka lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan.
Sehingga, Keberadaan partai politik merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan dalam
sebuah tatanan masyarakat modern dan berstruktur kompleks. Sebab partai politik
dianggap mempunyai kemampuan untuk menyalurkan partisipasi politik masyarakat yang
kompleks tersebut. Semakin kompleks sebuah masyarakat, maka keberadaan partai politik
akan semakin diperlukan sebagai penyalur aspirasi dan penyalur partisipasi politik
masyarakat. Tanpa adanya partai politik, kepentingan dan partisipasi politik rakyat akan
kurang tersalurkan.
Adapun definisi partai politik banyak dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah
Carl J. Friedrich yang memberikan pengertian mengenai partai politik: “a political party is
a group of human being, stably organized with the objective of securing or maintaining for
its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of
the party, though such control ideal and material benefits and advantages. (Partai politik
adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pemimpin partainya dan
berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang
bersifat ideal serta materil)”.
Adapun definisi menurut UU No.2 Tahun 2011 perubahan atas UU No.2 Tahun 2008
tentang partai politik yakni “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”.
Dilihat dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa partai politik bertujuan untuk
menguasai pemerintahan atau mempertahankannya, dan oleh karena itu partai politik wajib
untuk memberikan keuntungan yang diperoleh kepada para anggotanya. Seingga partai
politik tidak ditinggalkan oleh para pendukungnya. Partai politik diharapkan menjadi
perpanjangan tangan rakyat dalam menyalurkan aspirasinya ke pemerintah.
Menurut pasal 11 Undang-Undang No.2 Tahun 2008 tentang partai politik (“UU
Parpol” tentang fungsi dari partai politik, yang berbunyi
(1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana:
a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia
yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat;
c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan negara;
d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
(2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara
konstitusional.

Adapun tujuan dari partai politik yakni menurut Pasal 10 UU No.2 Tahun 2008, yakni
(1) Tujuan umum Partai Politik adalah:
a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah:
a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan
politik dan pemerintahan;
b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara; dan
c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara
konstitusional.
2.2 Awal mula konflik Partai Golkar pada Munas 2014
Minggu 18 mei 2014 diselenggarakan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ke VI
Partai Golkar di Jakarta, dari hasil terselenggaranya rapimnas tersebut memandatkan Aburizal
Bakrie (ARB) sebagai Capres atau Cawapres di Pilpres 2014, keputusan tersebut diambil
dalam rapat tertutup dengan melibatkan 33 DPD I.
ARB kemudian secara tegas menyatakan bahwa kader Golkar yang ingin maju menjadi
capres ataupun cawapres diluar dirinya harus menanggalkan jabatan baik pada pengurus
partai maupun anggota partai sesuai dengan peraturan internal Golkar. Disamping itu
rapimnas juga membahas mitra koalisi Golkar dalam bursa pilpres 2014, Golkar yang meraup
14,75 persen suara atau 16,3 persen kursi di parlemen tentunya merupakan partai yang cukup
berpengaruh.
Namun dinamika baru muncul ketika Ical (ARB) mengikuti kampanye Prabowo-Hatta
di Bandung, Jawa Barat dan Solo, banyak yang mengkritisi ARB karena terlibat koalisi
dengan Prabowo yang telah mengusung Hatta sebagai cawapres, karena disisi lain mantan
ketua umum Golkar, Jusuf Kalla telah maju sebagai cawapres di kubu Jokowi. Dari inilah
muncul retak-retak kecil di tubuh partai Golkar yang akan menjadi patahan San Andreas
(besar).
Dinamika barupun muncul lagi pasca kekalahan Prabowo-Hatta di pilpres 2014, banyak
kader Golkar merasa berang dengan sikap ARB yang justru berkoalisi dengan Prabowo
ketimbang berkoalisi dengan Jokowi yang juga mengusung kader Golkar sebagai
cawapresnya, tiba-tiba Musyawarah Nasional (Munas) Golkar akan dipercepat pada tanggal
30 november 2014 padahal rapat pleno DPP Golkar akan menjadwalkan Munas pada Januari
2015, ada indikasi percepatan munas yang diawali rapimnas untuk aklamasi ARB menjadi
ketua umum kembali.
Ketua DPP Golkar, Agun Gunanjar mensinyalir percepatan munas adalah untuk
percepatan ARB menjadi ketua umum, ia mengharapkan agar munas melibatkan KPK.
DPP Golkar dibawah ARB memberi sanksi kader yang menghendaki munas sesuai
AD/ART Partai, ARB juga memecat Nusron Wahid, Poempida Hidayatullah dan Agus
Gumiwang dikarenakan mendukung Jokowi-JK dalam pilpres yang tidak sesuai keputusan
partai, namun anehnya justru JK tidak dipecat yang mencalonkan diri tanpa mengundurkan
diri sebagai kader, sedangkan dari keputusan partai seharusnya JK mengundurkan diri sebagai
kader.
Situasi baru muncul ketika berlangsungnya voting di DPR RI terkait undang-undang
pemilihan langsung kepala daerah, 11 anggota DPR RI dari Fraksi Golkar mendukung pemilu
secara langsung, tidak sesuai dengan internal Golkar yang hendaki pemilu tidak secara
langsung, alhasil sanksi pencopotan jabatan struktur di partai Golkar diberikan.
Sebelum berlangsung rapat pleno untuk membahas munas, telah terjadi koordinasi
Golkar dengan menghadiri DPD-DPD I di Bandung untuk melakukan skenario tertutup agar
munas dilakukan sesegera mungkin dan memenangkan ARB, namun upaya tersebut
dipatahkan dalam rapat pleno partai Golkar.
Rapat pleno DPP Golkar guna menyelesaikan rancangan materi munas Golkar
kedatangan Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) dengan seragam lengkap dan
menyebabkan konflik terbuka, banyak kader maupun anggota AMPG terluka akibat bentrok
tersebut.
Rapat pleno DPP Golkar batal dilaksanakan akibat kericuhan tersebut. Tim Penyelamat
Partai Golkar dipimpin Agung Laksono dan beranggotakan Priyo Budi Santoso, Zainudin
Amali, Agus Gumiwang, Yorrys Raweyai, Agun Gunandjar, Ibnu Munzir, Laurence Siburian,
serta Zainal Bintang memecat ketua umum Golkar ARB dan sekjen Golkar Idrus Marham,
karena dianggap tidak mampu melanjutkan rapat pleno sebagai syarat menuju arena munas,
sehingga DPP resmi dikendalikan oleh Majelis Penyelamat Partai Golkar, kemudian dibentuk
pejabat sementara ketua umum Golkar dan presidium penyelamat partai Golkar sebagai
wadah politik.
Pada bulan november hingga 2 desember 2014 munas Golkar diselenggarakan di Bali,
kemudian mengangkat ARB sebagai ketua umum baru Golkar, disela itu juga DPP Golkar
dengan pejabat sementara ketua umum Agung Laksono melakukan munas di Ancol pada
tanggal 6-8 desember 2014 yang memilih Agung Laksono sebagai ketua umum Golkar. Dua
munas ini melahirkan dua pengurus, proses pendaftaran hasil munas pada Kementerian
Hukum dan HAM (Kemenkumham), Menkumham Yasonna Laoly menerbitkan SK
kepengurusan hasil munas Ancol, sedangkan hasil munas Bali tidak diterbitkan, karena
menurut Yasonna, hasil munas Ancol yang sah secara hukum, karena munas digelar oleh
pejabat sementara ketua umum Golkar, sedangkan ARB justru sebelumnya telah dipecat. Dari
itulah menjadi babak baru kisruh Golkar melalui koridor hukum.

2.3 Upaya penyelesaian Konflik dari melalui proses hukum sampai konsensus politik
Partai Golkar 2014-2016
Sudah dijelaskan diatas bahwa konflik partai golkar telah mengalami proses yang
panjang dan sengit. Berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik sudah di lewati, mulai dari
proses Hukum yang ditempuh, hingga melalui proses konsensus politik para elite partai. Pihak
ARB (Aburizal Bakrie), dan Agung Laksono keduanya masing-masing memiliki
kepungurusan dalam versi masing-masing kubu.
kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono melaksanakan Munas dan menetapkan
masing-masing Ketua Umum, kedua kubu mengajukan struktur kepengurusan ke
Kementerian Hukum dan HAM.
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI melalui Surat Menteri Hukum dan HAM
bernomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 tentang pengesahan Perubahan AD/ART serta
komposisi dan personalia DPP Partai Golkar kembali menimbulkan permasalahan, karena
kubu Aburizal Bakrie menganggap surat keputusan didasarkan pada aspek politis. Anggapan
ini muncul karena pada Rapimnas Golkar kubu Aburizal Bakrie telah menyepakati Golkar
menjadi anggota Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengambil posisi oposisi terhadap
pemerintah.
Munaslub diharapkan mengakhiri perseteruan Ical-Agung yang terentang satu tahun
setengah, terhitung sejak akhir 2014. Kedua kubu selama ini menempuh ‘peperangan’
panjang yang melelahkan lewat jalur hukum.
Berikut alur konflik Golkar yang berliku.
1 29 November-3 Desember 2014
Musyawarah Nasional IX Golkar, 29 November-3 Desember 2014 di Bali,
terbelah. Aburizal Bakrie (Ical) terpilih kembali menjadi ketua umum.
Kubu Agung Laksono tidak mengakui hasil Munas itu dan membentuk
Tim Penyelamat Partai Golkar (TPPG) untuk mengadakan munas
tandingan.
2 5 Desember 2014
TPPG melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas hasil
Munas Bali.
3 6-8 Desember 2014
TPPG menggelar Munas tandingan di Ancol, Jakarta. Agung Laksono
terpilih sebagai ketua umum.
4 16 Desember 2014
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menolak mengesahkan
kepengurusan dua kubu Golkar. Yasonna meminta dualisme kepengurusan
diselesaikan secara internal.
5 12 Januari 2015
Kubu Ical menempuh jalur hukum dengan menggugat balik Golkar Munas
Ancol kubu Agung ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
6 2 Februari 2015
PN Jakarta Pusat menyerahkan penyelesaian konflik secara internal
melalui Mahkamah Partai Golkar.
7 24 Februari 2015
PN Jakarta Barat menolak gugatan kubu Ical karena dianggap tidak
mengindahkan penyelesaian konflik melalui Mahkamah Partai Golkar.
8 3 Maret 2015
Mahkamah Partai Golkar memutuskan mengesahkan Golkar kubu Agung
sampai Oktober 2015.
9 5 Maret 2015
Kubu Ical kembali mendaftarkan gugatan ke PN Jakarta Barat.
1 10 Maret 2015
0 Menkumham mengikuti putusan Mahkamah Partai Golkar yang
mengesahkan Golkar kubu Agung.
1 17 Maret 2015
1 Kubu Ical melayangkan gugatan baru ke PN Jakarta Utara setelah
mencabut gugatan lama di PN Jakarta Barat. Salah satu m tergugat ialah
Menkumham.
1 20 Maret 2015
2 Surat Keputusan Menkumham atas kepengurusan Golkar Munas Ancol
kubu Agung terbit.
1 23 Maret 2015
3 Kubu Ical menggugat SK Menkumham ke Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta.
1 1 April 2015
4 PTUN Jakarta mengeluarkan putusan sela dengan menangguhkan atau
menunda pengesahan SK Menkumham Golkar Munas Ancol.
1 18-19 Mei 2015
5 PTUN Jakarta memenangkan kubu Ical dan membatalkan SK
Menkumham yang mengesahkan Golkar Munas Ancol kubu Agung.
PTUN Jakarta juga memutuskan untuk mengembalikan Golkar ke
kepengurusan hasil Munas Riau 2009 di bawah Ical sebagai ketua umum
dengan Agung sebagai salah satu wakilnya.
1 24 Mei 2015
6 Ical sepakat islah terbatas dengan Agung demi pelaksanaan Pilkada
serentak.
1 10 Juli 2015
7 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta menolak gugatan kubu Ical
terkait dualisme kepengurusan Golkar. Putusan ini sekaligus
memenangkan kubu Agung.
Kubu Ical mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
1 24 Juli 2015
8 PN Jakarta Utara mengabulkan gugatan kubu Ical dengan mengesahkan
Munas Bali dan menolak Munas Ancol. Kubu Agung langsung
mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta.
1 2 November 2015
9 Banding kubu Agung dimentahkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
2 20 Oktober 2015
0 MA menerima kasasi kubu Ical dengan membatalkan putusan PTTUN dan
mengembalikannya pada putusan PTUN.
2 1 November 2015
1 Silaturahmi Nasional Partai Golkar mempertemukan dua kubu dan disebut
sebagai jalan islah permanen. Namun kedua kubu sepakat proses hukum
tetap berjalan.
2 2 November 2015
2 Kubu Agung mengajukan kasasi ke MA, menanggapi kekalahan di
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
2 28 Januari 2016
3 Menkumham terbitkan SK Perpanjangan kepengurusan Golkar hasil
Munas Riau.
2 29 Februari 2016
4 Putusan MA tolak kasasi kubu Agung dan mengesahkan kubu Ical.
2 26 April 2016
5 Menkumham terbitkan SK kepengurusan Golkar Munas Bali hasil
rekonsiliasi kubu Ical dan Agung.
2 14-16 Mei 2016
6 Munas Luar Biasa Golkar digelar di Nusa Dua, Bali setelah beberapa kali
jadwal berubah. Presiden Jokowi l membuka Munaslub, dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla bakal menutupnya.

Konsensus Politik
Maswadi Rauf yang membahas mengenai konfik politik mengatakan bahwa konflik
politik adalah sebuah gejala sosial yang terdapat di dalam masyarakat pada setiap kurun
waktu. Penguasa politik mempunyai peran sebagai pelaksana pengelolaan konflik
(management of conflict atau conflict management). Penguasa diberikan kewenangan dalam
membuat ketentuan-ketentuan yang membatasi kebebasan individu melalui berbagai
peraturan demi kepentingan masyarakat luas. Penguasa politik diberikan kewenangan untuk
menghukum warga negara yang melanggar peraturan atas nama masyarakat. Namun,
kekuasaan yang besar ini dapat membuka peluang bagi penguasa politik untuk mewujudkan
kepentingan pribadi atau kelompoknya. Akibatnya, penguasa politik tidak lagi menonjolkan
perannya sebagai pengelola konflik, tetapi sudah menjadi salah satu pihak yang berkonflik.
Adanya kecenderungan penguasa politik untuk mempertahankan kekuasaannya menyebabkan
penguasa politik terlibat dalam konflik dengan rakyatnya sendiri yang kecewa dengan
penderitaan yang mereka alami.
Maswadi Rauf dalam bukunya juga menjelaskan mengenai penyelesaian konflik.
Penyelesaian konflik (conflict resolution) adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk
menyelesaikan (atau menghilangkan) konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-
pihak yang terlibat dalam konflik. Penyelesaian konflik harus dilakukan agar mencegah
semakin dalamnya konflik, yang berarti semakin tajam perbedaan antara pihak-pihak yang
bertikai dan semakin luasnya konflik yang berarti semakin banyak pihak yang ikut dalam
konflik.24
Konflik berakhir secara tuntas bila pihak-pihak yang berkonflik berhasil mencapai titik
temu dari perbedaan. Menurut Maswadi Rauf titik temu dari perbedaan itulah yang kemudian
disebut konsensus atau kompromi, dimana hal itu bisa dicapai hanya melalui dua cara, yaitu
(1) tanpa perantara dan (2) dengan perantara (mediator). Selanjutnya, kedua cara ini akan
bermuara ke salah satu dari empat model konsensus yang ada, yaitu (1) konsensus “model
pendapat internal”, (2) konsensus “model pendapat dominan”, (3) konsensus “model pendapat
luar”, dan (4) konsensus “model gabungan”.
Faktor-Faktor Konsensus PolitikPartai Golkar
Berbagai upaya dilakukan oleh elit Partai Golkar maupun pihak luar dalam rangka
mencapai konsensus Partai Golkar. Upaya konsensus Partai Golkar diawali dari pembentukan
Tim 10 menjelang Pilkada Serentak tahun 2015. Kekhawatiran Partai Golkar tidak ikut pada
Pilkada Serentak tahun 2015, menjadi pemicu kedua kubu yang berkonflik untuk melakukan
islah sementara. Meski sifatnya saat itu masih sementara, tetapi menunjukkan elit Partai
Golkar yang berkonflik dapat mencapai konsensus yang seutuhnya. Selanjutnya
diselenggarakan Silaturahmi Nasional (Silatnas) tahun 2015 yang bertujuan untuk
mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik. Upaya selanjutnya dilakukan dengan
menyelenggarakan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) 2016 yang menjadi landasan
terselenggaranya Munaslub tahun 2016.1
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai konsensus Partai Golkar tidak lepas dari
adanya dua faktor pendukung konsensus Partai Golkar. Terdapat dua faktor yang
menyebabkan konsensus Partai Golkar, menggunakan model pendapat yang dijelaskan dalam
teori konsensus Maswadi Rauf, yaitu (1) faktor internal atau model pendapat dalam dan (2)
faktor eksternal atau model pendapat luar. Faktor internal atau model pendapat dalam yang
dimaksud, yaitu elit-elit yang berkonflik dan dukungan pengurus daerah Partai Golkar.
Sementara faktor eksternal atau model pendapat luar terkait kondisi politik nasional dan
upaya-upaya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh senior Partai Golkar namun pada saat konflik
berada di luar struktur Partai Golkar dan berada di struktur pemerintahan, maupun pihak
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.
Model pendapat dalam atau faktor internal dapat digambarkan dari berbagai
kepentingan dari elit-elit yang berkonflik, yaitu kepentingan elit dari faksi Aburizal Bakrie
dan faksi Agung Laksono. Kepentingan Aburizal Bakrie dan Agung Laksono untuk tetap
menguasai Partai Golkar menyebabkan Partai Golkar urung mencapai konsensus politik.
Namun hasil yang dicapai saat Munaslub tahun 2016 dengan mengembalikan posisi Dewan
Pembina Partai Golkar yang sebelumnya sempat hilang pada masa reformasi, menjadi
penengah bagi kepentingan baik kelompok Aburizal maupun Agung Laksono. Posisi Ketua
Dewan Pembina Partai Golkar ini memberikan posisi tersendiri bagi Aburizal Bakrie,
sehingga pada derajat tertentu masih mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan keputusan
di Partai Golkar. Sementara pada pihak lain, Agung Laksono diberikan mandat sebagai Ketua
Dewan Pakar Partai Golkar.
Kemenangan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada Munaslub Partai
Golkar bulan Mei 2016, memberikan kedua kubu posisi yang sejajar. Novanto yang akhirnya
terpilih menjadi Ketua DPR RI merestrukturisasi pengurus Partai Golkar baik di tingkat

1
Sucipto, “Pembentukan Tim Pilkada Partai Golkar Disepakati”, Sindonews,
https://nasional.sindonews.com/read/1013136/149/pembentukan-tim-pilkada-partai-golkar-disepakati-1434423185, diakses
pada 23 Desember 2017.
Fraksi DPR RI, DPD Tingkat I hingga DPD Tingkat II. Sehingga yang terjadi adalah kondisi
yang sama terjadi seperti Partai Golkar sebelum konflik tahun 2014. Kondisi yang terjadi
pada konflik Partai Golkar tahun 2014-2016 menunjukkan adanya overlapping dan saling
mengunci jaringan pada seluruh faksi dan elit, dengan tidak ada satupun faksi atau elit
menguasai jaringan. Hal ini dijelaskan oleh John Higley sebagai consensual elite. Ideologi
bukan menjadi faktor terjadinya konsensus.

Proses Konsensus Politik Partai Golkar


Proses penyelesaian konflik dan konsensus politik di Partai Golkar sendiri, dapat dibagi
menjadi tiga bentuk. Bentuk pertama adalah melalui proses penyelesaian konflik melalui
mekanisme organisatoris yaitu proses mekanisme Mahkamah Partai Golkar atau pelembagaan
partai, yang menghasilkan Keputusan Mahkamah Partai Golkar yang berujung pada dukungan
pemerintah pada kepengurusan Agung Laksono dan dilanjutkan pelaporan masing-masing
pihak yang berkonflik di pengadilan hingga Mahkamah Agung. Proses penyelesaian konflik
selanjutnya dilakukan oleh kedua kelompok melalui jalur hukum, yang keputusannya
cenderung berimbang, karena kedua belah pihak sama-sama maju ke Pengadilan maupun
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bentuk ketiga adalah melalui jalur politik, yang
melibatkan internal maupun peran kelompok luar yaitu Jusuf Kalla dan Luhut Binsar
Pandjaitan.
Upaya penyelesaian konflik pertama, yaitu melalui Mahkamah Partai Golkar. Sesuai
dengan proses kelembagaan dan manajemen konflik internal Partai Golkar yang diatur
melalui peraturan. Terdapat dua tingkat mekanisme resolusi konflik, yaitu upaya pencegahan
sebelum konflik terjadi dan penghentian konflik setelah konflik berlangsung. Partai politik
sudah seharusnya mempunyai aturan untuk memecahkan konflik internal dan membentuk
badan yang berfungsi menangani masalah konflik internal. Keberadaan mekanisme atau
badan yang menangani fungsi ini penting karena partai politik sebagai sebuah sistem memiliki
tanggungjawab untuk memastikan pelaksanaan fungsi partai, termasuk pengelolaan soliditas
internal. Agar dapat mengoperasikan fungsi ini, mekanisme ini mempunyai posisi khusus
hampir sama seperti yudikatif dalam sistem pemerintahan. Tokoh yang mampu dan dihormati
merupakan bagian dari badan ini yang dilengkapi dengan hak-hak independen untuk
menyusun kebijakan dan bebas dari intervensi,
Upaya penyelesaian konflik selanjutnya terjadi melalui jalur hukum. Baik pihak
Aburizal Bakrie maupun Agung Laksono, masing-masing membawa masalah Partai Golkar
ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Namun putusan hakim pada kedua
pengadilan tersebut pada realitanya tidak membawa efek positif dalam menyelesaikan konflik
Partai Golkar, bahkan konflik antara kedua pihak semakin memuncak.2 Mahkamah Agung
pada akhirnya memutuskan untuk kembali ke putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, serta
membatalkan surat keputusan Menkumham atas kepengurusan Golkar versi Munas Jakarta
yang dipimpin oleh Agung Laksono.
Ketika upaya penyelesaian konflik melalui Mahkamah Partai maupun hukum tidak
berhasil, elit Partai Golkar kemudian mengupayakan satu upaya terakhir yaitu melalui jalur
politik. Jalur politik yang dimaksud adalah dengan menginstitusionalisasi upaya konsensus
politik. Upaya konsensus politik yang pertama dilakukan dengan pertemuan jelang Pilkada
Serentak 2015 yang menjadi awal mula pertemuan elit Partai Golkar yang berkonflik.
Keterlibatan pihak luar, yaitu Jusuf Kalla dalam konsensus Partai Golkar nampak saat rencana
Partai Golkar ikut dalam Pilkada pada Juli 2015. Akibat konflik internal, Partai Golkar tidak
2
Ach Busairi, Dualisme Kepemimpinan Dalam Partai Golkar (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), hlm 37.
bisa memasukkan nama calonnya pada Pilkada Serentak 2015. Jusuf Kalla kemudian
mengusulkan agar bisa ikut Pilkada 2015, Partai Golkar ditandatangani kubu Aburizal Bakrie
dan Agung Laksono.43 Jusuf Kalla bahkan sudah melobi KPU agar Golkar bisa ikut Pilkada
dengan syarat calon yang diajukan mendapat tanda tangan kedua belah pihak bersengketa.
Namun usulan tersebut ditolak KPU, karena tidak punya landasan UU.3

BAB III
3
Yusro M. Santoso, “JK Pun Melobi Agar Golkar Bisa Ikut Pilkada”,
https://beritagar.id/artikel/arena/index.php/artikel/berita/jk-pun-melobi-agar-golkar-bisa-ikut-pilkada-23186 diakses pada 9
Mei 2017.
KESIMPULAN
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Yossi Hagaita Tarigan pada tahun 2016, konflik Munas Bali dan Munas Ancol pada tahun
2014-2016, tidak hanya mencakup satu faktor. Hasil penelitian Tarigan menunjukkan terdapat
tiga faktor yang menyebabkan konflik tersebut antara lain; pertama, mekanisme pengambilan
keputusan yang tidak berdasarkan AD/ART mengakibatkan kekecewaan dan mengurangi
kepercayaan diantara anggota sehingga berdampak kepada resistensi yang memungkinkan
kohesifitas partai semakin lemah; kedua, lemahnya ideologi dan doktrin partai sehingga tidak
terbentuk identitas khas anggota partai; dan ketiga, Mahkamah Partai tidak berperan aktif
mencegah konflik serta hasil putusan Mahkamah Partai tidak bersifat final dan mengikat,
sehingga penyelesaian memicu konflik yang dapat diidentifikasi pada munculnya faksi yang
tidak terkendali dan ketidakmampuan partai untuk beradaptasi dengan tuntutan anggota
partai.4.
Keberhasilan Partai Golkar dalam mencapai konsensus partai politik disebabkan oleh
dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor pertama adalah faktor internal,
yakni konsensus Partai Golkar. Konsensus Partai Golkar disebabkan oleh konflik yang terlalu
lama. Selain itu konflik menyebabkan kerusakan yang besar pada partai. Hal ini sesuai
dengan pendapat John Higley bahwa pemersatu elit Partai Golkar yaitu consensual elite di
mana elit-elit partai saling mengunci jaringan satu sama lain, sehingga tidak tercapai titik
temu kepentingan dari kedua pihak yang berkonflik. Untuk itu diperlukan mediator yang
dapat memediasi kepentingan kedua belah pihak.
Sementara faktor eksternal konsensus Partai Golkar disebabkan adanya kepentingan
kelompok-kelompok eksternal, khususnya pemerintah, yang diwakili oleh Muhammad Jusuf
Kalla (Wakil Presiden), Luhut Binsar Pandjaitan (Menkopolhukam), dan Yasonna Laoly
(Menkumham). Jusuf Kalla maupun Luhut Binsar Pandjaitan mengakui jika pihaknya tidak
menginginkan Partai Golkar terpecah, dan adanya kepentingan sebagai kader Partai Golkar.
Sementara itu, terdapat kepentingan bagi Partai Golkar untuk bergabung sebagai partai
pendukung pemerintah, dimana popularitas Partai Golkar dapat terangkat. Pemerintah sebagai
penguasa politik mempunyai peranan dalam pelaksanaan pengelolaan konflik (conflict
management). Terdapat kepentingan pihak pemerintah dalam rangka menjaga konflik Golkar
tidak mengganggu jalannya pemerintahan.
Sementara proses konsensus Partai Golkar dilakukan melalui tiga tahap, yaitu melalui
tahapan AD/ART Partai Golkar atau Mahkamah Partai Golkar. Namun, Mahkamah Partai
tidak menyelesaikan permasalahan konflik Partai Golkar. Kemudian tahap kedua, yaitu
melalui jalur hukum yang membawa kedua belah pihak hingga ke Mahkamah Agung. Konflik
justru semakin meruncing. Penyelesaian terakhir adalah melalui jalur politik.
Penyelesaian melalui jalur politik dilakukan dengan pembentukan Tim 10 yang
didirikan sebelum Pilkada 2015. Selanjutnya dilakukan Silaturahmi Nasional Partai Golkar,
dan dilanjutkan dengan Rapat Pimpinan Partai Golkar tahun 2016, serta diakhiri dengan
diselenggarakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) 2016. Munaslub ini
menghasilkan terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar, pencabutan
dukungan terhadap Koalisi Merah Putih (KMP), pencabutan sanksi terhadap Kader Partai
Golkar, dan pengesahan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar.

4
Yossi Hagaita Tarigan, Lemahnya Pelembagaan Mengakibatkan Konflik Partai Golkar Pada November 2014-Januari 2016:
Studi Kasus Munas Bali dan Munas Ancol, Tesis (Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016), hlm.
8.
Melihat keberhasilan konsensus Partai Golkar, tidak dipungkiri jika keberhasilan ini
disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Selain itu keberhasilan konsesus
disebabkan adanya mekanisme internal penyatuan suara partai melalui rangkaian Rapimnas,
maupun Munaslub. Adanya kelembagaan internal akan menjadi sarana konsensus elit partai
politik, sementara faktor eksternal harus mendukung terselenggaranya konsensus Partai
Politik.

Anda mungkin juga menyukai